Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

KEBERAGAMAN BUDAYA DAN TEORI BUDAYA ORGANISASI

(Diajukan dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Manajemen Konflik)

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Tedi Priatna, M. Ag., CEAM.
Dr. H. Muhammad Amar Khana, M. M. Pd., MCE.

Disusun oleh:

Kelompok 1

Muhammad Sulthon Ar Rizieq (1202010095)

Mentari Fajariyatul Islamiyah (1202010158)


Muhammad Mupti Ali (1202010084)

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023

i
KATA PENGATAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
melimpahkan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
pembuatan makalah yang berjudul “Keberagaman Budaya dan Teori Budaya
Organisasi” ini sesuai dengan waktu yang ditentukan. Tanpa adanya berkat dan
rahmat Allah SWT tidak mungkin rasanya dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik dan tepat pada waktunya.

Dalam pembuatan makalah ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai


sumber literatur pustaka, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. H. Tedi Priatna, M. Ag.,
CEAM dan Dr. H. Muhammad Amar Khana, M. M. Pd., MCE. yang telah
memberikan tugas membuat makalah ini dan dapat penulis selesaikan dengan
lancar.
Penulis berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan pada penulis khususnya. Penulis menyadari bahwa dalam
pembuataan makalah   ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis menerima
saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah yang lebih baik.
Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.

Bandung, 28 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, konflik adalah sesuatu yang nyata dan


selalu ada selama seseorang masih hidup bersosial bersama masyarakat.
Konflik antar perorangan dan antar kelompok merupakan bagian dari sejarah
umat manusia. Berbagai macam keinginan seseorang dan tidak terpenuhinya
keinginan tersebut dapat juga berakhir dengan konflik.

Perbedaan pandangan antar perorangan juga dapat mengakibatkan


konflik. Jika konflik antar perorangan tidak dapat teratasi secara adil dan
proposional, maka hal itu dapat menjadi konflik antar kelompok masyarakat.
Sebuah konflik sering berawal dari persoalan kecil dan sederhana. Perbedaan
sikap dan pendapat termasuk ketidakinginan untuk menerima orang lain,
dapat menyebabkan konflik antar perorangan dan sebagainya (Fatah Syukur,
2011:159). Tentunya, persoalan yang sederhana apabila tidak segera
diselesaikan, maka akan bisa menjadi besar dengan seiring berjalannya
waktu. Oleh karena itu, persoalan yang ada dan sekecil apapun harus segera
diselesaikan agar konflik tidak berujung pada perselisihan yang lebih besar.

Dunia ini tidak memerlukan harapan yang radikal untuk mengakhiri


konflik. Apa yang diperlukan masyarakat sekarang ini adalah manajemen
konflik yang dengan cara tersebut dapat mengubah kehidupan umat manusia.
Konflik antar perorangan dan konflik antar kelompok masyarakat perlu
diolah dan dibuat menjadi kekuatan seseorang dan masyarakat untuk
menciptakan sebuah kehidupan baru di dunia ini (Syukur, 2011:160).
Tentunya semua itu perlu tata kelola manajemen konflik yang sesuai dengan
kebutuhan dan sasarannya.

Konflik dapat diibaratkan “pedang bermata dua”. Di satu sisi dapat


bermanfaat jika digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan, di sisi lain
dapat merugikan dan mendatangkan mala petaka jika digunakan untuk

1
bertikai atau berkelahi. Demikian halnya dalam sebuah organisasi, meskipun
kehadiran konflik sering menimbulkan ketegangan, tetap diperlukan untuk
kemajuan dan perkembangan organisasi. Dalam hal ini, konflik dapat
menjadi energi yang dahsyat jika dikelola dengan baik, bahkan dapat
dijadikan sebagai alat untuk melakukan perubahan, tetapi dapat menurunkan
kinerja jika tidak dapat dikendalikan. Selain konflik juga sebagai salah satu
esensi dari kehidupan dan perkembangan manusia yang mempunyai
karakteristik yang beragam (Mulyasa, 2005:239).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan lingkungan organisasi ?
2. Apa Faktor Lingkungan yang Memengaruhi Lingkungan Organisasi ?
3. Bagaimana hubungan lingkungan dengan organisasi ?
4. Bagaimana hubungan lingkungan dengan budaya ?
5. Bagaimana perubahan pada lingkungan organisasi ?

C. Tujuan 
1. Ingin memahami konsep dasar lingkungan organisasi.
2. Ingin mengetahui faktor apa saja yang memengaruhi lingkungan organisasi
3. Ingin menganalisa hubungan lingkungan dengan organisasi
4. Ingin menganalisa hubungan lingkungan dengan budaya
5. Ingin menganalisa perubahan pada lingkungan organisasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keberagaman Budaya
1. Pengertian Keberagaman
Dalam suatu organisasi yang menjalankan keberagaman budaya,
maka orang dihargai, orang dibantu untuk dapat memberikan kontribusi
dan merasa menjadi bagian dari organisasi, orang dapat mengembangkan
diri dan belajar dalam konteks organisasi dan pada akhirnya diharapkan
organisasi mendapatkan manfaat maksimum dari budaya terbuka.
Namun terdapat kekhawatiran sebagian orang bahwa keberagaman
akan membawa masalah bagi kinerja organisasi. Kekhawatiran tersebut
tidak perlu terjadi apabila mereka memahami bagaimana memanfaatkan
keberagaman menjadi kekuatan organisasi. Untuk itu diperlukan
pemahaman, kemampuan melakukan terobosan dan kemampuan mengelola
keberagaman budaya.
Keberagaman atau diversity semula dipergunakan dalam pengertian
secara umum sebagai pernyataan bervariasi (Chris Speechley dan Ruth
Wheatley, 2001: 4). Namun, keberagaman kemudian berkembang dan
dipergunakan untuk menjelaskan terdapatnya variasi di tempat pekerjaan,
karena dalam suatu organisasi terdapat orang dengan berbagai latar
belakang dan budaya.
Dengan demikian, kemampuan mengelola budaya yang berbeda
menjadi keterampilan yang penting dalam suatu organisasi. Mengelola
keberagaman berpusat pada pengembangan budaya dan perubahan, yang
dilakukan dengan berdasarkan pada: (1) kebersamaan, keterbukaan dan
kejujuran, (2) memerhatikan perbedaan dan kesamaan di antara sumber
daya manusia, dan (3) melakukan pelatihan multi-dimensi.

3
Keberagaman dapat timbul karena perbedaan gender. Suatu jenis
pekerjaan yang secara tradisional biasa dilakukan oleh kelompok pekerja
pria, pada saat membuka kesempatan untuk pertama kali bagi pekerja
wanita, akan memerlukan pengaturan baru menuju manajemen antar-
budaya. Sama halnya dapat terjadi pada suatu organisasi yang secara tiba-
tiba meningkatkan masukan personel baru, akan bersangkutan dengan
keberagaman yang disebabkan oleh perbedaan generasi.
Frederick A. Miller dan Judith H. Katz (2002: 198) berpendapat
bahwa keberagaman merupakan rentang identitas sosial kelompok yang
meliputi suatu organisasi. Mereka menyatakan pula bahwa terminologi
keberagaman atau diversity sering salah dipergunakan, dengan saling
mempertukarkan dengan pengertian affirmative action, equal employment
opportunity, dan inclusion, karena masing-masing mempunyai makna
sendiri yang unik.
Affirmative action merupakan tindakan koreksi terhadap perlakuan
yang kurang menguntungkan dan diskriminasi terhadap wanita dan
golongan minoritas yang terjadi di masyarakat, pekerjaan, dan pendidikan.
Equal employment opportunity dimaksudkan sebagai larangan diskriminasi
berbasis gender, agama, ras, warna kulit, asal negara, umur, dan tingkat
kemampuan fisik. Setiap orang harus mendapat kesempatan kerja yang
sama. Adapun yang dimaksud dengan inclusion adalah pengikutsertaan
semua anggota organisasi secara penuh dan dengan rasa hormat, tanpa
memandang gender, agama, ras, warna kulit, orientasi seksual, asal negara,
umur, atau kemampuan fisik, dalam aktivitas dan kehidupan organisasi
(Frederick A. Miller dan Judith H. Katz, 2002: 197-199).
James L. Gibson, John M. Ivancevich, dan James H. Donnelly, Jr.
(2000: 43) berpandangan bahwa keberagaman adalah perbedaan fisik dan
budaya yang sangat luas yang menunjukkan aneka macam perbedaan
manusia. Sama halnya dengan Miller dan Katz, Gibson, Ivancevich, dan
Donnelly menilai bahwa banyak pendapat orang tentang keberagaman yang
sangat membingungkan. Keberagaman bukanlah sinonim untuk equal
4
employment opportunity atau bukan pula sebagai affirmative action.
Pendapat pendapat tersebut sejalan dengan analisis Roosevelt Thomas
bahwa istilah keberagaman sering dipergunakan untuk kepentingan politik
untuk menjelaskan tentang human right dan affirmative action.
Keberagaman menunjukkan adanya perbedaan, kesamaan, dan
tegangan yang berhubungan, yang terjadi pada setiap bauran. Keberagaman
adalah bauran dari perbedaan, kesamaan dan tegangan yang dapat timbul di
antara elemen dari collective mixture (R. Roosevelt Thomas, Jr., 2006:
101). Mixture atau bauran dapat terdiri beberapa dimensi keberagaman.
Dapat berupa ras, gender, etnis, asal daerah, umur, afiliasi politik, kelas
sosial-ekonomi, atau orientasi seksual, atau mungkin kombinasi dari faktor-
faktor tersebut.
Lebih lanjut, R. Roosevelt Thomas, Jr. (2006:203) menyatakan
bahwa keberagaman tenaga kerja dapat terjadi dalam berbagai cara, tidak
hanya berupa ras dan gender, tetapi juga umur, orientasi seksual, latar
belakang pendidikan dan asal geografis. Selanjutnya ditekankan bahwa
sebuah organisasi dapat mengalami kekurangan dalam keberagaman
demografis renaga kerja dan sekarang bahkan terdapat keberagaman lain,
dalam bentuk keberagaman fungsional, produk, pelanggan, dan akuisisi
atau merger. Dengan demikian, keberagaman juga dilihat dari aspek
organisasional.
R. Roosevelt Thomas, Jr. (2006: 93) sendiri mengakui bahwa
pandangannya sendiri tentang definisi keberagaman mengalami evolusi.
Pala 1970-an, dia memandang keberagaman sebagai perbedaan fungsional.
Pada 1984-1985 keberagaman diartikan sebagai semua perbedaan tenaga
kerja, ditambah dengan isyarat tentang perbedaan di luar tenaga kerja.
Sementara itu, antara 1996-2000, keberagaman menunjukkan setiap batan
semua hal yang ditandai oleh perbedaan dan kesamaan. Akhirnya pada
2001-2005 dia sampai pada suatu pandangan bahwa keberagaman
menunjukkan bauran dari perbedaan, kesamaan, dan tegangan yang dapat
terjadi di antara elemen bauran yang bersifat pluralistik.
5
Dari uraian tersebut di atas, tampak bahwa cara para ahli mengung-
kapkan pengertian keberagaman sangat bervariasi, namun menunjukkan
adanya persamaan. Keberagaman menyangkut aspek yang sangat luas,
dapat dilihat dari tingkatannya dan faktor yang memengaruhinya.
Keberagaman dapat terjadi pada tingkat individu, kelompok, organisasi,
komunitas, dan masyarakat. Keberagaman juga sangat dipengaruhi oleh
latar belakang demografis dan budaya sumber daya manusia, kondisi
lingkungan internal tempat kerja dan kondisi eksternal masyarakat yang
dihadapi.
Dengan demikian, dapat dirumuskan pengertian keberagaman
sebagai variasi dari berbagai macam kombinasi elemen demografis sumber
daya manusia, organisasional, komunitas, masyarakat, dan budaya. Adapun
keberagaman budaya adalah merupakan variasi kombinasi budaya sumber
daya manusia di dalam organisasi, komunitas, atau masyarakat.
2. Perlunya memahami keberagaman
Kondisi lingkungan eksternal dan internal organisasi telah banyak
mengalami perubahan. Perubahan telah terjadi dalam konteks sosial,
perubahan di tempat kerja dan perubahan organisasional. Birokrasi yang
telah memberikan sumbangan besar dalam pencapaian tujuan organisasi
pada masa yang lalu, dirasakan tidak lagi mencukupi. kebutuhan.
Keberagaman diharapkan dapat menjadi alternatif yang dapat
menghapuskan kekurangan birokrasi dalam menyesuaikan diri dengan
perkembangar, yang terjadi.
Namun demikian, dengan penerapan keberagaman tidak berarti
bebas dari masalah. Pemahaman tentang makna keberagaman dan
kemampuan mengelola keberagaman perlu ditingkatkan secara
berkelanjutan.
a) Warisan Birokrasi
Organisasi terbentuk dari individu-individu yang biasanya
bekerja pada tingkat yang berbeda dan memegang tingkat tanggung
jawab dan kekuasaan yang bervariasi. Kebanyakan organisasi

