Anda di halaman 1dari 38

1

Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

HUKUM MODERN DAN PEMIKIRAN HUKUM

DI INDONESIA

Oleh Rupi’i Amri*)

Abstrak :

Istilah “Hukum Modern” muncul pada sekitar abad ke-


18 M/19 M di mana masa itu tatanan kehidupan manusia mulai
memasuki masa modern. Masa modern ini ditandai dengan
berbagai perubahan sosial, terutama dari masyarakat urban
menuju masyarakat industri. Ciri-ciri modernitas yang lain,
terutama di dunia hukum adalah (1) mempunyai bentuk
tertulis; (2) berlaku untuk seluruh wilayah negara; dan (3)
merupakan instrumen yang dipakai secara sadar untuk
mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.
Hukum modern merupakan hukum yang banyak diterapkan di
negara-negara pada saat ini, baik negara maju maupun
negara berkembang. Hukum modern lahir bersamaan dengan
lahirnya negara modern (modern state). Ia mempunyai
karakter uniform, transaksional, universal, hierarki, birokrasi,
rasionalitas, profesionalisme, perantara, dapat diralat,
pengawasan politik dan pembedaan. Pemikiran hukum di
Indonesia sampai saat ini, menurut penulis, masih banyak
didominasi oleh ajaran atau paham positivistic dalam hukum,
dengan pemahaman secara "kaku" terhadap teks yang tertera
dalam perundang-undangan. Paham rule of law, sebagai salah
satu ciri utama produk hukum modern, belum banyak
dipahami secara dinamis oleh para kalangan hukum, baik
pemikir hukum, pembuat hukum, maupun praktisi hukum
sehingga berakibat kekacauan dalam praktek hukumnya.

(Kata Kunci : Hukum Modern, Rule of Law, Pemikiran


Hukum, Indonesia)

"Hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia mengalami


perkembangan. Kita lihat, bahwa hukum itu berubah dari waktu ke

*) Penulis adalah staf pengajar Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, mahasiswa S.3 Hukum
Islam (Falak dan Wakaf) Pascasarjana IAIN Walisongo 2008-2009.
2
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

waktu. Konsep hukum, seperti “Rule of Law” sekarang ini juga


tidak muncul dengan tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan
hasil dari suatu perkembangan tersendiri. Apabila di sini dikatakan
bahwa hukum mempunyai perkembangannya tersendiri, maka
yang dimaksud terutama adalah bahwa ada hubungan timbal balik
yang erat antara hukum dan masyarakat." (Rahardjo, 1986: 178)

A. Pendahuluan

Kutipan singkat di atas menunjukkan bahwa sebuah

tatanan masyarakat (termasuk di dalamnya hukum), akan

mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Hukum tidak

pernah muncul dari sebuah ruang hampa. Ia akan mengikuti

kejadian dan perkembangan dalam suatu masyarakat. Ia tidak

dapat dilepaskan dari masyarakat yang ada pada waktu dan

tempat di mana hukum itu berlaku.

Di lihat dari sisi historisitas-nya, perkembangan hukum

sekarang sudah mengalami fase yang sangat panjang. Fase-

fase itu dimulai dari hukum alam, yang banyak mendasarkan

pada pertimbangan moral, sampai terbentuknya berbagai

aliran dalam pemikiran hukum. Positivisme hukum misalnya,

sebagai salah satu aliran dalam pemikiran hukum, berusaha

menolak konsep-konsep yang berlaku pada hukum alam,

terutama kaitan antara hukum dan moral. Bagi penganut aliran

ini, moral dipandang sebagai sesuatu yang "abstrak" dan

ukurannya sangat subyektif dan berbeda-beda antara satu

masyarakat dengan masyarakat lainnya. Oleh karena itu,


3
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

moral tidak dapat dijadikan ukuran dalam menentukan hukum.

Istilah “Hukum Modern” muncul pada sekitar abad ke-

18 M/19 M di mana masa itu tatanan kehidupan manusia mulai

memasuki masa modern.1 Masa modern ini ditandai dengan

berbagai perubahan sosial, terutama dari masyarakat urban

menuju masyarakat industri. Tonnies, sebagaimana dikutip

oleh Madjid (1992: 141) mengkontraskan hubungan-hubungan

"natural dan organis" keluarga, desa dan kota kecil

(gemeinschaft) dengan kondisi yang "artifisial" dan "terisolasi"

dari kehidupan kota dan masyarakat industri (geselllschaft), di

mana hubungan-hubungan asli dan natural manusia satu sama

lainnya telah dikesampingkan, dan setiap orang berjuang

untuk kepentingannya sendiri dalam suatu semangat

kompetisi.

Ciri-ciri modernitas yang lain, terutama di dunia hukum,

sebagaimana dijelaskan oleh Rahardjo (1986: 178-179)

adalah (1) mempunyai bentuk tertulis; (2) hukum itu

berlaku untuk seluruh wilayah negara; dan (3) hukum

merupakan instrument yang dipakai secara sadar untuk

mewujudkan keputusan-keputusan politik masyarakatnya.

Dalam kehidupan dan peradaban modern, hukum bahkan

1Di kalangan umat Islam, masa modern ini merupakan masa kebangkitan Islam. Rahman
(1984: 311) menyebut bahwa sejarah Islam di masa modern pada intinya adalah sejarah dampak
Barat terhadap masyarakat Islam, khususnya sejak abad ke-13 H/19 M. Banyak pengamat yang
memandang Islam pada masa ini sebagai suatu massa yang semi-mati yang menerima pukukan-
pukulan destruktif atau pengaruh-pengaruh formatif dari Barat.
4
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

jauh mengungguli bentuk-bentuk manifestasi tatanan

kehidupan sosial yang lain. Prasetyo (2007: 196) menyinggung

bahwa hukum, karena ketajaman dan kejelasannya serta

kemampuannya untuk memaksa dipatuhi, maka hukum

merupakan tatanan masyarakat par excellence. Dengan

mengutip Satjipto Raharjo, Prasetyo menjelaskan bahwa

disebabkan bentuknya yang sangat tajam dan penetratif, maka

sejak kemunculan hukum modern terjadilah suatu revolusi

diam-diam di dunia. Sejak saat itu, maka dunia terbelah

menjadi dua secara tajam, yakni dunia hukum dan dunia sosial.

Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan bagaimana

perkembangan hukum modern dan pengaruhnya terhadap

pemikiran hukum di Indonesia.

B. Karakteristik Hukum Modern

Hukum sebagaimana yang berlaku pada dunia sekarang

ini, pada umumnya termasuk hukum modern. Marc Galanter,

sebagaimana dikutip oleh Prasetyo (2007: 198-201) menyebut

karakteristik hukum modern antara lain :

1. Uniform, terdiri atas peraturan-

peraturan yang uniform dan tidak

berbeda pula dengan penerapannya.

Penerapan hukum ini lebih cenderung


5
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

bersifat teritorial daripada personal.

Artinya bahwa peraturan-peraturan

yang sama dapat diterapkan bagi

umat segala agama, warga semua

suku bangsa, daerah kasta dan

golongan.

2. Transaksional; sistem hukum ini lebih

cenderung untuk membagi hak dan

kewajiban yang timbul dari transaksi

(perjanjian, kejahatan, kesalahan, dan

lain-lain) dari pihak-pihak yang

bersangkutan daripada

mengumpulkannya di dalam himpunan

yang tak berubah yang disebabkan

oleh hal-hal menentukan di luar

transaksi-transaksi tertentu. Himpunan

status hak dan kewajiban

sebagaimana yang ada, lebih banyak

didasarkan atas fungsi atau kondisi

duniawi daripada atas perbedaan

kepatutan atau kehormatan

sakramental inheren.

3. Universal; cara-cara khusus


6
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

pengaturan dibuat untuk memberikan

contoh tentang suatu patokan yang

sahih bagi penerapannya secara

umum daripada untuk menunjukkan

sifatnya yang unik dan intuitif.

4. Hierarki; terdapat suatu jaringan

tingkat naik banding dan telaah ulang

yang teratur untuk menjamin bahwa

tindakan lokal sejalan dengan patokan-

patokan nasional. Hal ini

memungkinkan sistem itu menjadi

uniform dan berlaku. Hierarki dengan

supervisi aktif badan bawahan

semacam ini hendaknya dibedakan

dari sistem hierarki dengan

pelimpahan fungsi kepada badan-

badan bawahan yang memiliki diskresi

penuh dalam yurisdiksinya.

5. Birokrasi, untuk menjamin adanya

uniformitas, sistem tersebut harus

berlaku secara impersonal dengan

mengikuti prosedur tertulis untuk

masing-masing kasus dan


7
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

memutuskan masing-masing kasus itu

sejalan dengan peraturan yang tertulis

pula.

6. Rasionalitas; peraturan dan prosedur

dapat dipastikan dari sumber tertulis

dengan cara-cara yang dapat dipelajari

dan disampaikan tanpa adanya bakat

istimewa yang non-rasional.

7. Profesionalisme; sistem tersebut

dikelola oleh orang-orang yang dipilih

melalui persyaratan, yang dapat diuji

untuk pekerjaan ini. Mereka adalah

professional penuh, bukannya orang-

orang yang menangani secara sambil

lalu.

8. Perantara; karena sistem itu menjadi

lebih teknis dan lebih kompleks, maka

ada perantara professional khusus

(yang berbeda dari sekedar

professional biasa) di antara

mahkamah pengadilan dan orang-

orang yang harus menanganinya itu.

9. Dapat diralat; tidak ada ketetapan


8
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

mati dalam sistem prosedur itu. Sistem

tersebut berisi kode biasa untuk

merevisi peraturan-peraturan dan

prosedur, agar memenuhi kebutuhan

yang berubah-ubah atau untuk

menyatakan kecenderungan yang

berubah-ubah.

10. Pengawasan politik; sistem demikian

sangat berhubungan dengan negara

yang memiliki monopoli atas

persengketaan di kawasannya.

11. Pembedaan; tugas untuk

mendapatkan hukum dan

menerapkannya pada kasus-kasus

konkrit dibedakan dari fungsi-fungsi

kepemerintahan lainnya dalam hal

personel dan teknik.

Apabila dicermati secara mendalam karakteristik-

karakteristik hukum modern tersebut dapat dilihat bahwa

kesemua itu sesuai dengan karakteristik masyarakat dan

negara modern (modern state and society). Oleh karena itu,

penulis akan melihat masalah ini dengan perspektif perubahan

sosial (social change) dari suatu kondisi kepada kondisi yang


9
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

lain, termasuk dalam hal ini perubahan masyarakat pada

negara modern (modern state), terutama perkembangan

hukum Eropa Daratan.

Hart (1961: 89-91) menjelaskan bahwa perubahan pada

suatu masyarakat sebagai perubahan yang didasari dengan

aturan-aturan primer (primary rules) menuju aturan-aturan

sekunder (secondary rules). Aturan-aturan primer berhubungan

dengan aksi-aksi yang harus dilakukan atau tidak boleh

dilakukan oleh individu-individu, sedangkan aturan-aturan

sekunder berhubungan dengan penafsiran, penetapan,

penerapan dan perubahan aturan-aturan primer. Ketika

menjelaskan tentang elemen-elemen hukum, Hart

mengawalinya dengan menyebutkan :

“It is, of course possible to imagine a society without a


legislature, courts or officials of any kind. Indeed, there
are many studies of primitive communities which not only
claim that this possibility is realized but depict in detail
the life of a society where the only means of social control
is that general attitude of the group towards its own
standart modes of behaviour in terms of which we have
characterized rules of obligation. A social structure of this
kind is often referred to as one of ‘custom’; but we shall
not use this term, because it often implies that the
customary rules are very old and supported with less
social pressure than other rulers. To avoid these
implications we shall refer to such a social structure as
one of primary rules of obligation …” (Hart, 1961: 89)

Apa yang disebutkan Hart tersebut menjelaskan bahwa

sebuah masyarakat, betapa pun primitifnya, sangat


10
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

membutuhkan aturan-aturan yang dimulai dari aturan-aturan

adat setempat (custom) sampai aturan-aturan primer (primary

rules) dan aturan-aturan sekunder (secondary rules). Hal ini

penting dilakukan agar masyarakat itu mempunyai aturan

yang jelas dan adanya “kepastian hukum” dalam menata

kehidupan bersama.

Munculnya modernitas merupakan sebuah akibat dari

sebuah revolusi besar. Sztompka (2007 : 82) menjelaskan

bahwa revolusi Amerika dan Perancis menyediakan landasan

institusional politik modernitas, berupa demokrasi

konstitusional, kekuasaan berdasarkan hukum (the rule of law),

dan prinsip kedaulatan negara bangsa. Revolusi industri Inggris

menyediakan landasan ekonomi berupa : produksi industri oleh

tenaga kerja bebas di kawasan urban, yang menyebabkan

industrialisme dan urbanisme menjadi gaya hidup dan

kapitalisme menjadi bentuk distribusi baru.

Comte menunjukkan beberapa ciri tatanan sosial baru

(modernitas) sebagai berikut : (1) konsentrasi tenaga kerja di

pusat urban; (2) pengorganisasian pekerjaan yang ditentukan

berdasarkan efektifitas dan keuntungan; (3) penerapan ilmu

dan teknologi dalam proses produksi; (4) munculnya

antagonisme terpendam atau nyata antara majikan dan buruh;

(5) berkembangnya ketimpangan dan ketidakadilan sosial; dan


11
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

(6) sistem ekonomi berlandaskan usaha bebas dan kompetisi

terbuka ( Sztompka, 2007 : 82).

Kebanyakan sosiolog mencermati perubahan masyarakat

tradisional menuju masyarakat modern dengan membuat

suatu dikotomi, yang membandingkan dua keadaan :

tradisional dan modern. Spencer mengemukakan pertentangan

antara masyarakat militer dan masyarakat industri. Tonnies

mempertentangkan antara Gemeinschaft dan Gesellschaft.

Durkheim mempertentangkan antara solidaritas mekanik dan

solidaritas organik.

Analisis tentang modernitas yang dianggap paling

sistematis dan mendalam dikemukakan oleh Max Weber.

Perbedaan antara kedua tipe tersebut (tradisional dan modern)

ditandai dengan enam dimensi, yaitu (1) bentuk pemilikan; (2)

teknologi dominan; (3) ciri-ciri tenaga kerja; (4) cara distribusi

ekonomi; (5) ciri-ciri hukum; dan (6) motivasi yang

menjalar. Di sini Weber mengidentikkan masyarakat modern

dengan masyarakat kapitalis (Sztompka, 2007 : 83).

Dilihat dari sisi (1) bentuk pemilikan, masyarakat

tradisional ditandai dengan keterikatan pada status sosial

turun-menurun. Sedangkan masyarakat modern (kapitalis)

ditandai dengan kepemilikan pribadi, di mana semua alat

produksi dan pemusatan kekayaan berada di bawah kontrol


12
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

usahawan. Dari sisi (2) mekanisme pekerjaan, masyarakat

tradisional belum ada, sedangkan masyarakat kapitalis sudah

memanfaatkan teknologi sehingga memungkinkan

memperhatikan kapital secara tepat. Proses produksi

berdasarkan prinsip organisasi yang efektif, produktif dan

rasional.

Dari sisi (3) tenaga kerja, masyarakat tradisional dicirikan

dengan hubungan perbudakan antara hamba (budak) dengan

pemilik tanah. Sedangkan masyarakat modern, tenaga kerja

bebas bergerak dan bebas menjual ke pasar terbuka. (4)

Distribusi ekonomi (pasar), pada masyarakat tradisional

ditandai dengan pembatasan rintangan pajak, perampokan,

terbatasnya lembaga keuangan dan transportasi yang buruk,

sedangkan masyarakat modern pedagang bebas untuk

mengatur distribusi dan konsumsi.

Dari sisi (5) hukum yang berlaku, masyarakat tradisional

bersifat khusus, penerapannya berbeda untuk kelompok sosial

yang berbeda dan keputusan hukum bersifat patrimonial. Pada

masyarakat modern, hukum bersifat universal, di mana hukum

dapat diperhitungkan, yang memungkinkan meramalkan

konsekuensi kontrak dan pelaksanaan hukum; dan dari sisi (6)

motivasi utama, pada masyarakat tradisional untuk

memuaskan kebutuhan sehari-hari, sedangkan pada


13
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

masyarakat modern untuk mencapai keuntungan maksimal

(Sztompka, 2007 : 83-84).

Sztompka menjelaskan bahwa Citra Max Weber tentang

kapitalisme tersimpul dari ucapannya sebagai berikut :

"Dalam semua peristiwa, kapitalisme sama dengan upaya


mengejar keuntungan dengan cara melestarikan usaha
kapitalis rasional, yakni secara terus menerus menumpuk
keuntungan, dan ditandai oleh organisasi rasional tenaga
kerja bebas" (Sztompka, 2007: 84).

Ciri-ciri kapitalisme rasional itu sendiri adalah

pengorganisasian kapital ke dalam perusahaan, teknologi

rasional, tenaga kerja bebas, pasar tak terbatas, dan peraturan

hukum yang dapat diperhitungkan.

Sesudah Perang Dunia II, konsep paling berpengaruh

dalam analisis masyarakat tradisional dan modern

dikemukakan Parsons yang disebutnya "variabel-variabel

pola". Dipengaruhi Tonnies, Durkheim, dan Weber, Parsons

membangun sejenis skala multidimensional untuk

membandingkan berbagai tipe sistem sosial. Kecenderungan

sosiologi modern lebih banyak membicarakan variabel

daripada ciri-ciri kedua masyarakat itu secara terpisah. Parsons

pun tak memperlakukan variabel polanya itu sebagai

gambaran masyarakat historis atau masyarakat senyatanya,

tetapi menggunakannya sebagai pangkal tolak untuk

menganalisis masyarakat historis yang senantiasa berubah.


14
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

Tiap dimensi mungkin saja berbeda ukurannya dari dimensi

lain (Sztompka, 2007: 84-85).

Poggi, sebagaimana dikutip Rahardjo (1986: 179-180)

menjelaskan bahwa proses pembentukan negara modern layak

untuk diperhatikan, karena ia banyak memberi pelajaran

kepada kita tentang bagaimana masyarakat ini

diorganisasikan, yang di dalamnya barang tentu akan ikut

dibicarakan masalah hukumnya. Proses pembentukan negara

modern merupakan bagian dari sejarah "diferensiasi"

kelembagaan, yang menunjukkan bagaimana fungsi-fungsi

utama dalam masyarakat itu tampil ke depan sepanjang

berlangsungnya proses tersebut. Di situ terlihat terjadinya

pengorganisasian masyarakat yang semakin meningkat

melalui berbagai elaborasi dari fungsi-fungsi tersebut.

Gianfranco Poggi membagi proses pembentukan tersebut ke

dalam tahap-tahap sebagai berikut : (a) feodalisme; (b)

standestaat; (c) absolutisme; (d) masyarakat sipil (civil

society); dan (e) negara konstitusional.

Masyarakat feodal dapat dilukiskan sebagai suatu

komunitas yang bersendikan hubungan khusus antara yang

dipertuan dengan abdinya. Timbulnya feodalisme ini

disebabkan oleh terjadinya kekosongan dalam struktur

kekuasaan di Eropa Barat yang pada gilirannya menimbulkan


15
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

suatu keadaan yang kacau. Kekacauan ini dilukiskan dalam

bentuk keberantakan struktur kekuasaan yang terjadi karena

runtuhnya kerajaan Romawi Barat, perpindahan penduduk

secara besar-besaran dan berpindahnya jalur-jalur

perdagangan yang menghubungkan antara penduduk di Eropa

Barat dari Laut Tengah (Rahardjo, 1986: 180).

Berhadapan dengan keadaan yang demikian itu,

munculnya feodalisme merupakan jalan keluar untuk

mengatasinya. Ia muncul sebagai pengganti dan pengisi

kekacauan struktural masyarakat saat itu. Feodalisme di Eropa

Barat mendapat pengaruh yang kuat dari lembaga

Gefolgschaft yang berasal dari Jermania. Gefolgschaft berarti

"hubungan yang bersifat mengikuti", artinya "suatu ikatan

yang bersifat pribadi, berdasarkan perjanjian untuk saling setia

dan mengikatkan diri secara akrab, antara seorang perwira

perang dengan anggotanya yang dekat dan terpercaya". Jadi,

pada pokoknya ikatan atau hubungan antara kedua subyek

dalam perjanjian itu terutama didukung oleh nilai-nilai yang

bersifat pribadi, kehormatan, dan sebagainya.

Di dalam sistem ini, pihak yang menjadi kawula

mempercayakan dan menyerahkan dirinya kepada pihak yang

lebih tinggi, lebih kuasa, untuk mendapatkan perlindungan,

dan menyediakan dirinya untuk dibebani dengan kewajiban-


16
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

kewajiban serta apabila diperlukan memberikan bantuan

secara pribadi. Sebagai imbalannya, ia mendapatkan

beneficium, yaitu berupa pemberian hak-hak, yang biasanya

berupa tanah, tetapi meliputi pula penduduk yang tinggal di

situ. Ia mendapatkan kekebalan untuk dibebaskan dari

kewajiban-kewajiban fiskal, militer, dan yurisdiksi peradilan

yang biasanya dikenakan terhadap seorang yang memegang

jabatan tertentu. Seorang yang menjadi kawula itu, pada

gilirannya bisa menjadi tuan bagi penduduk yang berdiam di

atas tanah yang dianugerahkan kepadanya. Dengan demikian,

dapat dibayangkan terbentuknya kantong-kantong yang

tersusun secara hirarkis, mulai dari yang dipertuan, kawula-

kawula dan penduduk (Rahardjo, 1986: 181-182).

Tumbuhnya feodalisme dalam konteks tatanan

masyarakat yang ada pada waktu itu di Eropa Barat, bisa

dikatakan bersifat merusak. Pada kebanyakan bagian benua

itu, ia merusak sifat teritorial dari susunan masyarakat di situ

dengan cara pemberian beneficium sebagaimana disebutkan di

atas. Dengan cara ini, seorang yang dipertuan membentuk

kantong-kantongnya sendiri yang tidak bersifat teritorial, tetapi

yang bercirikan pribadi. Dengan demikian, maka struktur yang

berlaku menjadi rusak dan kehilangan citra serta

efektifitasnya. Pusat kehidupan politik sekarang bergeser ke


17
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

kotak-kotak wilayah yang lebih sempit, berupa kantong-

kantong kesetiaan sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Dengan demikian, kondisi semacam itu dapat menciptakan

masyarakat yang sangat majemuk keadaannya. Dari situ

kemudian timbullah masalah yang mendesak, yaitu tentang

bagaimana membuat koordinasi, timbulnya krisis ketertiban

serta bagaimana mengatasi kekerasan-kekerasan yang sudah

bersifat anarkhis (Rahardjo, 1986: 182).

Dalam perkembangannya, feodalisme di Eropa Barat juga

mengalami perubahan dalam struktur dirinya. Ciri kesetiaan

antara yang dipertuan dan kawulanya berubah, karena para

kawula yang juga bisa mempunyai bawahannya sendiri

kemudian lebih memikirkan untuk melanggengkan

kekuasaannya "ke bawah". Bagaimana pun, feodalisme itu

telah memberikan sahamnya sendiri untuk perkembangan

keadaan di bagian benua itu (Rahardjo, 1986: 182).

Tampilnya Standestaat2 memberikan pertanda lahirnya

suatu sistem pengorganisasian masyarakat yang baru dan

dengan demikian juga timbulnya suatu tata kehidupan hukum

dan kenegaraan yang baru. Setidak-tidaknya, Standestaat ini

merupakan tonggak dalam perjalanan ke arah tata kehidupan


2 Standestaat adalah suatu unit dalam lapisan sosial, yaitu sebagai suatu
golongan penduduk yang mempunyai satus sama. Golongan ini terdiri atas
bangsawan, agamawan dan penduduk biasa. Standestaat ini merupakan
ramuan baru, sebagai sebuah kekuatan yang berhadapan dengan penguasa
pada saat itu.
18
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

hukum dan kenegaraan sebagaimana halnya dikenal di Eropa

Barat sekarang ini, dan yang kemudian menyebar ke segenap

penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Dalam perkembangan selanjutnya, terjadilah suatu proses

yang menarik, yaitu menjadi semakin kuatnya unsur penguasa

sebagai bagian dari Standestaat itu. Medan kehidupan politik

sekarang, karena berbagai sebab, tidak lagi berlangsung

dalam masing-masing Standestaat itu, melainkan antara

negara dengan negara. Dalam keadaan yang demikian,

negara-negara itu perlu memperkuat diri agar dapat terjun ke

dalam sebuah persaingan. Hal ini menyebabkan

berlangsungnya penyerahan wilayah-wilayah yang kecil ke

dalam kesatuan-kesatuan yang lebih besar, yakni negara

tersebut. Sebagai bagian dari proses ini, maka dalam suatu

negara diperlukan struktur yang lebih tunggal,

berkesinambungan, mudah diperhitungkan dan dikendalikan

serta efektif (Rahardjo, 1986 : 185).

Munculnya "masyarakat sipil" (civil society) berhubungan

erat dengan munculnya borjuasi Eropa dalam masa sistem

yang absolut. Kelas ini terdiri atas para pengusaha kapitalis

yang mengalami kemajuan-kemajuan pada masa itu dan

karenanya menginginkan identitasnya sendiri sebagai suatu

kelas. Berbeda dengan Stande yang ditegakkan oleh suatu


19
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

struktur otoritas yang memaksakan disiplin kepada para

anggotanya, maka kelas borjuis ini menghendaki terjadinya

kompetisi di antara anggotanya, yaitu perorangan dengan

kepentingan-kepentingannya sendiri. Melalui kesempatan

untuk berkompetisi itu diharapkan akan tercapai suatu

keadaan ekuilibrium.

Di sini dijumpai makna yang dikandung oleh masyarakat

sipil tersebut, yakni sebuah masyarakat yang tidak dapat

terlepas dari kehidupan hukum dan kenegaraan. Negara

seolah-olah berada di atas masyarakat dengan membentuk

organisasinya sendiri, yang terdiri atas jabatan-jabatan yang

ada dan pejabat-pejabatnya.

Poggi, sebagaimana dikutip Rahardjo (1986: 187)

menjelaskan bahwa dari perkembangan demi perkembangan

tersebut, pada akhirnya dapat dijumpai puncak perkembangan

yang ada, yaitu suatu kehidupan kenegaraan dan

kemasyarakatan yang secara sadar dan sistematis didasarkan

pada hukum. Suatu karakteristik yang menonjol dari kehidupan

konstitusional yang demikian itu adalah terdapatnya suatu

sistem peraturan hukum yang menjadi kerangka bagi seluruh

kegiatan dalam suatu negara, baik itu kegiatan perorangan

maupun kenegaraan.

Hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Rahardjo (2006 :


20
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

22) bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga

bangunan ide, kultur dan cita-cita. Hal ini penting untuk

dikemukakan sebab orang sering melihat hukum hanya

sebagai sebuah peraturan dan prosedur, di mana kesemua itu

sangat tergantung dengan aturan tekstual yang ada dalam

peraturan perundangan, yang kesemua itu mempunyai

konotasi "netral".

Hukum modern sering dilihat hanya sebagai rule of law

saja, dan tidak melihatnya juga sebagai rule of morality dan

rule of justice. Rahardjo (2006 : 23) menilai banyak orang yang

mengabaikan atau melupakan bahwa di belakang sekalian

formal hukum, sebenarnya bermukim suatu nilai dan gagasan

tertentu, sehingga menjadi particular.Dalam konteks tersebut,

maka sistem hukum modern sebenarnya tidak netral.

Max Weber, sebagaimana dikemukakan oleh Rahardjo

(2006 : 23) menilai bahwa pertumbuhan hukum modern tidak

dapat dilepaskan dari kemunculan industrialisasi yang

kapitalistis, di mana salah satu cirinya adalah adanya suatu

tatanan normatif yang mampu mendukung pola kerjanya yang

rasional.

Sejak munculnya hukum modern, seluruh tatanan sosial

yang ada mengalami perubahan luar biasa. Salman (2008:

146-147) menjelaskan bahwa kemunculan hukum modern


21
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

tidak terlepas dari negara modern (nation-state). Negara

bertujuan untuk menata kehidupan masyarakat, dan pada saat

yang sama kekuasaan negara menjadi sangat hegemonial,

sehingga seluruh yang ada dalam lingkup kekuasaan negara

harus diberi label negara, undang-undang negara, peradilan

negara, polisi negara, hakim negara dan seterusnya. Bagi

hukum ini merupakan sebuah puncak perkembangan yang

ujungnya berakhir pada dogmatisme hukum, liberalisme,

kapitalisme, formalisme dan kodifikasi.

Namun demikian, dengan mengutip Satjipto Rahardjo,

Salman (2008: 147) menjelaskan bahwa memasuki akhir abad

ke-20 M dan awal abad ke-21 M, nampak sebuah perubahan

yang cukup penting, yaitu dimulainya perlawanan terhadap

dominasi atau kekuasaan negara. Dalam ilmu, pandangan ini

muncul dan diusung oleh para pemikir post-modernis, sehingga

dengan demikian sifat hegemonial dari negara perlahan-lahan

dibatasi, dan mulai muncul pluralisme dalam masyarakat,

negara tidak lagi absolut kekuasaannya. Muncullah apa yang

dikenal dengan kearifan-kearifan lokal, bahwa negara ternyata

bukan satu-satunya kebenaran. Inilah yang digambarkan

Satjipto Rahardjo sebagai gambaran transformasi hukum yang

mengalami bifurcation (pencabangan) dari corak hukum yang

bersifat formalisme, rasional dan bertumpu pada prosedur.


22
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

Namun di samping itu muncul pula pemikiran yang lebih

mengedepankan substansial justice.

C. Pemikiran Hukum di Indonesia

Di negara Indonesia konsep tentang kehidupan hukum

dikenal dengan konsep negara hukum. Konsep ini bermula

dari konsep legal-formal dalam Penjelasan Undang-Undang

Dasar 1945, "Indonesia adalah berdasar atas hukum

(rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka

(machstaat)." Berdasarkan konsep ini maka istilah negara

hukum menjadi sangat populer dalam kepustakaan hukum di

Indonesia.

Gunaryo (2001: 1-2) menilai bahwa dari konsep tersebut

sebenarnya terdapat suatu paradoks mengenai kehidupan

hukum di Indonesia. Di satu sisi, hukum memiliki kedudukan

yang superior dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hukum harus dijunjung tinggi dan dipakai sebagai mekanisme

penyelesaian setiap perkara. Semua subyek hukum tanpa

kecuali dalam perilakunya harus tunduk pada hukum.

Sebaliknya, hukum harus memperlakukan semua orang tanpa

pandang bulu. Dalam negara hukum, hukum tidak sekedar

berfungsi sebagai kamtibmas saja, yang lebih penting adalah

untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih baik bagi rakyat.


23
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

Ketentuan tersebut juga mengindikasikan bahwa secara

legal-normatif, Indonesia adalah negara modern yang

menerapkan prinsip-prinsip egaliter bagi setiap warga negara.

Prinsip ini selanjutnya mengimplikasikan bahwa setiap warga

negara dalam menilai kebijakan publik, memiliki derajat akses

yang sama satu dengan yang lainnya. Ini dimungkinkan karena

masyarakat vis a vis negara adalah setara. Jadi kebijakan

birokrasi negara akan memiliki kekuatan pengimbang yang

memiliki fungsi kontrol terhadap setiap kebijakan yang

dikeluarkan.

Namun di sisi lain, banyak perilaku yang ternyata pada

prakteknya tidak dapat disentuh oleh hukum. Perilaku yang

dimaksudkan di sini adalah perilaku yang melanggar hukum,

baik yang disengaja maupun tidak. Yang dimaksud perilaku

yang tidak disengaja melanggar hukum adalah perilaku yang

memang melanggar tetapi tidak dianggap sebagai

pelanggaran karena memperoleh pembenaran kultural. Contoh

perilaku tersebut adalah pelanggaran hukum-hukum lalu lintas

yang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam, tetapi juga

oleh negara, khususnya aparat negara. Penggunaan fasilitas

umum untuk kepentingan pribadi, dan sebagainya (Gunaryo,

2001: 2).

Pada umumnya istilah negara hukum dianggap sebagai


24
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

terjemahan dari rechtstaat dan the rule of law. Konsep ini

selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab

konsep-konsep itu tidak lepas dari gagasan untuk memberi

pengakuan dan perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia

(HAM). Namun apabila ditelaah lebih mendalam, sebenarnya

terdapat perbedaan antara rechtstaat dan the rule of law.

Mahfud MD (1999: 126-127) menjelaskan bahwa perbedaan

kedua konsep tersebut meliputi perbedaan latar belakang dan

pelembagaan, meskipun pada intinya sama-sama

menginginkan perlindungan bagi HAM melalui pelembagaan

peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Istilah rechtstaat banyak dianut di negara-negara Eropa

Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law, sedangkan

the rule of law banyak dikembangkan di negara-negara dengan

tradisi Anglo Saxon yang bertumpu pada sistem common law.

Kedua sistem yang menjadi tumpuan kedua konsep tersebut

mempunyai perbedaan titik berat pengoperasian. Civil law

menitikberatkan pada administrasi, sedangkan common law

menitikberatkan pada judicial. Sementara itu rechtstaat dan

the rule of law dengan tumpuannya masing-masing

mengutamakan segi yang berbeda; konsep rechtstaat

mengutamakan prinsip wetmatigheit yang kemudian menjadi

rechtmatigheit, sedangkan the rule of law mengutamakan


25
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

equality before the law (Mahfud MD, 1999: 127).

Pemikiran hukum di Indonesia, dalam pandangan penulis,

pada awalnya mengikuti rule of law secara kaku, terutama

pada saat awal Indonesia merdeka. Hal ini lebih banyak

dipengaruhi oleh ajaran atau paham positivistic dalam hukum.

Namun perlahan-lahan pemahaman para ahli hukum di

Indonesia terhadap rule of law ini mengarah pada aspek-aspek

yang dinamis.

Sunny (2005: 309) menjelaskan bahwa tugas utama dari

negara-negara yang baru merdeka adalah pembangunan. Ini

tidak hanya melibatkan aspek-aspek politis dari pemerintahan

demokratis, tetapi juga aspek-aspek ekonomi dan sosial yang

menjadi syarat mutlak dari pelaksanaan efektif hak-hak

pribadi. Ini membutuhkan rule of law dalam aspek-aspek yang

dinamis.

Lebih lanjut Sunny (2005: 309-310) menjelaskan bahwa

dalam pola-pola human relations yang berubah-ubah, yang

diakibatkan kemajuan-kemajuan sosial yang progresif, prinsip

rule of law mengalami proses evolusi dan bahkan revolusi

untuk menghadapi situasi-situasi baru dan penuh tantangan.

Inilah yang dimaksud dengan aspek dinamis dari rule of law,

karena pelaksanaan rule of law tidak terbatas pada suatu

sistem hukum, bentuk pemerintahan, tata ekonomi atau tradisi


26
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

lokal tertentu. Ini yang membuat konsepnya dinamis.3

Apa yang dikemukakan oleh Ismail Sunny ini (yakni proses

evolusi dan bahkan revolusi dari rule of law akibat kemajuan

sosial yang progressif dan situasi baru yang penuh tantangan),

menarik untuk dicermati lebih lanjut. Hal ini dikarenakan

pemikiran tentang hukum responsif atau hukum progressif

yang semakin ramai diperbincangkan oleh para pakar dan

ilmuwan hukum di Indonesia belakangan ini (misalnya Satjipto

Rahardjo dan Soetandyo Wignyosoebroto) sebenarnya sudah

dimulai sejak lama.

Hukum sebagai sebuah proses (law as process),

sebagaimana dikemukakan oleh Sampford (1989: 132-134)

harus senantiasa membandingkan dengan proses-proses

interaksi regular, di mana kegiatan seseorang atau sebuah

kelompok akan selalu diikuti oleh yang lainnya. Sampford

(1989: 132) mengemukakan :

“ … Law, which they still refer to as ‘the legal system’, is


seen to comprise ‘processes’ regular interactions in which the
action of one person or group regularly follows the action of
others.”

Dalam buku The Disorder of Law (1989), Charles Sampford

menolak terhadap apa yang dipegang teguh oleh kaum

positivis. Ia menguraikan bahwa sesungguhnya hukum penuh

3 Pernyataan tersebut adalah sebagian penjelasan Ismail Sunny ketika menyampaikan pidato
guru besarnya pada tanggal 25 Nopember 1966.
27
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

dengan ketidakteraturan, yang disebutnya dengan “Legal

melee”. Satjipto Rahardjo, dalam sebuah seminar nasional

dengan tema Menggugat Pemikiran Positivis di Era Reformasi,

sebagaimana dikutip oleh Susanto (2005: 122-123)

menguraikan panjang lebar mengenai pendapat Sampford ini.

Menurut Sampford, ketidakteraturan dan ketidakpastian

disebabkan hubungan-hubungan dalam masyarakat bertumpu

pada hubungan antar kekuatan (power relation). Hubungan

kekuatan ini tidak selalu tercermin dalam hubungan-hubungan

formal dalam masyarakat. Terdapat kesenjangan antara

hubungan formal dan hubungan nyata yang didasarkan pada

kekuatan. Inilah yang menyebabkan ketidakteraturan itu. Di

atas basis sosial yang demikian itulah hukum berdiri atau

berada.

Sampford melihat kemungkinan untuk menerima adanya

suatu sistem hukum di tengah masyarakat yang tidak teratur,

dan sesungguhnya bahwa hukum penuh ketidakteraturan,

maka teori hukum itu tidak perlu teori tentang sistem hukum

(theories of legal system), melainkan teori tentang

ketidakteraturan hukum (theories of legal disorder). Sampford

bertanya, bagaimana mungkin keadaan yang dalam

kenyataannya penuh dengan ketidakteraturan itu dalam

positivisme dilihat sebagai sesuatu yang penuh dengan


28
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

keteraturan ? Dengan demikian, maka sebetulnya keteraturan

itu bukan sesuatu yang nyata dalam keadaan ada, melainkan

sesuatu yang oleh para positivis "ingin dilihat ada". Teori

tersebut dikenal dengan teori kekacauan (chaos theory) atau

teori hukum yang kacau (chaos theory of law). Satjipto

Rahardjo melihat bahwa teori ini sangat bermanfaat untuk

mencermati perkembangan hukum yang terjadi di Indonesia

(Susanto, 2005: 122-123).

Apa yang terjadi pada perkembangan hukum dan

dinamika pemikiran hukum di Indonesia saat ini, dalam

pandangan penulis, belum mengarah kepada situasi yang

lebih baik. Salman (2008: 149) menilai bahwa hukum kita

tengah memasuki titik terendah dari apa yang dikenal

hilangnya ruhani hukum, kehidupan hukum yang tidak

imajinatif, semrawut dan kumuh. Salman, dengan mengutip

pernyataan Kunto Wibisono, mengemukakan bahwa "telah

terjadi kerancuan visi dan misi hukum kita yang mengarah

kepada kehancuran supremasi hukum." Atau dalam bahasa

Julia Kristeva, salah seorang pemikir post modernis, hukum di

Indonesia sekarang sedang memasuki kondisi abjek, yaitu

suatu peristiwa kehidupan yang kacau tidak menentu dan tidak

ada harapan. Abjek hukum berarti suatu kondisi atau keadaan

di mana setiap orang tengah bermain-main dan terlibat


29
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

permainan untuk mempermainkan hukum, ada yang menangis,

ada yang tertawa, ada yang berjualan, ada yang telanjang, ada

yang tidak punya malu dan ada apa saja di dalamnya (Salman,

2008: 149).

Penulis melihat bahwa doktrin kaum positivis, yakni

doktrin kepastian hukum atau doktrin ajaran hukum klasik

kaum legis-positivis masih banyak dianut oleh sebagian besar

ahli hukum, baik pembuat hukum maupun praktisi hukum di

Indonesia. Hal ini menimbulkan tarik-menarik kepentingan

(conflict of interest), misalnya kepentingan politik dan ekonomi

dalam pembuatan hukum. Beberapa produk peraturan

perundang-undangan mencerminkan adanya tarik menarik

yang kuat di antara para elit, terutama secara politis dalam

proses pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) sampai

ditetapkannya sebagai sebuah Undang-Undang (UU).

Beberapa produk peraturan perundangan dengan proses

seperti di atas misalnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

(Undang-Undang Perkawinan), Undang-Undang No. 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama,4 Undang-Undang tentang

perburuhan, Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Anti

4 Gunaryo (2006: 125-227) menguraikan panjang tentang pergumulan politik dalam proses
pembuatan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Undang-Undang tentang Perkawinan) dan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 (Undang-Undang Peradilan Agama). Undang-Undang
Peradilan Agama ini telah mengalami dua kali Amandamen sejak tahun 1989, yaitu pada tahun
1999 dan 2004.
30
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain.5

Wignjosoebroto (t.t. : 16) mengemukakan bahwa doktrin

kaum positivis, yang dikenali pula sebagai doktrin the

supreme state of (national) law, yang mengajarkan dan

meyakini adanya status hukum yang mengatasi kekuasaan dan

otoritas lain semisal otoritas politik. Doktrin ini dinilai

Wignjosoebroto berkonsekuensi pada ajaran lebih lanjut agar

setiap ahli hukum, khususnya yang bertugas sebagai hakim,

tidak menggunakan rujukan-rujukan normatif lain selain yang

terbilang norma hukum guna menghukumi suatu perkara. Hal

inilah yang penulis lihat sebagai salah satu penyebab masih

buruknya kondisi hukum di Indonesia sampai sekarang, di

samping sebab-sebab yang lain, seperti substansi hukum,

budaya hukum dan pendidikan hukum.

Untuk dapat mengatasi masalah hukum di Indonesia saat

ini, diperlukan usaha keras, terutama konsep berpikir yang

holistik untuk dapat memahami berbagai persoalan yang

sedang terjadi pada hukum dan pemikiran hukum kita, baik

struktur hukum, substansi hukum maupun budaya hukumnya.

5 Dalam acara seminar dan Temu Hukum Nasional IX Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) di Yogyakarta pada tanggal 20 November 2008, Agung Laksono sebagai Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan “Suka atau tidak suka, kita harus mematuhi (peraturan
hukum yang berlaku di Indonesia)”. Agung mengemukakan hal itu dalam kaitannya dengan
peraturan perundangan di bidang pemilihan umum (Pemilu). Agung memberikan alasan bahwa
untuk menegakkan demokratisasi di Indonesia harus diiringi dengan penegakan hukum. Ia
menyatakan bahwa demokrasi tanpa penegakan hukum hanya akan melahirkan anarkisme, padahal
sifat-sifat destruktif semacam itu harus dihindari (Suara Merdeka, 21 November 2008).
31
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

Berbagai solusi alternatif yang ditawarkan oleh para ahli

hukum kita, seperti upaya pencarian untuk menemukan

paradigma baru (new paradigm) dan pemikiran-pemikiran

hukum alternatif layak untuk diperhatikan oleh semua

kalangan hukum. Sunny (2005: 309-310) pada tahun 1966

telah menawarkan penafsiran dinamis terhadap rule of law,

karena pelaksanaan rule of law dinilai tidak terbatas pada

suatu sistem hukum, bentuk pemerintahan, tata ekonomi atau

tradisi lokal tertentu.

Wignjosoebroto (t.t.: 19) pernah menawarkan untuk

mempertimbangkan kembali doktrin utilitarianisme tentang

kemanfaatan hukum untuk menyelesaikan (bukan sekedar

memutusi) perkara. Ia juga menawarkan pemikiran untuk

memperbaiki kondisi hukum di Indonesia dengan

mempergunakan hukum responsif (yang amat diharapkan

akan segera dapat dihadirkan, baik dalam proses-proses

legislatif maupun dalam proses-proses yudisial), atau yang di

Amerika dikenal sebagai sosiological jurisprudence.

Ahli hukum lain dan yang belakangan banyak dirujuk oleh

para akademisi hukum, Satjipto Rahardjo telah menawarkan

agar pemaknaan hukum modern, termasuk yang ada di

Indonesia, tidak hanya dipahami sebagai rule of law saja,

melainkan juga dipahami sebagai rule of morality atau rule of


32
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

justice. Dalam bukunya, Sisi-sisi lain Hukum di Indonesia,

Rahardjo (2006: 24) mengemukakan :

"...Barangkali yang perlu kita renungkan adalah


bagaimana memberikan arah dan watak kepada sistem
hukum tersebut (hukum modern) sehingga benar-benar
menjadi "hukum Indonesia". Menjadi "hukum Indonesia"
adalah mengusahakan agar tata hukum Indonesia berada
dalam hubungan yang sinergis dengan sekalian kekayaan
yang dinamakan Indonesia tersebut."

Tawaran lain Satjipto Rahardjo untuk mengatasi

permasalahan hukum yang ada di Indonesia saat ini adalah

penerapan hukum yang sesuai dengan perkembangan di

masyarakat, yang dikenal dengan hukum progressif.

D. Kesimpulan

Hukum modern merupakan hukum yang banyak

diterapkan di- negara-negara pada saat ini, baik negara maju

maupun negara berkembang. Hukum modern lahir bersamaan

dengan lahirnya negara modern (modern state). Ia

mempunyai karakter uniform, transaksional, universal,

hierarki, birokrasi, rasionalitas, profesionalisme, perantara,

dapat diralat, pengawasan politik dan pembedaan.

Hukum modern sering dilihat hanya sebagai rule of law

saja, dan tidak melihatnya juga sebagai rule of morality dan

rule of justice. Rahardjo (2006 : 23) menilai masih banyak

orang yang mengabaikan atau melupakan bahwa di belakang


33
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

sekalian formal hukum, sebenarnya bermukim suatu nilai dan

gagasan tertentu, sehingga menjadi particular. Dalam konteks

tersebut, maka sistem hukum modern sebenarnya tidak netral.

Pertumbuhan hukum modern, sebagaimana pernah

dikemukakan oleh Max Weber, tidak dapat dilepaskan dari

kemunculan industrialisasi yang kapitalistis, di mana salah satu

cirinya adalah adanya suatu tatanan normatif yang mampu

mendukung pola kerjanya yang rasional.

Pemikiran hukum di Indonesia sampai saat ini, menurut

penulis, masih banyak didominasi oleh ajaran atau paham

positivistic dalam hukum, dengan pemahaman secara "kaku"

terhadap teks yang tertera dalam perundang-undangan.

Paham rule of law, sebagai salah satu ciri utama produk

hukum modern, belum banyak dipahami secara dinamis oleh

para kalangan hukum, baik pemikir hukum, pembuat hukum,

maupun praktisi hukum sehingga berakibat kekacauan dalam

praktek hukumnya.

Penulis melihat bahwa faktor-faktor di luar hukum, seperti

politik dan ekonomi masih banyak mendominasi produk-produk

peraturan perundangan yang ada di negara kita, misalnya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Undang-Undang

Perkawinan), Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama (Undang-Undang ini sudah diamandemen


34
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

pada tahun 1999 dan 2004), Undang-Undang tentang

Perburuhan, Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Anti

Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain.

Gunaryo (2006: 375) menilai bahwa hukum, baik dalam

bentuk Undang-undang atau lainnya tidaklah bebas nilai atau

netral. Keberadaannya, apalagi hukum nasional,

merepresentasikan luaran (outcome) dari pergumulan dan

tarik menarik berbagai kepentingan politik.

Apa yang pernah dikemukakan oleh Gunaryo ini

nampaknya masih banyak terjadi di Indonesia sampai

sekarang, baik dalam proses pembuatan peraturan perundang-

undangan maupun dalam pelaksanaannya. Wallahu A’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Gunaryo, Achmad, 2001, "Birokrasi dan Pertanggungjawaban


Hukum di Indonesia" dalam Achmad Gunaryo,
Hukum, Birokrasi dan Kekuasaan di Indonesia,
Semarang : Walisongo Research Institute.

------------------------, 2006, Pergumulan Politik dan Hukum Islam


(Reposisi Peradilan Agama dari Peradilan “Pupuk
Bawang” Menuju Peradilan yang Sesungguhnya,
35
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

Yogyakarta : Pustaka Pelajar Kerjasama dengan


Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.

Hart, H. L. A., 1961, The Concept of Law, Oxford : at the Clarendon


Press.

Madjid, Nurcholish, 1992, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,


Cetakan Keempat, Bandung : Mizan.

Mahfud MD, Moh., 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi,


Yogyakarta : Gama Media kerjasama dengan
Yayasan Adikarya IKAPI dan the Ford Foundation.

Prasetyo, Teguh dan Barkatullah, Abdul Halim, 2007, Ilmu Hukum


dan Filsafat Hukum (Studi Pemikiran Ahli Hukum
Sepanjang Zaman), Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Rahardjo, Satjipto, 1986, Ilmu Hukum, Bandung : Alumni.

----------------------- , 2006, Sisi-Sisi Lain Hukum di Indonesia, Cetakan


kedua, Jakarta : Kompas.

Rahman, Fazlur, 1984, Islam, penerjemah Ahsin Muhammad,


Cetakan I, Bandung : Pustaka.

Salman, Otje, dan Susanto, Anthon F, 2008, Teori Hukum


(Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka
Kembali), Cetakan Keempat, Bandung : Refika
Aditama.

Sampford, Charles, 1989, The Disorder of Law (A Critique of Legal


Theory), Oxford : Basil Blackwell.

Sunny, Ismail, 2005, "Kepastian Hukum Menuju Stabilisasi Politik"


dalam Pramono U. Tanthowi (ed.), Begawan
Muhammadiyah (Bunga Rampai Pidato Pengukuhan
Guru Besar Muhammadiyah), Cetakan I,
Yogyakarta : PSAP.

Susanto, Anthon Freddy, 2005, Semiotika Hukum (Dari


Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna),
Cetakan I, Bandung : Refika Aditama.

Sztompka, Piotr, 2007, Sosiologi Perubahan Sosial, alih bahasa


Alimandan, Cetakan ke-3, Jakarta : Prenada.
36
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

Wignjosoebroto, Soetandyo, t.t., Menggagas Terwujudnya


Peradilan yang Independen dengan Hakim
Profesional yang tidak Memihak, Buletin Komisi
Yudisial.

REVISI

HUKUM MODERN DAN PEMIKIRAN HUKUM


DI INDONESIA
37
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir


Matakuliah Ilmu Hukum

Oleh :

RUPI’I AMRI
NIM. 085113026

Dosen Pengampu :

DR. H. ACHMAD GUNARYO, M.Soc.Sc

PROGRAM DOKTOR
PASCASARJANA IAIN WALISONGO
2008
38
Hukum Modern dan Pemikiran Hukum di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai