Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HAK ASASI MANUSIA DAN PERLINDUNGAN ANAK

Pengasuhan Anak dalam Konteks Perlindungan

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Anak

Dosen Pengampu:

Dr. Hj. Rosdiana, M.A

Prof. Dr. Rusli, S.Ag., M.Soc.Sc

Disusun oleh:

ARZICHA PUTTY ANNISA


NIM: 21210435000021

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2022443 H
PENDAHULUAN
Pengetahuan dan keterampilan pengasuhan menyangkut aspek yang lebih luas, di
dalamnya termasuk mempromosikan hak dan perlindungan anak. Hak anak adalah hak asasi
manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi. Sedangkan perlindungan anak adalah
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.1
Pendekatan hak dan perlindungan anak menempatkan anak sebagai pemegang hak, dan
orang dewasa bertanggung jawab dan berkewajiban dalam pemenuhan hak dan perlindungan
anak. Pendekatan tersebut mengubah pola pengasuhan dari praktik yang menggunakan cara-
cara kekerasan menjadi pendekatan yang menempatkan anak sebagai manusia yang wajib
dilindungi dari penggunaan tindakan kekerasan.2
Pengasuh dan siapa pun yang dekat dan berinteraksi dengan anak dilarang melakukan
kekerasan dan eksploitasi terhadap anak, karena merupakan pelanggaran hukum atau tindak
pidana. Penggunaan kekerasan sebagai cara mendidik atau mendisiplinkan anak, tidak
menghasilkan anak-anak terdidik dan disiplin. Anak yang mengalami kekerasan hanya akan
menjadi pelaku kekerasan dan mentransformasi kekerasan menjadi semakin canggih mengikuti
kemajuan teknologi.3
Oleh karena itu, dalam konteks perlindungan keluarga merupakan satu hal terpenting
dalam pengasuhan anak karena anak dibesarkan dan dididik oleh keluarga. Orang tua
merupakan cerminan yang bisa dilihat dan ditiru oleh anak-anaknya dalam keluarga. Untuk itu,
pengasuhan anak merupakan serangkaian kewajiban yang harus dilaksanakan oleh orang tua.
Jika pengasuhan anak belum bisa dipenuhi secara baik dan benar, kerap kali akan
memunculkan masalah dan konflik, baik di dalam diri anak itu sendiri maupun antara anak
dengan orang tuanya, maupun terhadap lingkungannya.4

1
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
2
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak: Dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), h. 33.
3
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak: Dalam Sistem Peradilan Anak di Indonesia, h.
34.
4
Istiana Rakhmawati, “Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak”, Konseling Religi, Vol. 6, 1, (2015), h,
4.

1
PEMBAHASAN

A. Prinsip Dasar Pengasuhan


Pengasuhan merupakan proses interaksi antara orang tua dan anak dalam
mendukung perkembangan fisik, emosi, sosial, intelektual, dan spiritual sehingga anak
tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang cerdas, mandiri, sehat, berbudi pekerti yang
luhur, dan berakhlak mulia.5
Anak merupakan amanah terbesar yang dititipkan sang pencipta kepada orang tua.
Michele Borba dalam bukunya The Big Book of Parenting Solutions (2009) mengatakan
pengasuhan adalah amanah untuk orang tua sepanjang hidupnya. Artinya, pengasuhan
dilakukan tanpa henti, dari sejak anak dalam kandungan, usia dini, remaja, hingga dewasa.
Orang tua memiliki tanggung jawab penuh untuk membimbing, mengawasi, dan
melindungi anaknya untuk tumbuh dan berkembang optimal sesuai dengan potensi yang
dimiliki setiap anak agar kelak anak siap untuk hidup bermasyarakat dengan karakternya
yang mulia.6
Anak dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal jika pengasuhan yang
dilakukan mengacu kepada prinsip-prinsip pengasuhan positif yang sesuai dengan usia dan
potensi anak. Pengasuhan positif di sini adalah pengasuhan yang dilakukan berdasarkan
kasih sayang, saling menghargai, pemenuhan dan pelindungan hak anak, terbangunnya
hubungan yang hangat, bersahabat dan ramah antara anak dan orang tua, serta
menstimulasi tumbuh kembang anak, agar optimal. Berikut akan dijabarkan prinsip-
prinsip dasar pengasuhan anak:7
1. Prinsip Dasar Pengasuhan Internal (Orang Tua dan Guru)
Rasa cinta serta kasih sayang orang tua dan guru kepada anak selalu ada dan
tidak pernah berkurang. Namun, yang terpenting dalam hubungan orang tua, guru
ataupun anak bukan hanya banyaknya cinta yang diberikan, tetapi bagaimana di antara
mereka bisa saling mencintai dan menyayangi dengan lebih baik. Ada beberapa
prinsip pengasuhan yang bisa diterapkan orang tua dan guru dalam pengasuhan positif
anak, sebagai berkut:

5
Muhammad Hasbi dan Rochaeni Esa Ganesha, Pengasuhan Positif, (Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, 2020), h. 1.
6
Mukti Amini, Pengasuhan Ayah Ibu yang Patut, Kunci Sukses Mengembangkan Karakter Anak,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 30.
7
Muhammad Hasbi dan Rochaeni Esa Ganesha, Pengasuhan Positif), h. 5.

2
a. Memahami bahwa setiap anak unik dan memiliki impian
Setiap anak unik, mereka memiliki keunggulan yang berbeda baik dalam
pengetahuan, keterampilan, maupun perilaku. Kepercayaan orang tua dan guru
menjadi modal utama anak untuk percaya diri, kreatif, mandiri dan bertanggung
jawab. Modal inilah yang menjadi dasar bagi tercapainya cita-cita atau impian
anak kelak. Untuk itu orang tua dan guru harus percaya bahwa pada dasarnya
anak mampu, bahkan sebelum anak membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia
berhasil melakukan sesuatu.
b. Menerima anak apa adanya
Orang tua dan guru harus dapat menerima anak apa adanya, baik ketika dia
berbuat benar maupun berbuat salah. Ketika anak mendapat penghargaan atau
piala karena menang lomba orang tua dan guru merasa bangga, bahagia dan
bersikap manis terhadap anak. Dan saat anak kalah dan salah, orang tua dan guru
pun harus tetap bersikap wajar, tidak memberikan celaan dan dapat
mengendalikan amarah. Justru disinilah anak membutuhkan dukungan dan
motivasi, anak membutuhkan guru dan orang tua yang dapat meluruskan dan
mendampingi dia untuk mengoreksi kesalahan dan berbuat lebih baik.
c. Mencari strategi untuk menghadapi tantangan dalam pengasuhan anak
Tantangan yang dihadapi orang tua dan guru pada tiap tahap perkembangan
anak berbeda. Demikian juga kondisi lingkungan memberikan pengaruh pada
perubahan diri anak, untuk itu dibutuhkan cara yang berbeda untuk setiap anak
dalam melakukan pengasuhan.
Misalnya ketika anak belum masuk sekolah, penanaman disiplin dan
komunikasi biasanya masih mudah dilakukan. Akan tetapi ketika anak sudah
dapat bersosialisasi memiliki banyak teman baik di lingkungan rumah maupun di
sekolah, prilaku anak mengalami perubahan, maka penerapan disiplin dan
komunikasi perlu disesuiakan dengan perubahan prilaku anak. Orang tua dan guru
harus mencari cara baru atau strategi yang tepat untuk menyikapi perubahan
tersebut.8
d. Mendukung dan memberikan anak fasilitas untuk tumbuh dan berkembang
Orang tua dan guru harus terus belajar dalam memberikan dukungan pada
anak. Dorong anak untuk melakukan kembali apabila anak mengalami kegagalan

8
Muhammad Hasbi dan Rochaeni Esa Ganesha, Pengasuhan Positif, h. 6.

3
dalam suatu kegiatan. Yakinkan pada anak untuk terus mencoba dan tidak takut
salah. Kesempatan kedua tidak pernah sia-sia, selalu ada hikmah atau pelajaran
yang bisa dipetik, serta diadaptasi. Seperti halnya ketika anak belajar berjalan,
berapa kali dia terjatuh untuk akhirnya dia berhasil berjalan sendiri, tanpa bantuan
orang tua.
e. Bermain dan bergembira bersama anak
Interaksi yang hangat penuh humor yang dilakukan orangtua dan guru
kepada anak menjadi mengasyikan, menggembirakan juga didambakan, bila
dilakukan bersungguh-sungguh dengan rasa cinta dan kasih sayang. Kehadiran
dan keterlibatan orangtua dan guru dalam proses belajar anak harus menjadi
pengalaman yang menyenangkan dan bermakna untuk semua terutama anak.
2. Prinsip Dasar Pengasuhan Eksternal (Lingkungan Sekitar)
a. Memberikan lingkungan yang aman untuk anak
Semua anak membutuhkan lingkungan yang aman bagi proses tumbuh
kembangnya. Untuk itu, orang tua dan guru harus memastikan lingkungan fisik
anak bebas dari hal-hal yang berbahaya serta berada dalam jarak yang dapat
dilihat dan diawasi. Keamanan juga harus terjadi di lingkungan non fisik anak.
Hal ini dapat dilakukan dengan menjaga lingkungan belajar anak bebas dari
kekerasan (verbal, emosi dan seksual).9
b. Memberikan lingkungan yang nyaman, ramah, dan menyenangkan bagi
anak
Lingkungan yang nyaman dan ramah tercipta ketika guru atau orang tua ada
ketika anak membutuhkan bantuan, dukungan atau perhatian. Saat guru atau
orang tua memberikan perhatian dan pujian bagi perilaku baik anak, akan terasa
bermakna, maka anak akan melakukannya lagi. Dengan demikian perkembangan
anak dapat tumbuh optimal.
c. Memberikan lingkungan yang dapat melibatkan anak
Setiap anak harus dilibatkan dalam pengasuhan. Hal ini dapat dilakukan
dengan meminta pendapat, ide atau gagasan, dan cerita anak dalam banyak
kesempatan. Pengasuhan yang melibatkan juga dapat dilakukan dengan
menciptakan kesempatan yang menantang bagi anak untuk eksplorasi,
menemukan, dan mengembangkan gagasan dan keterampilan. Tentunya,