6
terstruktur sebagai suatu hierarki dan menunjukkan adanya hubungan
antara tingkatan di atas dengan di bawahnya.
Birokrasi merupakan organisasi hierarkis yang menjadi semakin
jarang, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sulit untuk meninggalkan
pemikiran dan praktik manajemen berbasis kontrol. Sulit untuk tidak
berpikiran bahwa organisasi sebagai mesin, diarahkan dari tingkat
eksekutif dengan berbagai kendali.
Menekankan pada sistem dan kontrol cenderung mengabaikan
aspek manusia dalam organisasi. Pandangan organisasi mekanistik tidak
memberi kesempatan mencapai kualitas organisasional, yang diukur
berdasarkan keterbukaan, kejujuran, tanggung jawab dan kurangnya
rasa takut, yang diperlukan dalam budaya keberagaman.
Untuk merespons kelemahan sistem mekanistik dalam
menghadapi kebutuhan perkembangan yang terjadi, diperlukan
perubahan pola pikir dalam mengelola sumber daya manusia yang lebih
sesuai dengan kepentingan keberagaman. Hanya dengan pola pikir baru
yang lebih adaptif terhadap keberagaman, kinerja organisasi dapat
ditingkatkan. Birokrasi yang cenderung bersifat kaku perlu mengubah
dirinya menjadi lebih fleksibel dalam menghadapi sumber daya
manusia dalam organisasi yang semakin beragam.
b) Perubahan konteks sosial
Perubahan struktur dan persebaran kependudukan di satu sisi
sangat berpengaruh terhadap tuntutan kebutuhan akan barang dan jasa,
di sisi lain memengaruhi permintaan terhadap pasar kerja. Keinginan
dan kebutuhan konsumen akan barang dan jasa cenderung semakin
bervariasi dan semakin menghargai kualitas yang lebih tinggi. Tuntutan
akan pemenuhan kepuasan konsumen cenderung semakin meningkat.
Dengan demikian, kinerja organisasi harus berorientasi pada kualitas
untuk memberikan tingkat kepuasan pelanggan yang lebih tinggi.
Sementara itu, perkembangan global menuntut daya saing
organisasi semakin tinggi. Menanggapi keadaan tersebut, berbagai
7
organisasi melakukan berbagai langkah peningkatan efisiensi dan
efektivitas melalui upaya perubahan. Perubahan dilakukan terhadap
struktur organisasi, sumber daya manusia, teknologi, proses produksi,
dan mekanisme serta prosedur kerja.
Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan semakin banyaknya
tenaga kerja wanita, bahkan sebagian telah menduduki posisi penting
dalam organisasi. Perlindungan diberikan terhadap kemungkinan
penggunaan tenaga kerja anak-anak. Di samping itu, dalam suatu
organisasi semakin banyak diketemukan sumber daya manusia yang
mempunyai latar belakang budaya berbeda, dan bahkan terdapat tenaga
kerja asing yang mempunyai budaya yang sangat berbeda.
Kondisi seperti tersebut di atas membuat semakin beragamnya
tenaga kerja dan proses kerja organisasi. Interaksi di antara tenaga kerja
dan pemimpin organisasi semakin meningkat. Kenyataan tersebut men-
desak semakin diperlukannya pemahaman tentang keberagaman dan
menunjukkan indikasi semakin perlunya pengelolaan keberagaman
budaya.
Dalam pengembangan keragaman budaya, maka setiap tenaga
kerja harus dipandang sebagai individu. Orang tidak dilihat dari
kelompok mana mereka berasal. Sementara itu, keterampilan dan
kemampuan yang dibawa ke dalam organisasi harus dihargai.
Memotret keberagaman menurut David Jamieson dan Julie
O'Hara (Chris Speechley dan Ruth Wheatley, 2001: 20) dilakukan
dengan melakukan identifikasi umur, gender, etnis, pendidikan, cacat,
dan nilai- nilai. Untuk itu perlu ditempuh strategi "flex-management".
dengan cara menyesuaikan orang pada pekerjaannya, menjalankan
manajemen kinerja. memperbaiki komunikasi dan keterlibatan pekerja,
meningkatkan gaya hidup, dan dukungan kebutuhan hidup.
Namun demikian, secara umum terdapat kecenderungan mening
katnya perhatian para pengambil kebijaksanaan dan pelaksana serta
para cendekiawan terhadap masalah keberagaman. Walaupun sudah
8
menunjukkan kemajuan cukup berarti, namun hasilnya masih belum
seperti diharapkan.
c) Keberagaman tempat kerja
Pada awalnya, sejumlah organisasi melakukan tindakan
diskriminatif terhadap tenaga kerjanya dengan pertimbangan
kepentingan organisasinya Mereka cenderung membatasi penggunaan
tenaga kerja yang mempunyai kekurangan fisik, tenaga kerja wanita,
dan kelompok minoritas. Kecenderungan sekarang semakin membuka
kesempatan bagi tenaga kerja wanita, kelompok minoritas dan
penyandang tuna daksa.
Kemudahan transportasi dan komunikasi telah mendorong orang
untuk mampu mencari peluang kerja di luar daerah asal mereka.
Lingkup kawasan yang memberikan peluang kerja menjadi semakin
luas. Lapangan kerja membuka peluang kerja bagi siapa pun tanpa
memerhatikan asal daerahnya.
Terdapat kecenderungan dalam organisasi di negara Barat
menjadi semakin beragam sebagai akibat perkembangan kependudukan
dan perubahan lingkungan bisnis. Di Inggris lebih setengah pekerja
paruh waktu adalah wanita. Di Amerika Serikat, diperkirakan jumlah
pria kulit putih akan menjadi minoritas angkatan kerja. Organisasi
menjadi semakin global, sebagian tenaga kerja kita perlu bekerja di luar
negeri atau harus bekerja di dalam negeri bersama dengan orang dari
negara lain.
Untuk itu, kita perlu mengembangkan keberagaman di tempat
kerja karena masyarakat kita semakin beragam. Kita perlu berpikir
mengelola keberagaman secara konstruktif dan menghindari kerugian
karena diskriminasi. Kegagalan mencegahnya akan menyebabkan
merusak kualitas hidup pekerja individu, mengikis kinerja organisasi,
meningkatkan biaya (komunikasi, pergantian pekerja, masalah
kualitas), dan menjurus menjadi publisitas buruk.

9
Berhimpunnya orang dengan latar belakang dan budaya berbeda
di tempat kerja menyebabkan semakin perlunya manajemen
keberagaman bagi kemajuan organisasi di masa depan. Manajemen
keberagaman perlu mengusahakan agar keberagaman yang berpotensi
menimbulkan konflik dapat diubah menjadi kekuatan bagi organisasi,
dengan melakukan integrasi dan sinergi di antara keragaman budaya.
3. Keberagaman dalam organisasi
Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk karena masyarakatnya
terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok dengan ciri
khas kesukuan yang memiliki beragam budaya dengan latar belakang suku
bangsa yang berbeda. Keragaman budaya Indonesia memiliki lebih dari
1.128 suku bangsa bermukim di wilayah yang tersebar di ribuan pulau
terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Berikut ini beragam karakter masyarakat di beberapa daerah di
Indonesia secara umum :
1. Karakter Orang-Orang Jawa
Secara umum, suku jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan,
segan, menyembunyikan perasaan, serta menjaga etika berbicara baik
secara isi dan bahasa perkataan maupun objek yang diajak berbicara.
Dalam bahasa pun, Jawa memiliki bahasa yang bertingkat, mulai dari
bahasa jawa kasar, halus, hingga sangat halus dan disesuaikan dengan
objek yang diajak bicara. Ciri khas seorang yang bersuku Jawa adalah
menunggu dipersilakan untuk mencicipi, bahkan terkadang sikap sungkan
mampu melawan kehendak atau keinginan hati. Namun sebenarnya
masyarakat Jawa pun masih bisa dibagi lagi berdasarkan wilayahnya,
seperti perbedaan karakter orang jawa tengah dengan Jawa Timur. Orang
Jawa Timur cenderung lebih keras dan spontan. Sedangkan orang Jawa
Tengah cenderung lebih lembut,
2. Karakter Orang-Orang Aceh
Salah satu watak orang Aceh adalah keras, sehingga dalam berbahasa,
orang Aceh melahirkan kata-kata yang keras atau kasar jika tak mau
10
disebut vulgar. Kata-kata ‘keras’ ini keluar tersulut emosinya; ketika ia tak
sanggup menahan lagi kemarahan atau kekesalannya. Namun, dalam
perkembangannya, bahasa ‘keras’ ini terdengar lembut bila diucapkan
orang Aceh berjiwa lembut.
3. Karakter Orang Sunda
Sunda berasal dari kata Su = Bagus/ Baik, segala sesuatu yang
mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda diyakini memiliki etos/
watak/karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak /
karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik),bener
(benar), singer (mawas diri), dan pinter(pandai/ cerdas) yang sudah
dijalankan sejak jaman Salaka Nagara sampai ke Pakuan Pajajaran. Orang
Sunda bila diamati sekilas perilakunya hampir sama dengan orang Jawa
Tengah. Mereka lembut dalam bertutur, sopan dan menjaga etika.
4. Karakter Orang Madura
Ini merupakan wilayah terkenal di area Jawa Timur bahkan di seluruh
Indonesia. Madura, menurut penelitian A. Latief Wiyata, dosen FISIP
Universitas Jember, memang memiliki karakteristik sosial budaya (sosbud)
khas yang dalam banyak hal tidak dapat disamakan dengan karakteristik
sosbud masyarakat etnik lain. Suatu realitas yang tidak perlu dipungkiri
bahwa karakteristik sosial budaya Madura cenderung dilihat orang luar
lebih pada sisi yang negatif. Pandangan itu berangkat dari anggapan bahwa
karakteristik (sikap dan perilaku) masyarakat Madura itu mudah
tersinggung, gampang curiga kepada orang lain, temperamental atau
gampang marah, pendendam serta suka melakukan tindakan kekerasan.
Namun orang Madura memiliki etos tinggi dalam berdagang dan
bernegoisasi. Mereka sangat andal dalam meyakinkan seseorang walau
dengan cara yang kurang halus.
5. Karakter Orang Papua
Berdasarkan pengamatan dan cerita dari berbagai sumber, orang-orang
Papua cenderung memiliki karakter keras dan spontan dalam bertindak.
Dan di beberapa daerah tertentu di Papua, masyarakat Papua dengan
11
ekonomi rendah cederung materialistis dan perhitungan terhadap suatu
masalah. Dlaam etos kerja, kemungkinan masyarakat Papua tidak
seambisius orang-orang dari suku Jawa atau suku lainnya, namun mereka
memiliki karakter yang unik dan baik terhadap pendatang asal kita tidak
memulai masalah yang membuat mereka kurang nyaman. (Astuti, 2016)
Adapun Keberagaman dalam prespektif Al-Qur’an surat Al Hujurat
ayat 13 yang berbunyi :
ۚ
ِ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّاسُ ِإنَّا َخلَ ۡق ٰنَ ُكم ِّمن َذ َك ٖر َوُأنثَ ٰى َو َج َع ۡل ٰنَ ُكمۡ ُشعُوبٗ ا َوقَبَٓاِئ َل لِتَ َعا َرفُ ٓو ْا ِإ َّن َأ ۡك َر َم ُكمۡ ِعن َد ٱهَّلل‬
١٣ ‫ير‬ ٞ ِ‫َأ ۡتقَ ٰى ُكمۡۚ ِإ َّن ٱهَّلل َ َعلِي ٌم خَ ب‬
Artinya : “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti (13)
(Kementrian Agama, 2011:515).
Menurut Al-Qur’an surat Al Hujurat ayat 13 bahwasannya
keberagaman ras, agama dan budaya tidak bisa dihindari, ini adalah
kehendak Tuhan, Oleh karena itu, diperlukan dan diwujudkan nilai
toleransi, terbuka untuk semua, dan inklusif terhadap keragaman
pemikiran.
Dari tafsir ayat-ayat di atas, para ulama memiliki kesamaan dalam
menjelaskan isi ayat-ayat tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa surat Al
Hujurat ayat13 dalam tafsir Al-Misbah, tafsir Ibnu Katsir, Ath-Thabari,
tafsir AlMaragi, dan Al-Azhar memiliki inti yang sama, hanya redaksinya
yang sedikit berbeda. Adapun inti yang terkandung dalam Al-Qur‟an surat
Al-Hujurat menurut kelima kitab tafsir di atas dapat penulis simpulkan
yaitu:
Dalam ayat 13, Allah menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Ini berarti semua manusia
memiliki kedudukan yang sama. Kemudian Allah menjadikan manusia
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia saling mengenal satu
12
saman lain. Dan yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling
bertakwa kepada-Nya. Ayat tersebut menjelaskan tentang kesamaan derajat
manusia. Walaupun manusia berbeda suku, ras, warna kulit bahkan jenis
kelamin, derajat kemanusiaan mereka adalah sama. Dan yang paling mulia
di sisi Allah SWT adalah yang paling bertakwa.
Keberagaman dalam budaya organisasi ditunjukkan oleh adanya ciri-
ciri tertentu. Dalam suatu organisasi yang dapat menerima keberagaman
akan menunjukkan terdapatnya ciri-ciri sebagai berikut (Chris Speechley
dan Ruth Wheatley, 2001: 9).

1) Keterbukaan, sebagai suatu cara pengelolaan yang bersifat menolak


sikap berahasia dalam menjalankan pekerjaan.

2) Pemahaman, merupakan kesediaan untuk bertanya sebelum


memberikan pertimbangan atau melakukan evaluasi.

3) Kejujuran, merupakan kesediaan untuk menerima kebenaran walaupun


mungkin tidak menyenangkan.

4) Ketidaktakutan, menunjukkan lingkungan aman di mana orang


mempunyai kepercayaan diri untuk mengatakan apa yang benar-benar
dirasakan.

5) Pembelajaran, merupakan suatu penerimaan akan perlunya bagi setiap


orang untuk bergerak ke depan dan berkembang melalui pengalaman,
eksplorasi, dan pembelajaran.

6) Tanggung jawab, merupakan suatu keinginan pada setiap orang untuk


menerima tanggung jawab atas cara yang dilakukan organisasi,
daripada menyalahkan orang lain atas masalah rantai budaya.

7) Komunikasi sangat berkembang, menunjukkan kesiapan bekerja dengan


membagi informasi secara berkelanjutan dan interaksi berkualitas
tinggi.

8) Kekurangan sentakan kesalahan, merupakan kemauan untuk menggali


alasan atas kesalahan atau kegagalan dan belajar dari kesalahan.

13
Budaya seperti diuraikan di atas dapat menjadi landasan untuk
keberagaman, dengan pendekatan tentang pentingnya core value dan way
of life. daripada hanya dilihat sebagai tujuan. Namun demikian, dalam
suatu organisasi terdapat kelompok-kelompok yang dapat terpengaruh oleh
diskriminasi dan sikap stereotipe dari kelompok tertentu. Kelompok dalam
organisasi dapat berupa minoritas etnik, wanita, tuna daksa, dan kelompok
umur.
Dengan memfokus pada kelompok tertentu dapat mencermati
interaksi antara budaya dengan faktor seperti pengupahan, prospek
promosi, status kerja, dan pengangguran.

a) Minoritas Etnik
Pengertian minoritas di antara berbagai negara dapat berbeda. Di
Amerika Serikat kelompok minoritas dapat diartikan penduduk pendatang
yang jumlahnya kecil, seperti kaum kulit hitam atau negro, kaum kulit
kuning dari Cina dan Vietnam, kaum kulir merah suku Indian yang
merupakan penduduk asli Amerika, kaum pendatang dari Amerika Latin
dan seterusnya.
Di Inggris kaum minoritas umumnya datang dari India, Pakistan,
Bangladesh, Sri Langka, dan Cina. Di Australia sebagai minoritas antara
lain adalah kaum Aborigin dan imigran pendatang dari Cina, Vietnam dan
beberapa Negara Timur Tengah. Adapun untuk kondisi Indonesia,
minoritas terbesar adalah dari etnik Cina, kemudian menyusul Arab, India,
Pakistan dan mungkin sekarang ini muncul pula mereka yang berasal dari
beberapa negara Afrika.
Kaum minoritas pada umumnya mempunyai ikatan budaya yang
kuat dalam upaya mempertahankan diri untuk bertahan. Mereka menjadi
pesaing karena pada umumnya lebih ulet dan bersedia diberi upah lebih
rendah. Perbedaan ini mencerminkan terjadinya diskriminasi dan di
beberapa negara mereka mendapatkan perlindungan hukum terhadap
perlakuan diskriminatif tersebut.

14
b) Glass Ceiling
Dalam berbagai organisasi yang menjalankan diskriminasi sering
terjadi yang dinamakan Glass Ceiling Effect. Kaum minoritas sering tidak
atau sedikit sekali terwakili dalam posisi penting organisasi. Dengan
demikian, tenaga kerja berasal dari kelompok minoritas, walaupun
mempunyai kelebihan sering tidak mendapatkan posisi penting. Hal yang
sama dapat terjadi pada tenaga kerja wanita. Sebenarnya hal tersebut
bersifat merugikan dilihat dari segi kinerja organisasi.
Wujud glass ceiling di samping dalam bentuk kesempatan jabatan,
juga dapat berupa perbedaan kompensasi. Kelompok minoritas, wanita dan
tuna daksa sering mendapatkan kompensasi lebih rendah dibandingkan
mayoritas dan tenaga kerja pria.
Untuk kasus Indonesia tampaknya kesempatan telah diberikan sama
antara tenaga kerja pria dan wanita, terutama mereka yang memiliki
tingkat pendidikan dan keterampilan baik, sehingga yang membedakan
adalah pada kemampuan dan kompetensinya. Namun, untuk tenaga kerja
yang kurang memiliki pendidikan dan keterampilan, masih dirasakan
adanya perbedaan.
Di samping itu, terdapat pula jenis pekerjaan yang dinilai lebih
cocok untuk dikerjakan oleh tenaga kerja pria dan ada pula sebaliknya
yang lebih cocok dilakukan tenaga kerja wanita. Tampaknya yang kurang
tersentuh adalah tenaga kerja tuna daksa yang relatif kesempatannya
terlihat masih terbatas.

c) Pekerja Wanita
Tenaga kerja wanita pada dasarnya sudah mendapatkan kesempatan
yang sama dengan tenaga kerja pria. Perkembangan tenaga kerja wanita di
Indonesia telah tumbuh dengan cepat. Namun, masih terdapat kenyataan
tentang perbedaan masalah dan hambatan yang dihadapi tenaga kerja
wanita dibandingkan pria.

15
Pembayaran kompensasi untuk tenaga kerja wanita profesional
mungkin tidak berbeda dengan tenaga kerja pria, sesuai dengan posisi dan
tanggung jawabnya. Namun, untuk tenaga kerja kasar masih terlihat
perbedaan, antara lain karena pendapatan wanita dianggap sebagai
suplemen penghasilan keluarga.
Kesulitan lain yang sering dihadapi tenaga kerja wanita adalah harus
menyeimbangkan tanggung jawab terhadap urusan rumah dan pekerjaan.
Karenanya tenaga kerja wanita cenderung bekerja dalam profesi tertentu
seperti perawat atau guru, pekerjaan kebersihan atau administrasi
cenderung mencari pekerjaan paruh waktu daripada penuh waktu, arau
bekerja secara bebas di rumah.
Kekerasan dan diskriminasi terhadap wanita masih sering terjadi,
namun tidak mudah diungkapkan. Mereka cenderung tidak ingin
membicarakan. Secara tidak sadar sikap tersebut dapat mendasari perilaku
diskriminatif.
Kondisi biologis alamiah wanita sering menjadi hambatan dalam
mempertimbangkan untuk mempekerjakan tenaga kerja wanita, sehingga
merugikan posisi wanita.
d) Kelompok Tuna Daksa
Manajemen keberagaman yang menyangkut kelompok tuna daksa
dapat bersifat tuna daksa sebagai pekerja atau sebagai pelanggan. Secara
teoretik kesempatan dapat diberikan sama kepada kelompok ini. Namun,
secara operasional terdapat pekerjaan tertentu yang tidak mungkin
dilakukan oleh mereka atas dasar kelemahan fisiknya. Di samping itu,
dirasakan masih adanya faktor psikologis yang dapat menghambat
penggunaan tenaga kerja yang menyandang kekurangan fisik tersebut.
Namun arah yang harus ditempuh adalah memberikan kesempatan seluas-
luasnya sepanjang memiliki kemampuan sesuai dengan kebutuhan
pekerjaan.
Kelompok tuna daksa sebagai pelanggan atas pemenuhan kebutuhan
fisik relatif sudah tersedia. Barang kali yang menjadi faktor pembatas
16
lebih pada keterbatasan kemampuan ekonominya. Namun untuk bidang
pelayanan masih dirasakan banyak kekurangan perhatian. Meskipun
beberapa tempat telah menyediakan fasilitas khusus bagi kelompok tuna
daksa, namun secara keseluruhan belum memadai.

e) Kelompok Umur
Kebijakan terhadap kelompok umur dapat berbeda di antara negara
tergantung struktur kependudukannya. Negara dengan penduduk muda
dalam jumlah besar mungkin menempuh memberikan pensiun lebih cepat
bagi kelompok rua, sehingga peluang kerjanya segera bisa diisi oleh
kelompok muda. Namun, apabila struktur kependudukan muda lebih
rendah, mungkin dapat memberikan masa kerja lebih panjang bagi
kelompok tua.
Satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah penggunaan tenaga
kerja di bawah umur yang sebenarnya dilarang oleh undang-undang.
Sebagian di antara mereka terpaksa bekerja karena desakan ekonomi
keluarga. Namun, sebagian lain dimanfaatkan oleh pengusaha karena
bersedia dibayar dengan upah murah.
Persoalan keberagaman pada dasarnya adalah bagaimana
memberikan perlakuan secara adil kepada orang atau kelompok yang
berbeda. Untuk mengelola orang dengan cara yang adil sangat tergantung
pada masalah sebagai berikut (Chris Speechley dan Ruth Wheatley, 2001:
11).
1. Pemilikan staf, yang dinyatakan praktisi sebagai memberikan manfaat
penting berupa rendahnya biaya rekrutmen dan pelatihan.
2. Memperluas basis pelanggan, dengan memperluas spektrum orang
sebagai pekerja, dan dapat ditarik pelanggan lebih luas.
3. Pemahaman lebih luas tentang kebutuhan pelanggan, sehingga pekerja
dari berbagai latar belakang dapat membantu organisasi untuk lebih baik
menyediakan kebutuhan masyarakatnya.
4. Budaya terbuka dan lebih adaptif, dengan memfokus pada kinerja dan
pengembangan orang berbasis pada kompetensi daripada dalam
17
keanggotaan kelompok, sehingga suatu organisasi akan menjadi lebih
bersemangat dan kompetitif.
5. Inovasi makin besar, sehingga pengetahuan dan gagasan lebih mudah
dikembangkan karena orang lebih berkomunikasi. Hal ini terutama penting
untuk tim multikultural dan multifungsional.
6. Tenaga kerja lebih berkomitmen, karena orang yang dihargai dan
didengarkan biasanya akan lebih berkomitmen kepada atasannya, dan
banyak kenyataan menunjukkan terdapat hubungan dengan kinerja yang
lebih baik.
4. Mengelola keberagaman
Keberagaman bukanlah konsep abstrak, dapat terlihat setiap hari, di
setiap organisasi, di mana dua orang atau lebih terikat dalam aktivitas
bersama. R. Roosevelt Thomas, Jr. (2006: 101) mengemukakan adanya
lima konsep dasar manajemen keberagaman strategis, yaitu pemahaman
pengertian keberagaman; manajemen keberagaman strategis adalah
keahlian yang dapat dipelajari; tegangan keberagaman adalah wajar;
menjadi "diversity challenged" tidak berarti menjadi orang buruk; dan
menjadi diversity capable adalah menjadi tujuan.
1. Pemahaman pengertian keberagaman
Keberagaman adalah percampuran dari perbedaan, persamaan, dan
tegangan yang dapat terjadi di antara elemen collective mixture atau bauran
kolektif. Untuk mengetahui suatu bauran merupakan keberagaman dapat
dilakukan dengan memerhatikan elemen, seperti ras, gender, etnis, umur,
asal daerah, afiliasi politik, kelas sosial- ekonomi, orientasi seksual, masa
jabatan dalam organisasi, latar belakang pendidikan, atau kombinasi di
antaranya.
Persamaan atau perbedaan dapat diketahui dengan membandingkan
setiap orang dengan orang lainnya dalam kelompok.
2. Manajemen keberagaman strategis adalah keahlian yang dapat dipelajari
Manajemen keberagaman strategis adalah keahlian untuk
meningkatkan cara orang membuat quality decision dalam situasi di mana
18
terdapat perbedaan, persamaan dan tegangan kritis. Karena merupakan
keahlian kognitif, maka setiap orang dapat belajar untuk menggunakannya.
Craft adalah konsep dan keterampilan fundamental yang dihimpun untuk
sukses di bidang prestasi tertentu, yang terdiri dari elemen seni dan
keterampilan. Quality decision adalah keputusan yang membantu orang dan
organisasi menyelesaikan tiga tujuan penting, yaitu misi, visi, dan strategi.
3. Tegangan keberagaman adalah wajar
Tegangan keberagaman adalah stres, ketegangan, dan ketertarikan
yang cenderung mengalir dari interaksi perbedaan dan persamaan. Hal ini
tidak otomatis terjadi konflik atau permusuhan. Kenyataannya adalah
merupakan teman alami keberagaman. Sering kali, tegangan keberagaman
dilihat sebagai tanda kekurangan kemajuan, namun sebenarnya tidak perlu
demikian.
4. Menjadi "diversity challenged" tidak berarti menjadi orang buruk
Menjadi diversity challenged atau memiliki kelemahan dalam
keberagaman adalah mempunyai kesulitan membuat quality decision ketika
perbedaan, kesamaan, dan tegangan terjadi. Tidak berarti bahwa perlu
mempunyai kecenderungan menangani keberagaman dengan buruk. Tidak
menyatakan sesuatu yang perlu tentang karakter atau pola pikir. Sekadar
berarti tidak dapat membuat keputusan baik di tengah keberagaman.
5. Menjadi "diversity capable" adalah tujuan
Tujuan akhir adalah belajar menjadi diversity capable atau memiliki
kemampuan keberagaman, yang berarti menguasai keahlian untuk
membuat quality decision dalam kondisi perbedaan, kesamaan, dan
tegangan yang bersangkutan. Berarti bahwa kita harus belajar keluar dari
cara kita sendiri dan membuat keputusan yang memungkinkan membantu
tujuan sendiri dan organisasi. Hal tersebut berarti bahwa kita belajar
membuat quality decision meskipun kita tidak nyaman dengan komponen
campuran keberagaman tertentu yang terdapat dalam lingkungan kita.

B. Teori Budaya Organisasi


19
Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang ditemukan dan
dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu karena mempelajari dan
menguasai masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal, yang telah bekerja
dengan cukup baik untuk dipertimbangkan secara layak dan karena itu
diajarkan pada anggota baru sebagai cara yang dipersepsikan, berpikir dan
dirasakan dengan benar dalam hubungan dengan masalah tersebut (Edgar
Schein, 1997; 12).
Geert Hofstede menyatakan bahwa budaya terdiri dari mental program
bersama yang mensyaratkan respons individual pada lingkungannya. Definisi
tersebut mengandung makna bahwa kita melihat budaya dalam perilaku sehari-
hari, tetapi dikontrol oleh mental program yang ditanamkan sangat dalam.
Budaya bukan hanya perilaku di permukaan, tetapi sangat dalam ditanamkan
dalam diri kita masing-masing (David C. Thomas dan Kerr Inkson, 2004: 22).
Webster's New Collegiate Dictionary mendefinisikan budaya sebagai
pola terintegrasi dari perilaku manusia termasuk pikiran, pembicaraan,
tindakan, dan artifak serta tergantung pada kapasitas orang untuk menyimak,
dan meneruskan pengetahuan kepada generasi penerus (ferrence E. Deal dan
Allan A. Kennedy, 2000: 4).
Dalam pandangan Jeff Cartwright (1999: 11), budaya adalah penentu
yang kuat dari keyakinan, sikap dan perilaku orang, dan pengaruhnya dapat
diukur melalui bagaimana orang termotivasi untuk merespons pada lingkungan
budaya mereka. Atas dasar itu, Cartwright mendefinisikan budaya sebagai
sebuah kumpulan orang yang terorganisasi yang berbagi rujuan, keyakinan dan
nilai-nilai yang sama, dan dapat diukur dalam bentuk pengaruhnya pada
motivasi.
Budaya didefinisikan sebagai cara hidup orang yang dipindahkan dari
generasi ke generasi melalui berbagai proses pembelajaran untuk menciptakan
cara hidup tertentu yang paling cocok dengan lingkungannya. Budaya
merupakan pola asumsi dasar bersama yang dipelajari kelompok melalui
pemecahan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Sekelompok

20
orang terorganisasi yang mempunyai tujuan, keyakinan dan nilai-nilai yang
sama, dan dapat diukur pengaruhnya pada motivasi (Michael Zwell, 2000: 9).
Dari pendapat para pakar tersebut atas dapat disimpulkan budaya
merupakan pola kegiatan manusia yang secara sistematisditurunkan generasi ke
generasi melalui berbagai proses pembelajaran menciptakan cara hidup tertentu
yang paling cocok dengan lingkungannnya.
Adapun penerapan budaya tersebut dalam organisasi menjadi budaya
organisasi. antara para pakar memberikan pengertian tentang organisasi dengan
cara sangat beragam, karena masing-masing memberikan tekanan pada sudut
pandang masing-masing. seperti adalah wajar, seperti memandang sebuah dari
sudut yang berbeda, masing-masing pandangannya.
Namun, antara pendapat para pakar tersebut pada umumnya bersumber
pada pandangan Edgar Schein yang mengemukakan bahwa organisasi adalah
sebagai filosofi yang mendasari kebijakan organisasi, aturan main untuk
bergaul, dan perasaan iklim yang persiapan fisik organisasi (Robert Vecchio,
1995: 618).
Dikatakannya pula bahwa budaya organisasi adalah sebuah pola dasar
bekerja baik untuk dipertimbangkan layak dan, itu diajarkan kepada anggota
baru sebagai cara benar untuk mempersepsikan, berpikir, dengan tersebut
(James L. Gibson, M. Ivancevich, James Donnelly, 2000: 30).
Sementara itu, Robert Vecchio (1995: 618) memberikan definisi budaya
organisasi sebagai nilai-nilai dan norma-norma bersama dalam suatu organisasi
mengajarkan pada pekerja yang Definisi menganjurkan bahwa organisasi dan
perasaan bersama, keteraturan dalam perilaku dan proses historis untuk
meneruskan nilai-nilai norma-norma.
Adapun Jerald Greenberg dan Robert Baron (2003: 515) menyatakan
budaya organisasi sebagai kerangka kerja kognitif terdiri dari sikap, nilai nilai,
norma perilaku dan harapan yang terima bersama oleh anggota organisasi.
Budaya organisasi menurut Stephen P. Robbins (2003, 525) adalah
sebuah persepsi umum yang dipegang oleh anggota organisasi, suatu sistem
tentang keberartian bersama. Budaya organisasi berkepentingan dengan
21
bagaimana pekerja merasakan karakteristik suatu budaya organisasi, tidak
dengan apakah seperti mereka atau tidak.
Sementara itu, James L. Gibson, John M. Ivancevich, dan James H.
Donnelly, Jr. (2000: 30) memberikan pengertian budaya organisasi sebagai apa
yang dirasakan pekerja dan bagaimana persepsi ini menciptakan pola
keyakinan, nilai-nilai, dan harapan.
Adapun menurut Robert Kreitner dan Angelo Kinicki (2001: 68). budaya
organisasi adalah nilai-nilai dan keyakinan bersama yang mendasari identitas
perusahaan. Definisi Kreitner dan Kinicki ini menunjukkan tiga karakteristik
penting budaya organisasi, yaitu: (1) budaya organisasi diteruskan kepada
pekerja baru melalui proses sosialisasi, (2) budaya organisasi memengaruhi
perilaku kita di pekerjaan, dan (3) budaya. organisasi bekerja pada dua
tingkatan yang berbeda.
Menurut Barry Phegan (2000: 1), budaya organisasi adalah tentang
bagaimana orang merasa tentang melakukan pekerjaan baik dan apa yang
membuat peralatan dan orang bekerja bersama dalam harmoni. Budaya
organisasi merupakan pola yang rumit tentang bagaimana orang melakukan
sesuatu, apa yang mereka yakini, apa yang dihargai dan dihukum. Adalah
tentang bagaimana dan mengapa orang mengambil pekerjaan yang berbeda
dalam perusahaan.
Adapun Michael Zwell (2000: 9) menyatakan budaya korporasi sebagai
cara hidup suatu organisasi yang diberikan melalui generasi penerus pekerja.
Budaya termasuk siapa kita, apa yang kita yakini, apa yang kita lakukan, dan
hagaimana melakukannya.
Victor S.L. Tan (2002: 18) mendefinisikan budaya korporasi sebagai cara
orang melakukan sesuatu dalam organisasi. Budaya organisasi merupakan
serangkaian norma terdiri dari keyakinan, sikap, nilai-nilai inti dan pola
perilaku, dibagikan oleh orang dalam suatu organisasi. Keyakinan bersama,
nilai-nilai inti dan pola perilaku memengaruhi kinerja dalam organisasi. Belief
atau keyakinan adalah asumsi atau persepsi tentang sesuatu, orang dan
organisasi secara keseluruhan, diterima sebagai sesuatu yang benar dan layak.
22
Core values adalah nilai dominan atau inti, yang diterima di seluruh organisasi.
Behavior pattern atau pola perilaku adalah cara orang bertindak satu sama lain.
Jerome Want (2006: 42) menyatakan bahwa budaya organisasi adalah
sebuah sistem keyakinan kolektif yang dimiliki orang dalam organisasi tentang
kemampuan mereka bersaing di pasar, dan bagaimana mereka bertindak dalam
sistem keyakinan tersebut untuk memberikan nilai tambah produk dan jasa di
pasar (pelanggan) sebagai imbalan atas penghargaan finansial. Budaya
organisasi diungkapkan melalui sikap sistem keyakinan, impian, perilaku,
nilai-nilai, tata cara dari perusahaan, dan terutama melalui tindakan serta
kinerja pekerja dan manajemen.
Di antara pendapat para pakar tersebut tampak bahwa ada di antaranya
memberikan pengertian yang lebih bersifat filosofis, namun ada pula yang
lebih bersifat operasional.
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi
adalah filosofi dasar organisasi yang memuat keyakinan, norma-norma, dan
nilai-nilai bersama yang menjadi karakteristik inti tentang bagaimana cara
melakukan sesuatu dalam organisasi. Keyakinan, norma-norma, dan nilai-nilai
tersebut menjadi pegangan semua sumber daya manusia dalam organisasi
dalam melaksanakan kinerjanya.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Lingkungan organisasi adalah semua elemen di dalam maupun di


luar organisasi yang dapat mempengaruhi sebagian atau keseluruhan suatu
organisasi. Terdapat dua jenis klasifikasi lingkungan yakni lingkungan
internal dan lingkungan eksternal.
Lingkungan internal yang berpengaruh langsung dalam organisasi
meliputi karyawan/pegawai organisasi dalam, serta pimpinan manajer.
Lingkungan eksternal dibagi dua yaitu yang berpengaruh langsung dan
tidak langsung.
Lingkungan eksternal langsung adalah unsur-unsur yang
berpengaruh langsung terhadap organisasi, yang terdiri dari pesaing
(competitors), penyedia (suppliers) , langganan (customers), lembaga
keuangan (financial institutions), pasar tenaga kerja (labour supply) , dan
perwakilan-perwakilan pemerintah. Sedangkan lingkungan eksternal tidak
langsung meliputi berbagai faktor, antara lain kondisi ekonomi, politik
dan hukum, sosial budaya, demografi, teknologi, dan kondisi global
yang mungkin mempengaruhi organisasi.
Lingkungan internal perusahaan merupakan kekuatan-kekuatan
yang ada dalam organisasi itu sendiri dan memiliki sifat yang dapat
dikontrol oleh manajemen. Lingkungan internal meliputi;
pekerja/karyawan, dewan komisaris, dan pemegang saham.
B. Saran

Dengan adanya pembahasan tentang perubahan lingkungan


organisasi ini, diharapkan dapat memberikan kemudahan dan pemahaman
kepada khalayak umum mengenai perubahan lingkungan organisasi.

24
DAFTAR PUSTAKA

25

Anda mungkin juga menyukai