Anda di halaman 1dari 18

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Trombosit

a. Morfologi dan Asal Trombosit

Trombosit adalah salah satu komponen darah yang memiliki bentuk

cakram kecil (ukurannya sekitar 1 - 4 mikrometer) dan tidak memiliki

inti sel sehingga tidak dapat bereproduksi (Hall, 2014). Trombosit

terbentuk dari megakariosit yang pecah menjadi fragmen-fragmen kecil

segera setelah keluar dari sumsum tulang sehingga sering juga disebut

sebagai keping darah atau platelet (Bakta, 2013 ; Hall, 2014 ; Schwab,

2008). Menurut Handayani dan Haribowo (2008), trombosit dapat

bertahan hidup dalam sirkulasi darah sekitar 10 hari. Namun, menurut

Wolpert (2009) masa hidup trombosit dalam sirkulasi darah hanya

sekitar 7 hari.

b. Fungsi Trombosit

Menurut Wolpert (2009), trombosit memiliki fungsi untuk

mencegah terjadinya kehilangan darah melalui proses pembekuan

darah. Pada keadaan normal, trombosit beredar di dalam pembuluh

darah bersama eritrosit, leukosit, dan komponen darah lainnya. Ketika

ada kerusakan pada pembuluh darah, secara segera trombosit akan

terkonsentrasi ke daerah luka akibat adanya paparan langsung bagian

endotel pembuluh darah (Handayani dan Haribowo, 2008).


commit to user

5
library.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

Menurut Handayani dan Haribowo (2008), daerah luka akan dilekati

oleh trombosit yang kemudian menghasilkan serotonin dan histamin

sebagai vasokonstriktor. Setelah itu trombosit akan membentuk sumbat

trombosit yang efektif untuk menutup luka sebagai output dari

kemampuan trombosit untuk mengubah bentuk dan kualitasnya ketika

berikatan dengan pembuluh darah yang rusak.

Pembentukan sumbat trombosit yang tidak segera dihentikan ketika

luka sudah teratasi akan membuat sumbat menjadi semakin besar. Hal

ini akan meningkatkan kemungkinan terlepasnya sumbat trombosit ke

aliran darah dan menjadi embolus yang menyumbat aliran darah

(Handayani dan Haribowo, 2008). Untuk mencegah terjadinya hal ini,

maka diperlukan fungsi dari antikoagulan setelah pembentukan sumbat

trombosit dirasa sudah cukup. Hall (2014) menyatakan bahwa beberapa

antikoagulan memiliki kemampuan kerja yang kuat, diantaranya adalah:

1) Benang-benang fibrin, berfungsi untuk mencegah tersebarnya

bekuan darah yang berlebihan ke aliran darah

2) Antitrombin III, berfungsi menonaktifkan faktor pembekuan darah

yang tidak teradsorpsi oleh benang fibrin

3) Heparin, berfungsi meningkatkan efektifitas fungsi antitrombin III

ketika keduanya berikatan

Selain peran utamanya dalam proses pembekuan darah, trombosit

juga memiliki peran dalam respon imun dan terjadinya proses

inflamasi. Trombosit merupakan sel yang memiliki fungsi imun yang

paling banyak beredar di pembuluh darah, sehingga efek yang


commit to user
library.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

dihasilkan mampu dideteksi baik secara lokal maupun sistemik. Ketika

ada kerusakan vaskular ataupun infeksi, trombosit akan segera

merangsang pembentukan protein fase akut yang mampu menghambat

pertumbuhan patogen dan membentuk efek prokoagulan yang

menghambat proses infeksi (Morrell et al., 2014). Trombosit mampu

meningkatkan permeabilitas vaskular dalam banyak keadaan inflamasi

yang akan menyebabkan bengkak, salah satu tanda awal dari inflamasi.

Selanjutnya, trombosit juga mengeluarkan mediator inflamasi yang

dapat menyebabkan tanda-tanda inflamasi yang lainnya, yaitu: 1. rubor

; 2. kalor ; 3. dolor ; 4. gangguan fungsi. Tanda-tanda inflamasi tersebut

muncul sebagai hasil interaksi antara trombosit dengan leukosit yang

datang akibat adanya signal inflamasi dari trombosit (Mekaj, 2016).

a. Pemeriksaan

Pemeriksaan trombosit biasanya dilakukan dengan tujuan

mengetahui ada tidaknya trombositopeni ataupun trombositosis yang

dapat menyebabkan abnormalitas pembekuan darah dan Hidayat, 2008).

