BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Jangan sekali-kali mengandalkan pada amal perbuatan yang telah kita lakukan
untuk memperoleh rida Allah. Jangan pula mengandalkan balasan yang telah
Allah janjikan kepada kita; seperti shalat, puasa, sedekah, dan segala jenis
kebaikan. Akan tetapi, andalkanlah semua itu pada anugerah, rahmat dan
kemurahan Allah SWT. Lewat perkataan inilah, Ibnu ‘Athailah mendorong kita
untuk menghindari sikap bergantung pada selain Allah; termasuk pada amal
ibadah.
Dasar perkataan dari Ibnu ‘Athaillah ini adalah sabda Rasulullah SAW: “Tidak
seorang pun diantara kamu yang dimasukkan ke dalam surga oleh amal
Beliau menjawab, “Saya pun tidak, kecuali jika Allah melimpahkan kasih sayang-
Nya padaku.
Hadits ini pun yang dinukil penulis Jawharah At-Tauhid menjadi sebuah kalimat:
“Maka jika Dia memberi kita pahala, maka itu murni karena kemurahan dan jika
perkataan Ibnu ‘Athailah ini, “Bahwa terkadang kita berpikir bahwa hubungan kita
dengan Tuhan adalah seperti hubungan manusia dengan manusia. Saat kita
2
berharap Allah akan memberikan sesuatu kepada kita secara langsung dan cepat.
Allah? Bagaimana sikap Anda terhadap kalimat suci yang diajarkan Rasulullah
SAW kepada sahabatnya yang berbunyi Laa haula wa laa quwatta illa Billah
puasa? Bukankah Allah yang melapangkan hati anda untuk menerima keimanan?
adalah harga yang harus Anda bayarkan dari harta milik anda untuk membeli
surga Allah?”
Jadi, kita tidak boleh beranggapan bahwa kita berhak mendapatkan surga
Allah dan pahalanya, dengan alasan telah mempersembahkan apa yang Allah
wajibkan kepada kita. Mengapa? Karena dengan keyakinan ini, kita telah
beranggapan bahwa apapun ibadah yang kita kerjakan merupakan hasil dari
3
kemampuan diri kita sendiri dan Allah SWT sebagai pencipta kita tidak memiliki
dunia ini, yang beragam dan tak terhitung. Waktu kita di dunia ini untuk
menikmati kenikmatan Allah jauh lebih banyak daripada amal shaleh kita.
pada hari kiamat, “Wahai Tuhanku, perhitungkanlah amal saya sesuai dengan
keadilan-Mu dan dengan apa yang berhak saya peroleh. Karena saya telah
ketaatan dan kedekatan hamba tersebut pada sisi timbangan lainnya. Hasilnya
melaksanakannya.
ia tetap memikul tanggung jawab menjalankan kewajiban dari Allah. Dia juga
memikul tanggung jawab atas berbagai kenikmatan yang diberikan Allah. Lantas
dengan alasan apa dia menuntut Allah untuk memberinya kemuliaan balasan
4
berupa surga yang kekal? Dengan alasan apa dia memohon kepada Allah
malam dan menyaksikan gadis tersebut sedang shalat di satu sudut rumahnya.
Majikan itu mendengarkan gadis tersebut berdoa saat sujud, “Ya Allah,
berdoa seperti itu kepada Allah? Mengapa kamu tidak sebaiknya berdoa, ‘Ya
maka Dia tidak akan membangunkan saya sekarang ini. Seandainya bukan karena
cinta-Nya kepada saya, maka Dia tidak memberi saya kemampuan berdiri
dihadapan-Nya. Seandainya bukan karena cinta-Nya kepada saya, maka Dia tidak
Tauhid seperti ini yang seharusnya mewarnai hati kita. Bagaimana mungkin
kita membangga-banggakan ibadah kita kepada Allah, sementara Allah lah yang
memberi petunjuk dan kemampuan untuk melakukannya? Oleh karena itu, prinsip
5
“Ketika Allah memberi pahala kepada kita, maka itu murni karena kemurahan-
BAB II
PEMBAHASAN
Mengandalkan pada amal ibadah seperti sholat dan dzikir untuk meraih
surga dan kedekatan pada Allah adalah tindakan tidak terpuji, karena ini adalah
dorongan nafsu dan sikap over confidence. Hendaknya setiap hamba menyadari
bahwa seluruh kebaikan dan ketaatan yang dilakukan adalah anugerah dari Allah,
membangun kesadaran bahwa Kuasa dan Rahmat Allah yang lebih utama, karena
Allah Yang Maha Kuasa untuk menerima dan menolak amal ibadah hamba-Nya.
