Anda di halaman 1dari 28

ANALISA KIMIA BAKASANG IKAN LAYANG

DENGAN DAN TANPA ENZIM

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH

FRANS LUTER SARIOA


1318114005

PROGRAM STUDI DILUAR DOMISILI (PDD) – MASOHI

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

POLITEKNIK NEGERI

AMBON

2023
LEMBARAN PENGESAHAN

ANALISA KIMIA BAKASANG IKAN LAYANG


DENGAN DAN TANPA ENZIM

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH

FRANS LUTER SARIOA


1318114005

MENYETUJUI

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Dr. M. R. Wenno. S.Pi, M.Si Ir. E. E. E. M. Nanlohy. M.Si


NIP. 19780606 200312 1 001 NIP. 19640801 198903 1 002

MENGETAHUI

KETUA PROGRAM STUDI

Prof. Ir. J. Leiwakabessy, MS


NIP. 19580823 198403 1 002

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu

menyertai penulis sehingga penulisan proposal penelitian dengan judul “Analisa Kimia

Bakasang Ikan Layang Dengan Dan Tanpa Enzim” dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sungguh bahwa penulisan proposal penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu segala saran dan kritikan yang bersifat membangun dari

berbagai pihak sangat diharapkan sehingga dapat melengkapi segala kekurangan. Semoga

penulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Ambon, November 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

LEMBARAN PENGESAHAN................................................................................ii

KATA PENGANTAR..............................................................................................iii

DAFTAR ISI.............................................................................................................iv

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.................................................................................................... 1

1.2. Tujuan................................................................................................................. 3

1.3. Manfaat............................................................................................................... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Ikan Layang........................................................................................ 4

2.2. Klasifikasi Ikan Layang...................................................................................... 4

2.3. Kandungan Gizi Ikan Layang............................................................................. 6

2.3. Fermentasi........................................................................................................... 7

2.4. Fermentasi Ikan................................................................................................... 9

2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fermentasi................................................. 10

2.6. Cemaran Mikroba Pada Bahan Pangan............................................................... 12

2.7. Bakasang............................................................................................................. 13

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Alat dan Bahan.................................................................................................... 15

3.2. Prosedur Pembuatan Bakasang........................................................................... 15

3.3. Prosedur Analisa................................................................................................. 17

iv
3.3.1 Analisa Kadar Air...................................................................................... 17

3.3.2 Analisa Kadar Lemak................................................................................ 18

3.3.3 Analisa Kadar Protein................................................................................ 18

3.3.4 Analisa Kadar Abu.................................................................................... 19

3.3.5 Uji Organoleptik........................................................................................ 19

3.4. Perlakuan............................................................................................................. 20

3.5. Parameter Uji...................................................................................................... 20

3.6. Waktu dan Tempat Penelitian............................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA

v
DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1 Gambar Ikan Layang (decapterus sp)..................................... 5

2 Gambar Diagram Alir Pembuatan Bakasang Ikan Layang….. 16

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan layang (Decapterus sp) merupakan salah satu sumberdaya ikan pelagis kecil yang

memiliki potensi dan nilai ekonomis tinggi. Produksi ikan layang di Indonesia kebanyakan

berasal dari hasil tangkapan nelayan, dengan menggunakan alat tangkap seperti jaring insang

dan pukat cincin. Ikan layang merupakan jenis ikan yang memiliki produksi paling tinggi di

Indonesia dibandingkan dengan jenis ikan lainnya yang mencapai 52% dari seluruh hasil

tangkapan, yaitu sekitar 2.323.365 ton per tahun Weber dan Beaufort (1931). Ikan Layang

oleh masyarakat Maluku dikenal dengan nama ikan “momar” merupakan salah satu hasil

perikanan tangkap yang berlimpah di Maluku, hasil produksi ikan layang di Maluku pada

tahun 2016 sebesar 12.650,30 ton Dinas Perikanan Kabupaten Maluku Tengah (2017). Selain

itu, hasil tangkapan yang melimpah membuat ikan ini banyak yang dibiarkan membusuk

tanpa ada pengolahan lanjutan. Oleh karena itu perlu adanya suatu metode olahan agar ikan

layang bisa dinikmati semua kalangan masyarakat. Salah satu olahan ikan yang sudah cukup

dikenal adalah pengolahan ikan layang kering untuk konsumsi sehari-hari ataupun dijadikan

berbagai produk olahan, salah satunya dibuat bakasang.

Bakasang adalah produk fermentasi ikan yang terbuat dari daging ikan atau jeroan yang

dalam pembuatannya ditambahkan garam, dengan atau tanpa penggunaan enzim dan

difermentasi selama 7 sampai 14 hari dan dapat disimpan dalam waktu beberapa bulan

(Wenno, et al, 2016). Fermentasi bahan pangan merupakan hasil kegiatan beberapa

mikroorganisme. Agar proses fermentasi dapat berjalan dengan baik, tentunya beberapa

faktor yang mempengaruhi kegiatan dari mikroorganisme perlu diperhatikan. Sehingga

apabila kita berbicara mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi,


vii
tentunya tidak lepas dari kegiatan mikroorganisme itu sendiri. Beberapa faktor utama yang

mempengaruhi proses fermentasi meliputi suhu, oksigen, substrat dan air.

Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa organik menjadi senyawa sederhana

yang melibatkan mikroorganisme. Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam

keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Selama proses fermentasi, peptida akan dirombak

menjadi peptida kemudian menjadi asam amino (Kamiya et al., 2002). Ada beberapa faktor

yang mempengaruhi fermentasi yaitu keasaman (pH), mikroba, suhu, oksigen, waktu, enzim

dan garam. Garam sering digunakan dalam proses fermentasi. Garam dapat berfungsi sebagai

pengikat air dan pemberi rasa yang sedap, selain itu juga garam dapat menghambat

pertumbuhan mikroorganisme yang tidak dikehendaki. Pada umumnya bakteri pembusuk

relatif lebih sensitif terhadap garam. Garam dapat berfungsi sebagai bahan pengawet karena

dapat menaikan tekanan osmosis yang menyebabkan terjadinya plasmolisis pada sel mikroba

(Buckle et al., 1978). Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian

tentang bakasang dengan judul “Perubahan Histamin Bakasang Ikan Layang Selama

Fermentasi Dan Penyimpanan”.

Menurut Juharni (2013), terbentuknya histamin pada ikan berawal karena terjadinya

kerusakan daging melalui proses autolisis. Kandungan histamin akan meningkat sejalan

dengan pembusukan dan ini diduga karena pertumbuhan mikroorganisme didalam daging

ikan. Bakteri yang berperan penting dalam pembentukan dan perombakan histamin adalah

bakteri enteric yang menghasilkan enzim histidin dekarboksilase. Aktivitas mikroba dan

enzim ini yang akan memecah protein menjadi asam-asam amino salah satunya histidin.

Selanjutnya histidin diubah menjadi histamin oleh bakteri yang menghasilkan enzim histidin

dekarboksilase.

viii
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang bakasang

dengan judul “Analisa Kimia Bakasang Ikan Layang Dengan Dan Tanpa Enzim”.

1.2 Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu dan organoleptik

pada bakasang ikan layang selama proses fermentasi.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat serta

menambah pengetahuan bagi penulis tentang Analisa Kimi Bakasang Ikan Layang Dengan

Dan Tanpa Enzim.

ix
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Ikan Layang (decapterus sp)

Ikan layang merupakan salah satu hasil perikanan lepas pantai yang terdapat di Indonesia.

Ikan ini termasuk jenis pemakan zooplankton, hidup di dekat permukaan laut (pelagis) dan

membentuk gerombolan besar. Ikan jenis ini berukuran kecil. Bagian punggung ikan layang

berwarna biru kehijauan dan bagian perutnya berwarna putih perak sedangkan sirip-siripnya

berwarna kuning kemerahan. Bentuk tubuhnya memanjang dan dapat mencapai 30 cm. Pada

umumnya, rata-rata panjang badan ikan layang adalah 20-25 cm. Ikan layang memiliki dua

sirip punggung, dua sirip tambahan di belakang sirip punggung kedua dan satu sirip

tambahan di belakang sirip dubur. Ikan Layang memiliki dua sirip punggung, dua sirip

tambahan di belakang sirip punggung kedua dan satu sirip tambahan di belakang sirip dubur.

Ikan Layang memiliki sirip kecil (finlet) yang merupakan ciri khas dari genus Decapterus

(Saanin, 1984).

2.2 Klasifikasi Ikan Layang (decapterus sp)

Ikan layang merupakan salah satu hasil perikanan lepas pantai yang terdapat di Indonesia.

Ikan ini termasuk jenis pemakan zooplankton, hidup di dekat permukaan laut (pelagis) dan

membentuk gerombolan besar. Klasifikasi ikan layang (Saanin 1984) adalah sebagai berikut:

x
Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Subkelas : Teleostei

Ordo : Percomorpha

Sub ordo : Percoidea

Famili : Carangidae

Genus : Decapterus

Spesies : Decapterus sp

Bagian punggung ikan layang berwarna biru kehijauan dan bagian perutnya berwarna

putih perak sedangkan sirip-siripnya berwarna kuning kemerahan. Bentuk tubuhnya

memanjang dan dapat mencapai 30 cm. Pada umumnya, rata-rata panjang badan ikan layang

adalah 20-25 cm. Ikan layang memiliki dua sirip punggung, dua sirip tambahan di belakang

sirip punggung kedua dan satu sirip tambahan di belakang sirip dubur. Ikan layang memiliki

sirip kecil (finlet) yang merupakan ciri khas dari genus decapterus (Saanin 1984). Morfologi

ikan layang pada gambar 1.

Gambar 1. Ikan layang (decapterus sp)


Sumber : Elvira (2011)
xi
2.3 Kandungan Gizi Ikan Layang

Ikan layang adalah bahan makanan yang biasa di komsumsi oleh masyarakat

Indonesia.Ikan layang mengandung energi sebesar 109 kilokalori, protein 22 %, karbohidrat

0%, lemak 1,7%, kalsium 50 miligram, fosfor 150 miligram, dan zat besi 2 miligram.selain

itu di dalam ikan layang juga terkandung vitamin A sebanyak 150 IU, vitamin BI 0,05

miligram dan vitamin C 0 miligram.

Tabel 1. Kandungan Gizi ikan Layang (Decapterus sp.) per 100 gr / daging
Ikan Layang (Decapterus sp) Satuan

Energi 109 kkal


Protein 22 gr
Lemak 1,7 gr
Karbohidrat 0 gr
Kalsium 50 mg
Fosfor 150 mg
Besi 2 mg
Vitamin A 150 IU
Vitamin B1 0,05 mg
Vitamin c 0 mg
Sumber : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KKRI, 2001)

Ikan layang merupakan salah satu sumber protein yang diperlukan oleh tubuh. Sebagai

negara kelautan ada beragam jenis ikan laut yang tersedia di perairan Indonesia. Salah satu

jenis ikan laut yang banyak diburu oleh para nelayan karena memang harganya yang tinggi di

pasaran adalah ikan layang. Ikan ini dapat diolah dengan berbagai cara seperti digoreng,

digulai, dipindang, atau dijadikan ikan kering. Protein ikan mampu mendorong pertumbuhan

membran sel manusia. Asam amino esensialnya bisa memicu aktifnya hormon-hormon.

Selain kandungan proteinnya yang tinggi ikan layang juga mengandung berbagai nutrisi lain

xii
seperti lemak, kalsium, zat besi, fosfor, vitamin K1, vitamin K2, dan banyak lagi. Kandungan

nutrisi yang beragam ini tentu saja sangat bermanfaat bagi kesehatan.

2.4 Fermentasi

Fermentasi adalah proses terjadinya perubahan kimia pada suatu substrat organik melalui

aktifitas enzim yang dihasilkan oleh mikroba organisma (Suprihatin, 2010). Berdasarkan

produk yang dihasilkan, fermentasi dibagi menjadi dua jenis yaitu (Belitz, 2009) :

1. Homofermentatif, yaitu fermentasi yang produk akhirnya hanya berupa asam laktat.

Contoh homofermentatif adalah fermentasi yang terjadi dalam pembuatan yoghurt.

2. Heterofermentatif, yaitu fermentasi yang produk akhirnya berupa asam laktat dan etanol

sama banyak. Contoh heterofermentatif adalah proses fermentasi yang terjadi dalam

pembuatan tape.

Pengolahan secara fermentasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan pengolahan

pangan secara fermentasi yaitu proses pengolahannya lebih sederhana, mudah dan tidak

mahal, produk yang dihasilkan mengandung nilai gizi yang tinggi, serta memiliki citarasa

yang khas (Hutkins, 2006). Fermentasi terdiri dari dua jenis berdasarkan sumber

mikroorganismenya (Suprihatin, 2010) yaitu :

1. Fermentasi spontan, merupakan fermentasi bahan pangan yang tidak ditambahkan

mikroorganisme dalam bentuk starter atau ragi.

2. Fermentasi tidak spontan adalah fermentasi bahan pangan yang ditambahkan

mikroorganisme dalam bentuk starter atau ragi.

xiii
Mikrorganisme tersebut akan merubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang

diinginkan, contohnya pada pembuatan saus tetelan ikan tuna. Fermentasi juga dapat dibagi

menjadi dua bagian berdasarkan bentuk produk yang dihasilkan yaitu fermentasi dengan

produk akhir berbeda dari bahan baku ( seperti : silase ikan, terasi ikan dan kecap ikan) dan

fermentasi dengan produk akhir serupa dengan bahan baku bakasan dan ikan peda (Afrianto

dan Liviawaty, 1989).

Penerapan metode fermentasi yang banyak digunakan diantaranya adalah fermentasi

alkohol dan fermentasi asam laktat. fermentasi alkohol dan fermentasi asam laktat memiliki

perbedaan dalam produk akhir yang dihasilkan. Produk akhir fermentasi alkohol berupa

etanol dan C°2, sedangkan produk akhir fermentasi asam laktat berupa asam laktat

(Lehninger, 1994).

Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan

produk yang dihasilkan. Secara glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana,

melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2CH⁵0H). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh

ragi dan digunakan pada produksi makanan. Persamaan reaksi kimia C6H12O6 →2CH⁵0H +

2C°2 + 2ATP (Energi yang dilepaskan : 118 KJ/mol)

Fermentasi merupakan proses pemecahan karbohidrat dan asam amino secara anaerobik,

yaitu tanpa mengeluarkan oksigen. Senyawa yang dapat dipecah dalam proses fermentasi

terutama adalah karbohidrat, sedangkan asam amino hanya dapat difermentasi oleh beberapa

jenis bakteri tertentu (Fadias, 1993). Fermentasi timbul sebagai hasil dari metabolisme energi

tipe anaerobik, dimana yang berfungsi sebagai donor dan aseptor elektornnya adalah senyawa

xiv
organik (Winarno dan Fardias 1984). Dalam proses fermentasi terjadi perubahan kimia dalam

bahan pangan yang disebabkan oleh aktivitas enzim. Enzim yang berperan tersebut dapat

dihasilkan oleh mikroorganisme atau telah ada dalam bahan pangan (Buckel et al. 1978).

Fermentasi yang terjadi pada ikan merupakan proses penguraian secara biologis atau semi

biologis terhadap senyawa-senyawa kompleks, terutama protein menjadi senyawa yang lebih

sederhana dalam keadaan terkontrol. Selama proses fermentasi berlangsung, protein ikan

akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptida, kemudian asam amino ini akan

terurai lebih lanjut menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentukan

citarasa produk. Jika kedalam bahan mentah tersebut ditambah sumber karbohidrat berupa

pati atau nasi, maka selama fermentasi akan terjadi pemecahan karbohidrat menjadi senyawa

yang lebih sederhana, seperti asam piruvat, asam laktat, asam asetat dan etanol (Rahayu et al.

1992).

2.4 Fermentasi Ikan

Salah satu cara dalam mengawetkan ikan dan produk ikan secara tradisional. fermentasi

ikan merupakan proses penguraian secara biologis atau semi biologis terhadap senyawa-

senyawa kompleks terutama protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam

keadaan terkontrol. Selama proses fermentasi, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-

asam amino dan peptida, kemudian asam-asam amino akan terurai lebih lanjut menjadi

komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentukan cita rasa produk.

Proses fermentasi ikan yang merupakan proses biologis atau semi biologis pada

prinsipnya dapat dibedakan atas empat golongan, yaitu fermentasi menggunakan kadar garam

tinggi, fermentasi menggunakan asam-asam organik, fermentasi menggunakan asam-asam

mineral dan fermentasi menggunakan bakteri asam laktat (Adawyah,2006). Cara pengolahan

xv
dengan menggunakan prinsip fermentasi yang paling mudah dilakukan adalah proses

fermentasi menggunakan bakteri asam laktat. Pada proses fermentasi bakteri asam laktat juga

ditambahkan garam sebagai perangsang pertumbuhan bakteri asam laktat. Fermentasi asam

laktat pada ikan merupakan gabungan dari fermentasi garam dengan fermentasi asam laktat,

contoh produk fermentasi asam laktat yaitu Bekasam (Adawyah,2006).

Produk-produk fermentasi ikan banyak dijumpai di Asia Tenggara. Bekasam adalah salah

satu produk tradisional fermentasi bergaram dari ikan yang banyak dijumpai di beberapa

daerah di Indonesia produk ini dibuat dengan mencampurkan ikan, dan garam dapur dalam

wadah tertutup dan selanjutnya dilakukan proses fermentasi pada suhu ruang antara 5 sampai

8 hari. Bekasam yang dihasilkan mempunyai karakteristik daging ikan seperti ikan segar

dengan daging ikan yang semakin kenyal, rasa asam asin khas Bekasam dengan aroma

tertentu (Wikandari et al., 2012).

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fermentasi

Dalam proses fermentasi, keberhasilan fermentasi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu

(Medigan et al., 2009) :

1. Keasaman (pH)

Makna yang mengandung asam biasanya tahan lama, tetapi jika oksigen cukup

jumblahnya dan kapang dapat tumbuh serta fermentasi berlangsung terus, maka daya awet

dari asam tersebut akan hilang. Tingkat keasaman sangat berpengaruh dalam perkembangan

bakteri. Kondisi keasaman yang baik untuk bakteri adalah 4,5-5,5 (Medigan et al., 2009).

2. Fermentasi

xvi
fermentasi biasnya dilakukan dengan kultur murni yang dihasilkan dilaborotorium kultur

ini dapat disimpan dalam keadaan kering atau dibekukan (Medigan et al., 2009).

3. Suhu

Suhu fermantasi sangat menentukan macam mikroba yang dominan selama fermentasi.

Tiap-tiap mikroorganisme miliki suhu pertumbuhan yang maksimal, suhu pertumbuhan

minimal, dan suhu optimal yaitu suhu yang memberikan terbaik dan perbanyakan diri

tercepat (Medigan et al., 2009).

4. Okigen

Udara atau oksigen selama fermentasi harus diatur sebaik mungkin untuk memperbanyak

atau menghambat mikroba tertentu. Setiap mikroba membutuhkan oksigen yang berbeda

jumblahnya untuk pertumbuhan atau membentuk sel-sel baru dan fermentasi. Misalnya ragi

roti (saccharmycess cereviseae) akan tumbuh lebih baik dalam keadaan aerobik, tetapi

keduannya akan melakukan fermentasi terhadap gula jauh lebih cepat dengan keadaan

anerobik (Medigan et al., 2009).

5. Waktu

Laju perbanyakan bakteri bervariasi menurut spesies dan kondisi pertumbuhannya. Pada

kondisi optimal, bakteri akan membelah sekali setiap 20 menit. Untuk beberapa bakteri

memilih waktu generasi yaitu selang waktu antara pembelahan, dapat dicapai selama 20

menit. Jika waktu generasinya 20 menit pada kondisi yang cocok sebuah sel dapat

menghasilkan beberapa juta sel selama 7 jam (Medigan et al., 2009).

6. Garam

xvii
Garam sering digunakan dalam fermentasi. Garam dapat berfungsi sebagai pengikat air

dan pemberi rasa sedap, selain itu juga garam dapat mengambat pertumbuhan

mikroorganisme yang tidak dikehendaki. Pada umumnya bakteri pembusuk relatif lebih

sensitif terhadap garam. Garam dapat berfungsi sebagai bahan pengawet karena dapat

menaikan tekanan osmosis yang menyebabkan terjadinya plasmolisis pada sel mikroba

(Buckle et al., 1978).

7. Enzim

Papain merupakan enzim proteolitik hasil isolasi dari getah buah pepaya (carica pepaya).

Selain mengandung papain sebanyak 10% getah buah pepaya jikatersusun atas enzim

kimopapain dan lisozin sebesar 45% dan 25% papain tersusun atas 121 resedu asam amino

yang membentuk sebuah rantai peptida tunggal dengan bobot molekul sebesar 23.000 g/mol.

Rantai ikatan tersebut tersusun atas iringan, lisim, lesiun dan glisin. Setelah itu didalam

molekul papain juga terdapat sisi aktif yang terdiri atas gugus histidin dan sistein

(Hayuningtyias, 2015).

2.6 Cemaran Mikroba Pada Bahan Pangan

Kerusakan ikan segar secara mikrobiologi disebabkan oleh cemaran mikroba atau

mikroba pembusuk (Sukmawati et al., 2018). Terdapat dua kelompok mikroba yang mampu

hidup dan merusak produk ikan garam yakni kelompok mikroba heterotoleran dan mikroba

halofilik. Pertumbuhan kelompok mikroba heterotoleran merupakan mikroba yang mampu

hidup pada media yang mengandung garam walaupun pertumbuhannya tidak memerlukan

garam, sedangkan mikroba halofilik sangat bergantung pada konsentrasi garam. Beberapa

jenis mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan ikan garam di Indonesia ialah Halomonas

sp, Staphylococcus xylosus, Halobacterium salinarum, Halococcus morhuae, Planococcus

halophylus, dan Staphyloccus sp (Rinto et al., 2019).


xviii
Penyebab cemaran mikroba pada bahan pangan dapat disebabkan karena jumblah awal

mikroba pada ikan mempengaruhi jumlah mikroba selanjutnya sehingga akan meningkatkan

jumlah cemaran mikroba pada produk hasil perikanan (Sukmawati, 2018), selain itu juga

dipengaruhi oleh lama penyimpanan sebelum dipasarkan atau pun waktu pemasaran yang

terlalu lama. Faktor lain disebabkan karena rendahnya sanitasi dan tingkat higienitas pada

proses pengolahan dan tempat pemasaran (Sukmawati, 2018).

Pengolahan juga menjadi faktor yang mempengaruhi cemaran mikroba pada ikan seperti

halnya pencucian ikan sebelum di beri garam dan dikeringkan menggunakan air yang tidak

higienis atau tercemar oleh mikroba (Indrawati dan Fakrudhin, 2016). Selain itu dapat pula

dipengaruhi oleh kesegaran ikan tersebut sebelum diawetkan, ketebalan ikan, garam yang

digunakan perlu diperhatikan tingkat kemurnian, kepekatan, dan kehalusan garam tersebut

(Siregar, 2004).

2.7 Bakasang

Bakasang adalah produk pangan yang dibuat dari daging atau jeroan ikan melalui proses

fermentasi dengan penambahan karbohidrat dan penambahan garam, yang rasanya asam dan

biasanya disajikan untuk pelengkap lauk dengan penambahan bumbu. Bakasang umumnya

berasal dari daging atau jeroan ikan. Bakasang adalah pangan fermentasi tradisional

masyarakat Maluku (Purwaningsih et al., 2011). Mikroba yang berperan dalam produk

fermentasi ini adalah bakteri asam laktat (Ingratubun et al., 2013). Produk seperti ini juga

dikenal di negara lain dengan nama yang berbeda, seperti Nampla di Thailand dan Budu di

Malaysia (Zang et al., 2019).

Salah satu indikator keberhasilan pembuatan bekasang adalah penggunaan garam.

Adanya garam bertujuan untuk mendapatkan kondisi tertentu (terkontrol) sehingga hanya

xix
mikroorganisme tahan garam (halofilik) yang dapat hidup dan menghasilkan enzim

proteolitik yang akan bereaksi pada produk. Enzim proteolitik yang dihasilkan oleh bakteri

halofilik akan memecah protein menjadi asam amino khususnya asam glutamat yang

berperan dalam pembentukan rasa gurih pada makanan. Bakasang memiliki kandungan asam

amino glutamat lebih tinggi dari asam amino lainnya yaitu 3,3 % per gram sampel (Estiasih,

2009). Glutamat adalah penambah rasa yang sering digunakan dalam makanan untuk

meningkatkan rasa gurih suatu makanan. Produk tradisional sejenis bakasang dijumpai di

beberapa negara antara lain: nampla (Thailand), yu-lu (China), paris (Philippines), ngapi

(Burma), shottsuru (Japan), colombo-lumre (India dan Pakistan), aekjeot (Korea), budu

(Malaysia), feseekh (Mesir), lanhouin (Benin), dan dayok (Arab). karakteristik organoleptik

bakasang oleh Purwaningsih et al. (2011), dayok oleh Bases (2012) yang menyarankan

bahwa garam yang digunakan untuk fermentasi hendaknya lebih dari 17.5% karena dapat

mengurangi kadar histamin. Rabie et al. (2009) meneliti tentang komposisi asam amino dan

komponen amin biogenik pada fermentasi feseekh yang kandungan histaminnya masih tinggi.

xx
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau, talenan, botol kaca,

timbangan elektrik, aluminium foil, wadah, dan sejumblah peralatan untuk menganalisis

histamin pada bakasang.

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan bakasang adalah ikan layang, garam, dan

sejumlah bahan untuk analisis histamin pada bakasang.

3.2 Prosedur Pembuatan Bakasang

Proses pembuatan bakasang ikan layang dilakukan dengan cara, pertama-tama ikan

layang segar dibersihkan, dipisahkan daging dan jeroannya kemudian dicuci bersih.

Selanjutnya dilakukan pemisahan tulang dan duri pada daging ikan selanjutnya pengecilan

ukuran dengan cara dicacah, kemudian daging dan jeroan ditimbang untuk membuat

konsentrasi garam 20% dan penambahan enzim 7,5% kemudian dicampurkn hingga

homogen. Tahap selanjutnya adalah dimasukan kedalam botol kaca yang sudah steril dan

dibungkus dengan aluminium foil. Tahap akhir difermentasi selama 60 hari dan setiap 14 hari

sekali diamati perubahan histaminnya. Proses pembuatan bakasang ikan layang dapat dilihat

pada (Gambar. 2)

xxi
Ikan layang Keluarkan isi perut
(Decapterus sp)

Di filet Di cuci dengan air sampai


bersih

ikan
keluarkan tulan dari dagin
Di haluskan
Di siangi kepala dan

kemuudian di
campur dengan
garam

Penambahan garam Penambahan


20% enzim 5%

Di masukan ke
dalam botol kaca

Di bungkus dengan kertas Bakasang


Di fermentasi
aluminium foil

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Bakasang Ikan layang (Decapterus sp).

xxii
3.3 Prosedur Analisa

3.3.1 Kadar Air

Prinsip metode penetapan kadar air dengan oven biasa atau Thermogravimetri yaitu

menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan 20 pemanasan pada suhu 105ºC.

Penimbangan bahan dengan berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan dan cara ini

relatif mudah dan murah. Percepatan penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang

lain karena pemanasan maka dapat dilakukan pemanasan dengan suhu rendah dan tekanan

vakum. Bahan yang telah mempunyai kadar gula tinggi, pemanasan dengan suhu kurang

lebih 105ºC dapat mengakibatkan terjadinya pergerakan pada permukaan bahan. Suatu bahan

yang telah mengalami pengeringan lebih bersifat hidroskopis dari pada bahan asalnya. Oleh

karena itu selama pendinginan sebelum penimbangan, bahan telah ditempatkan dalam

ruangan tertutup yang kering misalnya dalam eksikator atau desikator yang telah diberizat

penyerapan air. Penyerapan air atau uap ini dapat menggunakan kapur aktif, asam sulfat,

silika gel, kalium klorida, kalium hidroksida, kalium sulfat atau bariumoksida. Silika gel yang

digunakan sering diberi warna guna memudahkan bahan tersebut sudah jenuh dengan air atau

belum, jika sudah jenuh akan berwarna merah muda, dan bila dipanaskan menjadi kering

berwarna biru (Sudarmadji, 2007).

Penentuan kadar air dengan menggunakan metode oven menurut Sudarmadji (2007)

memiliki beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut: 1 Bahan lain disamping air juga ikut

menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri

dan lain-lain. 2 Dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah
xxiii
menguap. Contohnya gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami

oksidasi. 3 Bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meskipun

sudah dipanaskan.

3.3.2 Kadar Lemak

Ambil abu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ekstrasi sochlet yang akan

digunakan. Timbang 1 gram sampel yang telah dihaluskan langsung kedalam kertas saring.

Kemudian tutup dengan kapas – wool yang bebas lemak. Letakan timbel atau kertas saring

yang berisi sampel tersebut dalam alat ekstrasi soxhlet, kemudian pasang alat kondensor

diatasnya dan abu kemak dibawahnya. Tuangkan pelarut dietil eter atau petroleum eter

kedalam abu labu kemak secukupnya, sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan.

Lakukan refluks selama minimum 5 jam sampai pelarut yang turun kembali kelabu lemak

berwarna jernih. Destilasi pelarut yang ada dalam abu lemak, kemudian tampung pelarutnya.

Selanjutnya labu kemak yang berisi lemak hasil ekstrasi dipanaskan dalam oven pada suhu

105°C. Setelah dikeringkan sampai berat konstan dan didinginkan dalam desikatoe, timbang

labu beserta lemaknya tersebut.

3.3.3 Kadar Protein

Timbang contoh sebanyak 1 – 2 gram masukan dalam labu destruksi, tambahkan 5 gram

campuran nutrium sulfat dan mercury oxide ( 20 : 1 ). Tambahkan kedalam labu destruksi 10

ml asam sulfat pekat. Lakukan pemanasan labu destruksi mula-mula pada suhu 200 - 250°C

sampai larutan tidak berasap lagi kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 300 400°C

sampai larutan didalam labu menjadi jernih. Bilas labu destruksi dengan aquades dan lakukan

pemanasan pada suhu yang sama sampai lerutan menjadi jernih. Pindahkan labu destruksi

kedalam alat destilasi dan lakukan pengenceran dengan aquades secukupnya, kedalam abu

xxiv
destruksi tambahkan larutan NaOH 45% sampai larutan bersifat alkalis (basah) diuji dengan

kertas lakmus. Tempatkan Erlenmeyer pada larutan penampung ( asam boric 5%). Destilasi

sampai volume laruta dalam labu destilasi 2/3 telah menguap atau larutan yang keluar dari

ujung pendingin alat destilasi tidak bersifat basah lagi ( diuji dengan kertas lakmus). Lakukan

tetrasi larutan hasil destilasi dengan HC1 0,1 N sampai mencapai titik ekuivalen (warna

keabu-abuan). Catat jumlah m1 HC1 0,1 N yang digunakan.

3.3.4 Kadar Abu

Cawan abu dipanaskan dalam oven. Dengan suhu abu 105°C dinginkan cawan

pengabuan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang berat cawan abu kosong.

Kedalam cawan abu, masukan sekitar 2 gram sampel, selanjutnya abukan dalam tungku

pengabuan sampai suhu sekitar 650°C dan biarkan pada suhu selama 1 jam. Setelah suhu

tungku pengabuan turun sekitar 200°C. Dinginkan cawan abu porselin dalam desikator

selama 30 menit dan timbang beratnya.

3.3.5 Uji Organoleptik

Uji organoleptik adalah cara untuk mengukur, nilai dan menguji mutu komoditas. Uji

organoleptik juga disebut pengukuran subyektif manusia sebagai alat ukur (Soekarto, 1990).

Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses penginderaan.

Bagian organ tubuh yang berperan dalam penginderaan adalah : mata, telinga, indra

pencicip, indra pembau dan indra peraba atau sentuhan. Kemampuan alat indra memberikan

kesan atau tanggapan dapat dianalisis atau dibedakan berdasarkan jenis kesan. Luas daerah

kesan adalah gambaran dari sebaran atau cakupan dari alat indera yang menerima

rangsangan. Kemampuan memberikan kesan dapat dibedakan berdasarkan kemampuan alat

xxv
indera memberikan reaksi atas rangsangan yang diterima. Kemampuan tersebut meliputi

kemampuan mendeteksi untuk melaksanakan penelitian organoleptik diperlukan panelis.

3.4 Perlakuan

Penelitian ini terdiri dari 1 perlakuan yaitu lama fermentasi yang terdiri dari 4 taraf

perlakuan yaitu :

A. Lama fermentasi dalam minggu

A0. 0 hari

A1. 7 hari

A2. 14 hari

A3. 21 hari

3.4 Parameter Uji

Parameter yang dianalisis dalam penelitian ini adalah analisis Kadar Air, Kadar Lemak,

Kadar Protein, Kadar Abu dan Uji Organoleptik.

3.5 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini direncanalan pada bulan April 2023 sampai selesai, dilaksanakan

dilaboratorium Teknologi Hasil Perikanan Faklutas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas

Patimura Ambon.

xxvi
DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan pengawetan ikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Afrianto, E, Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta : Kanisius

Belitz, H. D., Grosch, W., Schieberle,p. 2009. Food Chemistry. Edisi 4 Revisi.

Buckle, K. A, R.A. Edwards, G. H. Fleet, M. Wootton, 1978. Ilmu Pangan. Purnomo H,


Adiono, Penerjemah; Jakarta: UI press. Terjemahan dari : Food Science.

Fadias, S. 1993. Analisa Mikrobiologi Pangan. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Indrawati, I dan Fakhrudin, D. S. 2016. Isolasi dan Identifikasi Jamur Patogen


Pada Air Sumur dan Air Sungai di Pemukiman Warga Desa Karawangi, Cianjur, Jawa
Barat. Jurnal Biodjati, 1(1), 27-38.

Juharni. 2013. Pengaruh Konsentrasi Garam dan Lama Fermentasi terhadap Kadar Histamin
Peda Ikan Kembung Perempuan (Rastrelinger nelectus). Jurnal Ilmiah Agribisnis dan
Perikanan Vol.6 Edisi 1. Ternate.

Kamiyah T, Miyukigaoka, T. Shi, Ibaraki. 2002. Biological Functions and healt


BemefistOf Amino Acids. Foods food Ingredients. No 206.

Lehninger, Albert. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: Erlangga.

Madigan, M. T., M. Martinko., J. Parker. 2009. Biologi Of Microorganisms. New


York: Prentice Hall Internasional.

xxvii
Hayuningtyas C. R.. 2015. Formulasi dan Karakteristik Saus Berbahan Baku Hidrolitas Hasil
Hidrolisis Enzimatik dari Ikan Inferior. [skripsi]. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember.

Rahayu, W.P., Suliantari dan Fardiaz. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan Bogor.
PAU Pangan dan Gizi. IPB.

Rinto, E., Arafah, S. B. dan Utama. 2019. Kajian Keamanan Pangan (formalin, Garam dan
Mikroba) Pada Ikan Sepat Asin Produksi Indralaya. Jurnal Pembangunan Manusia,
8 (2), 20-25.

Soekarto 1990 Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Pertanian.
Penerbit Bhara Karya Aksara, Jakarta.

Siregar, D. 2004. Ikan Asin. Kanisius. Yogyakarta.

Sudarmadji. S. dkk. 2007. Analisis bahan makanan dan pertanian. Liberty. Yogyakarta

Sukmawati., Ratna. dan Fahrizal, A. 2018. Analisis Cemaran Mikroba pada Daging Ayam
Broiler di Kota Makasar. Jurnal Scripti Biologica 5(1): 68- 71.

Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. Surabaya. UNESA Press.

xxviii

Anda mungkin juga menyukai