Perhitungan jumlah trombosit dapat dilakukan melalui metode langsung

ataupun tidak langsung. Metode langsung adalah metode dengan

memanfaatkan alat hitung otomatis, sedangkan metode tidak langsung

mengandalkan kemampuan laboran dalam menghitung jumlah

trombosit yang ada. Metode langsung yang biasa digunakan adalah

hematology analyzer dan untuk metode tidak langsung yang biasa

digunakan adalah kamar hitung (Rees-Ecker). Namun, kedua metode

commit to user
library.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

tersebut memiliki hasil yang saling mendekati sehingga dapat dipilih

salah satunya saja untuk digunakan (Wulandari dan Zulaikah, 2012).

b. Faktor yang Memengaruhi Jumlah Trombosit

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011), beberapa hal yang dapat

mempengaruhi jumlah trombosit adalah :

1) Trauma

Pada keadaan trauma biasanya akan terjadi trombositosis yang

berarti jumlah trombosit dalam darah meningkat hingga diatas

interval jumlah trombosit normal (Salim et al., 2009). Hal ini

dianggap sebagai respon fisiologis terhadap proses inflamasi, seperti

infeksi, operasi, ataupun trauma.

2) Clumping platelet

Menurut Tan et al. (2016), clumping platelet adalah sebuah keadaan

dimana trombosit mengalami aglutinasi yang bisa diakibatkan oleh

berbagai faktor, seperti karena adanya autoantibodi IgM atau IgG

yang menyerang epitop permukaan trombosit. Keadaan ini akan

menyebabkan terjadinya pseudotrombositopenia karena trombosit

satu dan lainnya akan menempel. Hal ini menyebabkan trombosit

yang terhitung akan menghasilkan jumlah yang cenderung lebih

sedikit.

3) Kehamilan

Pada masa kehamilan, wanita akan mengalami penurunan jumlah

trombosit yang terjadi secara fisiologis. Menurut Ciobanu et al.

(2016), penurunan jumlah trombosit tidak akan terlalu signifikan dan


commit to user
library.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

tidak akan memberikan efek yang merugikan. Proses fisiologis ini

disebabkan karena adanya hemodilusi (peningkatan volume plasma),

peningkatan kebutuhan jaringan di perifer, dan peningkatan agregasi.

2. Limfosit

a. Morfologi dan Asal Limfosit

Limfosit memiliki bentuk bulat dengan inti bulat atau oval

berukuran besar yang terletak di tengah ataupun di pinggir sel (Harvey,

2012 ; Ressel, 2017). Morfologi ini sama untuk kedua jenis limfosit

(Ressel, 2017). Limfosit biasanya memiliki mikrovili pada

permukaanya dan tidak memiliki granul kecuali pada limfosit granular

(Harvey, 2012).

Limfosit terbentuk dari sel progenitor limfoid yang termasuk jenis

committed stem cell yang disebut limfoblas (Bakta, 2013 ; Hall, 2014).

Limfoblas selanjutnya akan membentuk 2 jenis limfosit yaitu limfosit T

(75%) dan limfosit B (25%). Setelah terbentuk, limfosit T yang belum

terktivasi akan bermigrasi ke timus untuk dimatangkan sebelum siap

untuk menjalankan fungsinya. Sedangkan limfosit B akan diolah

terlebih dahulu di hati pada pertengahan kehidupan janin dan

selanjutnya di sum-sum tulang (Hall, 2014). Limfosit sendiri lebih

banyak disimpan di organ-organ limfoid dan hanya sedikit yang beredar

di pembuluh darah (Harvey, 2012). Limfosit beredar dalam tubuh

secara kontinu bersamaan dengan aliran limfe dengan masa hidup

hingga berbulan-bulan tergantung pada kebutuhan tubuh (Hall, 2014).


commit to user
library.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

b. Fungsi Limfosit

Limfosit memiliki peran sebagai sistem imun adaptif atau sistem

imun yang didapat. Sesuai dengan namanya, limfosit baru bisa

menjalankan fungsinya ketika sudah mendapat paparan dari antigen.

Limfosit sendiri terdiri dari 2 macam, yaitu limfosit T dan limfosit B

(Hall, 2014).

Limfosit B berfungsi untuk menghasilkan imunitas humoral yang

menghasilkan antibodi di pembuluh darah dan lapisan mukosa.

Imunitas humoral merupakan pertahanan dasar karena dapat

menghasilkan antibodi yang spesifik untuk melawan microba dan

toksinnya. Sementara, limfosit T berfungsi untuk menjalankan sistem

imun yang diperantarai oleh sel dan membantu imunitas humoral untuk

membentuk sistem imun yang lebih efektif. Limfosit T berfungsi untuk

melawan mikroba yang bersembunyi di dalam sel-sel tubuh, seperti

makrofag atau sel host lainnya, yang tidak dapat diatasi oleh imunitas

humoral. Limfosit T mampu mengenali mikroba yang bersembunyi

dalam sel host melalui epitop yang dihasilkan oleh sel tersebut (Abbas

et al., 2015).

Limfosit juga memiliki sistem memori terhadap antigen yang

pernah menyerang. Hal ini menguntungkan jika suatu saat manusia

kembali terpapar dengan antigen yang sama, sistem imun akan dengan

lebih cepat merespon untuk melindungi. Hal ini lah yang selanjutnya

digunakan sebagai prinsip vaksinasi untuk memberikan kekebalan

tubuh pasif. Kekebalan tubuh pasif adalah kekebalan tubuh yang


commit to user
library.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

terbentuk karena adanya antigen yang sudah dimatikan atau dilemahkan

dan kemudian dimasukkan ke dalam tubuh secara sengaja. Sementara

kekebalan aktif adala kekebalan tubuh yang terbentuk karena adanya

antigen yang masuk ke dalam tubuh secara alami (Abbas et al., 2015).

c. Faktor yang Memengaruhi Jumlah Limfosit

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2011), beberapa hal yang dapat

mempengaruhi jumlah trombosit adalah :

1) Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan peningkatan jumlah limfosit yang

beredar dalam darah sebagai usaha untuk melawan agen-agen

penginfeksi yang masuk ke dalam tubuh.

2) Obat-obatan

Beberapa jenis obat-obatan bisa mempengaruhi jumlah limfosit

dalam tubuh, terutama obat-obatan yang memiliki efek

imunomodulator (Hayes dan Kruger, 2014).

3) Stress

Stress dapat memicu penurunan jumlah limfosit akibat meningkatnya

kadar hormon glukokortikoid tubuh (Hayes dan Kruger, 2014).

3. Rasio Trombosit-Limfosit

Rasio trombosit-limfosit (RTL) adalah salah satu penanda adanya

aktivitas protrombotik dan proses inflamasi yang hemat dan dapat dengan

mudah diaplikasikan (Alexander, 2016 ; Akin et al., 2015). RTL sendiri

mulai sering dipelajari lebih lanjut setelah diketahui mampu memprediksi


commit to user
library.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

prognosis pada beberapa keadaan medis, seperti pasien dengan inflamasi

dan iskemik. Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan, RTL

sendiri lebih banyak berperan dalam keadaan medis yang berhubungan

dengan vaskular, seperti penyakit arteri koroner, infarks miocard, gagal

ginjal stadium akhir, dan penyakit pembuluh darah perifer. Selain itu,

bentuk RTL yang berupa perbandingan menjadikan angka RTL lebih stabil

dibandingkan pemeriksaan darah lainnya (Balta dan Ozturk, 2015).

Jumlah Trombosit
Rasio Trombosit-Limfosit =
Jumlah Limfosit Absolut

Bagan 2.1. Rumus Perhitungan Rasio Trombosit-Limfosit

RTL dapat diketahui melalui perhitungan jumlah trombosit dibagi

dengan jumlah limfosit absolut pasien. Beberapa penelitian menyebutkan

bahwa peningkatan rasio trombosit-limfosit dapat menandakan terjadinya

inflamasi, atherosklerosis, dan aktivasi trombosit (Balta dan Ozturk, 2015).

Hal ini disebabkan karena trombosit dan limfosit memiliki peranan yang

cukup penting dalam proses terjadinya inflamasi. Meskipun fungsi utama

trombosit bukan sebagai sistem imun, trombosit mampu membuat leukosit

berkumpul ke tempat terjadinya infeksi dan inflamasi (Nording et al.,

2015) serta mampu menghasilkan tromboxane dan mediator inflamasi

lainnya seperti IL-1β (Nording et al, 2015; Balta et al, 2013). Adanya zat-

zat pro-inflamasi yang dihasilkan tersebut menyebabkan pasien dengan

jumlah trombosit lebih banyak kemungkinan akan mengalami reaksi

inflamasi yang lebih hebat (Balta et al., 2013)

commit to user
library.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Alexander (2016) pada

orang-orang sehat di North Central Nigeria, rasio trombosit-limfosit dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

a. Jenis kelamin. RTL pada laki-laki cenderung lebih tinggi jika

dibandingkan dengan RTL pada perempuan.

b. Usia. RTL akan meningkat seiring dengan pertambahan usia. Biasanya

RTL akan cenderung menjadi lebih tinggi ketika usia telah melewati 50

tahun. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya proses inflamasi

kronis yang berhubungan berbagai penyakit kronis seperti diabetes

melitus dan masalah kardiovaskular.

4. Abortus Spontan

a. Definisi dan Epidemiologi

Menurut WHO, abortus adalah sebuah keadaan dimana fetus keluar

dari rahim ibu dengan berat 500 gram atau kurang. Menurut O'Reilly et

al. (2012), abortus adalah terhentinya kehamilan sebelum usia

kehamilan mencapai 24 minggu atau sebelum dimulainya kehidupan.

Sementara, menurut Sarwono (2014), abortus adalah berakhirnya masa

kehamilan saat berat janin belum mencapai 500 gram atau usia janin

belum mencapai 22 minggu.

Menurut WHO, jumlah abortus di dunia mencapai 8% dari angka

kematian ibu di dunia. Sementara, berdasarkan analisis yang dilakukan

oleh Kuntari et al. (2010), ditemukan prevalensi abortus di Indonesia

commit to user
library.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

sebanyak 280 kasus dari jumlah total populasi yang diteliti sebanyak

3401. Dalam bentuk persen, angka tersebut setara dengan 8,23%.

Berdasarkan data dari bagian rekam medis, di RSUD Dr.Moewardi

sendiri kejadian abortus spontan sendiri tercatat sebagai berikut :

Tabel 2.1. Prevalensi Abortus Spontan di RSUD Dr.Moewardi

Tahun Prevalensi Abortus Spontan

Januari - Desember 2015 75


Januari - Desember 2016 32
Januari - Mei 2017 14

b. Klasifikasi

Menurut Permezel et al. (2015), abortus spontan dapat diklasifikasikan

menjadi beberapa jenis berdasarkan pengeluaran hasil konsepsi dari

uterus, yaitu :

1) Abortus imminens (threatened)

Adalah keadaan terjadinya perdarahan pada uterus dengan keadaan

bayi yang masih hidup sehingga masih ada kemungkinan untuk

dipertahankan. Perdarahan dan nyeri yang terjadi pada tipe abortus

ini biasanya tidak akan terlalu parah (Gaufberg, 2017).

2) Abortus insipiens (inevitable)

Adalah abortus yang terjadi dengan hasil konsepsi yang sudah

meninggal tetapi masih berada di dalam uterus. Pada kasus ini

biasanya serviks sudah dilatasi namun hasil konsepsi belum keluar.

Sehingga, pada kasus ini biasanya diperlukan induksi

medikamentosa agar hasil konsepsi dapat keluar. Namun jika dengan


commit to user
usaha medikamentosa tidak berhasil, harus segera dilakukan
library.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

kuretase. Abortus spontan jenis ini biasanya menjadi yang paling

nyeri dan perdarahan yang terjadi cukup banyak (Gaufberg, 2017).

