Anda di halaman 1dari 11

PERSPEKTIF MAHASISWA KEPERAWATAN UNIVERSITAS WIDYA

NUSANTARA TERHADAP KODE ETIK PROFESI


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu : Asman, S.Pd.,M.Pd

DI SUSUN OLEH :

NURUL ASTRI ARIPIN


202201115

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2022/2023
PERSPEKTIF MAHASISWA KEPERAWATAN UNIVERSITAS WIDYA
NUSANTARA TERHADAP KODE ETIK PROFESI
Nurul Astri Aripin
Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Widya Nusantara
E-mail : nurulastriaripin@gmail.com

BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kodeetik keperawatan sebagai bagian dari pengetahuan dasar etik
berisi bagaimanaseharusnya seorang perawat perprilaku etik sebagai seorang
propesi, dan bagaimanaseharusnya membuat kepuusan dalam mengalami
hambatan dan mencegah terjadinyapermasalahan etik serta berusaha memenuhi
kewajiban propesional sebagai tujuan,nilai, dan standart propesional sesuai tujuan,
nilai dan standar keperawatan (Numminen et al, 2009; Zahadi et al, 2013;
shahriani et al, 2013). Berpikir kritis dalam keperawatan merupakan sebuah
komponen esensial dalamtanggung gugat propesional, dan asuhan keperawatan
yang bermutu. Para pemikir kritisdalam keperawatan memperlihatkan berpikir
kritis seperti percaya diri, perspektifkontekstual, kreatifitas, fleksibel, rasa ingin
tahu, integeritas intelektual, intuisi, berpikirterbuka, tekun dan repleksi. Perawat
propesional adalah perawat yang dapat memcahkan masalah etik yang terjadi
didalam dunia keperawatan dengan cara berpikir kritis.
Setiap perawat yang telah melaksanakan tugasnya secara kompeten dan
penuhintegritas seharusnya memiliki beberapa elemen kunci yang
digunakan sebagaipedoman propesi sebagai akreditas dalam pendidikan, system
lisensi dan sertifikasi, dankode etik yang relevan (Epstein dan Turner,2015).
Kode etik propesional merupakanelemen dasar dari pengetahuan etik perawat
yang berasal dari pendidikan etik. Kode etik perawat merupakan hal yang sangat
penting sehingga diperlukan pendekatan dalammengajarkan etik keperwatan
yang dimasukan dalam kurikulum pendidikankeperawatan (Nummienen et
al,2009).
Kode etik disusun dan disahkan oleh organisasi atau wadah yang membina
profesi tertentu baik secara nasional maupun internasional. Kode etik menerapkan
konsep etis, karena profesi bertanggung jawab pada: manusia dan menghargai
kepercayaan serta nilai individu. Kata seperti etika, hak asasi, tanggung jawab,
modah didefinisikan tetapi kadang- kadang tidak jelas letak istilah tersebut
diterapkan dalam suatu situasi. Contohnya, benarkah dipandang dari segi etis, hak
asasi, dan tanggung jawab bila profesional kesehatan menghentikan upaya
penyelamatan hidup pada pasien yang mengidap penyakit yang pasti membawa
kematian (Sumijatan. 2010).
Secara umum tujuan etika profesi keperawatan adalah menciptakan dan
mempertahankan kepercayaan klien kepada perawat, kepercayaan di antara
sesama perawat, dan kepercayaan masyarakat kepada profesi keperawatan.
Suhaemi (2010) menyatakan etika profesi keperawatan merupakan alat untuk
mengukur perilaku moral dalam keperawatan. Dalam penyusunan alat pengukur
ini, keputusan diambil berdasarkan kode etik sebagai standar yang mengukur dan
mengevaluasi perilaku dan moral perawat Dengan menggunakan kode etik
keperawatan, organisasi profesi keperawatan dapat meletakkan kerangka berpikir
perawat dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab kepada masyarakat,
anggota tim kesehatan yang lain, dan kepada profesi (ANA, 1976 dalam Suhaemi
2010).
Pelanggaran terhadap kode etik keperawatan juga dapat dikenai sanksi
hukum, tidak sekedar sanksi moral, sanksi administratif, maupun sanksi yang
diberikan intsitusi. Untuk menghindari pelanggaran kode etik dalam praktik
keperawatan profesional, maka perawat harus menerapkan prinsip/asas kode etik
keperawatan mematuhi aspek legal keperwatan yang diatur dalam KepMenkes
148/2010 dan UU Kes 36/2009. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga
kesehatan dilihat dan dinilai oleh pasien dan masyarakat yang menggunakan
fasilitas kesehatan dalam bentuk pelayanan kesehatan yang berikan oleh
dokter dan perawat terutama di ruang rawat inap (Amelia, 2013; Nursalam,
2014; Anggrawati & Sari,2016).
Prinsip-prinsip kode etik keperawatan bertujuan mengidentifikasi,
mengorganisasikan, memeriksa dan membenarkan tindakan kemanusiaan
dengan menerapkan kode etik keperawatan, serta menegaskan kewajiban yang
secara suka rela di emban oleh perawat. tiga alasan terjadinya kegagalan
penerapan kode etik yaitu ketidak efektifan kode etik dalam praktik klinis
sehari-hari, perbedaan antara kode etik dan realitas di lingkungan klinis, dan
ketidak sadaran perawat tentang kode etik keperawatan. Faktor yang
mempengaruhi pelaksanaan kode etik disebabkan faktor internal dan eksternal
yang akan menimbulkan reaksi positif yang sesuai dengan keinginan pasien
dan keluara pasien sehingga berdampak pada kenyamanan pasien, kepuasan
pasien dan kepercayaan pasien dan resaksi negatif akan menimbulkan rasa
ketidak percayaan pasien dan keluarga pasien (Sutarna, 2011; Momenasab et
al, 2015; Yulianti,2017)
Sesuai dengan tujuan di atas, perawat ditantang untuk mengembangkan
etika profesi secara terus-menerus agar dapat menampung keinginan dan masalah
baru dan mampu menurunkan etika profesi keperawatan kepada perawat generasi
muda, secara terus-menerus juga meletakkan landasan filsafat keperawatan agar
setiap perawat tetap menyenangi profesinya. Selain itu pula, agar perawat dapat
menjadi wasit untuk anggota profesi yang bertindak kurang profesional karena
melakukan tindakan di bawah standar profesional atau merusak kepercayaan
masyarakat terhadap profesi keperawatan (Sumijatun, 2012).
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Gastritis merupakan gangguan saluran pencernaan atau yang biasa disebut
dengan penyakit Maag. Maag telah menjadi masalah di kalangan masyarakat yang
sudah terlalu sering di keluhkan. Gangguan pencernaan ini biasanya disebabkan
oleh faktor akibat iritasi serta infeksi pada mukosa dan submukosa yang ada pada
lambung yang disertai dengan rasa mual, muntah dan merasa nyeri pada ulu hati
(Melani,2016). Pola makan yang tidak baik dapat memicu terjadi nya gastritis.
Terutama pada lansia, mulai dari frekuensi makanan, jenis makanan, serta tekstur
dari makanan harus diperhatikan serta memastikan bahwa lambung tidak dalam
keadaan yang kosong (Muhith & Siyoto, 2017).

