Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

(TUNA GRAHITA)

Dosen Pengampu: Nawang Wulan, S.Pd.,M.Pd,

Disusun oleh:

Kelompok 6
Oki Hayu Pradana (150611100141)
Puji Hermiati (150611100142)
Sanidatul ‘Asiroh (150611100143)
Moh. Ainur Rozi (150611100144)
Kelas 6D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2016

1|Page
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmad
dan bimbingan-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini merupakan panduan bagi mahasiswa dalam melaksanakan
proses pembelajaran. Selain itu, makalah ini juga sebagai salah satu tugas mata kuliah
Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus tentang Tuna Grahita. Makalah ini disusun
sedemikian rupa sehingga dapat menumbuhkan proses belajar mandiri, agar aktifitas
dan penguasaan materi dapat optimal sesuai dengan yang diharapkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Kritik dan
saran tetap kami harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Bangkalan, 05 Maret 2018

Tim Penulis

2|Page
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................4
1. Definisi Tuna Grahita .......................................................................................4
2. Jenis-jenis Tuna Grahita...................................................................................6
3. Karakteristik Anak yang Mengalami Tuna Grahita .....................................8
4. Penyebab Tuna Grahita................................................................................. 12
5. Bentuk Layanan dan Pendidikan untuk Tuna Grahita............................... 17
KESIMPULAN.....................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................29

3|Page
PEMBAHASAN
1. Definisi Tuna Grahita
Istilah anak berkelainan mental subnormal dalam beberapa referensi disebut
pula dengan terbelakang mental , lemah ingatan, febleminded , mental subnormal,
tunagrahita. semua makna dari istilah tersebut sama, yakni menunjuk kepada
seseorang yang memilikikecerdasan mental di bawah normal. Di antara istilah
tersebut , istilah yang akan digunakan dalam kajian kajian berikut ini adalah
mental subnormal dan tunagrahita. Keduanya digunakan secara bergantian
maupun bersama sama.
Batasan tentang anak berkelainan mental subnormal atau tunagrahita,
para ahli dalam beberapa referensi mendefinisikan secara berbeda. Perbedaan
penilikan tersebut terkait erat dengan tujuan dan kepentingannya. Dan berbagai
variasi tilikan tersebut muncul berbagai definisi tentang anak tunagrahita, tetapi
secara substansial tidak mengurangi makna pengertian anak tunagrahita itu sendiri,
meskipun dalam tilikan mereka menggunakan pendekatan berbeda.
Seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau
tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di
bawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan
bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya
(Bratanata,1979)
Penafsiran yang salah seringkali terjadi di masyarakat awam bahwa
keadaan kelainan mental subnormal atau tunagrahita dianggap seperti suatu
penyakit sehingga dengan memasukkan ke lembaga pendidikan atau perawatan
khusus, anak diharapkan dapat normal kembali. Penafsiran tersebut sama sekali
tidak benar sebab anak tunagrahita dalam jenjang manapun sama sekali tidak ada
hubungannya dengan penyakit atau sama dengan penyakit, Mental retarded is not
disease but a condition (Kirk, 1970). Jadi kondisi tunagrahita tidak bisa
disembuhkan atau diobati dengan obat apa pun.

4|Page
Dalam kasus tertentu memang ada anak normal menyerupai keadaan
anak tunagrahita jika dilihat selintas, tetapi setelah ia mendapatkan perawatan atau
terapi tertentu, perlahan lahan tanda tanda ketunagrahitaan yang tampak
sebelumnya berangsur angsur hilang dan menjadi normal. Keadaan anak yang
memiliki karakteristik semacam ini kemudian dikenal dengan istilah tunagrahita
(pseudofeebleminded).
Ada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan kasus
pseudofeebleminded, yaitu (1) gangguan emosi pada kanak–kanak sehingga
menghambat perkembangan kognitifnya, (2) keadaan lingkungan kurang baik dan
tidak memberikan perangsang pada kecerdasan anak sehingga perkembangan
kognitifnya terhambat.
Berdasarkan paparan diatas dapat dikatakan bahwa anak tuna grahita adalah
anak yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan
disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam
masa perkembangan. Anak tuna grahita mempunyai hambatan akademik yang
sedemikian rupa sehingga dalam layanan pembelajarannya memerlukan
modifikasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan khususnya (Dedy Kustawan,
2013: 25-26 ).
Masyarakat pada umumnya mengenal tunagrahita sebagai retardasi mental
atau terbelakang mental atau idiot. Rachmayana, D. (2016) mengemukakan bahwa
tunagrahita berarti suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan umum
yang berada dibawah rata-rata disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk
menyesuaikan diri (berperilaku adaptif), yang mulai timbul sebelum usia 18 tahun.
Ia juga mengatakan bahwa orang-orang secara mental mengalami
keterbelakangan, memiliki perkembangan kecerdasan (IQ) yang lebih rendah dan
mengalami kesulitan dalam proses belajar serta adaptasi sosial.
Definisi lain yang diterima secara luas dan menjadi rujukan utama ialah
definisi yang dirumuskan oleh Grossman (dalam Smith, et al., 2002: 56) yang
secara resmi digunakan AAMD (American Association of Mental Deficiency)

5|Page
yaitu ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata
(signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan
dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung pada masa
perkembangan. Menurut Hj. T. Sutjihati Somantri, anak tunagrahita atau
terbelakang mental merupakan kondisi dimana perkembangan kecerdasannya
mengalami hambatan, sehingga tidak mencapai perkembangan yang optimal.
2. Jenis-jenis Tuna Grahita
Berbagai cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan anak
tunagrahita. Berikut ini akan diuraikan klasifikasi menurut tinjauan profesi dokter,
pekerja sosial, psikolog, dan pedagog. Seorang dokter dalam mengklasifikasikan
anaktunagrahita didasarkan pada tipe kelainan fisiknya, seperti tipe mongoloid,
microcephalon, cretinism, dan lain lain. Seorang pekerja sosial dalam
mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada derajat kemampuan
penyesuaian diri atau ketidaktergantungan pada orang lain, sehingga untuk
menentukan berat ringannya ketunagrahitaan dilihat dari tingkat penyesuaiannya,
seperti tidak tergantung, semi tergantung, atau sama sekali tergantung pada orang
lain. Seorang psikolog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita mengarah
kepada aspek indeks mental inteligensinya, indikasinya dapat dilihat pada angka
hasil tes kecerdasan, seperti IQ 0-25 dikategorikan imbecil, dan IQ 50-75 kategori
debil atau moron. Seorang pedagog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita
didasarkan pada penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak. Dari
penilaian tersebut dapat dikelompokkan menjadi anak tunagrahita mampu didik,
anak tunagrahita mampu latih dan anak tunagrahita mampu rawat.
Anak tunagrahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak
mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki
kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya
tidak maksimal. Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita
mampu didik antara lain: (1) membaca, menulis, mengeja, dan berhitung, (2)