3) Abortus inkomplit

Adalah abortus yang terjadi dengan keluarnya sebagian hasil

konsepsi, sehingga pada pemeriksaan USG setelah abortus pada

uterus akan terlihat adanya sebagian sisa hasil konsepsi. Abortus

jenis ini biasanya mengalami perdarahan yang paling hebat bahkan

hingga syok. Pada beberapa wanita dengan kasus abortus tipe ini

membutuhkan transfusi darah.

4) Abortus komplit

Adalah abortus yang terjadi dengan keluarnya seluruh hasil konsepsi,

sehingga pemeriksaan USG setelah terjadinya abortus uterus akan

terlihat kosong. Pasien dengan tipe abortus ini biasanya mengalami

perdarahan yang cukup banyak dan nyeri hebat sebelum hasil

konsepsi keluar.

5) Missed abortion

Adalah abortus yang terjadi namun seringkali tidak disadari. Hal ini

ditandai dengan berkurangnya tanda-tanda kehamilan dan serviks

juga belum dilatasi. Biasanya hanya ada bercak-becak kecoklatan

yang keluar

c. Etiologi dan Patofisiologi

Etiologi dari terjadinya abortus tergantung pada waktu terjadinya,

apakah pada trimester pertama atau trimester kedua. Untuk trimester

pertama, beberapa hal yang biasanya menjadi penyebab adalah infeksi,


commit to user
library.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

imunologis, endokrin, dan lingkungan (Permezel, 2015 ; Gaufberg,

2017). Sementara, untuk abortus pada trimester kedua biasanya

disebabkan oleh adanya kelainan anatomis (Gaufberg, 2017).

Abnormalitas kromosom menjadi penyebab terbanyak dari abortus

spontan (Permezel, 2015).

Abortus spontan terjadi sebagai hasil dari kematian embryo akibat

kegagalan perkembangan embryo atau placenta. Hal ini kemudian

diikuti dengan terjadinya perdarahan di lapisan desidua basalis dan

menyebabkan terjadinya nekrosis. Selain itu, kadar estrogen dan

progesteron juga akan menurun dan membantu meluruhkan lapisan

desidua. Seluruh perubahan ini kemudian akan menyebabkan terjadinya

perdarahan pervaginam dan kontraksi uterus sebagai bentuk usaha

pegeluaran hasil konsepsi (Abbott et al., 2014).

d. Faktor Risiko

Menurut Kuntari et al (2010), beberapa hal yang menjadi faktor risiko

abortus adalah :

1) Usia ibu

Hamil pada usia 30 tahun ke atas akan meningkatkan risiko

terjadinya abortus. Sinsin (2008) menyebutkan bahwa hamil pada

usia 35 tahun atau lebih akan meningkatkan kejadian abortus, bayi

lahir cacat, bahkan hingga kematian ibu saat persalinan. Disebutkan

juga bahwa usia ideal untuk hamil adalah dalam rentang usia 21-30

tahun (Sinsin, 2008).

commit to user
library.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

2) Paritas

Wanita dengan paritas 0-2 berisiko lebih tinggi mengalami abortus

jika dibandingkan pada wanita dengan paritas lebih dari 2

3) Pekerjaan ibu

Wanita yang bekerja akan memiliki risiko lebih tinggi mengalami

abortus daripada wanita yang tidak bekerja. Pada penelitian yang

dilakukan oleh Zheng et al. (2017) di Cina, tingkat beratnya

pekerjaan juga mempengaruhi tingkat risiko terjadinya abortus

spontan, pekerjaan yang lebih ringan akan menurunkan risiko.

4) Usia menikah ibu

Wanita dengan usia menikah diatas 30 tahun berisiko lebih tinggi

mengalami abortus. Hal ini berhubungan dengan usia hamil ibu.

5) Endokrin

Kelainan endokrin pada wanita bisa saja tidak memperlihatkan tanda

khas, hal ini termasuk perubahan hormon dan metabolisme akibat

interaksi antara tubuh ibu dan fetus. Namun, pada 8-12% wanita

dapat terjadi perubahan endokrin yang menyebabkan abortus spontan

(Kaul dan Gupta, 2016). Selain itu, kelainan endokrin juga

didapatkan pada 17%-20% wanita dengan riwayat abortus berulang

(Ford dan Schust, 2009). Beberapa keadaan yang dapat

menyebabkan abortus spontan seperti polikistik ovarian sindrom,

obesitas, diabetes, hipersekresi luteinizing hormon,

hiperandrogenisme, hiperprolaktinemia, defek fase luteal, gangguan

tiroid, dan rendahnya kadar human chorionic gonadotropine (Kaul


commit to user
library.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

dan Gupta, 2016 ; Sarkar, 2012 ; Pluchino et al., 2014 ; Ford dan

Schust, 2009).

6) Imunologi

Fetus yang dianggap sebagai benda asing oleh tubuh akan memicu

terjadinya reaksi imunologis maternal. Reaksi imun ini dapat

menyebabkan kematian fetus yang disebabkan serangan oleh sistem

imun. Namun, pada masa kehamilan reaksi imun antara tubuh ibu

dan fetus akan diregulasi oleh sel T-reg yang berfungsi imunosupresi

untuk mencegah kematian janin. Namun, jika tubuh ibu memiliki

jumlah sel T-reg yang tidak cukup ataupun sel T-reg yang ada tidak

adekuat dalam menjalankan fungsinya, respon imun dalam tubuh

akan terjadi secara berlebihan dan berujung pada terjadinya bortus

spontan (Robertson dan Moldenhauer, 2014).

5. Hubungan Abortus dengan Rasio Trombosit-Limfosit

Trombosit memegang peranan penting untuk memulai proses

inflamasi. Pada awal inflamasi terjadi, trombosit bertugas untuk

mengeluarkan sitokin dan kemokin pro-inflamasi yang dapat memanggil

sel-sel imun ke daerah inflamasi (Morrell et al., 2014). Sedangkan,

seringkali jumlah limfosit justru menjadi lebih rendah pada saat terjadi

respon inflamasi sistemik (Nunez et al., 2011). Hal ini lah yang kemudian

menjadikan rasio trombosit-limfosit meningkat ketika terjadi inflamasi

sehingga dapat dijadikan penanda inflamasi.

commit to user
library.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

Abortus terjadi karena adanya kegagalan perkembangan embryo

ataupun plasenta (Abbott et al, 2014). Kegagalan perkembangan embryo

biasanya disebabkan oleh defek perkembangan placenta pada saat awal

kehamilan. Pada awal kehamilan, embryo akan mengalami implantasi dan

sel-sel trofoblas akan menghasilkan ezim proteolitik untuk melisisikan

endometrium agar fetus mendapat tambahan nutrisi (Hall, 2014). Hal ini

sekaligus membuat trofoblas mampu menembus myometrium dan

menyumbat arteri spiral maternal untuk membentuk pembuluh darah

uteroplacental. Namun, pada kasus abortus, invasi dari trofoblas tidak

cukup dalam dan cabangnya tidak cukup banyak untuk memenuhi

kebutuhan fetus. Selain itu, jumlah sel-sel trofoblas juga tidak cukup

banyak untuk membentuk sumbat arteri spiral maternal sehingga terjadi

aliran darah maternal yang prematur (Rodeck dan Whittle, 2009). Aliran

darah ini tidak baik untuk pertumbuhan fetus karena dapat mengganggu

proses konsepsi melalui kerusakan oksidatif (Hutter et al., 2010).

Penelitian yang telah didukung oleh pemeriksaan angiografi

membuktikan bahwa pada abortus spontan terjadi abnormalitas

perkembangan vaskular berupa trofoblas yang lebih sedikit dan terputus-

putus serta defek sumbat trofoblas intravaskular. Hal ini kemudian

menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan nutrisi dan oksigen untuk

janin yang kemudian dapat menyebabkan keadan hipoksia yang berujung

pada kematian (Rodeck dan Whittle, 2009). Keadaan hipoksia ini lah yang

dapat memicu peningkatan inflamasi secara sistemik (Hutter et al., 2010).

Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa proses inflamasi memegang


commit to user
library.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

peranan utama dalam patofisiologi terjadinya komplikasi kehamilan, salah

satunya abortus spontan, melalui peningkatan kadar sitokin dan kemokin

pro-inflamasi baik secara sistemik maupun lokal di plasenta (Robb et al.,

2017). Peningkatan inflamasi ini lah yang menyebabkan terjadinya

peningkatan rasio trombosit-limfosit sebagai salah satu penanda inflamasi

alami tubuh pada kelompok wanita yang mengalami abortus (Akin et al.,

2016).

Meskipun proses inflamasi mampu memicu terjadinya abortus spontan,

namun proses inflamasi juga diperlukan untuk terjadinya implantasi. Hal

ini terjadi dalam bentuk signal dan respon antara sistem imun maternal dan

sistem imun fetus-placenta (Mor et al., 2011). Proses inflamasi yang

terjadi secara fisiologis ini lah yang menyebabkan lebih tingginya angka

rasio trombosit-limfosit pada ibu hamil jika dibandingkan dengan wanita

pada kelompok usia yang sama namun tidak dalam keadaan hamil (Akin et

al., 2016 ; Alexander, 2016).

Reaksi inflamasi selama proses implantasi dan selama kehamilan akan

diatur oleh sel T-Reg melalui mekanisme penekanan sistem imun yang

dapat menyebabkan penolakan terhadap janin yang dianggap tubuh

sebagai antigen. T-Reg berperan dalam pembentukan awal placenta dan

mencegah terjadinya abortus atau kegagalan perkembangan janin akibat

toleransi sistem imun yang tidak adekuat. Sehingga, kurangnya jumlah T-

Reg ataupun kurangnya kapasitas T-Reg untuk melakukan perannya dapat

menyebabkan komplikasi kehamilan (Robertson dan Moldenhauer, 2014).

commit to user
library.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

B. KERANGKA PEMIKIRAN

KEHAMILAN

IMPLANTASI

PROSES PEMBENTUKAN
PEMBULUH DARAH
UTEROPLACENTA

ABNORMALITAS
AKTIVASI SISTEM TROFOBLAS
INFLAMASI
NORMAL
ABNORMALITAS
PEMBULUH DARAH
YANG TERBENTUK

PENINGKATAN NILAI
RASIO TROMBOSIT-
ASUPAN O2 DAN
LIMFOSIT
NUTRISI KE JANIN
MENURUN

AKTIVASI SISTEM
HIPOKSIA
INFLAMASI
MENINGKAT

JANIN TIDAK BISA


BERKEMBANG

REAKSI INFLAMASI ABORTUS


BERLEBIHAN SPONTAN

Bagan 2.1. Kerangka Pemikiran

Keterangan Bagan 2.1 :

Ketika terjadi konsepsi atau kehamilan, tubuh akan mengaktifkan proses


commit to user
inflamasi agar proses implantasi hasil konsepsi bisa berlangsung. Namun,
library.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

perlu dingat bahwa proses inflamasi yang terjadi dalam tahap implantasi

masih dalam batas aman untuk hasil konsepsi. Segera setelah hasil konsepsi

mengalami implantasi, trofoblas akan membentuk pembuluh darah

uteroplacenta. Namun, karena adanya abnormalitas pada sel-sel trofoblas,

maka pembentukan pembuluh darah jadi terganggu dan menyebabkan asupan

nutrisi dan O2 untuk janin tidak adekuat. Hal ini menyebabkan hipoksia yang

mengakibatkan terhambatnya proses perkembangan janin dan mengaktifkan

sistem inflamasi. Aktivasi sistem inflamasi ini dapat dideteksi melalui

penanda berupa rasio trombosit-limfosit yang peningkatannya berbanding

lurus dengan tingkat reaksi inflamasi yang terjadi. Inflamasi akibat hipoksia

akan memicu terjadinya reaksi inflamasi yang berlebih dan meningkatkan

kemungkinan abortus spontan yang ditandai dengan meningkatnya rasio

trombosit-limfosit pasien.

C. HIPOTESIS

Terdapat perbedaan Rasio Trombosit-Limfosit antara pasien dengan riwayat

abortus spontan dibandingkan dengan pasien tidak abortus. Rasio Trombosit-

Limfosit yang lebih tinggi didapatkan pada kelompok abortus spontan.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai