Anda di halaman 1dari 3

BISNIS MEDIA

Menginvestigasi Bisnis Media

Dalam mengonsumsi media, perlu dipahami latar belakang di balik hadirnya sebuah konten yang
disajikan kepada audiens. Hal ini dapat dilihat dari siapa orang dibalik produksi konten tersebut,
dalam artian pemilik dari media tersebut. Hal ini dapat dilihat dari credit title yang sering kali muncul
di bagian akhir tayangan program atau susunan redaksi di surat kabar. Pekerja media memang
memiliki privilej untuk membuat sebuah konten dan menyalurkan kreativitasnya, namun di sisi lain,
mereka juga harus mengikuti dan mematuhi prinsip dari atasa/pemilik/bos media tersebut,
mengingat media adalah sebuah industry untuk meraih keuntungan/bisnis.

Semua organisasi media adalah bisnis yang saling terlibat dalam bidang pertukaran iklan,
menghasilkan pendapatan dan memperhitungkan untung-rugi.

Ada 3 pendekatan utama yang dikembangkan untuk mempelajari mengenai 3 perbedaan level
sehingga kitab isa memahami bagaimana organisasi media bekerja. Pertama, ekonomi politik, kedua
studi organisasi, dan ketiga etnografi tempat kerja.

Ekonomi Politik Media

Istilah ekonomi politik diasosiasikan dengan pemikiran dari Jhon Locke, Adam Smith, dan kemudian
oleh Karl Marx., dengan inti pemikiran dan perhatiannya yaitu pada sifat dari produksi dan kondisi
sosial yang lebih luas. Istilah ini muncul pada abad ke-18, sebagai label untuk studi dari hubungan
pasar yang muncul pada era modern, pada proses jual dan beli dalam hubungan di sini yaitu
produksi, organisasi dan hal yang berkaitan dengan biaya. Istilah ekonomi politik ini jyga berkaitan
dengan kekuasaan, bagaimana posisi dalam pemerintahan akan menentukan bagaimana dampak
terhadap perekonomian.

Vincent Mosco, ahli komunikasi-sosiologis mendefiniskan ekonomi politik sebagai sebuah ilmu
mengenai hubungan sosial khususnya hubungan kekuasaan, yang membentuk sumber dari
produksi, distribusi dan konsumsi (Mosco, 1996:25). Pemikiran utama Mosco ini mengenai
kebutuhan untuk mempelajari cara produksi media, bagaimana disebarkan, dan bagaimana
beragamnya oranng-orang yang terlibat di dalamnya, serta peran-peran yang terlibat dalam proses
tersebut.

Pendekatan ekonomi politik difokuskan pada pengembangan hubungan antara cakupan makna yang
tersedia di media dan apa yang mendasari kepentingan ekonomi dan pola kepemilikan antar media.
Fokus pertanyaan bisa seperti berikut; siapa yang membiayai produksi media? Apa komoditas utama
ynag diproduksi media? Bagaimana konsumen membayar untuk bisa mengonsumsi komiditi ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian menarik perhatian para peneliti, sehingga muncul istilah
“critical political economy” dimana aspek utam yang ditekankan dalam pemikiran ini yaitu negara
dan pemerintahan mengambil wewenang untuk mengawasi manajemen media dan membuat
regulasi media serta memperluas sifat ekonomi dari kapitalis untuk mendapatkan keuntungan bisnis
dalam media dan dikaitkan dengan politik partisipatif. Sejumlah peneliti di bidang ini juga menyoroti
bagaimana kepemilikan media di zaman modern sekarang, terutama sentralisasi kepemilikan media.
Hal ini tentunya akan berdampak pada cara media dijalankan dan sejauh mana hal tersebut
mempengaruhi masyarakat dan indivdu.
Hubungan Komoditas

Meskipun para pekerja media fokus untuk memproduksi program yang berkualitas dan disukai oleh
penonton, mereka pada akhirnya tetap akan memproduksi konten media yang akan mendatangkan
keuntungan dan memiliki nilai ekonomi, karena keuntungan ekonomi inilah yang menjadi sumber
penghasilan mereka. Nila ekonomi maksudnya konten atau komoditas yang diproduksi oleh industry
media mengeluakan biaya dan pada akhirnya mendatangkan keuntungan perusahaan.

Penghasilan media berasal dari dua hal, pertama berasal dari pengeluaran yang dikeluarkan
audiens/pembaca/penonton dalam mengonsumsi media, seperti uang yang dikeluarkan untuk
membeli koran ataupun biaya yang dikeluarkan untuk berlangganan sebuah koran digital atau
website. Penerimaan kedua media bisa berasal iklan yang muncul di media dengan menawarkan slot
durasi di televisi atau radio, kolom di koran atau majalah. Selain itu, produk dari media juga memiliki
karakteristik yang tidak re-purchased atau dibeli ulang. Produk media merupakan komoditas yang
saat kita beli, kita bisa menggunakannya berkali-kali. Seperti, kita membeli sebuah CD maka kita bisa
menontonnya berulang-ulang.

Khalayak sebagai Komoditas

Ahli Bernama Dallas Smythe (Smythe, 1981) berpendapat bahwa kita tidak harus berpikir bahwa
organisasi media bukanlah sebagai produsen atas produksi bentuk media seperti koran, ataupun
website. Dallas menilai bahwa media tersebut sebenarnya memproduksi khalayak. Ini merupakan
pemikiran yang menarik yang membuat kita memahami pentingnya khalayak
khusus/spesifik/tersegmentasi dalam pembahasan mengenai media. Dari perspektif ini, bagaimana
teks diproduksi oleh industry media, website ataupun program siaran lainnya hadir bagi khalayak
sebenarnya dikarenakan mereka (media) bertujuan untuk menarik perhatian dari khalayak yang
memang menjadi sasaran atau segmen dari pengiklan.

Pandangan tersebut memungkinkan kita untuk menghasilkan dua kesimpulan, kesimpulan yang
optimis dan pesimis. Kesimpulan optimis, tentu membuat adanya segmentasi yang sesuai dengan
target pasar yang diinginkan dan sesuai dengan selera dari penonton. Kesimpulan pesimisnya,
khalayak bisa saja tidak mendapatkan apapun karena fokus utama media adalah untuk mencapai
segmentasi target audiens tertentu untuk mendapatkan iklan. Sehingga ada kelompok audiens yang
tidak tercakup dan tidak mendapatkan apapun dari media, karena pilihan media yang ada sudah
fokus pada target audiensnya masing-masing demi meraih iklan dan keuntungan.

Mass and Niche Audiences, and the Hotelling Effect

Kita bisa mulai melihat cara media memaksimalkan keuntungan dengan memproduksi konten yang
akan menarik audiens atau kelompok audiens yang lebih spesifik. Niche audiences atau khalayak
khusus adalah mereka secara ekonomi memiliki kemampuan untuk membeli produk yang diiklankan
di media tersebut. Ketika mencoba menarik khalayak yang lebih luas, produser akan mencoba untuk
memproduksi konten yang tidak menyinggung siapapun dan bersifat umum, namun memiliki
ketertarikan yang bisa mencakup banyak khalayak.

Peneliti ekonomi Harold Hotelling pada tahun 1920-an (Hotelling, 1929:41-57) menilai bahwa
perusahaan yang mengajar keuntungan maksimal, secara geografis akan selalu akan menempatkan
perusahaan mereka di suatu lokasi sentral atau pusat dari keramaian. Sehingga akan lebih mudah
untuk meraih banyak audiens dan juga pengiklan. Artinya Hotelling melihat adanya pengaruh lokasi
produsen terhadap kemampuan meraih keuntungan dan konsumen. Di sisi lain, ada pula media yang
seolah-olah tidak mencari keuntungan karena dibiayai oleh publik, seperti BBC di Inggris, ataupun
TVRI di Indonesia. Tentu saja, ini bisa dijadikan dasar argument agar media tersebut dapat
menghasilkan konten yang berkualitas meskipun diabaikan oleh pengiklan.

Anda mungkin juga menyukai