Insect Growth Regulator (IGR) adalah senyawa yang disintesis seperti hormon serangga
serta bersifat biodegradabel. IGR dapat mengendalikan serangga termasuk kutu, kecoa, dan
nyamuk dengan menghambat reproduksi, penetasan telur, dan pergantian kulit dari satu
tahap ke tahap berikutnya (National pesticide information center, 2020).
Pengendalian vektor merupakan kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk menurunkan
indeks densitas populasi vector nyamuk serendah mungkin, sehingga keberadaannya tidak
lagi berisiko untuk terjadinya penularan virus penyakit di suatu wilayah (Brahim, 2011).
Untuk mencegah resistensi terhadap suatu jenis larvasida tertentu, perlu adanya rotasi
dalam penggunaan larvasida. Rotasi insektisida merupakan pergantian jenis dan cara kerja
insektisida untuk pengendalian vektor yang harus dilakukan dalam periode waktu maksimal
2-3 tahun atau 4-6 kali aplikasi.(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2012). Salah
satu larvasida alternatif pengganti Temephos adalah larvasida dari golongan Insect Growth
Regulator (IGR) yang berbahan aktif Pyriproxifen sesuai dengan rekomendasi WHO.
Larvasida IGR dengan bahan aktif Pyriproxifen dapat membunuh larva dan pupa Ae. aegypti
karena pertumbuhan larva akan terhambat akibat kegagalan pergantian kulit dan
kerusakaan sistem pencernaan. Sehingga perkembangan abnormal tersebut akan
membunuh nyamuk.
Kematian jentik sesuai dengan cara kerja larvasida IGR berbahan aktif Pyriproxyfen yaitu
dengan mengganggu sistem endokrin yang bekerja spesifik pada serangga. Cara kerja
larvasida IGR berbahan aktif Pyriproxyfen adalah dengan meniru hormon junvenil (hormon
pertumbuhan) untuk tetap pada stadium pra-dewasa sehingga gagal untuk tumbuh sesuai
waktunya dan lama-kelamaan akan mati. larvasida IGR berbahan aktif Pyriproxyfen mampu
menghambat pertumbuhan jentik menjadi pupa.
Larvasida golongan Insect Growth Regulator (IGR) berbahan aktif piriproksifen diketahui
dapat digunakan sebagai larvasida dan telah direkomendasikan oleh WHO (Kemenkes RI,
2012). IGR berbahan aktif piriproksifen dapat terdegradasi dalam rentang waktu 8 hari pada
tanah dan 18-21 hari pada air. Piriproksifen bersifat ramah lingkungan yang telah banyak
digunakan pada golongan serangga. Larvasida yang efektif dalam pengendalian larva
nyamuk sebagai penyebar penyakit adalah temephos (Dinkes NTB, 2017). Kelebihan dari
penggunaan piriproksifen dibandingkan dengan larvasida temephos yang digunakan dalam
waktu lama dapat mengakibatkan nyamuk resisten lebih cepat sedangkan piriproksifen
sering digunakan sebagai IGR pada dosis rendah lebih efektif serta residu jangka panjang
dan toksisitas rendah pada mamalia. Piriproksifen termasuk senyawa ramah lingkungan 15
dan tidak memiliki efek karsinogenik dan teratrogenetik (Solichah dkk, 2016).
keuntungan
keuntungan dari IGR yaitu mampu menyebabkan serangga dewasa mandul dan telur
serangga menjadi steril. Keuntungan dari penggunaan Pyriproxyfen sebagai IGR efektif
pada dosis rendah, residu jangka panjang dan toksisitas terhadap mamalia rendah,
sehingga digolongkan sebagai senyawa ramah lingkungan dan tidak memiliki efek
karsinogenik dan teragonetik.
kekurangan
kelemahan dari insect growth regulator yaitu daya bunuhnya yang lambat, buprofozein dan
siramazin hanya dapat membunuh ketika larva serangga berganti kulit.
Pengendalian biologi
Definisi
Pengendalian secara biologi merupakan upaya pemanfaatan agen biologi untuk
pengendalian vektor nyamuk. Pengendalian metode biologi dilakukan dengan
memanfaatkan organisme yang bersifat predator dan organisme yang menghasilkan toksin.
Terdapat beberapa agen yang dapat digunakan dan sudah terbukti mampu mengendalikan
populasi larva vektor. Beberapa agen tersebut terdiri dari:
1. Organisme bersifat predator: ikan kepala timah, ikan cupang, ikan nila, ikan sepat,
Copepoda, nimfa capung, berudu katak, larva nyamuk Toxorhynchites. dan
organisme lainnya.
2. Organisme penghasil toksin: Bacillus thuringiensis israelensis, Bacillus sphaericus
(BS), virus, parasit, jamur dan organisme lainnya.
3. Tanaman pengusir/anti nyamuk (Permenkes RI No. 50 Tahun 2017).
Bacillus thuringiensis (B.t) terdiri atas berbagai strain yang mampu mensintesis lebih dari
satu jenis endotoksin, namun hanya strain tertentu yang digunakan sebagai insektisida
alami yaitu Bacillus thuringiensis israelensis (Bti), Bacillus thuringiensis kurstaki (Btk),
Bacillus thuringiensis berliner (Btb), dan Bacillus thuriengensis alesti (Bta). B.thuringiensis
terbukti dapat mengendalikan larva nyamuk Anopheles dengan cara larva nyamuk
Anopheles akan memakan spora dari B. thuriengensis yang berada di permukaan air.
B. thuringiensis bekerja dengan cara memproduksi toksin ketika membentuk spora
sebagai bentuk adaptasi terhadap keadaan yang tidak kondusif. Konsentrasi B.thuringiensis
sangat berpengaruh terhadap toksisitas dan lama residunya di dalam air. Hal ini
dimungkinkan karena semakin tinggi konsentrasi B.thuringiensis yang diinokulasikan
semakin banyak peluang untuk termakan oleh larva semakin besar. Konsentrasi B.
thuringiensis yang diperlukan untuk membunuh larva tergantung pada tempat berkembang
biak nyamuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah konsentrasi bakteri yang
diaplikasikan kepada larva maka tingkat kematian larva juga semakin rendah, demikian
sebaliknya. Trizelia (2011) menyatakan bahwa semakin banyak bakteri termakan oleh larva
maka akan meningkatkan kematian larva.
Ciri-ciri larva yang terinfeksi oleh bakteri adalah berwarna coklat kehitaman dan
mengalami paralisis usus (Gambar 5), indikasi lainnya dapat dilihat dari aktivitas makan
larva yang menurun bahkan dapat berhenti, larva menjadi lemah dan kurang tanggap
terhadap sentuhan. B. thuringiensis yang menginfeksi larva. Secara tidak langsung dapat
mematikan larva, namun bagi larva yang masih mampu bertahan hidup dan berhasil menjadi
pupa sampai serangga dewasa biasanya akan berukuran kecil, cacat, atau bahkan masa
hidupnya lebih pendek dan mandul (Suwahyono, 2010).
Kekurangan: Daya bunuh B. thuringiensis paling tinggi dalam waktu pemaparan adalah 4
hari dan apabila lebih dari itu toksin yang dihasilkan bakteri akan mengendap di dasar
tempat hidup larva. Padahal, Anopheles sp. biasa mengambil makanan (termasuk toksin) di
permukaan air (bukan di dasar perairan).
Waktu paparan yang lama (lebih dari 4 hari) akan menyebabkan efektivitas B.
thuringiensis menurun. Hal ini disebabkan karena ketersediaan nutrisi bakteri pada air
menurun, maka populasi bakteri juga menurun.
Kelebihan: Faktor lingkungan dapat membuat spora B. thuringiensis berkembang
sehingga bakteri dapat menghasilkan toksisitasnya. Lingkungan juga dapat berpengaruh
terhadap viabilitas larva, seperti temperatur, tempat hidup, keadaan air dan kandungan zat
makanan yang ada di dalam tempat perindukan larva (substrat) semakin tidak sesuai faktor
lingkungan dengan syarat kelangsungan hidup larva maka jumlah larva yang mati akan
semakin banyak.
Larva ini tidak hanya memangsa larva nyamuk Aedes namun juga dapat memangsa larva
nyamuk Culex. Larva toxor memiliki ukuran jauh lebih besar daripada ukuran larva
Aedes aegypti dan Culex sp. Cara larva toxor memangsa larva Aedes dan culex
adalah dengan menciptakan gangguan di air kemudian larva Toxor mengarahkan
mulutnya ke sumber stimulus. Bilamana mangsa sudah tertangkap, mangsa ditarik
ke dasar kontainer selama 15-30 detik, kemudian mangsa dibawa ke permukaan air
lagi. Setelah larva Toxor memangsa dua atau tiga ekor mangsa, tubuhnya
membentuk huruf “S”. Gerakan ini kemungkinan untuk menekan makanan yang
telah tertelan menuju ke saluran pencernaan belakang.
Kelebihan: Nyamuk Toxorhynchites dewasa tidak memakan darah dan tidak dapat
bertindak sebagai vektor penyakit. Dapat menyebar dan bertelur di tempat-tempat yang
tidak dapat terjangkau oleh manusia. mempunyai kemampuan untuk berpuasa dan bertahan
hidup selama berminggu-minggu pada kondisi lingkungan tanpa nutrisi dan mangsa. dapat
memangsa berbagai jenis larva nyamuk seperti Aedes, Culex, dan Anopheles.
Kekurangan: pengendalian tidak selalu berhasil karena populasi Toxorhynchites tidak
sebanding dengan populasi Aedes sp yang setiap tahun selalu meningkat. Tidak mudah
untuk dipelihara karena nyamuk Toxorhynchites betina lebih suka meletakkan telurnya pada
perairan berarus tenang. Sifat larva yang kanibal
Tagetes erecta (marigold). T. erecta dikenal sebagai tanaman yang memiliki aroma khas,
kemungkinan aroma tersebut yang tidak disukai nyamuk. Selain itu dapat juga mengusir
hama lain. T. erecta memiliki warna yang cerah dan bentuk yang cantik yang bisa sekaligus
menghias rumah. Bunga-bunga yang dihasilkan berwarna cerah seperti, kuning, oranye, dan
merah.
Zodia. Tanaman ini ampuh digunakan sebagai tanaman pengusir nyamuk. Zodia umumnya
digunakan masyarakat Papua sebelum memasuki hutan, yang biasanya digosokkan pada
tubuh untuk menghindari gigitan nyamuk.
Lemon Balm. Tanaman lemon balm berasal dari golongan tumbuhan mint lamiaceae. Di
samping sebagai tumbuhan pengusir nyamuk, biasanya tanaman ini dimanfaatkan sebagai
minuman dan bahan obat.
Rosemary. Tanaman ini memiliki wangi kayu yang sedap. Meskipun tumbuh paling baik di
iklim yang panas dan kering, tetapi juga toleran terhadap semua kondisi cuaca lain. Ditanam
sebagai tanaman pembatas untuk mempercantik tampilan taman di rumah atau ditanam di
dalam pot.
Mint. Daun mint adalah salah satu tanaman mengusir nyamuk, semut atau lalat, di samping
dikonsumsi bersama teh atau cocktail. Sangat baik ditanam di sekitar area tempat duduk
atau di teras rumah. Tanaman mint efektif bekerja sebagai mengusir nyamuk
menghancurkan daunnya atau dibakar dan dicampur dengan minyak tertentu , karena akan
mengeluarkan aroma dalam minyaknya (Marini, dkk., 2019 ).
referensi
Brahim R, Sitohang V and Zulkarnaen I. (2011) Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2017. Obat Pembunuh Jentik Nyamuk (Abate).
Diakses pada 17 Juli 2022.
Marini dan Hotnida Sitorus, 2019, Beberapa Tanaman Yang Berpotensi Sebagai Repelen Di
Indonesia, Spirakel, 11(1): 24-33.
Rahmi., Amir, R., Usman. (2018). BIOKONTROL IKAN PEMANGSA JENTIK DALAM
PEMBERANTASAN VEKTOR NYAMUK PENYEBAB DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) di KOTA
PAREPARE. Jurnal Manusia dan Kesehatan Vol. 1, No. 3 September 2018 pISSN 2614-5073, eISSN
2614-3151
Solichah, N., Martini, dan Henry, S. S. 2016. Pengaruh Pemberian Larvasida Insect Growth Regulator
(IGR) Berbahan Aktif Pyriproxyfen Terhadap Perubahan Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kelurahan
Bulusan Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 4 (1): 167-175.
Wibowo, C.I. (2017). Efektivitas Bacillus thuringiensis dalam Pengendalian Larva Nyamuk
Anopheles sp. Biosfera Vol 34, No 1 Januari 2017: 39-46 DOI:
10.20884/1.mib.2017.34.1.469