Anda di halaman 1dari 33

PROPOSAL PENELITIAN

UJI TOKSISITAS AIR DETERJEN DAIA TERHADAP IKAN ZEBRA


(Branchyndanio rerio)

Proposal ini disusun untuk memenuhi tugas praktikum farmakologi

Dosen Pengampu : 1.Osie Listina, M.Sc., Apt

2.Devi Ika K., M.Sc., Apt

Disusun oleh:

Kelompok 2

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

STIKes BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI

1
1
MOTTO

Semua orang itu jenius, tetapi jika kau menilai kemampuan seekor ikan dalam

memanjat pohon, maka ikan itu akan merasa bodoh seumur hidupnya

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami sampaikan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
proposal penelitian ini yang berjudul “UJI TOKSISITAS AIR DETERJEN
DAIA TERHADAP IKAN ZEBRA (Branchyndanio rerio)”. Proposal
penelitian ini disusun untuk melengkapi salah satu tugas mata kuliah Praktikum
Farmakologi II Semester III Tahun 2019.
Kami sadar bahwa dalam membuat proposal penelitian ini bukan semata-

mata atas kemampuan kami sendiri, melainkan dibantu oleh beberapa pihak. Oleh

karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Risnanto, S.ST, M.Kes selaku ketua STIKes Bhakti Mandala

Husada Slawi yang telah menyediakan sarana dan prasarananya.

2. Ibu Endang Istriningsih, M.Clin.Pharm.,Apt selaku ketua Program Studi S1

Farmasi STIKes Bhamada Slawi.

3. Ibu Osie Listina, M.Sc., Apt selaku dosen pengampu Praktikum Farmakologi

II.

4. Ibu Devi Ika K., M.Sc., Apt selaku dosen koordinator Praktikum Farmakologi

II.

5. Ayah dan Ibunda tercinta yang telah memberikan dukungan baik secara moral

maupun material.

6. Semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini

baik secara langsung maupun tidak langsung.

iii
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga

kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari Bapak/ Ibu

Dosen.

Slawi, 9 Desember 2019

Penulis

iv
ABSTRAK

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

MOTTO .......................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

ABSTRAK ...................................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang ....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................. 2

C. Tujuan Penelitian ................................................................... 2

D. Manfaat Penelitian ................................................................. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 5

A. Alkyl Sulfate (AS) ................................................................ 5

B. Deterjen atau Surfaktan ......................................................... 10

C. Klasifikasi Surfaktan .............................................................. 11

D. Ikan Zebra ............................................................................. 12

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 24

A. Obyek Penelitian .................................................................... 24

B. Metode Penelitian................................................................... 26

C. Design Penelitian ................................................................... 27

vi
D. Alat dan bahan penelitian ....................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA

vii
1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemakaian bahan pembersih sintesis yang dikenal dengan deterjen

makin marak di masyarakat luas, di dalam deterjen terkandung komponen

utamanya, yaitu surfaktan, baik bersifat kationik, anionik maupun non-ionik.

Produksi deterjen di Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton.

Sedangkan untuk tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan

oleh Pusat Audit Teknologi di wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita

rata-rata sebesar 8,232 kg (Anonimous, 2009). Perkembangan usaha binatu

atau laundry yang sebelumnya hanya dikhususkan bagi masyarakat menengah

ke atas, kini mengalami pergeseran hingga harganya dapat dijangkau semua

kalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan limbah deterjen semakin banyak

kuantitasnya.

Air limbah detergen termasuk polutan atau zat yang mencemari

lingkungan karena didalamnya terdapat zat yang disebut ABS (alkyl benzene

sulphonate) yang merupakan deterjen tergolong keras. Deterjen tersebut sukar

dirusak oleh mikroorganisme (nonbiodegradable) sehingga dapat

menimbulkan pencemaran lingkungan (Anonimous, 2009).

Air merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi,

sehingga tidak ada kehidupan jika tidak ada air di bumi. Air yang bersih

sangat dibutuhkan maunia, baik untuk keperluan sehari-hari, untuk keperluan

1
industri, untuk keperluan sanitasi kota, dan sebagainya. Air akan menjadi

masalah penting jika tersedia dalam kondisi yang tidak baik, berdasarkan

kualitas maupun kuantitas airnya.

Air dengan kondisi yang tidak baik merupakan salah satu akibat

adanya pencemaran. Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu

tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan, dan air tanah akibat

aktivitas manusia.maupun terjadi sebagai akibat dari pengaruh alam.

