Anda di halaman 1dari 13

MANAJEMEN PERBANKAN

SEJARAH PERBANKAN INDONESIA DI MASA KRISIS


Dosen Pengampu : Tiksnayana Vipraprastha, SE., MM

OLEH :

Ni Luh Febriyanti 2002612010449


Ni Made Praarthini Samitha Santih 2002612010649
Ida Ayu Dewi Purnama Yanti 2002612010653
Ni Luh Intan Diah Sukreni 2002612010657

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR

DENPASAR

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala limpahan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan RMK (Rangkuman Mata Kuliah) yang berjudul Sejarah
Perbankan Indonesia di Masa Krisis sebagai salah satu penugasan mata kuliah. Penulisan RMK ini
selain bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah, juga dapat memberikan informasi mengenai
bagaimana sejarah perbankan Indonesia di masa krisis. Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan RMK ini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan atas kritik dan
saran yang membangun dari pembaca, khususnya kepada dosen pengampu mata kuliah
Manajemen Perbankan. Semoga RMK ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Denpasar, 14 Februari 2023

Penulis
PEMBAHASAN

1. Perbankan Indonesia Dimasa Krisis


Indonesia mulai mengalami krisis moneter sejak Agustus 1997. Pada saat itu awal terjadinya
krisis, dimulai dengan dampak dari proses penularan, dimana rupiah tertekan di pasar mata uang
setelah dan bersamaan dengan apa yang terjadi di negara-negara lain di Asia. Tetapi kemudian
dengan kebijakan langkah yang dilakukan yaitu pelebaran rentang kurs intervensi, mengubah
sistem nilai tukar dari mengambang terkendali (managed floating) menjadi pengambangbebasan
rupiah (free floating), intervensi BI dan pengetatan likuiditas, terjadi proses pemulihan dari proses
penularan tersebut, sehingga gejolak kurs rupiah kembali menjadi masalah tertekannya perbankan.
Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidakpercayaan terhadap perbankan yang
menimbulkan krisis perbankan. Krisis tersebut membawa kepanikan kepada para nasabah bank
karena mahalnya kredit bank, sehingga sektor keuangan secara langsung berpengaruh negatif
terhadap sektor riil (kegiatan produksi, perdagangan, investasi maupun konsumsi).
Selanjutnya, perkembangan krisis keuangan ini pulih menjadi krisis sosial dimana
perusahaan yang tidak memperolah pinjaman bank mulai melakukan PHK terhadap karyawannya.
Berbagai barang impor harganya melonjak tinggi, banyak pabrik ditutup karena mahalnya bahan
baku impor serta tingginya tingkat inflasi, banyak karyawan di-PHK, penambahan angka
kekeliruan dan lain-lain. dunia perbankan tidak luput dari pengaruh krisis moneter. Perbankan yang
berkembang dengan baik tiba-tiba mengalami kejatuhan. Hal itu disebabkan banyaknya bank yang
memberi kredit pada proyek-proyek atau sektor-sektor yang berisiko tinggi, rendahnya tingkat
manajemen bank, serta terlalu longgarnya pemberian kredit kepada nasabah yang ditandai dengan
adanya penyelewengan atas batas pemberian kredit.
Jatuhnya keuangan, membuat pemerintah harus melikuidasi (membubarkan) banyak bank.
Tanggal 17 November 1997, 16 bank swasta dilikuidasi, dan dilanjutkan dengan 50 bank pada
likuidasi kedua. Likuidasi dilakukan dengan tujuan menyehatkan dan merampingkan dunia
perbankan. Akan tetapi, ternyata likuidasi 66 bank tersebut berdampak buruk, masyarakat
berlomba-lomba mengambil simpanannya dari bank-bank yang dikabarkan akan dilikuidasi.
Maka, terjadilah rush (pengambilan terus menerus) oleh masyarakat seperti yang terjadi pada Bank
Danamon dan BCA sehingga pada akhirnya bank-bank tersebut diambil alih oleh pemerintah.
Untuk menyehatkan perbankan nasional, pemerintah melakukan berbagai kebijakan, di
antaranya adalah:
A. Melakukan Program Penjaminan Penuh
Untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah menjamin penuh
semua dana masyarakat yang ada di semua bank umum yang berbadan hukum Indonesia,
baik yang berbentuk bank pemerintah, bank swasta atau bank campuran. Dengan penjaminan
ini, jika suatu saat bank mengalami masalah maka pemerintah wajib menjamin keamanan
dana masyarakat.
B. Melakukan Program Rekapitalisasi Perbankan
Dengan program ini diharapkan bank-bank dapat memenuhi ketentuan permodalan minimal.
C. Melakukan Pembentukan BPPN
Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 27 Tahun 1998, tugas BPPN adalah:
1) Melakukan pengadministrasian jaminan yang diberikan pemerintah kepada bank umum.
2) Melakukan pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan termasuk restrukturisasi bank
yang oleh Bank Indonesia dinyatakan tidak sehat.
3) Melakukan tindakan hukum lain yang diperlukan dalam rangka penyehatan bank yang tidak
sehat. Dalam menjalankan pekerjaannya, BPPN dipimpin seorang ketua yang diangkat dan
diberhentikan oleh presiden.

