Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

“Studi Kasus: The Ok Tedi Copper Mine

Mata Kuliah : Etika Bisnis


Dosen Pengampu : Ibu Sholatia Dalimunthe, SE., M.B.A.

Disusun Oleh :

Abi Muhammad Fauzan (1702520019)

Dang Tuanku Lareh (1702520068)

Farhan Nurathallah (1702520024)

Maulia Ashari (1702520051)

Maurizka Nabila (1702520016)

Nur Eko Fikriyadi (1702520030)

PROGRAM STUDI DIII MANAJEMEN PEMASARAN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

BHP (berubah nama menjadi BHP Billiton sejak 2001 setelah bergabung dengan
BillIton PLC) didirikan di Australia pada tahun 1885 sebagai perusahaan yang bergerak
dalam penemuan, pengembangan, produksi sumber daya, pemasaran biji besi, baja,
batu bara,tembaga, gas dan minyak, berlian, perak, emas, timah, seng, dan beberapa
sumber daya alam lainnya. Papua Nugini adalah negara yang berbatasan dengan
Indonesia di barat dan Australia di selatan. Pada tahun 1975, Papua Nugini
mendeklarasikan kemerdekaan dari Australia. Papua Nugini merupakan negara yang
kaya akan sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral. Namun, terlepas dari
pertumbuhannya yang pesat, Papua Nugini tercatat sebagai salah satu negara termiskin.

Ok Tedi Copper Mine adalah perusahaan pertambangan dengan kepemilikan


Broken Hill Proprietary Company Limited (BHP) 52% pemerintah Papua nugini 30% dan
inmet Mining Corp 18%, ada tahun 1976 pertambangan ini dibuka ,fasilitas
penyimpanan limbah, karena lokasi dari tambang tidak memungkinkan pembangunan
fasilitas tersebut Limbah pertambangan dibuang langsung ke sungai Ok Tedi dan
selanjutnya mengalir ke sungai fly dan bermuara ke laut Limbah tersebut memberikan
dampak buruk bagi warga yang tinggal di sepanjang aliran sungai, hutan hutan di sekitar
sungai dan hewan hewan.

Pada tahun 1976, Papua Nugini memilih BHP untuk mengembangkan tambang
untuk mengeksploitasi deposit tembaga besar yang ditemukan pada tahun 1963 di sisi
barat negara itu di dataran tinggi pedalaman. Papua Nugini menempati bagian timur
pulau New Guinea (setengah lainnya milik Indonesia), hanya 150 mil dari ujung paling
utara Australia. Endapan tersebut terletak di kawasan Pegunungan Bintang di tengah
pulau di sepanjang perbatasan dengan Indonesia. Tambang tersebut akan berlokasi di
Gunung Fubilan, terletak sekitar 1.800 meter di atas permukaan laut di hulu Sungai Ok
Tedi, yang airnya mengalir ke selatan, turun ke Sungai Fly, melalui dataran rendah, dan di
atas delta yang sangat besar hingga akhirnya bermuara ke Teluk Papua di Laut Karang

Pada tahun 1976, pemerintah Papua Nugini mengesahkan Ok Tedi Agreement


Mining Act, yang mendefinisikan kewajiban dan hak terkait dengan pengembangan Ok
Tedi Mine. Pada tahun 1980, pemerintah secara resmi memberikan izin untuk
pembentukan grup yang menjadi Ok Tedi Mining Limited (OTML), sebuah perusahaan
patungan yang didirikan untuk mengembangkan Tambang Ok Tedi. Tambang tersebut
akan menggunakan teknik penambangan terbuka konvensional untuk mengekstraksi
setiap tahun sekitar 30 juta ton bijih tembaga dan 55 juta ton batuan sisa. Undang
Undang Pertambangan 1976 mensyaratkan bahwa kontrol lingkungan konvensional akan
digunakan oleh OTML untuk meminimalkan kerusakan lingkungan, termasuk fasilitas
penyimpanan yang besar di belakang bendungan yang akan digunakan untuk
menampung sekitar 80 persen tailing dan limbah yang dihasilkan oleh tambang. (Tailing
adalah pasir halus yang tersisa setelah bijih yang mengandung mineral dihancurkan dan
mineralnya dihilangkan).

Pembangunan fasilitas penyimpanan tailing dimulai pada tahun 1983, sekitar


setahun sebelum tambang dijadwalkan untuk dibuka. Namun, pada tahun 1984, tanah
longsor besar menghancurkan pondasi bendungan penyimpanan. OTML mengusulkan
kepada pemerintah agar diizinkan untuk melanjutkan sementara tanpa fasilitas
penyimpanan karena jika tidak, tambang tidak akan dapat dibuka sesuai jadwal.
Pemerintah Papua Nugini menyetujui dan mengesahkan Undang-Undang Lisensi Tailing
Interim, yang mengizinkan tambang untuk mulai beroperasi tanpa fasilitas penyimpanan
limbah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Study case: The Ok Tedi Copper Mine


Ok Tedi mining limited merupakan sebuah perusahaan tambang yang berada di
Papua New Guinea yang berada di bawah naungan Broken Hill Proprietary dibawah
kepemimpinan Ceo perusahaan tersebut yakni Paul Anderson, perusahaan ini memiliki
masalah terhadap lingkungan sekitar yang dimana OK Tedi sebagai perusahaan tambang
tidak dapat mencari jalan keluar dalam mengurus limbah dari perusahaan tambang
tersebut dengan benar, imbasnya BHP menciptakan salah satu bencana lingkungan di
dunia yang berupa polusi serta pencemaran lingkungan. Sayangnya hal ini tidak terlalu
bisa diatasi sebab BHP memiliki sebagian besar hak kekayaan tambang yang ada di
Papua New Guinea yakni sebesar 52 persen dikuasai BHP, 30 Persen milik pemerintah
New Guinea, dan 18 persen lainnya milik perusahaan tambang lain atas kekuasaan yang
dimiliki BHP ini lah perusahaan OK Tedi mining dapat meraup ratusan ribu ton tambang
di Papua New Guinea setiap tahunnya, yang berbanding lurus pula dengan limbah yang
mereka hasilkan, tercatat perusahaan OK tedi mining mengeluarkan kurang lebih 120
.000-200.000 Ton limbah per hari ke sungai Di Papua New Guinea, hal Ini membawa
dampak pada masyarakat sekitar sungai yang menyebabkan 120 desa dan kurang lebih
50.000 orang yang tidak lagi mendapatkan akses air bersih ,hal ini menyebabkan
lingkungan yang tidak sehat dan tanah yang menjadi tidak subur, dilema lain yang
muncul akibat polusi ini adalah masyarakat yang jadi menggantungkan ekonomi mereka
kepada satu satunya pekerjaan yakni pertambangan, dan akan terus melakukan polusi
lingkungan.
2.2 What are the ethical issues in this case?
Dalam kasus isu ini, OTML melakukan pelanggaran Ethical Corporate and
Environment Right yakni selain Etika Sistematik, Etika korporasi, Etika Individu juga
melanggar Etika Ekologi yakni sebuah etika yang mengklaim bahwa kesejahteraan dari
bagian-bagian non manusia di bumi ini secara intrinsik memiliki nilai tersendiri. Isu
perusahaan tambang OTML serta pemerintah Papua Nugini jelas telah mengabaikan
Etika Ekologi. Etika Hak Lingkungan menurut blackstone yaitu lingkungan yang nyaman
bukanlah sesuatu yang kita semua ingin miliki tapi sesuatu dimana yang lain
berkewajiban untuk memungkinkan kita memilikinya. Namun, Perusahaan OTML justru
membuang limbah sisa penambangannya ke sungai Ok Tedi dan Pemerintah Papua
Nugini pun menyetujuinya dan berakibat pencemaran lingkungan. Jadi, ada etika
ekologi, etika blackstones, dan etika utilitarian pengendalian polusi.
2.3 What are the systemic, corporate, and individual ethical issues raised by this case?
1. Masalah Etika Sistemik
● Sistem Perekonomian, Dilihat dari sisi perekonomian, pertambangan
memberikan dampak positif bagi pemerintah dan masyarakat Papua Nugini
yaitu pertambangan menyumbang pendapatan bruto dan nilai ekspor dari
Papua Nugini dan juga mensponsori fasilitas bagi masyarakat disekitarnya dan
meningkatkan taraf hidup mereka. Namun, terdapat dampak negatifnya juga
seperti limbah tambang yang merusak lingkungan sungai Ok Tedi dan Fly yang
sekitarnya dihuni oleh penduduk desa yang kulturnya masih terbilang
tradisional seperti bertani, berburu, dan memancing di lingkungan sungai
tersebut.
● Sistem Pemerintahan, Pemerintah Papua Nugini memberikan keringan kepada
perusahaan pertambangan Ok Tedi untuk tetap melakukan operasi
pertambangan tanpa perlu melakukan pembuatan tempat penampungan
limbah pertambangan. Sehingga setelah bertahun-tahun pemerintah
mengalami dilema untuk menghentikan atau tetap memberikan izin kepada
perusahaan untuk tetap melanjutkan.
2. Masalah Etika Korporasi
Perusahaan melakukan aktivitas penambangan tanpa membangun
penampungan limbah. Dampak negatifnya adalah warga di sekitar sungai Ok Tedi
dan Fly mengalami hilangnya mata pencaharian dan kerusakan lingkungan di
tempat tinggal mereka.
3. Masalah Etika Individu
Sebagian masyarakat tetap ingin perusahaan melanjutkan aktivitas
penambangan karena meningkatkan taraf hidup mereka, namun sebagian
masyarakat lainnya tidak menginginkan perusahaan melanjutkan aktivitas
penambangan karena merusak lingkungan dan mata pencaharian mereka.
2.4 Who shares in the moral responsibility for this case?
Menurut penjelasan kasus tersebut, Pihak perusahan Copper mine yang harus
bertanggung jawab karena mereka yang melakukan kegiatan pertambangan dan
pembuangan limbah tanpa diolah lagi ke sungai ok tedi yang menyebabkan terjadi nya
polusi dan merusak lingkungan atau aspek aspek kehidupan di sekitarnya yang
merugikan dan mengganggu aktivitas dari masyarakat yang berada atau tinggal di sekitar
sungai Ok Tedi dan sekitar pertambangan, akan tetapi pemerintah juga memiliki
tanggung jawab atas apa yang terjadi karena pemerintah juga memiliki saham di
perusahaan atau pertambangan Ok Tedi Copper Mine dan memberikan izin kepada
pertambangan tersebut serta pembuangan limbah yang tidak diolah.
2.5 In your opinion, does CSR have a role in this case?
CSR adalah Corporate Social Responsibility. Karena Setiap bisnis memiliki
tanggung jawab sosial kepada masyarakat atau lingkungan tempatnya berdiri. Sifat
tanggung jawab sosial ini wajib, dan apabila tidak dilakukan, bisnis terancam terkena
sanksi. Dan menurut kelompok kami, CSR disini sangat berperan kepada kasus The Ok
Tedi Copper Mine ini, karena kasus ini merupakan tanggung jawab dari perusahaan
Copper Mine terhadap masyarakat sekitar dan juga lingkungan di sungai Ok Tedi,
matinya ekosistem air sungai sampai dengan rusaknya lahan pertanian di sekitar sungai
karena pembuangan limbah, secara langsung atau tidak langsung berdampak ke aspek
kehidupan masyarakat sekitar. Meskipun perusahaan tambang The Ok Tedi Copper Mine
ini sudah bertanggung jawab kepada masyarakat yang terkena imbas dari kegiatan
pertambangan dengan melakukan ganti rugi atas kerusakan yang telah diperbuatnya,
tetapi yang dilakukan oleh perusahaan ini tidak sebanding dengan kerusakan alam dari
hasil penembangan limbah yang telah diperbuat.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ok Tedi mining limited merupakan sebuah perusahaan tambang yang berada di


Papua New Guinea yang berada di bawah naungan Broken Hill Proprietary dibawah
kepemimpinan Ceo perusahaan tersebut yakni Paul Anderson, perusahaan ini memiliki
masalah terhadap lingkungan sekitar yang dimana OK Tedi sebagai perusahaan tambang
tidak dapat mencari jalan keluar dalam mengurus limbah dari perusahaan tambang
tersebut dengan benar, imbasnya BHP menciptakan salah satu bencana lingkungan di
dunia yang berupa polusi serta pencemaran lingkungan. Dalam kasus tersebut, Ok Tedi
Mining Limited melakukan pelanggaran Ethical Corporate and Environment Right yakni
selain Etika Sistematik, Etika korporasi, Etika Individu dan juga melanggar etika ekologi
yakni sebuah etika yang mengklaim bahwa kesejahteraan dari bagian-bagian non
manusia di bumi ini secara intrinsik memiliki nilai tersendiri dan kita sebagai manusia
memiliki tugas untuk menghargai dan menjaganya. Pada kasus tersebut isu yang
tersebar pada perusahaan tambang OTML serta pemerintahan Papua Nugini adalah
mengabaikan etika ekologi tersebut.

Hal tersebut menyebabkan masalah pada etika yang ada seperti etika sistemik
yang memiliki dampak positif pada sistem perekonomian pada pemerintah dan
masyarakat Papua Nugini, namun menyebabkan dilema pada sistem pemerintahannya.
Kemudian ada pun masalah pada etika korporasi yang memiliki dampak hilangnya mata
pencaharian dan kerusakan lingkungan. Dan yang terakhir adalah masalah pada etika
individu yang menyebabkan perbedaan pemikiran masyarakat mengenai kasus tersebut,
ada yang mendukung adapun yang menolaknya.

Menurut kami, CSR (Corporate Social Responsibility) disini sangat berperan


penting pada kasus The Ok Tedi Copper Mine, dikarenakan kasus ini merupakan
tanggung jawab dari perusahaan Copper Mine terhadap masyarakat sekitar dan juga
lingkungan di sungai Ok Tedi, matinya ekosistem air sungai sampai dengan rusaknya
lahan pertanian di sekitar sungai karena pembuangan limbah, secara langsung atau tidak
langsung berdampak ke aspek kehidupan masyarakat sekitar.

Maupun perusahaan tambang The Ok Tedi Copper Mine ini sudah bertanggung
jawab kepada masyarakat yang terkena imbas dari kegiatan pertambangan dengan
melakukan ganti rugi atas kerusakan yang telah diperbuatnya, tetapi yang dilakukan oleh
perusahaan ini tidak sebanding dengan kerusakan alam dari hasil penembangan limbah
sehingga dampak kerusakan lingkungan tersebut tidak dapat di minimalisir.

Dan saran dari kelompok kami berdasarkan kasus diatas adalah dibutuhkannya
sebuah ketegasan dari pemerintah untuk menerapkan hukum, syarat maupun aturan
terkait kegiatan pertambangan sehingga apabila hukum, syarat maupun aturan tidak
dapat dipenuhi oleh perusahaan penambangan maka pemerintah tidak boleh
memberikan izin untuk kegiatan penambangan. Hal ini dikarenakan apabila pemerintah
telah memberikan izin dan kemudian telah terjadi ketergantungan baik di pemerintahan
maupun di masyarakat serta telah terjadi kerusakan alam. Maka kedepannya akan lebih
sulit bagi pemerintah, perusahaan, maupun masyarakat untuk melakukan perbaikan atas
masalah yang telah terjadi.

Anda mungkin juga menyukai