Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Teoritis Medis


2.1.1 Anatomi Fisiologis
2.1.1.1 Anatomi Sistem Pencernaan

Gambar 2.1. Anatomi sistem pencernaan


(Sumber: Sridianti, 2013)

Menurut Pierce (2011), “sistem pencernaan berurusan


dengan penerimaan makanan dan mempersiapkannya untuk
diasimilasi tubuh. Saluran pencernaan terdiri atas bagian-
bagian berikut: mulut, faring, esophagus, kerongkongan,
lambung, ventrikulus, usus halus dan usus besar”.

Menurut Suratun dan Lusianah dalam buku Asuhan


Keperawatan Gastrointestinal (2010), Menyatakan “sistem
pencernaan terdiri dari cavum oris, dentis, faring, esophagus,
gaster, intestine tenue, intestine crasum, dan rektum. Selain
itu dibahas juga hepar, kandung empedu, dan pancreas”.

7
8

2.1.1.2 Fisiologi Sistem Pencernaan


a. Oris (Mulut)
Mulut terdiri dari: bibir, lidah, gigi, kelenjar ludah.
Terdapat pula kelenjar submandibularis, parotis,
sublingualis, dan sedikit bucalis. Sekresi mulut
berfungsi untuk meningkatkan pencernaaan zat tepung,
mengatur pemasukan cairan, merangsang nafsu makan
dengan cara melarutkan bahan sehingga kontak dengan
bintik-bintik rasa dan melicinkan makanan agar mudah
ditelan.
b. Dentis (Gigi)
Gigi dewasa (gigi sekunder) terdapat 32 buah
sedangkan gigi primer/gigi susu pada anak-anak
terdapat 20 buah. Pada umumnya gigi susu mulai
tanggal (lepas) dan diganti gigi sekunder sekitar 6-7
tahun dan selesai umur 12 tahun.
c. Lingua (Lidah)
Lidah tersusun oleh otot-otot serat lintang dan dilapisi
oleh selaput lendir. Otot lidah dapat digerakkan ke
seluruh arah. Lidah tersusun oleh 3 komponen yaitu:
1) Radiks lingua (Pangkal lidah)
2) Dorsum lingua (Punggung lidah)
3) Apeks lingua (ujung lidah)
a) Otot-otot lidah
b) Saliva (kelenjar liur)
d. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga
mulut dengan kerongkongan dan merupakan peralihan
rongga mulut dan system pernafasan serta system
pencernaan. Saluran ototnya dilapisi dengan selaput
lendir. Lengkung faring mengandung tonsil yang
9

merupakan kumpulan kelenjar limfe. Kelenjar limfe


tersebut mengandung limfosit dan berfungsi dalam
pertahanan terhadap infeksi. Dalam faring terdapat
sfingter pharingoesofageal yang berfungsi mencegah
makanan dari esophagus masuk faring.
Lapisan dinding faring terdiri dari 3 bagian yaitu:
1) Lapisan mukosa
2) Lapisan fibrosa
3) Lapisan berotot
e. Esofagus (kerongkongan)
Esofagus terdiri dari saluran muskuler dan lentur yang
dipengaruhi oleh tekanan intrathorakal dan
intraabdomen. Esofagus adalah saluran yang
menghubungkan tekak dengan lambung. Panjangnya
±25 cm dengan diameter 1 inchi, terletak di bagian
posterior jantung dan trachea, anterior vertebrae dan
menembus hiatus hernia tepat di anterior aorta.
Fungsi esophagus adalah menggerakkan makanan dari
faring ke lambung melalui gerakan peristaltic. Mukosa
esophagus memproduksi sejumlah besar mucus untuk
melumasi makanan dan melindungi esophagus.
f. Gaster (Lambung)
Lambung terletak dibagian superior kiri rongga
abdomen, terletak obliq dari kiri ke kanan di bawah
diafragma, berbentuk tabung seperti huruf J dengan
kapasitas normal 2 liter. Secara anatomis, lambung
terdiri fundus, korpus, antrum pilorikum (pylorus),
kurvatura minor, sfingter cardia (mengalihkan makanan
masuk ke lambung dan mencaegah fefluks isi lambung
masuk ke esophagus), kardia dan sfingter pylorus
(mencegah aliran balik isi duodenum ke lambung).
1

Struktur lambung memiliki lapisan-lapisan. Susunan


lapisan dari dalam keluar, terdiri dari:
1) Tunika serosa (luar)
2) Tunika mukosa
3) Sub mukosa
4) Mukosa (lapisan dalam)
Fungsi lambung adalah sebagai berikut:
1) Menampung makanan, menghancurkan,
menghaluskan makanan dengan gerakan peristaltik
lambung dan getah lambung dan mengosongkan
lambung.
2) Menghasilkan getah cerna lambung yang
mengandung pepsin (berfungsi mencegah albumin
dari pepton menjadi asam amino), HCL berfungsi
mengasamkan makanan, antiseptic dan desinfektan,
dan merubah pepsinogen menjadi pepsin serta
merangsang pengeluaran empedu di usus dan
mengatur katup sfingter pylorus.
3) Memproduksi renin.
4) Mensintesis dan mensekresi gastrin.
5) Mensekresi bikarbonat yang bersama-sama mukus
melindungi dinding lambung terhadap autodigesti
oleh pepsin dan asam lambung.
g. Intestine Tenue (Usus halus)
Usus halus merupakan saluran yang berlipat-lipat,
terletak di umbilicus, dengan diameter ± 2,5 cm dan
panjang 3-5 m. Berdasarkan fungsinya usus halus, di
bagi menjadi:
1) Duodenum : panjangnya ¼ m.
2) Jejenum : panjangnya 7 m.
3) Ileum : panjangnya 1 m.
1

Lapisan dinding usus terdiri dari:


1) Lapisan luar.
2) Lapisan berotot.
3) Mukosa.
4) Dinding submukosa.
h. Pergerakan usus halus
Normalnya gerakan usus halus ke arah anal yang terdiri
dari:
1) Kontraksi tonik: 12 x/m di jejenum sampai dari
ileum ± 9x/m bertujuan untuk mengabsorbsi atau
mencampur dan menambah pergerakan dengan
mukosa.
2) Gerak segmentasi: gerakan kontraksi muskulus
sirkularis untuk mencampur dan menambah
pergeseran dengan mukosa.
3) Geak pendulum/ayunan: merupakan gerak
memanjang dan memendek kontraksi muskulus.
Longitudinal usus untuk mencampur kimus.
4) Gerak peristaltik: gerak mendorong/ menggerakkan
kimus sepanjang usus. Respon terhadap regangan
ini disebut “Refleks Mienterik”.
5) Gerak vili: vili bergetar dipengaruhi oleh “Hormon
Vilikinin” (disekresi mukosa usus).
Faktor-faktor yang mengubah gerakan usus antara lain
ostruksi usus,kurangnya aliran darah,empedu yang
berlebihan, makanan yang mengandung banyak
selulosa dan stimulasi parasimpatis (kraniosakral)
menstimulasi kontraksi, sedangkan saraf simpatik
mengistirahatkan. Kosongnya usus halus:
normalnya4,5-9 jam sesudah makan.
1

i. Intestinum Crasum (Usus Besar)


Usus besar terdiri dari caccum (2-3 inchi pertama
kolon). Colon (asenden, tranversum, desenden,
sigmoid), rectum (sfingter ani). Fungsi usus besar yaitu
mengabsorbsi air dan elektrolit dari kimus tempat
terjadinya proses pembusukan, tempat pembentukan
vitamin K, terdapat sfingter ileosekal yang yang
membatasi usus halus dan usus besar yang berfungsi
untuk menjaga makanan yang sudah masuk ke dalam
usus besar.
1) Pergerakan usus besar meliputi :
a) Gerakan hautrasi/mencampur. Pergerakan
lambat seperti diaduk dan diputar.
b) Gerakan massa/ mass movement. Gerakan
mendorong, menetap (10-30 menit).
2) Sekresi kolon
Kriptus liberkuhn mengandung banyak sel goblet
yang berfungsi untuk mensekresi mukus dan tidak
ada enzimnya.
Mukus tersebut berfungsi melindungi mukosa dari
bakteri dan perekat bahan feses. Gerakan dinding
ususbesar terdiri dari gerakan haustrasi dan
peristaltik.
3) Absorpsi kolon
Terdapat sekitar ± 500 – 1000 mi/hari kimus yang
masuk ke kolon. Hanya ± 600 ml yang diabsorpsi,
± 100 -200 ml akan dikeluarkan bersama feses.
4) Kerja bakteri
Bakteri komensal (sehat) dalam kolon berfungsi
menerima sejumlah kecil selulosa, dan bila
1