Banyaknya bahan-bahan pencemar atau limbah sisa industri yang masuk ke

badan air akan menurunkan kualitas dari air tersebut.

Banyaknya zat pencemaran yang terkandung mencemari perairan akan

menyebabkan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam perairan dan bersifat

toksik. Hal tersebut akan mempengaruhi kehidupan biota air, menghambat

perkembangan, bahkan menimbulkan kematian. Biota-biota perairan sendiri

terdiri dari tambuhan air, ikan, dan jasad renik.

Untuk mengetahui kemampuan badan air dalam menerima suatu zat

pencemardan efek zat pencemar terhadap biota dalam suatu perairan, perlu

dilakukan suatu uji toksisitas zat pencemar terhadap biota yang ada yaitu

dalam bentuk Lethal Concentration (LC50), yaitu uji toksisitas yang

digunakan untuk mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan durasi

pemaparan yang dapat menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis.

Limbah membutuhkan pengolahan bila ternyata mengandung senyawa

pencemaran yang berakibat menciptakan kerusakan terhadap lingkungan atau

paling tidak potensial menciptakan pencemaran Dengan makin luasnya

2
pemakaian deterjen maka risiko bagi kesehatan manusia maupun kesehatan

lingkungan pun makin rentan. Limbah yang dihasilkan dari deterjen dapat

menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan yang selanjutnya

akan mengganggu atau mempengaruhi kehidupan masyarakat (Heryani dan

Puji, 2008).

Dalam kasus menentukan tingkat toksisitas limbah ini digunakan jenis

biota air yaitu zebrafish dan parameter uji dengan menggunakan Air deterjen

merk daia .Oleh karena itu, praktikum Toksisitas deterjen pada Biota Air ini

penting untuk dilakukan agar dapat diketahui seberapa besar tingkat toksisitas

suatu toksisitas dan kemampuan biota air dalam menerima toksisitas tersebut

dimana masing-masing diberi perlakuan selama beberapa hari dengan dosis

toksisitas yang berbeda.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh toksisitas sabun Daia terhadap kehidupanikan zebra ?

2. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas air?

1.3 Tujuan Penenlitian

1. Untuk mengetahui pengaruh toksisitas sabun Daia terhadap kehidupan

zebrafish.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas air.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari kajian ini adalah sebagai bahan informasi bagi masyarakat

pengguna deterjen akan dampak dan bahayanya terhadap kehidupan biota air

3
dan manusia sehingga diharapkan masyarakat tersebut akan lebih bijaksana

dan sadar dalam membuang limbah deterjennya ke lingkungan perairan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Zebra

Ikan zebra, Amatitlania nigrofasciata (Günther, 1867) adalah ikan asli

dari Amerika Selatan (Scmitter-Soto, 2007). Ikan tersebut ter-masuk dalam

ordo Perciformes, subordo Labroi-dei, famili Cichlidae dan subfamili

Cichlasomati-nae (Bisby, 2012). Menurut Froese & Pauly (2011), ikan tersebut

berukuran panjang baku ku-rang dari 10 cm dan memiliki ciri khas berupa

garis vertikal hitam pada badannya sehingga ikan zebra juga biasa disebut

convict cichlid. Ikan zebra mampu menghasilkan rata-rata 100-150 butir telur

yang dijaga dengan ketat dan dirawat oleh ikan jantan dan betina (Yamamoto

& Tagawa, 2000).

Ikan zebra menyenangi perairan berbatu dan sering ditemukan

berlindung pada celah-ce-lah retakan batuan atau pada akar tumbuhan dan

ranting pohon yang jatuh (Conkel, 1993). Ikan zebra merupakan ikan

bentopelagis dan memiliki persebaran di perairan tawar daerah tropis de-ngan

kisaran pH antara 7-8 (Froese & Pauly, 2011). Ikan tersebut mampu

beradaptasi pada perairan yang dingin dan mampu hidup di danau vulkanis

pada ketinggian 1.500 m di atas permu-kaan laut (Loiselle, 1995).

5
2.2 Klasifikasi Ikan Zebra

Ikan zebra umumnya ditemukan tumbuh dan berkembang pada perairan

yang mengalir. Berikut klasifikasi ikan zebra menurut Meyer (1993) dalam

Cindelaras (2015)

Filum : Chordata

Kelas : Actynopterygii

Ordo : Cypriniformes

Famili : Cyprinidae

Genus : Branchyndanio

Spesies : Branchyndanio rerio

Gambar 1. Ikan Zebra (A. Betina, B. Jantan) (Kuncoro, 2008)

Ikan zebra (Danio rerio) merupakan golongan ikan cyprinid yang

mempunyai ukuran tubuh kecil, yaitu antara 3-5 cm. Pada tubuh ikan zebra

ditutupi oleh garis-garis berwarna putih kekuningan dan hitam yang

berawaldari pangkal ekor sampai operculum. Garis horizontal ini

memperlihatkan kesan langsing pada ikan jantan. Warna pada ikan jantan

terlihat lebih cerah dan menarik dibandingkan dengan ikan betina. Bentuk

tubuh ikan zebra pipih dengan perut sedikit membundar. Pada betina yang

sudah matang gonad, perut akan tampak sangat membundar. Dalam jumlah

6
banyak, ikan zebra membentuk barisan lalu memperlihatkan gerakan serasi dan

terlihat menawan. Ikan ini juga mempunyai kebiasaan untuk tidak berganti

pasangan bila memijah, walaupun pemijahannya secara masal. Pakan yang

dikonsumsi oleh ikan zebra jenisnya beragam, khususnya pakan hidup seperti

artemia dan cacing sutera (Nagel, 2002).

2.3 Deterjen

Deterjen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah

menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern mulai rumah

tangga sampai industri. Di sisi lain, detergen harus memenuhi sejumlah

persyaratan seperti fungsi jangka pendek (short therm function) atau daya

kerja cepat, mampu bereaksi pada suhu rendah, dampak lingkungan yang

rendah dan harga yang terjangkau (Jurado et al, 2006).

Produksi deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380 ribu ton.

Sedangkan tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan oleh

Pusat Audit Teknologi di wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita rata-

rata sebesar 8,232 kg (Anonimous, 2009).

Dibandingkan dengan produk terdahulu, sabun, deterjen mempunyai

keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak

terpengaruh oleh kesadahan air. Pada umumnya detergen bersifat surfaktan

anionik yang berasal dari derivat minyak nabati atau minyak bumi

(Chantraine F et all, 2009).

Setelah Perang Dunia II, detergen sintetik mulai dikembangkan

dengan gugus utama surfaktant adalah ABS (Alkyl Benzene Sulfonate) yang

7
sulit di biodegradabel, maka pada tahun 1965 industri mengubahnya dengan

yang biodegradabel yaitu dengan gugus utama surfaktant LAS (Linier Alkyl

Benzene Sulfonate). Menurut Asosiasi Pengusaha Deterjen Indonesia

(APEDI), surfaktan anionik yang digunakan di Indonesia saat ini adalah alkyl

benzene sulfonate rantai bercabang (ABS) sebesar 40% dan alkyl benzene

sulfonate rantai lurus (LAS) sebesar 60%. Alasan penggunaan ABS antara

lain karena harganya murah, stabil dalam bentuk krim pasta dan busanya

melimpah. Dibandingkan dengan LAS, ABS lebih sukar diuraikan secara

alami sehingga pada banyak negara di dunia penggunaan ABS telah dilarang

dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia, peraturan mengenai

larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih digunakannya

ABS dalam produk deterjen, antara lain karena harganya murah,

kestabilannya dalam bentuk krim pasta dan busanya melimpah (Anonimous,

2009).

Bahan – bahan yang umum terkandung pada deterjen adalah :

1. Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang

mempunyai ujung berbeda yaitu hydrophile (suka air) dan hydrophobe

(suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan

air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan

bahan. Surfaktant terbagi atas jenis anionic (Alkyl Benzene

Sulfonate/ABS, Linier Alkyl Benzene Sulfonate/LAS, Alpha Olein

Sulfonate/AOS), sedangkan jenis kedua bersifat kationik (Garam

8
Ammonium) dan jenis yang ketiga bersifat non ionic (Nonyl phenol

polyethoxyle) serta Amphoterik (Acyl Ethylenediamines).

2. Builder (Permbentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari

surfaktan dengan cara menonaktifkan mineral penyebab kesadahan air,

dapat berupa Phosphates (Sodium Tri Poly Phosphate/STPP), Asetat

(Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tetra Acetate/EDTA), Silikat

(Zeolit), dan Sitrat (asam sitrat).

3. Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai

kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau

dapat memadatkan dan memantapkan sehingga dapat menurunkan harga,

misal Sodium sulphate.

4. Additives adalah bahan suplemen/ tambahan untuk membuat produk lebih

menarik, misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya

yang tidak berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Additives

ditambahkan lebih untuk maksud komersialisasi produk. Contohnya

enzyme, borax, sodium chloride, Carboxy Methyl Cellulose (CMC)

dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh detergent ke dalam larutan

tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti Redeposisi).

Wangi – wangian atau parfum dipakai agar cucian berbau harum,

sedangkan air sebagai bahan pengikat.

Menurut kandungan gugus aktifnya detergen diklasifikasikan sebagai

deterjen jenis keras dan jenis lunak. Deterjen jenis keras sukar dirusak oleh

mikroorganisme meskipun bahan deterjen tersebut dibuang akibatnya zat

9
tersebut masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan pencemaran air. Salah

satu contohnya adalah Alkil Benzena Sulfonat (ABS). Sedangkan detergen

jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya mudah dirusak oleh

mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai, misalnya Lauril

Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat. (LAS).

Pada awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini

meluas dan ditambahkan dalam berbagai bentuk produk seperti personal

cleaning product (sampo, sabun cuci tangan), laundry sebagai pencuci

pakaian merupakan produk deterjen yang paling populer di masyarakat,

dishwashing product sebagai pencuci alat rumah tangga baik untuk

penggunaan manual maupun mesin pencuci piring, household cleaner sebagai

pembersih rumah seperti pembersih lantai, pembersih bahan-bahan porselen,

plastik, metal, gelas (Arifin, 2008).

2.4 Definisi Pencemaran Air


Polusi atau pencemaran adalah suatu keadaan dimana suatu lingkungan

sudah tidak alami lagi karena telah tercemar oleh polutan. Misalnya air sungai

yang tidak tercemar airnya masih murni dan alami, tidak ada zat-zat kimia yang

berbahaya, sedangkan air sungai yang telah tercemar oleh detergen misalnya,

mengandung zat kimia yang berbahaya, baik bagi organisme yang hidup di

sungai tersebut maupun bagi makhluk hidup lain yang tinggal di sekitar sungai

tersebut (Anonimous, 2009). Standar Nasional Indonesia (SNI) mengatakan

bahwa air limbah sisa dari hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud air.

Menurut PP No 82 Tahun 2001, pencemaran air adalah masuknya atau

dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam

10
air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat

tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukannya. Sedangkan pengendalian pencemaran air adalah upaya

pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air

untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air.

Pencemaran perairan adalah suatu perubahan fisika, kimia dan biologi

yang tidak dikehendaki pada ekosistem perairan yang akan menimbulkan

kerugian pada sumber kehidupan, kondisi kehidupan dan proses industri

(Sastrawijaya, 1991). Pencemar air dikelompokkan sebagai berikut:

a. Bahan buangan organic

Bahan buangan organik pada umumnya berupa limbah yang dapat

membusuk atau terdegradasi oleh mikroorganisme, sehingga hal ini dapat

mengakibatkan semakin berkembangnya mikroorganisme dan mikroba

patogen pun ikut juga berkembangbiak di mana hal ini dapat

mengakibatkan berbagai macam penyakit.

b. Bahan buangan anorganik

Bahan buangan anorganik pada umumnya berupa limbah yang tidak dapat

membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Apabila bahan

buangan anorganik ini masuk ke air lingkungan maka akan terjadi

peningkatan jumlah ion logam di dalam air, sehingga hal ini dapat

mengakibatkan air menjadi bersifat sadah karena mengandung ion kalsium

(Ca) dan ion magnesium (Mg).

11
c. Bahan buangan zat kimia

Bahan buangan zat kimia banyak ragamnya seperti bahan pencemar air

yang berupa sabun, bahan pemberantas hama, zat warna kimia, larutan

penyamak kulit dan zat radioaktif. Zat kimia ini di air lingkungan

merupakan racun yang mengganggu dan dapat mematikan hewan air,

tanaman air dan mungkin juga manusia (Sastrawijaya, 1991).

2.5 Definisi Air Limbah

Air limbah adalah air yang tidak bersih dan mengandung berbagai zat

yang dapat membahayakan kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya

yang muncul karena hasil aktivitas atau kegiatan manusia. Untuk mengetahui

lebih luas tentang air limbah maka perlu diketahui kandungan apa saja yang

terdapat didalam air limbah dan bagaimana sifat-sifatnya. Pada intinya air

limbah dapat dikelompokan menjadi 3 sifat yaitu sifat fisik, sifat kimia dan

sifat biologis. Sifat-sifat tersebut adalah:

1. Sifat fisik

Penentuan tercemar atau tidaknya air limbah sangat dipengaruhi oleh sifat

fisik yang mudah dilihat. Adapunsifat fisik yang penting adalah kandungan

zat padat yang berefek estetika, kejernihan, warna, bau dan temperatur. Zat

organik yang ada pada air limbah sebagian besar mudah terurai

(degradable) yang merupakan sumber makanan dan media yang baik bagi

pertumbuhan mikroorganisme. Salah satu faktor yang mempengaruhi sifat

fisik tersebut adalah turbiditas atau kekeruhan.

12
2. Sifat kimia

Sifat kimia dari air limbah dapat diketahui dengan adanya zat kimia dalam

air buangan. Zat kimia yang terpenting dalam air limbah pada umumnya

dapat diklasifikasikan menjadi bahan organik dan pH.

3. Sifat bakteriologis

Sifat bakteriologis pada air buangan perlu diketahui untuk menaksir

tingkat kekotoran air sebelum di buang kebadan air. Mikroorganisme yang

penting dalam air limbah dan air permukaan dapat diklasifikasikan

menjadi dua yaitu:

1. Protista, meliputi jamur, bakteri dan algae

2. Binatang dan tanaman (Sumarwoto, 1984).

Selain itu pencemaran akibat deterjen mengakibatkan timbulnya bau

busuk. Bau busuk ini berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil

proses penguraian bahan organik lanjutan oleh bakteri anaerob.Fosfat

memegang peranan penting dalam produk deterjen, sebagai softener air dan

Builders. Bahan ini mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat

ion kalsium dan magnesium. Berkat aksi softenernya, efektivitas dari daya

cuci deterjen meningkat. Fosfat pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly

Phosphate (STPP). Fosfat tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya

merupakan salah satu nutrisi penting yang dibutuhkan mahluk hidup. Tetapi

dalam jumlah yang terlalu banyak, fosfat dapat menyebabkan pengkayaan

unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air sungai/danau, yang

ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara tidak

13
langsung dapat membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara

Eropa, penggunaan fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa

substitusi yang relatif lebih ramah lingkungan (Anonimous, 2009).

Ahsan et al (2005) menyatakan bahwa penghilangan jumlah fosfat

dapat dilakukan dengan adsorpsi sederhana serta efisiensi penghilangan ion

fosfat dengan concentrate menurun dengan peningkatan suhu, sementara

peningkatan suhu pada shell (kerang) cenderung dapat meningkatkan efisiensi

ion fosfat dari 20% menjadi 55%. Oleh karena itu, penghilangan ion fosfat

dengan shell dilakukan pada suhu yang relatif tinggi.

Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan karena dari beberapa

kajian menyebutkan bahwa detergen memiliki kemampuan untuk melarutkan

bahan dan bersifat karsinogen, misalnya 3,4 Benzonpyrene, selain gangguan

terhadap masalah kesehatan, kandungan detergen dalam air minum akan

menimbulkan bau dan rasa tidak enak. Deterjen kationik memiliki sifat racun

jika tertelan dalam tubuh, bila dibanding deterjen jenis lain (anionik ataupun

non ionik).

Terdapat dua ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana

produk-produk kimia (deterjen) aman di lingkungan yaitu daya racun

(toksisitas) dan daya urai (biodegradable). ABS dalam lingkungan

mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga deterjen ini

dikategorikan sebagai ‘non-biodegradable’.Dalam pengolahan limbah

konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan aktif ABS lolos

dari pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan. Hal ini dapat

14
menimbulkan masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air

sehingga pada perkembangannnya digantikan dengan LAS mempunyai

karakteristik lebih baik, meskipun belum dapat dikatakan ramah lingkungan.

LAS mempunyai gugus alkil lurus/ tidak bercabang yang dengan mudah

dapat diurai oleh mikroorganisme.

LAS relatif mudah didegradasi secara biologi dibanding ABS. LAS

bisa terdegradasi sampai 90 persen. Akan tetapi prorsesnya sangat lambat,

karena dalam memecah bagian ujung rantai kimianya khususnya ikatan o-

mega harus diputus dan butuh proses beta oksidasi, karena itu perlu waktu.

Penelitian Heryani dan Puji (2008 ) mendapatkan hasil bahwa alam

membutuhkan waktu 9 hari untuk menguraikan 50% LAS.

Detergen ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat

lambat terurai oleh bakteri pengurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang

pada spektrumya. Dengan tidak terurainya secara biologi deterjen ABS,

lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh ABS akan dipenuhi oleh busa,

menurunkan tegangan permukaan dari air, pemecahan kembali dari gumpalan

(flock) koloid, pengemulsian gemuk dan minyak, pemusnahan bakteri yang

berguna, penyumbatan pada pori – pori media filtrasi.

Kerugian lain dari penggunaan deterjen adalah terjadinya proses

eutrofikasi di perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan

kandungan fosfat tinggi. Eutrofikasi menimbulkan pertumbuhan tak

terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan pendangkalan sungai.

Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi pada

15
tangan dan kaustik. Karena diketahui lebih bersifat alkalis. Tingkat

keasamannya (pH) antara 10 – 12 (Ahsan S et al, 2005).

2.6 Bahaya Surfaktan

Surfaktan adalah bahan yang paling penting pada produk deterjen

(hingga 15-40 % dari total formulasi deterjen). Zat ini dapat mengaktifkan

permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar

muka), atau zat yang dapat menaikkan dan menurunkan tegangan permukaan.

Dengan surfaktant dapat terjadi perubahan dalam tegangan permukaan yang

menyertai proses pembasahan, daya busa yang stabil, daya emulsi yang stabil

(Scheibel, 2004).

Efek negatif dari Surfaktan dapat menyebabkan permukaan kulit kasar,

hilangnya kelembaban alami yamg ada pada permukan kulit dan

meningkatkan permeabilitas permukaan luar. Hasil pengujian

memperlihatkan bahwa kulit manusia hanya mampu memiliki toleransi

kontak dengan bahan kima dengan kandungan 1 % LAS dan AOS dengan

akibat iritasi ‘sedang’ pada kulit. Surfaktan kationik bersifat toksik jika

tertelan dibandingkan dengan surfaktan anionik dan non-ionik. Sisa bahan

surfaktan yang terdapat dalam deterjen dapat membentuk chlorbenzene pada

proses klorinisasi pengolahan air minum PDAM. Chlorbenzene merupakan

senyawa kimia yang bersifat racun dan berbahaya bagi kesehatan. Pengaruh

lain yaitu penghambatan pertumbuhan dalam tumbuhan, ikan, dan budding

dalam hidra, kerusakan organ sensoris luar yang peka sehingga dapat

mengganggu pemilihan makanan, mempengaruhi sinergis zat – zat dan

16
surfaktan subletal menyebabkan pengambilan zat lipofilik yang lebih cepat

dan memperkuat toksisitas zat ini. Air yang mengandung surfaktan (2 – 4

ppm) tidak dapat dideteksi perubahannya (Heryani dan Puji, 2008).

2.7 Ikan sebagai Indikator Pencemaran

Untuk menaksir efek toksiologis dari beberapa polutan kimia dalam

lingkungan dapat diuji dengan menggunakan spesies yang mewakili

lingkungan yang ada di perairan tersebut. Spesies yang diuji harus dipilih atas

dasar kesamaan biokemis dan fisiologis dari spesies dimana hasil percobaan

digunakan (Indra Chahaya, 2011).

Kriteria organisme yang cocok untuk digunakan sebagai uji hayati

tergantung dari beberapa faktor:

a. Organisme harus sensitif terhadap material beracun dan perubahan

lingkungan

b. Penyebarannya luas dan mudah didapat dalam jumlah yang banyak

c. Mempunyai arti ekonomi, rekreasi dan kepentingan ekologi baik secara

daerah maupun nasional

d. Mudah dipelihara dalam laboratorium

e. Mempunyai kondisi yang baik, bebas dari penyakit dan parasit

f. Sesuai untuk kepentingan uji (Indra Chahaya, 2011)

Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun

terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi

tertentu. Reaksi ini dapat ditunjukkan dalam percobaan di laboratorium, di

mana terjadi perubahan aktivitas pernapasan yang besarnya perubahan diukur

17
atas dasar irama membuka dan menutupnya rongga “Buccal” dan ofer kulum.

Pengukuran aktivitas pernafasan merupakan cara yang amat peka untuk

mengukur reaksi ikan terhadap kehadiran senyawa pencemar (Indra Chahaya,

2011).

Sebagai indikator dari toxicant sub lethal juga dapat dilihat dari

frekuensi bentuk ikan. yang mana digunakan untuk membersihkan

pembalikan aliran air pada insang, yang merupakan monitoring pergerakan

respiratory. Selain gerakan ofer kulum dan frekuensi batuk parameter darah

merupakan indikator yang sensitif pada kehidupan sebagai peringatan awal

dari kualitas air. Perubahan faal darah ikan yang diakibatkan senyawa

pencemar, akan timbul sebelum terjadinya kematian. Pemeriksaan darah

mempunyai kegunaan dalam menentukan adanya gangguan fisiologis tertentu

dari ikan. Parameter faal darah dapat diukur dengan mengamati kadar

hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah sel darah merah (Indra Chahaya,

2011).

2.8 Landasan Teori

Ikan zebra merupakan hewan uji yang mutagennya telah banyak

digunakan untuk mengidentifikasi perkembangan gen vertebrata

(Jagadeeswaran & Sheehan 1999). Keuntungan penggunaan ikan zebra

sebagai hewan uji antara lain tingkat kesamaan yang tinggi dengan mamalia

dalam hal pengembangan mekanisme fisiologi molekular dan selular,

pembuahan terjadi di luar sehingga memungkinkan pengamatan langsung dan

manipulasi embrio, siklus perkembangan cukup cepat, memiliki korelasi

18
sistem organ yang baik dengan vertebrata lain, dan biaya pemeliharaan yang

murah. Selain itu, embrio ikan dan larva transparan sehingga dapat dilakukan

pengamatan organ dalam secara langsung (tanpa operasi) dengan

menggunakan mikroskop cahaya, dan embrio ikan bersifat permeabel

terhadap molekul-molekul kecil dan obat-obatan sehingga memungkinkan

pengamatan distribusi obat (Kari et al. 2007).

Menurut Berghmans et al. (2005), ikan zebra telah dikembangkan

sebagai hewan uji dalam penelitian terhadap penyakit manusia. Akhir-akhir

ini telah dikembangkan pengujian toksisitas pada embrio ikan zebra terhadap

penemuan obat-obatan terbaru dari suatu senyawa bahan alam, termasuk

toksisitas akut (LC50). Hasil uji toksisitas pada embrio ikan zebra telah

terbukti memiliki korelasi positif dengan hasil uji toksisitas pada mamalia

(Ma et al. 2007).

Deterjen merupakan bahan pencuci yang efektif karena didalamnya

terkandung satu atau lebih surfaktan yang dibuat dari minyak bumi, bahan

kimia seperti: sulfur, natrium, kalium, ethylene, alkohol dll (Hansen B, F. L,

et.al, 2005). Deterjen sintetik yang pertama, ditemukan pada akhir perang

dunia kedua disebut sebagai senyawa Alkil benzin sulfonat (ABS)

(Coutemanth D., 2004). Beberapa laporan mengungkapkan bahwa

penggunaan deterjen yang berlebih dan terhubung ke lingkungan perairan,

pada akhirnya akan sangat membahayakan bentuk kehidupan perairan dan

sekitarnya. Hal itu dapat terjadi karena tingginya konsentrasi limbah deterjen

19
yang masuk ke perairan, komposisi deterjen yang mengandung bahan toksik

dan pertahanannya proses dekomposisi (Dubinsky Z., 2004).

Penelitian Halang, et.al. (2004) telah dilakukan penelitian tentang

toksisitas air limbah deterjen terhadap ikan mas (Cyprinus carprio). Deterjen

yang dipakai pada penelitian tersebut adalah merek rinso dengan berbagai

variasi konsentrasi air limbah deterjen : 0 mg/L, 10 mg/L, 20 mg/L, 30 mg/L,

40 mg/L, dan 50 mg/L. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa deterjen

mempunyai sifat sebagai toksikan terhadap ikan dan konsentrasi deterjen

yang tinggi memperbesar toksisitasnya. Konsentrasi air limbah deterjen untuk

LC50 96 jam adalah sebesar 36 mg/L.

Kematian ikan uji tersebut disebabkan karena zat toksikan (deterjen)

yang terjerap ke dalam tubuh ikan berinteraksi dengan membran sel dan

enzim sehingga enzim tersebut bersifat immobil. Dengan demikian, kerja

enzim terhambat atau terjadi transmisi selektif ion-ion melalui membran sel.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Fujita dan Koga (1976), Lundahl dan

Cabredenc (1978) dalam Mautidina (2000) bahwa zat toksikan atau polutan

dapat menghambat kerja enzim di dalam tubuh ikan mas.

Selain itu, kematian ikan uji juga berkaitan dengan tegangan

permukaan deterjen, dimana percobaan Reiff (1975, dalam Mautina, 2000)

dengan menggunakan rainbow trout menemukan bahwa toksisitas

memperlhatkan suatu korelasi dengan tegangan permukaan. Korelasi ini jauh

lebih dekat dengan analisis kimia untuk kepekatan surfaktan. Penyebab

lainnya adalah berkaitan dengan ketersediaan oksigen terlarut, dimana

20
deterjen dengan kepekatan tinggi akan menghambat masuknya oksigen dari

udara ke dalam larutan uji (air limbah deterjen) sehingga ikan-ikan tersebut

lama kelamaan kehabisan oksigen. Varley (1987) mengatakan bahwa

konsentrasi oksigen terlarut tergantung pada tingkat kejenuhan air itu sendiri;

kejenuhan air dapat disebabkan oleh koloidal yang melayang di air maupun

jumlah larutan limbah deterjen yang terlarut di air.

Berdasarkan dari uraian tersebut, dapat dilakukan uji toksisitas akut

(LC50) air limbah deterjen merk daia terhadap ikan zebra (Branchyndanio

rerio).

2.9 Hipotesis

Air deterjen Daia mempunyai sifat sebagai toksikan yang

mempunyai efek toksik akut (LC50) terhadap ikan zebra (Branchyndanio

rerio).

21
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama satu minggu di Laboratorium

Farmakologi Farmasi Prodi S1 Farmasi STIKes Bhakti Mandala Husada

Slawi.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kontainer uji, bak

aklimasi, aerator, labu ukur 100 mL, gelas beker 100 mL, gelas ukur 10 mL,

timbangan analitik kertas milimeter, termometer, DO meter.

Bahan yang digunakan digunakan yaitu air tawar, ikan zebra, pelet

dan deterjen merk daia .

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian eksperimental

laboratorium untuk mengetahui efek toksik akut (LC50) air deterjen merk

Daia terhadap ikan zebra (Branchyndanio rerio).

1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi air deterjen merk

Daia .

2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah efek toksik akut (LC50) pada

ikan zebra (Branchyndanio rerio).

22
3. Variabel terkontrol

Variabel terkontrol dalam penelitian ini air tawar.

3.4 Prosedur Penelitian

a. Persiapan : Alat dan bahan disiapkan berupa wadah ikan , biota uji ( ikan

zebra) , air PDAM dan deterjen (merk DAIA). Mengaklimasi biota uji

dan membuat berbagai konsentrasi air deterjen.

b. Uji temuan awal : dilakukan sebagai uji pendahuluan untuk dapat

memprediksi konsentrasi toksikan uji yang digunakan dalam uji definitif.

Ikan uji dimasukan ke dalam masing-masing wadah yang mengandung

Air deterjen dengan konsentrasi toksikan (deterjen): 0,1gr/L, 1,0gr/L dan

2,5gr/L .

c. Uji definitif : range konsentrasi air deterjen ditetapkan berdasarkan hasil

uji temuan awal (10 mg/L sampai 30 mg/L), sehingga konsentrasi

toksikan uji yang digunakan adalah :10mg/L, 20mg/L, 30mg/L.

Pengukuran dilakukan dengan tiga kali seri dimana masing-masing seri

menggunakan 3 wadah uji. Masing masing wadah uji berisi 10 ekor biota

uji ( ikan zebra ). Ikan uji dimasukkan ke dalam masing-masing wadah uji

secara bersamaan dan mencatat waktunya. Pengamatan dilakukan selama

2x24 jam.

d. Pengukuran faktor lingkungan: pengukuran disolved oxygen(DO), pH ,

dan temperature dilakukan sebelum dan sesudah uji definitif.

e. Pengolahan data dan analisis data : yaitu dengan menggunakan metode

Litchfield-Wilcoxon, yang mempunyai langkah-langkah: 1. Mentabulasi

23
data, (2) memplot persen organismen (ikan uji) yang dipengaruhi (mati)

terhadap persen konsentrasi efluen(toksikan uji),(3) membaca persen efek

yang diharapkan untuk tiap tiap persen volume (konsentrasi efluen atau

air deterjen merk daia) yang diuji dan nilai-nilainya diplot pada kertas log

probit dengan membuat garis lurus yang sesuai,(4) membaca dan

menuliskan konstribusi Chi2 dengan menggunakan Nomograph , (5)

menghitung batas tingkat kepercayaan dan (6) mengekspresikan nilai

LC50 48 jam .

24

Anda mungkin juga menyukai