Stres merupakan fakta dan kenyataan di dalam kehidupan mulai dari faktor
pekerjaan, pendidikan, konflik, dan ekonomi. Semuanya adalah stres dengan
sistuasi yang berbeda-beda. Istilah Stres ini berasal dari istilah latin yaitu berasal
dari kata “stringere” yang berarti ketegangan dan tekanan (Yosep, 2011). Bukan
hanya orang dewasa, tapi remaja juga dapat mengalami stres.

Semakin banyak orang stres, maka semakin banyak juga resiko seseorang
mengalami gastritis. Stres memiliki efek negatif untuk mekanisme neuroendokrin
terhadap saluran pencernaan, sehingga seseorang yang sedang stres dapat
mengalami gastritris (Prio, 2009).

Stres merupakan gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh
terjadinya perubahan dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi oleh lingkungan
maupun individu tersebut. Sehingga bisa disimpulkan bahwa stress merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh dalam kekambuhan gastritis (Goldberg, dkk,
1976).

Penelitian yang dilakukan oleh Maulidiyah (2006) terhadap 90 responden


yang menemukan hubungan signifikan antara pola makan dengan kekambuhan
gastritis. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ariyana (2014)
terhadap 88 responden yang menemukan hubungan signifikan antara pola makan
dengan kekambuhan gastritis. Menurut penelitian Gustin (2012) bahwa dari 30
responden yang mengalami gastritis didapatkan bahwa proporsi kejadian gastritis
lebih tinggi pada responden yang mengalami stres dan hal ini juga dapat
mempengaruhi terjadinya kekambuhan gastritis. Menurut pendapat para ahli
kedokteran menyatakan bahwa kenaikan asam lambung yang berlebihan dapat
diakibatkan oleh stres atau ketegangan kejiwaan.

Berdasarkan latar belakang yang yang telah diuraikan, solusi yang bisa
dilakukan untuk mengatasi hubungan pola makan dan tingkat stress terhadap
kekambuhan gastritis di RS Anutapura palu adalah perawat harus mampu
menghindari faktor penyebab kambuhnya gastritis pada pasien. Misalnya, Stres
dan pola makan yang tidak teratur. Oleh karena itu, perawat harus mampu
memberikan asuhan keperawatan yang tepat untuk mengurangi intensitas nyeri
yang dirasakan pasien akibat gastritis.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan gastritis?


2. Apa yang dimaksud dengan pola makan?
3. Apa yang dimaksud dengan stress?
4. Apa hubungan gastritis dengan pola makan?
5. Apa hubungan stres dengan pola makan?
6. Apa penyebab kekambuhan gastrtris?

Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi gastritis.


2. Untuk mengetahui definisi pola makan.
3. Untuk mengetahui definisi stress.
4. Untuk mengetahui hubungan pola makan dengan gastritis.
5. Untuk mengetahui hubungan pola makan dengan stres.
6. Untuk mengetahui penyebab kambuhnya gastritis.
KAJIAN PUSTAKA

1. Definisi Gastritis
Penyakit gastritis sebagai salah satu masalah pada saluran pencernaan
yang paling sering terjadi pada seluruh kalangan usia. Kejadian penyakit
gastritis terjadi karena pola hidup yang tidak sehat seperti pola makan yang
tidak teratur, konsumsi obat penghilang nyeri jangka panjang, konsumsi kopi,
alkohol, merokok, stres fisik, stres psikologis, kelainan autoimun, chrone
disease, penyakit bile reflux, infeksi bakteri dan penyakit lain seperti
HIV/AIDS, infeksi parasit dan gagal hati atau ginjal. Gejala yang timbul pada
penyakit gastritis berupa rasa tidak enak pada perut, perut kembung, sakit
kepala, mual dan lidah berlapis (Okviani, 2011).
Salah satu penyebab dari gastritis adalah infeksi dari bakteri
Helicobacter Pylori (H. pylori) dan merupakan satu-satunya bakteri yang
hidup di lambung. Bakteri ini dapat menginfeksi lambung sejak anak-anak dan
menyebabkan penyakit lambung kronis. Bahkan diperkirakan lebih dari 50%
penduduk dunia terinfeksi bakteri ini sejak kecil. Jika dibiarkan, akan
menimbulkan masalah sepanjang hidup (Soemoharjo, 2007)
Data Depkes RI (2014), menyatakan angka kejadian gastritis di
Indonesia sebesar 40,8%, sedangkan di Jawa Timur angka kejadian gastritis
sebesar 31,2% dari seluruh kalangan usia. Gastritis merupakan salah satu
penyakit di dalam sepuluh penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah
sakit di Indonesia dengan jumlah 30.154 kasus (4,9%).Kejadian gastritis yang
dibiarkan atau tidak diberi pengobatan bisa mengakibatkan kekambuhan secara
terus menerus pada penderita dan memberikan efek negatif pada kondisi
kesehatan seperti merusak fungsi lambung dan dapat meningkatkan resiko
untuk terkena kanker lambung hingga menyebabkan kematian.
2. Definisi Pola Makan
Pola makan merupakan perilaku yang ditempuh seseorang dalam
memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari
yang meliputi frekuensi makan dalam sehari, jenis makanan yang dikonsumsi
dan porsi makan.Kebiasaan makan tidak teratur akan membuat lambung sulit
untuk beradaptasi, jika hal itu berlangsung lama, produksi asam lambung akan
berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung dan dapat
berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan
mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa panas
terbakar (Notoatmodjo, 2011).
Pada penderita gastritis, makanan yang disajikan perlu di atur terutama
mengingat bahwa penyakit ini berhubungan dengan alat pencernaan. Gastritis
dapat diatasi dengan cara mengurangi konsumsi makanan yang dapat
mengganggu lambung (makanan yang terlalu asam danpedas) serta
menghindari makanan yang bisa membentuk gas sehingga mengakibatkan
perut kembung (misalnya ubi dan nangka).
Pola makan yang baik mengandung makanan sumber energi, sumber
zat pembangun dan sumber zat pengatur, karena semua zat gizi diperlukan
untuk pertumbuhan dan pemiliharaan tubuh serta perkembangan otak dan
produktifitas kerja, serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan
kebutuhan.

3. Hubungan antara Pola Makan dengan kejadian Gastritis.

Dari hasil uji Continuity Correctiondidapatkan nilai p=0,058. Oleh


karena p 0,058 ˂ 0,05 (α), maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha
diterima, yang artinya ada hubungan yang signifikan antara Pola makan dengan
kejadian gastritis di ruang rawat inap RSUD Nene Mallomo Kabupaten Sidrap
Tahun 2017.

Menurut penelitian hal ini dikarenakan orang yang memiliki kesibukan


kerja dan tidak memperhatikan pola makannya sehingga mudah terserang
penyakit gastritis. Pada saat lambung dalam keadaan kosong maka asam
lambung akan mencerna lapisan mukosa lambung, sehingga timbul rasa nyeri.
Makanan sering kali menimbulkan masalah bagi kesehatan, terutama kesehatan
pencernaan misalnya, waktu makan yang tidak teratur bisa menyebabkan
gangguan pada lambung, menu makanan yang tidak seimbang dapat
mempengaruhi buang air besar (Chasanah, 2010).
Gastritis biasanya diawali dengan pola makan yang tidak baik dan tidak
teratur sehingga lambung menjadi sensitif di saat asam lambung meningkat.
Peningkatan asam lambung diluar batas normal akan menyebabkan terjadinya
iritasi dan kerusakan pada lapisan mukosa dan submukosa lambung dan jika
peningkatan asam lambung ini dibiarkan saja maka kerusakan lapisan lambung
atau penyakit gastritis akan semakin parah. Dalam penelitian Gustin (2012)
menunjukkan bahwa dari 30 responden yang mengalami gastritis didapatkan
proporsi kejadian gastritis lebih tinggi pada responden yang mempunyai
kebiasaan makan yang kurang baik (100%) dibanding responden dengan
kebiasaan makan yang baik (22%). Dalam penelitian Maulidiyah (2006) dari
90 orang responden didapatkan bahwa jumlah responden yang mengalami
kekambuhan sebanyak 54 responden (77,1%) mempunyai kebiasaan makan
yang kurang baik dan sebanyak 16 responden (22,9%) mempunyai kebiasaan
makan yang baik. Pengaturan pola makan yang tidak baik dan tidak teratur
akan menimbulkan kekambuhan pada penderita gastritis Oleh karena itu
pengaturan pola makan yang baik dan teratur merupakan salah satu dari
penatalaksanaan gastritis dan juga merupakan tindakan preventif dalam
mencegah kekambuhan gastritis.

Menurut fitri (2013) gastritis terjadi akibat makan tidak teratur atau tidak
makan apapun dalam waktu relative lama, akibatnya kadar asam lambung
meningkat sehingga permukaan lambung terkikis hingga menimbulkan
semacam tukak. Jika pengikisan sudah terjadi, gastritis pun akan semakin
beresiko. Gejala penyakit yang tidak muncul tidak lagi sekedar mual, muntah
atau sakit perut, tetapi juga meningkat hingga feses yang berdarah (Sopyan,
2015).

Hal ini sejalan dengan teori Megawati, Nosi (2014) dalam jurnal berjudul
beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian gastritis pada pasien yang
di rawat di Rumah Sakit Labuang baji Makassar. Dengan hasil uji statistik
yaitu diperoleh data p = 0,024 < α 005 yang artinya ada pengaruh antara pola
makan dengan kejadian gastritis. Salah satu penyebab utama meningkatnya
asam lambung adalah pola makan yang tidak teratur. Makanan atau minuman
yang dikonsumsi dan masuk kedalam lambung berfungsi mengurangi
kepekatan asam lambung sehingga tidak sampai menggerogoti lambung.
Perubahan pola makan meliputi tidak teraturnya waktu makan, frekuensi
makan, jenis makanan dan porsi makanan yang dikonsumsi dapat
mempengaruhi kekambuhan gastritis.

4. Definisi Stres
Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari
manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan
internal dan eksternal (stressor). Stres dapat mempengaruhi semua bagian dari
kehidupan seseorang, menyebabkan stres mental, perubahan perilaku,
masalahmasalah dalam interaksi dengan orang lain dan keluhan-keluhan fisik
salah satunya mengakibatkan nafsu makan berkurang sehingga menimbulkan
gastritis. Stres menyebabkan penurunan semua kinerja organ tubuh yang di
pengaruhi dan dikontrol oleh otak, ketika reseptor otak mengalami kondisi
stres akan menyebabkan perubahan keseimbangan kondisi dalam tubuh
sehingga berdampak terhadap perubahan pola makan yang menyebabkan
gastritis (Sunaryo dalam Prasetyo, 2015).
Data WHO tahun 2013 prevalensi masyarakat dunia yang mengalami
stress ringan sebesar 38% dan pada tahun 2015 meningkat menjadi 42%.
Berdasarkan data Depkes RI tahun 2015 didapatkan prevalensi masyarakat
Indonesia yang mengalami stres ringan sebesar 36,7% dan pada tahun 2015
meningkat 41,8%, sedangkan prevalensi masyarakat di Jawa Timur yang
mengalami stres ringan pada tahun 2015 sebanyak sebesar 18,5% atau
sebanyak 1,5 juta orang.

5. Hubungan antara Tingkat Stres dengan kejadian Gastritis


Dari hasil uji Pearson Chi Square antara variabel tingkat stres dengan
kejadian gastritis diperoleh nilai p=0,035. Oleh karena p 0,035 ˂ 0,05 (α),
maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya
tingkat stres dengan kejadian gastritis. Bila tubuh mengalami stres, maka akan
terjadi perubahan psikologik di dalam tubuh sebagai suatu jawaban atas stres,
dari hasil penelitian diperoleh mayoritas responden yang terdiagnosis gastritis
yang sebelumnya mengalami stres.
Berdasarkan hasil wawancara dalam suatu penelitian yang dilakukan
oleh Gustin (2012) menunjukkan bahwa dari 30 responden yang mengalami
gastritis didapatkan bahwa proporsi kejadian gastritis lebih tinggi pada
responden yang mengalami stres (70,8%) dibanding yang tidak mengalami
stres (17,1%). Seseorang yang sudah menderita gastritis apabila dalam keadaan
stres dapat menyebabkan terjadinya kekambuhan gastritis.
Stres lebih banyak diakibatkan oleh ketidakmampuan responden
menghadapi beban pekerjaan yang berat dan besarnya tekanan hidup yang
dialami, sehingga sistem didalam tubuh mengadakan respon melalui sistem
syaraf otonom yang selanjutnya akan mempengaruhi fungsi organ-organ tubuh,
salah satunya adalah organ pencernaan.
Stres menyebabkan perubahan hormonal sedemikian rupa di dalam
tubuh kita yang selanjutnya akan merangsang sel-sel di dalam lambung
memproduksi asam dalam jumlah berlebihan . asam yang berlebihan ini
menyebabkan lambung terasa nyeri, perih dan kembung yang lama kelamaan
dapat menyebabkan gastritis.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Wardah (2013) dengan judul
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gastritis di puskesmas
Lancirang, diketahui bahwa dari 30 responden yang berpengaruh stres dengan
kejadian gastritis berjumlah 21 orang (70%) dan yang tidak berpengaruh stres
dengan kejadian gastritis berjumlah 9 orang (30,0%) dengn total responden 30
orang (100%). Berdasarkan uji pearson chy square diperoleh nilai p = 0,032 <
α (0,05) dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya ada
hubungan antara stres dengan kejadian gastritis.

Anda mungkin juga menyukai