Anda di halaman 1dari 163

FIQIH PUASA RAMADHAN1

Oleh Imran Effendy Hasibuan2

A. PUASA RAMADHAN

Puasa salah satu syari`ah yang telah ada sejak umat-umat


terdahulu. Namun cara menunaikannya disempurnakan dalam
syari`ah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Di antara
keistimewaan kaifiat puasa umat Nabi Muhammad SAW ialah
disunnahkan sahur yang tidak terdapat pada puasa umat Nabi
Musa a.s. dan umat Nabi `Isa a.s. Sahur adalah makan minum
dalam waktu sahur yaitu dalam masa satu jam sebelum terbit fajar,
baik sudah sempat tidur sebelumnya maupun belum tertidur.
Dalam Syari`ah Islam disunnahkan melambatkan sahur dan
menyegerakan berbuka. Sedangkan dalam syari`ah yang dibawa
Nabi Musa dan Nabi `Isa a.s., orang yang hendak puasa esok hari
tidak dibenarkan makan minum pada malam hari apabila ia sudah
tertidur. Sehingga kalau seorang umat Nabi Musa a.s. sudah
tertidur di awal malam, kemudian ia terbangun maka tidak
dibolehkan lagi makan minum. Bahkan ia harus mulai menahan

1
Disampaikan di Masjid Fathu Jannatil Firdaus Pondok Pesantren Al-Faruqi
Pekanbaru Riau pada tanggal 1 Ramadhan 1444 H.
2
KH. Imran Effendy Hasibuan, MA adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia
Kota Pekanbaru Riau (masa khidmat 2022 – 2027); Pimpinan Pondok
Pesantren Al-Faruqi Pekanbaru Riau sejak Maret 2023 & Pengasuh Pondok
Pesantren Tahfidz Al-Junaid Pekanbaru Riau sejak 2019 sampai sekarang.
2

dari segala yang membatalkan puasa. Kemudian syari`ah ini


dirubah dengan diturunkannya surah Al-Baqarah ayat 187 yang
menyatakan “Silakan kamu makan dan silakan minum pada
malam hari hingga terbit fajar.”
Pada dasarnya puasa yang diwajibkan terhadap umat Nabi
Muhammad SAW hanyalah puasa Ramadhan. Kecuali yang
wajibnya karena sesuatu sebab seperti puasa nadzar dan puasa
kafarah. Puasa Ramadhan merupakan rukun keempat dalam
urutan rukun Islam yang lima. Puasa Ramadhan difardhukan pada
tahun kedua hijriah dengan diturunkan Alquran surah al-Baqarah
ayat 183 pada tanggal 15 Sya`ban 2 H yang artinya: “, Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu
agar kamu bertaqwa.”
Pada awalnya cara berpuasa kaum muslimin masih
mengikuti Syari`ah Islam yang dibawa oleh Nabi Musa dan Nabi
`Isa a.s., tidak boleh makan minum bagi orang yang telah tertidur
pada malam hari. Namun karena terjadi peristiwa memilukan yang
dialami seorang pekerja kebun kurma. Dia bekerja sehari penuh
dalam berpuasa Ramadhan, kemudian tertidur pada petang hari
sampai masuk waktu malam, karena itu tidak dibolehkan lagi
makan minum di malam hari sehingga ia pun menunaikan puasa
wishal besoknya dan bekerja lagi di kebun seperti biasa. Pada siang
hari sahabat ini pingsan dan hal ini dilaporkan kepada Rasulullah
SAW. Karena itu Allah SWT menurunkan surah al-Baqarah ayat
3

187 yang maksudnya: “Dan makanlah kamu dan minumlah kamu


hingga terbit fajar.” Berdasarkan ayat ini Nabi Muhammad SAW
mensyari`ahkan makan sahur walaupun sudah tertidur. Sahur
menjadi ibadah sunnah yang penuh berkah bagi orang yang
hendak berpuasa esok harinya.
Makna puasa menurut bahasa adalah menahan diri dari
yang membatalkan atau dari berbicara atau dari apa saja. Puasa
dalam arti bahasa ini seperti ungkapan Maryam Binti `Imran
Ibunda Nabi `Isa a.s.: ‫نِ نِ ِذِرتِِ ِلِ ِلرحِنِِ ِصِ ِومِا‬
ِّ ِ‫إ‬ Artinya:
“Sesungguhnya aku telah bernazar kepada Allah Yang Maha
Pengasih untuk berpuasa (yaitu diam tidak berbicara)”. (Q.S.
Maryam, 19:26). Siti Maryam menyatakan diri berpuasa, yaitu
diam tidak mau berbicara ketika kaumnya mempertanyakan hal
ihwal puteranya yang lahir tanpa Ayah. Ia mengisyaratkan agar
kaumnya menanyakan langsung kepada bayinya. Dan Nabi `Isa
a.s. yang masih bayi pun berkata-kata menjelaskan siapa dirinya
sebagaimana diceritakan al-Quran surah Maryam (19) ayat 29-32.
Menurut istilah syara` puasa ialah menahan diri dari segala yang
membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam
matahari dengan niat semata-mata karena Allah SWT.
Rukun puasa dalam fiqih Syafi`i ialah berniat malam hari
pada setiap malam dan meninggalkan segala yang membatalkan
puasa mulai terbit fajar shodiq (masuk waktu subuh) sampai
terbenam matahari (masuk waktu magrib). Syarat niat pada puasa
4

wajib ada dua yaitu: (1) tabyit yaitu berniat pada setiap malam.
Kalau seseorang berniat pada malam pertama Ramadhan akan
berpuasa pada seluruh hari Ramadhan, maka itu sah hanya untuk
hari pertama tidak sah untuk hari yang lain. Sebagian ulama
mazhab Syafi`i seperti Ibnu Hajar mengatakan, “Disunnahkan
pada malam pertama bulan Ramadhan berniat akan mempuasakan
seluruh hari bulan Ramadhan agar dapat dijadikan sebagai niat
cadangan seandainya terjadi lupa berniat pada suatu malam”.
Misalnya seandainya seseorang terlupa berniat pada malam ke 20
hingga masuk waktu subuh pada hari ke-20 tersebut. Jika hal
seperti ini terjadi, maka ia dapat taqlid kepada Imam Malik Ibni
Anas ra. Pendiri mazhab Maliki, karena menurut pendapat Imam
Malik, boleh dan sah berniat pada malam pertama akan
memuasakan seluruh hari bulan Ramadhan tahun itu tanpa berniat
lagi pada malam-malam berikutnya sampai hari terakhir
Ramadhan. Namun Ibnu Hajar menegaskan bahwa orang
bersangkutan pada contoh ini harus taqlid mengikuti pendapat
Imam Malik dalam pelaksanaan puasa, artinya tidak melakukan
hal-hal yang membatalkan puasa menurut Imam Malik bahkan
juga meninggalkan yang dimakruhkan menurut Imam Malik.3 (2)
ta`yin (menentukan nama puasa wajib seperti puasa fardhu

Ramadhan. Lafaz niat puasa Ramadhan ialah: ِ‫ن ويتِصومِغ ٍد‬

3
Baca Hasyiyah I`aanah at-Thalibin, J.2, hlm. 221 – 222.
5

ِ‫( عنِأداءِف رضِرمضانِهذهِالسنةِّلِلِتِعال‬Saya berniat puasa


esok menunaikan puasa fardhu Ramadhan tahun ini karena Allah
SWT).
Yang membatalkan puasa ada 10 macam yaitu:
1. Jima`.
2. Onani/ ‫ استمناء‬atau mengeluarkan mani.
3. Menyengaja memasukkan suatu benda ke dalam jauf
(rongga terbuka). Rongga terbuka dalam tubuh manusia
yaitu: mulut, hidung, telinga, qubul, dubur dan ihlil
(lobang kemaluan lelaki dan lobang susu). Batal puasa
apabila benda masuk sampai pada bagian batin rongga,
tidak batal kalau hanya samapai pada bagian zahirnya.
Misalnya mulut, rongga batin mulut adalah makhraj
(tempat keluar) huruf hamzah (‫ )ء‬dan huruf Ha )ِ‫(ها‬
sedangkan rongga zahirnya adalah makhroj huruf h )ِ‫(ح‬
atau makhroj kho )‫(خ‬. Rongga batin hidung adalah
khaitsum hidung, dan batin telinga adalah bahagian
dalamnya. Orang yang mandi junub secara normal yaitu
pakai gayung atau di pancuran, tidak batal puasanya
seandainya termasuk air ke dalam telinganya. Namun
kalau mandinya dengan menyelam sehingga termasuk air
ke dalam telinganya, maka batal puasanya. Contoh
lainnya, orang yang berkumur-kumur waktu berwudhu
dengan cara bersangatan memasukkan air ke dalam
6

kerongkongan sehingga tanpa disengajanya termasuk air


sampai pada tempat makhraj huruf hamzah, maka batal
puasanya. Karena makhruh hukumnya bersangatan dalam
berkumur-kumur. Namun seandainya dengan cara biasa
kumur-kumurnya, kemudian tanpa disengaja termasuk
juga air ke dalam sampai ke tempat makhraj huruf hamzah,
maka tidak batal puasanya, karena berkumur-kumur
waktu secara normal tersebut memang disyari`ahkan.
Orang yang istinja buang air besar harus hati-hati sewaktu
bersuci dari istinjanya. Cukup membasuh bagian zahir
duburnya jangan sampai ke bagian batin/ dalamya. Tidak
boleh memasukan ujung jari-jarinya ke dalam bagian
lewat keluar tinjanya karena ini bagian batinya. Kalau
sampai masuk ujung jari-jarinya ke bagian batin duburnya,
maka batal puasanya. Zahir dubur adalah bagian dubur
yang bisa tampak sewaktu seseorang duduk qodhohajat di
atas dua tumitnya, dan inilah yang wajib dibersihkan
sewaktu beristinja. Bagian yang tidak bisa dilihat ketika
duduk qodhohajat itu dinamakan batin duburnya, dan
tidak wajib membasuh bagian batin ini. Lelaki yang sedang
berpuasa tidak boleh memasukan benda kedalam batin
rongga kemaluan (dzakar)-nya walaupun benda itu tidak
melampaui hasyfah. Kalau dimasukan maka batal puasanya.
Seorang Ibu tidak boleh memasukan sesuatu ke dalam
rongga susunya. Kalau dimasukkan maka batal puasanya.
7

4. Muntah dengan sengaja/ ‫ استقاءة‬yaitu berusaha


mengeluarkan muntah meskipun tidak ada sesuatu apapun
yang kembali ke dalam rongga batin mulutnya. Namun
tidak membatalkan puasa kalau mengeluarkan dahak dari
bagian batin mulut ke zahir rongga mulut apabila ia
membuangnya bukan menelannya lagi. Sebab memang
perlu untuk membuang dahak. Akan tetapi kalau tidak ia
buang dahak tersebut setelah sampai di bagian zahir rongga
mulut tapi bahkan ditelannya lagi padahal ia dapat
membuangnya, maka batal puasanya.
5. Keluar darah haid.
6. Keluar darah nifas.
7. Melahirkan.
8. Gila walaupun sebentar. Kalau orang sakit gila kambuh
sakit gilanya sewaktu sedang berpuasa walaupun hanya
sebentar, maka batal puasanya.
9. Pingsan sepanjang hari. Orang yang pingsan sepanjang
hari, seperti seseorang setelah sahur pada pukul 04.30.
WIB dan sudah berniat puasa, kemudian ia pingsan
sebelum terbit fajar shodiq sampai terbenam matahari, dan
ia tersadar setelah masuk waktu berbuka maka tidak sah
puasanya.
10. Murtad.4

4
Baca Hasyiyah I`aanah at-Thalibin, J.2, hlm. 225 – 234.
8

Sunnah-sunnah puasa ialah:


1. Disunnahkan sahur. Disunnahkan mengakhirkan sahur
selama tidak syak tentang telah terbit fajar selagi sedang
sahur. Kalau syak maka tidak disunnahkan sedemikian
karena perintah Nabi SAW untuk meninggalkan yang
meragukan kepada sesuatu yang tidak meragukan. Dan
disunnahkan sahur dengan makanan kurma namun sudah
dapat sunnah sahur meskipun hanya dengan seteguk air
karena berdasarkan hadits. Waktu sahur sudah dihitung
apabila telah masuk tengah malam. Disunnahkan memakai
wangi-wangian sewaktu sahur. Disyariatkan sahur agar ada
kekuatan dalam menunaikan dan supaya berbeda dengan
puasa ahli kitab.
2. Disunnahkan menyegerakan berbuka apabila telah yakin
sudah terbenam matahari. Disunnahkan mendahulukan
berbuka dari menunaikan shalat jika tidak takut karena
menyegerakan berbuka berakibat tidak dapat shalat magrib
berjamaah atau tidak dapat takbiratul ihram bersama imam.
Disunnahkan berbuka dengan kurma karena berdasarkan
hadits, dan paling sempurnanya dengan tiga butir kurma.
Syekh Ibnu Hajar mengatakan tidak ada makanan yang
lebih sempurna dari kurma untuk perbukaan. Jika tidak
dapat kurma maka berbuka dengan air putih walaupun
hanya seteguk. Sesudah kurma tidak ada lagi yang paling
afdhol selain air putih. Dan disunnahkan berdo`a `aqiba
9

(begitu sudah memakan dan meminum perbukaan)


berbuka dengan do`a:

ِِ‫ِِالِلّهم‬.ِ‫اْلمدِِِّلِلِِ ِالذيِِأعانِنِ فصمتِ وِرزقِنِ فأفطرت‬


ِ‫ك‬ِ ِ‫لِكِِِصِمِتِِِ ِوعِلِىِ ِرِزقِكِِِأِفِطِِرتِِِ ِوبِكِِِآمِِنتِِِ ِوعِلِي‬
ِ‫اس ِع الِفِضِ ِل‬
ِ ‫تِِيِِ ِو‬
ِ ِ‫تِِ ِوإِلِيِكِِِأِنِب‬
ِ ‫حتِكِِِِرجِ ِو‬ِ ‫تِوكِلِتِِِِوِر‬
ِ‫ ِذهبِالظمأِواب ت لِتِالعروقِوث بتِالِجرِإن‬.ِ‫اغِفِرِ ِل‬
5.ِ
‫شاءِهللاِت عال‬
Artinya:
Segala puji bagi Allah yang telah menolongku untuk dapat
beribadah, maka aku pun berpuasa, dan telah
menganugerahiku rezeki maka aku pun berbuka. Ya Allah,
hanya untuk-Mu aku berpuasa, dan atas rezeki yang
Engkau anugerahkan aku berbuka, hanya dengan-Mu aku
beriman, hanya atas-Mu aku berserah diri, hanya rahmat-
Mu yang aku harapkan, hanya kepada-Mu aku Kembali,
wahai Tuhan Yang Maha Pemberi Karunia, berikanlah
ampunan bagiku. Telah hilang dahaga, telah basah
tenggorokan dan tetap pahala insya Allah SWT.
3. Disunnahkan mandi janabat dan yang semisalnya sebelum
fajar shodiq, demikian juga bersegera mandi wajib pada

5
Baca I`aanah at-Tholibin, J.2, halaman 247.
10

siang hari apabila berhadats besar seperti karena mimpi


basah.
4. Disunnahkan menahan diri dari makanan yang padanya ada
tergolong syubhat (tidak jelas halalnya), dan tentu harus
menahan diri dari makanan yang haram.
5. Disunnahkan menahan syahwat/ keinginan dari hal-hal
yang dibolehkan, baik yang berupa didengarkan maupun
berbentuk dilihat dan menahan syahwat menyentuh
wangi-wangian dan menciumnya. Jika berlawanan antara
makruh menyentuh minyak wangi dengan menolak
pemberian minyak wangi, maka lebih penting menghindari
menyentuhnya karena kalau disentuh dapat mengurangi
nilai ibadah.
6. Lebih utama bagi orang yang berpuasa tidak memakai
celak.
7. Dimakruhkan bagi orang yang puasa bersiwak sesudah
tergelincir matahari dan sebelum terbenamnya meskipun ia
tidur atau memakan sesuatu yang makruh karena lupa.
Namun sejumlah ulama berpendapat bahwa tidak makruh
bersiwak sesudah tergelincir matahari bahkan disunnahkan
jika berubah bau mulut disebabkan tidur atau
seumpamanya. Hal ini diisyaratkan oleh Ibnu Ruslan dalan

kitab Zubad-nya dengan perkataan syairnya: ِ ‫اك‬


ِ ِ‫أماِاسِتِي‬
11

ِ‫ِ فِاخِتِيِِِ ِلِِيِكِِرهِِِِويِِرِمِِ ِال ِوصِال‬#ِِ‫ال‬ ِ ِِ‫صِائِ ٍِمِِبِعِ ِد‬


ِ ‫الزِو‬
(Adapun bersiwak bagi orang yang puasa sesudah tergelincir
matahari # maka dipilih pendapat yang mengatakan tidak
makruh, dan haram puasa wishal).
8. Disunnahkan dengan sunnah muakkad memperbanyak
sedekah pada bulan Ramadhan dan lebih muakkad lagi
pada sepuluh hari terakhir, dan memperluas sedekah itu
kepada keluarga dan berbuat ihsan kepada kaum kerabat
dan tetangga karena mengikut Sunnah Nabi SAW. Dan
memberikan perbukaan lengkap bagi orang-orang yang
berpuasa jika mampu atau jika tak mampu maka cukup
sekedar minuman.
9. Disunnahkan memperbanyak membaca Al-Quran.
10. Disunnahkan memperbanyak ibadah i`tikaf terutama pada
sepuluh hari terakhir. Disunnahkan i`tikaf pada setiap
waktu yaitu berdiam dalam waktu lebih dari sekedar
tuma’ninah shalat walaupun berbolak balik keluar masuk
masjid selama ia berazam akan kembali untuk i`tikaf. Kalau
seseorang keluar tanpa azam yang kuat untuk kembali lagi,
jika ia kembali maka wajib memperbarui niatnya. Kalau
sudah berniat i`tikaf dalam dalam waktu tertentu misalnya
satu hari, kemudian ia keluar untuk kepentingan dan
berazam akan kembali lagi, maka tidak wajib memperbarui
niat sesudah kembalinya. I`tikaf diawali dengan shalat
12

sunnah tahiyatul masjid, kemudian berniat: ِ ِ‫ن ويت‬


ِ‫الِعتكافِ ّلِلِِ ت عال‬ (Aku berniat i`tikaf karena Allah
SWT).
Sempurnanya puasa apabila dilakukan dengan cara
meninggalkan segala sesuatu yang dilarang dalam Islam. Bukan
hanya setakad menahan diri dari makan-minum, memasukkan
sesuatu ke dalam rongga badan yang terbuka dan jimak, tetapi juga
menahan diri dari melakukan segala sesuatu yang dilarang dalam
Islam baik yang tergolong bisikan hati, ucapan lidah maupun
perbuatan anggota badan.
Dalam pandangan kaum sufi, puasa menjadi batal apabila
melakukan perbuatan yang diharamkan seperti bohong, ghibah,
adu domba, melihat yang dapat membangkitkan birahi syahwat,
dan sumpah palsu meskipun orang yang berpuasa dapat menjaga
diri dari makan minum, memasukkan sesuatu benda melalui
rongga badan yang terbuka dan jimak.
Dalam hadits ditegaskan bahwa Allah SWT sangat heran
kalau menyaksikan seorang hamba-Nya yang dapat menahan diri
(berpuasa) dari menkonsumsi makanan dan minuman yang halal,
tetapi ia tidak dapat menahan diri dari yang diharamkan seperti
bisikan, ucapan dan perbuatan yang diharamkan, misalnya iri
dalam hati, hasad, ghibah, berbohong dan memukul orang lain
seperti dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali di dalam kitab Ihyaa’
13

`Uluum al-Diin. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:


Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan zur (yang tidak
baik) dan perbuatan zur, maka tidak ada perlunya bagi Allah dia
meninggalkan makanan dan minumannya.6
Salah satu indikator sah dan diterima ibadah puasa
seseorang adalah apabila ia menjadi orang bertaqwa atau
meningkat taqwanya. Dan tanda orang bertaqwa ialah menjadi
ringan baginya meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk dan
maksiat serta mudah melakukan kebaikan dan amal shaleh.

B. PUASA QADHA
Allah SWT berfirman yang artinya: “,Maka barangsiapa di antara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain.” (Q.S. Al-Baqarah,2:184). Selain ayat ini
masih ada nash lain yang menjadi dasar wajibnya menqadha puasa
Ramadhan, seperti hadits yang berasal daripada Aisyah r.a., ia
berkata: “,Kami menstruasi (haidh) pada masa Rasulullah SAW,
maka kami disuruh menqadha puasa dan tidak disuruh menqadha
shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Qadha puasa Ramadhan adalah mengganti puasa
Ramadhan dengan berpuasa pada bulan lain sebanyak hari-hari
puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Menqadha puasa Ramadhan

6
Terjemahan HR al-Bukhari, Shahih al-Bukary, nomor 1903.
14

dibolehkan hanya pada hari-hari yang dibolehkan berpuasa


sunnah. Tidak boleh pada hari-hari yang diharamkan berpuasa
(hari raya fitrah, hari raya adha, dan hari-hari tasyriq). Menurut
ulama mazhab Syafi`i dan mazhab Maliki, juga tidak boleh
menqadha pada hari-hari yang sudah dinazarkan untuk berpuasa,
seperti kalau sudah bernazar puasa pada sepuluh hari pertama
Zulhijjah (1-10 Zulhijjah) maka tidak boleh menqadha puasa
Ramadhan dalam sepuluh hari ini. Namun menurut ulama
mazhab Hanafi, kalau menqadha puasa Ramadhan dilakukan pada
hari-hari tersebut, maka puasa qadha Ramadhan sah dan puasa
nazarnya harus diganti pada hari-hari yang lain.
Disunnahkan segera menqadha puasa Ramadhan agar
cepat terbebas dari kewajiban. Juga disunnahkan menqadha secara
berturut-turut apabila sudah mulai menqadha, namun juga sah
qadhaan walaupun diakhirkan menqadha atau dipisah hari-
harinya. Demikian menurut jumhur ulama termasuk imam-mam
mazhab sunni (Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam
Muhammad bin Idris asy-Syafi`i, dan Imam Ahmad bin Hanbal).
Diwajibkan segera menqadha puasa apabila sudah dekat
bulan Ramadhan berikutnya sehingga tinggal sejumlah hari-hari
untuk menqadha, seperti bulan Sya`ban tinggal sepuluh hari lagi
sedangkan puasa Ramadhan yang harus diqadha berjumlah
sepuluh hari. Menurut Imam Syafi`i dan ulama Syafi`iyah, juga
wajib segera menqadha apabila berbuka pada siang Ramadhan
15

tanpa `udzur syar`iy (bukan karena alasan yang dibenarkan


Syariah).7
Orang-orang yang diwajibkan menqadha puasa
Ramadhan ialah:
1. Orang sakit yang secara medis ada harapan sembuhnya.
Golongan inilah yang dimaksud oleh surah al-Baqarah
ayat 184: “,Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain”. Orang yang sakit dibolehkan
berbuka apabila merasa berat berpuasa dan wajib
berbuka apabila puasa akan berdampak buruk terhadap
dirinya atau akan memperlambat penyembuhannya.
Bagi golongan ini diwajibkan mengganti puasanya pada
hari-hari lain di luar bulan Ramadhan sebanyak hari
yang ia tinggalkan.
2. Orang musafir. Perjalanan yang membolehkan orang
musafir berbuka pada siang bulan Ramadhan hanya
perjalanan yang karenanya dibolehkan menqashar
shalat.8 Menurut jumhur (mayoritas) ulama, orang yang

7
Baca Abdurrahman al-Juzairi, Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah,
Beirut, Darul Fikri, j.1, hlm.546.
8
Syarat perjalanan yang membolehkan qashar shalat ialah (1) perjalanan (safar)
yang mubah; (2) cukup dua marhalah yaitu 81 km atau lebih; (3) masih berstatus
musafir dan belum muqim. Dinamakan muqim apabila sudah menetap di
16

sudah berniat puasa Ramadhan pada malam hari dan


akan bertolak dari rumahnya (tempat mukimnya) pada
siang hari, tidak dibolehkan berbuka sebelum keluar
dari tempat muqim-nya. Namun menurut Imam
Ahmad bin Hanbal dibolehkan makan walaupun masih
berada di rumah (tempat muqim). Mengenai perbedaan
pendapat antara jumhur ulama dengan Imam Ahmad
ini, Sayid Sabiq menulis dalam kitabnya:

ِ‫ِوأِمِاِ إِذِاِ نِِوىِ الصِ ِومِِِ–ِِِوهِوِِِمِقِيِمِِِ–ِِثِِِ ِسافِرِِِفِِ أِثِنِ ِاء‬


ِ‫ار ِفِقِدِ ِذِهِبِ ِجِ ِهِوِر ِالِعِِلمِاءِ ِإِلِِعِدِمِ ِجِِو ِاز ِالِفِطِرِ ِلِِه‬
ِ ِ‫النِه‬
9.
ِِ‫ِوأِجِ ِازهِِأِحِدِِ ِوإِسِحِاق‬

(Adapun apabila orang yang hendak musafir telah berniat


puasa pada malamnya – dan ia masih muqim – kemudian
ia musafir pada tengah harinya, maka jumhur ulama
berpendapat tidak boleh baginya berbuka [membatalkan
puasanya] akan tetapi boleh menurut Ahmad dan Ishaq).

Imam Ahmad bin Hanbal beralasan dengan hadits yang


berasal dari Muhammad bin Ka`ab r.a., ia berkata: “,Aku

tempat tujuan lebih dari tiga hari tanpa menghitung hari sampai dan hari
meninggalkan tempat.
9
Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.374.
17

datang kepada Anas bin Malik r.a. pada bulan Ramadhan


sewaktu ia hendak musafir dan sudah disiapkan hewan
tunggangan untuknya dan sudah memakai pakaian
musafir, maka ia meminta makanan dan makan. Aku
katakan kepadanya: (Apakah ini) sunnah? Ia jawab: (Ya)
sunnah. Kemudian ia menunggang hewan
tunggangannya.” (HR. Imam At-Tirmidzi, dan hadits
hasan menurutnya).10

Kalau berniat puasa sesudah mulai musafir (sudah


meninggalkan tempat muqim), maka seluruh ulama
sepakat dibolehkan berbuka pada siangnya atau
membatalkan puasa.

Mengenai mana yang paling afdhal (utama) antara


berpuasa dengan berbuka bagi orang musafir ada tiga
pendapat: pertama, menurut Imam Abu Hanifah, Imam
Malik bin Anas dan Imam Syafi`i berpuasa lebih afdhal
apabila perjalanan tidak memberatkan. Namun berbuka
lebih afdhal apabila perjalanannya memberatkan. Sebab
bolehnya berbuka merupakan rukhshah (keringanan),
dan meninggalkan rukhshah lebih afdhal apabila tidak
ada keberatan. Karena menurut akal, keringanan

10
Hadits ini dikutip oleh Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.375.
18

diberikan apabila ada keberatan. Dasarnya hadits riwayat


Aisyah r.a., ia berkata: “,Aku keluar bersama Nabi SAW
untuk umrah pada bulan Ramadhan, beliau berbuka dan
aku puasa, beliau menqashar dan aku menyempurnakan.
Maka aku katakan, “Demi Bapakku dan Ibuku, engkau
berbuka sedangkan aku berpuasa; engkau menqashar
sedangkan aku menyempurnakan”. Jawab Nabi s.a.w.:
Engkau berbuat ihsan wahai Aisyah.” (HR. Ad-
Daruqutuni). Dan juga hadits Nabi SAW riwayat
Hamzah bin `Amru al-Aslamiy r.a., bahwa ia berkata:
“,Wahai Rasulullah, saya kuat untuk berpuasa waktu
musafir, maka apakah aku berdosa (kalau berpuasa)?
Jawab Rasulullah SAW: “,(Berbuka itu adalah) rukhshah
(keringanan) dari Allah, maka siapa yang mengambil
rukhshah, itu bagus. Dan siapa yang ingin berpuasa maka
tidak ada dosa atasnya.” (HR. Muslim). Pendapat kedua
menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan jamaah, berbuka
lebih afdhal bagi orang musafir walaupun perjalanannya
tidak memberatkan. Dasarnya hadits Nabi SAW:
“,Bukanlah termasuk kebaikan bahwa engkau berpuasa
dalam musafir.” Selain itu bahwa pada tahun-tahun
terakhir dari masa hidup Rasulullah SAW beliau
berbuka pada waktu musafir. Karena itu Imam Ahmad
Bin Hanbal memahami bahwa berbuka lebih afdhal
daripada berpuasa. Pendapat ketiga, hal ini diserahkan
19

kepada orang musafir untuk memilih antara berbuka


dengan berpuasa. Dasar pendapat ini hadits Nabi SAW
riwayat Aisyah r.a., bahwa Hamzah bin `Amru al-
Aslamiy r.a. bertanya kepada Rasulullah SAW tentang
puasa dalam perjalanan, maka Nabi SAW bersabda:
“,Jika kamu mau silakan berpuasa; dan jika kamu mau
silakan berbuka.” (HR. Muslim).11
Ulama sepakat bahwa orang musafir dan orang sakit
wajib menqadha puasa Ramadhan pada bulan yang lain
dan tidak ada fidyah.
3. Perempuan yang menstruasi (haidh) dan nifas. Diharamkan
berpuasa bagi perempuan yang sedang menstruasi dan nifas
dan wajib menqadha puasa Ramadhan yang tertinggal
pada hari-hari lain. Kalau ia berpuasa juga, puasanya tidak
sah dan ia berdosa dan tetap wajib menqadhanya. Ummul
Mukminin Aisyah r.a. berkata: “,Kami menstruasi pada
masa Rasulullah SAW, maka kami disuruh menqadha
puasa dan tidak disuruh menqadha shalat.” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim).
4. Orang yang `uzur syar`i namun tidak menqadha hingga
datang bulan Ramadhan berikutnya. Orang yang berbuka
pada siang Ramadhan karena sakit, musafir, menstruasi dan

11
Baca Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad ibnu Rusyd, Bidaayat al-
Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid, j.1, hlm.216.
20

nifas dinamakan berbuka karena dibenarkan syara`.


Penyakit dan perjalanan sebagai sebab (illat) diberinya
rukhshah (keringanan), sedangkan menstruasi dan nifas
merupakan penghalang (maani`) yang menyebabkan
haramnya wanita berpuasa. Menurut Imam Syafi`i dan
ulama mazhab Syafi`i, golongan ini diwajibkan menqadha
puasa pada hari-hari lain dalam bulan lainnya. Kalau ia ada
kesempatan dan kekuatan untuk menqadha, namun masih
belum diqadhanya hingga masuk bulan Ramadhan
berikutnya, maka ia dijatuhi kafarah shugra (sanksi ringan),
yaitu selain wajib menqadha juga wajib membayar kafarah
1 mud (6 ons) beras untuk setiap satu hari yang belum
diqadhanya. Dengan demikian ia wajib memuasakan hari-
hari bulan Ramadhan berikutnya, sesudah itu ia menqadha
hari-hari yang tertinggal pada bulan Ramadhan lalu yang
belum diqadhanya, dan juga wajib membayar kafarah yaitu
memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang
belum diqadha atau memberinya 1 mud beras untuk setiap
hari yang belum diqadha. Kualitas beras kafarah yang
dibayarkan adalah jenis beras yang biasa dikonsumsinya/
keluarganya. Namun kalau penyebab tidak menqadha
karena tidak ada waktunya untuk menqadha, seperti supir/
pilot yang terus musafir selama satu tahun, maka ia hanya
diwajibkan menqadha saja, tidak dijatuhi hukuman
kafarah.
21

5. Orang mukalaf (muslim, baligh dan berakal) yang berbuka


(makan atau minum) pada siang bulan Ramadhan tanpa
udzur syar`iy (alasan yang dibenarkan oleh syariat). Orang
seperti ini tergolong pelaku maksiat dan berdosa besar
karena tidak menaati perintah Allah SWT. Sesudah masuk
bulan Syawal, ia wajib segera menqadha puasa tidak boleh
menundanya. Kalau ditunda dosanya bertambah setiap
hari.

Apakah orang yang berbuka tanpa uzur dijatuhi


kafarah?

Ini termasuk masalah khilafiyah (yang diperselisihkan oleh ulama).


Imam Abu Hanifah dan sahabatnya, Imam Malik bin Anas dan
sahabatnya, ats-Tsauriy dan jama`ah ulama berpendapat bahwa
orang yang sengaja makan-minum pada siang bulan Ramadhan
atau tidak berpuasa Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan
syari`ah wajib menqadha dan membayar kafarah yaitu
memerdekakan seorang hamba sahaya atau berpuasa dua bulan
berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin.
Menurut Imam Syafi`i dan Imam Ahmad Bin Hanbal,
kewajiban kafarah kubra tersebut hanya bagi orang yang berbuka
(membatalkan puasa Ramadhan) dengan jimak (setubuh) saja.
Berkenaan dengan ini Ibnu Rusyd menulis:
22

ِ‫اِوأِصِحِ ِابهِ ِِوأِ ِبِحِنِيِفِةِ ِِوأِصِحِ ِابهِ ِِوالثِِوِريِ ِِوجِاعِةِ ِذِهِبِِوا‬


ِ ِ‫فِإِنِ ِمِالِك‬
ٍِ ‫إِلِِ أِنِِِمِنِِِأِفِطِرِِِمِتِعِ ِّمدِاِ بِكِ ٍِلِِأِوِِِشِِر‬
ِِ‫بِِأِنِِِعِِليِهِِِالِقِضِاءِِِِوالِكِفِ ِارة‬
ِِ‫الشافِعِيِ ِِوأِحِدِ ِِوأِهِلِ ِالظِاهِرِ ِإِل‬ ِ ِ ِ‫ِوذِهِب‬. ِ ِ‫الِمِِذكِِوِرةِ ِفِِهِذِاِاْلِدِيِث‬
ِ 12.ِ‫أِنِِالِكِفِ ِارةِِإِّنِاِفِِالِفِطِارِِمِنِِالِمِاعِِفِقِط‬
Artinya:
“,Sesungguhnya Malik dan sahabat-sahabatnya, Abu Hanifah
dan sahabat-sahabatnya, ats-Tsauri dan satu jamaah ulama
berpendapat bahwa orang yang sengaja berbuka makan atau
minum wajib baginya menqadha dan membayar kafarah yang
disebutkan dalam hadits Ini.13 Sedangkan as-Syafi`i, Ahmad dan
ulama mazhab Zahir berpendapat bahwa kewajiban membayar
kafarah hanya bagi orang yang membatalkan puasanya dengan
jimak [setubuh] saja.”

Perbedaan pendapat dua golongan ulama tersebut karena


sebagian menqiyaskan (analogikan) antara makan atau minum
secara sengaja dengan setubuh secara sengaja sedangkan ulama
yang lain tidak menganalogikannya. Ulama yang

12
Baca Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidaayat al-
Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid, j.1, hlm.216.
13
Kafarah yang disebutkan dalam hadits riwayat jamaah adalah memerdekakan
seorang hamba sahaya, kalau tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-
turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
23

menganalogikannya berpendapat berlakunya hukum yang sama,


yaitu wajib menqadha dan membayar kafarah atas orang yang
membatalkan puasa Ramadhan dengan sengaja makan atau
minum sebagaimana menqadha dan kafarah juga wajib atas orang
yang sengaja bersetubuh pada siang bulan Ramadhan. Sementara
ulama yang tidak menganalogikan menyebutkan hukum yang
berbeda, yaitu wajib menqadha saja atas orang yang membatalkan
puasa Ramadhan dengan sengaja makan atau minum, tidak wajib
membayar kafarah.

Kapan harus menqadha puasa Ramadahan?

Orang yang tidak berpuasa karena `udzur syar`iy (alasan


yang dibenarkan oleh syariat) tidak wajib segera menqadha puasa.
Diriwayatkan bahwa Aisyah r.a. menqadha puasa Ramadhan pada
bulan Sya`ban padahal ia dapat menqadhanya lebih awal.” (HR.
Ahmad dan Muslim). Boleh menqadha puasa Ramadhan dengan
berturut-turut dan juga boleh secara terpisah-pisah. Abdullah bin
Umar r.a. meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda tentang
menqadha puasa Ramadhan: “,Jika ia mau boleh menqadha secara
terpisah dan jika ia mau boleh berturut-turut.” (HR. Ad-
Daruqutuni).
Menurut Imam Syafi`i, Imam Malik bin Anas, Imam
Ahmad bin Hanbal dan Ishaq, jika ditunda menqadha puasa
Ramadhan hingga masuk bulan Ramadhan berikutnya tanpa
24

`udzur yang dibenarkan syariah, maka wajib membayar fidyah


sebagai tambahan wajib menqadha. Karena itu dikerjakan puasa
Ramadhan yang baru tiba, kemudian wajib menqadha puasa
Ramadhan yang lalu dan membayar fidyah 1 mud beras yaitu 6
ons (0,6 kg) untuk seorang miskin setiap hari yang belum
diqadha.14 Qadha dan fidyah ini berlaku bagi orang sakit biasa
yang sudah sembuh, orang musafir, perempuan menstruasi,
perempuan nifas, dan orang yang berbuka pada siang Ramadhan
tanpa `udzur syar`iy.15 Berkenaan dengan ini Imam Syafi`i
menulis:
ِ‫فِإِنِِمِِرضِِأِوِِسِافِ ِرِ ِالمِفِطِرِِمِنِِِرمِضِانِِفِلِمِِِيصِحِِِولِِيِ ِقدِرِِحِّتِِيِتِِعِلِيِِه‬
ِ‫ّت‬
ِ ِ‫ِرمِضِانِِِآخِرِِِقِضِاهِنِِِِولِِكِفِ ِارةِِِ ِوإِنِِِفِِرطِِِِوهِوِِِيِكِِنهِِِأِنِِِيِصِ ِومِِِح‬
ِِ‫الرمِضِانِ ِالِذِيِجِاءِ ِعِِليِهِ ِ ِوِقضِاهِنِِِوكِفِرِ ِعِن‬
ِ ِ ِ‫يِتِ ِِرمِضِانِ ِآخِرِ ِصِام‬
ِ‫كِ ِّلِيِ ِوٍِمِبِ ِّدِحِنِطِ ٍِة‬
16.