6
Apa yang terjadi jika kita mengandalkan amal perbuatan saja tanpa berharap
cinta Allah? Yang paling jelas adalah hilangnya harapan dalam diri kita. Apabila
meninggalkan ibadah rutinnya, kita menjadi mudah merasa putus asa dan
Apabila kita dilarang menyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon,
kekuatan diri sendiri, seakan-akan merasa sudah cukup kuat dapat berdiri sendiri
tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayat dan karunia Allah
subhanahu wata’ala.
Amal yang dimaksud disini adalah amal ibadah, seperti salat dan dzikir. Ada
keselamatan diri mereka pada amal ibadahnya (bukan kepada Allah secara murni).
Mereka itu adalah para Abid (orang yang tekun beribadah) dan para murid (orang
meraih surga dan menghindari siksa Allah sementara itu, golongan kedua
menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri
7
mereka kepada Allah menyingkap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan
ketuhanan lainnya.
Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka
itu terlahir dari dorongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. mereka
menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa
amal ibadah itu pasti akan membuahkan hasil yang mereka inginkan.
Berbeda dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik (Arif) mereka
tidak bergantung sedikitpun pada amal ibadah yang mereka lakukan. Menurut
mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah SWT. semata,
sedangkan mereka hanyalah objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan
Allah SWT.
Dalam hikmah yang pertama diatas, Ibnu athaillah menyebutkan salah satu
tanda orang orang yang menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal
Tujuannya, supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk
golongan mana ia. Apabila di saat melakukan maksiat dan dosa, ia kehilangan
harapan pada Allah yang Maha Rahmat yang akan memasukkannya ke surga,
8
menyelamatkannya dari azab dan mewujudkan semua keinginannya, ia dianggap
Namun, apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan
Arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk
golongan Arif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah
atas dirinya.
melihat Tuhan), golongan Arif tidak memandang bahwa segala daya dan
Baginya tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf karena
Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah
mengurangi rasa takutnya kepada Allah dan ketaatan pun tidak menambah rasa
harapnya kepadanya.
Maka dari itu, siapa yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya,
Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan
terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata kepada rahmat
Allah Ta'ala
9
Jika kita berharap akan rahmat-Nya, maka kita tidak akan menggantungkan
harapan kepada amal-amal kita, baik itu besar atau pun kecil. Dan hal yang paling
mahal dalam suluk adalah hati, yaitu apa yang dicarinya dalam hidup. Dunia ini
akan menguji sejauh mana kualitas raja’ (harap) kita kepada Allah Ta’ala.
هللاG وال أنا إال أن يتغمدني: وال أنت يا رسول هللا؟ قال: قالوا،لن يدخل احدكم الجنة عمله
برحمته
saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku.” – H.R. Bukhari dan Muslim
Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa amal yang kita lakukan tidak
bisa diumpamakan seperti uang atau barang tebusan untuk masuk surga. Oleh
karena itu hendaklah kita bersikap dan memperbaharui niat kita dalam melakukan
setiap amalan untuk mendapatkan ridho Allah, bukan mengharapkan pahala dari
Jika surga dan neraka tak pernah ada, Masihkah kita mau bersujud
yang lebih cenderung mengandalkan amal agar selamat dari neraka atau agara
diiziinkan masuk surga-Nya. Terkadang seorang yang arif pun bisa khilaf dalam
hal ini.
10
BAB III
KESIMPULAN
Melalui Hikmah di atas, Ibnu Athoillah ingin mendorong para salik (peniti
jalan menuju Allah) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah;
termasuk bergantung pada amal ibadah. Hal itu mengajarkan kepada kita bahwa
segala amal yang kita lakukan tidak menjamin kita akan masuk ke syurganya
Sikap ini juga memiliki kaitan terhadap nilai dan aplikasi dari pada Akidah
“Jika kita diberi pahala itu merupakan karunia Allah, namun jika kita diadzab itu
Nadzom di atas merupakan akidah yang wajib diyakini oleh setiap Muslim,
Lebih jauh lagi, jika kita telah mengetahui status kita sebagai seorang
hamba, maka kita telah mengetahui kewajiban kita yaitu menyembah Allah, tanpa
berfikir apakah akan diperoleh pahala atau tidak. Kemudian ia memohon kepada
Allah agar diberi Kebaikan dan Rahmat untuk masuk ke dalam surga-Nya, dan
11
memohon perlindungan kepada-Nya dengan Kelembutan dan Kasih Sayang Allah
dari siksa dan adzab neraka-Nya, dan ini merupakan sirah Rasululullah dalam
setiap doanya.
Oleh karena itu perbaharuan niat dalam beribadah hanya kepada Allah,
bukan untuk syurga, karena kita adalah hamba Allah bukan hamba syurga.
ك ربGGني علمت أنGG ولك،اركGGا من نGGك وال خوفGGا في جنتGGدتك طمعGGاللهم إني ما عبدتك حين عب
“Ya Allah sungguh aku tidak menyembah-Mu ketika aku masih mengharapkan
syurga dan takut akan neraka-Mu, sedangkan aku tahu bahwa Engkau adalah Rab
Bersedekah dengan hati yang ikhlas bisa membuat sedekah yang dilakukan
semakin berkah, bernilai lebih dan dibalas dengan kebaikan-kebaikan lain yang
lebih mengesankan. Banyak atau sedikit sedekah yang diberikan, jika hal itu
dilakukan karena Allah semata, maka sedekah yang dilakukan akan mendatangkan
tidak melihat (menilai) bentuk tubuhmu dan tidak pula menilai kebagusan
wajahmu, tetapi Allah melihat (menilai) keikhlasan hatimu dan melihat amal
Bagaimanakah jika kita menunaikan sedekah dengan jumlah yang banyak, namun
terbersit perasaan terpaksa atau tidak ikhlas. Apakah kita akan tetap mendapat
pahala atas sedekah kita? Karena, sebelumnya muncul anggapan, jika sedekah
menunggu ikhlas maka sedekah yang ditunaikan tidak akan pernah banyak. Hal itu
disebabkan karena belum menjadi kebiasaan. Karena jika terbiasa maka akan bisa,
bisa ikhlas dengan sedekah yang banyak. Tidak lagi merasa terpaksa.
sedekah dengan jumlah banyak tetapi tidak ikhlas itu lebih utama daripada
tetapi tidak ikhlas mempunyai tantangan berat yang muncul dari dalam dirinya,
yakni hawa nafsu. Orang tersebut telah berhasil memerangi hawa nafsunya hingga
Sedekah dengan jumlah banyak tetapi tidak ikhlas itu lebih utama daripada
13
Mufasir sekaligus cendikiawan muslim Indonesia, Muhammad Quraish Shihab
keterpaksaan terbagi menjadi dua, yaitu dipaksa orang dan dipaksa oleh diri
sendiri.
“Jika kita memaksaan diri untuk kebaikan maka itu baik. Akhlak itu tidak akan
tercipta tanpa kebiasaan dan awal dari membiasakan adalah dengan memaksa.
Sementara jika bersedekah karena ancaman maka namanya tidak tulus,” jelas
Quraish Shihab, pada program acara Shihab & Shihab di Narasi TV, yang dipandu
Pada gelar wicara (talkshow) yang bertajuk Berbisnis dengan Allah, muncul
di saat orang itu sedang kesulitan finansial. Seseorang itu berharap agar Allah Swt
kesulitan finansialnya. Apakah sedekah dengan pola pikir seperti itu dibenarkan?
Quraish Shihab menganjurkan agar kita senantiasa bersikap moderat. Dirinya juga
menegaskan agar kita jangan pernah mengatakan kepada orang lain untuk
mengeluarkan semua (harta) yang ada di saku, dan mengiming-iming bahwa nanti
dan jangan juga mengeluarkannya sedemikian rupa. Nabi Muhammad Saw juga
14
bersabda ketika akan mengambil zakat dari seseorang, maka jangan ambil
hartanya yang paling baik atau yang paling disenangi. Ambillah yang pertengahan
dan bagi yang bersangkutan hendaknya tidak mengeluarkan (harta) yang paling
tidak disukai,” papar Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998).
setuju dengan orang yang mengiming-imingi sedekah ekstrem, karena hal tersebut
“Maka keluarkanlah sedekah tetapi ingat, masih ada keluargamu dan masih ada
hari esok,” tutur Rektor UIN Syarif Hidayatullah masa jabatan 1992-1998.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.sudahbaca.com/agama/pr-3752629764/mutiara-al-hikam-1-sikap-
orang-arif-ketika-khilaf.
https://www.qudusiyah.org/id/kajian/al-hikam/pasal-001.html
https://bincangsyariah.com/kolom/sikap-orang-arif-tatkala-khilaf-ini-dua-cirinya/
Habib Ahmad bin Husain assegaf, Al-Hikam Mutiara Hikmah dan Kehidupan,
Darul Ihya’ Li Ulumiddin – Bangil.
-------------------------
15