Anda di halaman 1dari 22

BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Tn S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 28 Tahun
Pendidikan Terakhir : SMA
Waktu Pemeriksaan : 13 Juni 2021 Pukul 16.45

II. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Antropometri
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan : 167 cm
Indeks Massa Tubuh : 25 kg/m2 (Gizi Normal)

Tekanan Darah : 110/60 mmHg


Laju Nadi : 86x / menit
Laju Nafas : 20x / menit
Suhu : 36.7 0C
Kepala : Normochepal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : Deviasi (-), Deformitas (-), Sekret (-)
Telinga : tidak ada kelainan
Mulut : Mukosa Oral Basah
Leher : Pembesaran KGB (-)

Thoraks Paru
Inspeksi : Gerak nafas simetris, penggunaan otot nafas (-)

[Type text] Page 1


Palpasi : Gerak nafas simetris, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+)

Thoraks Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlibat
Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS 5 garis media
Midclavicular kiri
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II Reguler, Murmur (+), Gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi :Bising usus (+) 6-8 x/menit
Perkusi : Nyeri tekan (+), Nyeri lepas (+), di right lower
Quadrant, hepar lien tidak teraba membesar
Auskultasi : Timpani seluruh lapang abdomen
Punggung : Nyeri ketok CVA (-/-)
Genitalia : Rectal toucher tidak dilakukan

III. PEMERIKSAAN FISIK KHUSUS


Status lokalis right lower quadrant abdomen
Inspeksi : tampak datar, tidak tampak eritema
Palpasi :
Mc Burney : Positif
Blumberg Sign : Positif
Rovsing sign : Positif
Psoas Sign : Negatif
Obturator Sign : Negatif
Perkusi : pekak pindah (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 6-8x/menit

[Type text] Page 2


IV. Resume

Tn S, 28 tahun pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak dua hari sebelum masuk
rumah sakit Pada awalnya nyeri dirasakan di ulu hati, kemudian berpindah diperut kanan
bawah. Nyeri dirasakan terus-menerus dan tidak menjalar, nyeri dirasakan seperti melilit
dan dirasakan semakin lama makin memberat, VAS 6-7. Satu bulan yang lalu pasien
juga mengeluhkan nyeri perut sebelah kanan bawah. Pasien mengaku tidak nafsu makan
sejak 2 hari yang lalu, mual (+), muntah (-). Pasien tidak BAB selama 2 hari, BAK
normal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang, IMT 25 kg/m 2
(Gizi Normal). Pemeriksaan abdomen terdapat Mc Burney (+), Blumberg Sign (+),
Rovsing Sign (+).

V. Diagnosa Awal
Susp Appendicitis

VI. Tatalaksana Awal


- Infus RL 20gtt/m
- Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
- Inj OMZ 1 amp/12 jam
- Inj. Ondansentron I amp/8 jam
- USG Abdomen

VII. Pemeriksaan Penunjang

[Type text] Page 3


Foto USG Abdomen
Expertise:
Appendicitis kronis eksaserbasi akut
USG Hepar, kandung empedu, limpa, pancreas, kedua ginjal dan vesika urinaria
tidak tampak kelainan
Tidak tampak cholelithiasis, Urolithiasis,Ileus, Asites dan pembesaran KGB

VIII. Diagnosis Kerja


Appendicitis Kronis Eksaserbasi Akut

IX. Tatalaksana
Infus RL 20gtt/m
Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
Inj OMZ 1 amp/12 jam
Inj. Ondansentron I amp/8 jam
Pro Appendectomy tanggal 15 Juni 2021
Puasa dari jam 07.00 sampai tanggal 15 juni 2021
Pemeriksaan laboratorium Pre Operasi

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan


HEMATOLOGI

[Type text] Page 4


Hemoglobin 12.9 13.2-17.3 g/dl
Hematokrit 39 40.0- 52.0 %
Leukosit 7. 570 3800-10.500 /mm3
Trombosit 157.000 150.000-440.000 /mm3
HEMOSTATIS
Masa Perdarahan 3 0.00-06.00 Menit
APTT 30.2 25.9-39.5 detik
SEROLOGI
Hepatitis Negatif - -
HBsAg
Rapid Test covid 19
Sars Cov IgM Non reaktif
Sars Cov IgG Non Reaktif

X. Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Funtionam : Bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

XI. Follow Up

Senin, 14/06/2021
S Nyeri perut VAS 6-7, sulit berjalan
O Tekanan darah 110/80mmHg
Laju nadi 89x/menit
Laju nafas 20x/menit
Suhu 36.20C
Abdomen Bising usus (+) 6-8 x/menit, Mc
Burney (+), Blumberg Sign (+),
Rovsing Sign (+)
A Appendicitis Kronis Eksaserbasi Akut

[Type text] Page 5


P - Inf. RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12j
- Inj. Ranitidin 1 amp/12j
- Inj. Ondansetron 1amp/12j
- Inj. Ketorolac 1 amp/12j
- Pro Appendiktomy
- Puasa pre operasi

Selasa, 15 Juni 2021


S Nyeri post Operasi VAS 4-5
Tekanan darah 110/70 mmHg
Laju nadi 80x/menit
0 Laju nafas 18 x /menit
Suhu 36.50C
Abdomen Bising usus (-), Luka post operasi
tertutup kasa, rembesan (-), Nyeri
tekan (+)
A Post Appendectomi ec Appendicitis
kronis Eksaserbasi Akut
P - Bed rest
- Inf. RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12j
- Inj. Ranitidin 1 amp/12j
- Metronidazole 500mg/8jam

Rabu, 16 Juni 2021


S Nyeri post Operasi VAS 4-5, kentut
(+)

[Type text] Page 6


Tekanan darah 110/60 mmHg
Laju nadi 85x/menit
0 Laju nafas 20 x /menit
Suhu 36.50C
Abdomen Bising usus (+), Luka post operasi
tertutup kasa, rembesan (-), Nyeri
tekan (+)
A Post Appendectomi ec Appendicitis
kronis Eksaserbasi Akut
P - Bed rest
- Inf. RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12j
- Inj. Ranitidin 1 amp/12j
- Metronidazole 500mg/8jam

Kamis, 17 Juni 2021


S Nyeri post Operasi VAS 4-5
Tekanan darah 110/80 mmHg
Laju nadi 82x/menit
0 Laju nafas 20 x /menit
Suhu 36.30C
Abdomen Bising usus (+), Luka post operasi
tertutup kasa, rembesan (-), Nyeri
tekan (+)
A Post Appendectomi ec Appendicitis
kronis Eksaserbasi Akut
P - Bed rest
- Inf. RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12j
- Inj. Ranitidin 1 amp/12j
- Metronidazole 500mg/8jam

[Type text] Page 7


Jumat, 18 Juni 2021
S Nyeri post Operasi VAS 4-5
Tekanan darah 120/70 mmHg
Laju nadi 82x/menit
0 Laju nafas 20 x /menit
Suhu 36.30C
Abdomen Bising usus (+), Luka post operasi
tertutup kasa, rembesan (-), Nyeri
tekan (+)
A Post Appendectomi ec Appendicitis
kronis Eksaserbasi Akut
P - Bed rest
- Inf. RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxon 1 gr/12j
- Inj. Ranitidin 1 amp/12j
- Metronidazole 500mg/8jam

[Type text] Page 8


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
A. Anatomi dan Fisiologi Apendiks
Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 8-10 cm
dan berpangkal pada sekum. Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proximal dan
melebar pada bagian distal. Saat lahir, apendiks pendek dan melebar dipersambungan
dengan sekum (Humes, 2006).
Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan
berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak
adalah retrocaecal (74%), pelvic (21%), patileal (5%), paracaecal (2%), subcaecal (1,5%)
dan preleal (1%). Apendiks mendapat vaskularisasi oleh arteri apendicular yang
merupakan cabang dari arteri ileocolica. Arteri apendiks termasuk end arteri. Apendiks
memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju ke nodus limfe
ileocaeca (Humes, 2006).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus (Hodge, 2021).

[Type text] Page 9


Fungsi dari apendiks sendiri masih mendapatkan perdebatan. Sel-sel neuroendokrin
dalam mukosa apendiks dianggap mampu memproduksi amina dan hormon yang membantu
berbagai mekanisme biologis, Jaringan limfoid pada apendiks diyakini terlibat dalam
pematangan limfosit B untuk memproduksi antibodi IgA. Keberadaan jaringan limfoid ini
dalam apendiks membuat teori bahwa apendiks berfungsi dalam kekebalan, namun hal itu
belum benar-benar spesifik untuk diidentifikasi. Sehingga, sejauh ini apendiks masih
dianggap sebagai organ vestigial. Namun, berdasarkan teori terbaru apendiks berfungsi untuk
kekebalan mulai ada, sebuah teori bahwa apendiks adalah tempat yang aman bagi flora
normal dalam usus. Ketika diare ekstrim terjadi bakteri komensal dapat diganti dengan
bakteri yang terkandung dalam usus buntu (Hodge, 2021).

2.2 Etiologi Apendisitis Akut


Apendisitis akut disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa
faktor pencetus. Ada beberapa faktor yang memper mudah terjadinya radang apendiks,
diantaranya :
1. Obstruksi yang dapat menyebabkan radang usus buntu (sering oleh fecalid, hiperplasia
limfoid, atau impaksi) dan beberapa kasus yang jarang disebabkan oleh tumor apendiks
dan tumor saekum)
2. Beberapa agen infeksi terjadinya radang usus buntu belum sepenuhnya diketahui. Teori
terbaru fokus pada faktor genetik, dan lingkungan Meskipun tidak ada gen yang telah
diidentifikasi, resiko untuk terjadinya apendisitis tiga kali lebih tinggi pada anggota
keluarga dengan riwayat positif usus buntu daripada merek yang tidak memiliki riwayat
keluarga.
3. Faktor lingkungan dapat berperan, karena studi melaporkan presentasi yang sejalan
dengan kondisi musiman selama musim panas, yang secara statistik dikaitkan dengan
meningkatnya jumlah ozon dalam tanah dikaitkan dengan polusi udara yang meningkat.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanansehari-hari. (Bhangu,2015).

2.3 Patofisiologi Apendisitis Akut


Apendisitis akut merupakan peradangan akut pada apendiks yang disebabkan oleh
infeksi bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor. Bakteri yang dianggap berkontribusi
menginfeksi appendiks adalah Eschercia coli (76% kasus) Enterococcus (30%) dan
pseudomonas (20%). Peradangan ini diyakini terjadi karena adanya obstruksi luminal yang

[Type text] Page 10


disebabkan oleh adanya fecalid, hyperplasia limfoid, benda asing, maupun parasit. Untuk
beberapa kasus disebabkan oleh adanya karsinoid, adenokarsinoma, dan tumor metastatic.
Berdasarkan teori ini, obstruksi menyebabkan peradangan sehingga terjadi peningkatan
tekanan intraluminal, dan akhirnya iskemia. Kemudian, apendiks membesar dan memicu
inflamasi pada jaringan sekitarnya, seperti pada lemak pericecal dan peritoneum. Jika tidak
diobati, usus buntu yang meradang akhirnya berlubang menyebabkan terjadinya perforasi.
Distensi apendiks yang cepat terjadi karena kapasitas luminal kecil, dan tekanan
intraluminal dapat mencapai 50 hingga 65 mm Hg . Tekanan yang meningkat tersebut akan
menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi
mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding
apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat
berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. Bila sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif
akut. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.Bila dinding yang telah rapuh
itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (petroianu, 2016).

[Type text] Page 11


Mekanisme terjadinya apendisitis dapat diliat pada bagan di bawah ini.

Mukus >>

Obstruksi
lumen
appendiks

Gangguan aliran mucus


dari Appendik - sekum

Bendungan
mukus
Peningkatan Gangguan edema,
tekanan aliran limfe diapedesis
intraluminal bakteri, dan
ulserasi mukosa

Obstruksi arteri (a. Obstruksi


terminalis appendikularis) vena
apendisitis akut

Edema >>
Nyeri daerah
infark dinding
epigastrium
apendiks
bakteri akan
menembus dinding
apendiks.

gangren
Peradangan Appendisitis
peritoneum Supuratif akut

[Type text] Page 12


apendisitis
ganggrenosa Nyeri perut
kanan
bawah

2.4 Penegakan Diagnosa Apendisitis


Penegakan diagnosis pada appendicitis didapatkan berdasarkan gejala, factor resiko,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. Gejala
Tanda awal nyeri di epigastrium atau regio umbilicus disertai mual dan anorexia.
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,0C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi.
2. Pemeriksaan Fisik
Memberikan tekanan pada area tertentu untuk menilai Nyeri berpindah ke kanan bawah
dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc Burney, nyeri tekan,
nyeri lepas dan adanya defans muskuler. Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung
nyeri kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada bagian sebelah kiri (Rovsing’s
Sign) nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg’s Sign)
batuk atau mengedan.
 Alvarado Score
Characteristic Scor
e
M = Migration of pain to the 1
RLQ
A = Anorexia 1
N = Nausea and vomiting 1
T = Tenderness in RLQ 2
R = Rebound pain 1
E = Elevated temperature 1
L = Leukocytosis 2
S = Shift of WBC to the left 1
Total 10
Dinyatakan appendisitis akut bila skor > 7 poin

[Type text] Page 13


3. Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan darah untuk menghitung jumlah
leukosit yang tinggi sebagai tanda awal terjadinya infeksi dan menunjukkan dehidrasi
atau adanya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Pemeriksaan urinalisis digunakan
untuk menyingkirkan kemungkinan lain seperti penyakit infeksi saluran kemih atau
batu ginjal. Pada pasien wanita, perlu juga dilakukan tes kehamilan untuk
menyingkirkan diagnosa lain seperti kehamilan.

4. Radiologis
a. Foto polos abdomen
Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi (misalnya
peritonitis) tampak:
o Scoliosis ke kanan
o Psoas shadow tak tampak
o Bayangan gas usus kanan bawah tak tampak
o Garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
o 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak
5. USG Abdomen
USG Abdomen perlu dilakukan untuk melihat adanya penyumbatan pada lumen
appendik, letak peradangan, apendiks yang mengalami perforasi atau kemungkinan lain
yang menimbulkan nyeri perut. (NIDDK, 2019).

2.5 Penatalaksanaan Apendisitis


Perawatan Kegawat daruratan
 Berikan terapi kristaloid untuk pasien dengan tanda-tanda klinis dehidrasi atau
septicemia.
 Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui
mulut.
 Berikan analgesik dan antiemetik parenteral untuk kenyamanan pasien.
 Pertimbangkan adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur, dan lakukan
pengukuran kadar hCG
 Berikan antibiotik intravena pada pasien dengan tanda-tanda septicemia dan
pasien yang akan dilanjutkan ke laparotomi.

[Type text] Page 14


Antibiotik Pre-Operatif
 Pemberian antibiotik pre-operatif telah menunjukkan keberhasilan dalam
menurunkan tingkat luka infeksi pasca bedah.
 Pemberian antibiotic spektrum luas untuk gram negatif dan anaerob
diindikasikan.
 Antibiotik preoperative harus diberikan dalam hubungannya pembedahan.

Tindakan Operasi
 Apendiktomi, pemotongan apendiks.
 Jika apendiks mengalami perforasi, maka abdomen dicuci dengan garam
fisiologis dan antibiotika.
 Bila terjadi abses apendiks maka terlebih dahulu diobati dengan antibiotika
IV, massanya mungkin mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase
dalam jangka waktu beberapa hari.
(Shrock,Theodore 2009).

2.6 Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada lapisan membran serosa rongga perut dan organ
visceral di dalamnya. Peritonitis terlokalisir atau generalisata diklasifikasikan menjadi
primer, sekunder dan tersier. peritonitis spontan jarang terjadi dan bersifat
monomikrobial. peritonitis sekunder disebabkan adanya penyebaran infeksi dari organ
intraabdominal atau sebagai akibat dari bocornya saluran gastrointestinal atau
genitourinari. Peritonitis tersier mengacu pada kekambuhan atau reaktivasi peritonitis
setelah pengobatan yang memadai.

2.7 Patofisiologi Peritonitis


Rongga peritoneum adalah rongga terbesar dalam tubuh, dengan luas permukaan
sekitar 1,0 hingga 1,7 m2 dari total luas permukaan tubuh. Peradangan peritoneum
parietal yang kaya akan saraf somatik menyebabkan nyeri hebat dan terlokalisir.
Peritoneum visceral disuplai oleh saraf otonom, sehingga iritasinya menyebabkan nyeri
difus. Setelah kontaminasi bakteri peristiwa yang terjadi antara lain:

[Type text] Page 15


1) Fase I melibatkan penghilangan cepat kontaminan dari rongga peritoneum ke dalam
sirkulasi sistemik. Itu terjadi karena cairan peritoneum yang terkontaminasi
menggerakkan cephalad sebagai respons tekanan yang dihasilkan oleh diafragma.
Cairan melewati stomata di peritoneum diafragma dan diserap ke dalam lakuna
limfatik. Getah bening mengalir kesaluran limfatik melalui kelenjar substernal.
Septikemia yang dihasilkan terutama melibatkan anaerob fakultatif Gram-negatif.
2) Fase II melibatkan interaksi sinergis antara aerob dan anaerob saat mereka bertemu
dengan komplemen inang dan fagosit. Aktivasi komplemen adalah awal terjadinya
peritonitis dan melibatkan kekebalan. Surfaktan fosfolipid yang dihasilkan oleh sel
mesotel peritoneum bekerja secara sinergis dengan komplemen meningkatkan
opsonisasi dan fagositosis. Sel mesotel peritoneum juga merupakan sekretor potensial
mediator proinflamasi, termasuk interleukin-6, dan -8, monosit chemoattractant
protein-1, makrofag inflamasi protein-1α dan tumor necrosis factor-. Oleh karena itu,
sel-sel mesothelial peritoneal memainkan peran sentral dalam membawa fagosit ke
rongga peritoneum sehingga menyebabkan peningkatan regulasi sel mast dan
fibroblas di submesothelium. dan berhubungan dengan morbiditas yang tinggi.
3) Fase III adalah upaya pertahanan inang untuk melokalisasi infeksi terutama melalui
produksi eksudat fibrin yang menjebak mikroba dalam matriksnya dan
mempromosikan mekanisme efektor fagositosis lokal. Hal ini juga berfungsi untuk
mempromosikan pengembangan abses. Regulasi pembentukan dan degradasi fibrin
sangat penting untuk proses ini. Aktivitas pengaktifan plasminogen yang dihasilkan
oleh sel mesotel peritoneum menentukan apakah Fibrin yang terbentuk setelah cedera
peritoneum dilisiskan atau diatur menjadi adhesi fibrosa. Secara khusus, faktor
nekrosis tumor-α merangsang produksi plasminogen activator-inhibitor-1 oleh sel
mesothelial peritoneal, yang menghambat degradasi fibrin. (Skipworth, 2007).

2.8 Gejala Peritonitis


Gejala peritonitis tiap orang berbeda-beda, pada umumnya pasien mengalami gejala:
a. Sakit perut parah yang semakin parah dengan gerakan apa pun
b. Mual dan muntah
c. Demam
d. Perut sakit atau bengkak
e. Cairan di perut
f. Tidak bisa buang air besar atau buang gas

[Type text] Page 16


g. Urine lebih sedikit dari biasanya
h. Haus
i. Kesulitan bernapas
j. Tekanan darah rendah dan syok (Hopkins,2021).

2.9 Diagnosis Peritonitis


1. Anamnesis
Anamnesa dilakukan secara hati-hati. Riwayat penyakit harus menjelaskan berapa
lama pasien sakit, adakah demam, adakah nyeri perut dan di mana lokasinya, bagaimana
gambaran nyeri tersebut (kram, tumpul, seperti terbakar, dsb), apakah lokasinya
berpindah, intensitasnya, dan apakah berhubungan dengan anoreksia, muntah, atau ileus.
Riwayat penyakit yang lalu, riwayat masuk rumah sakit, pengobatan, penyakit kronik,
dan operasi sebelumnya merupakan informasi yang penting. (Lange & Lederman, 2010)
Riwayat penyakit penting untuk diketahui seperti sirosis hepatis dan sindroma nefrotik
pada anak anak yang berpotensi menjadi peritonitis primer serta riwayat operasi
sebelumnya.

2. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
- Abdomen diinspeksi untuk mencari tanda-tanda distensi dan jejas. Perut akan
tampak distensi, seiring dengan perkembangan ileus atau asites.
-Pasien dengan peritonitis biasanya tampak berbaring tenang di tempat tidur,
telentang, dengan lutut tertekuk dan sering dengan pernapasan interkostal yang
terbatas karena gerakan apapun akan memperberat nyeri.
-Keadaan umum pasien tampak lemah.
-Suhu tubuh berkisar antara 38 ͦC - 40 ͦC, bahkan bisa mencapai 42°C.
-respirasi cepat dan dangkal.
2) Palpasi
-Denyut nadi takikardi.
- Tekanan darah turun hingga syok
-Palpasi abdomen adalah untuk mengkonfirmasi lokasi yang paling nyeri dan
tekanan dari berbagai bagian dari dinding abdomen anterior.

[Type text] Page 17


-Refleks spasme otot sehingga perut dapat kaku seperti papan, seperti yang biasa
tampak pada peritonitis yang disebabkan oleh perforasi
3) Perkusi
-Perkusi dada untuk menyingkirkan diagnose lain seperti pneumoni
-Pasien dengan asites menunjukkan adanya tanda shifting dullness
-Tidak adanya pekak hati pada perkusi menunjukkan adanya udara bebas dalam
rongga peritoneum

4) Auskultasi
-Auskultasi dilakukan untuk menentukan apakah bising usus hilang, normal, atau
meningkat.
-Bising usus yang meningkat menandakan obstruksi sebagai proses primer
penyakit atau sebagai bagian dari proses inflamasi lokal.

3. Laboratorium

Jumlah leukosit di atas 25.000/mm3 atau leukopenia dengan leukosit kurang dari
4.000/mm3 dihubungkan dengan angka mortalitas yang tinggi. Hitung jenis
menunjukkan inflamasi akut dengan menunjukkan limfopenia relatif dan sedikit
pergeseran ke kiri, meskipun jumlah leukosit normat atau subnormal. (Wittmann, 2010)
Tes laboratorium lain yang diperlukan diantaranya haematocrit, hitung sel darah,
elektrolit, albumin, urea dan kreatinin, amilase dan fungsi hati. Albuminuria berat
ditemukan pada pasien dengan sindroma nefrotik.

4. Foto polos abdomen dapat menunjukkan gambaran udara bebas (wittman,2010).

2.10 Tata Laksana Peritonitis


a) Konservatif
Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan diindikasikan untuk:
1.infeksi local (appendicitis)
2. pasien tidak cocok untuk anestesi umum (misalnya lansia)
3.pasien dengan penyakit penyerta yang parah
4. fasilitas medis tidak dapat mendukung operasi yang aman
pengelolaan.

[Type text] Page 18


Elemen penting dalam perawatan medis adalah hidrasi cairan dan antibiotik
spektrum luas untuk pasien dengan sepsis abdomen kompleks di ICU.

b) Segera
1.Oksigen aliran tinggi sangat penting untuk semua pasien syok.
2.Hipoksia dapat dipantau dengan oksimetri nadi atau pengukuran arteri gas
darah.
3.Resusitasi cairan awalnya dengan kristaloid (i.v.), volumenya tergantung pada
derajat syok dan dehidrasi.
4. Penggantian elektrolit (terutama kalium) mungkin diperlukan.
5.Pasien harus dikateterisasi untuk memantau jam keluaran urin.
6. Pemantauan tekanan vena sentral dan penggunaan inotropik mungkin tepat
pada sepsis berat atau pada pasien dengan komorbiditas.
7. Antibiotik harus berspektrum luas, mencakup aerob dan anaerob, dan diberikan
secara intravena.
8.Penggunaan antibiotik secara dini dan tepat merupakan kunci untuk menurunkan
angka kematian pada pasien syok septik berhubungan dengan peritonitis.
9.Selang nasogastrik dan aspirasi meredakan muntah dandistensi abdomen dan
mengurangi risiko aspirasi radang paru-paru.

c) Defenitif
-Laparotomi
Tujuannya adalah untuk:
• menentukan penyebab peritonitis
• mengontrol asal mula sepsis dengan membuang bagian yang meradang atau
organ iskemik (atau penutupan viskus yang berlubang)
• lakukan toilet/lavage peritoneum yang efektif.

[Type text] Page 19


BAB III
PEMBAHASAN

4.1 Analisa Kasus

Pasien usia 28 th datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak dua hari
Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Pada awalnya nyeri dirasakan di ulu hati, kemudian
berpindah diperut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus-menerus dan tidak menjalar, nyeri
dirasakan seperti melilit dan dirasakan semakin lama makin memberat. Satu bulan yang lalu
pasien juga mengeluhkan nyeri perut sebelah kanan bawah. Pasien mengeluh mual (+),
Demam (+)
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan terhadap pasien maka
didapatkan diagnosis Appendisitis. Selama perawatan dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa USG Abdomen terhadap pasien dengan kesan Appendisitis Kronis Eksaserbasi Akut.
Pasien dipersipkan untuk melakukan operasi Appendectomy terjadwal. Setelah mendapatkan
perawatan selama 4 hari di RS pasien sudah bisa dinyatakan untuk pulang.

[Type text] Page 20


BAB IV
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis. Appendix


merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada pada perut
kanan bawah dan organ ini mensekresi IgA namun sering menimbulkan masalah bagi
kesehatan. Peradangan aku Appendix atau Appendicitis akut menyebabkan komplikasi yang
berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan operasi.
Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan.
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis
acut mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan
pemeberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak,
terutama pada anak-anak prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan.

[Type text] Page 21


DAFTAR PUSTAKA

1. Bhangu, A. 2015. Journal: Acute Appendicitis: Modern Understanding of


pathogenesis, diagnosis and Management. UK:Academic Department of Surgery
2. Dakshitha, P. 2021. The Worldwide Epidemiology of Acute Appendicitis: An Analysis
of the Global Health Data Exchange Dataset. Original Scientic Report
3. Humes D,J.2006. Journal: acute Appendicitis. Royal College of Surgeons
4. Petroianu, A.2016.Phatophysiology of Acute Appendicitis. Brazil:Department of
Surgery University of Minas Grais
5. R. Schrock MD, Theodore. Ilmu Bedah. Edisi Ketujuh. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.1995
6. Schwartz. Principles of Surgery. Edisi Ketujuh.USA:The Mcgraw-Hill
companies.2005
7. Skipworth, 2007. Journal: Acute abdomen Peritonitis. UK: Edinburg
8. Wittmann, D. H., 2010. Intra-abdominal infections. Alvailable from URL :
http://antibioticsfor.com/pdf/Intra-Abdominal-Infection.pdf diakses pada tanggal : 11
Maret 2021
9. Zhafira, S. 2012. Histopathologic Distribution of Appendicitis . Bandung: Hasan
Sadikin General Hospital

[Type text] Page 22

Anda mungkin juga menyukai