2. Struktur Perbankan Indonesia pada Masa Krisis


Berdasarkan undang-undang, struktur perbankan di Indonesia, terdiri atas bank umum dan
BPR. Perbedaan utama bank umum dan BPR adalah dalam hal kegiatan operasionalnya. BPR tidak
dapat menciptakan uang giral, dan memiliki jangkauan dan kegiatan operasional yang terbatas.
Selanjutnya, dalam kegiatan pencapaian dianut dual bank sistem, yaitu bank umum dapat
melaksanakan kegiatan usaha bank konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah. Sementara
prinsip kegiatan BPR dibatasi pada hanya dapat melakukan kegiatan usaha bank konvensional atau
berdasarkan prinsip syariah
Struktur Perbankan Indonesia sesuai Visi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) :
1. Bank Internasional yaitu bank yang mempunyai total aset Rp. 1.000 Triliun dengan modal
> Rp.50 Triliun dan diproyeksikan 10 – 15 tahun dengan jumlah 2 – 3 perbankan
2. Bank Nasional yaitu bank yang mempunyai total aset Rp 200 Triliun dengan modal antara
Rp 10 – 50 Triliun dan diproyeksikan 10 – 15 tahun dengan jumlah 3 – 5 perbankan
3. Bank Fokus yaitu bank yang mempunyai modal Rp. 100 Milyar sd Rp. 10 Triliun dan
diproyeksikan 10 – 15 tahun dengan jumlah 30 – 50 bank dengan fokus :
‐ Daerah
‐ Korporasi
‐ Ritel
‐ Lainnya
4. Bank Perkreditan Rakyat atau Bank Dengan Kegiatan Usaha Terbatas yaitu bank dengan
modal s/d 100 Miliar.
3. Masalah yang dihadapi Perbankan Indonesia pada Masa Krisis
Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan ekonomi yang begitu
mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Krisis saat itu
berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Adapun beberapa uraian singkat terkait dengan
krisis yang melanda sektor perbankan saat itu adalah sebagai berikut :

a. Posisi keuangan perbankan yang masih lemah dan tingginya masalah kredit macet. Sampai
dengan tahun 1995, jumlah total kredit macet sekitar RP 10,5 triliun. Angka total kredit macet
dibanding total kredit perbankan yang disalurkan mencapai 4 persen. Uniknya, sekitar 75%
kredit macet berada di kelompok bank pemerintah. Kredit bermasalah ini nampaknya sudah
menjadi hal biasa di Indonesia. Aturan kerahasiaan bank yang diberlakukan di Indonesia
mengakibatkan sangat sulitnya menentukan besarnya masalah yang sebenarnya dihadapi akibat
kredit bermasalah ini. Bank Indonesia beranggapan bahwa kredit bermasalah dapat dihapus
bukukan (written off) untuk menjaga kelangsungan industri secara keseluruhan. Secara teoritis
hal tersebut merupakan tindakan yang baik, akan tetapi sulit diterapkan dalam praktek. Pada
tahun 1999 total kredit macet mencapai Rp 28,5 triliun atau setara dengan 3,9% dari keseluruhan
kredit perbankan. Pangsa kredit dengan status dalam perhatian khusus sebesar 3,5%, kurang
lancer sebesar 3,9%, dan sebesar 4,9% masuk dalam kategori diragukan. Sehingga hanya 83,8%
atau Rp607,2 triliun yang termasuk dalam kategori kredit lancar.

b. Konsentrasi kredit yang diberikan kepada beberapa perusahaan besar dan konglomerat
tertentu sehingga kesehatan system perbankan sangat tergantung pada kemampuan dan kemauan
perusahaan-perusahaan besar dan konglomerat tersebut untuk membayar kembali hutang2nya
pada bank. Masalah kredit macet tersebut timbul akibat adanya praktek korupsi, penipuan,
longgarnya seleksi kepada debitur, dan ketidakmampuan bank dalam hal pengawasan dan
penagihan kembali kredit yang sudah jatuh tempo. Ironisnya, porsi KUK (Kredit Usaha Kecil)
perbankan nasional terhadap jumlah kredit yang diluncurkan tidak pernah mencapai angka 20%
dan penyalurannya masih terpusat di Pulau Jawa. Bisa dipahami apabila para pengusaha kecil
menuduh bank hanya melayani “si besar” dan cenderung menghindari usaha kecil. Studi Pusat
Konsultasi Pengusaha Kecil UGM tahun 1996 juga menunjukkan bahwa bagi pengusaha kecil
masalah yang sering dikeluhkan apabila berhubungan dengan perbankan ialah masalah agama
atau prosedur lain yang dinilai berbelit.
c. Masih banyaknya bank yang melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking
management) dan self regulatory banking. Ini terbukti dari banyaknya bank yang termasuk
kategori B dalam Program Rekapitulasi Perbankan, yaitu bank dengan CAR (Capital Adequacy
Ratio) sebagai indikator rasio kecukupan modal antara 4% hingga -25%. Ironisnya sebagian
besar BUSN (Bank Umum Swasta Nasional) berada dalam kategori B. Sebagaimana diketahui
kategori A mencaup bank dengan CAR 4% ke atas, dan C dengan CAR dibawah -25%.
Kemudian berlanjutnya beleid suku bunga tinggi menyebabkan dua hal ; pertama, bank
mengandalkan pada negative spread (kerugian dari pendapatan bunga karena bunga
tabungan/deposito lebih tinggi dibanding bunga kredit) yang berakibat memperburuk posisi
modal dan CAR perbankan. Perbankan hidup dari penempatan aktiva lancar seperti SBI
(Sertifikat Bank Indonesia) atau pinjaman antar bank. Kedua, bank pemerintah mengalami
kelebihan likuiditas sehingga berakibat pada gampangnya mereka mengobral pinjaman. Ketiga,
BI terpaksa mengucurkan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang sampai bulan
September 1998 nilainya mencapai sekitar Rp 140 triliun, atau berarti sudah mencapai sekitar
30% PDB (perlu dicatat BLBI berbeda dengan KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) yang
merupakan program kredit yang bunganya disubsidi, sedangkan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia) merupakan fasilitas yang tersedia diluar KLBI tadi untuk membantu bank-bank yang
mengalami kesulitan likuiditas akibat penarikan dana oleh nasabahnya secara besar-besaran).
Padahal dari jumlah BLBI yang dikucurkan kepada 200 bank, 85% jatuh kepada 14 BBO (Bank
Beku Operasi) dan BTO (Bank Take Over). Kucuran BLBI tersebut merupakan konsekuensi
pemerintah menjamin dana nasabah.

Selain uraian diatas, beberapa faktor saat itu memperparah kondisi perbankan di Indonesia.
Faktor tersebut diantaranya :
1. Menguapnya dengan cepat kepercayaan masyarakat,
2. Ketidakpastian suksesi kepemimpinan,
3. Sikap plin-plan pemerintah dalam pengambilan kebijakan,
4. Besarnya utang luar negeri yang segera jatuh tempo,
5. Situasi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan.
Faktor penyebab krisis tidak hanya datang dari dalam negeri karena bisa juga terjadi karena
akses dari krisis dinegara lain.
a. Krisis-krisis di Indonesia bukanlah karena fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini
lemah tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar.
Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya
nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya.
b. Adanya hutang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah juga dapat menyebabkan
krisis di dalam dan luar negeri, dimana nilai tukar rupiah mendapatkan tekanan yang berat
karena tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang yang jatuh tempo menjadi serta
bunganya, ditambah sistem perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar
negeri yang sejak awal tahun 1990-sebuah telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan
sudah jauh terlampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit
berkurang.
c. Perdagangan bebas yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia dapat menjadi salah satu
faktor penyebab krisis.
d. Liberalisasi pada sektor finansial pun dapat menjadi faktor krisis, ketika modal dapat masuk
(inflows) dan keluar (outflows) tanpa hambatan. Modal akan mengalir ke pasar yang paling
menguntungkan, hal ini akan terjadi menimbulkan keburukan apabila kondisi pasar tidak
sempurna, lemahnya supervisi, tata kelola dan koordinasi.

Terjadinya krisis keuangan memberikan banyak dampak yang harus diterima oleh Indonesia,
baik di bursa saham, pasar modal, pasar uang dan sistem perbankan, diantaranya:

1. Daya beli yang merosost tajam, baik karena penurunan pendapatan secara nominal, maupun
akibat melonjaknya harga pangan dan barang barang kebutuhan pokok lainnya, konsumen
dan berbagai sektor dalam perekonomian juga dipaksa mengurangi konsumsi;
2. Masyarakat pun mulai merasakan memburuknya kualitas kehidupan mereka, seperti akses
kepemenuhan pangan, pendidikan, kesehatan dan hancurnya infrastruktur dasar;
3. Banyak perlawanan karena sektor industri tidak lagi berjalan seperti biasa yang disebabkan
oleh adanya penurunan produksi;
4. Penurunan indeks di lantai bursa karena sentuhan negatif dari bursa global yang
mengakibatkan pemodal mengalami kerugian;
5. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang semakin menurun karena banyak para eksportir
yang membutuhkan uang dollar untuk bertransaksi dengan pihak asing;
4. Terjadinya Krisis Moneter hingga Menjadi Krisis Multidimensi
Setelah berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan
oleh Dewan Moneter dan pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya
perekonomian pasca perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter adalah upaya
perbaikan posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan impor. Pada periode ekonomi
terpimpin, pembiayaan defisit spending keuangan negara terus meningkat, terutama untuk
membiayai proyek politik pemerintah. Laju inflasi terus melambung tinggi sehingga dilakukan dua
kali pengetatan moneter, yaitu tahun 1959 dan 1965. Mulai pertengahan tahun 1997, krisis
ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah, sistem pembayaran terancam
macet, dan banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan. Berbagai langkah ditempuh, mulai dari
pengetatan moneter hingga beberapa program pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa
Letter of Intent (Lol) pada tahun 1998.

Krisis multidimensi yang menghantam bangsa Indonesia dimulai tahun 1997 lalu telah
mencerminkan adanya kecemasan masyarakat dalam mensikapi perubahan nilai serta
perkembanngan yang terjadi silih berganti dengan cepat. Hal ini ditandai aksi-aksi anarkisme yang
muncul di hampir semua daerah, serta di semua sektor kehidupan. Kelompok menengah ke atas
yang selama ini terkenal tahan terhadap gejolak sosial pun merasakan imbasnya. Bukan hanya itu,
krisis yang diawali dari krisis ekonomi ini pun melebar menjadi krisis kepercayaan masyarakat,
baik terhadap lembaga – lembaga pemerintah, badan-badan swasta bahkan terhadap nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat saat itu.

Ditengah hiruk pikuknya gejolak sosial yang terjadi di masyarakat, hal ini ternyata melatar
belakangi lahirnya gerakan reformasi yang menjadi sebuah titik tolak bagi bangsa Indonesia untuk
menata kembali pemerintahannya. Derasnya arus reformasi inilah yang kemudian menuntut
adanya tata kelola pemerintahan yang baik atau biasa disebut Good Governance. Namun akhirnya
masa suram dapat terlewati. Perekonomian semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang
stabil pada masa reformasi. Lepas dari periode tersebut pemerintah memasuki masa pemulihan
ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi yang kemudian diteruskan dengan kebijakan
deregulasi bidang keuangan dan moneter pada awal 1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi
perekonomian, lahirlah berbagai paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat
struktur perekonomian Indonesia.

Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia dengan
dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 3/2004. Dalam undang-undang ini, Bank Indonesia ditetapkan
sebagai lembaga tinggi negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Sesuai undang-undang tersebut, Bank Indonesia diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang
akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar
negeri berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui Post Program
Monitoring (PPM) pada 2004.

Saat kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus
1950, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh struktur kolonial. Bank-bank asing masih
merajai kegiatan perbankan nasional, sementara peranan bank-bank nasional dalam negeri masih
terlampau kecil. Hingga masa menjelang lahirnya Bank Indonesia pada tahun 1953, pengawasan
dan pembinaan bank-bank belum terselenggara. De Javasche Bank adalah bank asing pertama yang
dinasionalisasi dan kemudian menjelma menjadi BI sebagai bank sentral Indonesia. Beberapa
tahun kemudian, seiring dengan memanasnya hubungan RI-Belanda, dilakukan nasionalisasi atas
bank- bank milik Belanda.

Berikutnya, sistem ekonomi terpimpin telah membawa bank-bank pemerintah kepada sistem
bank tunggal yang tidak bertahan lama. Orde baru datang membawa perubahan dalam bidang
perbankan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan.
Mulai saat itu, sistem perbankan berada dalam kesatuan sistem dan kesatuan pimpinan, yaitu
melalui pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Bank Indonesia dengan dukungan
pemerintah, dalam kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban bank swasta
nasional dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta nasional, karena jumlahnya terlalu
banyak dan sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang sangat lemah dalam permodalan dan
manajemen. Selain itu, Bank Indonesia juga menyediakan dana yang cukup besar melalui Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk program-program Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit
Modal Kerja Parmanan (KMKP) Kredit Investasi (KD) Kradit Mahasiswa Indonesia kerjasama
dengan IMF diakhiri melalui Post Program Monitoring (PPM) pada 2004.
Industri perbankan Indonesia telah menjadi industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya
diatur oleh pemerintah dan BI. Regulasi tersebut menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan.
Tahun 1983 merupakan titik awal BI memberikan kebebasan kepada bank-bank untuk menetapkan
suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan deposito. Tujuannya adalah untuk membangun
sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kebijakan selanjutnya merupakan titik balik
dari kebijakan pemerintah dalam penertiban perbankan tahun 1971-1972 dengan dikeluarkannya
Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88), yaitu kemudahan pemberian ijin usaha
bank baru, ijin pembukaan kantor cabang, dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

5. Proses Pemulihan Krisis

Dalam upaya melakukan stabilisasi dan mendorong pemulihan krisis, pertengahan tahun
1998 pemerintah mengambil langkah-langkah konkret menuju restrukturisasi perbankan nasional.
Pada tahap awal, langkah yang ditempuh dititikberatkan kepada upaya memulihkan kepercayaan
kepada perbankan nasional. Selanjutnya, setelah upaya tersebut dapat meredam kepanikan dan
kemungkinan timbulnya kerugian yang lebih besar lagi dalam sistem perbankan maka pemerintah
mulai menempuh langkah-langkah untuk menyehatkan posisi keuangan perbankan dan
memperbaiki lingkungan operasional sistem perbankan.

Secara garis besar, restrukturisasi perbankan di Indonesia dapat dipisahkan menjadi tiga
strategi utama, yaitu:

1. Strategi pemulihan kepercayaan kepada perbankan

Ketika krisis perbankan nasional semakin mendalam menjelang akhir tahun 1997 akibat
menghebatnya tekanan pelarian simpanan, pilihan kebijakan yang dapat ditempuh dan waktu yang
tersedia pada dasarnya menjadi amat terbatas. Di sisi lain, risiko yang dihadapi amat besar apabila
proses intermediasi perbankan terhenti karena akan mengakibatkan macetnya sistem pembayaran
nasional dan kelumpuhan kegiatan perekonomian secara menyeluruh. Oleh karena itu, strategi
yang ditempuh dalam situasi ini adalah dengan mencoba menanamkan kepercayaan kepada
masyarakat bahwa pemerintah dan bank sentral akan bertindak sebagai pelindung simpanan
masyarakat (deposits protector). Namun, komitmen yang ditanamkan pemerintah/bank sentral
ternyata tidak segera memperoleh kepercayaan sehingga pelarian dana bank terus berlanjut. Hal
ini memaksa Bank Indonesia menyediakan bantuan likuiditas (BLBI) dalam fungsinya sebagai
lender of the last resort dan kemudian diperkuat lagi oleh dukungan skim penjaminan menyeluruh
(blanket guarantee scheme) dari Pemerintah. Strategi ini kemudian dapat meredam kepanikan yang
terjadi secara berangsur-angsur.

2. Strategi penyelesaian masalah solvabilitas bank

Krisis yang berkepanjangan mengakibatkan hampir seluruh perbankan nasional mengalami


masalah kekurangan permodalan yang sangat parah. Menghadapi perkembangan ini, strategi yang
ditempuh untuk menangani bank bermasalah, khususnya yang mempunyai kewajiban kepada
Pemerintah/Bank Indonesia dalam bentuk BLBI, pada awalnya adalah dengan membentuk Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan melakukan rekapitalisasi, sementara atas kredit dan
debitur bermasalah ditangani melalui pembentukan Asset Management Unit (AMU).

3. Strategi pemberdayaan perbankan

Strategi pemberdayaan perbankan yang pada dasarnya berupaya mendorong internal


governance bank yang sehat dan penciptaan lingkungan eksternal yang kondusif belum
tergambarkan dengan jelas. Hingga saat ini, langkah-langkah yang telah ditempuh dititikberatkan
kepada upaya mendorong penciptaan disiplin pasar dan peningkatan kompetisi antara melalui
penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aspek pengurangan cakupan
rahasia bank, penghapusan batasan kepemilikan oleh asing, dan perlakuan yang sama atas bank
asing/campuran. Dari aspek supervisi, strategi yang ditempuh adalah memperkuat wewenang Bank
Indonesia sebagai otoritas perbankan dengan mengalihkan wewenang perizinan bank dari
Departemen Keuangan ke Bank Indonesia. Selain itu, dilakukan pula penyempurnaan ketentuan
kehati-hatian yang terkait dengan perluasan kualitas aktiva produktif dan penyisihan penghapusan
aktiva produktif sesuai dengan standar perbankan internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, H. 1998. Restrukturisasi Perbankan Dan Dampaknya Terhadap Pemulihan Kegiatan
Ekonomi Dan Pengendalian Moneter. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 1(3),
121145.

Dewi, L. S. 2018. Satuan Acara Perkuliahan Seminar Manajemen Bank. www.slideplayer.co.id


Diakses pada tanggal 14 Februari 2023.

Mudrajad Kuncoro & Suhardjono. 2019. Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Nurul Ichsan. 2014. Pengantar Perbankan. Tangerang: Gaung Persada.

Sipahutar, M. A. 2007. Persoalan-persoalan perbankan Indonesia. Niaga Swadaya.

Anda mungkin juga menyukai