Anda di halaman 1dari 54

MAKALAH BAHASA INDONESIA

“EJAAN BAHASA INDONESIA, PENGGUNAAN DIKSI, DAN ISTILAH


DALAM RAGAM ILMIAH”

Dosen Pengampu:

Hemas Haryas Harja Susetya, M.Pd.

Disusun Oleh:

1. Fiona Nafiisa Rafii (225030200111084)


2. Fachrina Zahra (225030200111085)
3. Novita Eldi Ramadhani (225030200111086)
4. Sofia Nasywa Kamilah (225030201111073)
5. Yuniar Wahyu Saputri (225030201111077)
6. Vira Fauziah Hanum (225030201111094)

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak-pihak yang telah berkontribusi dengan memberi sumbangan baik
pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi
pembaca mengenai “Ejaan Bahasa Indonesia, Penggunaan Diksi, dan Istilah Dalam Ragam
Ilmiah”. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini dapat pembaca ambil
maknanya untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penulis merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Malang, 27 Februari 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................2

DAFTAR ISI ............................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..............................................................................................................4


B. Rumusan Masalah .........................................................................................................5
C. Tujuan ............................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Ejaan Bahasa Indonesia .................................................................................................6


B. Penggunaan Diksi ........................................................................................................39
C. Istilah Dalam Ragam Ilmiah ........................................................................................44

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................................................52
B. Saran ............................................................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................54

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat sebagai dampak


kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Penggunaannya pun semakin luas
dalam beragam ranah pemakaian, baik secara lisan maupun tulis. Oleh karena itu, kita
memerlukan buku rujukan yang dapat dijadikan pedoman dan acuan berbagai kalangan
pengguna bahasa Indonesia, terutama dalam pemakaian bahasa tulis, secara baik dan
benar. PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia), maka siswa mampu untuk
berpikir, berbicara, menulis dan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) ini
dapat membantu mengetahui kesalahan penggunaan huruf kapital dan tanda baca pada
teks persuasi peserta didik. PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) juga
dapat mengembangkan pemecahan tentang kesalahan yang dominan terjadi pada
penggunaan huruf kapital dan tanda baca. Dalam penerapannya PUEBI (Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia) dapat memberikan pengembangan dan sumbangsih
terhadap keberlangsungan tata bahasa Indonesia sehingga penggunaan bahasa
Indonesia tidak hanya sebagai pelengkap atau sekedar tahu sehingga melenceng dari
peraturan ejaan bahasa Indonesia yang seharusnya telah ditetapkan. Dalam
penerapannya PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) dapat memberikan
pengembangan dan sumbangsih terhadap keberlangsungan tata bahasa Indonesia
sehingga penggunaan bahasa Indonesia tidak hanya sebagai pelengkap atau sekedar
tahu sehingga melenceng dari peraturan ejaan bahasa Indonesia yang seharusnya telah
ditetapkan.

Pemilihan kata bukanlah sekadar kegiatan memilih kata yang tepat, melainkan
juga memilih kata yang cocok. Cocok dalam hal ini berarti sesuai dengan konteks
dimana kata itu berada, dan maknanya tidak bertentangan dengan nilai rasa masyarakat
pemakainya. Untuk itu, dalam memilih kata diperlukan analisis dan pertimbangan
tertentu. Kemampuan memilih kata hanya dimungkinkan bila seseorang menguasai
kosakata yang cukup luas, diksi atau pilihan kata mengandung pengertian upaya atau
kemampuan membedakan secara tepat kata-kata yang memiliki nuansa makna
serumpun, pilihan kata menyangkut kemampuan untuk memilih kata-kata yang tepat
dan cocok untuk situasi atau konteks tertentu (Keraf, 1984:22).

4
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) dijelaskan bahwa ilmiah adalah
bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan.
Ragam bahasa ilmiah merupakan bahasa dalam dunia pendidikan. Karena penutur
ragam bahasa ini adalah orang yang berpendidikan, bahasa yang digunakan adalah
bahasa yang dipelajari di sekolah/institusi pendidikan. Ragam bahasa ini dikenal pula
dengan istilah ragam bahasa baku/standar. Menurut Hasan Alwi (2003:13), ragam
bahasa ini memiliki dua ciri, yaitu kemantapan dinamis dan kecendekiawanan.
Kemantapan dinamis berarti aturan dalam ragam bahasa ini telah berlaku dengan
mantap, tetapi bahasa ini tetap terbuka terhadap perubahan (terutama dalam kosakata
dan istilah). Ciri cendekiawan terlihat dalam penataan penggunaan bahasa secara
teratur, logis, dan masuk akal. Ragam bahasa ini bersifat kaku dan terikat pada aturan-
aturan bahasa yang berlaku. Sebagai bahasa baku, terdapat standar tertentu yang harus
dipenuhi dalam penggunaan ragam bahasa ilmiah. Standar tersebut meliputi
penggunaan tata bahasa dan ejaan bahasa Indonesia baku. Tata bahasa Indonesia yang
baku meliputi penggunaan kata, kalimat, dan paragraf yang sesuai dengan kaidah baku.
Kaidah tata bahasa Indonesia yang baku adalah kaidah tata bahasa Indonesia sesuai
dengan aturan berbahasa yang ditetapkan oleh Pusat Bahasa Indonesia. Sementara itu,
kaidah ejaan bahasa Indonesia yang baku adalah kaidah ejaan bahasa Indonesia yang
disempurnakan. Sesuai dengan ragam bahasanya, aturan-aturan ini mengikat
penggunaan bahasa dalam karya tulis ilmiah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang tepat?
2. Bagaimana Penggunaan Diksi yang tepat?
3. Bagaimana Ragam Bahasa Indonesia dan Penggunaannya dalam Forum
Ilmiah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang tepat
2. Untuk mengetahui Penggunaan Diksi yang tepat
3. Untuk mengetahui Ragam Bahasa Indonesia dan Penggunaannya dalam
Forum Ilmiah

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ejaan Bahasa Indonesia


Pengertian Ejaan Bahasa Indonesia
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ejaan adalah kaidah-
kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata dan kalimat) di dalam bentuk tulisan
(huruf-huruf) serta penggunaan tanda-tanda baca. Oleh karena itu, ejaan perlu dipahami
dan dibahas untuk mengetahui bagaimana sebenarnya ejaan yang disempurnakan itu,
untuk diketahui dan diaplikasikan ke dalam penulisan berbagai karya tulis.
Selain itu, ejaan ialah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang
distandardisasikan. Lazimnya, ejaan mempunyai tiga aspek, yakni aspek fonologis
yang menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad.

Fungsi Ejaan
Menurut Siti Mutmainah dalam buku Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi (2019),
ejaan harus diterapkan dalam penulisan bahasa. Ejaan memiliki sejumlah fungsi
penting, yaitu:
1. Landasan pembakuan tata bahasa
Penggunaan ejaan dalam penulisan bahasa akan membuat tata bahasa yang
digunakan semakin baku.
2. Landasan pembakuan kosa kata serta istilah
Tidak hanya membuat tata bahasa semakin baku, ejaan juga membuat pemilihan
kosa kata dan istilah menjadi lebih baku.
3. Penyaring masuknya unsur bahasa lain ke bahasa Indonesia
Ejaan juga memiliki fungsi penting sebagai penyaring bahasa lain ke bahasa
Indonesia. Sehingga dalam penulisannya tidak akan menghilangkan makna
aslinya.
4. Membantu pemahaman pembaca dalam mencerna informasi
Penggunaan ejaan akan membuat penulisan bahasa lebih teratur. Hal ini
membuat pembaca semakin mudah dalam memahami informasi yang
disampaikan secara tertulis.

6
Penulisan Ejaan

Dalam penulisan ejaan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu
mencangkup pemakaian huruf, penulisan kata, dan penggunaan tanda baca.

4. Pemakaian Huruf
A. Huruf Abjad
Dalam ejaan bahasa Indonesia, huruf abjad terdiri atas huruf A, B, C, D,
E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, Q, R, S, T, U, V, W, X, Y, Z. Huruf
abjad ini bisa ditulis dalam bentuk huruf kapital maupun tidak,
tergantung pada pemakaian dan tujuan penggunaannya.
B. Huruf Vokal
Dalam ejaan bahasa Indonesia, huruf vokal terdiri atas huruf A, I, U, E,
O. Sama seperti huruf abjad, huruf vokal juga bisa ditulis dalam huruf
kapital atau tidak.
C. Huruf Konsonan
Dalam ejaan bahasa Indonesia, huruf konsonan adalah huruf yang tidak
termasuk huruf vokal, yakni B,C, D, F, G, H, J, K, K, M,N,P, Q, R,S,
T, V, W, X, Y, Z. Penulisan kapital atau tidaknya juga bergantung pada
pemakaian dan tujuan penggunaannya.
D. Huruf Diftong
Dalam ejaan bahasa Indonesia, huruf diftong merupakan dua vokal yang
diucapkan bersamaan. Huruf diftong terdiri atas ai, au, oi.
Contoh katanya ialah ‘santai’, ‘pulau’, ‘survei’, dan ‘kalian’.
E. Gabungan Huruf Konsonan
Dalam ejaan bahasa Indonesia, penulisan gabungan huruf konsonan
berarti dua huruf konsonan dijadikan satu, seperti kh, ny, sy, ng.
Contoh katanya ‘ikhtisar’, ‘nyata’, ‘syarat’, dan ‘ngarai’.
F. Huruf Kapital
1 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama awal kalimat.
Misalnya: Dia membaca buku. Kita harus bekerja keras.
2 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama orang, termasuk
julukan.
Misalnya: Amir Hamzah, Dewi Sartika, Alessandro Volta, André-Marie
Ampère, Rudolf Diesel dan Mujair.
Catatan:

7
1. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang yang
merupakan nama jenis atau satuan ukuran.
Misalnya: Ikan mujair, Mesin diesel, 5 ampere, 10 volt
2. Huruf kapital tidak dipakai untuk menuliskan huruf pertama kata
yang bermakna ‘anak dari’, seperti bin, binti, boru, dan van, atau
huruf pertama kata tugas.
Misalnya: Abdul Rahman bin Zaini, Siti Fatimah binti Salim, Indani
boru Sitanggang, dan Charles Adriaan van Ophuijsen.
3 Huruf kapital dipakai pada awal kalimat dalam petikan langsung.
Misalnya: Adik bertanya, “Kapan kita pulang?”, Orang itu menasihati
anaknya, “Berhati-hatilah, Nak!”.
4 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap kata nama agama, kitab
suci, dan Tuhan, termasuk sebutan dan kata ganti untuk Tuhan.
Misalnya: Islam, Alquran, Kristen, Klkitab, Kindu, Weda, Allah, Tuhan,
Allah akan menunjukkan jalan kepada hamba-Nya. Ya, Tuhan, bimbinglah
hamba-Mu ke jalan yang Engkau beri rahmat.
5 Huruf kapital dipakai sebagai huruf keturunan, keagamaan, atau gelar
akademik yang mengikuti nama orang.
a. Pertama unsur nama gelar kehormatan, yang diikuti nama orang,
termasuk gelar.
Misalnya: Sultan Hasanuddin, Haji Agus Salim, Raden Ajeng Kartini.
Agung Permana, Sarjana Hukum. Irwansyah, Magister Humaniora.
b. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama gelar
kehormatan, keturunan, keagamaan, profesi, serta nama jabatan dan
kepangkatan yang dipakai sebagai sapaan.
Misalnya: Selamat datang, Yang Mulia. Semoga berbahagia, Sultan.
Selamat pagi, Dokter. Mohon izin, Jenderal.
6 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan
pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti
nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya: Wakil Presiden Adam Malik, Perdana Menteri Nehru, Sekretaris
Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Gubernur Papua
Barat.
7 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa,
dan bahasa.

8
Misalnya: bangsa Indonesia, suku Dani, dan bahasa Bali.
Catatan: Nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa yang dipakai sebagai
bentuk dasar kata turunan tidak ditulis dengan huruf awal kapital.
Misalnya: pengindonesiaan kata asing, keinggris-inggrisan, dan kejawa-
jawaan.
8 a. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari,
dan hari besar atau hari raya.
Misalnya: tahun Hijriah, bulan Agustus, hari Jumat, hari Lebaran, hari
Natal, dan sebagainya.
b. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama peristiwa
sejarah.
Misalnya: Konferensi Asia Afrika, Perang Dunia II, dan Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
Catatan: Huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama
tidak ditulis dengan huruf kapital.
Misalnya: Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Perlombaan senjata membawa risiko pecahnya perang dunia.
9 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
Misalnya: Jakarta, Asia Tenggara, Pulau Miangas, Amerika Serikat,
Dataran Tinggi Dieng, Danau Toba, Gunung Semeru, Gang Kelinci, dan
sebagainya.
Catatan:
(1) Huruf pertama nama geografi yang bukan nama diri tidak ditulis
dengan huruf kapital.
Misalnya: berlayar ke t
teluk, mandi di sungai, menyeberangi selat, dan berenang di danau.
(2) Huruf pertama nama diri geografi yang dipakai sebagai nama jenis
tidak ditulis dengan huruf kapital.
Misalnya: jeruk bali (Citrus maxima), kacang bogor (Voandzeia
subterranea), nangka belanda (Anona muricata).
Nama yang disertai nama geografi dan merupakan nama jenis dapat
dikontraskan atau disejajarkan dengan nama jenis lain dalam
kelompoknya.
Misalnya:

9
Kita mengenal berbagai macam gula, seperti gula jawa, gula pasir, gula
tebu, gula aren, dan gula anggur. Kunci inggris, kunci tolak, dan kunci ring
mempunyai fungsi yang berbeda.
Contoh berikut bukan nama jenis.
Dia mengoleksi batik Cirebon, batik Pekalongan, batik Solo, batik
Yogyakarta, dan batik Madura.
Selain film Hongkong, juga akan diputar film India, film Korea, dan film
Jepang.
10 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua
unsur bentuk ulang sempurna) dalam nama negara, lembaga, badan,
organisasi, atau do-kumen, kecuali kata tugas, seperti di, ke, dari, dan,
yang, dan untuk.
Misalnya: Republik Indonesia, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, Ikatan Ahli Kesehatan, Masyarakat Indonesia, Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dan sebagainya.
11 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap kata (termasuk unsur
kata ulang sempurna) di dalam judul buku, karangan, artikel, dan makalah
serta nama majalah dan surat kabar, kecuali kata tugas, seperti di, ke, dari,
dan, yang, dan untuk, yang tidak terletak pada posisi awal.
Misalnya: Saya telah membaca buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke
Roma. Tulisan itu dimuat dalam majalah Bahasa dan Sastra. Dia agen surat
kabar Sinar Pembangunan. Dan sebagainya
12 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar,
pangkat, atau sapaan.
Misalnya: S.H. (sarjana hukum), M.Si. (magister sains), K.H. (kiai haji),
Pdt. (pendeta), St. (sultan), dan sebagainya.
13 Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan
kekerabatan, seperti bapak, ibu, kakak, adik, dan paman, serta kata atau
ungkapan lain yang dipakai dalam penyapaan atau pengacuan
Misalnya: “Kapan Bapak berangkat?” tanya Hasan. Dendi bertanya, “Itu
apa, Bu?” “Silakan duduk, Dik!” kata orang itu. Surat Saudara telah kami
terima dengan baik. ―Hai, Kutu Buku, sedang membaca apa?
Catatan:
(1) Istilah kekerabatan berikut bukan merupakan penyapaan atau
pengacuan.

10
Misalnya: Kita harus menghormati bapak dan ibu kita. Semua kakak
dan adik saya sudah berkeluarga.
(2) Kata ganti Anda ditulis dengan huruf awal kapital.
Misalnya: Sudahkah Anda tahu? Siapa nama Anda?
G. Huruf Miring
1) Huruf miring dipakai untuk menuliskan judul buku, nama
majalah, atau nama surat kabar yang dikutip dalam tulisan,
termasuk dalam daftar pustaka.
Misalnya: Saya sudah membaca buku Salah Asuhan karangan
Abdoel Moeis. Berita itu muncul dalam surat kabar Cakrawala.
2) Huruf miring dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan
huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata dalam kalimat.
Misalnya: Huruf terakhir kata abad adalah d. Dia tidak diantar,
tetapi mengantar. Dalam bab ini tidak dibahas pemakaian tanda
baca. Buatlah kalimat dengan menggunakan ungkapan lepas
tangan.
3) Huruf miring dipakai untuk menuliskan kata atau ungkapan
dalam bahasa daerah atau bahasa asing.
Misalnya: Nama ilmiah buah manggis ialah Garcinia
mangostana. Weltanschauung bermakna ‘pandangan dunia’.
Ungkapan bhinneka tunggal ika dijadikan semboyan negara
Indonesia.
Catatan:
1. Nama diri, seperti nama orang, lembaga, atau organisasi,
dalam bahasa asing atau bahasa daerah tidak ditulis
dengan huruf miring.
2. Dalam naskah tulisan tangan atau mesin tik (bukan
komputer), bagian yang akan dicetak miring ditandai
dengan garis bawah.
3. Kalimat atau teks berbahasa asing atau berbahasa daerah
yang dikutip secara langsung dalam teks berbahasa
Indonesia ditulis dengan huruf miring.
H. Huruf Tebal
1) Huruf tebal dipakai untuk menegaskan bagian tulisan yang sudah
ditulis miring.

11
Misalnya: Huruf dh, seperti pada kata Ramadhan, tidak terdapat dalam
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Kata et dalam ungkapan
ora et labora berarti ‘dan’.
2) Huruf tebal dapat dipakai untuk menegaskan bagian- bagian
karangan, seperti judul buku, bab, atau subbab.
Misalnya: 1.1 Latar Belakang, 1.2 Rumusan Masalah, 1.3 Tujuan,
dan sebagainya.

5. Penulisan Kata
A. Kata Dasar
Kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
Misalnya:
Kantor pajak penuh sesak.
Saya pergi ke sekolah.
B. Kata Berimbuhan
1. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran, serta gabungan awalan dan akhiran)
ditulis serangkai dengan bentuk dasarnya.
Misalnya: berjalan, berkelanjutan, mempermudah, gemetar, lukisan,
kemauan, dan perbaikan.
Catatan:
1. Imbuhan yang diserap dari unsur asing, seperti -isme, -man, -wan,
atau -wi, ditulis serangkai dengan bentuk dasarnya.
Misalnya: sukuisme, seniman, kamerawan, dan gerejawi.
2. Bentuk terikat ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
Misalnya: adibusana, infrastruktur proaktif, aerodinamika,
purnawirawan, antarkota, kontraindikasi, saptakrida, antibiotik,
kosponsor, semiprofesional, mancanegara, nonkolaborasi,
ekstrakurikuler, prasejarah, dan sebagainya.
Catatan:
1. Bentuk terikat yang diikuti oleh kata yang berhuruf awal kapital atau
singkatan yang berupa huruf kapital dirangkaikan dengan tanda hubung
(-).
Misalnya: non-Indonesia, pan-Afrikanisme, pro-Barat, dan sebagainya
2. Bentuk maha yang diikuti kata turunan yang mengacu pada nama atau
sifat Tuhan ditulis terpisah dengan huruf awal kapital.

12
Misalnya:
Marilah kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.
Kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Pengampun.
3. Bentuk maha yang diikuti kata dasar yang mengacu kepada nama atau
sifat Tuhan, kecuali kata esa, ditulis serangkai.
Misalnya:
Tuhan Yang Mahakuasa menentukan arah hidup kita.
Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa melindungi kita.

C. Bentuk Ulang
Bentuk ulang ditulis dengan menggunakan tanda hubungan (-) di antara
unsur-unsurnya.
Misalnya: anak-anak, buku-buku, lauk-pauk, mondar-mandir, ramah-
tamah, porak-poranda, dan sebagainya.
Catatan:
Bentuk ulang gabungan kata ditulis dengan mengulang unsur pertama.
Misalnya:
Surat kabar => surat-surat kabar
Rak buku => rak-rak buku

D. Gabungan Kata
1. Unsur gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah
khusus, ditulis terpisah.
Misalnya: duta besar, model linear, kambing hitam, orang tua,
simpang empat, cendera mata, dan sebagainya.
2. Gabungan kata yang dapat menimbulkan salah pengertian ditulis dengan
membubuhkan tanda hubung (-) di antara unsur-unsurnya.
Misalnya:
anak-istri pejabat => anak istri-pejabat
ibu-bapak kami => ibu bapak-kami
buku-sejarah baru => buku sejarah-baru
3. Gabungan kata yang penulisannya terpisah tetap ditulis terpisah jika
mendapat awalan atau akhiran.
Misalnya: bertepuk tangan, menganak sungai, garis bawahi, sebar luaskan

13
4. Gabungan kata yang mendapat awalan dan akhiran sekaligus ditulis
serangkai.
Misalnya: dilipatgandakan, menyebarluaskan, penghancurleburan,
pertanggungjawaban, dan sebagainya.
5. Gabungan kata yang sudah padu ditulis serangkai.
Misalnya: radioaktif, adakalanya, kacamata, kasatmata, saputangan,
bagaimana, kilometer, saripati, barangkali, belasungkawa, sukacita,
sukarela, peribahasa, dan sebagainya.

E. Pemenggalan Kata
1. Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan sebagai berikut.
a) Jika di tengah kata terdapat huruf vokal yang berurutan,
pemenggalannya dilakukan di antara kedua huruf vokal itu.
Misalnya: bu-ah, ma-in, ni-at, sa-at, dan sebagainya.
b) Huruf diftong ai, au, ei, dan oi tidak dipenggal.
Misalnya: pan-dai, au-la, sau-da-ra, sur-vei, am-boi, dan sebagainya.
c) Jika di tengah kata dasar terdapat huruf konsonan (termasuk gabungan
huruf konsonan) di antara dua huruf vokal, pemenggalannya dilakukan
sebelum huruf kon-sonan itu.
Misalnya: ba-pak, la-wan, de-ngan, ke-nyang, mu-ta-khir, mu-sya-wa-
rah, dam sebagainya.
d) Jika di tengah kata dasar terdapat dua huruf konsonan yang berurutan,
pemenggalannya dilakukan di antara kedua huruf konsonan itu.
Misalnya: Ap-ril, cap-lok, makh-luk, man-di, sang-gup, som-bong,
swas-ta, dan sebagainya.
e) Jika di tengah kata dasar terdapat tiga huruf konsonan atau lebih yang
masing-masing melambangkan satu bunyi, pemenggalannya dilakukan
di antara huruf konsonan yang pertama dan huruf konsonan yang kedua.
Misalnya: Ul-tra, in-fra, ben-trok, in-stru-men, dan sebagainya.
Catatan:
Gabungan huruf konsonan yang melambangkan satu bunyi tidak
dipenggal.
Misalnya: Bang-krut, bang-sa, ba-nyak, ikh-las, kong-res, makh-luk,
masy-hur, sang-gup, dan sebagainya.

14
2. Pemenggalan kata turunan sedapat-dapatnya dilakukan di antara bentuk
dasar dan unsur pembentuknya.
Misalnya: ber-jalan, mem-bantu, di-ambil, ter-bawa, me-rasakan,
merasa-kan, per-buatan, perbuat-an, dan sebagainya.
Catatan:
(1) Pemenggalan kata berimbuhan yang bentuk dasarnya mengalami
perubahan dilakukan seperti pada kata dasar.
Misalnya: me-nu-tup, me-ma-kai, me-nya-pu, me-nge-cat, pe-no-
long, pe-nga-rang, pe-nge-tik, dan sebagainya.
(2) Pemenggalan kata bersisipan dilakukan seperti pada kata dasar.
Misalnya: ge-lem-bung, ge-mu-ruh, ge-ri-gi, si-nam-bung, dan te-
lun-juk.
(3) Pemenggalan kata yang menyebabkan munculnya satu huruf di
awal atau akhir baris tidak dilakukan.
Misalnya: Beberapa pendapat mengenai masalah itu
telah disampaikan….
Walaupun cuma-cuma, mereka tidak mau
mengambil makanan itu.
3. Jika sebuah kata terdiri atas dua unsur atau lebih dan salah satu unsurnya
itu dapat bergabung dengan unsur lain, pemenggalannya dilakukan di antara
unsur-unsur itu. Tiap unsur gabungan itu dipenggal seperti pada kata dasar.
Misalnya:
biografi => bio-grafi => bi-o-gra-fi
biodata => bio-data => bi-o-da-ta
fotokopi => foto-kopi => fo-to-ko-pi
introspeksi => intro-speksi => in-tro-spek-si
pascasarjana => pasca-sarjana => pas-ca-sar-ja-na
4. Nama orang yang terdiri atas dua unsur atau lebih pada akhir baris
dipenggal di antara unsur-unsurnya.
Misalnya:
Lagu ―Indonesia Raya‖ digubah oleh Wage Rudolf Supratman.
Buku Layar Terkembang dikarang oleh Sutan Takdir Alisjahbana.
5. Singkatan nama diri dan gelar yang terdiri atas dua huruf atau lebih
tidak dipenggal.
Misalnya:

15
Ia bekerja di DLLAJR.
Pujangga terakhir Keraton Surakarta bergelar R.Ng. Rangga Warsita.
Catatan:
Penulisan berikut dihindari.
Ia bekerja di DLL-AJR.
Pujangga terakhir Keraton Surakarta bergelar R.Ng. Rangga Warsita.

F. Kata Depan
Kata depan, seperti di, ke, dan dari, ditulis terpisah dari kata yang
mengikutinya.
Misalnya:
Di mana dia sekarang?
Saya pergi ke sana untuk mencarinya.
Ia berasal dari Pulau Kalimantan.
G. Partikel
1. Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang
mendahuluinya.
Misalnya:
Bacalah surat itu baik-baik!
Siapakah gerangan dia?
Apatah gunanya bersedih hati?
2. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Apa pun permasalahan yang muncul, dia dapat mengatasinya dengan
bijaksana.
Jika kita hendak pulang tengah malam pun, kendaraan masih tersedia.
Jangankan dua kali, satu kali pun engkau belum pernah berkunjung ke
rumahku.

H. Singkatan dan Akronim


1. Singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti dengan
tanda titik pada setiap unsur singkatan itu.
Misalnya:
W.R. Supratman => Wage Rudolf Supratman
M.B.A. => Master of Business Administration

16
Sdr. => Saudara
2. a. Singkatan yang terdiri atas huruf awal setiap kata nama lembaga
pemerintah dan ketatanegaraan, lembaga pendidikan, badan atau organisasi,
serta nama dokumen resmi ditulis dengan huruf kapital tanpa tanda titik.
Misalnya:
NKRI => Negara Kesatuan Republik Indonesia
PBB => Perserikatan Bangsa-Bangsa
WHO => World Health Organization
b. Singkatan yang terdiri atas huruf awal setiap kata yang bukan nama
diri ditulis dengan huruf kapital tanpa tanda titik.
Misalnya:
PT => perseroan terbatas
SD => sekolah dasar
KTP => kartu tanda penduduk
3. Singkatan yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti dengan tanda titik.
Misalnya:
hlm. => halaman
dll. => dan lain-lain
dsb. => dan sebagainya
yth. => yang terhormat
4. Singkatan yang terdiri atas dua huruf yang lazim dipakai dalam surat-
menyurat masing-masing diikuti oleh tanda titik.
Misalnya:
a.n => atas nama
d.a => dengan alamat
u.b => untuk beliau
s.d => sampai dengan
5. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata
uang tidak diikuti tanda titik.
Misalnya:
Cu => kuprum
cm => sentimeter
kVa => kilovolt-ampere
kg => kilogram
6. Akronim nama diri yang terdiri atas huruf awal setiap kata ditulis dengan

17
huruf kapital tanpa tanda titik.
Misalnya:
BIG => Badan Informasi Geospasial
BIN => Badan Intelijen Negara
LIPI => Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
7. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan
huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal kapital.
Misalnya:
Bulog => Badan Urusan Logistik
Bappenas => Badan Pembangunan Nasional
Kalteng => Kalimantan Tengah
8. Akronim bukan nama diri yang berupa gabungan huruf awal dan suku
kata atau gabungan suku kata ditulis dengan huruf kecil.
Misalnya:
iptek => ilmu pengetahuan dan teknologi
pemilu => pemilihan umum
puskesmas => pusat kesehatan masyarakat

I. Angka dan Bilangan


Angka Arab atau angka Romawi lazim dipakai sebagai lambang bilangan
atau nomor.
Angka Arab: 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Angka Romawi : I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, L (50), C (100), D
(500), M (1.000).
1. Bilangan dalam teks yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata
ditulis dengan huruf, kecuali jika dipakai secara berurutan seperti dalam
perincian.
Misalnya:
Mereka menonton drama itu sampai tiga kali.
Di antara 72 anggota yang hadir, 52 orang setuju, 15 orang tidak setuju,
dan 5 orang abstain.
Kendaraan yang dipesan untuk angkutan umum terdiri atas 50 bus, 100
minibus, dan 250 sedan.
2. a. Bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf.
Misalnya:

18
Lima puluh siswa teladan mendapat beasiswa dari pemerintah daerah.
Tiga pemenang sayembara itu diundang ke Jakarta.
Catatan:
Penulisan berikut dihindari.
50 siswa teladan mendapat beasiswa dari pemerintah daerah.
3 pemenang sayembara itu diundang ke Jakarta.
b. Apabila bilangan pada awal kalimat tidak dapat dinyatakan dengan
satu atau dua kata, susunan kalimatnya diubah.
Misalnya:
Panitia mengundang 250 orang peserta.
Di lemari itu tersimpan 25 naskah kuno.
Catatan:
Penulisan berikut dihindari.
250 orang peserta diundang panitia.
25 naskah kuno tersimpan di lemari itu.
3. Angka yang menunjukkan bilangan besar dapat ditulis sebagian dengan
huruf supaya lebih mudah dibaca.
Misalnya:
Dia mendapatkan bantuan 250 juta rupiah untuk mengembangkan
usahanya.
Perusahaan itu baru saja mendapat pinjaman 550 miliar rupiah.
Proyek pemberdayaan ekonomi rakyat itu memerlukan biaya Rp10
triliun
4. Angka dipakai untuk menyatakan (a) ukuran panjang, berat, luas, isi, dan
waktu serta (b)nilai uang.
Misalnya:
5 kilogram
4 hektare
2 tahun 6 bulan 5 hari
Rp5.000,00
5. Angka dipakai untuk menomori alamat, seperti jalan, rumah, apartemen,
atau kamar.
Misalnya:
Jalan Tanah Abang I No. 15 atau Jalan Tanah Abang I/15
Hotel Mahameru, Kamar 169

19
Gedung Samudra, Lantai II, Ruang 201
6. Angka dipakai untuk menomori bagian karangan atau ayat kitab suci.
Misalnya:
Bab X, Pasal 5, halaman 252
Surah Yasin: 9
Markus 16: 15—16
7. Penulisan bilangan dengan huruf dilakukan sebagai berikut.
a. Bilangan Utuh
Misalnya: dua belas (12), tiga puluh (30), lima ribu (5.000), dan
sebagainya.
b. Bilangan Pecahan
Misalnya: setengah atau seperdua (1/2), tiga perempat (3/4), dua
persepuluh (2/10), tiga dua-pertiga (3 2/3), satu persen (1%), dan
sebagainya.
8. Penulisan bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara berikut.
Misalnya:
abad XX => abad ke-20 => abad kedua puluh
Perang Dunia II => Perang Dunia Ke-2 => Perang Dunia Kedua
9. Penulisan angka yang mendapat akhiran -an dilakukan dengan cara
berikut.
Misalnya:
lima lembar uang 1.000-an (lima lembar uang seribuan)
tahun 1950-an (tahun seribu sembilan ratus lima puluhan)
uang 5.000-an (uang lima ribuan)
10. Penulisan bilangan dengan angka dan huruf sekaligus dilakukan dalam
peraturan perundang-undangan, akta, dan kuitansi.
Misalnya:
Setiap orang yang menyebarkan atau mengedarkan rupiah tiruan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Telah diterima uang sebanyak Rp2.950.000,00 (dua juta sembilan ratus
lima puluh ribu rupiah) untuk pembayaran satu unit televisi.
11. Penulisan bilangan yang dilambangkan dengan angka dan diikuti huruf
dilakukan seperti berikut.

20
Misalnya:
Saya lampirkan tanda terima uang sebesar Rp900.500,50 (sembilan
ratus ribu lima ratus rupiah lima puluh sen).
Bukti pembelian barang seharga Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
12. Bilangan yang digunakan sebagai unsur nama geografi ditulis dengan
huruf.
Misalnya: Kelapadua, Rajaampat, Simpanglima, Tigaraksa, dan
sebagainya.

J. Kata Ganti ku-, kau-, -ku, -mu, -nya


Kata ganti ku- dan kau- ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya,
sedangkan -ku, - mu, dan -nya ditulis serangkai dengan kata yang
mendahuluinya.
Misalnya:
Rumah itu telah kujual.
Majalah ini boleh kaubaca.
Bukuku, bukumu, dan bukunya tersimpan di perpustakaan.

K. Kata Sandang si dan sang


Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
Misalnya:
Surat itu dikembalikan kepada si pengirim.
Sang adik mematuhi nasihat sang kakak.
Harimau itu marah sekali kepada sang Kancil.
Catatan:
Huruf awal sang ditulis dengan huruf kapital jika sang merupakan unsur
nama Tuhan.
Misalnya:
Kita harus berserah diri kepada Sang Pencipta.
Pura dibangun oleh umat Hindu untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa.

6. Pemakaian Tanda Baca


A. Tanda Titik (.)
1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat pernyataan.
Misalnya:

21
Mereka duduk di sana.
Dia akan datang pada pertemuan itu.
2. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan,
ikhtisar, atau daftar.

Misalnya:

a. I. Kondisi Kebahasaan di Indonesia

A. Bahasa Indonesia

1. Kedudukan

Catatan:

(1) Tanda titik tidak dipakai pada angka atau huruf yang sudah bertanda
kurung dalam suatu perincian.
Misalnya:

Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai

1) bahasa nasional yang berfungsi, antara lain,

a) lambang kebanggaan nasional,

b) identitas nasional, dan

c) alat pemersatu bangsa;

2) bahasa negara ....

(2) Tanda titik tidak dipakai pada akhir penomoran digital yang lebih
dari satu angka (seperti pada Misalnya 2b).

(3) Tanda titik tidak dipakai di belakang angka atau angka terakhir
dalam penomoran deret digital yang lebih dari satu angka dalam judul
tabel, bagan, grafik, atau gambar.

Misalnya:

Tabel 1 Kondisi Kebahasaan di Indonesia

Tabel 1.1 Kondisi Bahasa Daerah di Indonesia

3. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik
yang menunjukkan waktu atau jangka waktu.
22
Misalnya:

pukul 01.35.20 (pukul 1 lewat 35 menit 20 detik atau pukul 1, 35


menit, 20 detik)

4. Tanda titik dipakai dalam daftar pustaka di antara nama penulis, tahun,
judul tulisan (yang tidak berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru),
dan tempat terbit.

Misalnya: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Peta


Bahasa di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta. Moeliono,
Anton M. 1989. Kembara Bahasa. Jakarta: Gramedia.

5. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau


kelipatannya yang menunjukkan jumlah.
Misalnya:
Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau.
Penduduk kota itu lebih dari 7.000.000 orang.
Anggaran lembaga itu mencapai Rp225.000.000.000,00.

Catatan:

(1) Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau
kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah.

Misalnya:

Dia lahir pada tahun 1956 di Bandung.

Nomor rekening panitia seminar adalah 0015645678.

(2) Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala
karangan, ilustrasi, atau tabel.

Misalnya:

Acara Kunjungan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Bentuk dan Kedaulatan (Bab I UUD 1945)

(3) Tanda titik tidak dipakai di belakang (a) alamat penerima dan
pengirim surat serta (b) tanggal surat.

Misalnya:

23
Yth. Direktur Taman Ismail Marzuki

Jalan Cikini Raya No. 73

Menteng

Jakarta 10330

B. Tanda Koma (,)

1. Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu pemerincian atau


pembilangan.

Misalnya:

Buku, majalah, dan jurnal termasuk sumber kepustakaan.

Satu, dua, ... tiga!

2. Tanda koma dipakai sebelum kata penghubung, seperti tetapi, melainkan,


dan sedangkan, dalam kalimat majemuk (setara).

Misalnya:

Ini bukan milik saya, melainkan milik ayah saya.

Dia membaca cerita pendek, sedangkan adiknya melukis panorama.

3. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat yang mendahului


induk kalimatnya.

Misalnya:

Karena baik hati, dia mempunyai banyak teman.

Agar memiliki wawasan yang luas, kita harus banyak membaca buku

Catatan:

Tanda koma tidak dipakai jika induk kalimat mendahului anak kalimat.

Misalnya:

Dia mempunyai banyak teman karena baik hati.

Kita harus banyak membaca buku agar memiliki wawasan yang luas.

24
4. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung
antarkalimat, seperti oleh karena itu, jadi, dengan demikian, sehubungan
dengan itu, dan meskipun demikian.

Misalnya:

Mahasiswa itu rajin dan pandai. Oleh karena itu, dia memperoleh beasiswa
belajar di luar negeri.

Anak itu memang rajin membaca sejak kecil. Jadi, wajar kalau dia menjadi
bintang pelajar

5. Tanda koma dipakai sebelum dan/atau sesudah kata seru, seperti o, ya, wah,
aduh, atau hai, dan kata yang dipakai sebagai sapaan, seperti Bu, Dik, atau
Nak.

Misalnya:

Wah, bukan main!

Hati-hati, ya, jalannya licin!

6. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain
dalam kalimat.

Misalnya:

Kata nenek saya, ―Kita harus berbagi dalam hidup ini.‖

―Kita harus berbagi dalam hidup ini,‖ kata nenek saya, ―karena manusia
adalah makhluk sosial.‖

Catatan:

Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung yang berupa
kalimat tanya, kalimat perintah, atau kalimat seru dari bagian lain yang
mengikutinya.

Misalnya:

“Masuk ke dalam kelas sekarang!” perintahnya.

25
7. Tanda koma dipakai di antara (a) nama dan alamat, (b) bagian-bagian
alamat, (c) tempat dan tanggal, serta (d) nama tempat dan wilayah atau
negeri yang ditulis berurutan.

Misalnya:

Sdr. Abdullah, Jalan Kayumanis III/18, Kelurahan Kayumanis, Kecamatan


Matraman, Jakarta 13130

Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jalan Salemba Raya 6,


Jakarta

8. Tanda koma dipakai untuk memisahkan bagian nama yang dibalik


susunannya dalam daftar pustaka.

Misalnya:

Gunawan, Ilham. 1984. Kamus Politik Internasional. Jakarta: Restu Agung.

Halim, Amran (Ed.) 1976. Politik Bahasa Nasional. Jilid 1. Jakarta: Pusat
Bahasa.

9. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki atau catatan
akhir.

Misalnya:

Sutan Takdir Alisjahbana, Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia, Jilid 2


(Jakarta: Pustaka Rakyat, 1950), hlm. 25.

Hadikusuma Hilman, Ensiklopedi Hukum Adat dan Adat Budaya Indonesia


(Bandung: Alumni, 1977), hlm. 12.

10. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan singkatan gelar akademis
yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri,
keluarga, atau marga.

Misalnya:

B. Ratulangi, S.E.

Ny. Khadijah, M.A.

Catatan:

26
Bandingkan Siti Khadijah, M.A. dengan Siti Khadijah M.A. (Siti Khadijah
Mas Agung)

11. Tanda koma dipakai sebelum angka desimal atau di antara rupiah dan sen
yang dinyatakan dengan angka.

Misalnya: 12,5 m dan Rp750,00

12. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan atau keterangan
aposisi.

Misalnya:

Di daerah kami, Misalnya, masih banyak bahan tambang yang belum


diolah.

Semua siswa, baik laki-laki maupun perempuan, harus mengikuti latihan


paduan suara.

13. Tanda koma dapat dipakai di belakang keterangan yang terdapat pada awal
kalimat untuk menghindari salah baca/salah pengertian.

Misalnya:

Dalam pengembangan bahasa, kita dapat memanfaatkan bahasa daerah.

Atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih.

Bandingkan dengan:

Dalam pengembangan bahasa kita dapat memanfaatkan bahasa daerah.

Atas perhatian Saudara kami ucapkan terima kasih

C. Titik Koma (;)

1. Tanda titik koma dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk
memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara yang lain di dalam
kalimat majemuk.

Misalnya:

Hari sudah malam; anak-anak masih membaca buku.

27
Ayah menyelesaikan pekerjaan; Ibu menulis makalah; Adik membaca
cerita pendek.

2. Tanda titik koma dipakai pada akhir perincian yang berupa klausa.

Misalnya:

Syarat penerimaan pegawai di lembaga ini adalah

(1) berkewarganegaraan Indonesia;

(2) berijazah sarjana S-1; dan

(3) berbadan sehat.

3. Tanda titik koma dipakai untuk memisahkan bagian-bagian pemerincian


dalam kalimat yang sudah menggunakan tanda koma.

Misalnya:

Ibu membeli buku, pensil, dan tinta; baju, celana, dan kaus; pisang, apel,
dan jeruk. Agenda rapat ini meliputi

a. pemilihan ketua, sekretaris, dan bendahara;

b. penyusunan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan program

kerja; dan

c. pendataan anggota, dokumentasi, dan aset organisasi.

D. Tanda Titik Dua (:)

1. Tanda titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap yang diikuti
pemerincian atau penjelasan.

Misalnya:

Mereka memerlukan perabot rumah tangga: kursi, meja, dan lemari.

Hanya ada dua pilihan bagi para pejuang kemerdekaan: hidup atau mati.

2. Tanda titik dua tidak dipakai jika perincian atau penjelasan itu merupakan
pelengkap yang mengakhiri pernyataan.

28
Misalnya:

Kita memerlukan kursi, meja, dan lemari.

Tahap penelitian yang harus dilakukan meliputi

a. persiapan,

b. pengumpulan data,

c. pengolahan data, dan

d. pelaporan.

3. Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan
pemerian.

Misalnya:

a. Ketua: Ahmad Wijaya

Sekretaris: Siti Aryani

Bendahara: Aulia Arimbi

4. Tanda titik dua dipakai dalam naskah drama sesudah kata yang
menunjukkan pelaku dalam percakapan.

Misalnya:

Ibu: "Bawa koper ini, Nak!"

Amir: "Baik, Bu."

Ibu: "Jangan lupa, letakkan baik-baik!"

5. Tanda titik dua dipakai di antara (a) jilid atau nomor dan halaman, (b) surah
dan ayat dalam kitab suci, (c) judul dan anak judul suatu karangan, serta (d)
nama kota dan penerbit dalam daftar pustaka.

Misalnya:

Horison, XLIII, No. 8/2008: 8

Surah Albaqarah: 2—5

Matius 2: 1—3

29
Dari Pemburu ke Terapeutik: Antologi Cerpen Nusantara

Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Jakarta: Pusat Bahasa.

E. Tanda Hubung (-)

1. Tanda hubung dipakai untuk menandai bagian kata yang terpenggal oleh
pergantian baris.

Misalnya:

Di samping cara lama, diterapkan juga ca-

ra baru ....

Kini ada cara yang baru untuk meng-

ukur panas.

2. Tanda hubung dipakai untuk menyambung unsur kata ulang.

Misalnya: anak-anak, berulang-ulang, dan sebagainya.

3. Tanda hubung dipakai untuk menyambung tanggal, bulan, dan tahun yang
dinyatakan dengan angka atau menyambung huruf dalam kata yang dieja
satu-satu.

Misalnya: 11-11-2013 dan p-a-n-i-t-i-a

4. Tanda hubung dapat dipakai untuk memperjelas hubungan bagian kata atau
ungkapan.

Misalnya: ber-evolusi, dua-puluh-lima ribuan (25 x 1.000), dan 23/25 (dua-


puluh-tiga perdua-puluh-lima)

5. Tanda hubung dipakai untuk merangkai

a. se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital (se-
Indonesia, se-Jawa Barat);

b. ke- dengan angka (peringkat ke-2);

c. angka dengan –an (tahun 1950-an);

30
d. kata atau imbuhan dengan singkatan yang berupa huruf kapital (hari-
H, sinar-X, ber-KTP, di-SK-kan);

e. kata dengan kata ganti Tuhan (ciptaan-Nya, atas rahmat-Mu);

f. huruf dan angka (D-3, S-1, S-2); dan

g. kata ganti -ku, -mu, dan -nya dengan singkatan yang berupa huruf
kapital (KTP-mu, SIM-nya, STNK-ku).

Catatan:

Tanda hubung tidak dipakai di antara huruf dan angka jika angka
tersebut melambangkan jumlah huruf.

Misalnya:

BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga


Kerja Indonesia)

P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan)

6. Tanda hubung dipakai untuk merangkai unsur bahasa Indonesia dengan


unsur bahasa daerah atau bahasa asing.

Misalnya: di-sowan-i (bahasa Jawa, “didatangi”), ber-pariban (bahasa


Batak, “bersaudara sepupu”), di-back up, me-recall, dan sebagainya.

7. Tanda hubung digunakan untuk menandai bentuk terikat yang menjadi


objek bahasan.

Misalnya:

Kata pasca- berasal dari bahasa Sanskerta.

Akhiran -isasi pada kata betonisasi sebaiknya diubah menjadi


pembetonan.

F. Tanda Pisah (-)

1. Tanda pisah dapat dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat
yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat.

Misalnya:
31
Kemerdekaan bangsa itu—saya yakin akan tercapai—diperjuangkan oleh
bangsa itu sendiri.

Keberhasilan itu—kita sependapat—dapat dicapai jika kita mau

berusaha keras.

2. Tanda pisah dapat dipakai juga untuk menegaskan adanya keterangan


aposisi atau keterangan yang lain.

Misalnya:

Soekarno-Hatta—Proklamator Kemerdekaan RI—diabadikan menjadi


nama bandar udara internasional.

Rangkaian temuan ini—evolusi, teori kenisbian, dan pembelahan atom—


telah mengubah konsepsi kita tentang alam semesta.

3. Tanda pisah dipakai di antara dua bilangan, tanggal, atau tempat yang
berarti 'sampai dengan' atau 'sampai ke'.

Misalnya: Tahun 2010—2013

Tanggal 5—10 April 2013

Jakarta—Bandung

G. Tanda Tanya (?)

1. Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.

Misalnya:

Kapan Hari Pendidikan Nasional diperingati?

Siapa pencipta lagu Indonesia Raya?

2. Tanda tanya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian


kalimat yang disangsikan atau yang kurang dapat dibuktikan kebenarannya.

Misalnya:

Monumen Nasional mulai dibangun pada tahun 1961 (?).

Di Indonesia terdapat 740 (?) bahasa daerah.

32
H. Tanda Seru (!)

Tanda seru dipakai untuk mengakhiri ungkapan atau pernyataan yang berupa
seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan,
atau emosi yang kuat.

Misalnya:

Mari kita dukung Gerakan Cinta Bahasa Indonesia!

Bayarlah pajak tepat pada waktunya!

I. Tanda Elipsis (…)

1. Tanda elipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau
kutipan ada bagian yang dihilangkan.

Misalnya:

Penyebab kemerosotan ... akan diteliti lebih lanjut.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bahasa negara


ialah....

..., lain lubuk lain ikannya.

Catatan:

(1) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.

(2) Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik (jumlah titik
empat buah).

2. Tanda elipsis dipakai untuk menulis ujaran yang tidak selesai dalam dialog.

Misalnya:

” Menurut saya ... seperti ... bagaimana, Bu?”

“Jadi, simpulannya ... oh, sudah saatnya istirahat.”

Catatan:

33
(1) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.

(2) Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik (jumlah
titik empat buah).

J. Tanda Petik (“…”)

1. Tanda petik dipakai untuk mengapit petikan langsung yang berasal dari
pembicaraan, naskah, atau bahan tertulis lain.

Misalnya:

"Merdeka atau mati!" seru Bung Tomo dalam pidatonya.

"Kerjakan tugas ini sekarang!" perintah atasannya. "Besok akan dibahas


dalam rapat."

2. Tanda petik dipakai untuk mengapit judul sajak, lagu, film, sinetron, artikel,
naskah, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat.

Misalnya:

Sajak "Pahlawanku" terdapat pada halaman 125 buku itu.

Marilah kita menyanyikan lagu "Maju Tak Gentar"!

Makalah "Pembentukan Insan Cerdas Kompetitif" menarik perhatian


peserta seminar.

3. Tanda petik dipakai untuk mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau
kata yang mempunyai arti khusus.

Misalnya:

"Tetikus" komputer ini sudah tidak berfungsi.

Dilarang memberikan "amplop" kepada petugas!

K. Tanda Petik Tunggal (‘…’)

1. Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit petikan yang terdapat dalam
petikan lain.

34
Misalnya:

Tanya dia, "Kaudengar bunyi 'kring-kring' tadi?"

"Kudengar teriak anakku, 'Ibu, Bapak pulang!', dan rasa letihku lenyap
seketika," ujar Pak Hamdan.

2. Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna, terjemahan, atau


penjelasan kata atau ungkapan.

Misalnya:

Tergugat ‘yang digugat’

Retina ‘dinding mata sebelah kanan’

Tadulako ‘panglima’

L. Tanda Kurung ((…))

1. Tanda kurung dipakai untuk mengapit tambahan keterangan atau


penjelasan.

Misalnya:

Dia memperpanjang surat izin mengemudi (SIM).

Warga baru itu belum memiliki KTP (kartu tanda penduduk).

2. Tanda kurung dipakai untuk mengapit keterangan atau penjelasan yang


bukan bagian utama kalimat.

Misalnya:

Sajak Tranggono yang berjudul "Ubud" (nama tempat yang terkenal di


Bali) ditulis pada tahun 1962.

Keterangan itu (lihat Tabel 10) menunjukkan arus perkembangan baru


pasar dalam negeri.

3. Tanda kurung dipakai untuk mengapit huruf atau kata yang keberadaannya
di dalam teks dapat dimunculkan atau dihilangkan.

Misalnya:

35
Dia berangkat ke kantor selalu menaiki (bus) Transjakarta.

Pesepak bola kenamaan itu berasal dari (Kota) Padang.

4. Tanda kurung dipakai untuk mengapit huruf atau angka yang digunakan
sebagai penanda pemerincian.

Misalnya:

Faktor produksi menyangkut (a) bahan baku, (b) biaya produksi, dan (c)
tenaga kerja. Dia harus melengkapi berkas lamarannya dengan
melampirkan

(1) akta kelahiran,

(2) ijazah terakhir, dan

(3) surat keterangan Kesehatan

M. Tanda Kurung Siku ([…])

1. Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit huruf, kata, atau kelompok kata
sebagai koreksi atau tambahan atas kesalahan atau kekurangan di dalam
naskah asli yang ditulis orang lain.

Misalnya:

Sang Sapurba men[d]engar bunyi gemerisik.

Penggunaan bahasa dalam karya ilmiah harus sesuai [dengan] kaidah


bahasa Indonesia.

Ulang tahun [Proklamasi Kemerdekaan] Republik Indonesia dirayakan


secara khidmat.

2. Tanda kurung siku dipakai untuk mengapit keterangan dalam kalimat


penjelas yang terdapat dalam tanda kurung.

Misalnya:

Persamaan kedua proses itu (perbedaannya dibicarakan di dalam Bab II


[lihat halaman 35─38]) perlu dibentangkan di sini.

N. Tanda Garis Miring (/)

36
1. Tanda garis miring dipakai dalam nomor surat, nomor pada alamat, dan
penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim.

Misalnya:

Nomor: 7/PK/II/2013

Jalan Kramat III/10

tahun ajaran 2012/2013

2. Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata dan, atau, serta setiap.

Misalnya:

mahasiswa/mahasiswi ‘mahasiswa dan mahasiswi’

dikirimkan lewat darat/laut ‘dikirimkan lewat darat atau lewat laut’

harganya Rp1.500,00/lembar ‘harganya Rp1.500,00 setiap lembar’

3. Tanda garis miring dipakai untuk mengapit huruf, kata, atau kelompok kata
sebagai koreksi atau pengurangan atas kesalahan atau kelebihan di dalam
naskah asli yang ditulis orang lain.

Misalnya:

Buku Pengantar Ling/g/uistik karya Verhaar dicetak beberapa kali.

Asmara/n/dana merupakan salah satu tembang macapat budaya Jawa.

Dia sedang menyelesaikan /h/utangnya di bank.

O. Tanda Penyikat atau Apostrof (‘)

Tanda penyingkat dipakai untuk menunjukkan penghilangan bagian kata


atau bagian angka tahun dalam konteks tertentu.

Misalnya:

Mereka sudah datang, 'kan? ('kan = bukan)

Malam 'lah tiba. ('lah = telah)

5-2- ̳13 (‘13 = 2013)

37
7. Penulisan Unsur Serapan

Dalam perkembangannya bahasa Indonesia menyerap unsur dari berbagai


bahasa, baik dari bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali, maupun dari
bahasa asing, seperti bahasa Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, Cina, dan Inggris.
Berdasarkan taraf integrasinya, unsur serapan dalam Bahasa Indonesia dapat dibagi
menjadi dua kelompok besar. Pertama, unsur asing yang belum sepenuhnya terserap ke
dalam bahasa Indonesia, seperti force majeur, de facto, de jure, dan l’exploitation de
l'homme par l'homme. Unsur-unsur itu dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi
cara pengucapan dan penulisannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur asing
yang penulisan dan pengucapannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.
Dalam hal ini, penyerapan diusahakan agar ejaannya diubah seperlunya sehingga
bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.

38
B. Penggunaan Diksi
a. Pengertian Diksi

Menurut Widyamartaya, diksi adalah kemampuan seseorang untuk membedakan suatu


nuansa makna dengan tepat sesuai dengan gagasan yang disampaikan. Bagi Keraf, diksi terbagi
menjadi dua, yaitu pilihan kata atau pengertian kata yang digunakan untuk menyampaikan
suatu gagasan, pengungkapan yang tepat serta gaya penyampaian yang lebih baik dan sesuai
dengan situasi. Kedua, diksi sebagai sebuah kemampuan untuk membedakan secara tepat
nuansa makna dari gagasan yang disampaikan. Oleh sebab itu, diksi dapat dipahami sebagai
pemilihan kata untuk menggambarkan sebuah cerita serta memberikan makna sesuai keinginan
penulis dengan tepat. Akan tetapi, diksi tidak hanya sebatas pada pemilihan kata saja, namun
juga meliputi persoalan tentang gaya bahasa, kesesuaian kata, serta ketepatan dalam
mengekspresikan maksud dan tujuan sehingga pembaca dan pendengar mampu memahami
pesan yang ingin disampaikan dengan baik. Dalam pembuatan karya tulis, diksi termasuk pada
pembahasan aspek kata dalam sajak. Aspek kata di dalam diksi meliputi denotasi, konotasi,
morfologi, semantik, dan etimologi.

b. Fungsi Diksi

1. Membantu pembaca memahami pesan karya sastra


Pemilihan diksi yang tepat dalam penulisan karya sastra bisa membuat orang yang membaca
lebih mudah memahami pesan yang ingin disampaikan oleh penulis atau pengarang melalui
hasil tulisannya.

Pesan adalah setiap pemberitahuan, kata atau komunikasi, baik lisan maupun tertulis yang
dikirimkan dari satu orang ke orang lain. Pesan ini menjadi inti dari setiap proses komunikasi
yang terjalin.

2. Membantu komunikasi menjadi lebih efektif


Pemilihan diksi dalam penulisan karya sastra juga bisa membantu membuat komunikasi
menjadi lebih efektif. Pemahaman yang baik dalam penggunaan atau pemilihan diksi sangat
penting, agar tercipta suatu komunikasi yang efektif dan efisien.

Dalam praktik berbahasa yang sesungguhnya, diksi bisa menimbulkan gagasan yang tepat
sekaligus kesalahpahaman bagi pendengarnya. Kemudian, hal ini bisa menimbulkan dampak
yang luar biasa bagi masyarakat.

39
3. Mengekspresikan gagasan
Penggunaan atau pemilihan diksi juga bisa berupa bentuk ekspresi yang ada dalam gagasan
secara tertulis maupun terucap. Penggunaan diksi yang tepat dan selaras bisa membantu
membangun imajinasi pembaca atau pendengar ketika membaca atau mendengarkan sebuah
karya sastra.

Ekspresi adalah istilah yang merujuk pada sesuatu yang memperlihatkan perasaan seseorang.
Karena, mengekspresikan perasaan tidak hanya melalui mimik wajah, tetapi juga kata-kata
dalam tulisan atau ketika berbicara.

4. Hiburan
Pemilihan diksi yang tepat juga bisa berfungsi sebagai hiburan bagi pembaca maupun
pendengarnya. Hal ini berkaitan dengan setiap pesan dan ekspresi dalam sebuah karya sastra.

Hiburan adalah segala sesuatu yang bisa berbentuk kata-kata, tempat, benda atau perilaku yang
bisa menjadi penghibur atau pelipur hati yang sedang susah atau sedih. Pada umumnya, hiburan
bisa berupa permainan video, film, musik, opera, drama atau permainan. Akan tetapi, sekarang
hiburan juga bisa berupa tulisan karya sastra.

c. Syarat-syarat Pemilihan Diksi

Berikut beberapa syarat dalam pemilihan diksi berdasarkan pendapat Gorys Keraf.

1. Penggunaan kata konotasi dan denotasi yang tepat. Penulis harus mampu membedakan
penggunaan kata yang bermakna konotatif dan denotatif dengan cermat. Kata konotatif
bermakna tidak murni dan mengandung perasaan yang bersifat pribadi. Sementara itu,
kata denotatif bermakna murni dan objektif tanpa melibatkan perasaan tertentu.
2. Penggunaan kata sinonim. Penulis harus cermat dalam menggunakan kata dengan
makna yang sama. Beberapa kata digunakan dalam konteks yang berbeda, meskipun
memiliki arti yang sama. Misalnya, dalam penggunaan ialah, penulis harus menuliskan
penjelasan makna yang sifatnya sinonim, bukan definisi formal. Penggunaan salah satu
kata juga dapat terdengar lebih halus daripada kata lainnya.
3. Kemampuan membedakan kata-kata yang memiliki ejaan sama. Terdapat kata yang
memiliki ejaan sama, tetapi digunakan pada konteks dan tujuan yang sangat berbeda.
Oleh sebab itu, penulis perlu memperhatikan kembali penggunaan kata agar sesuai
dengan maksud kalimat yang ingin dituliskan. Contohnya, interferensi (saling
mempengaruhi) dan inferensi (kesimpulan).

40
4. Penggunaan kata kerja pada kata yang idiomatis. Idiomatis adalah rangkaian kata yang
maknanya menyimpang atau berbeda dari unsur-unsur pembangunnya. Dalam hal ini,
sangat penting bagi penulis untuk cermat dalam menggunakan kata idiomatis.
5. Kemampuan membedakan kata khusus dan umum dalam tulisan. Kata khusus
merupakan kata yang digunakan dalam penyusunan kalimat yang memiliki makna
terbatas, lebih spesifik, dan sempit. Sebaliknya, kata umum digunakan pada
penyusunan kalimat yang cakupannya lebih lebar dan maknanya lebih luas. Dalam
penulisan karangan ilmiah sebaiknya menggunakan kata khusus agar pembaca
mendapatkan pemahaman yang lebih spesifik.
6. Menggunakan ragam baku. Penulis sebaiknya tidak mencampuradukkan kata tidak
baku ke dalam penulisan karya tulis maupun karangan ilmiah. Misalnya, hakikat (baku)
dan hakekat (tidak baku).
7. Tidak menafsirkan makna kata secara subjektif berdasarkan pendapat pribadi. Penulis
dapat memastikan terlebih dahulu makna kata yang ingin disampaikan sebelum
menuliskannya agar tidak terjadi kesalahan penggunaan kata yang tidak sesuai dengan
maksud kalimat.

d. Jenis Diksi
1. Diksi Berdasarkan Makna

Menurut Chaer (2009: 65), perbedaan diksi berdasarkan makna denotatif dan konotatif sesuai
pada ada atau tidak adanya nilai rasa pada sebuah kata. Singkatnya, denotatif bersifat umum
dan konotatif bersifat khusus.

• Makna Denotatif
Jenis diksi berdasarkan makna denotatif adalah diksi dengan makna yang sebenarnya dari suatu
kata atau kalimat. Dalam kata lain, makna denotatif adalah makna objektif tanpa membawa
perasaan tertentu atau murni.

Diksi dengan makna denotatif memiliki ciri-ciri, antara lain memiliki makna yang lugas karena
sifatnya yang literal dan biasanya hasil dari observasi dari panca indra, yakni penglihatan,
penciuman, pendengaran, perasaan atau Pengalaman fisik lainnya. Contoh diksi dengan makna
denotatif, meliputi:

- Jerawat disebabkan oleh sebum pada wajah.


- Jerapah memiliki leher yang lebih panjang dibandingkan hewan-hewan lainnya.

41
- Budi sangat bekerja keras untuk menggapai cita-citanya.

• Makna Konotatif

Jenis diksi berdasarkan makna konotatif adalah diksi, kata atau kalimat yang memiliki arti
bukan sebenarnya. Makna konotatif juga bisa diartikan sebagai makna kias yang berkaitan
dengan nilai rasa.

Diksi dengan makna konotatif ini dipengaruhi oleh nilai dan norma yang dipegang oleh
masyarakat tertentu. Meski begitu, makna dari diksi ini juga akan berubah seiring dengan
perubahan nilai dan norma di masyarakat.

Berikut ini, beberapa contoh diksi dengan makna konotatif, antara lain:

- Banyak pahlawan yang telah gugur dalam medan perang. (gugur memiliki makna
meninggal dunia).
- Tasya adalah anak emas di kelas karena perilakunya yang sangat rajin. (anak emas
memiliki makna anak yang paling disayang).
- Selepas lulus kuliah, Rifky memilih berprofesi sebagai kuli tinta. (kuli tinta memiliki
makna sebagai wartawan).

2. Diksi Berdasarkan Leksikal


a. Sinonim
Sinonim merupakan dua kata atau lebih yang memiliki persamaan makna. Penggunaan diksi
sinonim bertujuan untuk membuat apa yang dituliskan menjadi lebih sesuai dengan ekspresi
yang ingin diungkapkan.

Adapun contoh penggunaan diksi berdasarkan leksikal sinonim, seperti mampus yang
mengekspresikan hal-hal kasar dan wafat yang mengekspresikan hal-hal yang lebih halus

b. Antonim
Antonim adalah pemilihan diksi atau kata yang memiliki makna berlawanan atau berbeda.
Adapun contoh pemilihan diksi berdasarkan leksikal antonim, seperti :

− Naik x turun
− Besar x kecil
− Tinggi x rendah
− Hemat x boros.

42
c. Homonim
Homonim merupakan pemilihan diksi yang memiliki pelafalan dan ejaan sama, tetapi artinya
berbeda satu sama lain. Adapun contoh pemilihan diksi berdasarkan leksikal homonim, seperti
kata “bulan” yang bisa memiliki makna sebagai satelit alami di bumi sekaligus arti waktu.

d. Homofon
Homofon adalah pemilihan diksi yang memiliki ejaan dan makna berbeda, tetapi pelafalannya
sama. Adapun contoh diksi berdasarkan leksikal homofon, seperti “bank” dan “bang”. Kedua
kata itu memiliki arti dan ejaan yang berbeda, tetapi pelafalannya terdengar mirip.

e. Homograf
Homograf adalah kata yang memiliki lafal dan arti berbeda, tetapi ejaannya sama. Adapun
contoh pemilihan diksi berdasarkan leksikal homograf, seperti makanan kesukaan Karin adalah
“tahu” goreng dan Karin tidak “tahu” kalau hari ini dia libur. Dalam hal ini, tahu memiliki
ejaan yang sama, tetapi bunyi dan maknanya berbeda.

f. Polisemi
Polisemi adalah diksi atau frasa kata yang memiliki lebih dari satu arti, seperti bunga dan
kepala. Contohnya, orang yang menabung di Bank akan mendapatkan “bunga” setiap bulannya
dan Karin adalah bunga desa yang jadi incaran pada pria. Dalam hal ini, kata bunga memiliki
banyak makna, baik sebagai keuntungan, kecantikan atau sebuah tanaman.

g. Hipernim
Hipernim merupakan diksi yang mewakili banyak kata lainnya atau mencakup makna kata
lainnya. Contoh pemilihan diksi berdasarkan leksikal Hipernim, seperti kata sempurna yang
bisa memiliki arti sebagai nilai yang baik, bagus, luar biasa dan lainnya.

h. Hiponim
Hiponim merupakan diksi yang bisa terwakili oleh kata hipernim. Contoh, pemilihan diksi
berdasarkan leksikal hiponim, seperti ada binatang liar di kebun binatang, yang meliputi gajah,
singa, buaya, rusa, kuda dan lainnya. Pada kalimat itu, kata binatang liar termasuk hipernim.
Sedangkan, gajah, singa, buaya dan lainnya termasuk hiponim.

43
C. Istilah Dalam Ragam Ilmiah

Pengertian Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah

Ragam ilmiah atau ragam bahasa keilmuan, yaitu corak bahasa yang digunakan dalam
penulisan karya ilmiah. Ragam bahasa ilmiah harus dapat menjadi wahana pemikiran
ilmiah yang tertuang dalam teks karya ilmiah. Pengertian ragam bahasa ilmiah dan
karakteristik ragam ilmiah dalam bahasa Indonesia diuraikan sebagai berikut:

Pengertian Ragam Ilmiah

Ilmiah merupakan kualitas dari tulisan yang membahas persoalan dalam bidang ilmu
tertentu dengan bahasa Indonesia. Kualitas keilmuan juga didukung oleh pemakaian
bahasa ragam ilmiah. Bahasa Indonesia ragam ilmiah merupakan salah satu corak
bahasa Indonesia yang digunakan terutama dalam penulisan karya ilmiah. Sebagai
bahasa yang digunakan untuk memaparkan fakta, konsep, prinsip, teori atau gabungan
dari keempatnya, bahasa Indonesia diharapkan dapat menjadi media yang efektif dan
efisien untuk komunikasi ilmiah baik secara tertulis maupun lisan.

Karakteristik Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah

Adapun karakteristik Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah adalah sebagai berikut:

1) Cendekia

Artinya bahasa Indonesia digunakan secara tepat dan saksama sehingga gagasan yang
disampaikan penulis dapat diterima oleh pembaca secara tepat.

2) Lugas dan Jelas

Artinya bahasa Indonesia mampu menyampaikan gagasan ilmiah secara jelas dan tepat.
Untuk itu, setiap gagasan diungkapkan secara langsung sehingga makna yang
ditimbulkan adalah makna lugas.

3) Bertolak dari gagasan

Artinya penonjolan diarahkan pada gagasan atau hal-hal yang diungkapkan tidak pada
penulis atau pelaku.

4) Formal

44
Artinya tingkat keformalan bahasa dalam karya ilmiah dapat dilihat pada lapis kosa
kata, pembentukan kata dan kalimat. Kosa kata yang digunakan bernada formal dan
setiap kalimatnya memiliki unsur yang lengkap.

5) Obyektif

Artinya hindari kata-kata yang menunjukkan sifat subyektif.

6) Ringkas dan padat

Tidak adanya unsur bahasa yang mubazir (pemborosan kata).

7) Konsisten

Artinya ditampakkan pada penggunaan unsur bahasa, tanda baca, dan istilah yang
sesuai dengan kaidah yang digunakan secara konsisten.

Ragam Bahasa Ilmiah

Suatu ragam bahasa, terutama ragam bahasa jurnalistik dan hukum tidak menutup
kemungkinan untuk menggunakan bentuk kosa kata ragam bahasa baku supaya dapat
menjadi panutan bagi masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Maka dari itu yang perlu
diperhatikan ialah kaidah tentang norma yang berlaku yang berkaitan dengan ragam
bahasa.

Ragam Bahasa Berdasarkan Media atau Sarana

• Ragam Bahasa Lisan

Ragam lisan adalah bahasa yang diujarkan oleh pemakai bahasa. Kita dapat
menemukan ragam lisan yang standar, misalnya pada saat orang berpidato atau
memberi sambutan, dalam situasi perkuliahan, dan ceramah. Ada pula jenis ragam lisan
yang tidak standar, misalnya dalam percakapan antar teman dipasar, atau dalam
kesempatan nonformal lainnya.

• Ragam Bahasa Tulis

Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan
dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata
cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain
dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut dalam kelengkapan unsur tata bahasa seperti

45
bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan
ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.

Ragam Bahasa Berdasarkan Penutur

• Ragam Bahasa Berdasarkan Daerah

Kita sering menyebutnya dengan ragam daerah (logat/dialek). Luasnya pemakaian


bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang
digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang
digunakan oleh orang Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing
memiliki ciri khas yang berbeda-beda.

• Ragam Bahasa Berdasarkan Pendidikan Penutur

Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi berbeda dengan kelompok orang yang memiliki latar belakang
pendidikan yang rendah, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing
misalnya fitnah=pitnah, kompleks=komplek, vitamin=pitamin, video=pideo,
film=pilm, fakultas=pakultas.

• Ragam Bahasa Berdasarkan Sikap Penutur

Ragam bahasa juga dipengaruhi oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika
lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi,
akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembicara terhadap penutur atau
penulis juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa
seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat jarak
antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, maka akan digunakan
ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara
akan semakin resmi dan semakin tinggi pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat keformalan, makan makin rendah pula tingkat
kebakuan bahasa yang digunakan.

Maka dari itu dikenal Ragam Bahasa Baku dan Ragam Bahasa Non Baku.

Ragam Bahasa Baku dipakai dalam :

a) Pembicaraan di muka umum, misalnya pidato kenegaraan, seminar, rapat


kedinasan.

46
b) Pembicaraan dengan orang yang dihormati, misalnya dengan atasan, guru atau
dosen, pejabat.
c) Komunikasi resmi, misalnya surat dinas, surat lamaran pekerjaan, undang-undang.
d) Wacana teknis, misalnya laporan penelitian, makalah, tesis, disertasi.

Sementara Ragam Bahasa Non Baku dipakai dalam percakapan yang tidak resmi
(informal) seperti percakapan yang dilakukan di dalam rumah tangga, pinggir jalan, di
pasar, lapangan dan lain sebagainya. Jadi, pemakaian bahasa di luar suasana formal
(resmi) hanya berfungsi sebagai alat komunikasi antar sesama.

• Ragam Bahasa Menurut Pokok Persoalan atau Bidang Pemakaian

Pada kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan. Dalam


membicarakan pokok persoalan yang berbeda tentunya kita pun menggunakan ragam
bahasa yang berbeda pula. Ragam bahasa yang digunakan dalam lingkungan beragama
berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan kedokteran, hukum, atau
pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik, berbeda dengan bahasa yang
digunakan dalam lingkungan ekonomi/perdagangan, olahraga, seni, atau teknologi.
Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok persoalan atau bidang pemakaian ini
dikenal pula dengan istilah laras bahasa.

Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah


kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut, misalnya
masjid, gereja, wihara merupakan kata-kata yang digunakan dalam bidang agama.
Koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran. Improvisasi,
maestro, kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni. Pengacara, duplik,
terdakwa, digunakan dalam lingkungan hukum. Pemanasan, peregangan, wasit
digunakan dalam lingkungan olahraga. Kalimat yang digunakan berbeda sesuai
dengan pokok persoalan yang dikemukakan. Adapun kalimat dalam undang-undang
berbeda dengan kalimat yang terdapat dalam sastra, karya ilmiah, koran/majalah, dan
lain-lain.

Menggunakan Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah dalam Menulis dan Presentasi


Ilmiah

Menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah dalam menulis dan presentasi ilmiah
berarti memanfaatkan potensi bahasa Indonesia untuk memaparkan fakta, konsep,
prinsip, teori atau gabungan dari keempat hal tersebut secara tertulis dan lisan. Pada

47
saat menulis tulisan ilmiah penulis harus berusaha keras agar bahasa Indonesia yang
digunakan benar-benar menunjukkan sifat cendekia, lugas dan jelas, bertolak dari
gagasan, formal, obyektif, ringkas dan padat, serta konsisten.

Ciri-ciri penggunaan bahasa Indonesia ragam ilmiah dalam penulisan karya ilmiah
adalah sebagai berikut :

1) Baku, struktur bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia baku,
baik mengenai struktur bahasa kalimat maupun kata. Demikian juga, pemilihan kata
istilah dan penulisan yang sesuai dengan kaidah ejaan.
2) Logis, ide atau pesan yang disampaikan melalui bahasa Indonesia ragam ilmiah
dapat diterima dengan masuk akal. Contoh : “Masalah pengembangan dakwah kita
tingkatkan”. Ide kalimat tersebut tidak logis, pilihan kata “masalah” kurang tepat
atau tidak spesifik
3) Kuantitatif, keterangan yang dikemukakan pada kalimat dapat diukur secara pasti.
Contoh : “Da’i di Gunung Kidul “kebanyakan” lulusan perguruan tinggi”. Arti kata
kebanyakan relatif, mungkin bisa 5, 6, atau 10 orang. Jadi, dalam tulisan ilmiah
tidak sesuai untuk memilih kata “kebanyakan” kalimat di atas dapat dibenahi
menjadi “Da’i di Gunung Kidul 5 orang lulusan perguruan tinggi, dan yang 3 orang
lagi berasal dari lulusan pesantren”.
4) Tepat, ide yang diungkapkan harus sesuai dengan ide yang dimaksudkan oleh
penulis dan tidak mengandung makna ganda. Contoh : “Jamban pesantren yang
sudah rusak itu sedang diperbaiki”. Kalimat tersebut mempunyai makna ganda,
yang rusak itu jamban, atau mungkin juga pesantren.
5) Denotatif, kata yang digunakan atau dipilih sesuai dengan arti sesungguhnya dan
tidak diperhatikan perasaan karena sifat ilmunya yang objektif
6) Runtun, ide diungkapkan secara teratur dan sesuai dengan urutan serta
tingkatannya, baik dalam kalimat maupun dalam alinea paragraf yang berupa
seperangkat kalimat yang mengemban satu ide atau satu pokok bahasan.

Etika dan Estetika dalam Forum Ilmiah

Kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti adat kebiasaan. Terdapat
istilah lain yaitu moral yang berasal dari bahasa Latin. Dalam penggunaannya etika lebih
bersifat teori sedangkan moral bersifat praktik. Etika mengatur bagaimana semestinya manusia
bertindak, sedangkan moral mengatur bagaimana tindakan manusia itu. Secara singkat definisi

48
etika dan moral adalah ilmu yang menjelaskan tentang suatu hal yang seharusnya dilakukan
oleh manusia. Tujuan akhir etika untuk menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara
umum. Jika terdapat perbuatan maupun tingkah laku yang tidak sesuai maka akan dikenakan
sanksi etika.

Estetika berasal dari kata aesthetis yang artinya perasaan atau sensitivitas. Semiawan
(Susanto, 2011:119) menjelaskan estetika sebagai “the study of nature of beauty in the fine
art” yang mempelajari hakikat keindahan dalam seni. Menjadi salah satu cabang filsafat yang
mengkaji tentang hakikat keindahan. Estetika adalah ilmu yang membahas tentang keindahan
suatu objek yang dapat diamati oleh indra manusia.

Menurut KBBI forum adalah lembaga atau wadah yang menjadi tempat pertemuan
untuk bertukar pikiran secara bebas. Sedangkan ilmiah mengandung arti keilmuan. Sehingga
forum ilmiah merupakan suatu kegiatan dalam dunia ilmiah yang biasanya dilakukan untuk
menjadi sarana penyebaran informasi ilmiah baik secara konseptual maupun prosedural.
Kegiatan ini bertujuan untuk merangsang dan mengembangkan kemampuan intelegensi dan
komunikasi yang dapat dilaksanakan melalui berbagai aktivitas. Adapun ciri pokok suatu
forum ilmiah yaitu informatif yang dapat bersifat paparan maupun pandangan dan interaktif
yang bersifat saling aktif untuk melakukan aksi. Terdapat jenis-jenis forum ilmiah antara lain
diskusi panel, seminar, konferensi, lokakarya, pleno, rapat paripurna, diskusi kelompok,
informal debat, brainstorming, bedah buku, dan lain-lain. Pada setiap forum ilmiah memiliki
tujuan, dasar-dasar, metode, prosedur, dan tata krama yang berbeda beda sesuai dengan
kebutuhannya.

Etika dalam forum ilmiah

1. Etika berbahasa Indonesia dalam forum ilmiah

Kualitas pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar sejauh ini belum memenuhi
harapan. Kesesuaian pembicaraan secara konteks sering kali tidak diimbangi dengan kepatuhan
pada kaidah kebahasaan. Kebakuan dalam ragam baku bahasa Indonesia meliputi kebakuan
ejaan, peristilahan, kosakata, tata bahasa, dan lafal. Ragam baku bahasa Indonesia ialah ragam
bahasa Indonesia yang tata cara dan tertib penulisannya mengikuti ejaan bahasa Indonesia yang
disempurnakan serta tertib dalam pembentukan istilahnya yang berpedoman pada pedoman
umum pembentukan istilah bahasa Indonesia. Bahasa baku harus menggunakan kata-kata baku
dan harus taat asas pada kaidah ketatabahasaan.

49
Saat ini terdapat permasalahan kebiasaan penggunaan bahasa yang tidak konsisten.
Pemilihan kata yang terkesan bercampur antara kalimat baku dan tidak baku dilakukan seolah-
olah tindak sensor kesadaran untuk dapat berbahasa sesuai dengan kaidah yang semestinya.
Agar dapat menggunakan tata bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam forum ilmiah
perlu adanya sikap positif yang mengandung kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan
kesadaran adanya norma bahasa. Kesetiaan adalah sikap yang mendorong peserta forum dapat
memelihara konsistensi berbahasa Indonesia. Kebanggaan bahasa adalah sikap yang
mendorong peserta forum untung menggunakan bahasa Indonesia dengan percaya diri.
Kesadaran adanya norma adalah sikap yang mendorong peserta forum untuk menggunakan
bahasa Indonesia secara santun, tepat dan cermat

2. Etika berkomunikasi dalam forum ilmiah

Etika berkomunikasi sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan forum ilmiah tersebut. Etika
yang berkaitan dengan keyakinan dan prinsip cenderung relatif sehingga terdapat etika
berkomunikasi yang dapat diterapkan dalam forum ilmiah yaitu

1. Bersikap jujur, dewasa dan lapang dada dalam berkomunikasi


2. Menggunakan pesan bahasa yang efektif dan efisien
3. Menggunakan panggilan atau sebutan orang yang baik dan sopan
4. Bertingkah laku baik, dengan menggunakan pakaian yang pantas sesuai keadaan
5. Menjaga emosi sehingga tidak bersikap emosional
6. Menjaga sikap dan ucapan untuk menghindari menyinggung perasaan
7. Berinisiatif sebagai pembuka dialog
8. Menghargai hak-hak perseorangan dalam forum ilmiah
9. Peserta yang mengajukan pertanyaan wajib menyimak jawaban dan penyaji
10. Penanya memberikan apresiasi positif kepada penyaji

3. Etika peran dalam forum ilmiah

Dalam forum ilmiah terdapat peran yang saling berkontribusi antara satu dengan yang lain.
Adapun peran-peran tersebut antara lain penyaji, moderator, penulis atau notulen, peserta, dan
teknisi. Kegagalan forum untuk mencapai tujuan dapat terjadi karena peran-peran tersebut
kurang berperan bahkan tidak berfungsi secara optimal. Motivasi dan antusias peran-peran
tersebut dibutuhkan sehingga pelaksanaannya maksimal. Sehingga etika harus senantiasa

50
dijaga dalam forum ilmiah. Bagaimana seharusnya peran- peran tersebut berperilaku benar dan
diterima secara moral.

Peran penyaji sebagai orang yang bertanggung jawab dalam penyajian materi harus
menggunakan bahasa yang santun dengan mengarahkan kepada permasalahan yang disajikan.
Etikanya makalah ataupun materi bisa diberikan kepada peserta sebelum forum digelar agar
forum tidak disibukkan dengan aktivitas untuk membaca dan memahami makalah. Segala
informasi yang disampaikan oleh penyaji harus dapat dipertanggungjawabkan menyangkut
rujukan dari informasi. Peserta harus tulus menyimak segala informasi yang disampaikan oleh
penyaji dengan penuh hormat. Tanpa memberikan respon negatif yang menguji penyaji.

Moderator diharapkan bersikap moderat selama forum berlangsung. Sikap objektivitas dan
tidak berpihak atas dasar pertemanan, kekerabatan, kepentingan politik, ataupun kepentingan
lainnya harus dijauhkan. Karena berkaitan dengan kedisiplinan dan keadilan partisipasi dari
peran-peran forum ilmiah. Notulis harus memiliki kemampuan menyimak dan menulis dengan
efektif segala informasi yang dinyatakan dalam forum. Informasi penting yang ditulis
menyangkut kesepakatan penting, rekomendasi forum, pertanyaan, dan tanggapan. Teknisi
juga memiliki peran penting dalam pengoperasian teknologi yang sering kali dibutuhkan peran-
peran profesional dan berkompetensi dalam menyiapkan perangkat teknologi.

4. Estetika berbahasa Indonesia dalam forum ilmiah

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sangat ditekankan pada forum ilmiah.
Pemilihan kata yang sesuai dengan kaidah dan harus sesuai dengan konteks pembicaraan.
Kemudian penggunaan bahasa Indonesia yang baik dapat menjadi landasan dari komunikasi
interaktif forum ilmiah. Terkadang peserta dapat mengalami kebosanan dalam forum, sehingga
dibutuhkan pemakaian bahasa yang bercita rasa dan berjiwa dengan perangkat pendukung
lainnya. Gaya bahasa atau majas dapat menjadi rujukan dalam estetika berbahasa. Gaya bahasa
digunakan untuk memperkaya ekspresi penggunaan bahasa menjadi lebih indah dan berdaya
guna. Namun penggunaan bahasa bukan pula digunakan untuk melebih lebihkan atau
mengurangi fakta.

Estetika bahasa menghendaki ungkapan bahasa Indonesia yang bertenaga, selektif, dinamis,
dan tidak klise. Kata bertenaga dapat membangkitkan daya motivasi, persuasi, fantasi, dan daya
imajinasi pada benak pendengar. Upaya pendayagunaan berkaitan dengan memilih kata untuk
mengungkapkan sebuah gagasan, ide, atau pemikiran yang akhirnya menumbuhkan variasi
kalimat.

51
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ejaan adalah kaidah-kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata dan kalimat) di


dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda-tanda baca. Ejaan bahasa Indonesia
memiliki beberapa fungsi, di antaranya adalah sebagai landasan pembakuan tata bahasa,
landasan pembakuan kosa kata serta istilah, penyaring masuknya unsur bahasa lain ke bahasa
Indonesia, dan membantu pemahaman pembaca dalam mencerna informasi. Ejaan bahasa
Indonesia menjelaskan dengan rinci tentang aturan-aturan terkait dengan pemakaian huruf,
penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan penulisan kata serapan.

Diksi merupakan pemilihan kata yang tepat dalam menggambarkan sebuah cerita serta
memberikan makna sesuai keinginan penulis. Diksi digunakan untuk membantu pembaca
memahami pesan karya sastra, membantu komunikasi menjadi lebih efektif, mengekspresikan
gagasan, dan juga sebagai hiburan. Terdapat dua jenis diksi, yaitu berdasarkan makna dan
berdasarkan leksikal. Gorys Keraf menyampaikan beberapa syarat dan hal yang perlu
diperhatikan ketika memilih diksi yang akan digunakan agar pembaca tidak salah dalam
memahami maksud dan tujuan dari kalimat atau tulisan tersebut.

Bahasa Indonesia ragam ilmiah merupakan salah satu bahasa Indonesia yang digunakan
dalam menulis karya ilmiah. Sebagai bahasa yang digunakan untuk memaparkan fakta, konsep,
prinsip, teori atau gabungan dari keempatnya, bahasa Indonesia diharapkan menjadi media
efektif untuk komunikasi ilmiah, baik secara tertulis maupun lisan. Berapa ciri dari bahasa
Indonesia ragam ilmiah adalah formal, objektif, ringkas dan padat, serta konsisten. Setelah
mengetahui ragam bahasa lebih baik untuk menambah pengetahuan dan pengalaman melalui
etika dan estetika bahasa Indonesia dalam forum ilmiah yang kurang diperhatikan padahal
memegang peranan penting dalam keberhasilan untuk mencapai tujuan dalam pelaksanaan
forum ilmiah.

52
B. Saran

Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan dari makalah yang kami susun, baik dari
segi penulisan maupun bahasan yang kami sajikan. Oleh karena itu, kami berharap saran dan
kritik yang membangun dari para pembaca agar kami dapat menyusun makalah dengan lebih
baik lagi. Kami harap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan dapat menambah
wawasan kita dalam memahami penulisan ejaan bahasa Indonesia, penggunaan diksi, serta
ragam bahasa Indonesia dan penggunaannya dalam forum ilmiah.

53
Daftar Pustaka

Hani’ah, Munnal. 2018. Panduan Terlengkap PUEBI (Panduan Umum Ejaan Bahasa
Indonesia). Yogyakarta: Laksana.

Alwi, Hasan. 2006. Bahasa Indonesia: Pemakai dan Pemakaiannya. Jakarta: Pusat Bahasa

Madya, Suwarsih. 2006. Etika dalam Forum Ilmiah. Makalah, Disajikan dalam Lokakarya
Nasional Dosen MPK Bahasa Indonesia, 13-15 Mei di Jogjakarta.

Salmaa. 2023. “Pengertian Diksi: Fungsi, Jenis, dan Contoh Lengkap”.


https://penerbitdeepublish.com/pengertian-diksi/#1_Diksi_Berdasarkan_Makna.
Diakses pada 27 Februari 2023.

“ETIKA DAN ESTETIKA DALAM FORUM ILMIAH.” bojog selem, 12 October 2012,
http://dewabaguskrisna.blogspot.com/2012/10/etika-dan-estetika-dalam-forum-
ilmiah_12.html. Diakses pada 27 Februari 2023.

“Etika Dan Estetika Dalam Forum Ilmiah | PDF.” Scribd,


https://id.scribd.com/document/169569406/Etika-Dan-Estetika-Dalam-Forum-Ilmiah.
Diakses pada 27 Februari 2023.

54

Anda mungkin juga menyukai