Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“MIKOSIS”

DOSEN PENGAMPU :
Dr. NOOR YULIA, MM

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
1. SALSABILA AURELLYA BACHTIAR (20220306054)
2. NANDA (20220306007)

JURUSAN REKAM MEDIS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
JAKARTA BARAT
2022/2023
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................................................
B. Rumusan Masalah............................................................................................................................
C. Tujuan Masalah................................................................................................................................
D. Manfaat............................................................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III ANALISIS MASALAH
BAB IV PEMBAHASAN BERHUBUNGAN DENGAN KODER.......................................................
A. Pengertian Mikosis superfisialis.......................................................................................................
1. Definisi Dermatofitosis...............................................................................................................
2. Kandidiasis Superfisialis............................................................................................................
3. Pitiriasis Versikolor....................................................................................................................
B. Gejala Mikosis superfisial.................................................................................................................
BAB V PENUTUP...................................................................................................................................
A. Saran................................................................................................................................................
B. Kesimpulan......................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mikosis superfisialis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh kolonisasi
jamur atau ragi. Penyakit yang termasuk mikosis superfisialis adalah dermatofitosis, pitiriasis
versikolor, dan kandidiasis superfisialis. Dermatofitosis adalah penyakit yang disebabkan
oleh kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti
stratum korneum epidermis, rambut, dan kuku (Hidayati dkk, 2009).
Penyebab dermatofitosis adalah spesies dari Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton (Sweetman, 2009). Mikosis superfisialis cukup banyak diderita penduduk
negara tropis. Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan
kelembaban tinggi. Suhu dan kelembapan tinggi merupakan suasana yang baik bagi
pertumbuhan jamur, sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat (Hidayati dkk,
2009). Genus Trichophyton, khususnya Trichophyton rubrum, merupakan penyebab
dermatofitosis terbanyak di seluruh dunia (Anonim, 2006). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Venkatesan dkk (2007) di India, diketahui bahwa sebanyak 93%
dermatofitosis disebabkan oleh genus Trichophyton, antara lain Trichophyton rubrum
(73,3%), Trichophyton mentagrophytes (19,7%), diikuti oleh Epidermophyton floccosum
(4,2%)dan Microsporum gypseum (2,8%).
Menurut penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Hidayati dkk (2009) tentang
mikosis superfisialis di Divisi Mikologi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD
Dr. Soetomo Surabaya tahun 2003-2005, ditemukan bahwa mikosis superfisialis yang banyak
terjadi adalah pitiriasis versikolor, dermatofitosis, dan kandidiasis superfisialis, dengan
penyebab terbanyak antara lain Trichophyton mentagrophytes (15,7%), Trichophyton rubrum
(13,7%), dan Candida albicans (7,8%).

B. Rumusan Masalah

A. Apa Pengertian Mikosis superfisialis ?


1. Apa definisi Dermatofitosis ?
2. Apa definisi Kandidiasis Superfisialis ?
3. Apa definisi Pitiriasis Versikolor ?
B. Apa Gejala Mikosis Superfisialis ?

C. Tujuan Masalah

A. Menjelaskan Pengertian Mikosis superfisialis


1. Menjelaskan definisi Dermatofitosis
2. Menjelaskan Apa definisi Kandidiasis Superfisialis
3. Menjelaskan definisi Pitiriasis Versikolor
B. Menjelaskan Gejala Mikosis Superfisialis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Miokosis

Penyakit mikosis dibagi menjadi yaitu,


A. Miokosis Profunda
Mikosis profunda terdiri atas beberapa penyakit yang disebabkan jamur, dengan gejala klinis
tertentu yang menyerang alat di bawah kulit, misalnya traktus urogenitalis, susunan
kardiovaskular, susunan saraf sentral, otot, tulang, dan kadang-kadang kulit. Kelainan kulit
pada mikosis profunda dapat berupa efek primer, maupun akibat proses dari jaringan di
bawahnya (per kontinuitatum). Dikenal beberapa penyakit jamur profunda yang klinis dan
manifestasinya berbeda satu dengan yang lain CONAN dkk. (2011) misalnya mencantunkan
dalam bukunya Manual of Clinical Mycilogy pelbagai penyakit, yaitu : 1) Aktinomikosis, 2)
Nokardiosis, 3) Antinomikosis misetoma, 4) Blastomikosis, 5) parakoksididomikosis, 6)
Lobomikosis, 7) Koksidiodomikosis, 8) Histoplasmosis, 9) Histoplasmosis Afrika, 10)
Kriptokokosis, 11) Kandidosis, 12) Geotrikosis, 13) Aspergillosis, 14) Fikomikosis, 15)
Sporotrikosis, 16) Maduromikosis, 17) Rinosporidiosis, 18) Kromoblastomikosis, 19) Infeksi
yang disebabkan jamur Dematiaceae (berpigmen coklat) Diantara 19 macam penyakit jamur
profunda yang disebutkan di atas aktinomikosis menurut RIPPON (2011) sudah bukan
penyakit jamur asli. Ia cenderung memasukkan Actinomyces dan Nocardia atau bacteria-like
fungi ini 6 dalam golongan bakteri, walaupun masih mempunyai sifat-sifat jamur, yaitu
branchingdi dalam jaringan, membentuk anyaman luas benang jamur pada jaringan maupun
pada media biakan, dan menyebabkan penyakit kronik. Namun Actinomyces dan Nocardia
mempunyai sifat khas bakteri, yaitu adanya asam muramik pada dinding sel, tidak
mempunyai inti sel yang karakteristik, tidak mempunyai mitokondria, besar mikroorganisme
khas untuk bakteri, dan dapat dihambat oleh obat-obat anti bakterial (Rippon, 2011). Mikosis
profunda biasanya terlihat dalam klinik sebagai penyakit kronik dan residif. Manifestasi
klinis morfologik dapat berupa tumor, infiltrasi peradangan vegetatif, fistel, ulkus, atau sinus,
tersendiri maupun bersamaan.

Gambar II.1 Miokosi Profunda


B. Miokosis Superfisial
Mikosis superfisial ialah penyakit jamur yang mengenai lapisan permukaan kulit, yaitu
stratum korneum, rambut dan kuku. Mikosis superfisial dibagai dalam dua kelompok : 1)
yang disebabkan oleh jamur bukan golongan dermatofita, yaitu tinea versikolor, otomikosis,
piedra hitam, piedra putih, onikomikosis dan tinea nigra palmaris, dan 2) yang disebabkan
oleh jamur golongan dermatofita dan disebut dermatofitosis (Rippon, 2011). Kelainan yang
ditimbulkan berupa bercak yang warnanya berbeda dengan warna kulit, berbatas tegas dan
disertai rasa gatal atau tidak memberi gejala. Pada penyakit yang menahun, terutama bila
terdapat infeksi sekunder oleh kuman, batas dan warna mungkin tidak jelas lagi (Margono,
2013).

Gambar II.2 Miokosis Superfisial


BAB III

ANALISIS MASALAH
1. Interdigitalis

Interdigitalis adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari IV dan V terlihat
fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan
juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini lembab, maka sering terdapat maserasi. Aspek
klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan
terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur. Jika perspirasi berlebihan
(memakai sepatu karet/boot, mobil yang terlalu panas) maka inflamasi akut akan terjadi sehingga
pasien terasa sangat gatal. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan
sedikit keluhan sama sekali. Kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi
selulitis, limfangitis dan limfadenitis, dan dapat pula terjadi erysipelas, yang disertai gejala-gejala
umum (CONANT dkk, 2011).

Gambar III.1 Tinea pedis tipe interdigiti

2. Moccasin foot (plantar)


Bentuk lain yang disebut Moccasin foot.Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki
terlihat kulit menebal dan bersisik, eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian
tepilesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel (CO-NANT dkk, 2012).

Gambar III.2 Tinea pedis pada telapak kaki


3. Lesi Vesikobulosa
Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadangkadang bula yang terisi
cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau
telapak kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental.Setelah pecah,vesikel tersebut
meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret. Keadaan tersebut menimbulkan
gatal yang sangat hebat. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk selulitis, limfangitis dan
kadang-kadang menyerupai erisipelas. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk
menemukannya, sebaiknya di ambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa secara sediaan langsung
atau untuk dibiak. (CONANT dkk,2011).

Gambar III.3 Tenia pedisvesikel yang meluas ke punggung kaki


BAB IV
PEMBAHASAN BERHUBUNGAN DENGAN KODER

A. Pengertian Mikosis superfisialis


Mikosis superfisialis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh
kolonisasi jamur atau ragi. Indonesia merupakan negara tropis yang masih banyak didapatkan
kasus tersebut. Penyakit yang termasuk mikosis superfisialis adalah dermatofitosis, pitiriasis
versikolor, dan kandidiasis superfisialis.
1) Definisi Dermatofitosis
Dermatofitosis adalah penyakit jamur pada jaringan yang mengandung zat tanduk,
seperti kuku, rambut dan stratum korneum pada epidermis yang disebabkan oleh golongan
jamur dermatofita (Harahap,2000). Jamur golongan dermatofitosis terdiri dari 3 genus yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Microsporum menyerang rambut dan
kulit. Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. Epidermophyton menyerang kulit dan
jarang pada kuku (Madani,2000 ; Siregar, 2004). Golongan dermatofita bersifat mencerna
keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti. Gambaran klinis dermatofita
menyebabkan beberapa bentuk klinis yang khas, satu jenis dermatofita menghasilkan klinis
yang berbeda tergantung lokasi anatominya (Budumulja, 2007 ; Siregar, 2004).
a. Etiologi
Dermatofitosis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang teridiri dari tiga
genus, yaitu genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermofiton. Dari 41 spesies
dermatofita yang sudah dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada
manusia dan binatang, yang terdiri dari 15 spesies Trichophyton, 7 spesies Microsporum dan
satus pesies Epidermofiton. Selain sifat keratinofilik, setiap spesies dermatofita mempunyai
afinitas terhadap hospes tertentu. Dermatofita yang zoofilik terutama menyerang binatang,
dan kadang-kadang menyerang manusia, misalnya Microsporum canis dan Trichophyton
verrucosum. Dermatofita yang geofilik adalah jamur yang hidup ditanah dan dapat
menimbulkan radang yang moderat pada manusia, misalnya Microsporum gypseum.
b. Patogenesis
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu :
- Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah
sakit/klinik, dengan atau tanpareaksi keradangan (silent “carrier”).
- Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksidan melekat di
pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah/tempat tidur hewan, tempat
makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing,
sapi, kuda dan mencit.
- Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia
dan menimbulkan reaksi radang.
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan
tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan
mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu,dan mampu bertahan
dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu
untuk dapat berkembang biakdan menimbulkan reaksi jaringan atau radang. Terjadinya
infeksi dermatofit melalui tiga langkahutama, yaitu: perlekatan pada keratinosit,
penetrasimelewati dan di antara sel, serta pembentukan responpejamu.
c. Epidemiologi
Umur, Jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting, dimana
prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki 5 kali lebih banyak dari wanita. Namun demikian
tineakapitis lebih sering pada wanita dewasa, dan anak-anakusia 3-14 tahun. Hal ini terjadi
karena adanya pengaruh kebersihan perorangan, lingkunganyang kumuh dan padat serta
status sosial ekonomi dalam penyebaran insfeksinya. Jamur penyebab tineakapitis ditemukan
pada sisir, topi, sarung bantal, mainan anak-anak atau bahkan kursi di gedung teater.
Perpindahan manusiadapat dengan cepat mempengaruhi penyebaran endemikdan jamur.
Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya oklusif, adanya trauma, dan pemanasan dapat
meningkat temperature dan kelemahan kulit meningkat kejadian infeksi tinea. Alas kaki yang
tertutup, berjalan adanya tekanan temperatur, kebiasaan penggunaan pelembab, dan kaos kaki
yang berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis dan onikomikosis.
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sediaan langsung kerokan kulit atau kuku menggunakan mikroskop dan
KOH 20%: tampak hifa panjang dan atau artrospora. Kultur terbaik dengan agar Sabouraud
plus (Mycosel, Mycobioti): pada suhu 28oC selama 1–4 pekan (bila dihubungkan dengan
pengobatan,culturetidak harus selalu dikerjakan kecuali pada tinea unguium). Lampu Wood
hanya berfluoresensi pada tinea kapitis yang disebabkan oleh Microsposrum spp. (kecuali
M.gypsium).
e. Diagnosis
Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis, dapat
diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan lampu wood
pada spesies tertentu. Pada pemeriksaan dengan KOH 10-20%, Tampak dermatofit yang
memiliki septa dan percabangan hifa. Pemeriksaankulturdilakukan untuk menentukan spesies
jamur penyebab dermatofitosis.
f. Penatalaksanaan
- Topikal:
a. Obat pilihan: Golongan alilamin (krim terbinafin, butenafin) sekali sehari
selama 1 –2 pekan .
b. Alternatif :
i. Golongan azol: krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol.
ii. Siklopiroksolamin.
iii. Asam undesilinat.
iv. Tolnaftat 2kali sehari selama 2 –4 pekan.
- Sistemik:
a. Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi. Griseofulvin oral 10 –25
mg/kgBB/hari.
b. Ketokonazol 200 mg/hari, atau itrakonazol 2 x 100 mg/hari.Terbinafin oral 1 x
250 mg/hari hingga klinis membaik dan hasil pemeriksaan laboratorium
negatif.
2. Kandidiasis Superfisialis
Kandidiasis Superfisialis adalah penyakit infeksi primer atau sekunder yang
disebabkan oleh jamur genus kandida terutama Candida albicans. Selain C. albicans, genus
kandidameliputi lebih dari 200 spesies, misalnya C. tropicalis, C. dubliniensis, C.
parapsilosis, C. guilliermondii, C. krusei, C. pseudotropicalis, C. lusitaniae, C. zeylanoides
dan C. glabrata (dahulu dikenal dengan Torulopsis glabrata), adakalanya dapat menyebabkan
kandidiasis pada manusia, terutama pada infeksi diseminata (Hay, Asbee, 2010; Kundu,
Garg, 2012). Organisme tersebut dapat menginfeksi kulit, kuku, membran mukosa, saluran
pencernaan, dan juga dapat menimbulkan penyakit sistemik (Kundu, Garg, 2012). Candida
albicans adalah suatu jamur yang berbentuk sel ragi lonjong, bertunas, berukuran 2-3×4-6 μm
yang menghasilkan pseudomiselium baik dalam biakan maupun dalam jaringan dan eksudat.
Ragi ini sebenarnya adalah anggota flora normal kulit, membran mukosa saluran pernafasan,
pencernaan, dan genitalia wanita. Di tempat-tempat ini, ragi dapat menjadi dominan dan
menyebabkan keadaan-keadaan patologik (Jawetz, Melnick and Adelberg’s, 2013). C.
albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan terus memanjang
membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak kelompok blastospora berbentuk
bulat atau lonjong di sekitar septum. Dinding sel C. albicansberfungsi sebagai pelindung dan
juga sebagai target dari beberapa antimikotik. Dinding sel berperan pula dalam proses
penempelan dan kolonisasi serta bersifat antigenik. Membran sel C. albicans seperti sel
eukariotik lainnya terdiri dari lapisan fosfolipid ganda. Membran protein ini memiliki
aktifitas enzim seperti manan sintase, khitin sintase, glukan sintase, ATPase dan protein yang
mentransport fosfat (Hasanah, 2012).
a. Etiologi
Genus kandida merupakan kelompok yang heterogen, terdapat hampir 200 spesies
di dalamnya. Banyak spesiesnya bersifat patogen terhadap manusia dan 9 oportunistik,
namun sebagian besar tidak menginfeksi manusia. Semua spesies dalam genus
kandidamemiliki kemampuan untuk memproduksi pseudomiselia kecuali C. Glabrata
(Kundu, Garg, 2012; Hay, Asbee, 2010). Candida albicans berbentuk oval, dengan ukuran 2-
6 x 3-9 μm, dapat memproduksi budding cells, pseudohifa dan hifa. Kemampuannya untuk
berubah menjadi beberapa bentuk morfologi secara stimultan dikenal sebagai polimorfisme.
Selain itu, C. albicans jugabersifat dimorfiks, yaitu kemampuan untuk tumbuh baik dalam
bentuk ragi maupun hifa dan sebanyak 70-80% merupakan penyebab dari terjadinya semua
infeksi kandida (Kundu, Garg, 2012; Treagan, 2011). Sumber utama infeksi kandida adalah
flora normal dalam tubuh pada pasien itu sendiri yang menginfeksi secara oportunistik
apabila terjadi gangguan sistem imun inang yang menurun. Kandida dapat juga berasal dari
luar tubuh secara eksogen, contohnya pada bayi baru lahir mendapat infeksi kandida dari
vagina ibunya atau dari lingkungan rumah sakit.
b. Manifestasi klinis kandidiasis
Manifestasi klinis kandidiasis merupakan hasil interaksi antara kandida,
mekanisme pertahanan inang dan faktor pejamu baik endogen maupun eksogen (Hay,Asbee,
2010; Astari,Cholis, 2013). Kandida adalah jamur dimorfik dimana virulensi jamur ini terjadi
apabila ada perubahan dari sel ragi menjadi pseudohifa dan hifa yang banyak ditemukan saat
stadium invasi pada sel-sel epitel. Virulensi C. albicans ditentukan oleh kemampuan tumbuh
pada suhu tertentu, kemampuan untuk mengadakan perlengketan, kemampuan untuk tumbuh
dalam bentuk filamen dan aktivitas enzim yang dihasilkan. Faktor lain yang dilaporkan
adalah tingkat keasaman pada kulit. Dikatakan bahwa kondisi kulit yang tertutup akan
meningkatkan pH sehingga jamur kandida akan mudah tumbuh (Naglik, et al, 2003; Astari,
Cholis, 2013).
Manifestasi kandidiasis dapat berupa akut, subakut maupun kronis. Kandidiasis kutan
akut bisa tampak seperti intertrigo berupa eritema yang berat, edema, eksudat kental, dan
pustul satelit di area lipatan kulit. Infeksi di daerah lain bisa lebih kronis, seperti di area
interdigiti pada kaki yang tampak lapisan stratum korneum yang tebal (Kundu, Garg, 2012).
Manifestasi infeksi jamur yang ditimbulkan oleh kandida atau kandidiasis memiliki
variasi yang luas mulai dari yang bersifat superfisial menyerang kulit, kuku dan mukosa
sampai pada infeksi sistemik. Secara umum, klasifikasi kandidiasis terdiri dari kandidiasis
kutan, onikomikosis kandida, kandidiasis mukokutan dan kandidiasis sistemik (Ramali, 2013)
c. Patogenesis
Sumber utama infeksi kandida adalah flora normal dalam tubuh pada pasien itu
sendiri yang menginfeksi secara oportunistik apabila terjadi gangguan sistem imun inang
yang menurun. Kandida dapat juga berasal dari luar tubuh secara eksogen, contohnya pada
bayi baru lahir mendapat infeksi kandida dari vagina ibunya atau dari lingkungan rumah
sakit. Manifestasi klinis kandidiasis merupakan hasil interaksi antara kandida, mekanisme
pertahanan inang dan faktor pejamu baik endogen maupun eksogen (Hay,Asbee, 2010;
Astari,Cholis, 2013).
Kandida adalah jamur dimorfik dimana virulensi jamur ini terjadi apabila ada perubahan
dari sel ragi menjadi pseudohifa dan hifa yang banyak ditemukan saat stadium invasi pada
sel-sel epitel. Virulensi C. albicans ditentukan oleh kemampuan tumbuh pada suhu tertentu,
kemampuan untuk mengadakan perlengketan, kemampuan untuk tumbuh dalam bentuk
filamen dan aktivitas enzim yang dihasilkan. Faktor lain yang dilaporkan adalah tingkat
keasaman pada kulit. Dikatakan bahwa kondisi kulit yang tertutup akan meningkatkan pH
sehingga jamur kandida akan mudah tumbuh (Naglik, et al, 2003; Astari, Cholis, 2013).
d. Klasifikasi
Genus Candida terdiri dari lebih dari 200 spesies dan merupakan spesies ragi yang
sangat beragam yang ikatannya sama dengan tidak adanya siklus seksual. Spesies Candida
yang memiliki pengaruh yang signifikan secara medis meliputi: C. albicans, C. glabrata, C.
parapsilosis, C. tropicalis, C. krusei, C. kefyr, C. guilliermondii, C. lusitaniae, C. stellatoidea,
dan C. dubliniensis. C. albicansmerupakan jamur patogen utama manusia dan penyebab
paling umum infeksi jamur mukosa dan sistemik, dan merupakan ciri khas spesies Candida
(Dismukes, Pappas and Sobel, 2003). Klasifikasi C. albicans yaitu sebagai berikut (Maharani,
2012) : Kingdom : Fungi Phylum : Ascomycota Subphylum : Saccharomycotina Class :
Saccharomycetes Ordo : Saccharomycetales Family : Saccharomycetaceae Genus : Candida
Spesies : Candida albicans Sinonim : Candida stellatoidea dan Oidium albicans
e. Diagnosis kandidiasis
Diagnosis kandidiasis dapat dilakukan dengan menggunakan metode kultur. Semua
spesimen dikultur pada media jamur atau bakteriologis pada suhu kamar atau pada suhu
37°C. Koloni sel ragi diperiksa dengan melihat kehadiran pseudohifa. C. albicans
diidentifikasi dengan produksi germ tube atau klamidospora. Isolat Candida lainnya diberi
spesiasi dengan reaksi biokimiawi. Interpretasi positif bervariasi dengan spesimen. Nilai
diagnostik kultur urin bergantung pada integritas spesimen dan kualitas sel ragi. Kultur
sputum tidak memiliki nilai karena spesies Candida merupakan bagian dari mikrobiota oral.
f. Pengobatan
Antifungi turunan azol merupakan salah satu kelompok antifungi utama yang
digunakan dalam praktek klinis untuk mengobati infeksi jamur pada manusia. Azol umumnya
digunakan untuk infeksi jamur pada kulit, vagina dan mikosis yang lebih serius pada pasien
immunokompromais. Turunan azol pertama yang tersedia untuk pengobatan oral infeksi
jamur sistemik adalah ketokonazol yang dirilis pada awal tahun 1980an (Mayers, 2009a).
Antifungi imidazol (misalnya ketokonazol) dan triazol (flukonazol, vorikonazol, dan
itrakonazol) adalah obat oral yang digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi baik
sistemik ataupun lokal. Indikasi untuk penggunaannya masih dievaluasi, namun mereka telah
menggantikan amfoterisin B dalam banyak mikosis yang kurang parah karena dapat
diberikan secara oral dan kurang beracun (Mayers, 2009b). Azol mengandung dua atau tiga
nitrogen dalam peringkat azol, oleh karena itu digolongkan sebagai imidazol (ketokonazol,
mikonazol, klotrimazol, ekonazol dan butokonazol) atau triazol (itrakonazol, flukonazol,
terconazol). Agen azol yang lebih baru meliputi vorikonazol, posasonazol, ravukonazol dan
albakonazol. Perbedaan antara berbagai azol berhubungan terutama dengan farmakokinetik
mereka dan juga tingkat afinitasnya untuk enzim target. Ada juga beberapa
20 perbedaan dalam spektrum anti jamur. Triazol terbaru seperti vorikonazol dan
posasonazol memiliki aktivitas melawan banyak ragi dan jamur (Mayers, 2009b). Mekanisme
aksi dari azol yaitu mengganggu sintesis ergosterol dengan cara memblokir sitokrom P450-
dependent 14α-demethylation dari lanosterol, yang merupakan pendahulu ergosterol dalam
jamur dan kolesterol dalam sel mamalia. Sitokrom P450s jamur kira-kira 100-1000 kali lebih
sensitif terhadap azol daripada sistem mamalia. Berbagai azol dirancang untuk meningkatkan