Artinya:
Jika orang yang berbuka pada sebagian hari bulan Ramadhan
sakit atau musafir, maka tidak sehat dan tidak kuat hingga tiba
bulan Ramadhan yang lain, maka ia menqadha puasa yang tinggal
[sesudah berlalu bulan Ramadhan yang kedua] dan tidak ada

14
Baca Muhammad bin Idris asy-Syafi`i, al-‘Umm, j.2, hlm.113-114.
15
Baca Abdurrahman al-Juzairi, Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah,
j.1, hlm.546.
16
Baca Muhammad bin Idris asy-Syafi`i, al-‘Umm, j.2, hlm.113.
25

kafarah [fidyah] baginya. Akan tetapi kalau tidak menqadha


disebabkan lalai hingga tiba bulan Ramadhan yang lain padahal
mungkin baginya berpuasa, maka ia wajib berpuasa Ramadhan
yang baru tiba, dan wajib menqadha [yang tertinggal pada bulan
Ramadhan yang lalu] dan ia juga membayar kafarah sughra
[fidyah] satu mud biji gandum untuk setiap hari.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Al-Hasan Al-Bashri,
orang sakit, musafir dan perempuan menstruasi dan nifas hanya
wajib menqadha saja, tidak wajib fidyah walaupun belum
menqadha karena lalai hingga masuk bulan Ramadhan berikutnya.
Sayid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah menegaskan bahwa tidak ada
nash shahih yang mewajibkan fidyah karena penundaan menqadha
puasa Ramadhan.17

C. FIDYAH
Allah SWT berfirman yang artinya: “,... Dan wajib bagi orang-
orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin...”.
(QS. al-Baqarah, 2:184). Ayat ini menjelaskan wajibnya
membayar fidyah puasa atas orang-orang tertentu.
Fidyah adalah tebusan yang harus dibayarkan oleh orang-
orang tertentu yang tidak mampu untuk melaksanakan puasa
Ramadhan. Tebusan dimaksud memberi makan seorang miskin

17
Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.397.
26

satu mud beras untuk setiap hari. Satu mud beras sama dengan satu
cakupan dua telapak tangan atau sama dengan 0,6 kg.18 Standar
kualitas berasnya adalah beras yang biasa dimakan oleh yang
membayar fidyah. Kalau biasanya menkonsumsi beras yang
harganya 25.000.- per kilogram, maka fidyahnya adalah 6 ons (0,6
kg) untuk setiap hari.
Jumhur ulama dalam menentukan kadar fidyah
berdasarkan hadits riwayat Abu Hurairah r.a. ia berkata: Ketika
kami duduk di samping Nabi SAW, datang seorang lelaki dan
berkata: “,Celaka aku wahai Rasulullah”. Rasulullah SAW
bertanya: “,Apakah yang membuatmu celaka? Jawabnya: “Aku
telah menggauli isteriku padahal aku berpuasa (Ramadhan)”.
Sabda Nabi SAW: “,Apakah engkau mendapat seorang hamba
sahaya untuk engkau merdekakan? Jawabnya: “Tidak.” Sabda
Nabi SAW: “,Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan
berturut-turut? Jawabnya: “,Tidak”. Sabda Nabi SAW: “,Apakah
engkau dapat memberi makan enam puluh orang miskin?
Jawabnya: “,Tidak.” Kata Abu Hurairah: “Maka ia diam di
samping Nabi SAW. Ketika kami dalam keadaan sedemikian
diberikan kepada Nabi SAW satu keranjang berisi kurma.” Sabda
Nabi SAW: Dimana orang yang bertanya (tadi)? Jawabnya:

18
Demikian menurut Imam Syafi`i dan Imam Malik. Namun Imam Ahmad
bin Hanbal membedakan antara gandum dengan bahan makanan lainnya, yaitu
kalau gandum wajib dibayarkan 1 mud gandum saja sedangkan kalau selain
gandum seperti beras, maka jumlahnya ½ sha` yaitu 2 mud beras.
27

“Saya”. Sabda Nabi SAW: “Ambillah ini dan sedekahkan.” Lelaki


tersebut bertanya: “,Apakah aku akan sedekahkan kepada orang
yang lebih fakir dariku? Tidak ada keluarga yang lebih
membutuhkan makanan ini daripada kami”. Kata Abu Hurairah
r.a.: Maka Nabi SAW tertawa sehingga tampak gigi gerahamnya,
kemudian Nabi SAW bersabda: “,Pergilah engkau, berikanlah ini
untuk dimakan oleh keluargamu”. (HR. Jamaah dan matannya
menurut Imam al-Bukhari).
Keranjang yang dibawa Rasulullah SAW tersebut berisi 15
sha` kurma sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam
asy-Syafi`i yang berasal daripada Sa`id bin al-Musayyib,19 riwayat
Ibnu Abi Hafshah dan Muammil dari Sufyan.20 Satu sha` sama
dengan empat mud sehingga jumlahnya 60 mud untuk mengganti
kafarah jima` (puasa dua bulan berturut-turut) yang semestinya
dilakukan oleh orang yang menggauli isterinya dalam keadaan
sedang berpuasa Ramadhan. Dan ini sama dengan 1 mud untuk
setiap satu hari. Karena itu jumhur ulama berijtihad menyamakan

19
Ketika `Atha’ Al-Khurasani (salah satu perawi dalam sanad) menanyakan
Sa`id bin al-Musayyib: “,Berapa banyak kurma yang di dalam keranjang itu? Ia
jawab: “,Sekitar lima belas sampai dua puluh sha`. Baca Imam Muhammad bin
Idris asy-Syafii, al-‘Umm, J.2, hlm.107-108.
20
Dalam hadits riwayat Abu Hafshah disebutkan: ‫فيهِخِسِةِعشرِصاعا‬ (di
dalam keranjang itu ada lima belas sha` kurma). Baca al-Hafidz Ahmad bin Ali
bin Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bukhaariy, j.4,
hlm.676.
28

kadar (jumlah) fidyah dengan kafarah, yaitu 1 mud biji gandum


(makanan pokok seperti beras) untuk setiap hari.21 Dan kadar 1
mud ini sesuai dengan beberapa riwayat seperti hadits riwayat
Imam ad-Daruqutuni: ٍ ‫تطعمِ ستّْيِ مسكي ناِ لكلِ مسك‬
ِ‫ْيِ مد‬ ّ
(Engkau memberi makan enam puluh orang miskin, untuk setiap
seorang miskin satu mud). Dan juga dalam hadits lain yang juga
riwayat Imam ad-Daruqutuni disebutkan: ِ‫سة ِعشرِ ِصاعِا‬
ِ ‫فأتِِبم‬
‫ف قالِِأطعمهِستّْيِمسكي نا‬ (Maka dibawakan kepada Nabi SAW
lima belas sha` kurma, dan Nabi SAW bersabda [kepada lelaki
yang bertanya], berikanlah ini untuk dimakan oleh enam puluh
orang miskin).22
Golongan yang berat untuk berpuasa Ramadhan ialah:
1. Orang yang sudah `udzur karena usia lanjut sehingga tidak
kuat berpuasa. Orang yang sudah `udzur karena usia
lanjut, baik lelaki maupun perempuan sehingga berat
berpuasa tidak diwajibkan menqadha puasa akan tetapi
diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi seorang

Baca Imam Abu Zakariya Muhyiddin bin Syarf an-Nawawi, Syarh Shahiih
21

Muslim (terjemahan), Darus Sunnah, Jakarta, j.5, hlm.608.


22
Baca Ibnu Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bakhaariy,
j.4, hlm.676.
29

miskin 1 mud beras untuk setiap hari Ramadhan.23 Imam


al-Bukhari meriwayatkan daripada `Atha’, bahwa ia

mendengar Ibnu Abbas r.a. membaca ayat: ِِ‫ِوعلىِ الذين‬


ِ‫ يِطي قونهِفدِيِةِطعامِمسكْي‬dan mengatakan bahwa ayat ini
tidak mansukh, akan tetapi ayat ini khusus bagi lelaki tua
dan perempuan tua yang tidak kuat untuk berpuasa, maka
masing-masing membayar fidyah memberi makan seorang
miskin, yaitu memberinya 1 mud beras (0,6 kg) untuk
setiap hari Ramadhan. Dan Syekh Muhammad Abduh
berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat ini juga
termasuk orang-orang pekerja berat yang sepanjang tahun
bekerja sehingga merasa berat untuk berpuasa. Berkenaan
dengan ini Syekh Muhammad Abduh menulis
sebagaimana dikutip oleh Sayid Sabiq sebagai berikut:
ِِ‫الزمِن‬
ِ ‫الشيِِوخِ ِالضِعِفِاءِ ِِو‬
ِ ِ ِ‫فِالِمِِرادِ ِبِنِ ِ(يِطِيِقِ ِونِهِ)ِفِِالِيِة‬
ِِ‫ِونِِوهِمِ ِكِالِفِعِِلةِِِالِذِيِنِِِجِعِلِِِهللاِِِمِعِاشِهِمِِِالدِائِمِِِبِلِشِغِال‬

23
Ulama sepakat bahwa orang yang `udzur karena usia lanjut yang berat untuk
berpuasa hanya diwajibkan membayar fidyah saja, tidak diwajibkan menqadha.
Perbedaan hanya tentang kadar fidyah yang harus dibayar. Menurut jumhur
ulama kadarnya 1 mud (0,6 kg), baik gandum maupun bahan makanan pokok
lainnya. Sedangkan menurut Imam Ahmad, kalau gandum hanya 1 mud akan
tetapi kalau selain gandum, seperti beras, kadarnya harus 2 mud (1,20 kg) beras.
30

ِ‫ِ ِ ِومِنِهِ ِم‬.ِ‫يِ ِمِنِِ ِمِنِاجِِه‬ ِّ ‫الشاقِةِِِكِاسِتِخِِراجِِ ِالِفِحِمِِ ِاْلِجِِر‬ ِ


ِ‫الشاقِةِِِالِمِ ِؤبِدِةِِِإِذِا‬
ِ ِِِ‫الِمِجِِرمِ ِونِِِالِذِيِنِِِيِكِمِِِعِلِيِهِمِِِبِلِشِغِال‬
ِ 24.ِِ‫الصيِامِِعِِليِهِمِِبِلِفِعِلِ ِوكِانِِواِيِِلكِ ِونِِالِفِدِيِة‬
ِّ ِِ‫شِق‬
Artinya:
Yang dimaksud dengan orang-orang yang berat untuk
berpuasa pada ayat (184 surat al-Baqarah) tersebut di atas
adalah orang tua yang sudah lemah (uzur) karena usia dan
orang sakit menahun yang secara medis kecil harapan
sembuhnya. Dan sama dengan mereka yaitu orang-orang
yang bekerja sangat berat untuk memenuhi kebutuhan asas
mereka, seperti buruh kasar yang sepanjang hari harus
mengeluarkan batu dari sumber pengambilannya dan
orang-orang terpidana yang dihukum bekerja sangat berat
tanpa beristirahat apabila secara permanent berat bagi
mereka berpuasa dan mereka dapat membayar fidyah.
2. Orang sakit parah. Orang sakit parah dan menahun yang
secara medis tidak ada harapan sembuhnya dan berat untuk
berpuasa juga seperti orang berusia lanjut, tidak wajib
berpuasa, tidak wajib menqadha akan tetapi wajib
membayar fidyah.
3. Pendonor darah. Donor darah dapat membuat orang yang
mendonorkan darahnya tidak kuat berpuasa. Dengan

24
Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.371-372.
31

diambilnya darah seseorang dalam jumlah yang relatif


banyak dapat membuatnya pucat dan lemah sehingga ia
tidak kuat berpuasa. Orang ini tergolong sebagai yang
merasa berat berpuasa karena khawatir berdampak buruk
atas kesehatan dirinya dan khawatir atas keselamatan orang
lain yang memerlukan darahnya. Orang ini dibolehkan
tidak berpuasa pada siang Ramadhan, dan ia wajib
menqadha saja tidak wajib fidiyah, karena adanya
kekhawatiran akan mengganggu kesehatan dirinya dan
kesehatan orang lain. Jadi sama dengan ibu hamil dan ibu
menyusukan yang khawatir akan mengganggu kesehatan
dirinya dan kesehatan janin/bayinya, yaitu sang ibu boleh
atau wajib berbuka, dan ia wajib menqadha saja tidak
wajib fidiyah.
4. Perempuan hamil dan perempuan yang menyusukan.
Menurut Imam Syafi`i, sebelum menetapkan hukum yang
berlaku atas perempuan hamil dan perempuan
menyusukan perlu terlebih dahulu menilik penyebab
beratnya berpuasa, yaitu apakah karena khawatir mudarat
(berdampak buruk) atas dirinya saja atau karena khawatir
mudarat atas diri anaknya saja atau karena khawatir
mudarat atas dirinya dan anaknya sekaligus. Adapun
hukum menqadha dan fidyah bagi perempuan hamil dan
menyusukan menurut Imam Syafi`i adalah: (a) kalau
khawatir akan berdampak buruk terhadap dirinya dan
32

terhadap janin/bayinya maka ia wajib berbuka, dan wajib


baginya menqadha saja, tidak ada fidyah; (b) kalau
khawatir akan berdampak buruk terhadap dirinya saja
maka ia wajib berbuka, dan wajib baginya menqadha saja,
tidak ada fidyah; (c) kalau khawatir akan berdampak buruk
terhadap janin/bayinya saja maka ia wajib berbuka, dan
wajib baginya dua hal yaitu menqadha dan membayar
fidyah. Imam Syafi`i menulis:

ِِ‫سهِمِاِإِّنِاِأِفِطِِرت‬
ِ ِ‫إِّنِا ِتِكِفِِرانِ ِبِلِثِرِ ِ ِوبِ ِّنمِِا ِلِ ِتِفِطِِراِلِنِف‬
25.‫ِا‬ ‫لِغِ ِيه‬
Perempuan hamil dan perempuan yang menyusukan
dikenakan kafarah (fidyah) berdasarkan atsar dan sebab
mereka berbuka bukan karena khawatir bahaya bagi diri
mereka akan tetapi hanya karena demi kebaikan orang
lain.

Terdapat perbedaan pendapat antara Imam Syafi`i dengan


beberapa ulama lain mengenai hukum qadha dan fidyah bagi
perempuan yang hamil dan menyusukan. Perempuan hamil dan
perempuan menyusukan yang khawatir dengan berpuasa akan
berdampak buruk atas dirinya dan anaknya (janinnya) sekaligus,

25
Baca Imam asy-Syafii, al-‘Umm, J.2, hlm.113.
33

menurut Imam Syafi`i dan Imam Ahmad Bin Hanbal, wajib


berbuka dan wajib menqadha akan tetapi tidak wajib membayar
fidyah. Menurut Imam Abu Hanifah, perempuan ini dibolehkan
berbuka dan wajib menqadha ketika kuat untuk berpuasa, dan
tidak wajib membayar fidyah. Menurut Imam Malik, perempuan
golongan ini boleh berbuka dan wajib menqadha, dan tidak wajib
membayar fidyah bagi perempuan hamil akan tetapi wajib fidyah
bagi perempuan yang menyusukan. Sedangkan menurut Abdullah
bin Umar r.a. dan Abdullah bin Abbas r.a. kewajiban atas
perempuan hamil dan perempuan menyusukan yang berat untuk
berpuasa hanya membayar fidyah saja, tidak wajib menqadha.26

26
Imam Abu Dawud meriwayatkan daripada `Ikrimah bahwasanya Ibnu Abbas

r.a. mengatakan tentang maksud firman Allah SWT: ِ‫ِِ ِوعلىِ الِذينِِيطي قونه‬
bahwa lelaki usia lanjut dan peremuan usia lanjut yang berat untuk berpuasa
diberi rukhshah untuk berbuka dan diwajibkan membayar fidyah (memberi
makan seorang miskin setiap hari). Perempuan hamil dan perempuan yang
menyusukan apabila khawatir mudarat atas anaknya juga diberi rukhshah untuk
berbuka dan wajib membayar fidyah (memberi makan seorang miskin setiap
hari). HR. Al-Bazzar. Dan Ibnu Abbas r.a. berkata kepada Ummu walad yang
hamil: “,Engkau termasuk yang tidak mampu berpuasa, maka kewajibanmu
hanya membayar fidyah, tidak wajib bagimu menqadha.” Isnad riwayat ini
dishahihkan oleh ad-Daruqutuni. Dan Nafi` meriwayatkan bahwa Ibnu Umar
ditanya tentang perempuan yang hamil apabila khawatir mudarat atas anaknya,
ia menjawab: “,Ia berbuka dan memberi makan setiap hari satu mud gandum
untuk seorang miskin”. HR. Malik dan al-Baihaqi. Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-
Sunnah, j.1, hlm.371-372.
34

Kedua sahabat ini memandang sama hukum yang berlaku


walaupun penyebab beratnya berpuasa berbeda-beda.
Perempuan hamil dan perempuan menyusukan yang
khawatir mudarat atas dirinya saja dan tidak khawatir atas anaknya,
menurut Imam Syafi`i wajib berbuka dan wajib menqadha akan
tetapi tidak wajib membayar fidyah. Menurut Imam Abu Hanifah,
perempuan golongan ini dibolehkan berbuka dan wajib menqadha
ketika kuat untuk berpuasa, dan tidak ada kewajiban membayar
fidyah. Menurut Imam Malik, perempuan golongan ini boleh
berbuka dan wajib menqadha dan tidak wajib membayar fidyah
bagi perempuan hamil akan tetapi wajib fidyah bagi perempuan
yang menyusukan. Kalau sangat khawatir adanya mudarat maka
wajib berbuka bukan sekadar dibolehkan. Menurut Imam Ahmad
bin Hanbal, perempuan golongan ini dibolehkan berbuka dan
wajib menqadha saja tidak wajib membayar fidyah.
Perempuan hamil dan perempuan menyusukan yang
khawatir mudarat atas anaknya saja dan tidak khawatir atas dirinya,
menurut Imam Syafi`i wajib berbuka dan wajib menqadha dan
juga wajib membayar fidyah.27 Menurut Imam Abu Hanifah,
perempuan golongan ini dibolehkan berbuka dan wajib menqadha
ketika kuat untuk berpuasa, dan tidak ada kewajiban membayar
fidyah. Menurut Imam Malik bin Anas, perempuan golongan ini
boleh berbuka dan wajib menqadha dan tidak wajib membayar

27
Baca asy-Syafi`i, al-‘Umm [2] hlm.113.
35

fidyah bagi perempuan hamil akan tetapi wajib fidyah bagi


perempuan yang menyusukan. Menurut Imam Ahmad bin
Hanbal, perempuan golongan ini dibolehkan berbuka, dan wajib
menqadha dan juga wajib membayar fidyah.28
Abu Dawud meriwayatkan daripada `Ikrimah bahwasanya
Ibnu Abbas r.a. mengatakan tentang maksud firman Allah SWT: ِ
ِ‫ِوعلىِ الذينِ يطي قونه‬ bahwa lelaki usia lanjut dan perempuan usia
lanjut yang berat untuk berpuasa diberi rukhshah untuk berbuka
dan diwajibkan membayar fidyah (memberi makan seorang miskin
setiap hari). Perempuan hamil dan perempuan yang menyusukan
apabila khawatir mudarat atas anaknya juga diberi rukhshah untuk
berbuka dan wajib membayar fidyah (memberi makan seorang
miskin setiap hari). HR. Al-Bazzar. Dan Ibnu Abbas r.a. berkata
kepada Ummu walad yang hamil: “,Engkau termasuk yang tidak
mampu berpuasa, maka kewajibanmu hanya membayar fidyah,
tidak wajib bagimu menqadha.” Isnad riwayat ini dishahihkan
oleh ad-Daruqutuni. Dan Nafi` meriwayatkan bahwa Ibnu Umar
ditanya tentang perempuan yang hamil apabila khawatir mudarat
atas anaknya, ia menjawab: “,Ia berbuka dan memberi makan
setiap hari satu mud gandum untuk seorang miskin”. 29

28
Baca Ibnu Rusyd, Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid, j.1,
hlm.219-220; dan Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.371-372.
36

Hukum qadha dan fidyah yang berlaku atas orang-orang


yang berat untuk berpuasa dapat dilihat pada tabel di bawah.

Tabel 1:
Golongan Yang Wajib Membayar Fidyah Puasa

Hukum Qadha & Fidyah


Nomor Golongan Yang Menurut Imam Mazhab Fiqih Sunni
Tidak Berpuasa Yang Empat

Pendapat Imam Pendapat Ulama


Syafi`i Lain

1 Orang sakit Menurut Imam Menurut Imam


parah dan Syafi`i, golongan Abu Hanifah dan
menahun yang ini wajib berbuka Imam Malik bin
secara medis dan tidak wajib Anas, golongan ini
tidak ada menqadha akan wajib berbuka dan
harapan tetapi wajib tidak wajib
sembuhnya. membayar fidyah menqadha akan
1 mud beras untuk tetapi wajib
seorang miskin membayar fidyah 1
setiap hari. mud beras untuk
seorang miskin

29
HR. Malik dan al-Baihaqi. Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.371-
372.
37

setiap hari.
Menurut Imam
Hanbali, golongan
ini wajib
membayar fidyah 1
mud beras untuk
seorang miskin
setiap hari. Kalau
sudah dibayar
fidyah maka tidak
wajib menqadha
walaupun sudah
kuat untuk
berpuasa. Kalau
belum dibayar
fidyah, kemudian ia
sanggup berpuasa
maka wajib baginya
menqadha.
2 Orang yang Menurut Imam Menurut Imam
sudah `udzur Syafi`i, golongan Malik bin Anas
karena usia ini dibolehkan dibolehkan bagi
sehingga tidak berbuka dan tidak golongan ini
kuat berpuasa. wajib menqadha berbuka dan tidak
akan tetapi wajib wajib menqadha
membayar fidyah dan juga tidak
1 mud beras untuk wajib membayar
38

seorang miskin fidyah akan tetapi


setiap hari. disunatkan
Pendapat Abu membayar fidyah 1
Hanifah sama mud beras untuk
dengan pendapat seorang miskin
Syafi`i. setiap hari.
3 Perempuan Menurut Imam Menurut Abdullah
hamil dan Syafi`i, bin Umar r.a. dan
perempuan perempuan Abdullah bin Abbas
yang golongan ini wajib r.a. wajib bagi
menyusukan berbuka, dan kedua golongan
yang khawatir wajib menqadha perempuan ini
mudarat atas akan tetapi tidak membayar fidyah
dirinya dan wajib membayar saja, tidak wajib
anaknya secara fidyah. Pendapat menqadha.
bersamaan. Imam Ahmad bin Menurut Imam
Hanbal sama Abu Hanifah,
dengan pendapat perempuan
Syafii. golongan ini
dibolehkan
berbuka dan wajib
menqadha ketika
kuat untuk
berpuasa, dan tidak
wajib membayar
fidyah. Menurut
Imam Malik,
39

perempuan
golongan ini boleh
berbuka dan wajib
menqadha, dan
tidak wajib
membayar fidyah
bagi perempuan
hamil akan tetapi
wajib fidyah bagi
perempuan yang
menyusukan.

4 Perempuan Menurut Imam Menurut Imam


hamil dan Syafi`i, Abu Hanifah,
perempuan perempuan perempuan
yang golongan ini wajib golongan ini
menyusukan berbuka, dan dibolehkan
yang khawatir wajib menqadha berbuka dan wajib
mudarat atas akan tetapi tidak menqadha ketika
dirinya saja dan wajib membayar kuat untuk
40

tidak khawatir fidyah. berpuasa, dan tidak


atas anaknya. ada kewajiban
membayar fidyah.
Menurut Imam
Malik, perempuan
golongan ini boleh
berbuka dan wajib
menqadha, dan
tidak wajib
membayar fidyah
bagi perempuan
hamil akan tetapi
wajib fidyah bagi
perempuan yang
menyusukan. Kalau
sangat khawatir
adanya mudarat
maka wajib
berbuka bukan
sekadar
dibolehkan.
Menurut Imam
Ahmad bin Hanbal,
perempuan
golongan ini
dibolehkan
berbuka dan wajib
41

menqadha saja
tidak wajib
membayar fidyah.
5 Perempuan Menurut Imam Menurut Imam
hamil dan Syafii, perempuan Abu Hanifah,
perempuan golongan ini wajib perempuan
yang berbuka, dan golongan ini
menyusukan wajib menqadha dibolehkan
yang khawatir dan juga wajib berbuka dan wajib
mudarat atas membayar fidyah. menqadha ketika
anaknya saja Pendapat Imam kuat untuk
tidak khawatir Ahmad bin berpuasa, dan tidak
atas dirinya. Hanbal sama ada kewajiban
dengan pendapat membayar fidyah.
Imam Syafi`i. Menurut Imam
Malik bin Anas,
perempuan
golongan ini boleh
berbuka dan wajib
menqadha, dan
tidak wajib
membayar fidyah
bagi perempuan
hamil akan tetapi
wajib fidyah bagi
perempuan yang
menyusukan.
42

D. KAFARAH
Ditinjau dari aspek bahasa kafarah berasal dari kata kaffaarah
yang berarti denda atas pelanggaran larangan, seperti: kaffaaratus shiyaam
(denda atas pelanggaran dalam berpuasa), kaffaaratul yamiin (denda atas
pelanggaran sumpah), kaffaaratul hajji (denda atas pelanggaran larangan
dalam manasik haji), kaffaaratuz zhihar (denda atas pelanggaran larangan
mempersamakan wajah ibu dengan wajah isteri), dan kaffaaratul qotli
khath’an (kafarah membunuh karena tersalah).
Kafarah puasa adalah denda yang diwajibkan atas orang mukalaf
karena melakukan kesalahan berkaitan dengan puasa Ramadhan seperti
berbuka dengan jimak pada siang Ramadhan. Kafarat puasa terbagi
kepada kafarah `uzma (kafarat besar) dan kafarah shugra (kafarah kecil).
Kafarah `uzma (kafarah besar)
Kafarah `uzma ialah kafarah yang wajib atas orang yang
berbuka dengan bersetubuh pada siang Ramadhan. Dasar hukum
wajibnya kafarah `uzma hadis riwayat Abu Hurairah r.a., ia
berkata:

ِ‫ب‬
ِّ ِ‫س ِعِنِدِ ِالن‬
ِ ‫ِبِيِِنمِاِنِنِ ِجِِل ِو‬:ِ‫هللا ِعِنِهِ ِقِال‬
ِ ِ ِ‫عِنِ ِأِبِِهِِريِِرةِ ِِرضِي‬

ِ:ِ‫ِقِال‬.ِ‫ِيِ ِِرسِ ِولِِهللاِِهِِلكِت‬:ِ‫صِِلىِهللاِِعِِليِهِِ ِوسِِلمِِإِذِاِجِاءِهِِِرجِلِِفِقِال‬

ِ‫ىِهللا‬
ِ ‫ِفِقِالِِِر ِسِولِِهللاِِصِِل‬.ِ‫ِوأِنِِصِائِم‬
ِ ِ‫ِوقِعِتِِعِِلىِاِمِِرأِت‬:
ِ ِ‫ك؟ِقِال‬
ِ ِ‫مِاِل‬
‫‪43‬‬

‫ستِطِيِعِ ِِأ ِنِ‬


‫عِِليِهِ ِ ِوسِِلمِ‪ِ:‬هِلِ ِتِدِ ِِرقِبِِة ِتِعِتِقِهِا؟ِقِالِ‪ِ:‬لِ‪ِ.‬قِالِ‪ِ:‬فِهِلِ ِتِ ِ‬

‫ْيِ‬
‫تِصِ ِومِِِشِهِِريِنِِِمِتِتِابِعِْيِ؟ِ قِالِ‪ ِ:‬لِ‪ ِ.‬فِقِالِ‪ ِ:‬فِهِلِِِ ِتدِِِاِطِعِامِِِسِِتّ ِ‬

‫بِِصِِلىِ هللاِِِعِِليِهِِِ ِوسِِل ِمِ‬


‫سكِيِنِا؟ِ قِالِ‪ ِ:‬لِ‪ ِ.‬قِالِ‪ ِ:‬فِمِكِثِِِعِنِدِِِ ِالن ِّ‬
‫مِ ِ‬

‫كِأِتِ ِالنِبِ ِصِِلىِهللاِ ِعِِليِهِ ِ ِوسِِلمِ ِبِعرٍقِفِيِهِ ِتِرِ ِ–ِ‬


‫فِبِيِنِمِاِنِنِ ِعِِلىِذِالِ ِ‬

‫قِ‬
‫سائِلِ؟ِفِقِالِ‪ِ:‬أِنِ‪ِ.‬قِالِ‪ِ:‬خِذِهِاِفِتِصِدِ ِ‬
‫ِوالِعِِرقِ‪ِ:‬الِمِكتلِ‪ِ-‬قِالِ‪ِ:‬أِيِنِِال ِ‬

‫ِنِيِِرسِ ِولِِهللاِ؟ِفِوِِهللاِ‪ِ30‬مِاِبِْيِِلِب ت ي هاِ‬


‫بِهِ!ِفِقِالِِ ِالرجِلِ‪ِ:‬أِعِِلىِأِفِقِرِِمِ ِّ‬

‫‪30‬‬
‫“ ‪Dalam riwayat Sufyan bin `Uyainah dan Ma`mar, sesudah kalimat‬‬ ‫ِهللا‬
‫”و ِ‬
‫‪adalah kalimat:‬‬ ‫ِالذيِبِعثكِبْل ّقِ‬ ‫‪(Yang mengutusmu dengan benar). tidak‬‬
‫‪terdapat dalam riwayat ini akan tetapi terdapat dalam riwayat Ibnu `Uyainah‬‬
‫‪dan Ma`mar. Baca Ibnu Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-‬‬
‫‪Bukhaariy, j.4, hlm.678.‬‬
44

ِ‫كِالنِبِ ِصِِلى‬ ٍِ ِ‫–ِيِِريِدِ ِاْلِرتْي ِ–ِأِهِلِ ِبِي‬


ِ ِ‫ِفِضِح‬.ِ‫ت ِأِفِقِرِ ِمِنِ ِأِهِلِ ِبِيِت‬

ِ31.‫ك‬
ِ ‫ِأِطِعِ ِمهِِأِهِِل‬:ِ‫تِِأنِيِابِِهِثِِقِال‬
ِ ِ‫هللاِِعِِليِهِِ ِوسِِلمِِحِّتِِبِد‬
Artinya:

Daripada Abu Hurairah r.a., ia berkata: Ketika kami duduk di


samping Nabi SAW, datang seorang lelaki dan berkata:
“,Celaka aku wahai Rasulullah”. Rasulullah SAW bertanya:
“,Apakah yang membuatmu celaka? Jawabnya: “Aku telah
menggauli isteriku padahal aku sedang berpuasa (Ramadhan)”.
Sabda Nabi SAW: “,Apakah engkau mendapat seorang hamba
sahaya untuk engkau merdekakan? Jawabnya: “Tidak.” Sabda
Nabi SAW: “,Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan
berturut-turut? Jawabnya: “,Tidak”. Sabda Nabi SAW:
“,Apakah engkau dapat memberi makan enam puluh orang
miskin? Jawabnya: “,Tidak.” Kata Abu Hurairah: “Maka ia
diam di samping Nabi SAW. Ketika kami dalam keadaan
sedemikian diberikan kepada Nabi SAW satu keranjang berisi
kurma.” Sabda Nabi SAW: Dimana orang yang bertanya
(tadi)? Jawabnya: “Saya”. Sabda Nabi SAW: “Ambillah ini dan

31
HR. Jamaah dan matannya menurut al-Bukhari (nomor 1936). Baca Shahiih
al-Bukhariy dalam kitab Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bukhaariy karya
tulis al-Hafiz Ahmad bin Ali bin Hajar al-`Asqallani, j.4, hlm.668-669.
45

sedekahkan.” Lelaki tersebut bertanya: “,Apakah aku akan


sedekahkan kepada orang yang lebih fakir dariku wahai
Rasulullah? Demi Allah (yang mengutusmu dengan benar),
tidak ada di Madinah dan pemukiman di sekitar Madinah
keluarga yang lebih fakir (miskin) dan membutuhkan makanan
ini daripada keluargaku”.32 Kata Abu Hurairah r.a.: Maka
Nabi SAW tertawa sehingga tampak gigi geraham beliau,
kemudian Nabi SAW bersabda: “,Pergilah engkau, berikanlah
ini untuk dimakan oleh keluargamu”. (HR. Jamaah dan
matannya menurut al-Bukhari, baca Shahiih al-Bukhaariy,
hadis nomor 1936 ).
Bersetubuh pada waktu berpuasa Ramadhan merupakan
dosa besar bagi orang yang wajib puasa Ramadhan dan perbuatan
ini mewajibkan qadha dan kafarah. Lelaki yang datang kepada
Rasulullah SAW, dalam riwayat Sa`id bin al-Musayyib,
menyatakan bahwa dirinya bersetubuh ketika ia sedang dalam
berpuasa Ramadhan. Imam Syafi`i meriwayatkan, daripada `Atha’
al-Khurasani, daripada Sa`id bin al-Musayyib r.a., ia berkata:

32
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah daripada jalur Aisyah r.a. bahwa keluarga
lelaki ini selalu tidak makan malam karena memang tidak ada yang untuk
dimakan. Baca Ibnu Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy, j.4, hlm.668.
46

ِ‫بِِنِِرِه‬
ِ ‫أِتِىِأِعِِرابِِِالنِبِِِصِِلىِ هللاِِِعِِليِهِِِ ِوسِِلمِِِيِنِتِفِِِشِعِِرهِِِ ِويِضِِر‬
ِ:‫ال‬ِ ِ‫ ِمِاِذِاكِ؟ِق‬:ِ‫ىِهللا ِعِِليِهِ ِ ِوسِِلم‬
ِ ‫ِفِقِالِ ِالنِبِ ِصِِل‬.ِ‫ك ِالِبِعِد‬ ِ ِ‫ِويِقِ ِولِ ِهِل‬
ِ33.ِ)ِ‫ِ(تمِاْلديث‬.ِ‫ِصائِم‬ ِ ِ‫أِصِبِتِِأِهِِلىِفِ ِِرمِضِانِِِوأِن‬
Kalimat: ِ‫ائم‬ ِ ِ‫( أِصِبِتِِ ِأِهِِلىِ ِفِِ ِرمِضِانِِ ِِوأِ ِنِ ص‬aku
menyetubuhi isteriku dalam bulan Ramadhan sewaktu aku sedang
berpuasa) yang dikatakan oleh orang Arab tersebut
menginformasikan bahwa ia bersetubuh sewaktu masih sedang
berpuasa Ramadhan.
Menurut jumhur ulama, lelaki dan perempuan sama-sama
wajib membayar kafarah, tidak ada beda antara keduanya apabila
mereka sengaja bersetubuh, atas keinginan sendiri, pada siang
Ramadhan dan telah berniat puasa.34
Menurut Imam Syafi`i dan Ahmad bin Hanbal, membayar
kafarah hanya diwajibkan bagi lelaki saja. Tidak ada kewajiban
membayar kafarah atas perempuan, baik bersetubuh karena
dipaksa maupun atas kehendaknya sendiri. Sebab kafarah
merupakan kewajiban yang menyangkut dengan harta, dan ini
hanya wajib atas lelaki sebagaimana wajib membayar mahar hanya
bagi lelaki saja.35 Dalam Sunnah, sebagaimana dapat dipahami dari

33
HR. asy-Syafi`i, al-‘Umm, J.2, halaman 107-108.
34
Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.395.
35
Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.395.
47

hadits di atas, kewajiban kafarah hanya dibebankan atas lelaki.


Sebab Nabi SAW tidak mewajibkan kafarah terhadap isteri sahabat
yang melaporkan perbuatannya bersama isterinya pada waktu
berpuasa Ramadhan.
Ketika Imam Ahmad ditanya mengenai orang yang
menggauli isterinya pada bulan Ramadhan, apakah wajib bagi
isterinya kafarah? Ia jawab: “,Tidak ada kami dengar (Sunnah)
yang menyatakan wajibnya kafarah atas perempuan.”36
Kafarah jimak dalam berpuasa Ramadhan ada tiga macam,
yaitu: (1) memerdekakan seorang hamba sahaya; (2) berpuasa dua
bulan berturut-turut; dan (3) memberi makan 60 orang miskin
masing-masing diberi 1 mud (6 ons) makanan pokok, seperti
beras sehingga berjumlah 360 ons atau 36 kg. Orang yang
membayar kafarah hendaknya lebih hati-hati (ihtiyath) yaitu
melebihkan dengan membayar 7 ons untuk setiap satu mud
sehingga berjumlah 420 ons atau 42 kg. Namun kalau dibayar
dengan hitungan 1 mud = 6 ons saya anggap sudah sah dan cukup.
Sebab sebagian ulama menyebutkan bahwa 1 mud sama dengan 6
ons sebagaimana dapat difahami dari keterangan Muhammad bin
Shalih al-`Utsaimin ulama mazhab Hanbali di dalam Syarh
Muwaththa’ al-Imaa Malik sebagai berikut:

36
Baca Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, j.1, hlm.395.
48

ِ‫ان‬ ٍِّ ‫سبِِتِِريِِر‬


ِ ‫يِلِهِِِكِيِِلِو‬ ِ ِ‫ِالصاعِِالن بِويِالِذِيِِزنِِتهِِح‬:ِ‫ِوالمرادِبلصاع‬
ِ‫ِوأِِربِعِ ِونِِِغِِرامِاِ ِوهِوِِِالِذِيِ يِقِدِرِِِبِهِِِجِيِعِِِمِاِ يِقِدِ ِرِِبِلِمِكِيِالِِِيِقِدِ ِر‬
37.‫د‬ٍِ ‫يِِوهِوِِأِِربِعِةِِِأمِدِا‬
ِّ ‫بِلصِاعِِالنِبِِو‬
“,Dan yang dimaksud dengan sha’ adalah sha’ Nabi SAW yang
beratnya hitungan kasar sama dengan dua kilo empat puluh gram,
dan segala yang dihitung dengan timbangan dihitung dengan sha’
Nabi SAW, dan satu sha’ Nabi SAW sama dengan empat mud
(Nabi SAW).”

Kalimat ini ditulis oleh Syekh al-`Utsaimin ketika


menjelaskan jumlah atau berat zakat fitrah per orang, yaitu 1 sha’
sama dengan 4 mud sama dengan seberat 2,4 kg. Artinya, 4 mud
sama dengan 24 ons sehingga dapat disimpulkan bahwa 1 mud
sama dengan 6 ons. Karena itu kafarah yang harus dibayar oleh
orang yang membatalkan puasa dengan bersetubuh pada waktu
siang bulan Ramadhan adalah 60 mud beras yang beratnya sama
dengan 360 ons atau sama dengan 36 kg.
Menurut jumhur ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam
Syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal dan ats-Tsauri, wajib membayar
kafarah secara tertib yakni, berupaya pertama kali memerdekakan
seorang hamba sahaya. Kalau tidak mampu, maka berpuasa dua

37
Baca Muhammad bin Shalih al-`Utsaimin, Syarh Muwaththa’ al-Imaam
Maalik, Cairo, Darul Ghad al-Jadid, 1430H/2009M., J.2 halaman 229.
49

bulan berturut-turut. Dan kalau tidak mampu, maka memberi


makan enam puluh orang miskin. Menurut jumhur ulama, tidak
dibenarkan langsung memberi makan enam puluh orang miskin
sebelum mencoba untuk berpuasa dua bulan berturut-turut.38
Namun menurut Imam Malik bin Anas, dibolehkan memilih salah
satu dari tiga kafarat tersebut, dan yang lebih afdhal menurut
mazhab ini adalah memberi makan enam puluh orang miskin.39
Membayar kafarah uzma karena jima` menjadi kewajiban si lelaki,
tidak kewajiban perempuannya.
Menurut Imam Syafi`i dan Imam Malik bin Anas kafarah
wajib dibayar berulang kali karena dilakukan berulang kali yang
mewajibkan kafarah. Misalnya, kalau seseorang bersetubuh pada
siang hari tanggal 10 dan 15 Ramadhan, maka ia wajib membayar
dua kali kafarah, yaitu memberi makan 120 orang miskin kalau ia
tidak mampu memerdekakan hamba sahaya dan berpuasa dua
bulan berturut-turut. Namun menurut Imam Abu Hanifah hanya
wajib satu kali kafarah walaupun berulang kali melakukan hal yang

38
Jumhur ulama beralasan dengan hadis riwayat jamaah di atas, dimana
Rasulullah SAW pertama kali bertanya apakah lelaki tersebut dapat
memerdekakan seorang hamba sahaya; kemudian sesudah dijawab tidak mampu
maka Nabi SAW menawarkan untuk berpuasa dua bulan berturut-turut;
kemudian sesudah dijawab tidak mampu maka Nabi SAW menawarkan urutan
kafarah ketiga yaitu memberi makan enam puluh orang miskin.
39
Baca Abdurrahman al-Juzairi, Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah,
j.1, halaman 547.
50

mewajibkan kafarah dan meskipun dalam hari-hari yang berbeda.


Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, kalau melakukan perbuatan
yang mewajibkan kafarah sesudah dibayar kafarah yang pertama,
maka wajib lagi membayar kafarah yang kedua. Namun kalau
belum dibayar kafarah yang pertama, kemudian ada lagi kafarah
kedua karena menggauli isteri lagi pada siang Ramadhan di hari
yang lain, maka cukup membayar satu kafarah untuk beberapa
kafarah.40
Menurut Imam Syafi`i, diwajibkan bagi orang yang
bersetubuh pada siang Ramadhan menqadha puasa dan membayar
kafarah `uzma (kafarah besar) dengan syarat: (1) berniat puasa.
Kalau ia tidak berniat puasa pada waktu malam, maka tidak sah
puasanya akan tetapi wajib baginya imsak (menahan diri dari segala
yang membatalkan puasa). Apabila ia mendatangi isterinya dalam
keadaan ini pada siang hari, tidak wajib baginya kafarah karena
pada hakikatnya ia bukan sedang berpuasa; (2) melakukan setubuh
dengan sengaja. Kalau ia lakukan karena lupa maka tidak batal
puasanya, dan tidak wajib baginya menqadha dan juga tidak
kafarah; (3) dilakukan atas keinginan sendiri, kalau dipaksa
melakukan setubuh maka tidak batal puasana; (4) mengetahui
haramnya perbuatan ini. Kalau ia lakukan ketika baru saja masuk
Islam atau ia berkembang di tempat yang jauh dari ulama dan ia

40
Abdurrahman al-Juzairi, Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah, j.1,
halaman 549-550.
51

melakukan setubuh dalam keadaan ini maka juga tidak batal


puasanya; (5) melakukan setubuh pada puasa tunai hari
Ramadhan. Kalau dilakukan pada hari berpuasa sunat atau nazar
atau qadha atau puasa kafarah, maka tidak wajib baginya kafarah
walaupun disengaja melakukannya; (6) bahwa bersetubuh itu
sendiri langsung yang membatalkan puasanya tidak ada hal lain
yang membatalkannya. Kalau ia juga makan pada waktu
melakukan setubuh itu maka tidak wajib baginya kafarah akan
tetapi wajib baginya menqadha saja; (7) bahwa ia berdosa
disebabkan bersetubuh ini karena tergolong mukalaf yang berakal.
Kalau anak-anak melakukannya meskipun sedang berpuasa, maka
tidak wajib kafarah baginya. Demikian pula orang sedang musafir
yang berpuasa, kemudian pada tengah hari ia membatalkan puasa
dengan bersetubuh, maka tidak wajib baginya kafarah karena
rukhshah perjalanan; (8) yakin masih sah puasanya. Kalau ia makan
karena lupa namun dikiranya sudah batal puasanya, kemudian ia
bersetubuh secara sengaja sesudah itu, maka tidak wajib kafarah
baginya meskipun batal puasanya dan ia wajib menqadha; (9)
bahwa ia tidak gila sesudah bersetubuh sebelum terbenam
matahari. Kalau ia gila maka tidak wajib kafarah baginya; (10)
bahwa ia tidak berinisiatif melakukan setubuh dengan sendirinya.
Kalau seandainya ia tidur dan dinaiki oleh isterinya dan ia
menyetubuhinya dalam keadaan ini, maka tidak wajib baginya
kafarat kecuali ia sengaja memperdaya isterinya agar
melakukannya; (11) tidak karena tersalah. Kalau ia bersetubuh
52

karena mengira masih malam atau sudah masuk waktu maghrib,


kemudian nyata baginya bahwa ia bersetubuh pada waktu siang,
maka tidak ada kafarah baginya meskipun wajib menqadha dan
imsak; (12) bersetubuh itu sampai memasukkan hasyfah atau
sekadar hasyfah bagi yang terpotong zakar (kemaluan)-nya dan
seumpamanya. Kalau belum ia masukkan sekadar hasyfah atau ia
masukkan sebagian hasyfah saja maka tidak batal puasanya. Dan
apabila ia keluar mani dalam keadaan seperti ini, maka ia hanya
wajib menqadha saja. Akan tetapi wajib baginya imsak, jika ia
tidak menahan pada waktu sisa siang hari itu, maka ia berdosa; (13)
bahwa ia bersetubuh pada faraj, baik dubur maupun qubul
walaupun tidak keluar mani. Kalau ia menyetubuhi selain yang
disebutkan, maka tidak wajib baginya kafarat; (14) bahwa ia
sebagai pelaku jimak bukan objek. Kalau ia menyetubuhi seorang
perempuan atau selainnya, maka kafarat wajib bagi pelaku (fa`il)
bukan pada objek (maf`ul bih/penderita).41
Apabila terbit fajar shadiq ketika ia sedang menyetubuhi
isterinya, kalau langsung ia keluarkan kemaluannya seketika itu
juga maka puasanya sah. Kalau masih ia teruskan sesudah itu
walaupun sekejap, maka wajib baginya menqadha dan kafarah jika
ia mengetahui waktu terbit fajar. Kalau tidak ia ketahui terbitnya

41
Abdurrahman al-Juzairi, Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah, j.1,
hlm.530.
53

fajar ketika itu, maka wajib baginya menqadha namun tidak wajib
kafarat.42
Tabel: 2
Syarat Wajib Kafarah `Uzma (Kafarah Besar)

Syarat Wajib Kafarah


Menurut Imam asy-Syafi`i Menurut Ulama lainnya
Menurut Imam Syafi`i, orang yang Menurut mazhab Hanafi, ada dua
bersetubuh pada siang Ramadhan hal yang mewajibkan menqadha
sedangkan ia wajib berpuasa dan kafarat, yaitu: pertama,
menurut syara` pada hari itu berarti menkonsumsi makanan atau
telah melakukan dosa yang sangat semaknanya tanpa `udzur syar`iy
besar. Dan diwajibkan baginya (alasan yang dibenarkan syariat)
menqadha dan membayar kafarat seperti makan, minum dan
dengan syarat: (1) berniat puasa. seumpamanya yang dengannya
Kalau ia tidak berniat puasa pada dipenuhi kebutuhan perut; dan
waktu malam, maka tidak sah kedua, memenuhi secara
puasanya akan tetapi wajib baginya sempurna kebutuhan faraj. Dan
imsak (menahan diri dari segala wajib membayar kafarah bagi
yang membatalkan puasa). Apabila orang yang makan atau
ia mendatangi isterinya dalam bersetubuh dengan syarat: (1)
keadaan ini pada siang hari, tidak orang yang berpuasa seorang
wajib baginya kafarat karena pada mukalaf, berniat pada malam hari
hakikatnya ia bukan sedang untuk puasa Ramadhan. Kalau

42
Abdurrahman al-Juzairi, Kitaab al-Fiqh `alaa al-Madzaahib al-Arba`ah, j.1,
hlm.530.
54

berpuasa; (2) melakukan setubuh tidak berniat malam hari, tidak


dengan sengaja. Kalau ia lakukan wajib kafarah. Demikian juga
karena lupa maka tidak batal kalau berniat untuk menqadha
puasanya, dan tidak wajib baginya puasa Ramadhan yang tertinggal
menqadha dan juga tidak kafarah; juga tidak wajib kafarah. Dan
(3) dilakukan atas keinginan sendiri, kalau dilakukan pada waktu puasa
kalau dipaksa melakukan setubuh yang bukan Ramadhan juga tidak
maka tidak batal puasana; (4) wajib kafarah; (2) tidak ada
mengetahui haramnya perbuatan padanya hal yang membolehkan
ini. Kalau ia lakukan ketika baru berbuka yaitu musafir dan sakit.
saja masuk Islam atau ia Karena boleh baginya berbuka
berkembang di tempat yang jauh sesudah sakitnya. Namun kalau
dari ulama dan ia melakukan berbuka sebelum musafir, maka
setubuh dalam keadaan ini maka wajib membayar kafarah; (3)
juga tidak batal puasanya; (5) berbuat atas keinginan dan
melakukan setubuh puasa puasa sukarela bukan karena dipaksa; (4)
tunai hari Ramadhan. Kalau bersengaja melakukannya. Kalau
dilakukan pada hari berpuasa sunat berbuka karena lupa atau tersalah
atau nazar atau qadha atau puasa maka gugur darinya kafarah.
kafarah, maka tidak wajib baginya Setubuh dilakukan dengan
kafarah walaupun disengaja sengaja pada qubul atau dubur
melakukannya; (6) bahwa dan wajib kafarat baik bagi pelaku
bersetubuh itu sendiri langsung (fa`il) maupun yang menjadi
yang membatalkan puasanya tidak objek (maf`ul bih) dan disyaratkan
ada hal lain yang membatalkannya. maf`ul bih-nya manusia, hidup
Kalau ia juga makan pada waktu dan berkeinginan melakukannya.
melakukan setubuh itu maka tidak Wajib kafarah walaupun hanya
55

wajib baginya kafarah akan tetapi sekadar bertemunya dua


wajib baginya menqadha saja; (7) kemaluan meskipun tidak
bahwa ia berdosa disebabkan ejakulasi. Kalau sesama
bersetubuh ini karena karena perempuan bersenang-senang,
tergolong mukalaf yang berakal. maka wajib baginya menqadha
Kalau anak-anak melakukannya tidak wajib kafarah. Menyetubuhi
meskipun sedang berpuasa, maka binatang, mayit dan anak-anak
tidak wajib kafarah baginya. yang tidak bersyahwat tidak
Demikian pula orang sedang mewajibkan kafarah akan tetapi
musafir yang berpuasa, kemudian mewajibkan qadha karena
pada tengah hari ia membatalkan ejakulasi.
puasa dengan bersetubuh, maka
tidak wajib baginya kafarah karena
rukhshah perjalanan; (8) yakin
masih sah puasanya. Kalau ia makan
karena lupa namun dikiranya sudah
batal puasanya, kemudian ia
bersetubuh secara sengaja sesudah
itu, maka tidak wajib kafarah
baginya meskipun batal puasanya
dan ia wajib menqadha; (9) bahwa
ia tidak gila sesudah bersetubuh
sebelum terbenam matahari. Kalau
ia gila maka tidak wajib kafarah
baginya; (10) bahwa ia tidak
berinisiatif melakukan setubuh
dengan sendirinya. Kalau
56

seandainya ia tidur dan dinaiki oleh


isterinya dan ia menyetubuhinya
dalam keadaan ini, maka tidak
wajib baginya kafarah kecuali ia
sengaja memperdaya isterinya agar
melakukannya; (11) tidak karena
tersalah. Kalau ia bersetubuh karena
mengira masih malam atau sudah
masuk waktu maghrib, kemudian
nyata baginya bahwa ia bersetubuh
pada waktu siang, maka tidak ada
kafarat baginya meskipun wajib
menqadha dan imsak; (12)
bersetubuh itu sampai memasukkan
hasyfah atau sekar hasyfah bagi yang
terpotong zakar (kemaluan)-nya dan
seumpamanya. Kalau belum ia
masukkan sekadar hasyfah atau ia
masukkan sebagian hasyfah saja maka
tidak batal puasanya. Dan apabila ia
keluar mani dalam keadaan seperti ini,
maka ia hanya wajib menqadha saja.
Akan tetapi wajib baginya imsak, jika ia
tidak menahan pada waktu sisa siang
hari itu, maka ia berdosa; (13) bahwa ia
bersetubuh pada faraj, baik dubur
maupun qubul walaupun tidak keluar
mani. Kalau ia menyetubuhi selain
57

yang disebutkan, maka tidak wajib


baginya kafarat; (14) bahwa ia sebagai
pelaku jimak bukan objek. Kalau ia
menyetubuhi seorang perempuan atau
selainnya, maka kafarat wajib bagi
pelaku (fa`il) yaitu lelaki, bukan pada
objek (maf`ul bih/penderita/wanita);
(15) belum terbit fajar shadiq. Apabila
terbit fajar ketika ia sedang
menyetubuhi isterinya, kalau langsung
ia keluarkan kemaluannya seketika itu
juga maka puasanya sah. Kalau masih ia
teruskan sesudah itu, walaupun
sekejap, maka batal puasanya dan wajib
baginya menqadha dan juga kafarah
jika ia mengetahui waktu terbit fajar.
Kalau tidak ia ketahui terbitnya fajar,
maka wajib baginya menqadha saja,
tidak wajib kafarah.

Kafarah shugra
Kafarah shugra (kafarah kecil) adalah denda ringan yang
diwajibkan atas orang yang lalai menqadha puasa Ramadhan hingga tiba
bulan Ramadhan berikutnya.
Menurut Imam Syafi`i dan ulama mazhab Syafi`i, apabila seseorang
tidak menqadha puasa Ramadhan hingga tiba Ramadhan berikutnya,
maka ia wajib membayar kafarah shugra yaitu 1 mud (6 ons) beras
(makanan pokok biasa di negerinya) untuk setiap satu hari yang belum ia
58

qadha. Dan ia tetap menqadhanya disamping juga harus membayar


kafarahnya. Kalau ia belum menqadhanya hingga tiba Ramadhan yang
ketiga, maka dilipatgandakan kafarahnya, yaitu 1 mud untuk satu hari
setiap tahun.
Misalnya kalau seseorang tidak berpuasa selama 5 hari pada
Ramadhan 1440 karena musafir atau karena menstruasi, dan belum ia
qadha hingga tiba Ramadhan 1441, maka sesudah berlalu Ramadhan
1441 selain ia harus menqadhanya juga wajib membayar kafarah 5 mud
beras untuk yang lima hari (1 mud untuk setiap satu hari). Satu mud
beras beratnya sama dengan 6 ons sehingga jumlahnya 30 ons (5 x 6 ons)
atau 3 kg. Hal ini dikemukakan oleh Imam Syafi`i di dalam al-‘Umm:
ٍِ ‫ِمِنِِأِفِطِرِِأِيِمِاِمِنِِِرمِضِانِِمِنِِعِ ِذرِِمِِر‬:ِ‫قِالِِالشِافِعِيِِِرحِهِِهللاِِتِعِال‬
ِِ‫ضِأِو‬
ِ‫اِوبِيِنِِهِ ِوبِْيِِأِ ِن‬
ِ ِ‫تِمِاِشِ ِاءِفِِذِيِاْلِجِِةِأِوِِغِ ِيه‬ ٍِ ِ‫سِفِ ٍِرِقِضِاهِنِِفِِأِ ّيِِ ِوق‬
ِ‫هللا ِعِزِ ِِوجِ ِل‬
ِ ِ ِ‫كِأِن‬ ِ ِ‫ات ِ ِوذِال‬ٍِ ِ‫ات ِأِوِ ِمِتِمِع‬
ٍِ ِ‫ان ِآخِرِ ِمِتِ ِفِّرق‬ِ ِ‫يِتِ ِعِِليِهِ ِِرمِض‬
ِ‫ض‬ِ ِ‫ِوقِدِِبِِلغِنِاِمِنِِبِع‬. ِ ‫ات‬ ٍِ ِ‫ِفِعِدِةِ ِ ِّمنِِأِيٍِِمِأِخِ ٍِرِِولِِيِِذكِِرهِنِِمِتِتِابِع‬:ِ‫يِقِ ِول‬
ِ‫هللاِِعِِليِهِِِ ِوسِِلمِِِأِِنّهِ قِالِِِإِذِاِ أِحِصِيِتِِِالِعِدِِة‬ ِ ِ‫بِِصِِلى‬ ِّ ِ‫ابِِالن‬ِ ِ‫أِصِح‬
ِِ‫ِ فِِإ ِنِِمِِرضِِِأِوِِِ ِسافِرِِِالِمِفِطِرِِِمِنِِِِرمِضِانِِِفِِلم‬.ِ‫فِصِمِهِنِِكِيِفِِِشِئِت‬
ِ ِ‫يِصِحِِِولِِيِقِ ِدرِِحِّتِِيِتِِعِلِيِهِِِرمِض‬
ِِ‫ِ ِوإِ ِنِفِِرطِِِوهِوِِيِكِنِه‬.ِ‫انِقِضِاهِنِِِولِِكِفِ ِارة‬
59

ِ.ِ‫الرمِضِانِِِالِ ِذيِ جِاءِِِعِلِيِهِِِ ِوقِضِاهِن‬


ِ ِِِ‫انِِآخِرِِِصِام‬
ِ ِ‫أِ ِنِِيِصِ ِومِِِحِّتِِِيِتِِِِرمِض‬
ِ ِ43ِ.‫ِوكِ ِّفرِِعِنِِِكِ ّلِِيِ ِوٍمِِبِ ِّدِحِنِطِ ٍِة‬
Artinya:
“Imam asy-Syafii Rahimahullah berkata: ‘Barangsiapa yang
berbuka pada hari-hari Ramadhan karena uzur sakit atau musafir,
maka ia menqadhanya pada waktu mana saja ia kehendaki,
misalnya pada bulan Zulhijjah atau bulan lainnya antara bulan
Ramadhan lalu dengan bulan Ramadhan lain yang akan datang,
baik terpisah-pisah harinya maupun berkumpul (berturut-turut).
Hukum ini karena Allah SWT berfirman: ‫فعدةِ منِ أيم‬ dan Dia
tidak berfirman: ‫ِ ِمتتابعات‬ (berturut-turut). Dan telah sampai
kepada kami dari sebagian sahabat Nabi SAW bahwa beliau
bersabda: ‘Apabila engkau telah hitung jumlah harinya, maka
puasakanlah bagaimana engkau keehendaki.’ Jika orang yang
berbuka pada Ramadhan itu sakit dan ia tidak sehat serta tidak
kuat hingga datang Ramadhan berikutnya, maka ia menqadhanya
dan tidak ada kafarah. Jika ia lalai (tidak menqadha) hingga datang
Ramadhan yang lain, padahal mungkin baginya berpuasa, maka ia
puasakan Ramadhan yang telah datang dan ia qadha hari-hari
yang pada Ramadhan sebelumnya, dan ia bayar kafarat satu mud
gandum untuk setiap satu hari.” ِِِِِِِ

43
Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafii, al-‘Umm, Darul Fikri,
Beirut, 1410H/1990M., J.2, halaman 113.
60

Kalau ia belum menqadha dan belum membayar kafarahnya hingga


masuk Ramadhan 1442 (Ramadhan yang ke-3), maka ia wajib
menqadha 5 hari yang tertinggal pada Ramadhan 1440 sesudah berlalu
Ramadhan 1442. Selain itu ia juga wajib membayar kafarah yang
dilipatgandakan yaitu 60 ons (30 ons x 2) atau 6 kg. Demikian menurut
ulama mazhab Syafi`i. Mereka beralasan dengan fatwa dari enam orang
sahabat Rasulullah SAW sebagaimana dikemukakan oleh Abu Bakar
Ibnu Muhammad Syatha’ di dalam kitab I`aanah sebagai berikut:

ِِ‫شيِ ٍِئِِمِنِِِِرمِضِانِِِحِّتِِ دِخِلِِِِرمِضِان‬ ٍِ ِ‫ِويِبِِِعِِلىِ مِِؤ ِّخرِِِقِض‬


ِ ِ‫اءِِل‬
ِِ‫السفِرِ ِِوالِمِِرضِ ِقِدِرِ ِمِاِعِِليِه‬
ِ ِ ِ‫لِعِن‬ ِ ِ‫فِالتِأِخِ ِي ِبِنِ ِخ‬ ِ ِ ‫لِعِذِ ٍِر‬ ِ ِ‫آخِرِ ِب‬
ِ‫ك ِلِنِ ِسِتِِة‬ ِ ِ‫ ِِوذِال‬.ِِ‫السنِْيِ ِعِِلىِالِمِعِتِمِد‬ِّ ِ ِ‫مِدِ ِلِكِ ِّل ِسِنِ ٍِة ِفِيِتِكِِررِ ِِبتِكِِرر‬
ٍِ ِ‫مِنِِِالصِحِابِةِِِِوهِمِِِابِنِِِعِب‬
ِ‫اسِِِوأِِبوِ هِِريِِرِةِِ ِوعِِليِِِِوابِنِِِعِمِرِِِِوجِابِ ِر‬
ِ‫ف ِلِ ِم‬ِ ِ‫ك ِِولِِمِال‬ ِ ِ‫هللا ِعِنِهِمِ ِأِجِعِْيِ ِأِفِتِِواِبِذِال‬
ِ ِ ِ‫سْيِ ِبِنِ ِعِِل ٍِّي ِِرضِي‬ ِ ِ‫ِواْل‬
ِ‫اِأخِرِِالِقِضِاءِِاِلِِأِ ِن‬ِ ِ‫يِيِبِِمِعِِالِقِضِاءِِمِدِِإِذ‬ ِ ِ‫فِصِارِِاِجِاعِاِسِكِ ِوتِيِاِأ‬
ِ ِِ44.ِِ‫دِخِلِِِرمِضِانِِآخِر‬
Artinya:
“,Dan wajib, membayar satu mud untuk setiap satu hari dalam satu
tahun, atas orang yang menunda menqadha puasa Ramadhan hingga
masuk Ramadhan lain (berikutnya) tanpa uzur dalam menundanya.
(Yang dimaksud tanpa uzur) ialah dimana ada hari-hari kosong dari

44
Baca Abu Bakar Ibnu Muhammad Syatha’, I`aanat al-Thaalibiin `alaa Hilli
Alfaazh Fath al-Mu`iin, J.2, halaman 242).
61

musafir dan sakit yang cukup untuk waktu menqadha. Dan menurut
pendapat yang muktamad, kewajiban satu mud itu berulangkali dibayar
apabila berulang-uang tahunnya. Dasar hukumnya karena enam orang
sahabat yaitu Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Ali, Abdullah bin
Umar, Jabir, dan al-Husain bin Ali r.a. menfatwakan demikian dan tidak
ada (sahabat lain) yang membantah (berbeda pendapat) dengan mereka
sehingga fatwa ini termasuk ijmak sukuti (sahabat). Artinya selain wajib
menqadha juga wajib membayar satu mud (untuk setiap satu hari)
apabila ditunda menqadhanya sampai masuk Ramadhan yang lain
(berikutnya).”
Demikian kafarah kecil yang harus dibayar oleh orang yang
menunda menqadha puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan
berikutnya. Yaitu membayar satu mud beras, dan kalau belum ia qadha
juga hingga masuk Ramadhan yang ketiga, maka wajib lagi membayar
satu mud beras dan akan berulang kewajiban membayar satu mud ini
untuk setiap satu hari setiap tahun selama belum ia qadha. Namun hari
qadhaannya tetap sebanyak yang ia tinggalkan, tidak ada tambahan
harinya walaupun sudah tiba Ramadhan yang lain.
Kalau ditundanya menqadha karena uzur, seperti karena musafir
atau sakit, maka tidak ada kewajiban membayar satu mud walaupun
musafirnya bertahun-tahun. Namun ini berlaku khusus bagi orang yang
tidak puasa Ramadhan karena uzur syar`iy, tidak berlaku bagi orang
yang berbuka pada siang Ramadhan karena malas.
Adapun orang yang berbuka pada siang Ramadhan tanpa
adanya uzur dan alasan yang dibenarkan syariat, maka ia harus segera
menqadha puasanya meskipun ia terus-menerus musafir sepanjang
62

tahun. Karena perjalanannya tidak bisa menjadi uzur dalam menqadha


puasa Ramadhan yang sengaja dibatalkan tanpa uzur syar`iy.

Kerabat membayar fidyah atau menqadha puasa orang yang


sudah wafat?
Kalau seseorang wafat meninggalkan qadhaan puasa Ramadhan,
maka apakah yang harus dilakukan oleh wali dan kerabatnya? Apakah
kerabatnya memuasakan qadhaannya? Ataukah cukup membayar
fidyahnya? Ini masalah penting yang telah diperbincangkan oleh para
ulama salaf dan ulama khalaf sehingga melahirkan khilafiyah. Sebab,
terdapat hadits yang menyuruh untuk memuasakan qadhaan orang yang
sudah wafat dan juga ada atsar sahabat yang menyuruh untuk membayar
fidyahnya tanpa menqadha.
Hadits yang menyuruh memuasakan qadhaan orang yang sudah
wafat antara lain diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari bahwa Rasulullah
SAW bersabda: 45 .ِ‫منِ ماتِ وِ عليهِ صِيامِ صامِ عنهِ وليه‬ (Barangsiapa
meninggal dunia sedangkan ia ada kewajiban menqadha puasa, maka
dipuasakan oleh walinya). Selain itu juga riwayat al-Bukhari
daripada Ibnu Abbas r.a., ia berkata: “,Seorang lelaki datang
kepada Nabi SAW, maka ia berkata: Wahai Rasulullah,
sesungguhnya ibuku telah wafat padahal ia ada kewajiban berpuasa
satu bulan, apakah aku akan menqadha untuknya? Jawab Nabi

45
HR. al-Bukhari, Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 1952.
63

SAW: “Iya (harus engkau qadha untuk ibumu), Sebab, hutang


kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”46
Dasar hukum menyuruh membayar fidyah orang yang
sudah wafat antara lain atsar yang diriwayatkan oleh Imam al-
Baihaqi: “,Bahwasanya Ummul Mukminin Aisyah r.a.:
47 ِ.‫ِيِطِعِمِِعِنِهِا‬:ِ‫ِِقِالِت‬.ِ‫سئِلِتِِعِنِِامِِرأِةٍِِمِاتِتِِِوعِلِيِهِاِصِ ِوم‬
Artinya:
Aisyah r.a. ditanya tentang perempuan yang meninggal dunia
sedangkan ia ada kewajiban berpuasa. Jawab Aisyah r.a.: “,Beri makan
orang fakir-miskin dengan fidyah sebagai pengganti puasa wajibnya.
Dan perkataan Aisyah r.a.:
48 .ِ‫لِِتِصِ ِومِواِعِنِِمِ ِوتِكِمِِِوأِ ِطعِمِِواِعِنِهِم‬
Artinya:
Jangan kamu memuasakan untuk orang-orang yang wafat dari
kamu, akan tetapi berimakan orang fakir-miskin sebagai fidyah mereka.
Dalam hal ini Imam Syafi`i mengemukakan dua pendapat,
yaitu qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim mengatakan agar
qadhaan orang yang sudah wafat dipuasakan oleh kerabatnya. Dan
ini berdasarkan hadits riwayat al-Bukhari di atas. Sedangkan qaul

46
HR. al-Bukhari, Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 1953.
47
HR al-Baihaqi dan dikutip dari al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih
al-Bukhaariy, J.4, halaman 707.
48
HR al-Baihaqi dan dikutip dari al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih
al-Bukhaariy, J.4, halaman 707.ِِ
64

jadidnya mengatakan dengan membayar fidyah, dan ini


berdasarkan atsar sahabat riwayat Imam al-Baihaqi. Imam Syafi`i
menulis di dalam al-‘Umm:
ِ‫ات ِفِلِِقِضِاءِ ِعِِليِهِ ِإِّنِاِالِقِضِاءِ ِإِذِا‬
ِ ِ‫ِومِنِ ِمِِرضِ ِفِِلمِ ِيِصِحِ ِحِّتِِم‬
ِ‫اتِ ِوقِدِِفِِرطِِفِِالِقِضِاءِِأِطِعِمِِعِنِهِِمِكِانِِكِ ِّلِيِ ِوٍِم‬
ِ ِ‫ِومِنِِم‬.ِ ِ‫صِحِِثِِفِِرط‬
ِ 49.‫سكِْيِِمِدِاِمِنِِطِعِ ٍِام‬
ِ ِ‫م‬
Artinya:
“Dan barangsiapa sakit dan ia tidak sehat hingga wafat maka
tidak ada kewajiban menqadha atasnya, sesungguhnya menqadha
wajib hanya apabila ia telah sehat kemudian lalai dari menqadanya.
Dan barangsiapa wafat sedangkan ia telah lalai dari menqadha,
maka wajib diberi makan seorang miskin satu mud makanan
pokok untuk menggantikan setiap satu hari yang belum ia qadha.”
Berdasarkan hadits dan atsar di atas, maka para ulama salaf
berbeda pendapat mengenai masalah ini sebagaimana
dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-`Asqallani di dalam Fath al-
Baariy:
ِِ‫الصيِ ِام ِعِنِ ِالِمِِيّت‬
ِّ ِ ِ‫ِفِِأجِاز‬:ِ‫سأِلِة‬
ِ ِ‫السِلفِ ِفِِهِذِهِ ِالِم‬ِ ِ ِ‫ِوقِدِ ِاخِتِِلف‬
ِ‫الشافِعِيِِِفِِ الِقِدِيِِِالِقِ ِولِِِبِِهِِعِِليِ صِحِِة‬ ِ ِِِ‫ِِ ِوعِِلق‬.ِ‫ابِِاْلِدِيِث‬ ِ ِ‫أِصِح‬
ِِ‫اْلِدِيِثِِِكِمِاِنِقِِلهِِ ِالبِيِهِقِيِِفِِ"الِمِعِِرفِةِ"ِِوهِ ِوِقِ ِولِِأِبِِثِِوٍِرِِوجِاعٍِِةِمِن‬

49
Baca Imam Muhammad bin Idris asy-Syafii, al-‘Umm, J.2, halaman 114.
65

ِ‫سأِلِةِِثِبِِتةِِ ِل‬
ِ ِ‫ِهِذِِهِالِم‬:"‫ات‬ ِ ِ‫ِوقِالِِالِبِيِهِقِيِِفِِ"الِلِفِي‬, ِ ِ‫يِالشافِعِيِة‬
ِ ِ‫مِ ِّدث‬
ِ‫اق‬
ِ ِ‫ِثِ ِس‬,‫أِعِِلمِ ِخِلِفِاِبِْيِ ِأِهِلِ ِاْلِدِيِثِ ِفِِصِحِتِهِاِفِِوجِبِ ِالِعِمِلِ ِبِا‬
ِ‫ىِهللا ِعِِليِِه‬
ِ ‫ب ِصِِل‬ ِّ ‫ِكِلِ ِمِاِقِِلتِ ِ ِوصِحِ ِعِنِ ِ ِالن‬:ِ‫ِالشافِعِ ِّي ِقِال‬ِ ِ‫سنِدِهِ ِإِل‬
ِ ِ‫ب‬
ِِ‫ِوقِالِ ِالشِافِعِيِ ِفِِالِدِيِد‬. ِ ِ‫ِوسِِلمِ ِخِلِفِهِ ِفِخِذِواِبِْلِدِِيثِ ِِولِِتِقِِلّدِون‬
ِ‫ق‬ِ ‫الليِثِ ِِوأِحِدِِ ِوإِسِحِا‬ ِ ِ‫ال‬ِ ِ‫ ِ ِوق‬.ِ‫وِحنِيِفِةِ ِ ِلِيِصِامِ ِعِنِ ِالِمِِيّت‬
ِ ِ‫كِِوأِب‬
ِ ِ‫ِومِال‬
ِ ِ‫ِلِِيِصِامِِعِنِهِِِإل‬:‫ِوأِبِوِعِبِيِ ٍِد‬
ِ ِِِِ50.ِِ‫ِالنذِر‬
Artinya:
“,Dan ulama salaf (terdahulu) berbeda pendapat mengenai
masalah ini. Ahli hadits membolehkan memuasakan qadhaan
orang yang sudah wafat, dan Imam Syafi`i dalam qaul qadim-nya
menyebutkan pendapat yang sama dengan ini karena shahihnya
hadits yang menjadi dalilnya sebagaimana dikutip oleh al-Baihaqi
di dalam kitabnya, al-Ma`rifah, dan ini juga pendapat Abu Tsaur
dan jamaah dan para ahli hadits dari kalangan ulama-ulama
mazhab Syafi`i. Dan al-Baihaqi mengatakan dalam kitab al-
Khilaafiyaat: ‘Masalah ini adalah tetap, tidak aku ketahui adanya
perbedaan pendapat di antara ahli hadits mengenai keshahihannya,
karena itu maka wajib mengamalkannya.’ Kemudian al-Baihaqi
mengemukakan sanadnya sampai kepada Syafi`i, bahwa Imam

50
Baca Ibnu Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bukhaariy,
J.4, 706.
66

Syafi`i berkata: ‘Setiap yang aku katakan dan terbukti ada hadits
shahih yang berbeda dengannya, maka hendaklah kamu ambil
hadits dan janganlah kamu mengikuti pendapatku.’ Dan Imam
Syafi`i berkata dalam qaul jadid-nya demikian juga Malik dan Abu
Hanifah: ‘Tidak dipuasakan untuk orang yang meninggal dunia.’
Dan al-Laits, Ahmad, Ishaq dan Abu `Ubaid berkata: ‘Tidak
dipuasakan untuk orang yang sudah wafat kecuali puasa nadzar.”
Abu Bakar Ibnu Muhammad Syatha’ menulis di dalam
I`aanat al-Thaalibiin mengenai dua pendapat Imam Syafi`i sebagai
berikut: “,Imam Syafi`i dalam qaul jadid-nya berpendapat bahwa
kewajiban (wali dan kerabat orang yang telah wafat) hanya
membayar fidyah atau kafarah puasa yang belum diqadha orang
yang sudah wafat. Ia beralasan pada hadits Rasulullah SAW:
“,Barangsiapa wafat sementara ada kewajiban puasanya (qadha)
satu bulan, maka hendaklah diberi makan darinya untuk setiap
satu hari seorang miskin.”51 Dan Imam al-Mawardi mengutip
ijmak sahabat tentang membayar fidyah atau kafarah ini, tanpa
dipuasakan oleh kerabatnya. Sedangkan menurut qaul qadim-nya,
Imam Syafi`i berpendapat bahwa kerabat orang yang sudah wafat
boleh memuasakan qadhaannya, tidak perlu membayar fidyahnya.
Demikian juga puasa nadzar dan puasa kafarat, yakni kalau yang

51
HR. At-Tirmidzi, dan ia menshahihkannya dan memawqufkannya kepada
Abdullah Ibnu Umar r.a.
67

bernadzar atau yang wajib kafarat sudah wafat, maka terdapat dua
pendapat (qaul qadim dan qaul jadid) dalam mazhab Syafi`i.52
Apabila seseorang wafat sebelum menqadha puasa
Ramadhan, maka wali dan kerabatnya membayar fidyah dan
kafaratnya. Hal ini dikemukakan oleh Syekh Zainuddin al-
Malaibari al-Fannani di dalam Fath al-Mu`iin sebagai berikut:

ِ‫ج‬ِ ‫ات ِأِخِِر‬ ِ ِ‫ِومِّتِِأِخِرِ ِقِضِاءِ ِِرمِضِانِ ِمِعِ ِتِكِنِهِ ِحِّتِِدِخِلِ ِآخِرِ ِِفم‬
ِ ‫مِنِ ِتِركِتِهِ ِلِكِ ِّل ِيِ ِوٍِم ِمِدِانِ ِمِدِ ِلِِلفِِو‬
ِِ‫اتِ ِومِدِ ِلِلتِأِخِيِ ِاِنِ ِلِ ِيِصِمِ ِقِِريِبِهِ ِأِو‬
ِ‫ِوالِدِيِدِ ِعِدِمِ ِجِِوازِ ِالصِ ِومِ ِعِنِِه‬. ِ ِ‫احدِ ِلِلتِأِخِي‬ ِ ‫ِوجِبِ ِمِدِ ِِو‬ ِ ِ‫مِأِذِ ِونِهِ ِ ِوإِل‬
ِ 53.‫مِطِلِقِاِبِلِِيِِرجِِمِنِِتِركِتِهِِِلكِ ِّلِيِ ِوٍِمِمِدِِطِعِ ٍِام‬
Artinya:
“,Dan kapan seseorang menunda menqadha puasa Ramadhan
padahal ia dapat dan mampu untuk menqadhanya hingga masuk
bulan Ramadhan yang lain (tahun berikutnya), kemudian ia
meninggal dunia maka dikeluarkan dari harta peninggalannya dua
mud untuk setiap satu hari (yang belum ia qadha), yaitu satu mud
untuk fidyah satu hari Ramadhan yang tidak dipuasakan dan satu
mud lagi kafarah karena menunda qadhaannya (hingga masuk

52
Baca Abu Bakar Ibnu Muhammad Syatha’, I`aanat al-Thaalibiin, J.2,
halaman 243.
53
Baca Zainuddin al-Malaibari al-Fannani, Fath al-Mu`iin dalam Abu Bakar
Ibnu Muhammad Syatha’, I`aanat al-Thaalibiin `alaa Hilli Alfaazh Fath al-
Mu`iin, J.2, halaman 242-243).
68

bulan Ramadhan berikutnya), ini jika tidak dipuasakan oleh


kerabatnya atau orang yang diberi izin. Kalau dipuasakan oleh
kerabatnya, maka hanya wajib membayar kafarah yaitu satu mud
karena penundaan qadhanya. Dan menurut qaul jadid Imam
Syafii, tidak boleh sama sekali memuasakan untuk orang yang
meninggal, bahkan harus dikeluarkan dari harta peninggalannya
satu mud makanan (pokok yang biasa di negerinya) untuk setiap
satu hari.”
Ibnu Hajar al-`Asqallani menyimpulkan bahwa pendapat
yang kuat (rajih) adalah pendapat yang mengatakan agar kerabat
memuasakan qadhaan orang yang sudah wafat. Alasannya karena
ini jelas berdasarkan hadis shahih ucapan Rasulullah SAW
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Sedangkan
pendapat yang mengatakan agar dibayar fidyah-nya hanya
berdasarkan atsar, yaitu pendapat Aisyah r.a. dan Ibnu Abbas r.a.
Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh kedua sahabat ini
lebih kuat daripada pendapat mereka yang mereka kemukakan.”54
Abu Bakar bin Muhammad asy-Syatha’ menyimpulkan
dengan mengutip keterangan kitab al-Tuhfah sebagai berikut:

ِ‫ِوفِِ التِحِفِةِِِمِاِِنِصِهِِِ ِوقِدِِِنِصِِِعِِليِهِِِأِيِِِالِقِدِيِِِفِِ الِدِيِدِِِأِيِضِا‬


ٍِ ‫فِقِالِِإِنِِثِبِتِِاْلِدِيِثِِقِلِتِِبِهِِ ِوقِدِِثِبِتِِمِنِ ِغِيِ ِمِعِ ِار‬
ِ‫ضِ ِوبِهِِيِنِدِفِ ِع‬

54
Baca Ibnu Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syarh Shahiih al-Bukhaariy,
J.4, 707.
69

ِ‫الِعِ ِتاضِ ِعِِلىِالِمِصِِنّفِ ِبِنِهِِكِانِ ِيِنِبِغِيِلِِه ِاخِتِيِ ِارِه ِمِنِ ِجِهِةِ ِالدِلِيِ ِل‬
ِ‫شهِِورِِفِِالِمِذِهِبِِتِصِحِيِ ِح‬ ِ ِ‫ِالِم‬:ِ‫ِالرِوضِة‬
ِ ِ‫ِوف‬. ِ ِ‫فِإِنِِالِمِذِهِبِِهِوِِالِدِيِد‬
ِِ‫ ِ ِوذِهِبِ ِجِاعِةِ ِمِنِ ِمِ ِّققِي ِأِصِحِابِنِاِإِلِِتِصِحِيِحِ ِالِقِدِيِ ِِوهِو‬.ِ‫الِدِيِد‬
ِ‫لحِادِيِثِِِالصِحِيِحِ ِةِِ ِولِيِسِِِلِِلجِدِيِ ِد‬ ِ ِ‫ابِِبِلِِِيِنِبِغِيِ الِِزمِِِبِِهِِل‬
ِ ‫الصِِو‬
ِ 55.ِ‫ف‬ِ ِ‫ِوالِبِِالِِوِاردِِبِلِطِعِامِِضِعِي‬. ِ ِ‫السنِة‬ِ ِِ‫حِجِةِِمِن‬
Artinya:
“,Dan di dalam kitab al-Tuhfah terdapat apa yang telah
dikemukakan oleh penulisnya, dimana menurut penulis al-
Tuhfah bahwa ia (Imam Syafi`i) juga telah menyebutkan pendapat
qaul qadim-nya di dalam qaul jadid-nya. Sebab Imam Syafi`i
berkata: “,Jika terdapat satu hadis maka pendapatku sesuai dengan
hadis itu”,
dan telah ditetapkan adanya hadits tanpa
membantahnya. Oleh karena itu, maka al-Malaibari pengarang
(Fath al-Mu`iin yang merupakan matan I`aanat al-Thaalibiin ini)
memerotesnya dengan panjang lebar, dimana semestinya
pendapat yang mengatakan memuasakan itulah yang dipilih kalau
ditinjau dari kekuatan dalilnya, namun sesungguhnya pendapat
mazhab Syafi`i adalah qaul jadid. Dan di dalam kitab al-
Rawdhah, disebutkan bahwa yang masyhur dalam mazhab Syafi`i
adalah mentashih (mensahihkan) qaul jadid. Dan satu jamaah

55
Baca Abu Bakar Ibnu Muhammad Syatha’, I`aanat al-Thaalibiin, J.2,
halaman 244.
70

ulama mujtahid tahqiq (muhaqqiqun) dari kalangan ulama


mazhab Syafii berpendapat untuk menshahihkan qaul qadim, dan
inilah pendapat yang tepat bahkan yang harus dipegang teguh,
karena mempunyai dalil hadis-hadis yang shahih, padahal qaul
jadid tidak ada hujjah-nya dari Sunnah. Dan khabar yang ada
yang mengatakan memberi makan (fidyah) sebagai ganti dari
qadhaan orang sudah wafat adalah khabar dha`if.”

BAB II
ZAKAT FITRAH
A. Pengertian dan Hikmah Zakat Fitrah
Zakat fitrah ialah zakat yang wajib karena berbuka (fitri) daripada
bulan Ramadhan. Zakat fitrah juga dinamakan shadaqah badan
atau zakat badan karena berfungsi mensucikan badan dan
menumbuhkan amal-amal badan. Zakat fitrah dapat menutupi
berbagai kekurangan ibadah puasa Ramadhan. Dampak buruk
dari perbuatan sia-sia dan kata-kata lucah yang diucapkan oleh
orang yang sedang berpuasa dapat dinetralisir dan dihapus oleh
zakat fitrah sehingga puasanya sempurna dan ia berpeluang
kembali kepada kesucian (fitrah).
Selain itu, zakat fitrah juga memiliki fungsi sosial
meringankan beban fakir miskin. Sebab, dalam beberapa hari
mereka tidak bisa bekerja mencari nafkah karena setiap orang
berhari libur merayakan hari raya idul fitri. Namun dengan
menerima 2,5 kg beras yang merupakan zakat fitrah dari satu
71

orang, maka orang-otang fakir miskin sudah terbantu. Karena


beras atau zakat fitrah sudah cukup untuk selama tiga hari sehingga
idul fitri dan hari libur ini tidak akan merisaukan mereka.
B. Dasar Hukum Wajib Zakat Fitrah
Daripada Abdullah bin Umar r.a., ia berkata:
ِِ‫فِِرضِِِِرسِ ِولِِِهللاِِِصِِلىِ هللاِِِعِِليِهِِِ ِوسِِلمِِِِزكِاةِِِالِفِطِرِِِمِنِِِِرمِضِان‬
ِ ‫صِاعِاِ مِنِِِتِ ٍِرِِأِوِِِصِاعِاِ مِنِِِشِعِ ٍِيِِعِِلىِِالِعِبِدِِِِواْلِّرِِِِو‬
ِ‫الذكِرِِِِوالِنِثِى‬
ِِ‫ى ِقِِبلِ ِخِِرِوجِ ِالنِاس‬ِ ‫سلِمِْيِ ِِوأِمِرِ ِبِاِأِنِ ِتِ ِؤِّد‬
ِ ِ‫ِوالصِغِيِ ِِوالِكِبِيِ ِمِنِ ِالِم‬
ِ 56.ِ‫إِلِِالصِلِة‬
Artinya:
“,Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah (berbuka) dari
bulan Ramadhan atas kaum muslimin yaitu satu sha’ korma atau
satu sha’ gandum atas setiap hamba sahaya dan orang merdeka,
laki-laki dan perempuan, anak-anak dan dewasa, dan beliau
memerintahkan agar ditunaikan sebelum keluar manusia ke
tempat shalat (`ied).”
Dari Abu Sa`id al-Khudri ia berkata: “,Kami
mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ makanan atau satu sha’
gandum atau satu sha’ korma atau satu sha’ keju atau satu sha’

HR. Jamaah, baca al-Bukhari, Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 1503; dan
56

Muslim, Shahiih Muslim, hadis nomor 684.


72

anggur kering dan itu adalah satu sha’ Nabi SAW.”57 Dan
daripada Umar bin al-Khattab r.a., ia berkata: “,Rasulullah SAW
mewajibkan zakat fitrah atas hamba, merdeka, lelaki, perempuan,
anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin, yaitu satu sha’
korma atau satu sha’ gandum”.58
Hadits tersebut menjadi dasar hukum wajibnya
mengeluarkan zakat fitrah bagi orang merdeka muslim yang
memiliki kelebihan dari kebutuhan dirinya dan keluarganya
selama satu hari satu malam (tanggal 1 Syawal dan malam tanggal 2
Syawal). Wajib baginya mengeluarkan zakat fitrah dirinya dan
orang-orang yang wajib ia nafkahi seperti isteri walaupun dalam
masa iddah raj`iyah (`iddah ruju`) dan talaq bayin (talaq tiga) yang
sedang hamil dengan syarat tidak nusyuz (durhaka), anak-anak dan
orang-orang yang dalam tanggungannya.
Zakat fitrah hamba sahaya wajib dikeluarkan oleh tuannya,
bukan oleh dirinya karena ia tidak mempunyai hak kepemilikan
harta.

C. Syarat Wajib Zakat Fitrah


Diwajibkan menunaikan zakat fitrah dengan dua syarat, yaitu: (1)
mendapati dua bagian masa yakni akhir bulan Ramadhan dan awal

57
HR. Jamaah, baca al-Bukhari, Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 1508; dan
Muslim, Shahiih Muslim, hadis nomor 985.
58
HR. al-Bukhari dan Muslim.
73

bulan Syawal; (2) kaya dalam arti memiliki kelebihan makanan


pokok untuk dirinya dan untuk orang-orang yang dalam
tanggungannya yang lebih dari kebutuhan satu hari satu malam
(pada satu Syawal dan malam kedua Syawal).
Wajib dikeluarkan zakat fitrah seseorang apabila ia
mendapat dua bagian masa, yaitu akhir bulan Ramadhan,
maksudnya hidup dalam masa sebelum terbenam matahari hari
terakhir Ramadhan dan awal hari raya idul fitri, maksudnya hidup
dalam masa sesudah terbenam matahari malam hari raya idul fitri.
Oleh karena itu, orang yang wafat pada bulan Ramadhan
(sebelum terbenam matahari hari terakhir bulan Ramadhan) tidak
wajib dikeluarkan zakat fitrahnya, karena ia hanya mendapati masa
bulan Ramadhan akan tetapi tidak mendapati masa idul fitri.
Demikian pula anak yang dilahirkan pada malam hari raya
(sesudah terbenam matahari hari terakhir bulan Ramadhan), juga
tidak wajib dikeluarkan zakat fitrahnya, karena ia hanya mendapati
masa hari raya saja akan tetapi tidak mendapati masa Ramadhan.59
Namun orang yang wafat pada malam hari raya sesudah terbenam
matahari, misalnya pada pukul 20.00 wib, wajib dikeluarkan zakat
fitrahnya karena ia telah mendapati dua bagian masa (akhir bulan
Ramadhan dan awal bulan Syawal).

59
Baca, Abu Bakar Ibnu Muhammad Syatha’, I`aanat al-Thaalibiin `alaa Hilli
Alfaazh Fath al-Mu`iin, J.2, halaman 168.
74

Seorang fakir yang telah menerima zakat sebelum malam


hari raya misalnya dua hari sebelum hari raya, sehingga ia memiliki
makanan atau uang yang melebihi kebutuhan pokok dirinya dan
ahli keluarganya untuk satu hari satu malam ( 1 Syawal dan malam
dua Syawal), sebenarnya dalam hal ini ia telah tergolong sebagai
orang kaya sehingga ia wajib mengeluarkan zakat fitrahnya dan
zakat fitrah orang-orang yang dalam tanggungannya. Kewajiban
ini berlaku atas dirinya kalau harta yang berasal dari zakat yang
diterimanya itu masih ada pada malam hari raya dan lebih dari
kebutuhannya dan kebutuhan orang-orang yang dalam
tanggungannya untuk satu hari satu malam. Sebab standar
(ukuran) kaya yang mewajibkan membayar zakat fitrah tidak sama
dengan standar kaya yang mewajibkan membayar zakat maal.

D. Jenis dan Qadar Zakat Fitrah


Daripada Abdullah bin Umar r.a. “,Bahwasanya Rasulullah SAW
mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan atas kaum muslimin
yaitu satu sha’ korma atau satu sha’ gandum atas setiap orang
merdeka atau hamba sahaya, laki-laki atau perempuan.”60 Dan
Abu Sa`id al-Khudri berkata: “,Kami mengeluarkan zakat fitrah
satu sha’ makanan atau satu sha’ gandum atau satu sha’ korma atau

HR. Jamaah, baca al-Bukhari, Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 1503; dan
60

Muslim, Shahiih Muslim, hadis nomor 684.


75

satu sha’ keju atau satu sha’ anggur kering dan itu adalah satu sha’
Nabi SAW.”61
Kadar (jumlah) zakat fitrah setiap satu orang adalah satu
sha’, yaitu sama dengan empat mud Nabi SAW yang beratnya
sekitar dua kilo empat ons (2,4 kg). Untuk ihtiyath (lebih hati-hati
dalam melaksanakan Syari`ah), maka jumlah ini di wilayah
Indonesia digenapkan menjadi 2,5 kg beras atau makanan pokok
yang biasa dikonsumsi di negeri muzakki (yang membayar zakat
fitrah).
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, zakat fitrah yang
dikeluarkan harus dari jenis makanan pokok di negeri yang
membayar zakat seperti gandum, korma, keju, anggur kering,
beras, jagung, sagu, dan jenis makanan pokok lainnya. Tidak sah
zakat fitrah kalau dibayarkan dengan nilainya seperti dengan
sejumlah uang rupiah seharga 2,5 kg beras. Demikian pendapat
Imam Syafi`i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Malik bin
Anas.
Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan membayar
zakat fitrah dengan uang sebagaimana disebutkan dalam kitab al-
Mabsuth:

HR. Jamaah, baca al-Bukhari, Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor 1508; dan
61

Muslim, Shahiih Muslim, hadis nomor 985.


76

ِ‫ِن‬
ِّ ِ‫فِإِنِِِأِعِطِىِ قِيِمِِةِِاْلِنِطِةِِِجِازِِِعِنِ ِدنِِ لِ ِنِِالِمِعِتِبِِِحِصِ ِولِِِالِغ‬
ِ‫هللا‬
ِ ِِِ‫الشافِعِ ِّيِِِرحِه‬ِ ِِِ‫كِِيِصِلِِِبِلِقِيِمِةِِكِمِاِ يِصِلِِِبِْلِنِطِةِِِ ِوعِنِد‬ ِ ِ‫ِوذِال‬
ِ‫ِالزكِاةِِِوكِانِ ِأِِبوِبِ ِك ٍِر ِالِعِمِشِ ِِرحِِه‬ ِ ِ‫تِعِالِِلِِيِِوزِ ِِوأِصِلِ ِالِلِفِ ِف‬
ِِ‫بِِإِل‬ ِ ‫ِِأِدِاءِِِاْلِنِطِةِِِأِفِضِلِِِمِنِِِأِدِاءِِِالِقِيِمِةِِِلِنِهِِِأِقِِر‬:ِ‫هللاِِِتِعِالِِ يِقِ ِول‬
ِ‫ان‬
ِ ِ‫انِِالِحِتِيِاطِِِفِيِهِِِِوك‬ ِ ِ‫امِتِثِالِِِالِمِرِِِِوأِبِعِدِِِعِنِِِاخِتِلِفِِِالِعِِلمِاءِِِفِك‬
ِ‫ب‬ِ ‫ ِأِدِاءِ ِالِقِيِمِةِ ِأِفِضِلِ ِلِنِهِ ِأِقِِر‬:ِ‫الِفِقِيِهِ ِأِبِوِجِعِفِ ٍِر ِِرحِهِ ِهللاِ ِتِعِالِ ِيِقِ ِول‬
ِ 62.ِ‫ش ِتيِبِِهِلِِلحِال‬ ِ ِ‫إِلِِمِنِفِعِةِِالِفِقِيِِفِإِنِهِِي‬
Artinya:
“,Menurut pendapat kami (para ulama mazhab Hanafi)
dibolehkan membayar zakat fitrah dengan uang senilai gandum,
karena yang penting adalah tercapainya mengayakan (orang fakir),
dan ini dapat dicapai dengan membayar uang senilai gandum
sebagaimana kalua diberikan dalam bentuk gandum. Namun
menurut Imam Syafi`i tidak dibolehkan. Dan perbedaan mendasar
adalah pada zakat. Menurut Abu Bakar al-A`masy Rahimahullah,
membayar dengan gandum lebih afdhal (utama) daripada
membayar dengan uang karena lebih dekat kepada melaksanakan
perintah yang disebutkan hadits dan lebih jauh daripada
perselisihan pendapat ulama, jadi terdapat kehati-hatian dalam

62
Baca Syamsuddin al-Sarkhasi, al-Mabsuuth, Dar al-Fikri, Beirut, J.3.
hlm.107.
77

melaksanakan syari`ah. Namun Pakar Fiqih Abu Ja`far


Rahimahullah berpendapat bahwa membayar dengan uang lebih
afdhal, karena lebih bermanfaat bagi orang fakir sebab ia dapat
membelikannya sesuai dengan barang yang ia perlukan”.
Namun muzakki (orang yang berzakat) dalam hal ini
sebaiknya mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah secara
konsekwen bukan melakukan talfiq. Talfiq ialah mencampurkan
dua pendapat beberapa mujtahid yang berbeda sehingga
menghasilkan hukum yang lain. Misalnya tentang zakat fitrah,
menurut Imam Syafi`i tidak dibolehkan membayarkan zakat fitrah
dalam bentuk uang sedangkan menurut Imam Abu Hanifah
dibolehkan. Menurut Imam Syafi`i kadar jumlah zakat fitrah
adalah 4 mud yaitu 2,4 kg (digenapkan 2,5 kg) sedangkan
menurut Imam Abu Hanifah sebanyak 3,8 kg. Kemudian seorang
muzakki membayarkan zakat fitrahnya dengan uang senilai 2,5 kg
beras yang harganya 30.000 per kilogram. Maka ia mengeluarkan
sebanyak 30000 x 2,5 = Rp.75.000. Ia tidak mengeluarkan uang
senilai 3,8 beras (30000 x 3,8 = Rp.114.000). Dalam hal ini ia
melakukan talfiq dalam satu masalah hukum. Menurut saya sikap
seperti ini kurang baik karena cenderung memilih yang lebih
ringan meskipun tidak disetujui oleh kedua imam mujtahid. Sebab
Imam Syafi`i tidak setuju membayar zakat fitrah dengan uang, dan
menurut Imam Abu Hanifah tidak sah zakat fitrah karena kurang
kadar jumlah yang dibayarkan. Mestinya karena membayar
dengan uang, maka muzakki tersebut hendaknya membayarkan
78

sebanyak kadar jumlah yang disetujui Abu Hanifah yaitu


Rp.114.000 (uang senilai 3,8 kg beras).
Menurut Imam Abu Hanifah, kadar jumlah zakat fitrah
yang harus dibayarkan adalah sebanyak 3,8 kg., bukan 2,5 kg
seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih mazhab Syafi`i.
Dengan demikian uang zakat fitrah yang harus dibayarkan dalam
fikih Hanafi adalah senilai 3,8 kg beras. Kalau harga berasnya
30.000 per kilogram, maka zakat fitrah 1 orang adalah 3,8 x
30.000 = Rp.114.000 bukan 2,5 x 30.000. (Rp.75.000).

E. Waktu mengeluarkan zakat fitrah


Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan mulai awal
waktu boleh membayar zakat fitrah. Menurut Imam Abu Hanifah
boleh mendahulukan membayar zakat fitrah sebelum bulan
Ramadhan.
Menurut Imam Syafi`i, boleh membayarnya mulai dari awal
bulan Ramadhan. Menurut Imam Malik dan yang masyhur dalam
mazhab Hanbali, boleh mendahulukannya satu hari atau dua hari
sebelum hari raya. Dasar pendapat ini hadits riwayat Imam al-
Bukhari:
ِ‫هللاِِعِنِهِمِاِ يِعِطِيِهِاِ الِذِيِنِِِيِقِبِِلِوّنِاِِوكِانِوا‬
ِ ِِ‫وِكِانِِِابِنِِِعِمِ ِرِِِرضِ ِي‬
63.ِ‫يِعِطِ ِونِِقِبِلِِالِفِطِرِِبِيِ ِوٍِمِأِوِِيِ ِومِْي‬

63
HR. al-Bukhari, Shahiih al-Bukhariy, hadis nomor 1511.
79

Artinya:
Dan Ibnu Umar r.a. memberikan zakat fitrah kepada orang-
orang yang berhak menerimanya, dan diberikan kepada mereka
satu hari atau dua hari sebelum hari raya.
Di dalam kitab al-Muwaththa’ Imam Malik meriwayatkan
daripada Nafi`:

ِ‫انِيِبِعِثِِبِزكِ ِاةِالِفِطِرِِإِلِِالِذِيِتِمِعِِعِنِدِِه‬
ِ ِ‫هللاِبِنِِعِمِ ِرِِك‬
ِ ِِ‫أِنِِعِبِد‬
ِ‫قِبِلِِالِفِطِرِِبِيِ ِومِْيِِأِوِِثِلِثِ ٍِة‬
64.

Artinya:
Bahwasanya Ibnu Umar r.a. mengirim zakat fitrah kepada
orang yang mengumpulkannya dua hari atau tiga hari sebelum
hari raya.
Imam Syafi`i juga meriwayatkan hadits ini daripada Malik, dan
as-Syafi`i berkata:
ِ 65.ِ‫سنِِِوأِنِِأِسِتِحِبِهِِ–ِيِعِِنِِتِعِجِيِِلهِاِقِبِلِِيِ ِومِِالِفِطِر‬
ِ ِ‫هِذِاِح‬
Artinya:
Ini bagus, dan saya menyukainya, maksudnya menyegerakan
membayar zakat fitrah sebelum hari raya).

64
HR. Imam Malik bin Anas, nomor hadis 640, baca Muhammad bin Shalih
al-`Utsaimin, Syarh Muwaththa’ al-Imaam Maalik, J.2, halaman 236.
65
Ahmad bin Ali bin Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syar Shahiih al-
Bukhaariy, Beirut, Darul Fikri, 2000M./1420H., J.4, halaman 139-140.
80

Dengan demikian dapat difahami bahwa Imam Syafi`i juga


menyukai kalau zakat fitrah dikeluarkan sebelum hari raya, tidak
pada pagi hari 1 Syawal.ِ
Para imam mazhab sepakat bahwa tidak boleh menunda
pembayaran zakat fitrah sehingga berlalu hari raya fitri. Makruh
membayarkan zakat fitrah sesudah selesai shalat `ied dan
diharamkan mengeluarkannya sesudah terbenam matahari pada
hari raya (1 Syawal). Namun mereka juga sepakat bahwa
kewajiban membayar zakat fitrah tidak gugur disebabkan ditunda
hingga habis masa wajibnya. Bahkan tetap menjadi hutang
tanggungan bagi orang yang wajib membayarnya hingga ia
menunaikannya walaupun sampai pada masa akhir umurnya.
Demikian ditulis oleh Sayid Sabiq di dalam Fiqh al-Sunnah
sebagai berikut:
ِ‫سقِطِِِبِلتِأِخِيِِِبِعِ ِد‬ ِ ِ‫ِ عِِلىِ أِنِِِِزكِاةِِِالِفِطِرِِِلِِِت‬:ِ‫ِواتِفِقِتِِِالِئِمِة‬
ِ‫بِِبِلِِِتِصِيِِِدِيِنِاِ فِِ ذِمِةِِِمِنِِِلِِزمِتِهِِِحِّتِِِتِ ِؤِّدىِ ِولِوِِِفِِ آخِ ِر‬ ِ ‫الِِوجِ ِو‬
ِ‫ِواتِفِقِِواِعِِلىِأِنِِهِ ِلِيِِوزِِ ِتخِ ِيهِاِعِنِِيِ ِومِِالِعِيِ ِدِإِلِِمِِاِنِقِلِِعِن‬. ِ ِ‫الِعِمِر‬
ِِ‫ِ ِوقِال‬.ِ‫ِ يِِوزِِِتِخِ ِيهِاِ عِنِِِيِ ِومِِِالِعِيِد‬:ِ‫ابِنِِِسِ ِييِ ٍِنِِِواِلنِخِعِ ِّيِِأِّنِمِاِ قِال‬
ِ 66.ِِ‫ِأِِرجِوِأِلِِيِكِ ِونِِبِهِِ ِبس‬:ِ‫أِحِد‬
Artinya:

66
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, J.1, halaman 350.
81

“,Para imam mazhab sepakat bahwa zakat fitrah tidak gugur


karena diakhirkan (pembayarannya) sesudah habis masa wajibnya,
bahkan tetap menjadi hutang tanggungan bagi orang yang wajib
membayarnya hingga ditunaikan walaupun sampai pada masa
akhir umur. Namun mereka sepakat tentang tidak boleh
mengakhirkan zakat fitrah dari hari idul fitri, kecuali menurut
Ibnu Sirin dan an-Nakh`iy. Kedua ulama ini mengatakan:
“,Boleh mengakhirkannya dari hari `idul fitri. Sedangkan Imam
Ahmad mengatakan: ‘,Aku harap tidak ada keberatan (bahaya)
mengakhirkannya.”
Sesuai dengan pendapat mayoritas ulama, maka para ulama
mazhab Syafi`i membagai waktu membayar zakat fitrah kepada
lima waktu sebagaimana dikemukakan oleh Abu Bakar Ibnu
Muhammad Syatha’ menulis:
ِ‫ب‬ٍِ ‫ِ ِوقِتِِِجِِوا ٍِزِِِوِوقِتِِِِوجِ ِو‬:‫ات‬ ٍِ ِ‫سةِِِأِ ِوق‬
ِ ِ‫ِواْلِاصِلِِِأِنِِِلِِلفِطِِرةِِِخ‬
ِ ِِِ‫ِِفِ ِوقِتِِِالِِوازِِِأِ ِول‬.‫ِوِوقِتِِِفِضِيِِل ٍِةِِِوِوقِتِِكِِراهِ ٍِةِِِوِوقِتِِِحِِرمٍِِة‬
ِ‫الشهِ ِر‬
ِِ‫الشمِسِِِِوِوقِتِِِفِضِيِِلٍِةِِقِبِلِِِالِِرِوجِِِإِل‬ ِ ِِِ‫بِِإِذِاِ غِِربِت‬ ِ ‫ِوِوقِتِِِالِِوجِ ِو‬
ِ ِ‫الصِلِةِ ِِوِوقِتِِكِِراهِ ٍِة ِإِذِاِأِخِِرهِاِعِنِ ِصِلِةِ ِالِعِيِدِ ِإِلِِلِعِذِ ٍِر ِمِنِ ِانِتِظ‬
ِ‫ار‬
82

ِِ‫)ِوِوقِتِ ِحِِرمِ ٍِة ِإِذِاِأِخِِرهِاِعِنِ ِيِ ِوم‬


ِ ِ‫الشمِس‬
ِ ِ‫ب‬ ٍِ ِ‫قِِري‬
ِ ‫ب ِأِوِ ِأِحِِوجِ ِ(مِالِ ِتِغِِر‬
ِ 67.ِ‫الِعِيِدِِبِلِِعِذِ ٍِر‬
Artinya:
“,Kesimpulannya bahwa untuk membayar zakat fitrah ada
lima waktu, yaitu: waktu boleh, waktu wajib, waktu fadhilah
(utama), waktu makruh, dan waktu haram. Maka, (1) waktu boleh
mulai dari awal bulan Ramadhan; (2) waktu wajib apabila
matahari sudah terbenam pada hari terakhir Ramadhan; (3) waktu
utama sebelum keluar untuk menunaikan shalat `ied; (4) waktu
makruh sesudah selesai menunaikan shalat `ied kecuali karena uzur
sebab menunggu kerabat atau orang yang lebih berhak
menerimanya maka tetap waktu sunat selama belum terbenam
matahari; dan (5) waktu haram apabila dikeluarkan sesudah
terbenam matahari tanggal 1 Syawal tanpa uzur.”
Waktu wajibnya membayar zakat firah adalah terbenamnya
matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Menurut Imam
Muslim, sebagaimana dikutip oleh al-`Asqallani dalam kitab Fath
al-Bary: “,Adanya kalimat ‫منِ ِرمضا ِن‬ dalam hadits riwayat
Abdullah Ibnu Umar: ِ ‫فرضِرسولِهللاِصلىِهللاِعليهِوِسلمِزكاِةِ ِالفطر‬
‫منِرمضا ِن‬ menunjukkan bahwa waktu wajibnya membayar zakat

67
Baca Abu Bakar Ibnu Muhammad Syatha’, I`aanat al-Thaalibiin, J.2,
halaman 174-175.
83

fitrah adalah dengan terbenamnya matahari pada akhir bulan


Ramadhan, karena itu waktu berbuka dari bulan Ramadhan.
Namun ada yang mengatakan bahwa waktu wajibnya adalah
dengan terbitnya fajar pada hari raya tanggal 1 Syawal, karena
malam bukan waktu untuk berpuasa. Dan nyatanya berbuka
sebenarnya dengan makan sesudah terbit fajar. Pendapat yang
pertama merupakan perkataan ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq dan asy-
Syafii dalam qaul jadid, dan salah satu dari dua riwayat dari Malik.
Dan pendapat kedua merupakan pendapat Abu Hanifah, al-Laits,
dan Imam asy-Syafi`i dalam qaul qadimnya dan riwayat yang
kedua dari Malik, dan ia menguatkan pendapatnya ini dengan
hadits (riwayat Ibnu Umar): ‘,Dan beliau memerintahkan agar
ditunaikan zakat fitrah sebelum keluar manusia ke tempat
shalat.”68 Hadis riwayat Ibnu Umar ini menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan sabda Nabi SAW: ِ‫ يومِالفطر‬adalah awalnya, yaitu
waktu antara shalat subuh hingga sampai shalat `ied. Sedangkan
Imam Syafi`i memahami bahwa hadits ini menunjukkan
disunnahkan (diutamakan) pada waktu pagi sebelum manusia
keluar ke tempat shalat `ied atas waktu-waktu lain pada siang hari
itu.”69

68
Ahmad bin Ali bin Hajar al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syar Shahiih al-
Bukhaariy, Beirut, Darul Fikri, 2000M./1420H., J.4, halaman 139-140.
69
Al-`Asqallani, Fath al-Baariy bi Syar Shahiih al-Bukhaariy, J.4, halaman 148.
84

Ada yang berpendapat bahwa batas akhir mengeluarkan


zakat fitrah adalah sebelum shalat `ied. Menurut mereka tidak
dihitung sebagai zakat fitrah kalau dikeluarkan sesudah selesai
shalat `ied. Pendapat ini dikemukakan oleh aliran Salafi seperti
Muhammad bin Shalih al-`Utsaimin, salah seorang ulama yang
menjadi rujukan utama aliran Salafi.
Al-`Utsaimin beralasan dengan perkataan Ibnu Abbas r.a.
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah dan ad-
Daruqutuni, daripada Ibnu Abbas r.a., ia berkata: “,Rasulullah
SAW mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang
berpuasa dari ucapan dan perbuatan yang tidak berfaedah dan dari
rafats (kata-kata yang buruk dan lucah), dan untuk memberi
makan orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum
shalat (`ied) maka itu zakat yang diterima, dan barangsiapa yang
menunaikannya sesudah shalat `ied maka itu adalah salah satu
sedekah dari sedekah-sedekah.”70
Dengan berpedoman kepada perkataan Ibnu Abbas r.a.
tersebut (Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (`ied) maka
itu zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya
sesudah shalat `ied maka itu adalah salah satu sedekah dari

70
Baca Muhammad bin Shalih al-`Utsaimin, Syarh Muwaththa’ al-Imaam
Maalik, J.2, halaman 233; Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, J.1, halaman 348; Abu
Dawud, Sunan Abiy Daawuud, hadis nomor 1609; dan Ibnu Majah, Sunan
Ibni Maajah, hadis nomor 1827.
85

sedekah-sedekah), maka al-`Utsaimin menolak pendapat yang


mengatakan: “Boleh membayar zakat fitrah sesudah selesai shalat
`ied meskipun makruh.” Dengan demikian, pendapat ulama
Salafi ini berbeda dengan pendapat para imam dan ulama Ahli
Sunnah Waljama`ah yang mengatakan tetap sah zakat fitrah
namun hilang fadhilahnya apabila penundaan tanpa `udzur.
Muhammad bin Shalih al-`Utsaimin menulis:
ِ‫ىِهللا‬
ِ ‫ب ِصِِل‬ ِّ ‫ف ِأِمِرِ ِ ِالن‬
ِ ِ‫ئ ِلِنِِه ِ ِخل‬ ٍِ ‫أِنِ ِأِدِاءِهِاِبِعِ ِد ِالصِلِِة ِغِيِ ِمِِز‬
ِ‫س‬ِ ِ‫ِمِنِ ِعِمِلِ ِعِمِلِِلِي‬:ِ‫عِِليِهِ ِ ِوسِِلمِ ِ ِوقِدِ ِقِالِ ِالنِبِ ِصِِلىِهللاِ ِعِِليِهِ ِ ِوسِِلم‬
ِ‫ِإِنِِه‬:ِ‫ِِوبِذِاِنِعِِرفِِضِعِفِِمِنِِيِقِ ِولِِمِنِِأِهِلِِالِعِلِم‬71.ِ‫عِِليِهِِأِمِِرنِِفِهِوِِِرد‬
ِِ‫ ِفِيِقِ ِول‬.ِ‫ت ِمِعِ ِالِكِِراهِة‬ ِ ِ‫إِذِاِأِدِاهِاِبِعِدِ ِصِلِةِ ِالِعِيِدِ ِفِِيِ ِومِ ِالِعِيِدِ ِأِجِِزأ‬
ِ‫ىِهللاِعِِليِهِِ ِوسِِلمِِأِمِرِِأِنِِتِ ِؤدِى‬
ِ ‫كِعِِلىِالِجِِزاءِِِو ِالنبِِصِِل‬ ِ ‫ِأِيِنِِدِلِيِِل‬:ِ‫لِه‬
ِِ‫ِوهِوِ ِإِذِاِأِدِاهِاِمِاِبِ ِعدِ ِالِِرِوجِ ِلِلصِلِة‬, ِ ِ‫قِبِلِ ِخِِرِوجِ ِالنِاسِ ِإِلِِالصِلِة‬
ِ‫ف‬ِ ِ‫ىِهللاِعِِليِهِِ ِوسِِلمِِِبلِِفِعِلِِمِاِيِال‬ ِ ‫الر ِسِولِِصِِل‬ ِ ِ‫فِقِدِِفِعِلِِمِاِلِِيِمرِِبِِه‬
ِ‫ِ ِوأِيِضِا‬.ِ‫الرسِ ِولِِِفِهِوِِِمِِردِ ِود‬ ِ ِِِ‫ِ ِوإِذِاِ فِعِلِِِمِاِ يِالِفِِِأِمِر‬,ِ‫الرسِ ِول‬ ِ ِِِ‫أِمِر‬
ِ‫ِمِنِ ِأِدِاهِاِقِبِلِ ِالصِلِةِ ِفِهِ ِي ِزكِاِة‬:ِ‫اس ِقِال‬ ٍِ ‫سِيِأِتِيِنِاِفِِحِدِيِثِ ِابِ ِن ِعِِب‬

Muttafaqun `alaih. Baca al-Bukhari, Shahiih al-Bukhaariy, hadis nomor ; dan


71

Muslim, Shahiih Muslim, hadis nomor 1718.


86

ِ‫ِِِوهِذِا‬72ِ.‫ات‬
ِ ِ‫ِِ ِومِنِِِأِدِاهِاِ بِعِ ِدِِالصِلِةِِِفِهِ ِيِِصِدِقِِةِِمِنِِِالصِدِق‬.ِ‫مِقِبِ ِولِة‬
ِ‫ِلِنِِِالنِصِِِسِِو ِاء‬,ِ‫نِصِِِصِِريِ ِحِِفِِمِ ِوضِِوعِِِ ِالنِّزاعِِِفِيِجِبِِِالِمِصِيِِِاِلِيِه‬
ِِ‫النِّزاعِِِِوجِب‬
ِ ِِِ‫السنِةِِِإِذِاِكِانِِِصِِريِاِ فِِ مِ ِوضِع‬ ِ ِِِ‫كِانِِِمِنِِِالِقِِرآنِِِأِو‬
ِِِ73.ِ‫الرجِِوعِِإِلِيِ ِه‬
ِ
Artinya:
“,Menunaikan (membayar) zakat fitrah sesudah shalat tidak
mencukupi, karena menyalahi perintah Nabi SAW, dan Nabi
SAW bersabda: “,Siapa yang melakukan satu amal yang tidak
menurut perintah kami maka ia ditolak.” Dengan ini kita ketahui
lemahnya ungkapan ahli ilmu: “,Sesungguhnya apabila ia tunaikan
zakat fitrah sesudah shalat `ied pada hari raya, maka ia sudah
mencukupi namun makruh.” Dikatakan kepada ahli ilmu:
“,Dimana dalil Anda yang mengatakan mencukupinya padahal
Nabi SAW memerintahkan agar ditunaikan sebelum manusia
keluar ke tempat shalat. Dan apabila ia menunaikannya pada
waktu sesudah keluar untuk shalat maka ia telah melakukan apa
yang tidak diperintahkan oleh Rasulullah SAW, maka ia ditolak.
Dan juga akan kami kemukakan hadis Ibnu Abbas r.a., ia berkata:
‘Siapa yang menunaikannya sebelum shalat maka ia zakat yang

72
Hadis shahih riwayat Abu Dawud, Sunan Abiy Daawuud, hadis nomor 1609;
dan Ibnu Majah, Sunan Ibn Maajah, hadis nomor 1827.
73
Baca Muhammad bin Shalih al-`Utsaimin, Syarh Muwaththa’ al-Imaam
Maalik, J.2, halaman 233.
87

diterima, dan siapa yang menunaikannya sesudah shalat maka ia


sedekah dari sedekah-sedekah (biasa).’ Ini adalah nash sharih (yang
jelas) pada tema yang diperdebatkan, karena itu wajib kembali
kepada nash ini. Karena satu nash, baik dari al-Quran maupun
Sunnah, apabila ia sharih pada tema yang diperdebatkan, maka
wajib merujuk kepadanya.”

Demikian pendapat Syekh al-`Utsaimin, yaitu tidak sah


zakat fitrah apabila dibayarkan sesudah selesai shalat `ied. Pendapat
ini cukup kuat memengaruhi masyarakat muslim termasuk para
penganut fikih sunni, walaupun pendapat para imam mazhab
sunni berbeda dengan pendapat tokoh Salafi ini. Menurut para

ulama Sunni, kalimat: ِ ِ‫ِ ِومِن‬.ِ‫مِنِِأِدِاهِاِقِبِلِِالصِلِةِِفِهِيِ ِزكِاةِِمِقِبِ ِولِة‬

‫ات‬
ِ ِ‫صدِقِةِِمِنِِالصِدِق‬
ِ ِ‫ أِدِاهِاِبِعِدِِالصِلِةِِفِهِ ِي‬adalah merupakan atsar
ungkapan Abdullah bin Abbas r.a. Karena itu menurut para ulama
Sunni seperti Imam Syafi`i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin
Anas dan Imam Ahmad bin Hanbal, perkataan Ibnu Abbas ini
tidak dapat dijadikan sebagai dasar menetapkan bahwa tidak sah
zakat fitrah yang dibayarkan pada waktu sesudah selesai shalat `ied.
Adapun hadits Nabi SAW: ِِ‫الناسِ ِإِل‬
ِ ِِ‫ِوأِمِرِِبِاِأِ ِنِتِ ِؤِّدىِِقِبِ ِلِخِِرِوج‬
ِ‫الصِلِة‬ adalah menunjukkan hukum waktu wajibnya
membayarkan zakat, bukan menerangkan bahwa kalua dibayarkan
sesudah selesai shalat `ied berarti tidak sah zakatnya.
88

Menurut imam-imam mazhab fikih sunni yang empat,


zakat fitrah tetap sah apabila ditunaikan sesudah selesai shalat `ied
namun makruh sebelum terbenam matahari, dan haram kalau
sesudah terbenamnya. Dan satu hal yang perlu diingat bahwa
melakukan makruh dalam amal ibadah berdampak buruk pada
hilangnya fadhilah (keutamaan). Di antara keutamaan zakat fitrah
adalah menutupi pelbagai macam kekurangan muzakki dalam
menunaikan puasa Ramadhan. Kalua zakat dikeluarkan sesudah
selesai shalat `ied, maka zakat ini tidak dapat berfungsi menutup
kekurangan ibadah puasa Ramadhan bahkan juga hilang
keutamaan-keutamaan lainnya. Karena itu setiap muzakki
hendaklah membayarkan zakat fitrahnya selambat-lambatnya
sebelum manusia keluar ke tempat shalat `ied pada tanggal 1
Syawal. Dan paling baik adalah membayarkannya satu hari
sebelum Syawal yang merupakan watu mustahab (paling disukai)
menurut Imam Syafi`i. Dapat juga membayarkan pada waktu satu
hari atau dua hari sebelum `ied sebagaimana merupakan waktu
kebiasaan membayarkan zakat fitrah bagi Abdullah Ibnu Umar r.a.

F. Kepada siapakah ditunaikan zakat fitrah? Amil atau


mustahiq?
Kadang-kadang terjadi polemik tentang kepada siapa
sebaiknya dibayar zakat fitrah, apakah kepada amil atau langsung
kepada fakir miskin. Hadits riwayat jamaah tersebut di atas
menginformasikan ramainya sahabat Nabi SAW yang membayar zakat
89

fitrah kepada Amil Zakat yang ditunjuk oleh Khalifah, bukan langsung
kepada fakir-miskin. Imam al-Bukhari meriwayatkan:

ِ‫هللاِِعِنِهِ ِماِ يِعِطِيِهِاِ الِذِيِ ِنِِيِقِبِِلِوّنِاِِوكِانِِوا‬


ِ ِِ‫ِوكِانِِِابِنِِِعِمِ ِرِِِرضِ ِي‬
74.ِ ‫يِعِطِ ِونِِقِبِلِِالِفِطِرِِبِيِ ِوٍِمِأِوِِيِ ِومِْي‬
Artinya:
Dan Ibnu Umar r.a. memberikan zakat fitrah kepada orang-
orang yang berhak menerimanya, dan diberikan kepada mereka
satu hari atau dua hari sebelum hari raya).
Dan di dalam kitab al-Muwaththa’ Imam Malik Rahimahullah

meriwayatkan dari Nafi`: ِِ‫أِنِِعِبِدِِهللاِِبِنِِعِمِرِِِكِانِِيِبِعِثِِبِزكِاةِِالِفِطِر‬


75. ٍِ ‫إِلِِالِذِيِتِمِعِِعِنِدِهِِقِبِلِِالِفِطِرِِبِيِوِمِْيِِأِوِِثِلِث‬
ِ‫ِة‬
Artinya:
Bahwasanya Ibnu Umar r.a. mengirim zakat fitrah kepada
orang yang mengumpulkannya dua hari atau tiga hari sebelum
hari raya). Dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Syafii
daripada Imam Malik bin Anas.
Zakat fitrah sah walaupun muzakki (orang yang wajib
zakat) langsung menyerahkannya kepada mustahiq (misalnya
kepada fakir dan miskin). Namun ini bukan sunnah (tradisi) para
sahabat Rasulullah SAW. Sebab, sebagaimana diriwayatkan oleh

74
HR. al-Bukhari, Shahiih al-Bukhariy, hadis nomor 1511.
75
HR. Imam Malik bin Anas, nomor hadis 640, baca Muhammad bin Shalih
al-`Utsaimin, Syarh Muwaththa’ al-Imaam Maalik, J.2, halaman 236.
90

Imam al-Bukhari, bahwa ramai dari kalangan sahabat Rasulullah


SAW yang menyerahkan zakat fitrah kepada orang-orang yang
ditunjuk oleh Khalifah untuk mengumpulkan zakat (Panitia Amil
Zakat).

G. Kesalahan Panitia Amil Zakat


Tidak jarang Panitia Amil Zakat yang mengikuti pendapat
minoritas ulama ini sehingga enggan menerima zakat fitrah
sesudah shalat `ied. Bahkan pernah ada Panitia Amil Zakat yang
tidak bersedia menerima zakat fitrah lagi sesudah tengah malam
hari raya karena alasan akan sulit mendistribusikannya. Kebijakan
seperti ini tidak pantas dipertahankan. Sebab, dalam fiqih mazhab
Syafi`i, waktu utama membayar zakat fitrah adalah pada pagi hari
tanggal 1 Syawal sebelum berangkat ke tempat shalat `ied. Selain
itu, karena menurut mayoritas imam mazhab tetap sah zakat fitrah
yang dikeluarkan sesudah shalat `ied, meskipun makruh
hukumnya mengeluarkan sebelum terbenam matahari pada
tanggal 1 Syawal dan haram sesudah terbenam matahari.
Jadi menurut mayoritas ulama, bahwa Abdullah Ibnu
Abbas r.a. hanya menekankan agar umat membayar zakat fitrah
sebelum shalat `ied, bukan menyatakan tidak sahnya yang
dibayarkan sesudah shalat `ied. Sebab, kalau dibayar sesudah shalat
`ied, maka akan hilang hikmah dan pahala zakat fitrah meskipun
telah lunas kewajiban sesudah membayarnya.
91

Wajibnya zakat fitrah tidak gugur selama belum dibayar.


Bahkan menurut mayoritas ulama sampai kapanpun tetap menjadi
hutang yang harus dibayar oleh muzakki walaupun sampai akhir
hayatnya. Pendapat ini sesuai qaedah fiqhiyah: ِ ‫ان‬
ِ ِ‫اِلِصِلِ ِبِقِاءِ ِمِاِك‬
‫ان‬
ِ ِ‫( عِلِىِ مِاِ ك‬Yang menjadi patokan adalah tetapnya sesuatu
menurut keadaan semula).
Jadi zakat fitrah tetap wajib dibayar sampai kapapun, dan
tidak akan gugur kewajiban ini selama belum dibayar. Atas dasar
perinsip qaedah fiqhiyah ini, maka menurut imam-imam mazhab
yang empat, atsar atau ungkapan Ibnu Abbas r.a. (Barangsiapa
menunaikannya sebelum shalat `ied maka itu zakat yang diterima,
dan barangsiapa yang menunaikannya sesudah shalat `ied, maka itu
adalah salah satu sedekah dari sedekah-sedekah), bukan
menyatakan tidak sahnya zakat fitrah yang dikeluarkan sesudah
selesai shalat `ied. Ungkapan Ibnu Abbas ini hanya menyatakan
akan hilangnya fadhilat dan pahala zakat fitrah jika dibayar sesudah
shalat `ied tanpa uzur. Meskipun zakatnya sah namun fungsi yang
dapat menutupi kekurangan puasa Ramadhan tidak ada lagi,
bahkan sudah seperti sedekah bias ajika dilihat dari fungsi yang
semestinya.
Munculnya perbedaan ijtihad para ulama mengenai sah
atau tidak sahnya zakat fitrah yang dibayar sesudah shalat `ied
merupakan hal yang biasa dalam fikih Islam. Karena perbedaan
pendapat ulama merupakan rahmat bagi umat. Oleh karena itu
92

PANITIA AMIL ZAKAT tidak pantas mengambil satu ijtihad dan


menolak ijtihad yang lain. Sebab, dalam qaedah fiqhiyah
ditegaskan: ِ‫اِلِجِتِهِادِِ ِلِِ يِنِقِضِِ ِبِثِلِه‬ (Satu ijtihad tidak dapat
dibatalkan oleh ijtihad lain yang semisalnya).
Penulis pada dasarnya tidak setuju kalau ada muzakki yang
membayar zakat fitrah sesudah selesai shalat `ied. Karena
merugikan dirinya dan merugikan fakir miskin selaku mustahiq.
Namun zakat fitrah yang dibayar sesudah selesai shalat pun harus
diterima oleh Panitia Amil Zakat, karena muzakki tetap wajib
membayarnya dan tetap sebagai hutang baginya selama belum ia
bayar. Menolaknya berarti membiarkan seseorang tetap dalam
keadaan berdosa karena tidak membayar zakat fitrahnya.

H. Mustahiq Zakat Fitrah


Pada dasarnya zakat fitrah boleh diberikan kepada asnaf
yang delapan (mustahiq) sebagaimana ditegaskan oleh al-Quran
surat at-Tawbah ayat 60. Namun fakir dan miskin merupakan
golongan yang paling utama menerima zakat fitrah. Sebab, tujuan
utama disyariatkan mengeluarkan zakat fitrah agar para fakir dan
miskin tidak risau mengenai makanan yang akan mereka konsumsi
pada hari raya. Bukankah setiap orang berhari raya dan berlibur?
Bukankah orang fakir setiap hari mencari rezeki hanya untuk
menutupi kebutuhannya hari itu juga? Mereka tidak mempunyai
simpanan, lalu apa yang akan mereka konsumsi ketika seluruh
93

masyarakat berlibur hari raya? Oleh karena itu Islam


mensyariatkan bahwa zakat fitrah diperuntukkan terutama bagi
fakir miskin. Abdullah Ibnu Umar r.a. berkata: “,Rasulullah SAW
mewajibkan zakat fitrah, dan beliau bersabda, ‘Kayakanlah mereka
(fakir-miskin) pada hari (raya) ini.”76 Dan Rasulullah SAW
bersabda: “,Kayakanlah mereka (fakir-miskin) dari berkeliling
(mencari rezki) pada hari (raya) ini.”77

BAB III
TARAWIH DAN WITIR
DALAM PERSPEKTIF FIQIH SUNNI
A. Hukum, Raka`at dan Kaifiyat

Fiqih sunni adalah fiqih hasil ijtihad ulama-ulama Ahli Sunnah


Waljama`ah. Ulama Ahli Sunnah Waljama`ah adalah ulama yang
dalam memahami dan mengamalkan Islam mengikuti Sunnah
Nabi Muhammad SAW sesuai dengan faham dan amalan jamaah
sahabat. Ulama sunni yang paling ramai pengikutnya adalah Imam
Syafi`i, Hanafi, Hanbali dan Maliki. Tulisan ini menguraikan

76
HR. Imam al-Baihaqi dan Imam ad-Daruqutuni, dikutip dari
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, J.1, halaman 351.
77
HR. Imam al-Baihaqi dan Imam ad-Daruqutuni, dikutip dari
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, J.1, halaman 351.
94

tentang shalat tarawih dan witir menurut perspektif para ulama


sunni, artinya penulis menjelaskan istinbath hukum fiqih dari
Alquran dan Sunnah tentang tarawih dan witir yang dilakukan
dan kemukakan oleh ulama sunni terutama oleh imam mazhab
yang empat ini.
Shalat tarawih adalah shalat sunnah muakkadah yang didirikan
pada malam-malam bulan Ramadhan sebagai bagian dari qiyamul
lail (shalat malam). Dasar shalat tarawih adalah hadits shahih
riwayat jamaah termasuk Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam
Malik dan Imam al-Baihaqi.78 Kemudian menjadi ijmak umat
sejak masa Umar Ibn al-Khatthab r.a. sampai hari ini bahkan sejak
masa Nabi Muhammad SAW.
Dalam fiqih mazhab Syafi`i, shalat tarawih harus dua puluh
rakaat dan dilaksanakan dua-dua raka`at (setiap dua raka`at
mengucapkan salam). Tidak dinamakan tarawih kalau kurang dari
dua puluh raka`at, dan tidak dinamakan tarawih kalau tidak dua-
dua raka`at walaupun jumlahnya mencapai 20 raka`at.79

78
Baca ‫ ِصحيحِالبخاري‬hadits nomor 37, 882, dan 906; ‫ ِصحِيحِمسلم‬hadits nomor
759 dan 761; ‫ ِاملوطأ‬hadits 245, 246, 247, 249; dan ‫ ِسننِالبيهقي‬hadits 496.
79
Demikian dikatakan oleh para ulama mazhab Syafi`i seperti Imam Syafi`i, al-
Muzani dan al-Mahalli sebagai berikut: ِ‫أماِقيامِشهرِرمضان‬
ِ ‫ِو‬:‫قالِالشافعيِرضيِهللاِعنه‬
ِ‫ِلنهِرويِعن‬,‫فصلةِاملنفردِأحب ِإلِمنهِورأيتهمِبملدينةِيقومونِلتسعِوثلثْيِ وأحب ِإلِعشرون‬
."‫( عمر ِبنِالطابِرضيِ هللاِِعنهِوكذلكِيقومونِبكةِويوترِونِبثلثة‬Imam Syafi`i ra. berkata:
“Adapun qiyamu bulan Ramadhan, maka shalat sendirian lebih saya sukai, dan
95

saya melihat di Madinah mereka mendirikan tiga puluh sembilan rakaat, dan
yang paling saya sukai adalah dua puluh rakaat, karena diriwayatkan daripada
Umar bin al-Khattab ra., dan seperti itulah mereka mendirikannya di Makkah,
dan mereka witir tiga rakaat”). Baca Imam as-Syafi`i dalam kitabnya ‫ األم‬Jilid 1,
hlm.432-433; al-Qasthallani menulis dalam ِ‫ ِإرشادِالساري‬Jilid 4 halaman 578:ِ ‫ِوف‬
ِ‫ئبِبنِيزيدِرضيِهللاِعنه‬
ِ ‫سننِالبيهقي ِإبسنادِصحيحِكماِقالِابنِالعراقي ِفِشرحِالتقريبِعنِالسا‬
ِ‫ِوروىِمالك‬.‫ِكانواِيقومونِعلىِعهدِعمرِبنِالطابِرضيِهللاِعنهِفِشهرِرمضانِبعشرينِركعة‬:‫قال‬
ِ‫ِ ِوف‬,‫ِكانِالناسِيقومونِفِزمنِعمرِرضيِهللاِعنه ِبثلثِوعشرين‬:‫فِاملوطأِعنِيزيدِبنِرومان ِقال‬
ِ‫ِ وجعِ البيهقيِ بينهماِ بّنمِكانواِ يقومونِ إبحدىِ عشرةِ ثِ قامواِ بعشرينِِوأوتروا‬,‫روايةِ إبحدىِ عشرة‬
.‫اِماِوقعِفِزمنِعمرِرضيِهللا ِعنهِكالجاع‬
ِ ‫ِوقدِعدو‬.‫( بثلث‬Dan dalam Sunan al-Baihaqi
dengan isnad yang shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-`Iraqi dalam Syarh
al-Taqriib dari as-Saib bin Yaziz ra, ia berkata: “Adalah mereka mendirikan dua
puluh rakaat pada masa Umar bin al-Khattab ra pada bulan Ramadhan. Dan
Malik dalam al-Muwatha’ dari Yazid bin Ruman, ia berkata: :Adalah manusia
mendirikan dua puluh tiga rakaat pada zaman Umar bin al-Khattab ra, dan pada
satu riwayat sebelas rakaat, dan al-Baihaqi menggabungkan dua hadits tersebut
dengan kesimpulan bahwa mereka telah mendirikannya sebelas rakaat,
kemudian mereka mendirikannya dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat). Dan
mereka menyebutkan apa yang dilakukan pada masa Umar ra sebagai ijmak;
dan Mushthafa al-Khin dalam kitab ‫ الفقه ِاملنهجيِعلىِمذهبِالمامِالشافعيِرحهِهللا‬,
Jilid 1, hlm.238-239 menulis: ِ ‫ِيصليِكل‬,‫ِوهيِعشرون ِركعةِفِكلِليلةِمنِليال ِرمضان‬
ِ‫ِ ولوِِصلىِ أربعاِ بتسليمة‬.‫ِ وتصليِ قبلِ الوتر‬,‫ركعتْيِ بتسليمةِ ووقتهاِِبْيِ صلةِ العشاءِ وصلةِ الفجر‬
‫( واحدة ِلِتصحِلنهِخلفِاملشروع‬Dan tarawih dua puluh rakaat pada setiap malam
dari malam-malam Ramadhan. Shalat setiap dua rakat salam, dan waktunya
antara shalat isya dengan shalat subuh, dan dilaksanakan sebelum witir. Kalau
shalat empat rakaat dengan satu salam, maka tidak sah karena menyalahi yang
disyariatkan); juga al-Muzani dalam ِ ‫ متصرِاملزن‬yang dicetak dalam kitab ِ ‫اْلاوي‬
‫‪96‬‬

‫‪Demikian juga dalam fikih mazhab Hanbali, Hanafi dan Maliki,‬‬


‫‪tidak boleh kurang dari 20 raka`at.80 Namun Imam Malik dalam‬‬
‫‪satu qawl melakukan istihsan, yaitu mendirikan tarawih 36 rakaat‬‬
‫‪dan witir 3 rakaat.81 Karena demikianlah dilakukan oleh sahabat‬‬

‫ِكنزِالراغبْي ِشرح ِ ‪ Jilid 2, hl.290; dan Imam al-Mahalli menulis dalam kiab‬الكبي‬
‫ِوروىِ البيهقيِوغ ِيهِبلسنادِ الصحيحِك ِماِقالِ فِشرح ِ ‪ sebagai berikut:‬منهاجِ الطالبْي‬
‫املهذب ِ"أّنمِكانوا ِيقومون ِعلىِعهدِعمرِبنِالطابِرضيِهللاِعنهِفِشهرِرمضانِبعشرينِركعة"‪ِ.‬‬
‫وروىِمالكِفِامل ِوطأِبثلث ِوعشرين ِركعةِوجعِالبي ِهقيِبينهماِبّنمِكانواِيوترونِبثلث‪ِ,‬ومسيتِكلِ‬
‫أربعِمنهاِترويةِلّنمِكانواِيتوحونِعقبهاِأيِيستيون‪"ِ.‬ولِتصحِبنيةِمطلقة"‪ِ,‬بلِينويِركعتْيِمنِ‬
‫التاويحِأوِمنِقيامِرمضا ِن ِقال‪ ِ:‬ولوِصلىِأربعا ِبتسليمةِلِتصح‪ِ,‬ذكرهِالقاضيِحسْيِلنهِخلفِ‬
‫ع‪ِ.‬‬
‫ِِ املشرو ِ‬
‫‪80‬‬
‫الفقهِاملنهجيِعلىِمذهبِالمِامِ ‪Baca Mushthafa Al-Khin & Mushthafa Al-Bugha,‬‬
‫‪ , Darul Qalam, Damasqus, Jilid 1, hlm.238-239; Imam Jalaluddin‬الشافعيِرحهِهللا‬
‫‪ ,‬كنزِ الراغبْيِ شرحِ منهاجِ الطالبْيِ فِ فقهِ الشافعية ‪Muhammad bin Ahmad al-Mahalli,‬‬
‫‪Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Jilid 1, hlm.319-320; dan Imam Abu Al-Hasan Ali‬‬
‫‪bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Bashri,‬‬ ‫اْلاويِالكبيِفِفقهِمذهبِالمامِ‬
‫‪ , Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Jilid 2, hlm.290-‬الشافعيِرضيِهللاِعنهِوِهوِمتصرِاملزن‬
‫‪291.‬‬
‫‪81‬‬
‫‪Demikian disebutkan Ibnu Rusyd dalam kitab‬‬ ‫‪ِ Jilid 1‬بدايةِِاجملتهدِوّنايةِاملِقتصد‬
‫ِِواختلفواِفِاِملختارِمنِعددِالركعات ِالتِيقومِبا ِالناسِف ِ‪halaman 152 dengan kalimat:‬‬
‫رمضان‪ِ,‬فاختارِمالكِفِأحدِقوليهِوأِبوِحنيفةِوالشافعيِوأحدِوداودِالقيامِبعشرينِركعةِسوىِالوتر‪ِ,‬‬
‫وذكرِابن ِالقاسم ِعنِمالكِأنهِيستحسنِستاِوثلثْيِركعةِ والوترِثلث‪ِ.‬وسببِاختلفهمِاختلفِ‬
‫النقلِف ِذلك‪ِ,‬وذلكِأنِمالكاِروى ِعنِيزيدِبنِرومانِقال‪ِ:‬كانِالناسِيقِومونِفِزمانِعمر ِبنِ‬
‫جِابنِأبِشيبةِعنِداودِبنِقيسِقال‪ِ:‬أدركتِالناسِبملدينة ِفِ‬
‫ِ‬ ‫الطابِبثلثِوعشرينِركعة‪ِ .‬وخر‬
97

sejak masa Nabi SAW dan masa Khulafa ar-Rasyidin, dimana


para sahabat menyempurnakan shalat tarawihnya di rumah
masing-masing setelah shalat bersama Rasulullah SAW selama
tiga malam. Kemudian pada tahun 14 H. masa Khalifah Umar bin
Al-Khattab ra., Umar mengumpulkan kaum muslimin untuk
shalat tarawih 20 rakaat serta witir 3 rakaat dan menyuruh Ubay
bin Ka`ab ra. menjadi imam bagi jamaah lelaki di Masjid Nabawi,
dan menyuruh Tamim ad-Dary ra. mengimami kaum perempuan
di tempat lain.82 Ketika menerangkan hadits tarawih,83

ِ‫ِوذكرِابنِالقا ِسم‬.‫زما ِن ِعمرِبن ِعبدِالعزيزِ وأبنِبنِعثمانِيصلونِستاِوثلثْيِركعةِويوترونِبثلث‬


ِِِ.‫ِيعِنِالقيامِبستِوثلثْيِركعة‬:‫عنِمالكِأنهِالمرِالقدي‬
82
Imam al-Qasthllany menulis dalam ‫ ِِإرشادِِالساريِ لشرحِ صحيحِ البخاري‬Jilid 4
halaman 577 sebagai berikut: ِ‫ِأنِعمرِِجعِالناسِعلى‬:‫ِوعندِسعيدِبنِمنصورِمنِطريقِعروة‬
‫( أبِبنِكعبِفكانِيصليِبلرجال ِوكانِتيمِالداريِيصليِبلنساء‬Dan dalam rwayat Sa`id
bin Manshur dari jalur `Urwah: “Bahwasanya Umar Ibn al-Khattab ra
mengumpulkan manusia kepada Ubay Bin Ka`ab maka ia shalat mengimami
jamaah lelaki, sedangkan Tamim ad-Dary shalat bersama kaum wanita); dan
Imam Al-Mawardi dalam kitabnya ِ ‫اْلاويِالكبي‬, Jilid 2, hlm.290-291 menulis: ِ
ِ‫ِوهيِصلةِالتاويحِماِرويِأ ِنِالنبِصلىِهللاِعِليهِوسلم‬,‫ِأماِالصلِفِقيامِشهرِرمضان‬:‫قالِاملاوردي‬
ِ‫ِثِخرجِإليهمِفِالليلةِالثانيةِفجمعهم‬,‫خرجِإلِالناسِفِأولِليلةِمنِشهرِرمضانِفجمعهمِوصلىِبم‬
ِ‫ِفلماِأصبحواِقالِصلىِهللاِعليه‬,‫اِمتفرقْي‬
ِ ‫وصلىِبمِفلماِ ِكانِالليلةِالثالثةِاِنتظروهِفلمِيرجِإليهمِفصلو‬
ِ‫ِوكانِأبِبنِكعبِبعدِذلك‬."‫ِقدِعلمتِبجتماعكمِواّناِتخرتِلنِخفتِأنِتفرضِعليكم‬:‫وسلم‬
ِ‫فِعهدِرسول ِهللاِصلىِهللاِعليه ِوسلمِوِأبِبكرِ وأولِخلفةِعمر ِرضيِهللاِعنهماِيمعِالناسِف‬
ِ‫مسجدِرسولِهللاِصلىِهللاِعليهِ ِوسلمِفيصليِبمِالعشرِال ِولِوِالعشرِالثانِويتخلىِلنفسهِفِالعشر‬
‫‪98‬‬

‫‪Syihabuddin al-Qasthallani menulis: “Yang diketahui oleh umat‬‬


‫‪dan diikuti jumhur ulama bahwa mereka (sahabat dan kaum‬‬
‫‪muslimin) mendirikan dua puluh rakaat dengan sepuluh kali‬‬
‫‪salam, dan itu adalah lima istirahat, setiap istirahan empat rakaat‬‬
‫‪dengan dua kali salam selain witir, dan witirnya tiga rakaat. Dan‬‬
‫‪Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya dengan isnad‬‬
‫‪yang shahih sebagaimana dikatakan oleh al-`Iraqy dalam Syarh al-‬‬
‫كانواِيقومونِعلىِ ‪Taqrib hadits dari al-Sayib bin Yazid ra. ia berkata:‬‬
‫‪ (Pada masa‬عهدِ عمرِ بنِ الطابِ رضيِ هللاِ عنهِ فِ شهرِ رمضانِ بعشرينِ ركعة‬
‫‪Umar bin al-Khattab ra. pada bulan Ramadhan mereka‬‬

‫الثالث‪ِ,‬إلِأنِقررهاِعمرِبنِالطابِرضيِهللاِعنه ِوجعِالِناسِعليها‪ِ.‬وكان ِالسببِفيهِما ِرويِأنِ‬


‫الناسِكانواِيصلونِفِاملسجد‪ِ,‬فإذاِمسعواِقراءةِطيبةِتبعوا‪ِ,‬فقالِعمرِرضيِهللاِعنهِجعلتمِالقرآنِأغانِ‬
‫فصارتِ سنةِ قائمة‪ ِ,‬ثِ عملِ باِ عثمانِ وعليِ رضيِ هللاِ عنهماِ والئمةِ فِ سائرِ‬
‫فجمعهمِ إلِ أبِ ِ‬
‫العصارِ وهيِ منِ أحسنِ سنةِ سنهاِِإمام‪ ِ.‬فإذاِ تقررِ هذاِ وثبتِ فالذيِ اختارِِعشرونِ ركعةِ خسِ‬
‫لنِعمرِبنِالطابِرضيِهللاِعنهِ‬
‫ِ‬ ‫ترِوياتِكلِترويةِشفعْيِكلِشفعِركعتْيِبسلمِثِيوترِبثلث‪ِ,‬‬
‫جعِالناسِعلىِأبِبنِكعبِفكانِيصليِبمِعشرينِركعةِجرىِبهِالعملِوعليهِالناسِبكة‪ِ.‬‬
‫‪83‬‬
‫‪Hadits tentang tarawih diriwayatkan oleh jama`ah termasuk Imam al-Bukhari‬‬
‫‪dalam kitab Shahih-nya (nomor 2010 dan 2012):‬‬ ‫أنِرسولِهللاِِصلىِهللاِعليِهِوِسلم ِ‬
‫خِرجِلي لةِمنِج ِوفِالليلِفصلِىِفِالمسجدِوِصلىِرجالِبصلِته‪ِ,‬فأصبحِِالناسِف تحِدث واِ‪ِ,‬فاجتمعِ‬
‫أكِث رِمن همِفصلِواِمعهِ‪ِ,‬فأصبِحِالنِاس‪ِ,‬ف تحدث واِفكِث رِأهلِالمسجِدِمنِالليِلةِالثالثِةِ‪ِ,‬فخِرجِرسولِهللاِِ‬
‫صلىِهللاِعليهِوِسلمِفصلىِِفصلواِبصلِته‪ِ,‬ف لماِِكانتِالليِلةِالرِابعةِعجزِالمسِجدِعنِأهلهِحّتِِخِرجِ‬
‫لصلةِالصبح‪ِ,‬ف لماِقضىِالفجِرِأق بلِعِلِىِالناسِف تِشهدِ‪ِ,‬ثِقال‪ِ:‬أمِاِب عدِفإنهِلِيفِعليِمكِانكم‪ِ,‬‬
‫وِلكِ ّنِخشِيتِأِنِت فرضِعلِيكمِف ت عِجزواِعن ها‪ِ.‬فِت و ّفِرسولِهللاِِصلِىِهللاِعليهِوِسلِمِوِالمرِعلِىِ‬
‫ذلك‪.‬‬
99

mendirikan dua puluh rakaat). Dan dalam Mushannaf Ibni Abi


Syaibah dan Sunan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: ِ‫ِكان‬
‫( النبِصلىِهللاِعليهِوسلمِيصليِفِرمضانِفِغيِجاعةِبعشرينِركعةِوِالوتر‬Nabi
SAW pada bulan Ramadhan ketika tidak berjamaah mendirikan
shalat dua puluh rakaat dan witir), namun al-Baihaqi dan yang
lainnya mendho`ifkan riwayat Abu Syaibah kakek Ibnu Abi
Syaibah.84
Kemudian shalat tarawih dengan dua puluh rakaat ini
diteruskan oleh Khalifah Utsman Bin `Affan dan Khalifah Ali Bin
Abu Thalib ra. Demikianlah tarawih dan witir 23 rakaat menjadi
sunnah yang dijaga oleh seluruh kaum muslimin di seluruh
penjuru dunia termasuk di Nusantara. Karena seluruh umat Islam
menganut faham Ahli Sunnah Waljama`ah, yaitu mengikuti
Sunnah Nabi Muhammad SAW sesuai dengan faham jama`ah
Sahabat.85
Selain itu, Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Abu Dawud
memerintahkan umatnya untuk mengikuti sunnah yang dibuat
oleh Khalifah ar-Rasyidun Abu Bakar as-Shiddiq, Umar Ibn al-

84
Baca Imam Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad as-Syafii al-
Qasthallani, ‫ إرشاد الساري لشرح صحيح البخاري‬, Jilid 4, hlm.577-578.
85
Baca Al-Juzairi,‫الربعة‬
ِ‫ ِِكتابِ الفقهِ علىِ املذاهب‬Jilid 1, hlm.320; Imam
Muhammad bin Idris As-Syafii, ‫ الم‬, Darul Hadits, Cairo, Jilid 1, hlm.432-433;
dan Imam Al-Mawardi dalam kitabnya ِ‫اْلاويِالكبي‬, Jilid 2, hlm.290-291.ِِ
100

Khattab, Utsman Ibn `Affan dan Ali Ibn Abi Thalib.86 Dan shalat
tarawih 20 rakaat yang dijadikan tradisi (sunnah) oleh Umar ra.
diteruskan dan diamalkan oleh dua Khalifah sesudahnya. Dan
Abu Hanifah menerangkan bahwa tarawih adalah sunnah
muakkadah, Umar Ibn al-Khattab tidak mengeluarkan ketetapan
dua puluh rakaat itu dari dirinya sendiri, tidak ada padanya bid`ah,
dan beliau tidak menyuruh kecuali karena asalnya memang
sedemikian sejak masa Rasulullah SAW.87
Namun pada abad ke-14 Hijriah atau pada dekade ketiga abad
kedua puluh Masehi di pusat kelahiran Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW yaitu Makkah Al-Mukarromah dan
Madinah Al-Munawwaroh, muncul kelompok aliran yang dalam
memahami Al-Quran dan Sunnah tidak mengikuti pemahaman
jamaah sahabat.88 Mereka menjadikan Sunnah (Hadits) tentang

86
Sabda Nabi SAW riwayat Abud Dawud: ِِ‫علِيكمِبسنتِِوِسنةِاللفاءِِِالراشِدينِالمهديّْي‬
.‫( عضواِعلي ها ِبلن واجذ‬Hendaklah kamu berpegang dengan sunnah-ku dan sunnah
al-khulafa ar-rasyidun yang mendapat petunjuk, gigitlah sunnah ini dengan
geraham).”
87
Baca Al-Juzairi, ‫كتابِالفقهِعلىِاملذاهبِالربعة‬, Jilid 1, hlm.320.
88
Aliran ini adalah Wahabi dan Turunannya Salafi yang mewarisi watak
Khawarij yaitu mudah menkafirkan orang-orang muslim di luar alirannya dan
aliran ini meninggalkan cara pemahaman Sahabat tentang makna ayat-ayat
Alquran dan Sunnah Nabi SAW. Faham aliran ini cepat berkembang termasuk
di Nusantara karena disebarkan dari dua tanah haram Makkah dan Madinah
yang merupakan pusat pendidikan sejak masa Rasulullah SAW serta mendapat
101

shalat witir Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ummul


Mukminin Aisyah ra. sebagai dalil bagi shalat tarawih.89

sokongan dana dari Kerajaan Arab Saudi. Abdul Wahhab hidup pada masa abad
18 dan 19 Masehi merupakan penyokong Kerajaan As-Sa`ud di Nejed,
kemudian faham Wahabi dikembangkan oleh Putranya Muhammad Bin Abdul
Wahab yang bersekongkol dengan Abdul Aziz Bin Sa`ud dan berhasil
merampas wilayah Hijaz (Makkah dan Madinah) dari Khilafah Turki Utsmani,
yang kemudian Muhammad Bin Abdul Wahhab diserahi tugas keagamaan oleh
Raja Abdul Aziz (Raja Arab Saudi ke-1) setelah dideklarasikan Kerajaan Arab
Saudi pada tahun 1932 M.
89
Hadits dimaksud diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dalam Kitab Shahih-
nya nomor 1147 dan 2013: ِ‫ِكيف‬:ِ‫ِعنها‬
ِ ِ‫عنِأبِسلمةِبنِعبدِالرحنِأنهِسألِعائشِةِرضيِهللا‬
ِ‫يدِفِرمضانِوِلِفِغيه‬
ِ ‫ِماِكانِيز‬:‫كانتِصلةِرسولِهللاِصلىِهللاِعليهِوِسلمِفِرمضانِ؟ِفقالت‬
ِ‫علىِ إحدىِ عشرةِركعة ِيصليِأربعاِفلِ تسألِعنِ حسنهنِوِ طولنِ ثِ يصليِأربعاِفلِ تسألِعن‬
ِ‫ِإنِعِيِن‬,‫ِيِعائشة‬:‫ ِيِرسولِ هللاِِأتنامِقبلِأن ِتوتر؟ِقال‬:‫ِفقلت‬.‫حسنهنِوِطِولنِ ثِيصلي ِثلث‬
ِِ.‫( تنامانِ وِ لِ ينامِ قلب‬Daripada Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwasanya ia
menanya Aisyah r.a.: ‘Bagaimana shalat Rasulullah SAW pada bulan
Ramadhan?’ Aisyah r.a. menjawab: ‘Baik pada bulan Ramadhan maupun di
luar Ramadhan, tidak lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, maka
jangan tanyakan tentang betapa bagus shalatnya dan lamanya. Kemudian beliau
shalat empat rakaat, maka jangan tanyakan tentang betapa bagus shalatnya dan
lamanya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Maka aku tanyakan: Wahai
Rasulullah, adakah Engkau tidur sebelum witir? Jawab Rasulullah SAW: Wahai
Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur akan tetapi hatiku tidak tidur.” Ada
dua indikator kuat yang menunjukkan bahwa Aisyah ra menyampaikan hadits
tentang witir yaitu: indikator pertama, karena seluruh sahabat sepakat dengan
Khalifah Umar bin Al-Khattab yang meyuruh seluruh kaum muslimin
102

Kemudian mereka melakukan tarawih dan witir 11 rakaat


(tarawih 8 rakaat ditambah witir 3 rakaat) meskipun Aisyah ra
yang menyampaikan hadits tersebut serta seluruh sahabat selaku
generasi yang paling faham akan maksud hadits-hadits Nabi SAW
mendirikan shalat tarawih 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat.
Karena itu para ulama Ahli Sunnah Waljama`ah dengan tegas
mengatakan bahwa tarawih harus 20 rakaat atau tidak boleh
kurang dari 20 rakaat.

Akal Sehat Menolak Pendapat Wahabi

Tarawih dan witir 11 rakaat merupakan pendapat yang tidak


sesuai dengan ijmak Sahabat dan para ulama. Sahabat merupakan
orang paling faham dengan amalan Nabi Muhammad SAW.
Sebab mereka langsung menyaksikan dan melakukannya bersama
Nabi SAW. Karena itu seluruh umat Islam mestinya mengikuti

mendirikan tarawih 20 rakaat dan dilanjutkan pada masa khilafah Utsman Bin
`Affan dan Ali Bin Abu Thalib. Bahkan termasuk Aisyah ra sendiri yang
meriwayatkan hadits juga bertarawih 20 rakaat; kedua, karena adanya kalimat
“Baik dalam bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan” yang
menunjukkan bahwa yang bertanya yaitu Abu Salamah Bin Abdurrahman ra.
adalah menanyakan tentang jumlah rakaat shalat witir Nabi Muhammad SAW
bukan tarawih, karena shalat tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan saja. Para
ulama sunni memahami hadits tentang shalat witir Nabi SAW (Baca Al-
Qasthallani, ‫ ِ ِإرشادِالساريِلشرحِصحيحِالبخاري‬, Jilid 4, hlm.578.
103

amalan yang disepakati oleh jamaah sahabat untuk sepanjang


masa. Banyak sekali hadits yang mengatakan bahwa para sahabat
tarawih dua puluh rakaat dan witir tiga rakaat yang kemudian
diikuti oleh seluruh ulama besar seperti Imam Syafi`i, Imam
Ahmad Bin Hanbal, Imam Al-Bukhari, Imam Muslim., Imam
Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, Imam An-Nasai, Imam Ibnu
Majah, dan Imam Al-Baihaqi yang keseluruhannya masing-
masing hafal minimal 600.000 hadits bahkan sampai 900.000 dan
1.000.000 hadits. Bahkan Imam Abu Hanifah dan Imam Malik
bin Anas juga meyakini bahwa Sahabat shalat tarawih berjamaah
sebanyak 20 rakaat, meskipun menurut satu riwayat kedua imam
agung ini melakukan ihsan dengan mendirikan lebih dari 20
rakaat tarawih. Mereka adalah ulama salaf yang hidup dalam masa
abad 1 – 3 hijriah. Sebab itu sungguh janggal sekali istinbath
hukum fiqih tarawih yang dikeluarkan oleh orang-orang Wahabi.
Karena beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Malik dalam al-Muwaththa’, mereka menfatwakan tarawih dan
witir hanya 11 rakaat, padahal Imam Malik selaku penyusun al-
Muwaththa’ adalah meyakini bahwa para sahabat shalat 23 rakaat
meskipun dalam satu qawl ia melakukan istihsan dengan shalat 36
rakaat tarawih dan 3 rakaat witir sesuai dengan amalan penduduk
Madinah.
Penduduk Madinah, waktu itu sejak masa Umar Bin Abdul
Aziz ra menjabat Gubernur Madinah yang kemudian m,enjadi
Khalifah Daulah Bani Umaiyah, menambahkan 16 rakaat tarawih
104

karena ingin mendapat fadhilat yang sama dengan penduduk


Makkah yang melakukan 4 kali tawaf di Baitullah pada empat
tarwihah, setiap satu tarwihah (istirahat sesudah 4 rakaat tarawih)
mereka thawaf tujuh putaran di Baitullah. Artinya, Imam Malik
ra sendiri selaku yang meriwayat hadits meyakini bahwa tarawih
dan witir para sahabat adalah 23 rakaat.
Lalu bagaimana bisa orang-orang Wahabi mengatakan bahwa
yang benar adalah 11 rakaat? Tidak dapat diterima akal sehat,
ketika orang-orang Wahabi yang lahir pada abad ke18 M (ke-12
Hijriah) dan berkembang pada abad ke-20 (ke-14 Hijriah) setelah
berdirinya Kerajaan Arab Saudi, tiba-tiba menyalahkan ijmak
sahabat dan para ulama salaf seperti imam-imam mazhab sunni
(Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafii dan Imam
Ahmad bin Hanbal) dan imam-imam hadits seperti Imam al-
Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi,
Imam An-Nasai, Imam Ibnu Majah, Imam Al-Baihaqi yang lebih
menguasai dan memahami hadits-hadits Nabi SAW.
Bukankah seluruh kaum muslimin sejak masa al-Khufa ar-
Rasyidun telah mengamalkan 23 rakaat tarawih dan witir?
Bukankah Al-Bukhari dan Muslim adalah imamnya para ahli
hadits? Bukankah Imam Abu Hanifah masih berjumpa dengan
sahabat Nabi saw? Bukankah Imam Syafi`i masih menyaksikan
amalan penduduk Mekkah yang tarawihnya sama dengan pada
masa Sahabat Ibnu Abbas ra Sang Guru dari kalangan sahabat dan
melahirkan banyak ulama dari kalangan tabi`in? Bukankah Imam
105

Ahmad Bin Hanbal hafal 1 juta hadits lengkap sanad dan


matannya merupakan santri dan sahabat bagi Imam Syafi`i?
Bukankah Imam Malik menyaksikan sunnah tradisi amalan
penduduk Madinah kota Rasul dan langsung berguru kepada para
ulama tabi`in generasi sesudah Sahabat bahkan di masa kanak-
kanak juga berguru kepada Sahabat?
Lalu bagaimana mungkin kita dapat menerima pendapat
orang-orang Wahabi yang mengatakan yang benar adalah 11
rakaat tarawih dan witir? Siapa Abdul Wahab dan putranya
Muhammad bin Abdul Wahab yang merupakan pentolan
Wahabi? Siapa al-Albany yang dikultuskan tetapi keliru pada
sekitar 1600 hadits dalam menetapkan hadits shahih atau dha`if?
Pantaskah orang-orang yang tidak hafal 100 hadits pun (matan
dan sanadnya) dibandingkan dengan Imam Syafi`i yang hafal
600.000 hadits, atau dengan Imam al-Bukhari dan Muslim yang
hafal 900.000 hadits dan dinobatkan oleh umat sebagai imam
hadits umat ini. Pantaskan mereka dipersamakan dengan Imam
Ahmad Bin Hanbal yang hafal 1 juta hadits lengkap dengan sanad
dan matannya? Tentu akal sehat kita menolak menyamakannya,
apalagi kalau sampai menggugat fiqih hasil ijtihad ulama-ulama
agung tersebut.
Mengeluarkan hukum fiqih yang bertentangan dengan
hukum fiqih yang telah disepakati oleh seluruh sahabat
merupakan kesalahan paling besar. Dan mengubah amalan
tarawih dan witir 23 rakaat menjadi 11 rakaat tentu lebih besar
106

lagi kekeliruannya. Karena Rasulullah SAW bersabda: ِِ‫عليكم‬


.ِِ‫بسنتِ وِ سنةِ اللفِاءِ الراشدينِ المهديّْيِ عضواِ علي هاِ بلن واجذ‬
(Hendaklah kamu berpegang teguh dengan Sunnah-ku dan
Sunnah al-Khulafa ar-Rasyidun yang mendapat petunjuk,
gigitlah Sunnah ini dengan geraham).” Maksudnya Nabi SAW
menganjurkan umatnya untuk mengikuti sunnah (tradisi)
Khalifah yang empat: Abu Bakar As-Shiddiq, Umar Ibn al-
Khatthab, Utsman Ibnu `Affan dan Ali Ibnu Abi Thalib secara
kuat, konsisten dan konsekwen tidak bergesar daripadanya.

B. Tarawih dan Witir Berjama`ah


Menurut pendapat yang paling shahih, disunnahkan tarawih
berjama`ah sebagaimana disebutkan oleh Imam an-Nawawi dan
Imam Al-Mahalli.90 Dan ini tergolong sebagai sunnah `ainiyah,
dimana seandainya satu jamaah di suatu Kampung atau RW

90
Imam an-Nawawi menulis, ‫( ِوالصحِأنِالماعةِتسنِفِِالتاويح‬dan pendapat yang
paling shahih disunnahkan berjama`ah dalam tarawih), baca an-Nawawi, ِ‫ِمنهاج‬
‫ الطالبْي‬halaman 42; sedangkan al-Mahalli menulis, ِ‫فضل‬ ِ ‫ِومقابلِالصحِأ ِنِالنفرادِباِأ‬
‫كغ ِيهاِ منِ صلةِ الليلِ لبعدهِ عنِ الريءِ ورجوعِ النبِ صلىِ هللاِ عليهِ وسلمِ إليهِ بعدِ ليالِِالسابقِة‬
(pendapat yang berlawanan dengan pendapat yang paling shahih adalah bahwa
shalat tarawih sendirian lebih afdhal seperti juga shalat lail lainnya karena lebih
jauh daripada riya dan kembalinya Rasulullah SAW kepada shalat sendirian
sesudah beberapa malam shalat berjama`ah dengan para sahabat), baca al-
Mahalli, . Baca an-Nawawi, ‫ كنزِالراغبْيِشرحِمنهاجِالطالبْي‬halaman 321.
107

(Rukun Warga) telah mendirikan tarawih berjamaah, maka


hukum sunnah berjamaah tidak gugur atas warga muslim yang
lainnya di kampung/ RW itu.91
Shalat witir salah satu qiyamul lail yang disunnahkan bagi kaum
muslimin baik dalam bulan Ramadhan maupun diluar
Ramadhan. Berbeda dengan shalat tarawih yang disunnahkan
hanya khusus pada malam-malam bulan Ramadhan. Jumlah
raka`at shalat witir minimal satu raka`at dan maksimal 11 raka`at.
Paling afdhal (utama) witir dijadikan sebagai penutup shalat
malam. Namun apabila sudah witir di awal atau pertengahan
malam, seperti witir yang dikerjakan sesudah shalat isya dan
sesudah tarawih, maka kalau shalat lagi seperti tahajjud di akhir
malam tidak boleh lagi mengulangi witir, karena Rasulullah SAW
dalam hadits riwayat Abu Daud bersabda: ِ ‫(لِوت رانِف ِلي ل ٍة‬Tidak
dibolehkan witir dua kali dalam satu malam).
Pada qiyamul lail bulan Ramadhan, disunnahkan berjama`ah
pada witir yang mengiringi shalat tarawih berjama`ah.92 Kaifiyat

91
Baca Al-Juzairi, ‫ِكتابِالفقهِعلىِاملذاهبِالربعة‬, Jilid 1, hlm.320.
92
Imam an-Nawawi dan al-Mahalli menulis, ِ‫ِ(وأنِالماعةِتندبِفِالوِترِعقبِالتاويح‬
‫( جاعة) ِبناءِعلىِ ند ِباِ فِ التاويحِ الذيِِهوِ الصح‬dan bahwa disunnahkan berjama`ah
pada witir yang dilakukan mengiringi tarawih yang didirikan berjama`ah)
karena berdasarkan pada disunnahkannya berjama`ah dalam tarawih menurut
pendapat yang paling shshih. Baca an-Nawawi, ‫ ِِمنهِاجِالطالبْي‬halaman 41; dan
al-Mahalli, ‫ كنزِِالراغبْيِ شرحِِمنهاجِ الطالبْي‬halaman 315; dan Syaikhul Islam Abu
108

shalat witir adalah dua kali salam, yaitu sesudah dua raka`at
mengucapkan salam, kemudian berdiri lagi untuk mendirikan
satu raka`at. Seperti inilah yang paling afdhal (utama) menurut
ulama-ulama mazhab Syafi`i. Namun tetap sah shalat witir dan
tidak ada masalah walaupun didirikan langsung tiga raka`at
meskipun menyalahi yang paling utama.93
Mulai malam ke-16 Ramadhan sampai malam terakhir,
disunnahkan membaca doa qunut pada raka`at terakhir witir
dalam posisi i`tidal sesudah membaca tahmid i`tidal.
Sesudah selesai witir disunnahkan membaca dengan suara
tinggi kalimat di bawah ini:
ِ )ِ×ِ3(ِ‫بِالملئكةِوالروح‬
ّ ‫سبحانِالملكِالقدوسِر‬
Kemudian membaca doa:

Zakaya al-Anshari dalam kitab ‫ شرحِ التحرير‬menulis:ِ ‫ِِويسنِكوّناِ جبماعةِ ْلثِ الشارع‬
‫( عليهاِوأنِيوترِبعدهاِفِالماعة‬Dan disunnahkan keadaan tarawih dengan berjamaah
karena Pembuat Syari`ah yaitu Nabi SAW menggesa (menganjurkan)
berjamaah dan disunnahkan melaksanakan witir sesudah tarawih dalam
berjamaah), baca ‫ شرحِالتحرير‬dalam ‫حاشيةِالشرقاوي‬, Jilid 1 halaman 301. ِ
93
Baca Mushthafa AlKhin, ِ‫الفقهِاملنهجيِعلىِمذهبِالمامِِالشافعي‬, Jilid 1, hlm.238-
239; Imam Al-Mahalli, ِِ‫كنزِ الراغبْي‬, Jilid 1, hlm.319-320; dan Imam Al-
Mawardi, ِ‫اْلاويِالكبي‬, Jilid 2, hlm.290-291.
109

ِِ‫ِاللّهمِإ ّنِأعوذِبرضاكِمنِسخطكِوبعافتكِمنِعقوبتكِوأِعِ ِوذ‬


ِ‫كِِأِنِتِِ ِكمِاِ أِثِنِيِتِِِعِِلى‬
ِ ِ‫كِِ ِلِِأحِصِيِِثِنِ ِاءِِعِِلي‬
ِ ِ‫ِ سِبِحِان‬.‫ك‬
ِ ِ‫كِِمِن‬
ِ ِ‫ب‬
ِ ِ94ِ.‫ك‬
ِ ‫س‬ِ ِ‫نِف‬
Lafaz Niat Shalat Tarawih
Berjama`ah (Imam/Makmum)

‫ال‬
ِ ‫ِّلِلِت ع‬
ّ ‫مأموما)ِسنةِأداء‬/‫أصلّيِركعتْيِمنِالتاويحِ(إماما‬
Saya shalat dua rakaat tarawih mengikut imam sunnah lagi tunai
karena Allah SWT.
Atau dengan lafaz:ِِ

ِ ِ‫مأموما)ِأداءِِ ّّلِلِت عال‬/‫أصلّيِسنةِالتاويحِركعتْيِ(إماما‬


“Sengaja aku shalat sunnah tarawih dua raka`at (sebagai imam/
mengikut imam) karena Allah SWT.
Shalat Sendirian

‫ال‬
ِ ‫ِّلِلِت ع‬
ّ ‫أصلّيِركعتْيِمنِالتاويحِسنةِأداء‬
Saya shalat dua rakaat tarawih mengikut imam sunnah lagi tunai
karena Allah SWT.ِِ

94
Berdasarkan hadits riwayat Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dan
disebutkan oleh para ulama dalam kitab fiqih seperti Syaikh as-Syarqawi
dalamِ ِ‫ حاشيةِالشرقاويِعلىِشرحِالتحريرِلشيخِالسلمِزكِريِالنصاري‬Jilid 1 halaman 301-
302.
110

ِ ‫ال‬
ِ ‫أصلّيِسنةِالتاويحِركعتْيِِسن ِةِأداءِ ّّلِلِت ع‬
“Sengaja aku shalat sunnah tarawih dua raka`at tunai karena Allah
SWT.
Lafaz Niat Shalat Witir
Dua Raka`at Berjama`ah (Imam/Makmum)

ِ ِ‫ِّلِلِت عال‬
ّ ‫مأموما)ِسنة‬/‫أصلّيِركعتْيِِمنِِالوترِ(إماما‬
“Sengaja aku shalat dua raka`at dari witir (sebagai imam/
mengikut imam) sunnah karena Allah SWT.

ِ ِ‫ا)ِّلِلِت عال‬
ّ ‫مأموم‬/‫أصلّيِسنةِالوترِركعتْيِ(إماما‬
“Sengaja aku shalat sunnah witir dua raka`at (sebagai imam/
mengikut imam) karena Allah SWT.
Satu Raka`at Berjama`ah (Imam/Makmum)

ِ ِ‫ا)ِّلِلِت عال‬
ّ ‫مأموم‬/‫أصلّيِسنةِالوترِركعةِ(إماما‬
“Sengaja aku shalat sunnah witir satu raka`at (sebagai imam/
mengikut imam) karena Allah SWT.
Shalat Sendirian (dua raka`at)

ِ‫ّلِلِتِعال‬
ِّ ِ‫أصلّيِركعتْيِمنِالوترِِسن ِة‬
“Sengaja aku shalat dua raka`at dari witir sunnah karena Allah
SWT.
Atau dengan lafaz:

ِ ‫ال‬
ِ ‫ِّلِلِت ع‬
ّ ‫أصلّيِسنةِالوترِركعتْي‬
111

“Sengaja aku shalat sunnah witir dua raka`at karena Allah SWT.ِ
Shalat Sendirian (satu raka`at)

ِ ِ‫ِّلِلِت عال‬
ّ ‫أِصِِلّيِسنةِالوترِركعة‬
“Sengaja aku shalat sunnah witir satu raka`at karena Allah SWT.

C. Surah/ Ayat Yang Dibaca

Pada dasarnya dalam setiap rakaat setelah membaca surah al-


Fatihah dibolehkan membaca surah dan ayat manapun. Pada masa
Khalifah Ar-Rasyidun biasanya imam membaca kurang lebih 200
ayat dalam satu malam pada shalat tarawih. Sahabat Utsman ra
terbiasa mengkhatamkan Alquran 30 juz dalam qiyamul lailnya
pada setiap malam, baik di bulan Ramadhan maupun di luar
Ramadhan. Imam as-Syafi`i mengatakan bahwa kalau pada bulan
Ramadhan ia mengkhatamkan Alquran 1 kali pada waktu malam
dan 1 kali khatam waktu siang, dan ia katakan bahwa semuanya ia
baca dalam shalat. Sedangkan di luar bulan Ramadhan Imam
Syafi`i mengkhatamkan 1 kali dalam setiap satu hari satu malam,
dan semuanya ia baca dalam shalat. Karena itu hamba-hamba
Allah yang pilihan seperti Utsman Ibn `Affan dan Imam
Muhammad Ibnu Idris as-Syafi`i lebih menyukai mendirikan
shalat tarawih secara sendirian agar leluasa berlama-lama membaca
Alquran dalam shalat tarawihnya.
112

Bagi hamba Allah SWT yang hafal seluruh Alquran 30 juz


sebaiknya mengkhatamkan minimal 1 kali yang dibaca dalam
tarawih selama bulan Ramadhan.
Bagi yang kurang hafalannya, dapat memilih surah-surah
pendek seperti yang dipilih oleh masyarakat awam. Pada malam
ke-1 sampai ke-15 membaca 10 surah pendek yaitu 1 surat pada
setiap rakaat yang pertama dari setiap dua rakaat dengan urutan:
‫ التكاث ِر‬.1
ِ‫ العصر‬.2
‫ المزِة‬.3
ِ‫ الفيل‬.4
‫ قريش‬.5
‫ املاعون‬.6
‫ الكوثر‬.7
‫ الكافرون‬.8
‫ النصر‬.9
.ِ)‫ املسدِ(تبت‬.10
Sedangkan pada rakaat yang kedua membaca surah al-Ikhlash.
113

Kemudian mulai malam ke-16 sampai malam terakhir,


membaca surah al-Qadr pada rakaat pertama dan satu surah dari
10 surah di atas pada setiap rakaat kedua dari setiap dua rakaat.
Dalam shalat witir tiga rakaat, pada rakaat pertama sesudah al-
Fatihah membaca surah al-A`laa, rakaat kedua surah al-
Kaafiruun, dan pada rakaat ketiga membaca surah al-Ikhlash, al-
Falaq dan an-Naas.

D. Bacaan Shalawat, Tasbih dan Do`a

Seperti disebutkan di atas bahwa tarawih artinya istirahat, karena


para Sahabat beristirahat setiap selesai empat rakaat. Khusus di
Makkah mereka melakukan tawaf setiap selesai empat rakaat (dua
kali salam/ setiap dua rakaat salam).
Karena itu para ulama di luar Makkah seperti di Nusantara
mengisi tarwih-nya dengan membaca shalawat dan tasbih. Hal ini
juga berdasarkan sunnah Nabi SAW yang juga
mengumandangkan tasbih dengan suaranya yang kuat apabila
telah selesai shalat witir. Kaifiat membaca tasbih dan shalawat pada
waktu-waktu tarwih (istirtahat) shalat tarawih dan witir adalah
sebagai berikut.

Bilal bersama jama`ah membaca:


‫‪114‬‬

‫سبحانِ الملكِِِالقدوسِ‪ِِ.‬سبحانِ الملكِِِالمعب ودِ‪ِِ.‬سبحانِ‬


‫الملكِالموجودِ‪ِ .‬سبحانِالملكِاْل ّيِالذيِلِي نامِولِيوتِ‬
‫تِ أبدا‪ ِ.‬سب وحِ قدوسِ رب ناِ وربِ الملئِكِةِ والروح‪ِ.‬‬‫ولِِِيِفِو ِ‬
‫ِّلِلِولِإلِهِإلِهللاِوهللاِأكبِولِحولِولِ‬
‫سبحانِهللاِواْلمد ّ‬
‫ق وةِإلِبهللِالعل ّيِالعظيم‪ِ .‬‬
‫‪Bilal membaca:‬‬ ‫ِ‬
‫اللّهمِِص ِّلِعلىِسيّدنِمم ٍد‪ِ ِ.‬‬
‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫ِوسلّمِوبركِعليه‪ِ .‬‬
‫اللّهمِِص ّل ِ‬
‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِومولنِمم ٍد‪ِ .‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪ِ ِ.‬‬


‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اِوذخرنِومولنِ‬
‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِونبيّناِوحبيبنِا ِوشفيعن ِ‬
‫مم ٍد‪.‬‬
‫‪115‬‬

‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪ِ .‬‬


‫‪Bilal membaca:‬‬

‫صلةِالتاويحِجامعةِرحكمِهللاِ‪ِ .‬‬
‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫لِحولِولِق وةِإلِبهللِالعل ّيِالعِظِيمِ‪ِ .‬‬


‫‪Kemudian shalat tarawih dua raka`at (raka`at ke-1 dan 2).‬‬
‫‪Sesudah mengucapkan salam, Bilal bersama jama`ah membaca:‬‬

‫فضلِ منِ هللاِ ونعمةِ ومغفرةِ ورحة‪ ِ،‬لِ إلِهِِِإِلِِ هللاِ وحدهِ لِ‬
‫ِوييتِوهوِعلىِك ّلِشي ٍئِ‬ ‫شريكِله‪ِ،‬لهِالملكِولهِِاْلِمدِيِي ِ‬
‫قدي ر‪ِ .‬‬
‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِونبيّناِوحبيبناِوشفيعناِوذخرنِومولنِ‬
‫مم ٍ‬
‫د‪ِ .‬‬
‫‪ِJama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليهِ‪ِ .‬‬


‫‪116‬‬

‫‪Kemudian shalat tarawih dua raka`at (raka`at ke-3 dan 4).‬‬


‫‪Setelah salam, Bilal bersama jama`ah membaca:‬‬

‫سبحانِ الملكِ المعب ود‪ ِ،‬سبحانِ الملكِ الموجود‪ ِ،‬سبحانِ‬


‫حِ‬
‫المِلِكِ ِاْلِ ّيِالذيِلِي نامِولِيوتِولِي فوت ِأِبدا‪ِ.‬سب و ِ‬
‫ِّلِلِولِ‬
‫قدوسِرب ناِوربِالملئكةِوالروح‪ِ.‬سبحانِهللاِواْلمد ّ‬
‫إلِهِإلِهللاِوهللاِأكبِولِحولِولِق وةِإلِبهللِِال ِعل ّيِالعظيمِ‪.‬‬
‫ِ‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلِىِسيّدنِمِم ٍد‪ِ ِ.‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪ِ .‬‬


‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِومولنِمم ٍد‪ِ .‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫الِلّ ِهمِِصِ ِّلِوسلّمِوبركِعليه‪ِ ِ.‬‬


‫‪Bilal membaca:‬‬

‫الِلّ ِهم ِص ّلِعلى ِسيّدنِونبيّناِوحبيبناِوشفيعناِوذخرنِومولنِ‬


‫مم ٍد‪.‬‬
‫‪Jama`ah membaca:‬‬
‫‪117‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪.‬‬
‫‪Dilanjutkan dengan pembacaan doa dipimpin oleh Imam/Bilal:‬‬

‫اللّهمِإنِنسِِألكِرضاكِوالنةِون عوذِبكِمنِسخِطكِوالنار‪ِ.‬‬
‫اِوعنِ‬
‫اللّهمِإنكِعفوِكري‪ِ،‬تبِالعفوِفاعفِعناِ ِوعنِوالِدي ن ِ‬
‫جيعِالمسلمْيِ ِوالمِسلماتِ ِوالمؤمنِْيِوالمؤمناتِبرحتكِ ِيِ‬
‫أرحمِالراحْي‪ِ ِِِ.‬‬
‫‪Selesai doa, Bilal membaca:‬‬

‫البدرِالمنيِسيّدنِمم ِد‪ِ,‬صلواِعليهِِ‪ِ .‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليهِ‪ِ ِ.‬‬


‫‪Kemudian shalat tarawih dua raka`at (raka`at ke-5 dan 6).‬‬
‫‪Sesudah mengucapkan salam, Bilal bersama jama`ah membaca:‬‬

‫فضلِ منِ هللاِ ونعمةِ ومغفرةِ ورحة‪ ِ،‬لِ إلِهِ إلِ هللاِ وحدهِ لِ‬
‫شريكِله‪ِ،‬لهِالملكِولهِاْلم ِدِيِيِوييتِوِه ِوِعلىِك ّلِشي ٍئِ‬
‫قدي ر‪ِ .‬‬
‫‪Bilal membaca:‬‬
‫‪118‬‬

‫اللّهم ِصِ ّلِعلى ِسِيّدنِونبيّناِوحبيبناِوشفيعناِوذخرنِومولنِ‬


‫مم ٍ‬
‫د‪ِ .‬‬
‫‪ِJama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪.‬‬
‫‪Kemudian shalat tarawih dua raka`at (raka`at ke-7 dan 8).‬‬
‫‪Setelah salam, Bilal bersama jama`ah membaca:‬‬

‫سبحانِ الملكِ المعب ود‪ ِ،‬سبحانِ الملكِ الموجود‪ ِ،‬سبحانِ‬


‫الملكِاْل ّيِالذيِلِي نامِولِيوتِولِي فوتِأبدا‪ِ .‬سب وحِ‬
‫ِّلِلِولِ‬
‫ِواْلمد ِّ‬‫س ِِربِناِوربِالملئكةِوالروح‪ِ.‬سبحانِهللا ِ‬ ‫قدو ِ‬
‫إلِهِإلِهللاِوهللاِأكبِولِحولِولِق وةِإلِبهللِالعل ّيِالعظيمِ‪.‬‬
‫ِ‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسِيّدنِمم ٍد‪ِ ِ.‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪ِ .‬‬


‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِومولنِمم ٍد‪ِ .‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬
‫‪119‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪ِ ِ.‬‬


‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِصِ ّلِعلىِسِيّدنِ ِ ِونبِيّناِوحبيبناِوشفِيعناِوذخرنِومولِنِِ‬


‫مم ٍد‪.‬‬
‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪.‬‬
‫‪Dilanjutkan dengan pembacaan doa dipimpin oleh Imam/Bilal:‬‬

‫اللّهمِإنِنسألك ِِرضاكِوالنةِونِعِوذِبكِمنِسخِطكِوالنار‪ِ.‬‬
‫اللّهمِإنكِعِ ِفوِكري‪ِ ،‬تبِالعفوِفاعفِعنا ِوِعنِوِالدي ناِوِ‬
‫عنِجيعِالمسلمْيِوالمسلماتِوالمؤمنْيِوالمؤمناتِبرحتكِ‬
‫يِأرحمِالراحْيِ‪ِ ِِِ.‬‬
‫‪Selesai doa, Bilal membaca:‬‬

‫اللي فةِالولِأِمِيِالمؤمِنْيِسيّدنِأبوِبك ٍر ّ‬
‫ِالص ّديق‪ِ .‬‬
‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫رضيِهللاِعنهِ‪ِ .‬‬
‫‪120‬‬

‫‪Kemudian shalat tarawih dua raka`at (raka`at ke-9 dan 10).‬‬


‫‪Sesudah mengucapkan salam, Bilal bersama jama`ah membaca:‬‬

‫فضلِ منِ هللاِ ونعمةِ ومغفِِرةِ ورحة‪ِِ،‬لِ إلِهِ إلِ هللاِ وحدهِ لِ‬
‫شريكِله‪ِ،‬لهِالملكِولهِاْلمدِيِيِوييتِوهوِعلىِك ّلِشي ٍئِ‬
‫قدي ر‪ِ .‬‬
‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اِلِلّهمِص ّلِعلِىِسِِيّدنِونبِيّناِوحبيبناِوشفيعناِوذخرنِ ِومولنِ‬


‫مم ٍ‬
‫د‪ِ .‬‬
‫‪ِJama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪.‬‬
‫‪Kemudian shalat tarawih dua raka`at (raka`at ke-11 dan 12).‬‬
‫‪Setelah salam, Bilal bersama jama`ah membaca:‬‬

‫سبحانِ الملكِ المعب ود‪ ِ،‬سبحانِ الملكِ الِموجود‪ ِ،‬سِبحانِ‬


‫الملكِاْل ّيِالذيِلِي نامِولِيوتِولِي فوتِأبدا‪ِ.‬سب وحِ‬
‫ِّلِلِولِ‬
‫قدوسِرب ناِوربِالملئكةِوالروح‪ِ.‬سبحِانِهللاِواْلم ِد ِّ‬
‫إلِهِإلِهللاِوهللاِأكبِولِح ِولِِولِق وةِِإلِبهللِالعل ّيِالعظيمِ‪.‬‬
‫ِ‪Bilal membaca:‬‬
‫‪121‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِمم ٍد‪ِ ِ.‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِِعليه‪ِ .‬‬


‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِومولنِممِ ٍِد‪ِ .‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪ِ ِ.‬‬


‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِونبيّناِوحبيبناِوشفيعناِوذخرنِِومولنِ‬
‫ممِ ٍِد‪.‬‬
‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعِلِيه‪.‬‬
‫‪Dilanjutkan dengan pembacaan doa dipimpin oleh Imam/Bilal:‬‬

‫اللّهمِإنِنسألكِرضاكِوالنةِون عوذِبكِمنِسخِطكِوالنار‪ِ.‬‬
‫اِوعِنِ‬
‫اِوعنِوالِدي ن ِ‬
‫اللّهمِِإنكِعفوِكِريِ‪ِ،‬تبِالعفوِفاعفِعن ِ‬
‫‪122‬‬

‫جيع ِالمسلمْيِوالمسلماتِوالمؤمنْيِوالمؤمناتِبرحتكِيِ‬
‫أرحمِالراحْي‪ِ ِِ.‬‬
‫‪Selesai doa, Bilal membaca:‬‬

‫اللي فةِالثِانِأميِال ِمؤمِِنْيِسيّدنِعمرِبنِالِطاب‪ِ .‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫رضيِهللاِعنه‪ِ ِ.‬‬
‫‪Kemudian shalat tarawih dua raka`at (raka`at ke-13 dan 14).‬‬
‫‪Sesudah mengucapkan salam, Bilal bersama jama`ah membaca:‬‬

‫فضلِ منِ هللاِ ونعمةِ ِومغفرةِ ورحِة‪ِِ،‬لِِ إلِهِ إلِ هللاِ وحدهِ لِ‬
‫شريكِله‪ِ،‬لهِالِ ِملكِولِهِاْلمدِيِيِوييتِوهوِعلىِك ّلِشي ٍئِ‬
‫قدي ر‪ِ .‬‬
‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اِوذخرنِومولنِِ‬
‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِونبيّناِوحبيبناِوشفيعن ِ‬
‫مِم ٍ‬
‫د‪ِ .‬‬
‫‪ِJama`ah membaca:‬‬

‫ِوبِركِعليِه‪.‬‬
‫اللّهمِص ّلِوسلّم ِ‬
‫‪123‬‬

‫‪Kemudian shalat tarawih dua raka`at (raka`at ke-15 dan 16).‬‬


‫‪Setelah salam, Bilal bersama jama`ah membaca:‬‬

‫سبحانِ الملكِ المعب ود‪ ِ،‬سبحانِ الِملكِ الموجودِ‪ ِ،‬سِبِحانِ‬


‫الملكِاْل ّيِالذيِلِي نامِولِي ِوتِ ِولِي ف ِوتِأبدا‪ِ.‬سب وحِ‬
‫ِّلِلِولِ‬
‫قدوسِرب ناِوربِالملئكةِوالروح‪ِ.‬سبحانِهللاِواْلمد ّ‬
‫إلِهِإلِهللاِوهللاِأكب ِِولِحولِولِق ِوةِِإِلِبهللِالعل ّيِالعظيمِ‪.‬‬
‫ِ‪Bilal membaca:‬‬

‫الِلّهمِص ِّلِعلىِسيّدنِمم ٍد‪ِ ِ.‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪ِ .‬‬


‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِومولنِِمم ٍد‪ِ .‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪ِ ِ.‬‬


‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اِللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِونبيّناِوحبيبناِوشفيعناِوذخرنِومولنِ‬
‫مم ٍد‪.‬‬
‫‪Jama`ah membaca:‬‬
‫‪124‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبِركِعليه‪.‬‬
‫‪Dilanjutkan dengan pembacaan doa dipimpin oleh Imam/Bilal:‬‬

‫الِلّ ِهمِِإنِنسألكِرضاكِوالنةِون عوذِبكِمنِسخِطكِوالنار‪ِ.‬‬


‫اِوعنِ‬
‫اللّهمِإنكِعفوِكري‪ِ،‬تبِالعفوِفاعفِعناِ ِوعنِوالِ ِديِن ِ‬
‫حتكِيِ‬ ‫جيعِِالمِسل ِمْيِوالمسلماتِوالمؤمنْيِوالمؤمِنِاتِبر ِ‬
‫أرحمِالراحْي‪ِ ِِِ.‬‬
‫‪Selesai doa, Bilal membaca:‬‬

‫اللي فةِالثالثِأميِالمؤمنْيِسيّدنِعثمانِبنِعفان‪ِ ِ.‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫رضيِهللاِِعِنهِ‪ِ.‬‬
‫‪Kemudian shalat tarawih dua raka`at (raka`at ke-17 dan 18).‬‬
‫‪Sesudah mengucapkan salam, Bilal bersama jama`ah membaca:‬‬

‫فضلِ منِ هللاِ ونعمةِ ومغفرةِ ورحة‪ ِ،‬لِ إلِهِ إلِ هللاِ وحدهِ لِ‬
‫ِولِهِِاْلمدِيِيِوييتِوهوِعلىِك ّلِشي ٍئِ‬ ‫شريكِلهِ‪ِ،‬لهِالملك ِ‬
‫قِدِيِر‪ِ .‬‬
‫‪Bilal membaca:‬‬
‫‪125‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِونبيّناِوحبيبناِوشفيعناِوذخرنِومولنِ‬
‫مم ٍ‬
‫د‪ِ .‬‬
‫‪ِJama`ah membaca:‬‬

‫ِوسلّمِوبركِعِليِهِ‪.‬‬
‫اللّهمِص ّل ِ‬
‫‪Kemudian shalat tarawih dua raka`at (raka`at ke-19 dan 20).‬‬
‫‪Setelah salam, Bilal bersama jama`ah membaca:‬‬

‫سبحانِ الملكِ المعب ود‪ ِ،‬سبحانِ الملكِ الموجود‪ ِ،‬سبحانِ‬


‫ِولِيوتِولِيِفِوتِِأبدا‪ِ.‬سب وحِ‬ ‫الملكِاْل ّيِالذيِلِي نام ِ‬
‫ِّلِلِولِ‬
‫الروح‪ِ.‬سبحانِهللاِواْلمد ّ‬ ‫قدوسِرب ناِوربِالملِئكِةِو ِ‬
‫إلِهِإلِهللاِوهللاِأكبِولِحولِولِق وةِإلِبهللِالعل ّيِالعظيمِ‪.‬‬
‫‪Bilal membaca:‬‬ ‫ِ‬
‫اللّهمِص ِّلِعلىِسيّدنِمم ٍد‪ِ ِ.‬‬
‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫ِوسِلّمِوبركِعليه‪ِ .‬‬
‫اللّهمِِص ّل ِ‬
‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِومولنِمم ٍد‪ِ .‬‬


‫‪126‬‬

‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعلِيه‪ِ ِ.‬‬


‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِونبيّناِوحبيبنِا ِوشفيعِناِوذخرنِومولنِ‬


‫مم ٍد‪.‬‬
‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‪.‬‬
‫‪Dilanjutkan dengan pembacaan doa sesudah selesai 20 raka`at‬‬
‫‪shalat tarawih dipimpin oleh Imam/Bilal sebagai berikut:‬‬

‫ِويكافِمزيدهِيِرب ناِ‬ ‫ب ِالعالِمْيِِحداِي وافِنعمه ِ‬


‫ِر ِّ‬
‫ّلِل ِ‬
‫اْلمدِ ِ ِّ‬
‫لكِاْلمدِكماِي ن بغىِلللِوجهكِالكريِوعظيمِسلطانك‪ِ.‬‬
‫الصلةِ والسلم ِعلِىِِأشرفِ النبياءِ والمرسلْيِ سيّدنِ مِ ِم ٍدِ‬ ‫و ِ‬
‫وعلِىِآلهِوصحبهِأجعْي‪ِ .‬‬
‫الِلّهمِ اجعلناِ بليانِ كاملْيِ‪ِ ِ،‬ولفرائضكِ مؤّدينِ‪ِ ِ،‬وعلىِ‬
‫ْيِ‪ِ،‬‬
‫الصلواتِ مافظْيِ‪ِِ،‬وللزكاةِِ فاعلْيِ‪ِِ،‬ولمِاِِعنِدكِ طالب ِ‬
‫ولعفوكِراجْيِ‪ِ ،‬وبلدىِمِتِم ّسكْيِ‪ِ ،‬وعنِاللغوِمعرضْيِ‪ِ ،‬وفِ‬
‫‪127‬‬

‫الدن ياِزاهدينِ‪ِ،‬وفِالخرةِراغبْيِ‪ِ،‬وبلقضاءِراضْيِ‪ِ،‬وبلن عماءِ‬


‫شاكرينِ‪ِ ،‬وعلىِالِبلءِصابِرين‪ِِ .‬وتِتِلواءِسيّدنِمِم ٍدِصلىِ‬
‫هللاِ عليهِ ِوسِلمِ سائِرين‪ ِ.‬وعلىِ اْلوضِ واردينِ‪ِِ،‬وفِ النةِ‬
‫داخلْيِ‪ِِ،‬ومنِ النارِ نجيْيِ‪ِِ،‬وعلىِ سري رةِ الكريةِ قاعِدينِِ‪ِ،‬‬
‫ْيِ‪ِ،‬‬ ‫ْي ِمت زّوجْيِ‪ِ ،‬ومِنِ ِسند ٍسِواستبٍقِودي ب ٍ‬
‫اجِمت لبّس ِ‬ ‫وِبوٍرِع ٍِ‬
‫َبِ وعس ٍلِ مصفْيِ شاربْيِ‬ ‫ومِنِِِطعامِِالنةِ آكلْيِ‪ِِ،‬ومنِ ل ٍ‬
‫ْيِمعِالذينِأن عمتِعليهمِمنِ‬ ‫ابِوأبريقِوكأ ٍسِمنِمع ٍ‬ ‫بكو ٍ‬
‫كِِرفي قا‪ِ.‬‬‫الص ِّديِقْيِ والشهداءِ والصاْلْيِ ِوحسنِ أولئ ِ‬
‫النبيّْيِ و ِّ‬
‫ذِلكِالفضلِمنِهللاِوكفىِبهللِعليما‪ِ .‬وصلىِهللاِعلىِخ ِيِ‬
‫ِوبركِوسلمِ‪ِ.‬‬ ‫بِال ّم ّيِوعلىِآلهِوصحبه ِ‬ ‫الن‬ ‫ِ‬ ‫خلقهِسيدنِمم ٍ‬
‫ِ‬
‫د‬
‫ّ‬ ‫ّ‬
‫بِالعزةِعماِيصفون‪ِ.‬وسلِ ِم ِعلىِالِمرسلْي‪ِ.‬‬ ‫سِبِحانِربّكِر ّ‬
‫بِالعالمْي‪.‬‬ ‫ّلِلِر ّ‬
‫ِواْلمدِ ِّ‬
‫‪Selesai doa, Bilal membaca:‬‬
‫اللي فةِالرابعِأميِالمؤمنْيِسيّدنِعليِبنِأبِِطال ٍ‬
‫ب‪ِ .‬‬
‫‪Jama`ah membaca:‬‬
‫‪128‬‬

‫ِوعنِك ّلِصحابةِرس ِولِِهللاِأِجعْي‪ِ .‬‬


‫كرمِهللاِوجهه ِ‬
‫‪Bilal membaca:‬‬

‫الصيامِ رحكمِ هللا‪ ِ.‬صلةِ الوت ِرِ‬


‫أوترواِ ومّدواِ وعظّمواِ شهرِ ّ‬
‫جامع ِةِأثبكمِهللا‪ِ .‬‬
‫‪Jama`ah membaca:‬‬

‫لِحولِولِق ِوةِِإلِبِهللِالعل ّيِالعظيمِ‪ِ .‬‬


‫‪Dilanjutkan shalat witir 3 raka`at dengan kaifiyat: setelah dua‬‬
‫‪raka`at mengucapkan salam. Kemudian langsung berdiri untuk‬‬
‫‪mendirikan witir satu raka`at lagi.‬‬
‫‪Setelah mengucapkan salam pada raka`at yang ketiga,‬‬
‫‪kemudian Bilal bersama Jama`ah membaca:‬‬

‫سبحانِ الملكِِالِقدوسِ‪ِِ،‬سبحانِ الملكِ القدوس‪ِِ،‬سبحانِ‬


‫الملكِ القدوس‪ ِ.‬سب وحِ قدوسِ رب ناِ وربِ الملئكةِ والروح‪ِ.‬‬
‫سبحانِهللاِواْلمد ِ ّّلِلِولِإلِه ِإلِِهللاِوهللاِأكبِولِحولِولِ‬
‫ق وةِإلِِبهللِِالعل ّيِالعظيم‪ِ .‬‬
‫‪Bilal membaca:‬‬

‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِمم ٍد‪.‬‬


‫‪Jama`ah membaca:‬‬
129

ِ .‫اللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‬
Bilal membaca:

ِ .‫اللّهمِصِ ِّلِعِلىِسِيّدنِومولنِمم ٍد‬


Jama`ah membaca:

ِ ِ.‫اِللّهمِِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‬
Bilal membaca:

ِ‫اللّهمِص ّلِعلىِسيّدنِونبيّناِوحبيبناِوشفيعناِوذخرنِومولن‬
.‫مم ٍِد‬
Jama`ah membaca:
ِ .ِ‫اِللّهمِص ّلِوسلّمِوبركِعليه‬
Dilanjutkan dengan bertahlil (membaca: ِ‫ ) لِالهِالِهللا‬sebanyak
100 kali dipimpin oleh imam.
Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa sesudah selesai
shalat witir dipimpin oleh Imam/Bilal sebagai berikut sebagai
berikut:ِِ

ِ‫بِ العالمْيِ والصِلةِ ِوالسلمِ علىِ أشرفِ النبياء‬


ّ ‫اِْلمدِ ّّلِلِ ر‬
.ِ‫والمرسلْيِسيّدنِمم ٍدِوعلىِآلهِوصحبهِأجعْي‬
‫‪130‬‬

‫اللّهمِإنِنسألكِايانِد ِائماِوق لباِخاشعِا ِوعلماِنفعاِويقي ناِصادقاِ‬


‫وعملِصاْلِِا ِمقب ولِ‪ِ.‬ونسألكِدي ناِقيّماِوخياِكثيا‪ِ.‬ونسألكِالعفوِ‬
‫والعافية‪ِ.‬ونسألكِالشكرِعلىِالعافيةِوالغناءِعنِالناسِ‪ِ .‬‬
‫اكِ والنةِ ون عوذِ بكِ منِ سخطكِِِوالنارِ‪ِ.‬‬ ‫اللّهمِ إنِِِنِسأِلكِ رض ِ‬
‫اللّهمِإنكِعفوِكريِتبِالعفوِفاعفِعناِوعنِوالدي ناِوعنِجيعِ‬
‫المسلمْيِ والمسلماتِ والمؤمنْيِ والمِؤمناتِ برحِتِكِ ِيِ أرحمِ‬
‫الراحِْي‪ِ .‬‬
‫اللّهمِإنِن عوذ ِبِرضاكِمِنِسخطكِوبعافتكِمنِعقوبتكِون عوذِ‬
‫بكِ منك‪ ِ.‬سبحانكِ لِ نصيِ ث ناءِ عليكِ أنتِكماِ أث ن يتِ علىِ‬
‫ن فسك‪ِ.‬‬
‫اللّهمِ ِاجعلِفِِق لِوبِنا ِن وراِوفِبصرِنِن وراِوفِمسعناِن ورا ِ ِوعنِيِينناِ‬
‫ن وراِوعنِيسارنِن وراِوف وق ناِن وراِوتت ناِن وراِوأمامناِن وراِوخلفناِن وراِ‬
‫واجعلِلناِي ومِلقائكِن ورا ِوفِعصبناِنِوِرا ِوفِْلمناِن وراِوفِشعرنِ‬
‫سانناِن ِوراِواجعلِفِأن فسناِن وراِواعظمِلناِن وراِواجزلِلناِ‬‫ن وراِوفِل ِ‬
‫واعطناِن وراِ‪.‬‬
‫‪Setelah selesai berdoa, Imam memimpin jama`ah berniat untuk‬‬
‫‪berpuasa esok hari dengan lafadz niat:‬‬
‫‪131‬‬

‫ن ويتِ صومِ غ ٍدِ عنِ أداءِ ف رضِِشهِرِ رمضانِ هذهِ السنةِِهللِ‬


‫تِعالِ ِ‬
‫‪Atau dengan lafadz‬‬

‫الِ ِ‬ ‫ن ويتِصومِغ ٍدِعنِأداءِف رضِرمض ِ‬


‫انِهذهِالسنِةِّلِلِِتِع ِ‬
‫‪Artinya:‬‬
‫‪Saya berniat puasa esok hari menunaikan puasa fardhu Ramadhan‬‬
‫‪tahun ini karena Allah SWT.‬‬

‫‪DOA KAMILIN‬‬
‫‪DIBACA SESUDAH SHALAT TARAWIH‬‬
‫بِ العالمْيِِحداِ ي وافِ نعمهِ ويكافِ مزيدِهِ يِِِربِناِِلكِ‬‫اِْلِمدِ ّّلِلِ ِر ِّ‬
‫اْلِمدِكماِ ي ن بغىِ لللِ وجهكِ الكريِ وعظيمِ سلطانك‪ ِ.‬والصلةِ‬
‫والسلمِعلىِأشرفِالنبياءِوالمرسلْيِِسيّدنِمِمِ ٍدِوعلىِآلهِوصحبهِ‬
‫أجعْي‪ِ .‬‬
‫الِلّهمِ اجعِلناِ بِليِانِِكاملْيِ‪ ِ،‬ولفرائضكِ مؤّدين‪ ِ،‬وعلىِ الصلواتِ‬
‫مافظْي‪ ِ،‬وللزكِاةِ فاعلْي‪ ِ،‬ولماِ عندكِ طالبْي‪ ِ،‬ولعفوكِ راجْيِ‪ِ،‬‬
‫فِ‬
‫سكْي‪ ِ،‬وعنِ اللغوِ معرضْي‪ ِ،‬وفِ الدن ياِ ِزاهديِن‪ِ ِ،‬و ِ‬ ‫وبلدىِ مِتمِ ِّ‬
‫الِخرةِِ راغبْي‪ ِ،‬وبلقضاءِ راضْي‪ ِ،‬وبلن عماءِ شاكرين‪ ِ،‬وعلىِ البلءِ‬
132

ِ‫ِوعلى‬.‫ِوسِلمِِسائرين‬ ِ ‫ِوتتِلواءِسيّدنِمم ٍدِصلى ِهللاِعليه‬.‫صابرين‬


ِ‫ِ وعلىِ سري رة‬،‫ِِومنِِ النِارِ نجيْي‬،ِ‫ِ وفِ النِةِ داخلْي‬،‫اْلوضِ واردين‬
ٍ ‫ِومنِسند ٍسِواستب ٍقِودي ب‬،‫ْيِمت زّوجْي‬
ِ‫اج‬ ٍ ‫ِع‬
ِ ‫ِوِبوٍر‬،‫الكريةِقاععدين‬
ِِ‫َبِوعس ٍلِمصفِْيِشِاربْي‬ ٍ ‫ِومِنِل‬،‫ِومِنِ ِطِعامِالنةِآكلْي‬،‫مِت لبّسْي‬
ِ‫ْيِمعِالذينِأن عمتِعليهمِمنِِالنبيّْي‬ ٍ ‫ابِوأبريقِوكأ ٍسِمنِمع‬ ٍِ ‫بكِو‬
ِ‫ِ ذلكِ الفضل‬.‫كِ ِرفِي قا‬ِ ‫الص ّديقْيِ والشهداءِ والصاْلْيِِِوحسنِ أولئ‬
ّ ‫و‬
ِ‫ب‬ ٍ
ّ ‫ِوصِِلىِهللاِِعِلىِخِيِخلقهِسيّدنِممدِالن‬.‫منِهللاِوكفىِبهللِعليمِا‬
ِ‫بِالعزةِعما‬ ّ ‫ِسبحانِربّكِر‬.‫ال ّم ّيِوعلىِآلهِوصحبِهِوبركِوسلم‬
ِ ِ.ِ‫ِّلِلِر ّبِالعالمْي‬
ّ ‫ِواْلمد‬.‫ِوسلِمِعِلىِالمرسلْي‬.‫يِصفون‬
Artinya:
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, sebagai pujian atas
Tuhan yang mencukupkan nikmat-nikmat-Nya, dan
menyempurnakan pemberian-Nya. Semoga shalawat, berkah dan
salam dari Allah senantiasa tercurah untuk Nabi dan Rasul yang
paling mulia, junjungan kami Muhammad s.a.w., dan juga untuk
seluruh keluarga dan sahabat-nya.
Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang memiliki iman
yang sempurna, dan dapat menunaikan segala kewajiban yang
fardhu, menjaga shalat, menunaikan zakat, mencari segala
kebaikan di sisi-Mu, mengharapkan ampunan-Mu, senantiasa
133

berpegang teguh dengan petunjuk-Mu (al-Quran),


menghindarkan diri dari segala yang melalaikan, di dunia hidup
sebagai orang zahid, suka dan bersungguh-sungguh terhadap
akhirat, ridha terhadap segala qadha (ketetapan)-Mu, mensyukuri
segala nikmat-Mu, bersabar menerima segala cobaan, dan (nanti
di padang mahsyar) berjalan di bawah panji junjungan kami
Muhammad s.a.w., dan meminum air telaga (Nabi Muhammad
s.a.w.) yang sejuk, dan masuk kedalam surga, dan terhindar dari
siksa api neraka, dan duduk di atas dipan-dipan yang mulia
didampingi bidadari-bidadari surga yang menjadi pasangan kami,
dan memakai baju-baju kebesaran dari sutera yang berwarna-
warni, menikmati santapan surga yang amat lezat, minum susu dan
madu yang suci bersih dalam gelas-gelas dan kendi-kendi yang tak
kering-kering, bersama-sama dengan orang-orang yang telah
Engkau curahkan nikmat bagi mereka dari golongan para nabi,
shiddiqin, syuhada dan orang-orang saleh, dan mereka adalah
sebaik-baik teman. Itulah karunia dari Allah s.w.t. dan cukuplah
Allah s.w.t. sebagai saksi.
Semoga kesejahteraan dan keselamatan dari Allah senantiasa
tercurah kepada makhluk terbaik junjungan kami Muhammad,
nabi yang ‘ummi, dan juga untuk seluruh keluarga dan
sahabatnya. Mahasuci Tuhanmu yang mempunyai keperkasaan
dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas
para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
‫‪134‬‬

‫‪DOA WITIR‬‬
‫‪DIBACA SESUDAH SHALAT WITIR‬‬

‫ْيِ ِوالصلةِ والسلمِ علىِ أشرفِ النبياءِ‬ ‫بِِالعالِم ِ‬‫اْلمدِ ّّلِلِ ر ّ‬


‫والمرسلْيِسيّدنِمم ٍدِوعلىِآلهِوصحبهِأجعْيِ‪.‬‬
‫اللّهمِإنِنسألكِايانِدائماِوق لباِخاشعاِوعلماِنِفعاِويقي ناِصِادقِاِ‬
‫وعِملِصاْلِاِمقب ول‪ِ.‬ونسألكِدي ناِقيّماِوخياِكثيا‪ِ.‬ونسألكِالعفوِ‬
‫والعافية‪ِ.‬ونسألكِالشكرِعلىِالعافيةِوالغناءِعنِالناسِ‪ِ .‬‬
‫كِوالنار‪ِ.‬اللّهمِ‬‫اللّهمِإنِ ِنسألكِرضاكِ ِوالنةِون عِوذ ِبكِمِنِسخط ِ‬
‫إنكِ عفوِكريِ تبِ العفوِ فاعفِ عناِ وعنِ والدي ناِ وعنِ جيعِ‬
‫المسلمْيِ والمسلماتِ والمؤمنْيِ والمِؤمناتِ برحِتكِ يِ أرحمِ‬
‫الراحْي‪ِ .‬‬
‫اللّهمِِإنِ ِن عوذِِبرضاكِمنِسخطكِوبعافتكِمنِعقوبتكِون عوذِبكِ‬
‫منك‪ِ.‬سبحانكِلِنصيِث ناءِعليكِأنتِكماِأث ن يتِعلىِن فسك‪ِ .‬‬
‫ِاللّهمِاجعلِفِق لِوبناِن وراِوفِِبصرنِن ورِا ِوفِ ِمسعِناِن وِراِوعنِيينناِ‬
‫ن وراِوعنِيسارنِن وراِوف وق ناِن وراِوتت ناِن وراِوأمامناِن وراِوخلفناِن وراِ‬
‫واجعلِلناِي ومِلقائكِن وراِوفِعصبناِنِوراِوفِْلمِناِن وراِوفِشِعرنِِ‬
135

ِ‫ن ِوراِوفِلِسانناِن وراِواجعلِفِأن فسناِن وراِواعظمِلناِن وراِواجزلِلنا‬


ِ .ِ‫واعطناِن ورا‬
ِ‫ِواْلم ِد‬.‫وصلىِهللاِعلىِسيّدنِمم ٍدِوعلىِآلهِوصحبهِوبركِوسِلم‬
ِ ِ.‫بِالعِالمِْي‬ ّ ‫ّّلِلِر‬
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan
salam dari Allah senantiasa tercurah untuk Nabi dan Rasul yang paling
mulia, junjungan kami Muhammad s.a.w., dan juga untuk seluruh
keluarga dan sahabat-nya.
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu iman yang
kekal, hati yang takut (kepada-Mu), ilmu yang bermanfaat, keyakinan
yang benar, amal saleh yang diterima. Dan kami memohon kepada-Mu
agama yang lurus, dan kebaikan yang banyak. Dan kami memohon
kepada-Mu kemaafan dan kesehatan. Dan kami memohon kapada-Mu
bersyukur atas segala nikmat dan kesehatan, dan tidak bergantung
kepada manusia.
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu ridha-Mu dan
surga, dan kami berlindung dengan-Mu dari amarah-Mu dan dari siksa
neraka. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia,
Engkau menyukai kemaafan, maka maafkanlah kami, dan kedua Ibu-
Bapak masing-masing kami, dan mafkanlah seluruh muslimin dan
muslimat, mukminin dan mukminat, dengan kasih sayang-Mu, wahai
Tuhan Yang Maha Pengasih.
136

Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung dengan ridho-Mu dari


kemarahan-Mu, dengan kemaafan-Mu dari siksa-Mu. Dan kami
berlindung dengan-Mu daripada-Mu. Mahasuci Engkau, kami tidak
dapat memperbanyak sanjungan atas-Mu sebagaimana Engkau
menyanjung atas diri-Mu.
Ya Allah, jadikanlah cahaya pada hati kami, cahaya pada
penglihatan kami, cahaya pada pendengaran kami, cahaya di
sebelah kanan kami, cahaya di sebelah kiri kami, cahaya di atas
kami, cahaya di bawah kami, cahaya di hadapan kami, cahaya di
belakang kami, dan jadikanlah cahaya bagi kami pada hari
pertemuan dengan-Mu, cahaya pada urat syaraf kami, cahaya pada
daging kami, cahaya pada rambut kami, cahaya pada lidah kami,
cahaya pada lidah kami, dan jadikanlah cahaya pada jiwa kami, dan
besarkanlah cahaya bagi kami, dan banyakkanlah cahaya untuk
kami, dan limpahkanlah cahaya kepada kami.
Semoga shalawat, berkah dan salam dari Allah senantiasa tercurah untuk
junjungan kami Muhammad s.a.w., dan juga untuk seluruh keluarga
dan sahabat-nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

BAB IV
QUNUT SUBUH DAN WITIR
A. Definisi Qunut
Imam al-Mawardi menulis dalam kitab: ِِِ‫ِ ِِاِْلِ ِاويِ الِكِبِيِِِشِِرح‬
ّ‫ن‬
ِ ‫ مِتِصِرِِالِمِِز‬sebagai berikut:
137

ِِ‫ِقِنِتِ ِفِلِن‬:ِ‫الشِّر ِيِقِال‬ ِ ‫ِاللغِةِ ِفِهِوِ ِالدِعِاءِ ِبِلِيِ ِِو‬ ِ ِ‫ت ِف‬ ِ ‫ِأِمِاِالِقِنِ ِو‬
ِ‫ت‬ ِ ِ‫عِِليِفِلِ ٍِن ِإِذِاِدِعِاِعِِليِهِ ِ ِوقِنِتِ ِلِهِ ِإِذِاِدِع‬
ِ ‫اِلهِ ِِبِ ٍِي ِلِ ِكنِ ِصِارِ ِالِقِنِ ِو‬
95.‫ص‬ٍِ ‫اءِمِصِ ِو‬ ٍِ ِ‫ستِعِمِلِِفِِدِع‬ ِ ِ‫بِلِعِِرفِِم‬
Artinya: Adapun makna qunut menurut bahasa adalah doa, baik
mendoakan untuk kebaikan maupun keburukan. Dikatakan: ِِ‫قِنِت‬
ِ‫( فِلِ ِن ِعِلِيِفِلِ ٍِن ِإِذِاِدِعِاِعِلِيِه‬Fulan berqunut atas si Fulan apabila ia
mendoakan keburukan atasnya), ِ‫ي‬ ٍ ِ‫( ِوقِنِتِ ِلِهِ ِإِذِاِدِعِاِلِهِ ِِب‬dan Fulan
berqunut bagi si Fulan apabila ia mendoakan kebaikan baginya).
Namun dalam istilah `uruf, lafadz qunut digunakan untuk maksud
doa yang ditentukan (yakni doa qunut yang sudah dikenal dan
diamalkan oleh umat).
B. Hukum Berqunut dan Kaifiat
Membaca doa qunut dalam shalat subuh dan witir adalah sunnah.
Hal ini dikemukakan oleh para ulama mazhab as-Syafi`i seperti
Imam Al-Mawardi:
ِِ‫ِالنّصِفِِالِخِيِِمِن‬
ِ ِ‫اِوفِِالِ ِوتِ ِرِف‬
ِ ِ‫ِوهِوِِعِنِدِ ِنِسِنِِةِفِِصِلِِةِالصِبِحِِأِبِد‬
96.ِ ِ
‫شِهِرِِِرمِضِان‬

95
Baca Al-Mawardi, ِ‫ِو‬
ِ ‫ِهِِوِه‬
ِ‫ِهللاِِعِن‬
ِ ِ‫ِي‬ ِ ‫ِيِِرِض‬
ِ ‫ِامِِالشِافِع‬
ِ ‫ِبِِالِم‬
ِ ‫ِهِِمِذِه‬
ِ‫اِْلِاوِيِالِكِبِيِِِفِِفِق‬
ّ
ِّ‫ن‬
ِ ‫ شِِرحِِمِِتصِ ِرِالِ ِمِز‬J.2, hlm.150-151.
138

Artinya:
“Dan menurut kami ulama mazhab as-Syafi`i, membaca doa
qunut adalah sunnah dalam shalat subuh selama-lamanya, dan
juga sunnah dalam shalat witir pada separuh kedua bulan
Ramadhan.”
Dan Musthafa al-Khin menulis dalam kitab ِ ‫اِلِفِقِهِ ِالِمِنِهِجِيِ ِعِلِى‬
ِ‫ مِ ِذهِبِِاِلِمِامِِالشِافِعِ ِّيِِرحِهِِهللاِِت عال‬sebagai berikut:
ِِ‫لةِِِالِفِجِرِِِِوف‬ ِ ِ‫فِ ص‬ ِ ِِِ‫تِِعِنِدِِِالِعِتِدِالِِِمِنِِِ ِالركِعِةِِِالثِ ِانيِة‬ ِ ‫ِِوالِقِنِ ِو‬
ِِ‫ِالنّصِفِ ِالثِانِِمِنِ ِِرمِضِانِ ِِوفِِاعِتِدِالِ ِ ِالركِعِة‬ ِ ِ‫آخِرِ ِركِعِ ٍِة ِمِنِ ِالِ ِوتِرِ ِف‬
ِ97.ِِ‫تِالنِ ِازلِة‬ ِ ّ‫لِةٍِبِ ِلن‬
ِ ‫سبِةِِلِقِنِ ِو‬ ِ ِ‫يِص‬
ِّ ِ‫الِخِ ِيةِِمِنِِأ‬
Artinya:
“,Dan termasuk sunnah ab`adh dalam shalat adalah qunut
ketika i`tidal rakaat kedua pada shalat subuh, dan pada akhir

96
Baca Imam Al-Mawardi, ِ‫ِي‬
ّ ‫ِِاِْلِاوِيِ الِكِبِيِِِفِِ فِقِهِِِمِذِهِبِِِالِمِامِِِالشِافِع‬, J.2,
hlm.150-151; lihat juga an-Nawawi dalam ‫ ِِمنهاجِ الطابْي‬hlm.32, al-Mahalli

dalam ِ ِِ‫البِْي‬ ِ ِ‫حِِمِنِهِاجِِِالط‬ ِ ‫ْيِِشِِر‬ ِ ِ‫ ِ ِكِنِ ِزِِا ِلراغِب‬J.1, hlm.230-231: ad-Dimyathi


dalamِ‫حِالِمِعِْي‬ ِ ِ‫اظِفِت‬
ِ ِ‫ْيِعِلِىِحِ ِّلِِألِف‬ ِ ِ‫ حِاشِيِِةِإِعِانِِةِالطِالِب‬J.1, hlm.380-381; ar-Romli
dalam ِ‫لِشِرحِ ِ ِالمِنِهِاج‬ ِ ِ‫اجِإ‬
ِ ِ‫حت‬ِ ِ‫ ِّنِ ِايةِِالِم‬J.1, hlm.315-316; al-Baijuri dalam ِِ‫ِحِاشِِية‬
ِ‫حِفِتِحِِالِقِِريِبِِالِمِجِِيب‬
ِ ‫يِعِلِىِشِِر‬ ِّ ‫ الشِيِخِِِإبِِراهِيِمِِالِبِِيجِِوِر‬J.1, hlm.311-314.
97
Baca al-Khin, ِ‫ِحِهِِهللا‬ ‫ِيِِر‬
ِّ ‫ اِلِفِقِهِِِالِمِنِهِجِيِِِعِلِىِمِذِهِبِِِاِلِمِامِِِالشِافِع‬, J.1, hlm.145-
147.
139

rakaat shalat witir pada separuh kedua bulan Ramadhan dan pada
i`tidal rakaat terakhir dari shalat apa saja untuk qunut nazilah.” ِ

Dalam fiqih as-Syafi`i, membaca doa qunut dilakukan pada


rakaat terakhir sesudah rukuk dalam posisi berdiri i`tidal sesudah
membaca tahmid i`tidal. Demikian tempat membacanya baik
pada qunut subuh maupun qunut witir dan qunut nazilah. Karena
demikian dilakukan oleh Rasulullah SAW, Abu Bakar dan
Umar.98
Orang yang shalat sendirian (munfarid) membaca qunut
dengan sirr (pelan) tidak boleh menjaharkan.99 Dalam shalat
berjamaah, imam menjaharkan bacaan doa qunut dan makmum
mengaminkan doa, namun makmum dan imam membaca as-
tsanaa dan istighfar dengan sirr. Jika makmum tidak dapat
mendengar bacaan qunut imam, maka ia membaca qunut dengan
sirr.100

98
Baca Imam al-Mawardi, ِ‫ِي‬
ّ ‫ ِِاِْلِاوِيِ الِكِبِيِِِفِِ فِقِهِِِمِذِهِبِِِالِمِامِِِالشِافِع‬J.2,
hlm.154; Imam al-Mahalli, ِ ِ‫ت ِالِقِِليِ ِوب‬
ِ ِ‫ْي ِفِِحِاشِي‬
ِ ِ‫اج ِالطِالِب‬
ِ ِ‫ح ِ ِمنِه‬
ِ ‫ْي ِشِر‬
ِ ِ‫الراغِب‬
ِ ِ ِ‫ِكِنِز‬
‫ ِوعِمِ ِية‬, J.1, hlm.232-233; al-Bukhari dalam Shahih-nya (hadits nomor 956)
dan Muslim dalam Shahih-nya (hadits nomor 677).
99
Bacaan sirr adalah bacaan yang dapat terdengar oleh si Pembaca namun tidak
terdengar oleh orang lain. Sedangkan bacaan jahar adalah yang dapat terdengar
oleh orang lain.
100
Imam al-Mahalli, ِ‫ِحِِِمِنِهِاجِِالطِالِبِْي‬
‫ِكِنِزِِالرِاغِبِْيِِشِر‬, J.1, hlm.230-233.
140

Disunnahkan mengangkat kedua tangan setinggi bahu dengan


menengadahkan kedua telapak tangan namun tidak disunnahkan
menyapu muka sesudah qunut.101
Ketika membaca do`a tolak bala dalam qunut,102 tangan tetap
ditadahkan ke arah langit bukan menjadikan belakangnya kearah
langit.103
Dalam qunut nazilah, imam membaca doa qunut secara jahar
baik dalam shalat jahar maupun shalat sirr.104
Qunut salah satu sunnah ab`adh dalam shalat, yaitu sunnah
yang apabila tertinggal atau terlupa maka disunnahkan melakukan
sujud sahwi,105 yaitu sujud dua kali sebelum mengucapkan salam

101
Imam al-Mahalli, ِِ‫ِحِِِمِنِهِاجِِالطِالِبِْي‬
‫ِكِنِزِِالرِاغِبِْيِِشِر‬, J.1, hlm.231.
102
Do`a tolak bala dalam qunut ialah: ‫ت‬
ِ ‫وِقنِبرحِتكِشِرِماِقضِي‬
103
Ketika membaca do`a tolak bala dalam qunut tidak disunnahkan
membalikkan telapak tangan, karena tidak dituntut melakukan gerakan dalam
shalat; akan tetapi hal itu disunnahkan pada do`a tolak bala dalam do`a lainnya.
104
Imam al-Mahalli, ِ‫ِحِِِمِنِهِاجِِالطِالِبِْي‬
‫ِكِنِزِِالرِاغِبِْيِِشِر‬, J.1, hlm.232-233.
105
Imam al-Mawardi menulis: ِ,ِ‫ِهِِسِجِوِدِِِالسِهِو‬ ِ‫ِامِِوِالِمِنِفِرِدِِِنِسِيِاِفِعِلِي‬
ِ ‫ِكِهِِِالِم‬
‫ِلِوِِِتِر‬
ِ.ٍ‫سِبِسِ ِاه‬
ِ ِ‫لسهِوِِلِِنِهِِلي‬
ِ ِ‫ِسجِ ِوِدِل‬
ِ ‫اِل‬
ِ ِ‫ِأِحِدِه‬:ِ‫ِسجِ ِوِدِالسِهِوِِِوجِهِان‬ ِ ‫ف‬ ِ ِ‫ان‬ ِ ِ‫ِولِ ِوِتِركِِهِعِامِدِاِك‬
ِ ِ‫ِبه‬
ِ ِ‫انِ ِالعِامِدِِِأِول‬
ِ ِ‫جِوِدِالسِهِوِ ِ ِلنِِهِلِمِاِلِِزمِِهِالسِاهِيِك‬
ِ ِ‫( ِوالثِانِِعِِليِِهِس‬Kalau imam dan
orang yang shalat sendirian meninggalkan qunut karena lupa, maka ia
semestinya sujud sahwi. Namun kalau meninggalkan qunut dengan sengaja,
maka tentang sujud sahwi ada dua pandangan: pertama, tidak ada sujud sahwi
sebab bukan karena lupa. Pandangan kedua, mesti sujud sahwi karena manakala
141

dan sesudah selesai tasyahud dan doa sesudah tasyahud dengan


membaca tasbih tiga kali dalam sujud.106 Disunnahkan sujud
sahwi apabila tertinggal qunut subuh, baik seluruhnya maupun
sebagian atau tertinggal shalawat pada qunut. Namun kalau yang
tertinggal qunut nazilah tidak disunnahkan sujud sahwi.
Imam Malik Bin Anas juga berpendapat disunnahkan
membaca doa qunut dalam shalat subuh dan witir. Namun
tempat membacanya adalah pada rakaat terakhir dalam posisi
berdiri sebelum rukuk sesudah membaca surah/ ayat.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad
Bin Hanbal membaca doa qunut disunnahkan hanya dalam shalat
witir baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.
Menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, pada bulan
Ramadhan disunnahkan membaca doa qunut pada shalat witir
mulai malam ke-1 sampai malam terakhir Ramadhan. Berbeda
dengan pendapat Imam as-Syafi`i yang mengatakan bahwa qunut
witir dimulai pada malam ke-16 sampai malam terakhir
Ramadhan.

orang yang lupa mesti sujud sahwi, maka orang yang sengaja meninggalkannya
lebih utama melakukan sujud sahwi). Baca al-Mawardi, ِ ‫ِفقِِه‬
ِ ِ‫ِِاِْلِ ِاويِالِ ِكبِيِ ِف‬
ِ‫ مِذِهِبِِالِمِامِِالشِافِعِ ّي‬J.2, hlm.154.
106
Dalam sujud sahwi membaca tasbih tiga kali: ‫ِِسبحانِمنِلِ ي نامِ ولِ يِسه ِو‬
(Mahasuci Allah SWT yang tidak tidur dan tidak lupa).
142

C. Dasar Hukum Qunut


Banyak sekali dalil tentang disunnahkan membaca qunut, di
antaranya:
1. Surah al-Baqarah (2) ayat 238:

ِ .‫اِّلِلِقِنتْي‬
ّ ‫حِفظواِعلىِالصلواتِوالصلِوةِالوسطىِِوق ومو‬
“Peliharalah semua shalat dan shalat wustho, dan
berdirilah kamu dalam keadaan qunut.”
Imam as-Syafi`i r.a. dalam qawl jadid mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan shalat wustho adalah shalat subuh.
Karena ayat ِ‫اِّلِلِقِنتْي‬
ّ ‫ وق ومو‬maknanya menunjukkan berdiri
dalam keadaan qunut, dan qunut dilakukan dalam shalat
subuh. Dan jamaah dari ulama mazhab Syafii menetapkan
bahwa yang dimaksud dengan shalat wustho adalah subuh.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-`Asqallani dalam kitabnya: ِ ِ‫فِتِح‬
‫ الِبِ ِاريِبِشِِرحِِصِحِيِحِِالِبِخِ ِاري‬ketika mensyarah bab 42: ِ‫حِفظوا‬
ِ‫اِّلِلِقِنتْي‬
ّ ‫ علىِالصلواتِوالصلِوةِالوسطىِ ِوق ومو‬menulis bahwa
menurut kajian ad-Dimyathi terdapat tiga belas pendapat
tentang yang dimaksud dengan shalat wustho. Salah
satunya adalah shalat subuh atau zuhur, atau ashar atau
magrib atau seluruh shalat. Yang mengatakan bahwa
maksudnya ialah shalat subuh: Abu Umamah, Anas, Jabir,
Abu al-`Aliyah, `Ubaid bin `Umair, `Atha’, `Ikrimah,
Mujahid, dan selain mereka dikutip oleh Ibnu Abi Hatim
143

yang juga mengatakan shalat subuh yaitu salah satu dari


dua perkataan Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a. Malik dan
at-Tirmidzi mengutip dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas
bahkan Malik juga mengutip dari Ali bin Abu Thalib.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari jalur `Auf al-A`rabi, dari
Abu Raja’ al-`Athari, ia berkata: “Saya shalat subuh di
belakang Ibnu Abbas, maka ia qunut padanya dan
mengangkat kedua tangannya, kemudian ia berkata:
‘Inilah shalat wustho yang diperintahkan kita untuk
berdiri padanya dalam keadaan qunut (berdoa).” Dan
Ibnu Jarir juga meriwayatkan hadits ini dari wajah lain dari
Ibnu Abbas dan dari Ibnu Umar r.a., dan dari jalur Abu
al-`Aliyah: “Saya shalat subuh di belakang Abdullah bin
Qais r.a. di Bashrah pada zaman Umar, maka aku
tanyakan kepada mereka: ‘Apa yang dimaksud dengan
shalat wustho? Mereka berkata: ‘Inilah dia shalat wustho’.
Pendapat yang menyebutkan subuh sebagai shalat wustho
adalah merupakan pendapat Imam Malik dan Imam as-
Syafi`i sebagaimana ia nash-kan dalam ِِ‫الم‬, dan mereka
beralasan karena dalam shalat subuh ada qunut, juga
karena subuh tidak diqashar dalam safar, dan karena subuh
berada di antara dua shalat jahar dan dua shalat sirr.”107

107
Baca al-`Asqallani, ‫ ِف تحِالباريِبشرحِصِحيحِالبخِاري‬J.9, hlm.54-55.
144

Hal yang sama juga dikatan oleh al-Qasthallani: ِ ‫ِإِّنِا‬:ِ‫ِوقِيِل‬


ٍ ِ‫الصِبِحِِِرِواهِ ِمِالِكِ ِفِِمِ ِو ِطئِهِِبِلِغِاِعِنِِعِلِ ٍيِِِوابِنِِعِب‬
ِِ‫اسِِِوهِوِِمِذِهِب‬ ّ
ِ‫ِ وق ومواِ ّّلِلِ قِنتْي‬:ِ‫كِِِ ِونِصِِِعِلِيِهِِِالشِافِعِيِِِمِتِجِاِ بِقِ ِولِهِِِتِعِال‬ ٍ ِ‫مِال‬
ِ‫)ِ ِوالِقِنِ ِوتِِِعِنِ ِدهِِِفِِ صِلِةِِِالصِبِح‬238:‫( (البقرة‬Satu pendapat:
bahwa shalat wustho adalah subuh, pendapat ini
diriwayatkan oleh Malik dalam Muwattho’-nya berasal
dari Ali dan Ibnu Abbas r.a. Dan pendapat ini merupakan
mazhab Malik, dan Imam as-Syafi`i mengatakan shalat
wustho adalah subuh karena berdasarkan firman Allah
SWT: ِ‫وق ومواِ ّّلِلِ قِنتْي‬ , dan qunut bagi Imam as-Syafi`i
adalah dalam shalat subuh).108
2. Imam Al-Muzani menulis dalam kitab ِ‫ متصرِاملزن‬bahwa
Imam as-Syafi`i r.a. mengatakan:
ِِ‫ِ حِدِثِنِاِ اِبِِراهِيِمِِِقِالِِِحِدِثِنِاِ مِمِدِِِبِنِِِعِمٍِِروِِالِغِِزيِ قِال‬:ِ‫قِال‬
ِِ‫سِعِن‬ٍِ ِ‫الربِيِعِِبِنِِأِن‬ِ ِِ‫يِعِن‬ ِّ ‫حِدِثِنِاِأِبِوِنِعِيِ ٍِمِعِنِِأِبِِجِعِفِ ٍِرِالدِ ِار‬
ِِ‫اِزالِ ِالنِبِ ِصِِلىِهللاِ ِعِِليِهِ ِ ِوسِِلمِ ِيِقِنِت‬ ِ ِ‫ِم‬:ِ‫كِقِال‬ٍِ ِ‫س ِبِنِ ِمِال‬ ٍِ ِ‫أِن‬
ِِ‫اِرِويِ ِعِن‬ ِ ِ‫ت ِفِِالصِبِحِ ِب‬ ِ ‫احتِجِ ِفِِالِقِنِ ِو‬ِ ‫ِو‬.‫ا‬
ِ ِ‫حِّتِِفِ ِارقِ ِالدِنِي‬
ِ‫بِصِِلىِهللاِِعِِليِهِِ ِوسِِلمِِأِنِهِِقِنِتِِقِبِلِِقِتِلِِأِهِلِِبِئِرِِمِعِ ِونِ ٍِةِ ِث‬
ِّ ِ‫الن‬

108
Baca al-Qasthallani, ‫ِي‬
‫ إِرِشِادِِالسِارِيِلِشِرِحِِصِحِيِحِِالِبِخِار‬J.10, hlm.71-72.ِِِِِ
145

ِ‫ت ِفِِسِِواهِا‬
ِ ‫قِنِتِ ِبِعِدِ ِقِتِِلهِمِ ِفِِالصِلِةِ ِسِِواهِاِثِ ِتِِركِ ِالِقِنِ ِو‬
109.ِِ‫ِوقِنِتِِعِمِرِِ ِوعِِليِِبِعِدِِ ِالركِعِةِِالِخِِرة‬
Artinya:
“,Imam as-Syafi`i berkata: Ibrahim menyampaikan hadits
kepada kami, ia berkata: Muhammad bin `Amru al-
Ghuzzi menyampaikan hadits kepada kami, ia berkata:
Abu Nu`aim menyampaikan hadits kepada kami, daripada
Abu Ja`far ad-Dari, daripada ar-Rabi` bin Anas, daripada
Anas bin Malik, ia berkata: ِِ‫اِزالِِالنِبِِصِِلىِهللاِِعِِليِهِِِوسِِلم‬
ِ ِ‫م‬
‫يِقِنِتِِِحِّتِِ فِ ِارقِِِالدِنِيِا‬ (Nabi SAW senantiasa berqunut
hingga beliau wafat). Dan Imam as-Syafi`i berdalil tentang
qunut subuh dengan hadits yang diriwayatkan daripada
Nabi SAW bahwasanya Nabi SAW telah qunut subuh
sebelum pembunuhan ahli Bi’ru Ma`unah (70 sahabat al-
qurra’), kemudian sesudah mereka dibunuh maka Nabi
SAW qunut pada shalat-shalat selain subuh, kemudian
beliau meninggalkan qunut pada selain subuh, dan Umar
dan Ali qunut sesudah rukuk yang terakhir.”ِِ

109
Baca Mukhtashar al-Muzani dalam al-Mawardi, ِِ‫ِاِْلِاوِيِالِكِبِيِِفِِفِقِهِِِمِذِهِب‬

ِ‫ الِمِامِِالشِافِعِ ّي‬J.2, hlm.150.


146

3. Imam Ahmad dan ulama lainnya meriwayatkan daripada


Anas r.a. ia berkata: ِِ‫اِزالِِالنِبِِصِِلىِهللاِِعِِليِهِِِوسِلِمِِيِقِنِت‬
ِ ِ‫ِم‬
‫فِِ الصِبِحِِِحِّتِِ فِ ِارقِِِالدِنِيِا‬ (Rasulullah SAW senantiasa
qunut pada shalat subuh hingga beliau wafat). Hadits ini
dalil yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW
melakukan qunut subuh hingga beliau wafat.ِ
4. Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya [hadits nomor
956] dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya [hadits
nomor 677] meriwayatkan: ِ:ِ‫دِسِئِل‬
ِ ِ‫ِوق‬, ٍ ِ‫ِعِنِِأِن‬
ِ ِ‫سِِِرضِيِِهللاِِعِنِه‬
ِِ‫ِأِ ِوقِنِت‬:ِ‫ِفِقِيِلِِلِه‬,ِ‫ِنِعِم‬:ِ‫أِقِنِتِِالنِبِِصِلِىِهللاِِعِلِيِهِِ ِوسِلِمِِالصِبِحِ؟ِقِال‬
ِ ِ‫دِِ ِالركِِوعِِِيِسِ ِيا‬
ِ ِ‫بِع‬ ِ:ِ‫قِبِلِِِ ِالركِِوعِ؟ِ قِال‬ (Daripada Anas r.a.,
sesungguhnya ia ditanya: Apakah Nabi SAW melakukan
qunut subuh? Ia menjawab: Na`am/ Iya qunut. Maka
ditanya lagi: Apakah beliau qunut sebelum rukuk? Ia
menjawab: sesudah rukuk). Hadits ini menerangkan
bahwa Nabi SAW melakukan qunut subuh sesudah rukuk
yakni ketika i`tidal sesudah membaca tahmid pada i`tidal.
Hal yang sama juga disebutkan oleh al-Bukhari dalam
kitab Shahih-nya [hadits nomor 1002].
5. Imam Al-Muzani menulis dalam kitab Mukhtashar
bahwa Imam Syafii berkata: ِ ‫ِوإِذِا‬:
ِ ِ‫قِالِ ِالشِافِعِيِ ِِرضِيِ ِهللاِ ِعِنِه‬
ِِ‫ِمسِعِ ِهللاِ ِلِمِن‬:ِ‫ِرفِ ِع ِِرأِسِهِ ِمِنِ ِ ِالركِعِةِ ِالثِانِيِةِ ِمِنِ ِالصِبِحِ ِ ِوفِرغِ ِمِنِ ِقِ ِولِه‬
147

ِ‫ِاللّهمِاهدِنِفيمنِهديتِِو‬:ِ‫حِ ِدهِ ِِربِنِا ِلِكِ ِاْلِمِ ِد"ِقِالِ ِِوهِوِ ِقِائِم‬


ِ‫عافِنِفيمِنِعاف يتِوِت ولنِفيمنِت وليتِوِبركِلِفيماِأعطيتِو‬
ِ‫قنِشرِماِقضيتِإنكِت قضىِوِلِي قضىِعليكِوِإنهِِلِيذلِمن‬
ِِ ِ"ِ‫( واليتِ ت باركتِ رب ناِ وِ ت عاليت‬Apabila orang yang shalat
mengangkat kepala dalam rakaat kedua shalat subuh dan
telah selesai membaca ‫ مسِعِ ِهللاِ ِلِمِنِ ِحِ ِدهِ ِِربِنِاِلِكِ ِاْلِمِ ِد‬maka
ia membaca dalam keadaan berdiri i`tidal doa:ِ ‫ِاللّهمِاهدِن‬
ِ‫ فيمنِهديت‬sampai ِ‫)وِت عاليِت‬.
6. Hadits riwayat Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya
[nomor 1425] dan at-Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya
[hadits nomor 464] yang meriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW mengajarkan kepada Al-Hasan bin Ali r.a. kalimat-
kalimat yang dibaca dalam shalat witir.ِ ِMenurut at-
Tirmidzi, doa qunut witir yang diajarkan Nabi SAW
kepada al-Hasan ini adalah qunut yang terbaik. Hadits ini
dalil disunnahkannya qunut dalam shalat witir.
7. Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya [hadits nomor
1428) meriwayatkan hadits dari Ahmad Bin Hanbal yang
ٍِ ِ‫ِأِ ِنِأِبِِبِنِِِكِع‬
berasal daripada sebagian sahabat: ِِ‫بِأِمِهِمِِيِعِِن‬
ِ‫انِ ِيِقِنِتِِ ِفِِ النِّصِفِِ ِالِخِرِِ ِمِنِِ ِِرمِضِان‬
ِ ِ‫فِِ ِرمِضِانِِ ِوك‬
(Bahwasanya Ubay Bin Ka`ab mengimami mereka pada
bulan Ramadhan dan ia qunut pada separuh kedua dari
148

bulan Ramadhan). Hadits ini dalil bagi Imam Syafii dan


ulama mazhab Syafii bahwa qunut witir dalam bulan
Ramadhan dimulai dari malam ke-16 sampai malam
terakhir.
8. Dan Imam Al-Hakim meriwayatkan daripada Abu
Hurairoh r.a.: ِِ‫اِرفِعِِِرأِسِهِِمِن‬
ِ ِ‫انِإِذ‬
ِ ِ‫ِأِنِِالنِبِِصِلِىِهللاِِعِلِيِهِِِوسِلِمِِِك‬
ِ:ِ‫اِالدعِاء‬
ِ ‫ِالركِعِةِِالثِانِيِةِِِرفِعِِيِ ِديِهِِيِ ِدعِوِبِ ِذ‬
ِ ِ‫ِالركِِوعِِفِِصِلِةِِالصِبِحِ ِف‬
."...ِ ِِ‫( اللّهمِ اهدِنِِِفيمنِ هديت‬Bahwasanya Nabi SAW
apabila ia telah mengangkat kepalanya dari rukuk dalam
shalat subuh pada rakaat yang kedua, ia mengangkat kedua
tangannya berdoa dengan doa ini: ِ‫اللّهمِ اهدِنِ فيمن ِهديت‬
sampai akhir”. Hadits ini dalil disunnahkannya qunut
subuh dan disunnahkan mengangkat kedua tangan ketika
qunut.
9. Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya [nomor hadits
1300] meriwayatkan daripada Anas r.a. ia berkata: ِ ِ‫ِِقِنِت‬
ِِ‫ِ فِمِاِ ِرأِيِت‬,ِ‫ِرسِ ِولِِِهللاِِِصِلِىِ هللاِِِعِلِيِهِِِ ِوسِلِمِِِشِهِِراِ حِْيِِِقِتِلِِِالِقِِراء‬
ِ ِِ‫دِِمِنِه‬
ِ ِ‫ِرسِ ِولِِِهللاِِِصِلِىِ هللاِِِعِلِيِهِِِ ِوسِلِمِِِحِِز ِنِِحِِزنِِ قِطِِِأِش‬
(Rasulullah SAW qunut selama satu bulan ketika para
qurra’ [penghafal al-Quran] dibunuh di Bi’ri Ma`unah,
maka saya tidak melihat Rasulullah SAW bersedih lebih
kuat sedihnya dari itu). Hadits ini menceritakan qunut
149

nazilah yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW


selama satu bulan pada setiap shalat fardhu karena 70
sahabat dari kalangan penghafal al-Quran dibunuh di
Sumur Ma`unah.
10. Setelah menguraikan tentang hadits-hadits qunut subuh
dan qunut witir, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menulis: ِِ
ِِ‫الرِوايِةِ ِعِنِهِمِ ِأِصِح‬ ٍ
ِّ ‫ِوالِقِنِ ِوتِ ِفِِالِ ِوتِرِ ِمِفِ ِوظِ ِعِنِ ِعِمِرِ ِِوابِنِ ِمِسِعِ ِوِد ِِو‬
ِِ‫بِِصِلِىِ هللاِِِعِلِيِهِِِ ِوسِلِمِِِف‬ ِّ ِ‫الرِوايِةِِِعِنِِِالن‬
ِّ ‫ِ ِو‬.ِ‫مِنِِِالِقِنِ ِوتِِِفِِ الِفِجِر‬
(Qunut pada 110ِ‫ِِِالرِوِايِةِِِفِِِقِنِوِتِِِالِوِتِر‬ ّ ‫قِنِوِتِِِالِفِجِرِِِأِصِحِِِمِن‬
shalat witir dipelihara daripada Umar dan Ibnu Mas`ud
dan riwayat daripada mereka tentang qunut witir lebih
shahih daripada tentang qunut subuh. Dan riwayat
daripada Nabi SAW tentang qunut subuh lebih shahih
daripada riwayat tentang qunut witir). Ini menunjukkan
bahwa Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691–751H.) juga
melakukan qunut subuh dan witir karena meyakini bahwa
hadits-hadits tentang qunut pada shalat subuh dan witir
adalah hadits shahih.111

110
Baca Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qoyyim al-Jauziyah, ِ ِ‫ِزِاد‬
ِ‫يِِخِيِِِالِ ِعبِاد‬
ِ ِ‫فِ هِد‬
ِ ِِ‫اد‬
ِ ِ‫الِمِع‬ , Mesir, Maktabah al-Babiy al-Halaby,1950, J.1,
hlm.87.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah adalah seorang ulama sunni dan tergolong imam
111

mujtahid mutlaq, namun karena hasil ijtihadnya banyak sekali sama dengan
150

D. Lafadz Qunut
Cukup banyak hadits Nabi SAW yang menerangkan
tentang lafadz doa qunut sebagaimana dapat dibaca nanti pada
huraian di bawah. Para ulama menjadikan hadits-hadits dimaksud
saling melengkapi satu dengan lainnya.
Al-Hasan bin Ali r.a. berkata, “Saya diajari oleh Rasulullah
SAW kalimat yang aku baca pada qunut shalat witir, yaitu:

ِ‫ِ ِوت ولنِ فيمن‬.‫ِ ِوعافنِ فيمنِ عاف يت‬.‫اللّهمِ اهدِنِ فيمنِ هديت‬
ِ‫ِفإنِكِت قضِى‬112.‫ِوقنِشرِماِقضيت‬.ِ ‫ِوبركِلِفيماِأعطيت‬.ِ ‫ت ولِيت‬

pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal maka ia lebih dikenal sebagai ulama
pengikut Mazhab Hanbali, baca Riwayat Ringkat Ibnu Qoyyim al-Jauziyah
dalam kitabnya: ِ‫ِهدِيِ ِخِيِ ِالِ ِعبِاد‬
ِ‫ف‬ ِ ِ‫اد‬
ِ ِ‫ ِزادِ ِالِ ِمع‬terbitan Mesir, Maktabah al-Babiy
al-Halaby,1950. Berbedanya pendapatnya dengan Imam Ahmad bin Hanbal
tentang qunut subuh satu indikator bahwa Ibnu Qoyyim al-Jauziyah tidak
dapat dikatakan murni sebagai pengikut mazhab Hanbali sebagaimana
didengungkan oleh golongan tertentu. Karena ia melakukan qunut subuh
sedangkan Imam Ahmad tidak melakukannya.
112
Dalam kitab para ulama as-Syafi`iyah, bunyi doa qunut ini adalah sebagai
berikut: ِ ِ‫ ِوقن ِبِِرحِتِكِ ِشِرماِقضيت‬Yang artinya: Dan peliharalah aku dengan
kasih-sayang-Mu ya Allah dari segala keburukan yang telah Engkau tentukan
dalam qadho-Mu. Dan dalam bentuk lafadz inilah yang diamalkan dalam fiqih
Syafi`i.
151

ِ.‫ِ ِولِ يعزِ منِ عاديت‬.‫ِ ِوإنهِ لِ يذلِ منِ واليت‬.‫ِولِ ي قِضىِ عِِليِك‬
ِ‫ِ أِست غفرك‬.‫ِِف لكِ اْلمدِ علىِ ماِ قضيت‬113.ِ‫ت باركتِ رب ناِ ِوت عاليت‬
.ِ‫ِوبِركِِسِلم‬
ِ ‫ِوصحِبه‬ ِ ‫ِوصلىِهللاِعلىِمم ٍد‬.
ِ ِ‫ِوعلىِآله‬ ِ ‫ِوأت وبِإليك‬
Artinya:
Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang-orang yang
telah Engkau beri petunjuk. Berilah aku kesehatan sebagaimana
orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan. Pimpinlah aku
bersama orang-orang yang Engkau pimpin. Beri keberkahan pada
apa saja yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Peliharalah
aku dari kejahatan apa-apa saja yang telah Engkau tentukan.
Sesungguhnya Engkau yang menentukan, dan tidak ada siapapun
yang dapat merubah ketentuan-Mu. Sesungguhnya tidak akan
hina orang yang telah Engkau beri kekuasaan. Dan tidak akan
mulia orang yang telah Engkau musuhi. Engkau Mahapemberi
berkah dan Mahatinggi. Hanya untuk-Mu pujian atas apa-apa
yang telah Engkau tentukan. Aku mohon ampun pada-Mu dan
aku bertaubat pada-Mu. Semoga rahmat Allah, ampunan,
keselamatan dan keberkahan dari-Nya selalu tercurah untuk
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

113
Hadits shahih riwayat Abu Dawud, Sunan Abiy Daawuud, [nomor 1425];
at-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidziy, [nomor 464]; an-Nasai, Sunan al-Nasaa’iy,
[nomor 1744]; Ibnu Majah, Sunan Ibn Maajah, [nomor 1178]; dan Imam as-
Syafii dalam al-Umm dan Mukhtashar al-Muzani.
152

Qunut dalam Shalat Berjamaah


Dalam shalat berjama`ah, imam menjaharkan bacaan do`a qunut
dan mengguna kalimat bentuk jamak.
Lafaz do`a qunut dalam bentuk jamak ialah:

ِ‫ِ ِوت ولناِ فيمن‬.‫ِ ِوعافناِ فيمنِ عاف يت‬.‫اللّهمِ اهدنِ فيمنِ هديت‬
.‫ِوقناِشرِماِقضيت‬.ِ ‫ِوبركِلناِفيماِأِعطيت‬.
ِ ‫ت وليت‬

Makmum mengaminkan setiap do`a qunut yang dibaca imam


dengan membaca kalimat: ِ‫ ِآمِْي‬secara jahar.
Apabila makmum tidak dapat mendengar lafadz qunut yang
dibacakan oleh imam, maka disunnahkan baginya membaca doa
qunut secara sirr. Imam dan makmum membaca ats-tsanaa’
(pujian), istighfar, dan shalawat dengan sirr (pelan).114

Qunut Nazilah
Qunut nazilah ialah qunut yang dianjurkan karena terjadi bencana
seperti virus wabah yang membahayakan kaum muslimin atau

Yang dimaksud dengan kalimat ats-tsanaa’ (pujian), istighfar, dan shalawat 114

ِ.‫ِولِيعزِمنِعاديت‬.
ِ ‫ِوإنهِلِِيذلِمنِِوالِيت‬.
ِ ‫ِ فإنكِتِقضىِوِلِي قضىِعليك‬adalah:
ِ‫ِوصلىِهللا‬.
ِ ‫ِوأت وبِإليك‬
ِ ‫ ِأست غفرك‬.ِ‫ِفِلكِاْل ِمدِعِلىِماِقضيِت‬.‫اِوت عاليِت‬
ِ ‫ت باركتِرب ن‬
.ِ‫ِوبركِسلم‬ِ ‫صحِبه‬
ِ ‫ِو‬ ِ ‫علىِمم ٍد‬
ِ ‫ِوعلىِآله‬
153

penganiayaan terhadap kaum muslimin, seperti pembantaian atas


kaum muslimin dalam suatu peperangan. Qunut nazilah dapat
dilakukan pada setiap shalat fardu, bukan hanya pada shalat subuh.
Pendapat ini disepakati oleh imam mazhab fiqih sunni yang
empat: Imam Abu Hanifah, Imam Malik Bin Anas, Imam
Muhammad Bin Idris as-Syafi`i dan Imam Ahmad Bin Hanbal.
Pembacaan qunut nazilah dalam shalat subuh dan shalat witir
semestinya didahului dengan pembacaan qunut subuh/ witir.
Do`a qunut nazilah dapat disesuaikan dengan situasi yang sedang
dihadapi kaum muslimin. Misalnya ketika adanya wabah virus atau
bencana alam yang menimpa secara beruntun maka doanya
disesuaikan dengan situasi.
Contoh lafadz qunut nazilah:
ِ‫ِ ِوت ولنِاِِفيِمن‬.‫ِ ِوعافنِاِِفِيمنِ عافِيت‬.‫اللّهمِ اهدنِِِفيمنِ هديت‬
ِ‫ىِول‬
ِ ‫ِفإنكِت قض‬.‫ِ ِوقنِاِشرِماِقِضيت‬.‫ِوبركِلِناِفيماِأعطيت‬. ِ ‫ت وليت‬
ِ‫ِت باركت‬.‫ِول ِيعِزِمنِعاديت‬. ِ ‫ِوإنهِلِيذلِمنِواليت‬. ِ ‫ي قضىِعليك‬
ِ.‫ِونِت وبِإليك‬ ِ ‫ِنِست غفرك‬.‫ِفِلكِاْلمدِعلىِماِقضيت‬.‫اِوت عاليت‬ ِ ‫رب ن‬

Ya Allah, berilah kami petunjuk sebagaimana orang-orang


yang telah Engkau beri petunjuk. Berilah kami kesehatan
sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri kesehatan.
Pimpinlah kami bersama orang-orang yang Engkau pimpin. Beri
keberkahan pada apa saja yang telah Engkau anugerahkan kepada
154

kami. Peliharalah kami dari kejahatan apa-apa saja yang telah


Engkau tentukan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan, dan
tidak ada siapapun yang dapat merubah ketentuan-Mu.
Sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau beri
kekuasaan. Dan tidak akan mulia orang yang telah Engkau
musuhi. Engkau Mahapemberi berkah dan Mahatinggi. Hanya
untuk-Mu pujian atas apa-apa yang telah Engkau tentukan. Kami
mohon ampun pada-Mu dan kami bertaubat pada-Mu.
ِ‫ِوالمسلماتِالحياء‬ ِ ‫ِوالمسلمْي‬
ِ ‫ِوالمؤمنِات‬ ِ ِ‫اللّهمِاغفرِللمؤمِنْي‬
ِ‫ِاللهمِأصلِحِِذاتِب ينهمِوِألّفِبْيِِق لوبمِوِاجعل‬.‫ِوالموات‬ ِ ‫من هم‬
ِ‫كِِوِِأوزعهمِِِأن‬ِ ‫فِِِق لوبمِ اليانِ ِواْلكمِةِِوِ ث بّت همِ علىِ ملةِ رسِ ِول‬
ِ,‫ِوِانصرهمِعلىِعد ّوكِوِعِدِ ّوهم‬,‫ي وف واِبعهدكِالذىِعاهدَتمِعليه‬
.ِ‫إلهِاْل ّقِوِاجعلناِمن هم‬
ِYa Allah, berilah ampunan bagi orang-orang mukmin, baik
lelaki maupun perempuan, baik yang masih hidup maupun yang
sudah wafat. Ya Allah, damaikanlah hubungan antara sesama
mereka, tanamkan kasih sayang dalam hati mereka, penuhilah hati
mereka dengan iman dan hikmah, tetapkanlah mereka dalam
agama rasul-Mu, berilah mereka taufik agar dapat memenuhi janji
yang telah Engkau ikat bersama mereka, tolonglah mereka
menghadapi musuh-musuh-Mu dan musuh-musuh mereka,
155

wahai Tuhan Yang Mahabenar, jadikanlah kami dari golongan


mereka.
ِ‫الِلّهمِ إنِ نستعي نكِِونست هديكِ ونست غفِركِ ونِؤمنِ بِكِ ون تِوكل‬
ِ‫ِ نشكركِ ولِ نكفركِِِوَنلعِ ونتكِ من‬.‫عليكِ ون ثِنِ عليكِ اليِكله‬
ِ.‫ي فجرك‬
Ya Allah, sesungguhnya kami mohon pertolongan kepada-
Mu, kami memohon petunjuk kepada-Mu, kami memohonkan
ampunan kepada-Mu, kami beriman kepada-Mu, kami berserah
diri kepada-Mu, kami menyanjung-Mu sumber segala kebaikan.
Kami bersyukur kepada-Mu dan kami tidak mengingkari-Mu,
kami menjauhkan dan meninggalkan orang yang berbuat durhaka
kepada-Mu.
ِ‫اللّهم ِإيكِنِعبد ِولكِنصِلّيِونسجدِوإليكِنسعىِونفدِ ِن رجو‬
.‫رحتكِوَنشىِعذابكِإنِعذابكِالدِبلكفارِملحق‬
Ya Allah, hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya
untuk-Mu kami shalat dan sujud dan hanya kepada-Mu kami
beribadah dan melayani, kami mengharapkan rahmat-Mu dan
takut akan siksa-Mu, sesungguhnya siksa-Mu yang keras hanya
kepada orang-orang kafir ditimpakan.ِِ
156

ِِ‫ِوالفت‬
ِ ‫الشدائد‬
ِ ‫اللّهمِادفعِعِناِالبلءِوالوبءِوالفحشاءِوالمنِكرِو‬
ِ‫والمحنِِ ماِ ظهرِ من هاِ وماِ بطنِ عنِ ب لدنِ إندونيسياِ خاصةِ ِوسائر‬
.ِ‫ب لدانِالدن ياِعامةِبرحتكِيِربِالعالمْي‬
Ya Allah, jauhkanlah dari kami bala, wabah virus, keburukan,
kemungkaran, kesukaran, fitnah dan malapetaka baik yang tampak
maupun tidak tampak dari negeri kami Indonesia kususnya dan
dari seluruh negeri di dunia secara umum dengan rahmat-Mu
wahai Tuhan semesta alam.
ِ.‫رب ناِ آتناِ فِ الدن ياِ حسنةِ وفِِِالخرةِ حسنةِ ِوقناِ عِذابِ النِار‬
ِ‫ِوصحبه‬ ِ ‫بِال ّم ّيِ ِوعلىِآله‬ ٍ
ّ ‫ِوصلىِهللاِعلىِخيِخلقهِسيّدنِِممدِالن‬
ِ‫بِ العِزةِ عماِ يصفونِ وسلمِ على‬ ّ ‫ِِسبحانِ ربّكِ ر‬.‫ِوبركِ ِوسلم‬
ِ ِ.ِ‫بِالعالمْي‬
ّ ‫ِّلِلِر‬
ِّ ‫ِواْلمد‬.ِ‫المرسلْي‬
Tuhan kami, datangkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan
kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.
Semoga kesejahteraan, keselamatan dan keberkahan dari Allah
SWT senantiasa tercurah kepada sebaik-baik makhluk-Nya yaitu
junjungan kami Muhammad Nabi yang ‘ummi, dan juga untuk
keluarga dan sahabatnya. Mahasuci Tuhan-mu Pemilik
Ketinggian dari segala yang mereka sifatkan, dan keselamatan
untuk para rasul yang diutus. Dan segala puji bagi Allah Tuhan
semesta alam.
157

Lafadz qunut nazilah sesuai dengan situasi yang sedang terjadi


dan do`a yang diinginkan. Misalnya, ketika terjadi penganiayaan
terhadap kaum muslimin Palestina oleh zionis Israel, maka
lafadznya dengan menyebutkan nama bangsa Palestina yang
dimohonkan bantuan untuk mereka; dan juga menyebutkan nama
bangsa Israel yang dimohonkan laknat untuk mereka.
Hal seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan
menyebutkan orang-orang muslim yang dimohonkan
pertolongan Allah SWT untuk mereka; dan juga menyebutkan
nama suku-suku kaum musyrikin yang telah menganiaya umat
Islam dan dimohonkan agar laknat Allah diturunkan atas mereka.

Tidak Melaknat Dalam Doa


Penulis menyarankan agar tidak melakukan pelaknatan apalagi
terhadap manusia dalam qunut nazilah. Tentu hati kecil kurang
menerima untuk melaknat hamba Allah SWT dalam doa qunut,
tetapi sebaiknya cukup mohon pertolongan Allah bagi kaum
muslimin. Karena setelah Rasulullah SAW melaknat suku-suku
yang membunuh 70 orang sahabat dari kalangan al-qurra’
(Penghafal Alquran) dalam peristiwa Bi’ru Ma`unah (Sumur
Ma’unah), sebenarnya secara halus Allah SWT sudah menegur
Nabi SAW sehingga Rasulullah SAW menghentikan qunut
nazilah dalam bentuk doa melaknat setelah diturunkan surat Aali
‫‪158‬‬

‫‪`Imraan ayat 128.115 Namun Rasulullah SAW tetap membaca‬‬


‫‪qunut tanpa melaknat dalam shalat subuh sampai akhir hayat‬‬
‫‪beliau.‬‬

‫‪DAFTAR RUJUKAN‬‬
‫أبوِ عبدِ هللاِ ممدِ بنِ يزيدِ القزويِن‪ ِ,‬سننِ أبِِداود‪ ِ,‬بدونِ‬ ‫‪.1‬‬

‫السنة‪ِ,‬مكتبةِاملعارف‪ِ,‬الريض‪.‬‬
‫أبوِ عبدِ الرحنِ أحدِ بنِ شعيبِ بنِ عليِ النساِئي‪ ِ,‬سننِ‬ ‫‪.2‬‬

‫النسائي‪ِ,‬بدونِالسنة‪ِ,‬مكتبةِاملعارف‪ِ,‬الريضِ‪.‬‬
‫المامِأبوِاْلسنِعليِبنِممدِبنِحبيبِاملاورديِالبصري‪ِ,‬‬ ‫‪.3‬‬

‫اْلاويِالكبيِفِفقهِمذهبِالمامِالشافعيِرضيِهللاِعنهِ‬
‫وهوِمتصرِاملزن‪ِ,2009ِ,‬دارِالكتبِالعلمية‪ِ,‬بيوت‪.‬‬
‫المامِأبوِحامدِممدِبنِممدِالغزال‪ِ ,‬إحياءِعلِومِالدين‪ِ,‬‬ ‫‪.4‬‬

‫‪ِ,2012‬القدس‪ِ,‬القاهرةِ‪.‬‬

‫‪115‬‬
‫‪Nabi SAW menghentikan melaknat dalam pembacaan doa qunut setelah‬‬
‫نِالمرِشيِئِأِوِي ت وبِعليهمِ ‪diturnkan surah Aali `Imraan (3) ayat 128:‬‬
‫ليسِلكِم ِ‬
‫أِوِي ع ّذبمِفإّنمِظِلمو ِن‬
‫‪159‬‬

‫‪ .5‬المامِ أبوِِزكريِ يييِ بنِ شرفِ النوويِ الدمسقي‪ ِ,‬منهاجِ‬


‫الطالبْيِ وعمدةِ املفتْي‪ ِ,2013ِِ,‬دارِ الكتبِ السلمية‪ِ,‬‬
‫جاكرتِ‪.‬‬
‫‪ .6‬المامِأبوِعيسىِممدِبنِعيسىِبنِسوره‪ِ,‬سننِالتمذي‪ِ,‬‬
‫‪ِ,2005‬دارِالكتابِالعرب‪ِ,‬بيوت‪.‬‬
‫‪ .7‬المامِ اْلافظِ أبوِِالفداءِ أمساعيلِِبنِكثي‪ ِ,‬تفسيِ القرآنِِ‬
‫العظيم‪ِ,2008ِ,‬دارِالعقيدة‪ِ,‬السكندريةِ‪.‬‬
‫‪ .8‬المامِ اْلافظِ أبوِ داودِ سليمانِ بنِ الشعثِ بنِ إسحاقِ‬
‫الزديلسجستان‪ ِ,‬سننِ أبِ داود‪ ِ,1999ِِ,‬دارِ السلم‪ِ,‬‬
‫الريض‪.‬‬
‫سلم‪ِ,‬‬‫‪ .9‬المام ِاْلافظِمسلمِبنِاْلجِاجِالنيسابوري‪ِ,‬صحيحِم ِ‬
‫ت‪.‬‬‫‪ِ,2005‬دارِاملعرفة‪ِ,‬ب ِيو ِ‬
‫‪ .10‬المامِالقاضيِأبوِالوليدِممدِبنِأحدِبنِممدِبنِأحدِبنِ‬
‫رشدِ القرطبِ الندلوسي‪ ِ,‬بدايةِ اجملتهدِ وِ ّنايةِ املقتصد‪ِِ,‬‬
‫بدونِالسنة‪ِ,‬دارِالفكر‪ِ,‬بدونِاملكا ِنِ‪.‬‬
‫‪160‬‬

‫‪ .11‬المامِجللِالدينِممدِبنِأحدِاحمللى‪ِ,‬كنزِالراغبْيِشرحِ‬
‫منهاجِ الطالبْيِِفِ حاشيتِ القليوبِ وِِعمية‪ِِ,2009ِِ,‬دارِ‬
‫الكتبِالعِلمية‪ِ,‬بيوتِ‪.‬‬
‫‪ .12‬المامِ شهابِ الدينِ أبوِ العباسِ ِأحدِ بنِ ممدِ الشافعيِ‬
‫القسطلن‪ِ,‬إرشادِالساريِلشرحِصحيحِالبخاري‪ِ,2012ِ ,‬‬
‫دارِالكتبِالعلمية‪ِ,‬بيوت‪ِِ.‬‬
‫‪ .13‬المامِممدِابنِإدريسِالشافعي‪ِ,‬الم‪ِ,2007ِ,‬دارِاْلديث‪ِ,‬‬
‫القاهرة‪.‬‬
‫شرحِ‬‫‪ .14‬اْلافظِأحدِبنِعليِبنِحجرِالعسقلن‪ِ,‬فتحِالِباريِب ِ‬
‫صحيحِالبخاري‪ِ ِ,2000ِ,‬دارِالفكر‪ِ,‬بيوتِ‪.‬‬
‫‪ .15‬السيدِالبكريِبنِالسيدِممدِشطاِالدمياطي‪ِ,‬حاشيةِإعانةِ‬
‫الطالبْيِِعلىِ حلِ ألفاظِ فتحِ املعْي‪ِِ,2009ِِ,‬دارِ الكتبِ‬
‫السلمية‪ِ,‬جاكرتِ‪.‬‬
‫‪ .16‬الشيخِ ابراهيمِِالبيجوري‪ ِ,‬حاشيةِ علىِ فتحِ القريبِ اجمليب‪ِ,‬‬
‫اكرتِ‪.‬‬
‫‪ِ,2007‬دارِالكتبِالسلمية‪ِ ِ,‬ج ِ‬
‫‪161‬‬

‫‪ .17‬الشيخِ المامِ أبوِ اسحاقِ ابراهيمِِعليِِابنِِيوسفِ الفيِوزِ‬


‫أبديِالشيازي‪ِ,‬املهذبِفِفقهِالمامِالشافعيِرضيِهللاِ‬
‫عنه‪ِ,‬بدونِالسنة‪ِ,‬دارِالفكر‪ِ,‬بدونِاملكان ِ‪.‬‬
‫‪ .18‬الشيخِممدِعليِالصابون‪ِ,‬الشرحِامليسرِلصحيحِالبخاري‪ِ,‬‬
‫‪ِ,2013‬املكتبةِالعصرية‪ِ,‬بيوت‪.‬‬
‫‪ .19‬العلمةِ الشيخِ أحدِِبنِِممدِِالصاويِِاملصريِِاملالكي‪ِ,‬‬
‫الصاويِ علىِِتفسيِِالللْي‪ ِ,2010ِِ,‬دارِ الغدِ‬ ‫حاشيِةِِ ِ‬
‫الديدة‪ِ,‬القاهرة‪.‬‬
‫الشرقاوي‪ ِ,‬حاشيةِ علىِ شرحِ التحريرِِلشيخِ‬
‫‪ .20‬العلمةِ الشيخِ ِ‬
‫ي‪ ِ,‬بدونِ السنة‪ ِ,‬اْلرمْي‪ ِ,‬سنقافورةِ‬
‫السلمِ زكريِ النصار ِ‬
‫جدةِ‪.‬‬
‫‪ .21‬مشس ِالدين ِأبوِبكر ِممدِبنِأحدِبنِأبِسهلِالسرخسيِِ‬
‫اْلنفي‪ِ,‬املبسِوط‪ِ,‬دارِالف ِكر‪ِ,‬بيوت‪ِِ.‬‬
‫‪ .22‬مشس ِالدينِممدِبنِأحدِبنِحزةِالرمِلي‪ِّ,‬نايةِاحملتاجِإلِ‬
‫شرحِاملنهاج‪ِ,‬دارِالكتبِالعلمية‪ِ,‬بيوتِ‪.‬‬
162

ِ,‫ِكتابِ الفقهِ علىِ املذاهبِ الربعة‬,‫ عبدِ ِالرحنِ الزيري‬.23


.‫ِالقاهرة‬,ِ‫ِاملكتبةِالتوفيقية‬,2008
ِ‫ِدار‬,2009ِ,‫ك‬
ِ ‫ِشرحِموطأِالمامِمال‬,‫ ممدِبنِصاحلِالعثيمن‬.24
ِ.‫ِالقاهرة‬,‫غدِالديد‬
ِ ‫ال‬
ِ‫ِالفقهِاِملنهجيِعلىِمذهب‬,‫ مصطفىِالنِوِمصطفىِالبغا‬.25
.‫سق‬
ِ ‫ِدم‬,‫ِدارِالقلم‬,2011ِ,‫المامِالشافعيِرحهِهللاِتعال‬

TENTANG PENULIS

KH. Imran Effendy Hasibuan, MA adalah Pimpinan Pondok


Pesantren Al-Faruqi Pekanbaru Riau sejak Maret 2023 &
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Al-Junaid Pekanbaru sejak
Juli 2019 sampai sekarang. Guru dan Tenaga Pendidik yang telah
mengajar di beberapa pesantren dan perguruan tinggi Islam sejak
tahun 1987, merupakan Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota
Pekanbaru masa khidmat 2022 – 2027; Wakil Sekretaris Dewan
Pertimbangan MUI (Majelis Ulama Indonesia) Provinsi Riau
(masa khidmat 2020-2025), Wakil Rais Pengurus Wilayah
Nahdlatul Ulama Riau (masa khidmat 2020 – 2025); Kepala SMA
Babussalam Pekanbaru (Juli 2015 – 31 Desember 2022); Ketua I
MUI Kota Tanjungpinang Kepulauan Riau (masa khidmat 2012-
163

2017); Dosen STAI Miftahul `Ulum Tanjungpinang (2009 –


2014); Dosen STAI Sultan Abdurrahman Tanjungpinang
Kepulauan Riau (2010 – 2014); Pimpinan Pondok Pesantren Al-
Baidha’ Pekanbaru Riau (2014 – 2015); dan Katib Syuriyah
PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Provinsi Riau
(masa khidmat 2003-2008). Mengkaji ajaran Islam dari kitab-
kitab Arab turats secara sungguh-sungguh mulai ia tekuni sejak
belajar di Pondok Pesantren Al-Mukhtariyah Sei Dua Padang
Lawas Utara Sumatera Utara (1979 – 1981) dan di Pondok
Pesantren Al-Mushthafawiyah Purba Baru Mandailing Sumatera
Utara (1981 – 1986). Pendidikan S1 di IAIN Sultan Syarif Kasim
Riau Prodi Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah (1993) dan S2 di
UKM Malaysia takhassus Tasawuf (2000). Karya tulisnya yang
telah dipublikasikan antara lain: SHALAT DALAM
PERSPEKTIF FIQIH & TASAWUF: Menyingkap Tabir
Rahasia Ilahi (2008); dan Pemikiran Akhlak Syekh Abdurrahman
Shidiq Al-Banjari (2003).

Anda mungkin juga menyukai