9
Muhammad Hasbi dan Rochaeni Esa Ganesha, Pengasuhan Positif, h. 7.

4
kesempatan yang menantang tersebut disesuaikan dengan usia dan tahap
perkembangan anak, serta tetap memperhatikan keamanan dan kenyamanan
anak.10

B. Pengasuhan dalam Keluarga


1. Pola Pengasuhan Anak dalam Keluarga
Pola pengasuhan anak erat kaitannya dengan kemampuan suatu keluarga atau
komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu, dan dukungan untuk memenuhi
kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.
Orang tua yang berperan dalam melakukan pengasuhan pada kasus ini terdiri dari
beberapa definisi yaitu ibu, ayah, atau seseorang yang berkewajiban membimbing
atau melindungi. Orang tua merupakan seseorang yang mendampingi dan
membimbing anak dalam beberapa tahap pertumbuhan, yaitu mulai dari merawat,
melindungi, mendidik, mengarahkan dalam kehidupan baru anak dalam setiap
tahapan perkembangannya untuk masa berikutnya.11
Bila pola pengasuhan anak tidak tepat, maka hal itu akan berdampak pada pola
perilaku anak. Apalagi jika anak meniru perilaku orang-orang di luar rumah yang
cenderung negatif. Pola pengasuhan yang intens akan membentuk jalinan hubungan
kuat di antara orang yang diidentifikasi dan orang mengidentifikasi (anak dengan
orang yang membimbing). Dengan demikian, anak yang benar-benar melakukan
identifikasi cenderung mencari figur yang dapat diterima dan sesuai dengan proses
pembentukan dirinya. Adapun mereka yang telah terbebas dari beban dan tekanan diri
dan lingkunganya akan dengan mudah menjalankan proses identifikasi yang sesuai
dengan kemampuan dan potensi dirinya.12
Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi
antara orang tua dan anak yang dapat memberi pengaruh terhadap perkembangan
kepribadian anak. Interaksi orang tua dalam suatu pembelajaran menentukan karakter
anak di kemudian harinya. Pola pengasuhan anak dalam garis besarnya terbagi
menjadi tiga macam, antara lain sebagai berikut:13

10
Muhammad Hasbi dan Rochaeni Esa Ganesha, Pengasuhan Positif, h. 7.
11
Irmawati, Pola Pengasuhan dan Motivasi Berprestasi pada Suku Bangsa Batak, Toba, dan Melayu,
(Jakarta: Fakultas Pascasarjana UI, 2002), h. 28.
12
Irmawati, Pola Pengasuhan dan Motivasi Berprestasi pada Suku Bangsa Batak, Toba, dan Melayu, h.
29.
13
Qurrotu Ayun, “Pola Asuh Orang Tua dan Metode Pengasuhan dan Membentuk Kepribadian Anak”,
Thufula, Vol. 5, 1, (2017), h. 106.

5
a. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter merupakan pengasuhan yang dilakukan dengan cara
memaksa, mengatur, dan bersifat keras. Orang tua menuntut anaknya agar
mengikuti semua kemauan dan perintahnya. Jika anak melanggar perintahnya
berdampak pada konsekuensi hukuman atau sanksi. Pola asuh otoriter dapat
memberikan dampak negatif pada perkembangan psikologis anak. Anak
kemudian cenderung tidak dapat mengendalikan diri dan emosi bila berinteraksi
dengan orang lain. Bahkan tidak kreatif, tidak percaya diri, dan tidak mandiri.
Pola pengasuhan ini akan menyebabkan anak menjadi stres, depresi, dan trauma.
Oleh karena itu, tipe pola asuh otoriter tidak dianjurkan.
b. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif dilakukan dengan memberikan kebebasan terhadap
anak. Anak bebas melakukan apapun sesuka hatinya. Sedangkan orang tua kurang
peduli terhadap perkembangan anak. Pengasuhan yang didapat anak cenderung
di lembaga formal atau sekolah. Pola asuh semacam ini dapat mengakibatkan
anak menjadi egois karena orang tua cenderung memanjakan anak dengan materi.
Keegoisan tersebut akan menjadi penghalang hubungan antara sang anak dengan
orang lain. Pola pengasuhan anak yang seperti ini akan menghasilkan anak-anak
yang kurang memiliki kompetensi sosial karena adanya kontrol diri yang kurang.
c. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh ini, orang tua memberikan kebebasan serta bimbingan kepada
anak. Anak dapat berkembang secara wajar dan mampu berhubungan secara
harmonis dengan orang tuanya. Anak akan bersifat terbuka, bijaksana karena
adanya komunikasi dua arah. Sedangkan orang tua bersikap obyektif, perhatian,
dan memberikan dorongan positif kepada anaknya. Pola asuh demokratis ini
mendorong anak menjadi mandiri, bisa mengatasi masalahnya, tidak tertekan,
berperilaku baik terhadap lingkungan, dan mampu berprestasi dengan baik. Pola
pengasuhan ini dianjurkan bagi orang tua.14
2. Fungsi Keluarga dalam Menerapkan Pola Pengasuhan Anak
Keluarga berkualitas yang diciptakan juga akan dapat terwujud apabila masing-
masing keluarga memiliki ketahanan keluarga yang tinggi. Ketahanan keluarga hanya

14
Qurrotu Ayun, “Pola Asuh Orang Tua dan Metode Pengasuhan dan Membentuk Kepribadian Anak”,
h. 107.

6
dapat tercipta apabila masing-masing keluarga dapat melaksanakan fungsi-fungsi
keluarga secara serasi, selaras, dan seimbang. Sebuah keluarga yang tercukupi secara
materi berarti fungsi ekonomi keluarga dapat dilaksanakan secara optimal. Namun,
tidak akan berarti apabila dalam keluarga tersebut tidak ada rasa kasih sayang dan
perlindungan karena dalam keluarga yang demikian akan terasa gersang dan anak-
anak tidak merasa nyaman tinggal di rumah.15
Adapun fungsi keluarga dalam menerapkan pola pengasuhan anak
diantaranya:16
a. Fungsi Biologis
Secara biologis, keluarga menjadi tempat untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti pangan, sandang, dan papan dengan syarat-syarat tertentu. Menurut pakar
pendidikan William Bennett, keluarga merupakan tempat yang paling awal
(primer) dan efektif untuk menjalankan fungsi departemen kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan. Berkaitan dengan pola tersebut dibidang
kesehatan, peran orang tua yang dapat dilakukan adalah:
1) Mengajak anak untuk rutin berolahraga
2) Menyeimbangkan sayuran dan buah untuk gizi dan kesehatan anak
3) Menerapakan kepada anak untuk menjaga kebersihan
b. Fungsi Pendidikan
Keluarga diajak untuk mengkondisikan kehidupan keluarga sebagai
“instusi” pendidikan, sehingga terdapat proses saling berinteraksi antara anggota
keluarga. Keluarga melakukan kegiatan melalui asuhan, bimbingan dan
pendampingan, seta teladan nyata untuk mengontrol pola pergaulan anak.
c. Fungsi Religius
Para orang tua dituntut untuk mengenalkan, membimbing, memberi teladan
dan melibatkan seluruh anggota keluarga untuk mengenal akidah-akidah agama
dan perilaku beragama. Sebagai keluarga hendaknya melakukan sholat berjamaah
dirumah untuk mengembangkan dan meningkatkan kereligiusan anak dalam
beribadah.

15
Herviana Muarifah Ngewa, “Peran Orang Tua dalam Pengasuhan Anak”, Ya Bunayya, Vol. 1, 1,
(2019), h. 99
16
Khairiyah Husain Shabir, Ibu dalam Mendidik Generasi Muslim, (Jakarta: Firdaus, 2011), h. 128.

7
d. Fungsi Perlindungan
Fungsi perlindungan dalam keluarga adalah untuk menjaga dan memelihara
anak dan anggota keluarga dari tindakan negatif yang mungkin akan timbul.
Keluarga melindungi anggota keluarganya dalam hal apapun. Misalnya,
melindungi anak untuk tidak terpengaruh negatif dari lingkungan maupun untuk
senantiasa menjadikan keluarga sebagai pelindung bila anak mengalami suatu
masalah.
e. Fungsi Sosialisasi
Para orang tua dituntut untuk mempersiapkan anak untuk menjadi anggota
masyarakat yang baik. Keluarga berperan sebagai penghubung antara kehidupan
anak dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial, sehingga kehidupan di
sekitarnya dapat dimengerti oleh anak, sehingga pada gilirannya anak berpikir
dan berbuat positif di dalam dan terhadap lingkungannya.17
f. Fungsi Kasih Sayang
Keluarga harus dapat menjalankan tugasnya menjadi lembaga interaksi
dalam ikatan batin yang kuat antara anggotanya, sesuai dengan status dan peranan
sosial masing-masing dalam kehidupan keluarga itu. Ikatan batin yang dalam dan
kuat ini, harus dapat dirasakan oleh setiap anggota keluarga sebagai bentuk kasih
sayang. Dalam suasana yang penuh kerukunan, keakraban, kerjasama dalam
menghadapi berbagai masalah dan persoalan hidup.
g. Fungsi Ekonomis
Fungsi ini menunjukkan bahwa keluarga merupakan kesatuan ekonomis.
Aktivitas dalam fungsi ekonomis berkaitan dengan pencarian nafkah, pembinaan
usaha, dan perencanaan anggaran biaya, baik penerimaan maupun pengeluaran
biaya keluarga.
h. Fungsi Rekreatif
Suasana rekreatif akan dialami oleh anak dan anggota keluarga lainnya
apabila dalam kehidupan keluarga itu terdapat perasaan damai, jauh dari
ketegangan batin, dan pada saat-saat tertentu merasakan kehidupan bebas dari
kesibukan sehari-hari.

17
Khairiyah Husain Shabir, Ibu dalam Mendidik Generasi Muslim, h. 129.

8
3. Peranan Keluarga terhadap Pendidikan Karakter Anak
Pendidikan karakter yang pertama dan utama bagi anak adalah dalam lingkup
keluarga. Dalam keluarga, anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku yang penting
bagi kehidupan dewasa nanti. Karakter yang akan dipelajari anak adalah apa yang
dilihatnya dari perilaku orang tua. Karakter terbentuk dalam waktu yang relatif lama.
Karakter yang kuat diperlukan bagi individu dalam menentukan keberhasilan hidup
anak. Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi
pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan
penggerak, serta yang membedakan dengan individu lain. Pendidikan karakter yang
diberikan anak berdasarkan karakteristik dan perkembangannya.18 Menurut Furqon,
pendidikan karakter dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tahap yaitu
diantaranya:19
a. Tahap Umur 5-6 Tahun
Pada tahap ini, anak diajarkan tata krama, sopan santun, yang berkaitan
dengan karakter moral. Karakter moral tersebut seperti melatih untuk bersikap
jujur dan sopan. Pada fase ini anak akan mengetahui dan membedakan hal-hal
yang dianggap bermanfaat, baik buruk, dan benar salah suatu tindakan.
b. Tahap Umur 7-8 Tahun
Pada tahap ini anak sudah mulai aqil baliq maka dari itu pada fase ini anak
akan diajarkan bagaimana untuk beribadah dan melatih dirinya untuk
bertanggung jawab.
c. Tahap Umur 9-10 Tahun
Pada fase ini seorang anak dididik untuk peduli terhadap lingkungan
sekitar. Menghormati satu sama yang lain, menghormati hak orang lain, dan suka
tolong menolong.
d. Tahap Umur 10 Tahun Keatas
Pada tahap ini anak sudah mulai memasuki usia remaja maka anak
dipandang siap untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, dan masyarakat.
Anak diharapkan dapat beradaptasi dengan baik dilingkungan masyarakat dan
anak mempunyai identitas diri atau jati dirinya masing-masing.

18
Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa, (Surakarta: UNS Press
dan Yuma Pustaka, 2010), h. 32.
19
Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa, h. 33.

9
Dalam semua tahapan tersebut orang tua sangat berperan penting dalam
pembentukan karakter anak. Perilaku dan tingkah laku anak mampu bersikap baik
terhadap lingkungan sekitar dan tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan merupakan
salah satu keberhasilan orang tua dalam pengasuhan anak.20
Sementara itu menurut Megawangi21, kualitas karakter meliputi sembilan pilar
antara lain:
a. Mencintai Allah dan semua ciptaan-Nya
b. Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri
c. Jujur dan amanah
d. Menghormati dan sopan santun
e. Suka menolong dan gotong royong
f. Kreatif, percaya diri, dan pekerja keras
g. Kepemimpinan dan adil
h. Baik dan rendah hati
i. Toleransi, cinta damai dan kesatuan.

C. Hak Pengasuhan Anak dalam Kasus Perceraian


Peristiwa perceraian adalah hal yang paling ditakuti oleh anak. Karena mereka
merasa akan berpisah dengan salah satu orang yang paling disayanginya. Selain itu juga,
tidak sedikit dari perkara perceraian kemudian timbul masalah baru yaitu perebutan hak
asuh anak. Kedua orang tua itu merasa yang paling berhak untuk mengasuh dan mendidik
anaknya sendiri hingga dewasa, tanpa memikirkan kepentingan anak itu sendiri. Dan tanpa
disadari hal ini sangat berpengaruh besar bagi perkembangan psikologis anak bahkan
sampai berkepanjangan seperti trauma bahkan sampai penyimpang perilaku yang buruk.22
Tidak jarang juga akibat perceraian anak menjadi terlantar, kurang kasih sayang
karena buruknya pengasuhan salah satu orang tua yang menjadi pemegang hak untuk
mengasuh anak. Oleh karena itu, perlu kiranya perhatian yang sangat serius untuk
memutuskan ataupun menetapkan siapa pemegang hak asuh anak yang baik bagi si anak

20
Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa, h. 34.
21
Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa, (Jakarta:
Indonesia Heritage Foundation, 2010), h. 45.
22
Meita Djohan OE, “Hak Asuh Anak Akibat Perceraian”, Pranata Hukum, Vol. 11, 1, (2016), h. 62.

10
tersebut walaupun pada dasarnya menurut Kompilasi Hukum Islam anak yang belum
berumur 12 tahun ada pada pengasuhan ibunya.23
Dalam hal terjadi perceraian, terdapat ketentuan yang mengatur tentang hak asuh
anak serta tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya, yang menjadi dasar dan
acuan bagi hakim dalam menetapkan putusannya. Ketentuan itu antara lain terdapat dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta Kompilasi Hukum Islam.24
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, di dalam Pasal 41 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan tegas menyatakan bahwa:
1. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak, pengadilan memberikan keputusan;
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataannya bapak tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
kewajiban tersebut;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.
Dan selanjutnya terdapat pada Pasal 45 menghendaki agar “kedua orang tua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”.25 Jadi, anak-anak berhak
atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan, pendidikan, pelayananan dari orang
tuanya bahkan sampai pada saat anak tersebut kawin ataupun sudah mampu berdiri
sendiri.26
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
disebutkan bahwa perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya langsung ditujukan kepada anak yang
menjadi sasaran langsung. Kegiatan seperti ini dapat dengan cara melindungi anak dari
berbagai ancaman dari luar dan dalam seperti mendidik, membina, mendampingi anak
dengan berbagai cara. Perlindungan anak secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak

23
Umul Khair, “Pelaksanaan Hak Asuh Anak Setelah Terjadinya Perceraian”, Jurnal Cendikia Hukum,
Vol. 5, 2, (2020), h. 299.
24
Umul Khair, “Pelaksanaan Hak Asuh Anak Setelah Terjadinya Perceraian”, h. 300.
25
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
26
Hana Krisnamurti, “Pola Pengasuhan Terhadap Anak Dihubungkan dengan Hukum Perlindungan
Anak”, Pengabdian Tri Bhakti”, Vol. 2, 1, (2020), h. 73.

11
langsung ditujukan kepada anak, tetapi orang lain yang melakukan atau terlibat dalam
usaha perlindungan anak.27
Dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa:
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang
bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a.
Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupu seksual; c. Penelantaran,
kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan salah
lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Lalu, Pasal 14 Undang-Undang tersebut menjelaskan bahwa: “Setiap anak berhak
untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum
yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak
dan merupakan pertimbangan terakhir”. Dalam penjelesannya ditegaskan bahwa,
“Pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan anak
dengan orang tuanya”. Jadi, meskipun sudah ada ketentuan hukumnya yang menyatakan
salah satu orang tua sebagai pemegang “kuasa asuh anak”, tetap tidak ada alasan untuk
melarang orang tua yang satunya untuk bertemu dengan anaknya.28
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pasal yang menjelaskan mengenai pengasuhan
adalah Pasal 105. Pasal 105 ini menentukan tentang pengasuhan anak pada dua keadaan.
Pertama ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun)
pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika anak tersebut mumayyiz (usia
12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih diasuh oleh ayah atau
ibunya.29
Dalam hal ini yang paling penting diperhatikan dalam menentukan pengasuhan anak
adalah kepentingan anak itu sendiri. Dalam arti, akan dilihat siapakah yang lebih mampu
menjamin kehidupan anak, baik dari segi materi, pendidikan formal, pendidikan akhlak
dan kepentingan-kepentingan lainnya. Untuk menentukan orang yang paling dapat di
percaya untuk memelihara anak, di dalam pengadilan biasanya hakim akan

27
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: CV Mandar Maju, 1990), h. 144.
28
Adib Bahari, Prosedur Gugatan Cerai, Pembagian Harta Gono-Gini dan Hak Asuh Anak,
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), h. 166.
29
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), h. 138.

12
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, informasi ini dapat berasal dari saksi-
saksi yang biasanya dihadirkan dalam persidangan.30

D. Perspektif Islam dalam Hadhanah


Pemeliharaan atau pengasuhan anak dalam Islam dinamakan hadhanah. Secara
etimologi hadhanah berasal dari kata hadhana-yahdhunu-hadhanatun yang berarti
mengasuh atau memeluk anak.31 Kamal Muhtar memberi pengertian hadhanah, menurut
bahasa, hadhanah berasal dari kata “al-hidnu” yang berarti “rusuk” karena seorang ibu
yang mengasuh atau menggendong anaknya sering meletakkannya pada sebelah
rusuknya.32
Dalam literatur fiqh, hadhanah didefinisikan dalam beberapa terminologi,
diantaranya menurut Sayyid Sabiq hadhanah adalah suatu sikap pemeliharaan terhadap
anak kecil yang belum dapat membedakan mana yang baik dan buruk dan belum mampu
mengurus dirinya sendiri. Menjaga, mendidik dan mengasuhnya baik fisik, mental maupun
akal agar mampu menjalankan kehidupan yang sempurna dan bertanggung jawab.33
Menurut istilah ahli fikih, hadhanah berarti memelihara anak dari segala macam
bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya,
mengusahakan pendidikannya, hingga ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi
kehidupannya sebagai seorang muslim.34 Dari pengertian hadhanah di atas dapat
disimpulkan bahwa hadhanah itu mencakup aspek-aspek yang meliputi pendidikan,
pencukupan kebutuhan, dan usia (yaitu bahwa hadhanah itu diberikan kepada anak sampai
usia tertentu).
Dalam Islam, hadhanah itu sendiri wajib bagi orang tua. Sebagaimana wajib
memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu, anak yang diasuh
akan terancam masa depannya apabila tidak mendapatkan pengasuhan dan pemeliharaan
dari kedua orang tua yang bercerai. Adapun yang menjadi dasar hukum disyariatkannya
hadhanah antara lain firman Allah Swt dalam surat at-Tahrim ayat 6 yang berbunyi
sebagai berikut:35

30
Hana Krisnamurti, “Pola Pengasuhan Terhadap Anak Dihubungkan dengan Hukum Perlindungan
Anak”, h. 73.
31
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 2000), h. 104.
32
Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 129.
33
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jilid 8, (Beirut: Daar al-Fikr, 1983), h. 228
34
Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 130.
35
Ahmad Rofiq, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo), h. 236.

13
ٰۤ
ُ ‫علَ ْي َها َمل ِٕىكَة ِغ ََلظ ِشدَاد َّل يَ ْع‬
َ‫ص ْون‬ َ ‫اس َو ْال ِح َج‬
َ ُ ‫ارة‬ ُ َ‫َارا َوقُ ْودُهَا الن‬ َ ُ‫يْٓاَيُّ َها الَ ِذيْنَ ا َمنُ ْوا قُ ْْٓوا اَ ْنف‬
ً ‫س ُك ْم َواَ ْه ِل ْي ُك ْم ن‬
َ‫ّللاَ َما ْٓ اَ َم َر ُه ْم َويَ ْفعَلُ ْونَ َما يُؤْ َم ُر ْون‬ ٰ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluarga mu dari
api neraka yang bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai
kepala rumah tangga, meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan istri membantu
suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting adalah
adanya kerjasama dan tolong menolong antara suami istri dalam memelihara anak dan
menghantarkannya hingga anak tersebut dewasa. Para ulama menetapkan bahwa
pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya dalam
ikatan perkawinan. Adapun dasar hukum mengikuti perintah Allah untuk membiayai anak
dan istri dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:36
‫علَى ْال َم ْولُ ْو ِد لَه ِر ْزقُ ُه َن‬َ ‫عةَ ۗ َو‬َ ‫ضا‬ َ ‫الر‬ َ ‫َاملَي ِْن ِل َم ْن اَ َرادَ اَ ْن يُّتِ َم‬
ِ ‫ض ْعنَ اَ ْو َّلدَه َُن َح ْولَي ِْن ك‬ ِ ‫َو ْال َوا ِلدتُ ي ُْر‬
‫ض ٰۤا َر َوا ِلدَة ۢ ِب َولَ ِدهَا َو َّل َم ْولُ ْود لَه ِب َولَدِه‬
َ ُ ‫ف نَ ْفس ا َِّل ُو ْس َع َها ۚ َّل ت‬ ِ ۗ ‫َو ِكس َْوت ُ ُه َن ِب ْال َم ْع ُر ْو‬
ُ َ‫ف َّل ت ُ َكل‬
‫علَ ْي ِه َما ۗ َوا ِْن اَ َر ْدت ُّ ْم‬
َ ‫َاور فَ ََل ُجنَا َح‬ُ ‫ع ْن ت ََراض ِ ِّم ْن ُه َما َوتَش‬ َ ‫ص ًاّل‬ َ ِ‫ث ِمثْ ُل ذلِكَ ۚ فَا ِْن اَ َرادَا ف‬ ِ ‫ع َلى ْال َو ِار‬ َ ‫َو‬
ٰ ‫ّللاَ َوا ْع َل ُم ْْٓوا اَ َن‬
َ‫ّللا‬ ٰ ‫ف َواتَقُوا‬ ِ ۗ ‫سلَ ْمت ُ ْم َما ْٓ اتَ ْيت ُ ْم ِب ْال َم ْع ُر ْو‬
َ ‫ع َل ْي ُك ْم اِ َذا‬
َ ‫ضعُ ْْٓوا اَ ْو َّلدَ ُك ْم فَ ََل ُجنَا َح‬
ِ ‫اَ ْن تَ ْست َْر‬
ِ َ‫ِب َما تَ ْع َملُ ْونَ ب‬
‫صيْر‬
Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan
dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa melakukan hadanah terhadap anak yang
orang tuanya telah bercerai adalah wajib sebagaimana wajib juga memeliharanya, selama

36
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 328.

14
kedua orang tua mereka masih terikat oleh tali perkawinan. Berkaitan dengan siapa di
antara ayah atau ibu yang lebih berhak untuk melakukan tugas hadanah anak-anak, ada
beberapa riwayat dalam hadis Nabi yang mengindikasikan beberapa hal berikut ini,
yaitu:37
Pertama, jika anak-anak belum mencapai umur tamyiz, maka ibu yang paling berhak
melakukan pengasuhan. Hal ini didasarkan riwayat Abu Dawud dari Abdullah ibn Amr,
bahwasannya ada seorang perempuan melapor kepada Rasulullah, bahwa mantan suami
yang telah mencerainya bermaksud mengambil anak yang berada dalam pengasuhannya.
Rasulullah menyelesaikan masalah ini dengan menyatakan, bahwa perempuan itu lebih
berhak untuk mengasuh anaknya sampai ia menikah dengan orang lain.38
Kedua, jika anak-anak sudah mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, dalam arti
sudah mumayyiz, maka ia diperkenankan untuk memilih antara ibu atau ayahnya. Hal ini
sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dan empat imam hadis
lainnya yaitu Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i dan Ibn Majah. Abu Hurairah
meriwayatkan adanya perempuan yang melaporkan, bahwa mantan suami yang telah
menceraikannya mengambil anak yang berada di bawah pengasuhannya. Mereka bertiga
yaitu ibu, ayah, dan anak kemudian dihadirkan di hadapan Rasululah. Lalu ia menyuruh
anak tersebut memilih salah satu dari ibu dan ayahnya. Pada akhirnya, anak itu
menggandeng tangan ibunya.39
Ketiga, jika ternyata pilihan anak tersebut kurang tepat, maka Rasulullah mendoakan
semoga Allah merubah pilihan tersebut ke arah pilihan yang lebih tepat. Hal ini didasarkan
pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang menceritakan kasus Rafi’ ibn
Sinan yang ketika masuk Islam tidak diikuti oleh istrinya yang tetap memilih menjadi
seorang musyrikah. Keduanya mempunyai anak. Untuk memutuskan siapa yang lebih
berhak untuk mengasuh anak tersebut, Rasulullah menghadirkan masing-masing pihak
yaitu ibu, ayah, dan anaknya. Waktu itu si anak memilih ibunya yang non muslim.
Rasulullah tidak menyetujui pilihan anak tersebut. Lalu Rasulullah berdoa semoga Allah
memberi petunjuk terhadap anak tersebut. Akhirnya, anak itu berubah sikap dan kemudian
memilih ayahnya yang telah masuk Islam.40

37
Abdul Basith Junaidiy, “Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam”, Al-Hukama, Vol. 07, 1, (2017), h.
83.
38
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz II, (Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), h. 525.
39
Jalaluddin al-Suyuti, Syarh Sunan an-Nasa’i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), h. 185.
40
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media,
2004), h. 182.

15
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas, nampak bahwa hadanah merupakan hak dari
seorang ibu. Akibatnya, secara analogis (qiyas), para perempuan lebih didahulukan atas
para laki-laki dan kerabat ibu didahulukan atas kerabat bapak. Meskipun demikian, hak
hadanah yang diberikan pada perempuan harus didasarkan pada hubungan mahram. Sebab
hanya hubungan yang bersifat kerabat-mahram yang menjadi dasar timbulnya hak dan
kewajiban dalam banyak masalah syar’iyyah. Hubungan tersebut lebih kuat dan lebih
menunjukkan kasih sayang. Karena itu, hubungan ini menjadi sebab keharaman
mengadakan akad perkawinan. Bahkan para ulama fiqih menyatakan, bahwa pijakan
utama hadanah adalah pada rasa kasih sayang, sedangkan kerabat yang memiliki
hubungan mahram adalah orang yang memiliki kasih sayang paling besar.41

PENUTUP
Dari pembahasan yang telah diuraikan peran keluarga dalam pengasuhan anak sangatlah
penting karena dapat mempengaruhi dan membentuk kepribadian atau karakter anak. Karakter
anak tentu saja bergantung dari pola asuh orang tua terhadap anaknya. Ada tiga pola asuh yaitu
pola asuh otoriter, pola asuh permisif, dan pola asuh demokratis. Dari tiga pola asuh tersebut
yang paling baik dan cocok untuk diterapkan dalam mengasuh anak adalah pola asuh
demokatis. Pola asuh demokratis ini, orangtua menghargai dan memahami keadaan anak
sehingga anak akan merasa nyaman, bersikap mandiri, cerdas, dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitar dengan baik, dan yang utama memiliki kepribadian yang baik.
Ketentuan mengenai pengasuhan anak terdapat dalam Pasal 41 Undang-Undang
Perkawinan dimana baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak. Lalu, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak disebutkan bahwa perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung maksudnya kegiatannya langsung ditujukan kepada anak yang
menjadi sasaran langsung. Kemudian, dalam Kompilasi Hukum Islam, pasal yang menjelaskan
mengenai pengasuhan adalah Pasal 105. Pasal 105 ini menentukan tentang pengasuhan anak
pada dua keadaan. Pertama ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari
12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika anak tersebut mumayyiz
(usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih diasuh oleh ayah atau
ibunya.

41
Muhammad Abu Zahrah, Ahwal al-Syakhsyiyyah, (Mesir: Matbaah As-Sa’adah, 1957), 475.

16
Dalam Islam, hadhanah itu sendiri wajib bagi orang tua. Sebagaimana wajib
memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu, anak yang diasuh
akan terancam masa depannya apabila tidak mendapatkan pengasuhan dan pemeliharaan dari
kedua orang tua yang bercerai.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

al-Suyuti, Jalaluddin. Syarh Sunan an-Nasa’i. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 1988.

Amini, Mukti. Pengasuhan Ayah Ibu yang Patut, Kunci Sukses Mengembangkan Karakter
Anak. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2008.

Dawud, Abu. Sunan Abu Dawud. Juz II. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. 1996.

Hasbi, Muhammad dan Rochaeni Esa Ganesha. Pengasuhan Positif. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. 2020.

Hidayatullah, Furqon. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: UNS


Press dan Yuma Pustaka. 2010.

M. Zein, Satria Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Prenada
Media. 2004.

Sabiq, Sayyid. Fiqh as-Sunnah. Jilid 8. Beirut: Daar al-Fikr. 1983.

Jurnal

Ayun, Qurrotu. “Pola Asuh Orang Tua dan Metode Pengasuhan dan Membentuk Kepribadian
Anak”. Thufula. Vol. 5, 1. 2017.

Junaidiy, Abdul Basith. “Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam”. Al-Hukama. Vol. 07, 1.
2017.

Khair, Umul. “Pelaksanaan Hak Asuh Anak Setelah Terjadinya Perceraian”. Jurnal Cendikia
Hukum. Vol. 5, 2. 2020.

Krisnamurti, Hana. “Pola Pengasuhan Terhadap Anak Dihubungkan dengan Hukum


Perlindungan Anak”, Pengabdian Tri Bhakti”. Vol. 2, 1. 2020.

17
OE, Meita Djohan. “Hak Asuh Anak Akibat Perceraian”. Pranata Hukum. Vol. 11, 1. 2016.

Rakhmawati, Istiana. “Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak”. Konseling Religi. Vol. 6, 1.
2015.

Peraturan-Peraturan

Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

18

Anda mungkin juga menyukai