efikasi, ketersediaan, dan farmakokinetik mereka dan mengurangi efek sampingnya (Jawetz,
Melnick and Adelberg’s, 2013).
3. Pitiriasis Versikolor
Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisialkronik ringan yang disebabkan
oleh jamur Malassezia dengan ciri klinis discrete atau Confluent. Memiliki ciri-ciri bersisik,
tidak berwarna atau tidak berpigmen, dan tanpa peradangan. Pitiriasis versikolor paling
dominan mengenai badan bagian atas, tetapi sering juga ditemukan di ketiak, sela paha,
tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala.
b. Epidemologi
Pitiriasis versicolor merupakan infeksi jamur superfisial yang paling sering
ditemukan. Prevalensi pitiriasis versikolor di Amerika Serikat diperkirakan 2-8% dari semua
penduduk. Prevalensi pitiriasis versikolor lebih tinggi di daerah tropis yang bersuhu panas
dan kelembapan relatif. Di dunia prevalensi angka pitiriasis versikolor mencapai 50% di
daerah yang panas dan lembab dan 1,1% di daerah yang dingin Penyakit ini sering ditemukan
pada usia 13-24 tahun5. Di Indonesia penyakit ini sering disebut panudan angka kejadian di
Indonesia belum diketahui tetapi di Asia dan Australia pernah dilakukan secara umum
percobaan 8pada tahun 2008 didapatkan angkayang cukup tinggi karena didukungnya iklim
didaerah Asia.
c. Etiologi
Floranormal pada kulit ada beberapa termasuk jamur lopopilik. Bisa berupa jamur
polimorpik singlespesies seperti Pityrosporum ovaleatau Pityrosporum oblicular, namun
sekarang diakui bahwa nama genus tersebut tidak valid, dan jamur ini sudah di klasifikasikan
ulang dalam genus malassezia sebagai spesies tunggal, Malassezia furfur. Namun, analisa
genetik mendemonstrasikan bahwa sekarang jauh lebih komplek. Saat ini setidaknya sudah
12 spesies terpisah dari jamur lofilik yang dapat dijelaskan, dan hanya 8 yang dapat
menginfeksi kulit manusia. Spesies yang tergantug pada lemak adalah M. sympodialis, M.
globosa, M. restricta, M. slooffiae, M. fufur,M. obtusa, danyangterbaru ditemukan M.
dermatis, M. japonica, M. yamotoensis, M. nana, M. carpae, dan M. equina. Ada satu
lipofilik yang tidak sepenuhnya bergantung pada lemak yaitu M. pachydermatis ini sering
ditemukan pada kulit hewan. Yang sebelumnya kita kenal sebagai M. fufur sebenarnya terdiri
dari beberapa spesies. Pitiriasis versikolor dalam beberapa kasus terjadi karena tidak
seimbangnya atara hostdan florajamur tersebut. Ada beberapa faktor yang berkontribusi
menganggu keseimbangan tersebut. Diketahui beberapa spesies Malassezia berubah menjadi
mycelial dan memeliki tingkat yang lebih besar. Beberapa keluarga dengan Riwayat positif
terkena pitiriasis versikolor lebih sering terkena penyakit tersebut, hal ini belum diketahui
karena genetik atau disebabkan faktor resiko paparan yang semakin besar dari M. furfur.
Faktor predesposisi yang mempengaruhi perkembangan pitiriasis versikolor bervariasi, yang
perlu diperhatikan adalah faktor lingkungan dan faktor host tersebut. Pada lingkungan
beriklim hangat ditemukan hifa yang berhubugan dengan jamur Malassezia pada kulit
normal. Jenis kelamin adalah faktor yang tidak berpengaruh tetapi terdapat perbedaan pada
usia yang berbeda. Di zona dengan temperatur hangat sangat jarang pada anak-anak, tetapi
paling sering pada remaja dan dewasa muda Pitiriasis versikolor diklaim sebagai penyakit
yang serius, sangat rentan terjadi pada orang yang malnutrisi. Kehamilan dan kontrasepsi oral
juga salah satu faktor dari timbulnya Pitiriasis versikolor.
d. Gambaran Klinis
Kelainan pitiriasis versikolor sering ditemukan di bagian atas dada dan meluas ke
lengan atas, leher, punggung, dan tungkai atas atau bawah. Keluhan yang dirasakan penderita
umumnya gatal ringan saat berkeringat. Makula hipopigmentasi atau hiperpigmentasi,
berbentuk teratur sampai tidak teratur, berbatas tegas maupun difus.
Beberapa bentuk yang tersering yaitu:
a. Berupa bercak-bercak yang melebar dengan skuama halus diatasnya dengan tepi
tidak meninggi, ini merupakan jenis makuler.
b. Berupa bercak seperti tetesan air yang sering timbul disekitar folikel rambut, ini
merupakan jenis folikuler.
Pitiriasis versikolor pada umumya tidak memberikan keluhan pada penderita atau
sering disebut asimtomatis. Penderita lebih sering merasakan gatal-gatal ringan tetapi
biasanya penderita berobat karena alasan kosmetik yang disebabkan oleh bercak
hipopigmentasi. Hipopigmentasi pada lesi tersebut terjadi karena asam dekarboksilat yang
diproduksi oleh Malassezia yang bersifat sebagai inhibitor kompetitif terhadap enzim
tyrosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanosit, sedangkan pada lesi
hiperpigmentasi belum bisa dijelaskan.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan mikroskopis, dan
pemeriksaan menggunakan lampu wood. Gambaran khas berupa bercak hipopigmenasi
sampai hiperpigmentasi dengan penyebaran yang luas beserta batas tegas.

- Pemeriksaandengan lampu wood


Pemeriksaan ini dilakukan dikamar atau ruangan yang gelap sehigga metode ini
klinisi harus mempersiapkan ruangan yang sesuaibeserta lampu wood yang akan digunakan
untuk mendiagnosis pasien.Hasil dari pemeriksaan ini kulit yang terkena pitiriasis versikolor
akan berfluoresensi menjadi kuning keemasan.1,3,10Fluoresensi ini dapat menunjukkan batas
lesi yang terlihat jelas, sehingga kita bisa mengetahui luas lesi, selain itu dapat juga dipakai
untuk evaluasi pegobatan yang sebelumnya.
- Pemeriksaan sediaan langsung degan mikroskop cahaya
Preparat sediaan dibuat dari kerokan skuama pada lesi yang diletakkan pada
objek glass yang ditetesi dengan larutan KOH 20% sebanyak 1-2 tetes, kemudian ditutup
dengan gelas penutup dan didiamkan selama 15-20 menit agar epitel kulit melarut. Setelah
sediaan siap, kemudian dilaksanakan pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya dengan
pembesaran 10x10, dilanjutkan pembesaran 10x40. Pemeriksaan menggunakan KOH 10-20%
ditemukan hifa pendek tebal 2-5μ dan bersepta, dikelilingi spora berukuran 1-2μ gambaran
ini khas sphageti and meatballatau banana and grapes.

f. Penatalaksanaan Pengobatan
Penatalaksanaan Pengobatan infeksi jamur pitiriasis versikolor ada dua jenis, bisa
dilakukan secara topikal dan sistemis. Lesi yang minimal biasanya menggunakan tipe
pengobatan jenis topikal.
Pengobatan jenis topikal yaitu:
1. Ketokonazol shampoo
2. Selenium sulfat3.Larutan natrium tiosulfit
4. Imdzole krim
5. Bedak kocok sulfur presipitatum

Pengobatan jenis sistemik yaitu:


1. Ketokonazole
Dosis: 200Mg setiap hari selama sepuluh haridan sebagai dosis tunggal400Mg
2. Intracoazole
Dosis: 200Mg setiap hari selama tujuh hari
3. Fluconazole
Dosis: 200Mg setiap hari selam tujuh hari

B. Gejala Mikosis superfisial

Berikut ini menunjukkan Mikosis superfisial:

 kemerahan gelap sampai kecokelatan pada bercak warna yang ditemukan di bagian
belakang
 kemerahan gelap sampai kecokelatan pada tambalan warna yang ditemukan di ketiak
 kemerahan gelap sampai kecokelatan pada bercak warna yang ditemukan di lengan
atas
 kemerahan gelap sampai kecokelatan pada bercak warna yang ditemukan di dada
 kemerahan gelap sampai kecokelatan pada bercak warna yang ditemukan di leher
 peningkatan berkeringat
 kulit gatal

Memungkinkan halnya bahwa Mikosis superfisial tidak menunjukkan gejala fisik dan masih
ada pada pasien.
BAB V

KESIMPULAN DAN PENUTUP

A. Kesimpulan

Mikosis superfisialis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh kolonisasi
jamur atau ragi. Yang termasuk mikosis superfisialis adalah dermatofitosis, pitiriasis
versikolor, dan kandidiasis superfisialis. Dermatofitosis penyakit jamur pada jaringan yang
mengandung zat tanduk, seperti kuku, rambut dan stratum korneum pada epidermis yang
disebabkan oleh golongan jamur dermatofita, Kandidiasis Superfisialis yang dikenal dengan
penyakit infeksi primer atau sekunder yang disebabkan oleh jamur genus kandida terutama
Candida albicans, sedangakan Pitiriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisialkronik
ringan yang disebabkan oleh jamur Malassezia dengan ciri klinis discrete atau Confluent.
Memiliki ciri-ciri bersisik, tidak berwarna atau tidak berpigmen, dan tanpa peradangan.
B. Saran
Perlu dalam meningkatkan cara pola hidup yang baik, dengan menjaga sistem imun agar
dapat terhindar dari jamur superfisialis yang sangat beresiko besar untuk kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Citrashanty, Irmadita, and Sunarso Suyoso. "Mikosis Superfisialis di Divisi Mikologi Unit
Rawat Jalan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya Periode Tahun
2008–2010."
Harahap, M.2000.Ilmu Penyakit Kulit, Jakarta: Hipokrates
Mahardhika, G. P., & Muhimmah, I. (2013). Perancangan Sistem Pakar Medis Untuk Kasus
Dermatomikosis Superfisialis. In Seminar Nasional Informatika Medis (SNIMed).

MONIKA, T. (2019). GAMBARAN PENDERITA TINEA UNGUIUM PADA KUKU NELAYAN DI


SUNGAI BAWANG LATAK KECAMATAN MENGGALA KABUPATEN TULANG
BAWANG (Doctoral dissertation, Poltekkes tanjungkarang).

https://repository.um-surabaya.ac.id/1134/3/BAB_2.pdf
https://seer-cancer-gov.translate.goog/seertools/hemelymph/51f6cf57e3e27c3994bd5345/?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc

Anda mungkin juga menyukai