6|Page
menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain; (3)
keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja di kemudian hari.
Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang
dapat dididik secara minimal dalam bidang bidang akademis, sosial, dan
pekerjaan.
Anak tunagrahita mampu latih (imbecil) adalah anak tunagrahita yang
memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk
mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu latih yang
perlu diberdayakan, yaitu (1) belajar mengurus diri sendiri, misalnya; makan,
pakaian, tidur, atau mandi sendiri, (2) belajar menyesuaikan di lingkungan rumah
atau sekitarnya, (3) mempelajari kegunaan ekonomi di rumah, di bengkel kerja
(sheltered workshop), atau di lembaga khusus. Kesimpulannya, anak tunagrahita
mampu latih berarti anak tunagrahita hanya dapat dilatih untuk mengurus diri
sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari hari (activitydaily living), serta
melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya.
Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki
kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau
sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang
lain. A child who is an idiot is so low intelectually that be does not learn to talk
and usually does learn to take care of his bodily need (Kirk & Johnson, 1951).
Dengan kata lain, anak tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita yang
membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu
terus hidup tanpa bantuan orang lain (totally dependent) (Patton, 1991).
Ada beberapa klasifikasi anak Tunagrahita yang di ukur melalui IQ:
1. Tunagrahita Ringan (IQ 51-70)
Anak yang tergolong dalam tunagrahita ringan memiliki banyak
kelebihan dan kemampuan. Mereka mampu dididik dan dilatih. Misalnya,
membaca, menulis, berhitung, menjahit, memasak, bahkan berjualan.
tunagrahita ringan lebih mudah diajak berkomunikasi. Selain itu kondisi

7|Page
fisik mereka tidak begitu mencolok. Mereka mampu berlindung dari bahaya
apapun. Karena itu anak tunagrahita ringan tidak memerlukan pengawasan
ekstra.
2. Tunagrahita Sedang (IQ 36-51)
Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita
sedang pun mampu diajak berkomunikasi. Namun, kelemahannya mereka
tidak begitu mahir dalam menulis, membaca,dan berhitung. Tetapi, ketika
ditanya siapa nama dan alamat rumahnya akan dengan jelas dijawab. Mereka
dapat bekerja di lapangan namun dengan sedikit pengawasan. Begitu pula
dengan perlindungan diri dari bahaya. Sedikit perhatian dan pengawasan
dibutuhkan untuk perkembangan mental dan sosial anak tunagrahita sedang.
3. Tunagrahita Berat (IQ dibawah 20)
Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. karena dalam kegiatan
sehari-hari mereka membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan
yang maksimal. Mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri apalagi
berlindung dair bahaya. Asumsi anak tunagrahita sama dengan anak Idiot
tepat digunakan jika anak tunagrahita yang dimaksud tergolong dalam
tungrahita berat.
3. Karakteristik Anak yang Mengalami Tuna Grahita
Depdiknas (2003) mengemukakan bahwa karakteristik anak tunagrahita
yaitu penampilan fisik tidak seimbang, tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai
dengan usianya, perkembangan bicara/bahasanya terhambat, kurang perhatian
pada lingkungan, koordinasi gerakannya kurang dan sering mengeluarkan ludah
tanpa sadar.
Rendahnya kapabilitas mental pada anak tunagrahita akan berpengaruh
terhadap kemampuannya untuk menjalankan fungsi fungsi sosialnya. Hendeschee
memberikan batasan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang tidak cukup daya
pikirannya, tidak dapat hidup dengan kekuatan sendiri di tempat sederhana dalam

8|Page
masyarakat. Jika ia dapat hidup, hanyalah dalam keadaan yang sangat baik (Setia
Rahman, 1955). Uraian tersebut memberikan implikasi bahwa ketergantungan
anak tunagrahita terhadap orang lain pada dasarnya tetap ada, meskipun untuk
masing masing jenjang anak tunagrahita kualitasnya berbeda, tergantung pada
berat ringannya ketunagrahitaan yang diderita.
Edgar Doll berpendapat seseorang dikatakan tunagrahita jika : (1) secara
sosial tidak cakap, (2) secara mental di bawah normal , (3) kecerdasannya
terhambat sejak lahir atau pada usia muda, dan (4) kematangannya terhambat
(Kirk, 1970), seseorang dikategorikan tunagrahita apabila kecerdasannya secara
umum di bawah rata rata dan mengalami kesulitan penyesuaian sosial dalam setiap
fase perkembangannya (Hallahan dan Kauffman, 1986).
Dampak ketunagrahitaan di samping menggambarkan kesanggupan secara
mental seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi yang baru,
atau kesanggupan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional dalam
menghadapi lingkungan secara efektif, juga sebagai kesanggupan untuk belajar
dalam berpikir secara abstrak.
Teori kecerdasan berasumsi bahwa kecerdasan bukanlah suatu unsur yang
beraspek tunggal, melainkan terdiri berbagai unsur atau kemampuan, yaitu
kemampuan yang bersifat umum dan kemampuan yang bersifat khusus (general
ability dan special ability). Kemampuan umum yang dimaksud adalah rangkuman
dari berbagai kemampuan pada bidang tertentu, sedangkan kemampuan khusus
adalah kemampuan yang dimiliki pada bidang-bidang tertentu, seperti kemampuan
berhitung, berbahasa, pengamatan ruang, dan lain-lain. Pada umumnya kecerdasan
itu sendiri hanya menunjukkan pada kemampuan umum (general ability). Oleh
karena itu, kelemahan kecerdasan di samping berakibat pada kelemahan fungsi
kognitif, juga berpengaruh pada sikap dan keterampilan lainnya.
Pada dasarnya, anak yang memiliki kemampuan kecerdasan di bawah rata-
rata normal atau tunagrahita menunjukkan kecenderungan rendah pada fungsi
umum kecerdasannya, sehingga banyak hal menurut persepsi orang normal

9|Page
dianggap wajar terjadi akibat dari suatu proses tertentu, namun tidak demikian
halnya menurut persepsi anak yang mempunyai kecerdasan sangat rendah. Hal-hal
yang dianggap wajar oleh orang normal, barangkali dianggap sesuatu yang sangat
mengherankan oleh anak tunagrahita. Semua itu terjadi karena keterbatasan fungsi
kognitif anak tunagrahita.
Fungsi kognitif adalah kemampuan seseorang untuk mengenal atau
memperoleh pengetahuan. Menurut Mussen, Conger, dan Rangan (1974), kognitif
dalam prosesnya melalui beberapa tahapan: (1) persepsi, (2) ingatan, (3)
pengembangan ide, (4) penilaian, dan (5) penalaran (Cruickshank, 1980). Pada
anak tunagrahita, gangguan fungsi kognitifnya terjadi pada kelemahan salah satu
atau lebih dalam proses tersebut (di antara proses persepsi, ingatan, pengembangan
ide, penilaian, dan penalaran). Oleh sebab itu, meskipun usia kalender anak
tunagrahita sama dengan anak normal, namun prestasi yang diraih berbeda dengan
anak normal.
Dalam berbagai studi diketahui bahwa ketidakmampuan anak tunagrahita
meraih prestasi yang lebih baik dan sejajar dengan anak normal, karena kesetiaan
Ingatan anak tunagrahita sangat lemah dibanding dengan anak normal. Maka tidak
heran, jika instruksi yang diberikan kepada anak tunagrahita cenderung tidak
melalui proses analisis kognitif, seperti yang dikemukakan oleh Mussen, dkk.
Akibatnya, anak tunagrahita jika dihadapkan pada persoalan yang membutuhkan
proses pemanggilan kembali pengalaman atau peristiwa yang lalu, seringkali
mengalami kesulitan.
Seseorang yang mempunyai tingkat kecerdasan normal, perkembangan
kognitifnya menurut Piaget akan melewati periode atau tahapan perkembangan
sebagai berikut.
1. Periode sensorimotor (0-2 tahun)
Periode ini ditandai dengan penggunaan Sensomotorik dalam
pengamatan dan penginderaan yang intensif terhadap dunia sekitarnya. Prestasi

10 | P a g e
intelektual yang dicapai pada periode ini ialah perkembangan bahasa, konsep
tentang objek, kontrol skema, dan pengenalan hubungan sebab akibat.
2. Periode Praoperasional (2-7 Tahun)
Periode Praoperasional terbagi dalam dua tahapan, yaitu
a. Periode prekonseptual (2-4 tahun)
Periode ini ditandai dengan cara berpikir yang bersifat transduktif
(menarik kesimpulan tentang sesuatu atas dasar karakteristiknya yang khas),
misalnya sapi disebut juga kerbau.
b. Periode intuitif (4-7 tahun)
Periode ini ditandai oleh dominasi pengamatan anak yang bersifat
egosentris (belum memahami cara orang lain memandang objek yang sama,
bersifat searah).
3. Periode operasional konkret (7-11/12 Tahun)
Periode ini ditandai dengan tiga kemampuan dan kecakapan baru, yakni
mengklarifikasikan, menyusun, dan mengasosiasikan angka-angka atau
bilangan. Dalam periode ini pula anak mulai mengkonservasi pengetahuan
tertentu.
4. Periode operasional formal (11/12-13/14 Tahun)
Periode ini ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-
kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek yang bersifat konkrit.
Tidak demikian halnya bagi anak tunagrahita, perkembangan kognitifnya
seringkali mengalami kegagalan dalam melampaui setiap periode atau tahapan
perkembangan seperti diuraikan di atas. Bahkan dalam taraf perkembangan
yang paling sederhana pun, anak tunagrahita seringkali tidak mampu
menyelesaikan dengan baik.
Inhelder (1968) dalam penelitiannya menemukan: (1) penyandang
tunagrahita berat perkembangan kognitifnya terhambat pada tingkat
perkembangan sensomotorik, (2) pada penyandang tunagrahita ringan

11 | P a g e
perkembangan kognitifnya terhenti pada perkembangan operasional konkrit (Kirk,
1970).
Perangkat yang digunakan untuk mengukur derajat ketunagrahitaan
seseorang dapat dilakukan dengan memberikan berbagai macam tes kecerdasan,
dalam hal ini yang umum digunakan ialah Stanford-Binet dan Revise Weschler
Intelegence Scale For Children (WISC-R). Materinya meliputi performance test
(menyusun balok, mengatur warna, menggambar dengan kertas dan pensil, dan
tes verbal (best perbedaan kata).
Untuk menentukan tingkat ketunagrahitaan secara akurat bukanlah hal yang
mudah, sebab diperlukan informasi lengkap dari beberapa ahli, dalam hal ini
melalui team approach yang didalamnya melibatkan berbagai profesionalis, seperti
psikolog, psikiater, neurolog, pekerja sosial, dan orthopedagog. Dengan
pemeriksaan secara integratif dan komprehensif dapat menghindarkan terjadinya
diagnosis yang keliru.
Kesimpulannya, keterlambatan perkembangan kognitif pada anak
tunagrahita menjadi masalah besar bagi anak tunagrahita ketika meniti tugas
perkembangannya. Beberapa hambatan yang tampak pada anak tunagrahita dari
segi kognitif dan sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu sebagai berikut:
1. Cenderung memiliki kemampuan berpikir konkrit dan sukar berpikir.
2. Mengalami kesulitan dalam konsentrasi.
3. Kemampuan sosialisasinya terbatas.
4. Tidak mampu menyimpan instruksi yang sulit.
5. Kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapi.
6. Pada tunagrahita mampu didik, prestasi Tertinggal bidang baca, tulis, hitung
tidak lebih dari anak normal setingkat kelas III-IV Sekolah Dasar.
4. Penyebab Tuna Grahita
Etiologi anak tuna grahita (menelaah sebab terjadinya ketunagrahitaan)
pada seseorang menurut kurun waktu terjadinya, yaitu dibawa sejak lahir (faktor
endogen) dan faktor dari luar seperti penyakit atau kejadian lainnya (faktor

12 | P a g e
eksogen). Kirk (1970) berpendapat bahwa ketunagrahitaan karena faktor endogen,
yaitu faktor ketidaksempurnaan psikologis dalam memindahkann gen (Hereditary
transmission of psyco-biological insufficiency). Sedangkan faktor eksogen, yaitu
faktor yang terjadi akibat perubahan patologis dari perkembangan normal.
Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan, penyebab ketunagrahitaan
menurut Devenport dapat dirinci melalui jenjang berikut:
1. Kelainan atau ketunaan yang timbul pada benih plasma;
2. Kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan telur;
3. Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan dengan implantasi;
4. Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam embrio
5. Kelainan atau ketunaan yang timbul dari luka saat kelahiran;
6. Kelainan atau ketunaan yang dalam janin; dan
7. Kelainan atau ketunaan yang timbul pada masa bayi dan masa kanak-kanak.
Selain sebab-sebab diatas, menurut Kirk & Johnson, 1951 ketunagrahitaan
pun dapat terjadi karena:
1. Radang otak
Radang otak terjadi karena adanya pendarahan otak tertentu yang
terjadi saat kelahiran. Radang otak ini terjadi karena adanya pendarahan
dalam otak (inteacranial haemorhage). Pada kasus yang ekstern, peradangan
akibat pendarahan menyebabkan gangguan motoric dan mental. Sebab-sebab
yang pasti sekitar pendarahan yang terjadi dalam otak belum dapat diketahui.
Hidrocephalon misalnya, keadaan hidrocephalon diduga karena peradangan
pada otak. Gejala yang tampak pada hidrocephalon yaitu membesarnya
tengkorak kepala disebabkan makin bertambahnya cairan cerebrospinal.
Tekanan yang terjadi pada otak menyebabkan kemunduran fungsi otak.
Demikian pula cerebral anoxia, yakni kekurangan oksigen dalam otak dan
menyebabkan otak tidak berfungsi dengan baik tanpa adanya oksigen yang
cukup. Penyakit-penyakit infeksi lainnya yang menjadi penyebab

13 | P a g e
ketunagrahitaan, seperti measles, scarlet fever, meningitis, encephalitis,
diphtheria, dan cacar, dapat menjadi penyebab terjadinya peradangan otak.
2. Gangguan fisiologis
Gangguan ini berasal dari virus yang dapat menyebabkan
ketunagrahitaan diantaranya rubella (campak Jerman). Virus ini sangat
berbahaya dan berpengaruh sangat besar pada trisemester pertama saat ibu
mengandung, sebab akan memberi peluang timbulnya keadaan
ketunagrahitaan terhadap bayi yang dikandung. Selain rubella, bentuk
gangguan fisiologis lain adalah rhesus factor, mongoloid (penampakan fisik
mirip orang mongol) sebagai akibat gangguan genetic, dan cretinisme atau
kerdil sebagai akibat gangguan kelenjar tiroid.
3. Faktor hereditas
Faktor keturunan/ hereditas ini diduga sebagai penyebab terjadiinya
ketunagrahitaan masih sulit dipastikan kontribusinya sebab para ahli sendiri
mempunyai formulasi yang berbeda mengenai keturunan sebagai penyebab
ketunagrahitaan. Kirk (1970) misalnya, memberikan estimasi bahwa 80-90%
keturunan memberikan sumbangan terhadap terjadinya tunagrahita.
Bandingkan dengan estimasi para ahli lain seperti yang termuat dalam table:
Tabel: kontribusi keturunan terhadap terjadinya tuna grahita
No. Tahun Nama Ahli Presentase
1. 1914 Goddard 77
2. 1920 Hollingswoth 90
3. 1929 Tregoid 80
4. 1931 Larson 76
5. 1934 Doll 30
6. 1934 Pentros 29

4. Faktor kebudayaan

14 | P a g e
Faktor kebudayaan adalah faktor yang berkaitan dengan segenap
perikehidupan lingkungan psikososial. Dalam beberapa abad faktor
kebudayaan sebagai penyebab ketunagrahitaan sempat menjadi masalah yang
kontroversional. Disatu sisi, faktor kebudayaan memang mempunyai
sumbangan positif dalam membangun kemampuan psikofisik dan psikososial
anak secara baik, namun apabila faktor-faktor tersebut tidak berperan baik,
tidak menutup kemungkinan berpengaruh terhadap perkembangan psikofisik
dan psikososial anak. Contoh kasus anak idiot yang ditemukan itard dari hutan
Aveyron, ataupun anak yang ditemukan hidup di antara serigala di India
seperti yang ditulis Arnold Gesel. Walaupun anak tersebut kemudian dirawat
dan mendapatkan intervensi pendidikan secara ekstrem, ternyata tidak mampu
membuatnya menjadi manusia normal kembali.
Faktor etiologi biomedik sebagai penyebab ketunagrahitaan menurut
Kenner, yakni 6,4 % akibat trauma lahir dan anoxia prenatal, 35,61 % akibat
faktor genetic, 6,2% akibat penyakit infeksi prenatal, 5,0% akibat infeksi otak
setelah lahir, dan 2,0 % lainnya adalah lahir premature. Berdasarkan hasil
survey yang dilakukan di inggris dan beberapa Negara bagian di Amerika
Serikat, prevalensi anak tunagrahita berdasarkan tingkat ekonomi dan
kebudayaan tempat anak berasal dapat dilihat pada table dibawah ini:
Tabel: estimasi anak tuna grahita per 1.000 anak usia sekolah di Inggris.
Kelas dalam Mampu Mampu Mampu Mampu
No.
masyarakat rawat latih didik belajar
1. Rendah 1 4 50 300
2. Menengah 1 4 25 170
3. Tinggi 1 4 10 50
(Kirk, 1970)
Tabel diatas memberikan gambaran secara kuantitas frekuensi anak
tunagrahita lahir dari keluarga kelas tinggi, menengah, dan rendah dalam jenis

15 | P a g e
dan jenjang berbeda, makin tinggi kelas, makin sedikit frekuensinya. Kelas
dalam masyarakat tinggi diasumsikan memiliki kehidupan sosial ekonomi
yang tinggi pula sehingga memungkinkan layanan kesehatan psikofisik dapat
dipenuhi dengan baik, serta dapat menekan tumbuhnya kelainan dalam
kecerdasan rendah yang lebih besar (faktor eksternal).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Imam (1990) tentang faktor
penyebab tunagrahita terhadap 140 orang siswa SLB Latihan Negeri
Yogyakarta sebagai berikut:
No. Penyebab Frekuensi Presentase
1. Tidak diketahui 17 12,10
2. Kelainan kromosom 14 10,00
3. Waktu hamil ibu sakit 10 7,10
4. Kelainan letak janin 7 5,00
5. Trauma kelahiran 5 3,60
6. Persalinan abnormal 8 5,70
7. Prematuritas/ kembar 6 4,20
8. Mikrosefal 8 5,70
9. Ensefalidis atau kejang lama 37 26,40
10. Cedera kepala 10 7,10
11. Epilepsi 10 7,10
12. Malnutrisi berat 3 2,20
13. Dehidrasi berat dengan kejang 5 3,60
Jumlah 140 100,00
Dalam penelitian Imam (1990) yang lainnya dalam rangka penjaringan
anak berkelainan, dari 265 orang anak yang diduga menyandang tunagrahita
di wilayah DI Yogyakarta, diperoleh kesimpulan seperti tabel dibawah ini:
Faktor yang diduga penyebab tunagrahita di DI Yogyakarta
No. Penyebab Frekuensi Presentase

16 | P a g e
1. Tak diketahui 133 50,00
Usia ibu
2. - Lebih dari 40 tahun 4 1,50
3. - Kurang dari 16 tahun 1 0,40
Selama kehamilan
4. - Ibu jatuh 20 7,60
5. - Ibu sakit 24 9,10
Selama persalinan
6. - Sukar/ lama 8 3,00
7. - Kembar 4 1,50
8. - Kurang bulan 9 3,50

Sesudah lahir
9. - Jatuh/ cedera kepala 6 2,30
10. - Mikrosefali 2 3,00
11. - Panas tinggi + kejang 21 7,90
12. - Sakit berat dan lama 23 8,70
13. - Panas tinggi 6 2,30
14. - Epilepsi 4 1,50

Jumlah 265 100,00

5. Bentuk Layanan dan Pendidikan untuk Tuna Grahita


1) Meningkatkan kemampuan bahasa dan bicara anak tuna grahita
Eisenson dan Ogilvie (1963) pernah meneliti untuk mencari hubungan
antara tingkat kecerdasan dengan kemampuan Bahasa dan bicara. Hasilnya
dapat dibuktikan bahwa antara tingkat kecerdasan dengan kematangan bahasa
dan berbicara mempunyai hubungan yang positif (dalam Tarigan 1980).
Dengan menyimak hasil penelitian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa

17 | P a g e
kecerdasan sebagai salah satu potensi yang dimiliki oleh setiap individu
ternyata mempunyai nilai strategis dalam memberikan sumbangan untuk
meningkatkan perolehan bahasa dan kecakapan bicara, di samping pengaruh
faktor eksternal yang lain seperti latihan, pendidikan, dan stimulasi, lingkungan.
Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara pada anak normal
barangkali tidak banyak menemui hambatan yang berarti, karena mereka dapat
dengan mudah memanfaatkan potensi psikofisik dalam perolehan kosakata
sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan bicaranya. Hal ini
dikarenakan kecerdasan sebagai salah satu aspek psikologis mempunyai
kontribusi cukup besar dalam mekanisasi fungsi kognisi terhadap stimulasi
verbal maupun nonverbal dari lingkungannya gagal ditransfer dengan baik oleh
anak tunagrahita . Bahkan, hal hal yang tampaknya sederhana terkadang tidak
mampu dicerna dengan baik, akibatnya peristiwa kebahasaan yang lazim terjadi
di sekitarnya menimbulkan keanehan bagi dirinya.
Pada anak tuna grahita agak berat (mampu latih), kegagalan melakukan
apersepsi terhadap suatu peristiwa bahasa, kerapkali diikuti gangguan artikulasi
bicara. Penyertaan kelainan sekunder ini, maka hal hal yang tampak pada anak
tunagrahita mampu latih dalam berkomunikasi, di samping struktur kalimat
yang disampaikannya cenderung tidak teratur (aphasia conceptual), juga dalam
pengucapannya seringkali terjadi omisi (pengurangan kata) maupun distorsi
(kekacauan dalam pengucapan).
Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita
secara maksimal, tentunya perlu upaya dan strategi khusus. Satu hal yang perlu
dipahami bagi guru, langkah yang pertama sebelum mengajarkan hal hal yang
lebih besar, sedapatnya diajarkan untuk menyebutkan namanya, juga dapat
menambah motivasi untuk belajar. setelah itu kita dapat menggiring konsentrasi
anak dengan menyuruh melihat satu persatu benda yang akan diperkenalkan,
serta menyebutkan namanya dengan baik dan jelas. Ketika anak tunagrahita

18 | P a g e
mulai menyebutkan nama benda yang ditunjukkan, pda saat yang sama dapat
mengontrol artikulasi bicaranya dan membetulkan jika terjadi kesalahan.
Apabila penguasaan kosakata sudah baik, dapat dilanjutkan dengan
memperkenalkan benda di lingkungan sekitarnya, seperti delman, sungai,
mobil, sepeda dan lain lai, atau dapat pula dibantu dengan cerita bergambar
yang sederhana, seraya menyuruh anak untuk melengkapi kata yang kita
tanyakan, seperti mobil itu berwarna................, kaki kuda itu
ada ........................, dan seterusnya.
Selain melalui upaya upaya di atas, upaya lain untuk menggembangkan
kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita, yaitu model pembelajaran
yang membawa anak tunagrahita dalam situasi yang wajar dan alamiah,
misalnya menyebut nama nama benda yang kita pakai ketika anak turut
membantu pekerjaan kita, sera mengulangi beberapa kali sehingga anak mampu
memahaminya.
Untuk pengembangan bahasa dan bicara pada anak tunagrahita, ada
kemungkinan guru atau pembimbing mengalami kesulitan sebab di antara
mereka mengalami beberapa kelainan bicara, antara lain kelainan artikulasi,
arus ujar, nada suara, atau afasia sensoris dan afasia motoris (Patton 1991).
Beberapa model latihan pendahuluan yang berfungsi sebagai pendukung dalam
pengembangan kemampuan bahasa dan bicaranya, antara lain sebagai berikut.
1. Latihan pernapasan. Latihan ini dapat dilakukan dengan meniup perahu
kecil dari kertas/ plastik yang diapungkan di air, meniup lilin pada jarak
tertentu, meniup harmonika, meniup kincir dari kertas sampai berputar atau
meniup gelembung balon dari busa dan kapas ke udara.
2. Latihan otot bicara seperti lidah, bibir, dan rahang. Untuk latihan ini anak
tunagrahita disuruh mengunyah, menelan, batuk batuk, atau menggerakkan
bibir, lidah dan rahangnya. Sarananya dapat menggunakan permen yang
dikunyah dan dipindah pindahkan dari kanan ke kiri atau diletakkan di ujung

19 | P a g e
lidah sambil dijulurkan, mengunyah makanan atau madu yang dioleskan di
sekitar bibir dan anak disuruh membersihkan dengan lidahnya.
3. Latihan pita suara. Latihan ini diarahkan untuk menyebutkan nama nama
benda yang ada di sekitar dengan menggunakan kata lembaga yaitu daftar
kata yang disusun sesuai dengan tingkat kesulitan konsonan tertentu, dapat
dimasukkan pula menirukan suara macam macam binatang dan benda benda
lain di sekitarnya sebagai improvisasinya, seperti suara kucing, anjing, bebek,
ayam jantan/betina, kerbau, sirine, klakson kereta api, jam welker, mobil,
pesawat terbang, dan lain lain.
2) Penyesuaian sosial anak tuna grahita
Ketika seorang anak lahir, hampir sama sekali tidak berdaya dan
sangat tergantung pada orang lain, khususnya orang yang mengasuhnya.
Ketergantungan anak dengan pengasuhnya sangat beralasan karena langsung
atau tidak telah terjadi hubungan fisik dan psikis antara anak dan pengasuh
(ibunya). Kesadaran anak terhadap dunia sekitarnya terjadi setelah melewati
usia 1 tahun, sejalan dengan meningkatnya kemampuan berkomunikasi dan
perkembangan motoriknya, seperti tumbuhnya sikap ingin tahu, agresivitas,
latihan menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui kemampuan
eksplorasinya.
Pada anak normal dalam melewati setiap tahapan perkembangan sosial
dapat berjalan seiring dengan tingkat usianya. Namun, tidak demikian halnya
dengan anak tuna grahita, pada setiap tahapan perkembangan sosial yang
dialami anak tunagrahita selalu mengalami kendala sehingga seringkali
tampak sikap dan perilaku anak tunagrahita berada di bawah usia kalendernya,
dan ketika usia 5-6 tahun mereka belum mencapai kematangan untuk belajar
di sekolah (Bratanata, 1979).
Indikasi keterlambatan anak tunagrahita dalam bidang sosial umumnya
terjadi karena hal-hal berikut:

20 | P a g e
1. Kurangnya kesempatan yang diberikan pada anak tunagrahita untuk
melakukan sosialisasi;
2. Kekurangan motivasi untuk melakukan sosialisasi;
3. Kekurangan bimbingan untuk melakukan sosialisasi.
Kelancaran seseorang untuk mencapai tugas perkembangan sosialnya,
merupakan modal dasar yang sangat berarti untuk melakukan penyesuaian
sosial secara baik. Oleh sebab itu, terganggunya perkembangan anak dalam
salah satu fase atau keseluruhan fase perkembangan sosial sebagaimana yang
dialami oleh anak tunagrahita, hasilnya sangat berat untuk dapat melakukan
penyesuaian sosial yang akurat tanpa intervensi orang-orang di sekitarnya
secara terus-menerus.
Kecerdasan dalam berbagai referensi disebutkan sebagai salah satu
faktor yang memberikan sumbangan relative besar dalam penyesuaian
seseorang terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Stern berpendapat,
kecerdasan merupakan indikasi kesanggupan seseorang untuk menyesuaikan
dengan situasi-situasi yang baru. Sejalan dengan dikemukakan Stern,
Wencher pun berpendapat bahwa kecerdasan merupakan kemampuan
seseorang untuk bertindak secara terarah, berpikir rasional, serta menghadapi
lingkungan secara efektif (Kirk, 1970).
Kesimpulannya, semakin efektif kesanggupan seseorang untuk
melakukan penyesuaian diri secara mental terhadap situasi dan kondisi baru di
lingkungannya maka semakin tinggi derajat kecerdasan yang dimilikinya. Hal
ini dikarenakan melalui daya piker yang dimiliki seseorang dapat
mengorganisasi segala kebutuhan, baik kebutuhan fisik biologis maupun
psikis dan sosial, yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai
penyesuaian secara adekuat.
Sebagai makhluk individu dan sosial, anak tunagrahita mempunyai
hasrat untuk memenuhi segala kebutuhan sebagaimana layaknya anak normal
lainnya, tetapi upaya anak tunagrahita lebih sering mengalami kegagalan atau

21 | P a g e
hambatan yang berarti. Akibatnya, anak tunagrahita mudah frustasi, dari
perasaan frustasi tersebut pada gilirannya akan muncul perilaku menyimpang
sebagai reaksi dari mekanisme pertahanan diri, dan sebagai wujud
penyesuaian sosial yang salah, yang muncul pada anak tunagrahita, yaitu
kompensasi yang berlebihan, displacement, regresi, delinquent, destruksi,
agresi, dan lain-lain.
Perlakuan orang lain yang kurang wajar terhadap anak tunagrahita,
atau lemahnya konsistensi anak tunagrahita terhadap tujuan, menjadi salah
satu penyebab anak tunagrahita mudah dipengaruhi (sugestible) untuk berbuat
hal-hal yang jelek. Demikian juga rendahnya tingkat kematangan emosi dan
kesukaran anak tunagrahita untuk memahami aturan atau norma yang ada di
lingkungannya, merupakan unsur-unsur yang dapat menyuburkan tumbuhnya
penyimpangan perilaku bagi anak tunagrahita.
Walaupun demikian, ternyata banyak juga anak tuna grahita yang
mampu atau dapat mencapai penyesuaian sosial yang baik, tetapi belum
maksimal sebagaimana anak seusianya. Oleh karena itu untuk membantu anak
tunagrahita agar dapat mencapai penyesuaian sosial yang baik, ada hal-hal
yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Kurikulum sekolah harus memerhatikan kebutuhan anak tunagrahita;
2. Kondisi lingkungan sekitar harus kondusif;
3. Pemenuhan kebutuhan dasar anak tunagrahita;
4. Bimbingan dan latihan kerja.
Terlepas dari upaya-upaya yang disebutkan diatas, dalam rangka
membantu anak tunagrahita mencapai penyesuaian yang akurat, peranan
orang tua atau keluarga memiliki sumbangan terbesar. Dalam hal ini
bagaimana pun baiknya program sekolah yang direncanakan untuk anak
tunagrahita, jika tidak dibarengi dengan tindakan dan sikap orang tua/
keluarga secara konstruktif dan edukatif barangkali tidak banyak artinya. Hal
ini dikarenakan dalam kenyataan masih banyak orang tua atau keluarga yang

22 | P a g e
dapat menerima ketunaan anaknya secara objektif, terkadang masih
memperlakukan anaknya kurang bijaksana, misalnya (1) keengganan untuk
menyekolahkan atau memasukkan anaknya ke pendidikan atau perawatan
anak tunagrahita karena dianggap tidak memberikan keuntungan apa-apa, (2)
menutup kesempatan bagi anak tunagrahita untuk bekerja yang tanpa
membutuhkan keahlian tertentu, khususnya bagi keluarga golongan menengah
ke atas, karena hal itu dianggap dapat merendahkan martabat keluarga atau
orang tua.
3) Modifikasi perilaku anak tunagrahita
Keterbatasan daya pikir yang dialami anak tunagrahita menyebabkan
mereka sulit mengontrol, apakah perilaku yang ditampakkan dalam aktivitas
sehari-hari wajar atau tidak wajar (menurut ukuran normal), baik perilaku
yang berlebihan (behavioral excesess) maupun perilaku yang kurang serasi
(behavioral deficits). Atas dasar itulah maka untuk anak tunagrahita perlu
diadakan modifikasi perilaku melalui terapi perilaku.
Dalam memberikan terapi perilaku pada anak tunagrahita, seorang
terapis harus memiliki sikap sebagaimana yang dipersyaratkan dalam
pendidikan humanistik, yaitu penerimaan secara hangat,antusias tinggi,
ketulusan dan kesungguhan, serta menaruh empati yang tinggi terhadap
kondisi anak tunagrahita. Tanpa dilengkapi persyaratan tersebut, penerapan
teknik modifikasi perilaku pada anak tunagrahita tidak banyak memberikan
hasil yang berarti.
Pada dasarnya paradigma yang digunakan sebagai dasar terapi perilaku
berasal dari penelitian laboratorium. Namun demikian, tetap memerhatikan
prinsip-prinsip psikologis untuk menghindari kesan bahwa terapi perilaku
pada anak tunagrahita sangat mekanistis.
Paradigma untuk modifikasi perilaku yang biasa digunakan untuk anak
normal adalah paradigma operan. Oleh karena itu, tekanannya mengacu pada
penggunaan penguat, hukuman maupun penghilangan beberapa perilaku yang

23 | P a g e
berlebihan atau yang tidak adekuat. Namun demikian, pada batas-batas
tertentu dapat digunakan untuk memodifikasi perilaku anak tunagrahita.
Khususnya anak tunagrahita yang mampu didik maupun anak tunagrahita
yang mampu latih.
Modifikasi perilaku bagi anak yang mampu latih dalam penerapannya
harus selalu di bawah pengawasan orang lain, misalnya program perawatan
diri sendiri. Agar lebih fungsional, program tersebut dapat dipecah dalam
berbagai unit perilaku pendukung, antara lain mengancingkan baju,
memegang sendok, menuangkan pasta, menggosok gigi, dan lain lain. Apabila
dalam pelaksanaannya mereka mampu memahami dan melakukan dengan
baik, dapat diberikan penguat, baik penguat primer yang berupa makanan atau
minuman, atau penguat sosial seperti senyuman, perhatian persetujuan, dan
lain-lain. Secara berahap kondisinya terus ditingkatkan sesuai dengan tahapan
yang diperlukan,dengan memerhatikan usia mental dan usia kalendernya.
Jenis terapi perilaku lain yang dapat dilakukan untuk anak tunagrahita
yaitu melalui kegiatan bermain (kegiatan fisik dan/ atau psikis yang dilakukan
tidak dengan sungguh-sungguh). Freud berpandangan bahwa bermain
merupakan cara seseorang untuk membebaskan diri dari berbagai tekanan
yang kompleks, merugikan. Melalui kegiatan bermain perasaan menjadi lega,
bebas, dan berarti. Mengingat urgensinya bermain bagi anak tunagrahita,
dewasa ini aktivitas bermain dikembangkan menjadi play therapy.
Terapi permainan yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita bukan
sembarang permainan, tetapi permainan yang memiliki muatan antara lain (1)
setiap permainan hendaknya memiliki nilai terapi yang berbeda , (2) sosok
permainan yang diberikan tidak terlalu sukar untuk dicerna anak tunagrahita
(Prasedio, 1976). Beberapa nilai yang penting dari bermain bagi
perkembangan anak tunagrahita, antara lain sebagai berikut.
1. Pengembangan fungsi fisik. Fungsi fisik, misalnya pemapasan, pertukaran
zat, peredaran darah, dan pencernaan makanan, dapat dibantu dilancarkan

24 | P a g e
melalui kegiatan bermain, baik bantuan pada satu aspek fungsi fisik
ataupun lebih.
2. Pengembangan sensomotorik. Artinya, melalui bermain melatih
pengindraan (sensoris) seperti ketajaman penglihatan, pendengaran,
perabaan, atau penciuman, di samping melatih otot dan kemampuan gerak,
seperti tangan, kaki, jari-jari, leher, dan gerak tubuh lainnya. Oleh karena
itu, bertambahnya koordinasi aspek sensoris dan aspek motoris dalam
bermain, semakin baik bagi perkembangan anak tunagrahita.
3. Pengembangan daya khayal. Maksudnya melalui bermain, anak
tunagrahita diberikan kesempatan untuk mampu menghayati makna
kebebasan sebagai sarana yang diperlukan untuk pengembangan daya
khayal dan kreasinya.
4. Pembinaan pribadi. Dalam bermain anak pun sebenarnya berlatih
memperkuat kemauan, memusatkan perhatian, mengembangkan keuletan,
ketekunan, percaya diri dan lainnya.semua itu dapat membantu anak
tunagrahita membina kepribadiannya.
5. Pengembangan sosialisasi. Ada unsur yang menarik dari kegiatan bermain
dilihat dari pengembangan sosialisasi, yaitu anak harus berbesar hati
menunggu giliran, rela menerima kekalahan, setia dan jujur.
6. Pengembangan intelektual. Melalui bermain, anak tunagrahita belajar
mencerna sesuai. Contohnya, peraturan dan skor yang diperoleh dalam
permainan. Teknisnya, misal dalam setiap langkah yang dilakukan dalam
mengaktualisasi kemampuannya melalui ucapan atas apa yang dilihat dan
didengar tentang permainan yang dilakukan. Secara tidak langsung cara ini
sebenarnya merupakan bagian dari pengembangan intelektual anak
tunagrahita.
Beberapa model permainan yang menekankan pada pengembangan
kecerdasan dan motorik halus yang cenderung bersifat individual, antara lain
sebagai berikut.

25 | P a g e
1. Latihan menuangkan air. Menuang air memang bukan suatu pekerjaan
yang mudan bagi anak tunagrahita, apalagi kalau diharuskan tidak boleh
terjadi tetesan air di sekitarnya.pertama-tama anak diberi latihan
menuangkan air dengan jumlah sedikit melalui contoh yang diberikan.
Semakin teratur dan tanpa tetesan dalam menuangkan air, maka semakin
baik kemampuannya.
2. Bermain pasir. Selain dengan air, latihan menuang dapat pula dengan pasir
kering. Botol dan panci sebagai tempat menuang air, dan pasir yang telah
dituang ke botol dan panci tersebut dapat dituangkan kembali ke ember.
Bermain pasir ini dapat pula menggunakan pasir basah. Dengan
menggunakan pasir basah anak tunagrahita diajak berkhayal untuk
mencetak benda-benda yang diinginkan, seperti kue, bangunan gedung,
gunung, dan lain sebagainya.
3. Bermain tanah liat. Pertama kali anak tunagrahita bermain tanah liat,
barangkali kegiatan yang dilakukan hanya mengepal-ngepal saja. Namun,
apabila mereka diberikan bimbingan dan latihan, kegiatan tersebut dapat
diarahkan membentuk benda-benda di sekitarnya, seperti boneka, aspak,
atau yang lainnya. Setelah hasil pekerjaan anak tersebut selesai dan
dikeringkan, dapat di cat dengan berbagai warna agar menarik perhatiannya
dan timbul motivasi untuk berbuat lagi yang lebih baik.
4. Meronce manik-manik. Pertama kali yang perlu diajarkan dalam kegiatan
meronce, yaitu meronce manik-manik yang besar, kemudian dilanjutkan
dengan yang kecil dengan menggunakan benang atau kawat halus. Setelah
anak tertarik dengan kegiatan tersebut, dilanjutkan dengan memilihan dan
kombinasi warna manik-manik yang dironce.
5. Latihan meliput. Untuk anak nomrla latihan meliput bukan hal yang sulit,
namun bagi anak tunagrahita melipat perlu diajarkan tersendiri sebab
merupakan latihan yang tidak mudah. Latihan ini diawali dengan dua

26 | P a g e
lipatan, empat lipatan, dan seterusnya dengan berbagai kombiasi batas
kemampuan anak.
6. Mengelem dan menempel. Pertama-tama yang perlu diajarkan dalam
latihan mengelem dan menempel ini, yaitu dengan menggunakan telunjuk
jari untuk mengelem dan mengulasnya agar tidak terjadi kecerobohan.
Untuk dapat lebih melekat, taruhlah secarik kertas atau kain di atasnya dan
rekan. Apabila anak mampu mengerjakan dengan baik dan rapi, berilah
pujian sebagai tanda penghargaan jerih payahnya.
7. Menggunting dan memotong. Latihan menggunting ini menggunakan koran
bekas, dapat diawali dengan menggunting bentuk sembarang, kemudian
menggunting dengan cara yang lurus dan dilanjutkan dengan menggunting
dengan garis-garis melengkung, yang akhirnya menggunting gambar-
gambar dalam majalah atau koran.
8. Latihan menyobek. Untuk latihan ini anak harus menggunakan kedua
tangannya, dimuali menyobek menjadi bagian-bagian besar hingga bagian
yang sekecil-kecilnya. Hasil sobekan kertas kecil-kecil tersebut,
selanjutnya dapat dipergunakan untuk membuat rumah, pohon, gunung,
dan lain-lain, dengan cara menempelkan di kertas yang masih utuh.
9. Jarum dan benang. Latihan jarum dan benang ini tidak hanya ditunjukkan
bagi anak tunagrahita perempuan saja, tetapi perlu juga diberikan pada
anak laki-laki. Untuk kepentingan tersebut, dibutuhkan semacam alat
bordir yang mula-mula harus ditusuk-tusukkan. Selanjutnya anak dapat
dilatih menggunakan kain strimin yang kasar atau kain wol yang tebal dan
sederhana. Dengan menggunakan jarum dan benang, anak tunagrahita
dapat membuat hiasan dinding, alas baki, tas, dan sebagainya.
Model model permainan yang disajikan di atas sebenarnya merupakan
contoh kecil yang dapat dilakukan anak tunagrahita sebagai bagian dari terapi
perilaku. Model permainan lain yang dapat dilakukan untuk mengembangkan
kemampuan anak tunagrahita, yaitu bermain yang mengandung unsur

27 | P a g e
olahraga. Misalnya berjalan di atas bangku, berjalan dengan bebas tanpa ada
bebean di kepala melewati titian garis atau tali dengan posisi lurus,
melengkung, dan bulat. Latihan lain yang menggunakan alat, misalnya
mendribel bola, menendang bola, melempar dan menangkap bola, berlari
memindahkan bendera, dan lain-lain.
Khusus yang sifatnya kelompok, pegembangan aktivitas bermain pada
anak tunagrahita materinya dapat digali dari permainan-permainan tradisional,
pendidikan olahraga, atau kombinasi keduanya. Misalnya bermain menjala
ikan, kucing dan tikus, berlari bersambungan atau sambil menggendong
teman, lempar dan tangkap bola, memukul bola di sela-sela kaki, dan
sebagainya

28 | P a g e
KESIMPULAN
Anak tunagrahita adalah anak yang memiliki taraf kecerdasan yang sangat
rendah sehingga untuk meniti tugas perkembangannya ia sangat membutuhkan
layanan pendidikandan bimbingan secara khusus. Menurut derajat
kekurangannya, tunagrahita dapay dikasifikasikan menjadi tunagrahita mampu
didik (debil)¸ tunagrahita yang mampu latih (imbecil), tunagrahita mampu rawat
(idiot). Kondisi tunagrahita timbul karena fungsi kognitif (kemampuan untuk
memperoleh pengetahuan melalui tahapan proses presepsi, ingatan,
pengembangan ide, penilaian, dan penalaran) mengalami kelemahan di antara
proses tahapan tersebut.
Perkembangan kognitif anak tunagrahita yang terjadi pada setiap fase
seringkali gagal diselesaikan. Anak tunagrahita berat terlambat pada tingkat
perkembangan sensomotorik, sedangkan anak tunagrahita ringan pada
perkembangan operasional konkret. Kondisi keetunagrahitaan menyebabkan anak
kesulitan melakukan transfer persepsi verbal dan nonverbal. Akibatnya, hal-hal
yang sederhanapun seringkali sulit dicerna. Bahkan, pada anak tunagrahita
mampu latih tidak jarang pula diikuti oleh gangguan bahasa (aphasia) dan
artikulasi bicara.
Kegagalan anak tunagrahita untuk memenuhi kebutuhan dapat
menimbulkan frustasi, dan pada gilirannya akan memunculkan perilaku yang
dianggap menyimpang sebagai reaksi dari mekanisme pertahanan diri dalam
penyesuaian sosialnya.

29 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Binahayati,dkk. 2017. Pendidikan Bagi Anak Tuna Grahita (Studi Kasus Tunagrahita
Sedang di SLB N Purwakarta). Jurnal “Penelitian dan PKM” Volume IV,
No.2.
Bratanata, S.A. 1979. Pendidikan Anak Terbelakang Mental. Jakarta: Depdikbud.
Cruickshank, W.M. 1980. Psychology Of Exceptional Children And Youth.
Singapore: Prentice Hall.
Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Tuna Grahita (Suatu Pengantar dalam
Pendidikan Inklusi. Bandung: PT Refika Aditama.
Effendi, Mohammad. 2009. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Hallahan, D.P. & Kauffman, JM. 1986. Exceptional Children: Introduction to Special
Education. Mexico: Prentice Hall Inc.
Kustawan, Dedi. 2013. Bimbingan dan Konseling Bagi Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta Timur: PT Luxima Metro Media.
Patton, J.R. 1991. Exceptional Children In Focus. New York: Macmillan Publishing
Company.
Rachman, S. 1995. Pendidikan Anak Lemah Otak. Jakarta: Depdikbud.
Rachmayana, D. (2016). Menuju Anak Masa Depan yang Inklusif. Jakarta Timur: PT.
Luxima Metro Media.
Smith, M.B., Ittebach, R.F. & Patton, J.R. 2002. Mental Retardation. New Jersey:
Pearson Education Inc.
Somantri, Sutjihaji. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: refika Aditama.
Tarigan, H.G. 1980. Menyimak Sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.

30 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai