Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

“Memaknai kembali Iman, Islam, dan Ihsan dalam perspektif cinta”

Disusun untuk memenuhi salah satu mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang diampu
oleh :

Dr. Hj. Mutimmatul Faidah, S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh :

1. Rahadatul ‘Aisy Santosa (22050394034)


2. Elok Fajriah (22050394035)
3. Jasmine Izza Dewi Shafira (22050394036)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS TEKNIK
PENDIDIKAN TATA BOGA

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan tema
Memaknai kembali Iman, Islam, dan Ihsan dalam perspektif cinta.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dr. Hj. Mutimmatul Faidah, S.Ag.,
M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah mengajar dan
membimbing kami sehingga kami mendapatkan banyak ilmu dan pengetahuan dalam materi
Pendidikan Agama Islam. Makalah ini berisi materi tentang pembahasan c. Tentunya kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan juga pembaca.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusun bahasanya maupun dari segi lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang
dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi
saran kritik demi terciptanya makalah yang lebih baik.

Surabaya, 10 Februari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii


DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1
1.3 Tujuan............................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
2.1 Iman dan Aktualisasinya dalam Kehidupan ..................................................................... 3
2.2 Islam dan Aktualisasinya dalam Kehidupan .................................................................... 4
2.3 Ihsan dan Aktualisasinya dalam Kehidupan .................................................................... 7
BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 9
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................... 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seringkali kita merasakan kejenuhan terhadap segala macam bentuk aktivitas dan
rutinitas hidup. Merasakan kehampaan hidup, kehilangan makna hidup dan bahkan buta tujuan
hidup. Tekanan hidup atau stress, membuat orang kehilangan pegangan hidup, membabi-buta
menghalalkan segala cara, melakukan apa saja yang penting dapat terhindar dan terlepas dari
berbagai permasalahan hidup.

Seringkali akar permasalahan bersumber pada penempatan skala prioritas hidup yang
tidak pada tempatnya. Yang seharusnya menjadi hal pokok dalam hidup, dijadikan hanya
sebagai pelengkap hidup, demikian pula sebaliknya. Terkadang muncul keengganan untuk
mengaitkan akar solusi segala permasalahan dengan iman, islam, dan ihsan. Padahal menurut
William James, seorang filsuf Amerika mengatakan bahwa obat paling mujarab untuk
kegelisahan jiwa adalah iman dan keyakinan. Kemudian pendapat Lenox, penulis asal Amerika
mengatakan dalam bukunya kembali kepada keimanan bahwa orang yang rutin menjalankan
ibadah dan memiliki keyakinan kepada Tuhan cenderung memiliki jiwa yang lebih kuat
dibandingkan dengan orang yang tidak beragama dan tidak pernah melakukan ibadah. (El-
Zakky, 2015:40).

Sangat penting untuk kembali dikaji dan dimaknai hakekat makna dan fungsi
iman,islam dan ihsan dalam kehidupan. Sehingga makna dan kebermanfaatannya senantiasa
dapat dirasakan dan relevan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.

1.2 Rumusan Masalah

1. Iman dan Aktualisasinya dalam Kehidupan


2. Islam dan Aktualisasinya dalam Kehidupan
3. Ihsan dan Aktualisasinya dalam Kehidupan

1
1.3 Tujuan

1. Mampu beriman, berislam, dan berihsan dengan benar dan nyaman.


2. Memiliki kesadaran, cinta dan pemahaman yang mendalam sehingga tidak hanya
bermodalkan kebiasaan atau bahkan keterpaksaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Iman dan Aktualisasinya dalam Kehidupan

Agama Islam memiliki tiga pondasi utama, Iman, Islam dan Ihsan. Dari ketiganya,
Iman menempati posisi pertama. Mengapa demikian? Iman merupakan inti ajaran Islam. Iman
itu ibarat mesin yang menggerakkan seorang muslim untuk beribadah. Apabila “mesin” Iman
macet, maka ibadah pun mogok. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW memerintahkan kepada umat
muslim agar melakukan “servis mesin Iman” secara berkelanjutan melalui dzikir kalimat
thayyibah.

‫ أَ ْك ِث ُروا ِم ْن قَ ْو ِل الَ ِإلَهَ ِإاله‬:َ‫ْف نُ َج ِددُ ِإي َمانَنَا؟ قَال‬


َ ‫ َو َكي‬،‫َّللا‬ ُ ‫ َيا َر‬:َ‫ ِقيل‬.‫ َج ِددُوا ِإ ْي َمانَ ُك ْم‬: ‫َّللا صلى هللا عليه وسلم‬
ِ ‫سو َل ه‬ ُ ‫َوقَا َل َر‬
ِ ‫سو ُل ه‬
)‫ (رواه احمد‬.ُ‫َّللا‬‫ه‬

Rasulullah SAW bersabda: “Perbaruilah iman kalian”. Ada yang bertanya: “Wahai
Rasulullah, bagaimana cara kami memperbarui iman kami?”. Rasulullah SAW menjawab:
“Perbanyaklah membaca La Ilaha Illa Allah” (H.R. Ahmad).
Contoh :
1. Iman kepada Allah SWT
Dapat diwujudkan dengan mengaktualisasikan nilai-nilai Asma’ul-
Husna dalam kehidupan keseharian.

2. Iman kepada Malaikat


Ditindaklanjuti dengan meneladani ketaatan yang ditunjukkan oleh
malaikat, sesuai dengan kapasitas manusiawi kita. Dengan kata lain, iman
kepada malaikat dapat menggugah semangat kita untuk beramal shalih dan
meredam hasrat kita untuk berbuat maksiat.

3. Iman kepada Kitab Suci


Membuat kita rajin untuk melaksanakan tiga hal, yaitu: tilawah,
tadabbur dan amaliah al-Qur’an.

4. Iman kepada Nabi dan Rasul


Menuntut kita untuk meneladani sifat-sifat kenabian. Kita bersemangat
untuk menjalani hidup dengan sungguh-sungguh; bekerja dan berusaha sebaik
mungkin; berkata dan bersikap sejujur mungkin; sehingga diri kita layak
menyandang sifat al-shiddiq. Jika kita sudah al-shiddiq, Insya Allah sifat
amanah akan didapat dengan sendirinya, yakni orang lain atau masyarakat akan

3
menilai kita sebagai orang yang dapat dipercaya. Jika kita sudah dipercaya oleh
orang lain, maka kita harus menampilkan sikap tabligh, yaitu menunjukkan
kemampuan yang terbaik, disertai dengan sikap fathonah atau cerdas dalam
merawat sikap shiddiq, amanah dan tabligh tersebut. Ini adalah sifat-sifat
kenabian yang dimiliki oleh para rasul.

5. Iman kepada Hari Kiamat


Seharusnya menjadikan kita sadar diri bahwa hidup bukan hanya di
dunia. Jika diibaratkan, dunia itu seperti gambar. Seindah apapun gambar, tetap
lebih indah aslinya. Ilustrasinya, sungguh sinting seorang perjaka yang diberi
foto gadis yang cantik jelita, lalu dia begitu terpesona sehingga ingin “menikah”
dengan foto gadis tersebut, bukan dengan si gadis yang sesungguhnya.
Demikian halnya orang yang hanya terpesona oleh dunia, berarti dia telah
terpesona oleh gambar atau foto akhirat. Tentu, “yang asli” (akhirat) jauh lebih
indah daripada sekedar “foto atau gambar” (dunia) (Q.S. al-Dhuha [93]: 4).

6. Iman kepada Qadha-Qadar


Qadha’ adalah catatan kehidupan yang belum kita jalani; sedangkan
Qadar adalah catatan kehidupan yang sudah kita jalani. Misalnya: dalam
Qadha’, pada usia 25 tahun, kita tercatat menjadi guru; lalu pada usia 25 tahun,
kita benar-benar menjadi guru, maka yang demikian ini disebut Qadar.

Dari sini dapat kita pahami bahwa iman kepada Qadha’-Qadar dapat kita aktualisasikan
dengan sikap ridha (puas dan rela) dalam menerima segala Qadar yang sudah kita jalani. Secara
khusus, jika Qadar sesuai dengan keinginan kita, maka sikap yang terbaik adalah syukur; jika
Qadar tidak sesuai dengan keinginan kita, maka sikap yang terbaik adalah sabar. Inilah yang
pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW (H.R. Muslim).

2.2 Islam dan Aktualisasinya dalam Kehidupan

Islam adalah sebuah agama yang berpusat kepada Al-Qur'an sebagai kitab suci umat
muslim yang merupakan firman langsung dari Allah SWT yang diwahyukan kepada
Muhammad (nabi terakhir dalam islam). Islam adalah simbol ketaatan mutlak sebagai
konsekuensi dari iman dan cinta. Karena cinta adalah ketaatan. Islam merupakan ekspresi dan
apresiasi dari iman. Bentuk ekspresi itu adalah : pernyataan komitmen verbal syahadat, ikatan
emosional-spiritual ketuhanan dan kemanusiaan dalam sholat, sosial zakat, empati spiritual-
sosial puasa, pengorbanan komprehensif haji.

4
A. Syahadat Cinta
ُ ‫ِأ َ ْش َهدُ أ َ ْن َال ِإلَهَ ِإ هال هللاُ َوأَ ْش َهدُ أَ هن ُم َح همدًا َر‬
‫س ْو ُل هللا‬
"Asyhadu an laa ilaaha illallaahu wa asyhadu anna muhammadar rasulullah".
Artinya "Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa
Nabi Muhammad adalah utusan Allah".
Kalimat syahadat merupakan rukun islam yang pertama. Setelah seseorang
membaca dua kalimat syahadat, dia wajib melakukan rukun islam lainnya seperti shalat,
puasa, zakat, dan haji jika mampu.

Dalam dunia percintaan, syahadat berperan sebagai ekspresi kepastian cinta. Dalam
kamus percintaan menyatakan bahwa simbol kepastian cinta adalah komitmen,
sedangkan dalam iman terucap : "sungguh aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah" yang berarti bahwa "sungguh aku benar-benar
mencintai Allah dan Rasulullah dengan segenap jiwa ragaku".

Syahadat harus diucapkan dan dipersaksikan. Tidak cukup hanya keyakinan di hati.
Syahadat adalah komitmen kesetiaan cinta kepada Allah dan rasulNya. Cinta itu akan
menuntut kesetiaan, kejujuran, ketaatan, kepercayaan dan pengorbanan.

Cinta sebagaimana iman adalah kesadaran yang dibangun atas dasar pengetahuan
yang berfungsi untuk membedakan. Bangunan ilmu tauhid berdiri diatas pondasi
kesadaran ilmu pengetahuan. Sesungguhnya iman yang kokoh adalah iman yang
didasari oleh ilmu dan iman yang rapuh adalah iman tanpa didasari oleh ilmu.

B. Shalat Cinta
Secara etimologi, shalat adalah ekspresi dan relasi, doa dan silaturahmi dengan
Allah SWT. Shalat adalah pertemuan, perjumpaan mi'raj antara yang mencintai dan
yang dicintai. Dasar pendorong perjumpaan itu adalah kerinduan yang senantiasa tak
kenal batas ruang dan waktu. Bukan keterpaksaan bukan kebiasaan, bukan
kepentingan-kepentingan materialis namun semata sadar rindu untuk senantiasa
bertemu. Tiada paksaan dalam beragama, tetapi harus dengan kesadaran. Beragama
tanpa kesadaran ibaratkan bangunan tanpa pondasi. Begitu pula sadar akan Shalat akan
berbeda dengan yang sekedar terbiasa, apalagi dengan yang terpaksa sholat. Perangkat
utama kesadaran adalah pengetahuan dan pemahaman yang mendalam. Dengannya

5
akan menimbulkan trust (kepercayaan) yaitu iman, aman dan nyaman.

Setelah menjadi seorang muslim tentu harus mengerjakan rukun Islam yang kedua.
Shalat wajib disebut juga sebagai shalat 5 waktu. Terdiri dari Shalat Subuh, Shalat
Dzuhur, Shalat Ashar, Shalat Maghrib dan Shalat Isya. Namun ada beberapa shalat
yang hukumnya sunnah seperti shalat qobliyah dhuhur.

C. Zakat Cinta
Zakat diperlakukan dalam islam sebagai kewajiban atau seperti pajak. Di dalam
rukun Islam, berzakat ada di urutan ketiga, setelah sholat. Meskipun zakat diwajibkan
bagi umat islam, tidak semua orang bisa berzakat. Ada beberapa syarat untuk berzakat,
misalnya memiliki harta yang cukup atau tidak kekurangan.

Cinta itu berbagi dan cinta itu memberi. Menjadi salah satu rukun cinta sebagaimana
rukun islam. Cinta dan iman patut dipertanyakan bila tiada bukti pengorbanan dalam
bentuk pemberian. Rasulullah SAW berpesan : "Senantiasalah untuk saling berbagi,
maka kalian akan saling mencintai". (Hadis riwayat Imam Thabrani). Pembuktian iman
dan cinta bukan untuk konsumsi Allah, akan tetapi kembali pada kepentingan
kemanusiaan. Allah bukan materi maka Ia tak terefleksi oleh materi. Allah adalah
energi, sebagaimana firmanNya: “Allah adalah cahaya langit dan bumi”. (An-Nur :
35). Yang sampai kepada Allah hanya motivasi, niat, cinta, keikhlasan dan taqwa.

Zakat dan sedekah berbeda, jika zakat hukumnya wajib, sedangkan sedekah
hukumnya sunnah. Lalu, sedekah tidak hanya berupa harta atau materi saja, namun
sedekah juga bisa mencakup berbagai amal perbuatan yang baik.

D. Puasa Cinta
Puasa adalah empati, baik empati secara sosial maupun spiritual. Empati sosial
(empati yang dibangun adalah empati antara yang berkebatasan dan yang berkelebihan
yang kekurangan dan yang berkecukupan) sedangkan empati secara spiritual (puasa
mendidik kita bagaimana mengekspresikan cinta kepada Allah SWT, dengan berempati
kepadaNya. Menahan diri dari kebutuhan makan, minum, berhubungan badan dan
akhlak tercela).

6
Puasa adalah pendidikan, memiliki batas ruang dan waktu. Ada substansi, nilai,
prinsip moral yang berlaku universal yang dapat berlaku, baik sebelum, ketika dan
sesudah masa pendidikan. Juga ada petunjuk teknik yang berlaku lokal, dan temporal.
Dan hanya wajib dilaksanakan pada masa berlangsungnya pendidikan itu.

E. Haji Cinta
Cinta itu rindu, rindu adalah keinginan untuk bertemu. Haji adalah aksi menyikapi
kerinduan akan sebuah perjumpaan dengan Tuhan. Haji adalah perwujudan
pengorbanan cinta yang paling komprehensif, meliputi pengorbanan hati melalui
komitmen kesetiaan, sebagaimana dalam Syahadat, namun termanifestasikan dalam
bentuk talbiyah. Dalam haji terdapat unsur puasa empatifnya. Ihram adalah wujud
puasanya. Dengannya diharamkan beberapa hal. Dan haji melengkapi dengan
pengorbanan nyawa yang dipertaruhkan dalam mengarungi perjalanan. Sama dengan
jihad berperang dijalan Allah.

Pergi Haji ke Mekkah adalah kewajiban umat muslim yang mampu secara fisik dan
finansial. Pergi haji wajibnya dilakukan satu kali seumur hidup. Allah berfirman dalam
surat Ali-Imran: 97:
‫ع ِن ْال َعالَ ِمين‬
َ ‫ي‬
ٌّ ‫غ ِن‬ ً ‫س ِب‬
‫يًل ۚ َو َمن َكف ََر فَإِ هن ه‬
َ َ‫َّللا‬ َ ‫ع ِإلَ ْي ِه‬
َ ‫طا‬ ِ ‫اس ِح ُّج ْال َب ْي‬
َ َ ‫ت َم ِن ا ْست‬ ِ ‫علَى النه‬ ِ ‫َ َو ِ ه‬
َ ‫ّلِل‬
"...mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban
haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam." (QS. Ali-Imran: 97)

2.3 Ihsan dan Aktualisasinya dalam Kehidupan

Ihsan adalah segala bentuk kebaikan dan perbuatan baik, atau bisa dikatakan sebagai
ibadah dengan persaksian dalam terminologi hadits. Kebaikan, perbuatan dan ibadah yang
disaksikan dan menyaksikan Allah sebagaimana hadits riwayat Muslim, “Sembahlah Allah swt
seolah kamu melihat-NYA, dan bila tidak mampu, yakinlah bahwa ia melihatmu.”

Dalam perspektif cinta, ihsan adalah kondisi penjiwaan cinta tingkat tinggi, perasaan
yang merasa dekat dengan yang dicintainya, walau berjauhan secara fisik. Ihsan adalah puncak
kemurnian cinta, ketulusan dan kesadaran yang akan mempengaruhi pada cara pandang kita

7
terhadap kebijakan Allah swt, qodho dan qodarnya. Pada Al-Qur’an pun kata ihsan dikaitkan
dengan kata cinta, sebagaimana firman Allah yang berbunyi: “sesungguhnya Allh mencintai
(yuhibbu) orang-orang yang berihsan (muhsinin).” (Al-Baqarah:195). Dengan begitu, kata
ihsan dapat disimpulkan bahwa ihsan sendiri sebuah akhlak mulia terhadap Allah swt. dan
kepada sesama yang membangun persepsi terhadap dzat-NYA (asma’ wa shifat), kebijakan-
NYA (qodlo’ dan qodar-NYA), dalam berinteraksi dengan-NYA secara ritual atau spiritual.
Akhlak mulia selain kepada Allah swt. juga kepada sesama yang harus didasari oleh akhlak
mulia kepada Allah swt. yang tanpanya akan menjadi cacat, pincang, dan sesat.

Atheisme adalah sebuah kepercayaan dimana tidak meyakini atau mengakui adanya
Tuhan. Begitulah seorang atheisme yang tidak memiliki akhlak mulia kepada Allah swt.
berjalan kosong tanpa akal dan hati nurani. Setiap manusia terlahir dengan memiliki program
ketuhanan yang sudah tertanam pada dirinya sebelum pengaruh-pengaruh eksternal
mengubahnya, yang mana sifat dasar manusia adalah berketuhanan. Sebagaimana Allah swt.
berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 172: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): “Bukankah AKU ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul
(Engkau Tuhan kami)”...

Allah swt. dan Rasulullah saw. senantiasa mengaitkan perbuatan dengan keimanan
yang sama halnya keimanan dengan amal shaleh. Seperti di surat Al-’Ashr dan hadits riwayat
Bukhari-Muslim yang menyatakan bahwa iman itu adalah mencintai saudara seperti mencintai
diri sendiri, baik kepada tetangga, tamu, berkata baik atau diam dan lain-lain. (Ibnu Rajab, Tt:
157-175). Orang yang berhubungan dengan Allah swt. dengan baik pasti berdampak baik
kepada hubungannya terhadap sesama, karena sesungguhnya ibadah itu dapat mencegah dari
perbuatan keji dan munkar. Sebagaimana firman-NYA surat Al-’Ankabut:45. Kata iman pada
dasarnya adalah sebuah respon seorang hamba terhadap panggilan Tuhannya dan menuntut
respon kognitif, afektif dan motorik.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Iman dan cinta adalah kesadaran dari sebuah pengetahuan melahirkan keyakinan, cinta
dan pengorbanan. Islam adalah ekspresi pengorbanan cinta dan iman dalam wujud komitmen
kesetiaan dan ketaatan, keterikatan hubungan, peduli berbagi, empati, kerinduan akan
pertemuan dan persatuan. Ihsan adalah output dan capaian dari iman dan islam, baik secara
spiritual atau sosial dengan model ibadah cinta, persaksian dan kemaslahatan.

Iman, Islam, dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Masing-
masing menjadi pelengkap bagi yang lainnya, saling terkait dan tidak dapat dipisahkan antara
tiga komponen iman, islam dan ihsan.

Anda mungkin juga menyukai