Anda di halaman 1dari 3

KASUS 1: KELOMPOK 1 DAN 2

Sebuah keluarga dengan satu anak (anak laki-laki berusia tiga tahun) telah bekerja dengan
lembaga bantuan internasional di pedalaman Papua selama lebih dari setahun. Mereka
ditempatkan di desa yang sangat terpencil dan sangat miskin. Penduduk setempat menanam
sebagian besar bahan makanan mereka sendiri dan seperti yang biasa terjadi di daerah tersebut,
mereka sering menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk. Putra dari keluarga tersebut sudah
cukup akrab dengan anak-anak setempat, sehingga ia sering bermain bersama di luar ruangan
dan dapat berbicara dengan dialek setempat dengan cukup baik. Keluarga tersebut dalam
keadaan sehat ketika mereka tiba di desa dan selama tinggal mereka tidak mengalami masalah
kesehatan yang berarti. Beberapa minggu lalu, sang anak mulai mengeluhkan nyeri perut dan
diare.  Seiring waktu nyeri yang dirasakan perlahan-lahan semakin memburuk dan diare yang
seringkali berdarah, belum juga mereda. Terlebih lagi anak laki-laki tersebut menjadi anoreksia,
sangat lemah, dan berat badan menurun. Keluarga tersebut kemudian membawa putra mereka ke
fasilitas medis terdekat, di sebuah kota kecil sekitar 200 mil dari desa tempat mereka
bekerja. Dokter melakukan anamnesis, melakukan pemeriksaan fisik, dan mengumpulkan
spesimen feses dan darah untuk dianalisis.

KASUS 2: KELOMPOK 3 DAN 4

Sebuah keluarga beranggotakan lima orang (dengan masing-masing anak berusia 3, 4, dan 5
tahun) memutuskan pergi ke restoran cepat saji favorit mereka untuk makan siang. Semua
orang memesan ayam, kentang goreng dan soft drink berukuran besar. Sang ibu
memperhatikan bahwa potongan ayam berwarna agak merah muda di tengahnya dan ingin
mengembalikannya ke konter. Karena anak-anak sudah sangat lapar dan mulai ribut di dalam
mobil, sang Ibu khawatir mereka akan mengamuk jika ditunda lagi, sehingga Ibu tidak jadi
mengembalikannya. Selain itu, rasa ayam tersebut juga enak, sehingga sang ibu memutuskan
untuk tidak perlu khawatir tentang apa pun.
Keesokan harinya, ibu dan dua anaknya mulai mengalami demam, sakit kepala, mialgia, dan
malaise. Mereka tidak segera mencari pertolongan medis karena menganggap gejalanya tidak
terlalu berat. Gejalanya terus berlanjut di hari berikutnya, ketiganya mulai mengeluhkan diare
cair, kram perut, dan demam terus-menerus. Keesokan paginya, ketiganya buang air besar
sekitar 10 kali dan merasa diarenya akan terus berlanjut, sehingg akhirnya mereka
memutuskan untuk menemui dokter keluarga. Pada pemeriksaan, tanda-tanda vital dalam
batas normal, kecuali suhu badan yang berkisar antara 38-38,5ºC. Pemeriksaan fisik secara
umum tidak ditemukan tanda-tanda yang berat, kecuali kedua anaknya menunjukkan tanda-
tanda dehidrasi ringan. Spesimen apusan tinja diperiksa secara mikroskopis dan ditemukan
mengandung darah segar (fresh blood) dan PMN (paling jelas terlihat pada spesimen kedua
anak). Tidak ada tanda-tanda kista atau telur protozoa. Sang ibu khawatir terkait ayam yang
mereka makan sebelumnya, tetapi tidak sepenuhnya yakin karena hanya tiga anggota keluarga
yang sakit.

KASUS 3: KELOMPOK 5 DAN 6

Pasien anak laki-laki berusia 1 tahun dirawat di rumah sakit karena dehidrasi. Orang tuanya
melaporkan bahwa dia memiliki riwayat demam, diare, emesis, dan penurunan produksi urin
selama 1 hari. Saat masuk, tanda vitalnya menunjukkan suhu 39,5C, takikardia dengan denyut
nadi 126 kali/menit, dan pernapasan 32 kali/menit. Tidak seperti biasanya, anak tampak kurang
aktif saat ini. Pemeriksaan fisik secara umum tampak mulut kering, air mata berkurang saat
menangis dan suara usus hiperaktif. Urinalisis signifikan untuk berat jenis dan keton yang tinggi.
Sampel feses, darah, dan urin dikirim untuk kultur. Sampel tinja juga diperiksa untuk sel telur
dan parasit. Tidak ditemukan leukosit pada feses. Pasien diberi saline normal intravena dan tidak
mendapat asupan oral. Selama 48 jam berikutnya emesisnya mereda. Begitu dia direhidrasi dan
mentolerir pemberian makan oral, dia dipulangkan ke rumah. Semua biakan rutin memberikan
hasil negatif.

KASUS 4: KELOMPOK 7 DAN 8

Tiga mahasiswa kedokteran makan siang di warung lokal yang terkenal dengan harganya yang
murah dibandingkan kualitas makanannya. Mereka makan dengan menu sayur asam, lumpia,
nasi goreng, dan tiga jenis makanan pembuka lainnya. Karena porsi makanannya banyak, mereka
membawa pulang sisa makanan yang tidak mereka habiskan dan disimpan dalam lemari es. Dua
hari kemudian mereka menghangatkan kembali makanan tersebut untuk makan siang. Dua jam
setelah makan, tepat di tengah jam pelajaran blok Gangguan Gastrointestinal, Hepatobilier dan
Pankres, ketiga mahasiswa tersebut mengeluh ingin muntah dan segera keluar dari kelas. Gejala
mual, muntah, dan kram perut yang berat pun dirasakan oleh ketiganya, namun hanya satu dari
mereka yang mengalami diare (yang mana relatif ringan). 
Menjadi mahasiswa kedokteran dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan berdedikasi untuk selalu
melatih keterampilan diagnostik mereka, akhirnya mereka pun saling memeriksa tanda-tanda
vital satu sama lain, yang ternyata masih dalam batas normal. Konsistensi feses mahasiswa yang
mengalami diare tampak encer, tidak terlihat adanya darah atau lendir. Gejala-gejala yang
dirasakan ketiga mahasiswa tersebut mereda dengan sendirinya dalam waktu 10 jam, tanpa
pengobatan dan tanpa gejala sisa. Tidak satu pun dari ketiganya yang pernah bepergian ke luar
kota dalam enam bulan terakhir. Makanan yang dihangatkan kembali adalah satu-satunya
makanan yang mereka makan bersama sejak makan siang mereka di restoran 2 hari yang
lalu. Gejala ketiga korban mereda dalam waktu 10 jam, tanpa pengobatan dan tanpa gejala sisa
yang nyata. 

Anda mungkin juga menyukai