terdapat sisa protein berperan dalam proses


pembusukan.
5) Defekasi
Rangsangan defekasi terjadi karena membesarnya
rectum oleh kumpulan feses, kontraksi otot di
dinding abdomen dan otot pelvis, adanya gerakan
peristaltik usus dan terangsangnya saraf sensori
dalam rectum. Muskulus sfingter ani tidak akan
membuka bila fesesnya sedikit.
j. Apendiks vermiformis
Apendiks mempunyai kedudukan yang tidak tetap di
dalam rongga abdomen. Posisi pangkal apendiks
dengan sekum relative konstan, sedangkan ujung
apendiks dapat berada pada posisi retrosekal, pelvikal,
subsekal, preileal atau parokolika kanan.
Apendiks juga berperan sebagai immune pada system
gastrointestinal. Sekresi immunoglobin A diproduksi
oleh Gut Asso-ciated Lymphoid Tiissue (GALD) yang
berfungsi untuk mencegah proliferasi bakteri,
netralisasi virus, dan mencegah penetrasi enterotoksin
dan antigen intestinal lainnya. Bila terjadi inflamasi
pada otot apendiks maka kontraksi apendiks akan
terganggu.
k. Rektum
Panjangnya 10-13 cm, tersusun oleh sfingter ani
internus dan sfingter ani eksternus (otot sadar) serta
pleksus hemmoroidalis (anyaman pembuluh darah).
Rektum dapat berkontraksi yang aktivitasnya dapat
menimbulkan terjadinya defekasi. Panjang rektum
bervariasi menurut umur :
1) Infant : 2,48 cm.
1

2) Toddler : 4 cm.
3) Prasekolah :7,6 cm.
4) Sekolah :10 cm.

2.1.2 Definisi
Peritonitis adalah Inflamasi peritonium-lapisan membran serosa
rongga abdomen dan meliputi viresela. Biasanya, akibat dari infeksi
bakteri. Organnisme yang berasal dari penyakit saluran
gagastrointestinal atau pada wanita dari organ reproduktif internal
(Nurarif dan Kusuma, 2015).

Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang merupakan


komplikasi berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ-organ
abdomen (apendiksitis, pankreatitis, dan lain-lain) rupture saluran
cerna dan luka tembus abdomen (Padila, 2012).

Peritonitis adalah inflamasi peritonium yaitu lapisan membrane


serosa rongga abdomen dan meliuti visera merupakan penyulit
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun
kronis/kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri
lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum
inflamasi (Rudi, 2012)

Peritonitis is one of the most common cause of acute abdomen,


which is an abdominal emergency. Peritonitis is usually
accompanied by bacteremia or sepsis that can cause mortality. The
objective of this study was to know something that associated with
peritonitis in order to prevent and to respond immediately to this
case. This retrospective descriptive study was conducted from
September 2014 to October 2014 using a total sampling technique.
Data was taken from cases of hospitalized patients with peritonitis in
Surgery Ward of RSUP Dr. M. Djamil Padang, selected by on
inclusion and exclusion criteria. There were 98 medical records by
the period from 1st of January 2013 to 31th of December 2013.
(Aiwi, 2016).
1

Peritonitis prevalence in men (68,4%) was higher than women


(31,6%). Most common age group is 10-19 years old (24,5%).
Secondary peritonitis due to perforation of the appendix is the most
common type of peritonitis (53,1%). Most patients with peritonitis
get a surgical procedure of exploratory laparotomy and
appendectomy (64,3%). Most hospitalization length was 4-7 days
(45,9%). The frequency of peritonitis patients based on conditions
when discharged from hospital is mostly alive (85,7%).Conclusion
from this study is that peritonitis may be influenced by age, sex,
cause of peritonitis, the surgical procedure, hospitalization, and
condition when discharged from hospital (Aiwi, 2016).

Terjemahan peritonitis adalah salah satu penyebab paling umum dari


perut akut, yaitu keadaan darurat abdomen. Peritonitis biasanya
disertai oleh bakterimia atau sepsis yang dapat menyebabkan
kematian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sesuatu
yang berhubungan dengan peritonitis untuk mencegah dan segera
merespons kasus ini. Penelitian deskriptif rektrospektif ini dilakukan
dari bulan september 2014 sampai oktober 2014 dengan
menggunakan teknik sampling total. Data diambil dari kasus pasien
gawat rawat jalan yang dirawat dirumah sakit RS bedah Dr. M.
Djamil padang, dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi. Ada
98 catatan medis oleh priode dari 1 januari 2013 sampai 31 desember
(aiwi, 2016).

Prevalensi peritonitis pada pria (68,4%) lebih tinggi dari pada wanita
(31,6%) kelompok usia paling umum adalah 10-19 tahun (24,5%),
peritonitis sekunder jenis peritonitis yang paling umum (53,1%)
sebagian besar rawat inap 4-7 hari (45,9%) frekuensi pasien
peritonitis berdasarkan kondisi ketika dari rumah sakit sebagian
besar hidup (85,7%). Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa
peritonitis dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, penyebab
peritonitis, prosedur operasi, rawat inap dan kondisi saat dikeluarkan
dari rumah sakit (aiwi, 2016).
1

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum dan mungkin disebabkan


oleh bakteri (misalnya dari perforasi usus) atau akibat pelepasan
iritan kimiawi, misalnya empedu, asam lambung, atau enzim
pancreas (Brooker, 2009).
Klasifikasi
2.2.2.1. Peritonitis Primer
Peritonitis terjadi tanpa adanya sumber infeksi dirongga
peritoneum, kuman masuk kedalam rongga peritoneum
melalui aliran darah / pada pasien perempuan melalui
genital
2.2.2.2. Peritonitis Sekunder
Terjadi bila kuman kedalam rongga peritoneum dalam
jumlah yang cukup banyak
2.2.2.3. Peritonitis karena pemasangan benda asing kerongga
peritoneum misalnya pemasangan kateter.
Kateter ventrikula – peritoneal
Kateter peritoneal – jugular
(Padila, 2012).

2.1.3 Etiologi
Penyebab peritonitis menurut (Hughes, 2012) adalah :
2.1.3.1. Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran
gastrointestinal
b. Appendicitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptic (lambung/duodenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukak disentri amuba / colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
1

h. Diverticulitis (radang usus)


Kuman yang paling sering ialah bakteri coli, streptokokus U
dan B hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang
paling berbahaya adalah clostrdiumwechii.
2.1.3.2. Secara langsung dari luar
a. Operasi yang tidak steril
b. Tercontaminasi talcum venetum, lycopodium,
sulfonamide, terjadi peritonitis yang disertai
pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon
terhadap benda asing, disebut juga peritonitis
granulomatosa serta merupakan peritonitis local.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupture limpa dan
rupture hati
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius
vermikularis, terbentuk pula peritonitis granulomatous.
2.1.3.4 Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit
akut seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis
media, mastoiditis, glomerulonephritis, penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokukus.

2.1.4 Patofisiologi
Awalnya mikroorganisme masuk kedalam rongga abdomen adalah
steril tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri.
Akibatnya timbul edema jaringan dan pertahanan eksudat. Cairan
dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan bertambahnya
sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak. Respon
yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotilitas, di ikuti oleh
ileus paralitik dengan penimbunan udara dan cairan didalam usus
besar.
1

Timbulnya peritonitis peradangan menimbulkan akumulasi cairan


karena kapiler dan membrane mengalami kebocoran. Jika defisit
cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius,
sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan
banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginja. Takikardi
awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu
terjadi hipovolemia.

Organ-organ di dalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen


mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh
darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan
didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem
seluruh organ intraperitoneal dan oedem dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia bertambah
dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih
lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha
pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis
umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktifitas peristaltic
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi
atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan
oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus
yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus
dan mengakibatkan obstruksi usus.
1

Peritonitis adalah komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat


penyebaran infeksi. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh
bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah
(abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang menempel
menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi (Padila, 2012).
2

Pathway Peritonitis

Mikroorganisme, apendiksitis, tukak


Inflamasi pada
peptic, disentri, divertilikus dan
peritoneum
operasi yang tidak steril

Peritonitis

Depolarisasi bakteri Pelepasan berbagai mediator kimiawi Perangsangan pirogen


dan virus kesistem GE (histamine, bradikin, serotonin) di hipotalamus

Gangguan pada lambung Menyebabkan edema pada dinding abdomen Memicu pengeluaran prostaglandin
(meningkatkan HCI)
Pengumpulan cairan di rongga peritoneum
Memacu kerja thermostat
hipotalamus
Reaksi mual dan muntah Kehilangan sejumlah besar Merangsang saraf
cairan perasa nyeri
Suhu tubuh meningkat
Ketidak seimbangan nutrisi Distensi abdomen
Dehidrasi
kurang dari kebutuhan tubuh ke paru Nyeri Hipertermi

Kekurangan volume Ketidakefektifan


cairan pola napas

Gambar 2.2 Pathway Peritonitis

(Sumber: Padila, 2012)


2

2.1.5 Manifestasi Klinis (Suratun dan Lusianah, 2010).


2.1.5.1 Ransangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan
defans muskular : akibat adanya darah dalam cavitas
peritonium.
2.1.5.2 Psoas sign positif, tenderness pada palpasi (pada saat
pemeriksaan pasien, posiis lutut sebaikanya lebih tinggi
agar dinding abdomen lebih relaks).
2.1.5.3 Pekak hati bisa menghilang: udara bebabs di bawah
diafragma.
2.1.5.4 Peristaltik usus menurun sampai dengan hilang.
2.1.5.5 Hipertermia, hipotermia (sepsis berat)
2.1.5.6 Takikardia ( terjadi akibat mediator inflamasi dan
hipovolemia vaskuler karena anoreksia dan vornitus,
demam serta hilangnya sepertiga ruang peritoneal).
2.1.5.7 Muntah, proses patologis organ visceral (obstruksi usus)
secara sekunder akibat iritasi peritoneal.
2.1.5.8 Keluahn nyeri sepertI pada setiap gerakan seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan.
2.1.5.9 Klien mengeluh muntah dan merasa nyeri tumpul di
perutnya.
2.1.5.10 Terdapat abses
2.1.5.11 Dehidrasi berat, kehilangan cairan dan elektrolit, hipotensi
(dehidrasi yang progresif)
2.1.5.12 Syok (ditandai dengan tanda-tanda syok: mencakup TD
yang rendah, nadi abnormal, dan kulit sianosis)
2.1.5.13 Letargik
2.1.5.14 Kegagalan paru-paru, ginjal atau hati dan bekuan darah
yang menyebar.
2

2.1.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari peritonitis adalah : gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, sesak napas akibat desakan
distensi abdomen ke paru, pembentukan luka dan pembentukan
abses (Rudi, 2012).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


2.1.7.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. Complete Blood Count (CBC). Dapat terjadi
leukositosis karena adanya infeksi intraabdomen
(lekosit > 20.000 sel/ul) terjadi leukopenia pada pasien
yang mengalami penurunan daya tahan tubuh yang
menderita infeksi jamur, serta cytomegalovirus, sel
darah merah meningkat (hemokonsentrasi)
b. Tes fungsi hati jaka ada dugaan gangguan liver,
peningkatan SGOT/SGPT
c. Serum amilase dan lipase meningkat jika adanya
dugaan pankreatitis.
d. Serum protein/albumin, menurun, karena keluar ke
intersisiel.
e. Elektrolit serum : hipokalemia
f. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada
saluran kemih
g. Analisa gas darah: asidosis metabolik dan alkolisis
respiratorik.
2.1.7.2 Radiografi abdomen, dapat terjadi distensi usus dengan
akumulasi cairan, distensi gas pada abdomen karena ada
udara bebas pada abdomen, penebalan lumen, ileus paralitik,
dan terdapat perforasi usus, radiografi kemungkinan
terdapat elevagi diaphragma.
2

2.1.7.3 USG pelvis, mendiagnosa peritonitis yang disebabkan oleh


ruptur apendiks.
2.1.7.4 Parasintesis abdomen, bertujuan untuk mengambil sampel
cairan peritonium.
2.1.7.5 CT Scan, scintigrafhy, MRI
(Suratun dan Lusianah, 2010)

2.1.8 Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan pasien peritonitis penggantian cairan, koloid
dan elektrolit adalah focus utama. Analgetik diberikan untuk
mengatasi nyeri antiemetic dapat diberikan sebagai terapi untuk
mual dan muntah. Terapi oksigen dengan kanul nasal atau masker
akan meningkatkan oksigenasi secara adekuat, tetapi kadang-kadang
intubasi jalan napas dan bentuk ventilasi diperlukan. Terapi
medikamentosa nonoperatif dengan terapi antibiotic, terapi
hemodinamik untuk paru dan ginjal, terapi nutrisi dan metabolic dan
terapi modulasi respon peradangan.

Penatalaksanaan pasien trauma tembus dengan hemodinamik stabil


di dada bagian bawah atau abdomen berbeda-beda namun semua ahli
bedah sepakat pasien dengan tanda peritonitis atau hipovolemia
harus menjalani eksplorasi bedah, tetapi hal ini tidak pasti bagi
pasien tanpa tanda-tanda sepsis dengan hemodinamik stabil.Semua
luka tusuk di dada bawah dan abdomen harus di eksplorasi terlebih
dahulu. Bila luka menembus peritoneum maka tindakan laparatomi
diperlukan. Prolapse visera, tanda-tanda peritonitis, syok, hilangnya
bising usus, terdapat darah dalam lambung, buli-buli dan rectum,
adanya udara bebas intraperitoneal dan lavase peritoneal yang positif
juga merupakan indikasi melakukan laparatomi. Bila tidak ada,
pasien harus di observasi selama 24 – 48 jam. Sedangkan pada
2

pasien luka tembak dianjurkan agar dilakukan laparatomi (Rudi,


2012)

2.2 Tinjauan Teoritis Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus


2.2.1 Pengkajian
2.2.1.1 Aktivitas/istirahat
a. Kelemahan
b. Kesulitan ambulasi
2.2.1.2 Sirkulasi
Takikardia, diaphoresis, pucat, hipotensi (tanda-tanda syok),
edema jaringan.
2.2.1.3 Eliminasi
a. Ketidak mampuan untuk defekasi, diare
b. Cegukan, distensi abdomen, bising usus menurun,
menurunnya uot put urine, urine berwarna gelap,
menurun atau tidak adanya bising usus, kadang-kadang
bunyi bising usus meningkat dan keras.
2.2.1.4 Makanan/cairan
a. Anoreksia, muntah, haus
b. Muntah, membran mukosa kering, turgor kulit lemah,
lidah yang membengkak
2.2.1.5 Nyeri
a. Nyeri abdomen akut, hebat/berat, umum atau
terlokalisasi, menyebar kebahu, dan bertambah nyeri
dengan pergerakan.
b. Distensi, kaku, nyeri lepas, perilaku distraksi gelisah,
fleksi lutut.
2.2.1.6 Respirasi : pernafasan dangkal, takipne
2.2.1.7 Kenyaman
a. Keluhan nyeri yang tiba-tiba, sakit yang sangat hebat
pada perut, nyeri lepas pada perut, nyeri lokal/umum
2

b. Demam menggigil

2.2.1.8 Keamanan
Riwayat inflamasi organ pelvis, infeksi puerpuralis, aborsi
sepsis, abses retroperitneal.
2.2.1.9 Pengajaran/pembelajaran
Riwayat trauma dengan penetrasi abdomen seperti trauma
abdomen, perforasi kandung kemih/kandung empedu,
perforasi Ca lambung, ulkus deudenum, hernia starngulasi.
(Suratun dan Lusianah, 2010)

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


2.2.2.1 Nyeri akut berhubungan dengan agens-agens penyebab
cedera (misalnya, biologis, kimia, fisik, dan psikologis)
2.2.2.2 Hipertemi berhubungan dengan dehidrasi, penyakit atau
trauma, ketidakmampuan atau penurunan kemampuan
untuk berkeringat
2.2.2.3 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
(actual/risiko) berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan atau mencerna makanan atau menyerap nutrient
akibat faktor biologis, psikologis, atau ekonomi
2.2.2.4 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif, kegagalan mekanisme pengaturan,
asupan cairan yang tidak adekuat sekunder
2.2.2.5 Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ansietas,
hiperventilasi, obesitas, nyeri, kelelahan otot-otot
pernapasan
2.2.3 Intervensi Keperawatan
2.2.3.1 Nyeri akut berhubungan dengan agens-agens penyebab
cedera (misalnya, biologis, kimia, fisik, dan psikologis)
a. Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria) :
2

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 15


menit Maka klien mampu toleransi terhadap nyeri dan
mengontrol nyeri dengan kriteria hasil :
1) Data subjektif : klien mengatakan / melaporkan
nyeri berkurang
2) Data objektif : ekspresi wajah tampak rileks, skala
nyeri (0-3).
b. Intervensi keperawatan dan rasional :
1) Observasi kualitas nyeri pasien (skala, frekuensi,
durasi) : mengidentifikasi kebutuhan untuk
intervensi dan tanda-tanda komplikasi
2) Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien : pengalaman nyeri akan
menaikan resistensi terhadap nyeri
3) Pertahankan posisi semi fowler sesuai indikasi :
memudahkan drainase cairan / luka karena
gravutasi dan membantu meminimalkan nyeri
karena gerakan
4) Berikan tindakan kenyamanan, contoh pijatan
punggung, napas dalam, latihan relaksasi atau
visualisasi : meingkatkan relaksasi dan mungkin
meningkatkan kemampuan koping pasien dengan
memfokuskan kembali perhatian.
5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
analgetik : nyeri biasanya berat dan memerlukan
pengontrol nyeri narkotik, analgetik, dihidrasi dari
proses diagnosis karena dapat menutupi gejala.
2.2.3.2 Hipertemi berhubungan dengan dehidrasi, penyakit atau
trauma, ketidakmampuan atau penurunan kemampuan
untuk berkeringat
a. Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria) :
2

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam


Maka suhu tubuh klien mulai normal dengan kriteria
hasil:
1) Warna kulit normal
2) Suhu tubuh normal seperti semula
Data subjektif : klien mengatakan tidak demam
Data objektif : suhu tubuh normal (36-37oC)
b. Intervensi keperawatan dan rasional :
1) Monitor warna dan suhu kulit : tindakan ini sebagai
dasar untuk menentukan intervensi
2) Berikan kompres hangat pada dahi, ketiak, dan
lipatan paha : kompres hangat memberikan efek
vasodilatasi pembuluh darah, sehingga
mempercepat penguapan tubuh.
3) Anjurkan klien untuk menggunakan pakaian tipis :
untuk mengontrol panas
4) Berikan cairan parental sesuai program medis :
penggantian cairan akibat penguapan panas tubuh
5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
antipiretik : untuk menurunkan panas.
2.2.3.3 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
(actual/risiko) berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan atau mencerna makanan atau menyerap nutrient
akibat faktor biologis, psikologis, atau ekonomi
a. Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria) :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24
jam di harapkan kebutuhan nutrisi teratasi dengan
kriteria hasil:
1) Intake makanan dan cairan
2) Energy
3) Berat badan
2

Data subjekti : klien mengatakan nafsu makan


meingkat
Data objektif : tidak terjadi mual dan muntah,
turgor kulit baik
b. Intervensi keperawatan dan rasional
1) Kaji kebutuhan nutrisi pasien : sebagai informasi
dasar untuk perencanaan awal dan palidasi data
2) Atur posisi semi fowler selama pemberian nutrisi :
menghindari terjadinya muntah
3) Tingkatkan intake pemberian nutrisi dan sajikan
dalam kondisi hangat : untuk meningkatkan intake
dan menghindari mual
4) Tingkatkan intake nutrisi, sedikit tapi sering :
meningkatkan intake makanan
5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
antiemetic : menurunkan mual/muntah yang dapat
meningkatkan tekanan / nyeri intra abdomen
6) Kalaborasi dengan ahli gizi dalam diet : agar dapat
memberikan nutrisi yang tepat pada klien.
2.2.3.4 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif, kegagalan mekanisme pengaturan,
asupan cairan yang tidak adekuat sekunder
a. Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria) :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam
di harapkan klien dapat mempertahankan cairan tubuh
secara adekuat dengan kriteria hasil :
Data subjektif : asupan dan keluaran cairan seimbang,
produksi urin normal
Data objektif : membrane mukosa lembab, tanda-tanda
dehidrasi menurun
2

b. Intervensi keperawatan dan rasional


1) Monitor TTV : membantu dalam mengabservasi
dan mengevaluasi deficit / keefektifan penggantian
terapi cairan dan respon terhadap pengobatan
2) Monitor status dehidrasi kelembaban membrane
mukosa, turgor kulit dan balance cairan : tanda-
tanda tersebut menunjukan kehilangan cairan
berlebih
3) Peratahankan intake dan output yang adekuat :
untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit
4) Kolaborasi untuk pemberian cairan IV : untuk
memperbaiki cairan yang hilang
2.2.3.5 Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ansietas,
hiperventilasi, obesitas, nyeri, kelelahan otot-otot
pernapasan
a. Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria) :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24
jam di harapkan pola napas klien efektif dengan kriteria
hasil :
1) Menunjukan Pola Pernapasan Efektif, yang
dibuktikan oleh status Pernapasan: Status Ventilasi
dan Pernapasan yang tidak terganggu: Kepatenan
Jalan Napas dan tidak ada penyimpangan tanda
vital dari rentang normal.
2) Menunjukan Status Pernapasan : Ventilasi tidak
terganggu, yang dibuktikan oleh indikator
gangguan sebagai berikut (gangguan ekstrem, berat,
sedang, ringan, dan tidak ada gangguan) :
3) Kedalaman inspirasi dan kemudahan bernapas
4) Ekspansi dada simetris
3

5) Menunjukan tidak adanya gangguan Status


Pernapasan: Ventilasi, yang dibuktikan oleh
indikator berikut (gangguan ekstrem, berat, sedang,
ringan, dan tidak ada gangguan) :
a) Penggunaan otot aksesorius
b) Suara napas tambahan
c) Pendek napas
b. Intervensi keperawatan dan rasional
1) Manejemen Jalan Napas : Memfasilitasi kepatenan
jalan napas
2) Pengisapan Jalan Napas : Mengeluaran sektret
jalan napas dengan cara memasukan kateter
penghisap keladam jalan napas oral atau trakea
pasien
3) Manajemen Anafilaksis : Meningkatkan ventilasi
dan perfusi jaringan yang adekuat untuk individu
yang mengalami reaksi alergi berat (antigen-
antibodi)
4) Manajemen Jalan Napas Buatan : Memeliahara
slang endotrakea dan slang trakeostomi serta
mencegah komplikasi yang berhubungan dengan
penggunaannya
5) Manajemen Asma: Mengidentifikasi, mengobati,
dan mencegah reaksi inflamasi/konstriksi di jalan
napas
6) Ventilasi Mekanis : Menggunakan alat buatan
untuk membantu pasien bernapas
7) Penyapihan Ventilator mekanis : Membantu pasien
untuk bernapas tanpa bantuan ventilator mekanis
8) Pemantauan Pernapasan : Mengumpulan dan
menganalisis data pasien untuk memastikan
3

kepatenan jalan napas dan pertukaran gas yang


adekuat
9) Bantuan Ventilasi : Meningkatkan pola pernapasan
stpontan yang optimal sehingga memaksimalkan
pertukaran oksigen dan karbon dioksida di dalam
paru
10) Pemantauan Tanda Vital : Mengumpulkan dan
menganalisis data kardiovaskular, pernapasan, dan
suhu tubuh pasien untuk menentukan dan
menecegah komplikasi.

Anda mungkin juga menyukai