Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

TENAGA KERJA WANITA


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Industri

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 13

Nur Azizah Aini Fitratullah Yusuf K011201048


Muhammad Raid Nabhan K011201091
Faisyah Salsabila Ariyanto K011201139
Angeline Natasha P. K011201185
Amanda Ria A. K011201188

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada saya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Tenaga Kerja Wanita”.
Makalah ini dibuat oleh kami dengan tujuan sebagai pemenuhan tugas
mata kuliah Psikologi Industri dan digunakan sebagai pedoman dalam mencari
sumber-sumber belajar.
Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak terkait, terutama dosen
pembimbing yang telah memberikan penjelasan tentang penulisan tugas ini.
Ucapan terima kasih juga kepada teman-teman yang sudah membantu dalam
menyelesaikan permasalahan yang terdapat dalam penulisan makalah ini.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak luput dari kesalahan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
makalah ini menjadi sempurna. Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini
dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Makassar, 30 Agustus 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
SAMPUL
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Manfaat 3
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Pengertian Tenaga Kerja Wanita 4
2.2 Karakteristik Perlindungan Kerja Tenaga Kerja Wanita 5
2.3 Hambatan dalam Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Wanita 8
2.4 Hak Tenaga Kerja Wanita 11
2.5 Permasalahan antara Pekerja Wanita mengenai Perlindungan Kerja di
Perusahaan 14
BAB III PENUTUP 18
3.1 Kesimpulan 18
3.2 Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengertian tenaga kerja dalam Undang - Undang Nomor 13
Tahun 2003 tersebut menyempurnakan pengertian tenaga kerja dalam
Undang - Undang Nomor 14 tahun 1969 Tentang Ketentuan Ketentuan
Pokok Ketenagakerjaan yang memberika n pengertian “Tenaga Kerja
adalah Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam
maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.” Dari pengertian tersebut, maka
dapat dimaknai secara singkat bahwa tenaga kerja wanita adalah Seorang
perempuan yang mampu melakukan kegiatan atau pekerjaan baik di
dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau
jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, wanita juga memiliki peran dalam pembangunan
ekonomi bangsa. Mengenai perlindungan hukum terhadap TKI, maka telah
ditetapkan beberapa aturan hukum untuk mengatur hal tersebut. Perlindungan
hukum bagi TKI yang bekerja di luar negeri yaitu demi menjamin
kesejahteraan diri dan keluarganya, serta menghilangkan aspek
perdagangan manusia termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban
kekerasan kesewenang - wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat
manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Perlindungan hukum ini berlaku terhadap TKI yang bekerja ke luar
negeri secara umum (berdokumen dan tidak berdokumen). Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia pun telah melindungi para TKI ini, tercantum di
Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Aturan lain mengenai perlindungan kerja terhadap wanita diatur dalam
Pasal 76 Ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan memberikan beberapa keringanan kepada pekerja
atau buruh

1
perempuan. Keringanan ini diberikan untuk melindungi pekerja atau buruh
perempuan karena secara kodrati perempuan mempunyai tugas dan fungsi lain
yang lebih mempunyai tugas dan fungsi lain yang lebih penting dalam
masyarakat yaitu reproduksi. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang
dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara Pukul 23.00 sampai
dengan 07.00. Pengusaha dilarang memperkerjakan pekerja/buruh perempuan
hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara Pukul
23.00 sampai dengan 07.00. Pengusaha yang memperkerjakan pekerja/buruh
perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00 wajib: Memberi makanan
dan minuman bergizi ini dalam prakteknya tidak sesuai, karena makanan dan
minuman berupa puding (pencuci mulut) yang tidak memenuhi 1.400 kalori.
Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. Pengusaha wajib
menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang
berangkat dan pulang kerja antara Pukul 23.00 sampai dengan 05.00.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tenaga kerja wanita?
2. Bagaimana karakteristik perlindungan kerja terhadap tenaga kerja wanita?
3. Apa saja hambatan dalam perlindungan hukum terhadap tenaga kerja
wanita?
4. Apa saja hak tenaga kerja wanita?
5. Bagaimana permasalahan yang timbul antara pekerja wanita dengan
perusahaan mengenai perlindungan kerja?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian tenaga kerja wanita
2. Untuk mengetahui karakteristik perlindungan kerja terhadap tenaga kerja
wanita
3. Untuk mengetahui hambatan dalam perlindungan hukum terhadap tenaga
kerja wanita
4. Untuk mengetahui hak tenaga kerja wanita

2
5. Untuk mengetahui permasalahan yang timbul antara pekerja wanita
dengan perusahaan mengenai perlindungan kerja
1.4 Manfaat
1. Menambah wawasan bagi penulis maupun pembaca mengenai tenaga kerja
wanita
2. Mengetahui permasalahan maupun hal lebih rinci mengenai tenaga kerja
wanita
3. Mengetahui perlindungan kerja tenaga kerja wanita

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tenaga Kerja Wanita
Adanya jaminan yang dituangkan di dalam Undang-undang Dasar
1945Pasal 27 ayat (2) berbunyi sebagai berikut: “Tiap-tiap warga Negara
berhak atas pekerjaan dan perlindungan yang layak bagi kemanusiaan.”
Memberikan kesempatan kepada seluruh warga negara untuk ikut serta dalam
pembangunan tanpa diskriminasi baik laki-laki maupun perempuan berhak
mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan perlindungan. Secara yuridis Pasal
5 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
memberikan perlindungan bahwa Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan
yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” Ketentuan Pasal
5 ini membuka peluang kepada perempuan untuk memasuki semua sektor
pekerjaan, dengan catatan bahwa ia mau dan mampu melakukan pekerjaan
tersebut.
Dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan yang dimaksud dengan ”Ketenagakerjaan adalah
segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama dan sesudah masa kerja.” Dan di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa
tenaga kerja adalah “Setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
masyarakat.” Pengertian tenaga kerja dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tersebut menyempurnakan pengertian tenaga kerja dalam
UndangUndang Nomor 14 tahun 1969 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok
Ketenagakerjaan yang memberikan pengertian “Tenaga Kerja adalah Setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar
hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.”1 Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa
pengertian tenaga kerja perempuan adalah Seorang perempuan yang mampu
melakukan kegiatan/pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja

4
guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun kebutuhan masyarakat.
2.2 Karakteristik Perlindungan Kerja Tenaga Kerja Wanita
1. Pada dasarnya hak dan kewajiban bagi tenaga kerja adalah sama,
baik tenaga kerja wanita maupun tenaga kerja pria. Seperti halnya yang
telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 1, yaitu “tiap-tiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan tanpa terkecuali”. Kemudian juga ditindaklanjuti dengan
Undang- undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu
kesamaan hak tenaga kerja dapat dilihat dari beberapa bentuk seperti:
2. Ketentuan Jam Kerja
Pengertian tentang ketentuan jam kerja adalah suatu ketentuan
waktu yang telah dibakukan dan ditetapkan oleh organisasi atau
perusaahan tertentu dengan memperhatikan kepada kesepakatan dari yang
telah dibuat oleh kedua belah pihak, yaitu antara pihak yang
memperkerjakan tenaga kerja dengan pihakyang diperkerjakan yakni unsur
tenaga kerja itu sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, pada Pasal 76 ayat (1) telah menjelaskan
bahwa, “Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan
belas) tahun dilarang untuk dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00 WIB”. Ini berarti durasi waktu kerja bagi tenaga kerja
perempuan yang berumur 14-18 tahun dibatasi untuk tidak boleh bekerja
melebihi dari pukul 23.00.
Dalam Pasal 76 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan
dijelaskan bahwa, “Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib untuk
memberikan makanan dan minuman yang bergizi dan menjaga kesusilaan
dan keamanan selama di tempat kerja. Pasal ini tentunya dapat terlihat
dengan adanya tanggung jawab dari pemerintah terhadap tenaga kerja
wanita melalui peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 76 ayat (4)
menjelaskan bahwa, bagi pengusaha wajib menyediakan angkutan antar

5
jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. Dari ketentuan diatas
terlihat pada kenyataannya masih banyak perusahaan-perusahaan yang
mempekerjakan pekerja/buruh melebihi ketentuan tersebut.
3. Waktu Kerja dan Jam Istirahat
Perlindungan pemerintah terhadap tenaga kerja wanita terlihat
melalui ketentuan mengenai adanya batasan jam kerja yang diatur dalam
UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Ketanagakerjaan yaitu pasal 77
ayat (2) menjelaskan waktu kerja tenaga kerja wanita sebagaimana yang di
maksud meliputi: 1) 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1
(satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1(satu) minggu, atau 2) 8
(delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Dari penjelasan pasal 77 diatas dapat terlihat bahwa perusahaan
boleh mempekerjakan pekerja/buruh dalam satu hari hanya 7-8 jam, boleh
mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja asal memenuhi syarat.
Pertama, harus ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan. Kedua,
perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
maka wajib untuk membayar upah lembur dan waktu kerja lembur hanya
dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14
(empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Ketentuan jam lembur ini
dijelaskan dalam UU No.13 tahun 2003 Pasal 78 ayat 1 dan 2.
4. Cuti Pekerja Wanita
Pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada
pekerja/buruh, hal ini sesuai penjelasan UU No.13 Tahun 2003 yaitu Pasal
79 ayat 1. Sedangkan waktu istirahat dan cuti yang harus diberikan oleh
perusahaan kepada pekerja/buruh menurut Pasal 79 ayat 2 sebagai berikut:
Pertama, istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam
setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat
tersebut tidak termasuk jam kerja. Kedua, istirahat mingguan 1 (satu) hari
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5

6
(lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Ketiga, cuti tahunan
sekurangkurangnya 12 (dua belas) hari kerja, yang bersangkutan bekerja
selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. Keempat, istirahat
panjang sekurang- kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bagi pekerja/buruh yang
telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus- menerus pada
perusahaan yang sama pada ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak
lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya
berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, telah menunjukkan
bagaimana upaya pemerintah, khususnya pemerintah kota dalam
melakukan perlindungan terhadap tenaga kerja, salahsatuupaya pemerintah
adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan.
5. Pengawasan Pemerintah Terhadap Penggunaan Tenaga Kerja Wanita
Melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pemerintah telah diberikan amanah untuk mengawasi
penggunaan tenaga kerja wanita di perusahaan-perusahaaatau unit-unit
usaha lainnya. Dalam hal pengawasan ini pemerintah memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pengawasan
terhadap penggunaan tenaga kerjaoleh perusahaan-perusahaan di daerah,
hal ini dilaksanakan oleh Dinas Tenaga Kerja Pemerintah Daerah Kota
setempat. Pemerintah Kota juga bisa memberikan sanksi terhadap
perusahaan-perusahaan yang tidak memberikan hak-hak dari tenaga kerja
wanita ini serta perusahaan-perusahaan yang tidak memperhatikan
prosedur dan persyaratan dalam penggunaan tenaga kerja wanita seperti
menggunakan tenaga kerja wanita di malam hari. Pemberikan sosialisasi
dalam bentuk penyuluhan-penyuluhan terhadap tenaga kerja wanita dan
perusahaan-perusahaan yang menggunakan tenaga kerja wanita tentang
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
sehingga diharapkan semua komponen yang terkait dengan penggunaan
tenaga kerja wanita ini akan dapat mengetahui dan lebih memahami

7
tentang substansi dari Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai wujud
nyata dari perlindungan pemerintah terhadap tenaga kerja wanita.
Sehingga hak-hak dari tenaga kerja wanita akan dapat terlindungi dan
masalah-masalah yang terkait dengan tenaga kerja wanita ini akan dapat
diminimalkan.
2.3 Hambatan dalam Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Wanita
Resiko kerja diperusahaan tentunya akan merugikan pengusaha, baik
kerugian berupa materi maupun kerugian moral. Selain merugikan pengusaha
resiko kerja di perusahaan pun merupakan kergian juga bagi pekerja. Kendala
dari pengusaha. Pengusaha yang dianggap paling kuat kedudukannya
dibandingkan pekerja, cenderung melakukan penyimpangan terhadap
ketentuan-ketentuan yang berlaku. Adapun bentuk penyimpangan yang
dilakukan pengusaha dikarenakan masih adanya pengusaha yang kurang
menyadari manfaat dari dilaksanakannya peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi perusahaannya maupun bagi pekerja itu sendiri.
Sebagai contoh pelaksanaan jaminan sosial tenaga kerja yang dalam
hal ini menjamin hak-hak tenaga kerja secara keseluruhan sering dilanggar
dengan cara tidak mendaftarkan pekerja sebagai peserta jamsostek yang
sekarang menjadi BPJS Ketenagakerjaan masih ada kendala dari pengusaha
seperti :
1. Pengusaha yang kurang menyadari manfaat diselenggarakannya program
jamsostek bagi pekerja diperusahaannya. Program tersebut dirasakan oleh
perusahaan sebagai suatu yang membebani keuangan perusahaan dan
merupakan penghambat dari jalannya proses produksi, padahal manfaat
dari diadakannya program jamsostek sangat menguntungkan bagi
pengusaha, misalnya apabila suatu waktu terjadi kecelakaan kerja,
kematian, hari tua/sakit yang dialami oleh tenaga kerja, pengusaha tidak
harus memikirkan lagi biaya pengobatan/ tunjangan bagi pekerjanya,
karena segala pembiayaan yang semestinya dikeluarkan oleh pengusaha
ditanggung oleh program jamsostek.

8
2. Pengusaha masih kurang taat terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku, hal yang paling penting dalam program jamsostek di bidang
ketenagakerjaan adalah dengan didukung oleh adanya kejujuran dari pihak
pengusaha dalam membuat keterangan sebagai syarat dari pihak
penyelenggara.
3. Masih terdapat pekerja yang tidak tahu hak dan kewajibannya dalam
penyelenggaraan program jamsostek, sehingga pengusaha dapat
memanfaatkan ketidaktahuan pekerja itu untuk membayarkan seluruh
tanggungan jamsostek kepada para pekerjanya, padahal pekerja hanya
membayar iuran hari tuanya saja, sedangkan untuk keselamatan dan
kesehatan pekerja ditanggung oleh pengusaha tersebut.
4. Kurangnya penyuluhan dan penerangan kepada pekerja baik itu dari pihak
pengusaha ataupun dari pihak yang terkait dalam program ini. Kendala
dari pihak pekerja wanita itu sendiri, misalnya kurang memahami akan hak
dan kewajibannya, pekerja mempuyai kewajiban untuk memenuhi dan
mematuhi seluruh syarat dalam peraturan kesehatan dan keselamatan kerja
yang diwajibkan.
Kendala yang terjadi dari aparat penegak hukum dikarenakan
penegakaan peraturan dibidang ketenagakerjaan belum dapat dilaksanakan
secara efektif. Penegakan hukum dibidang ketenagakerjaaan dilakukan oleh
pengawas ketenagakerjan dari Kementrian Ketenagakerjaan.
Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan
hukum terhadap pekerja wanita adalah adanya kesepakatan antara pekerja
dengan pengusaha yang kadang menyimpang dari aturan yang berlaku, tidak
adanya sanksi dari peraturan perundangan terhadap pelanggaran yang terjadi,
faktor pekerja sendiri yang tidak menggunakan haknya dengan alasan
ekonomi.
Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menjabarkannya dan
mengusahakan untuk memasukkan jabaran konvensi tersebut ke dalam
rumusan undang-undang negara dan menegakkannya dengan cara
mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan. Namun

9
demikian, perempuan sendiri masih belum banyak yang sadar bahwa hak-
haknya dilindungi dan bahwa hal tersebut mempunyai pengaruh terhadap
kehidupan perempuan Adalah sangat prematur untuk mengadakan bahwa
CEDAW sudah dihormati dan dilaksanakan secara universal. CEDAW
memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan
diskriminasi terhadap perempuan. Di dalam CEDAW ditentukan bahwa
diskriminasi terhadap perempuan adalah perlakuan yang berbeda berdasarkan
gender, diantaranya:
1. Secara sengaja atau tidak sengaja merugikan perempuan
2. Mencegah masyarakat secara keseluruhan memberi pengakuan terhadap
hak perempuan baik di dalam maupun di luar negeri
3. Mencegah kaum perempuan menggunakan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar yang dimilikinya.
Perempuan mempunyai atas perlindungan yang khusus sesuai dengan
fungsi reproduksinya sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat (1) CEDAW
huruf f, bahwa hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja
termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi reproduksi. Selain itu seringkali
adanya pemalsuan dokumen seperti nama, usia, alamat dan nama majikan
sering berbeda dengan yang tercantum di dalam paspor. Tenaga kerja yang
tidak berdokumen tidak diberikan dokumen perjanjian kerja. Hal ini juga
sering terjadi pada pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri. Maka
untuk itu CEDAW pada pasal 15 ayat (3) mengatur yaitu negara-negara
peserta bersepakat bahwa semua kontrak dan semua dokumen yang
mempunyai kekuatan hukum, yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan
hukum para wanita, wajib dianggap batal dan tidak berlaku.
Apabila dikaji secara seksama terdapat beberapa faktor yang berkaitan
dengan pekerja perempuan disektor industri, yaitu (Soejono 1995):
a. Faktor Internal
Pekerja perempuan umumnya relative rendah muda, tingkat
pendidikan umumnya rendah, keahlian dalam bidang tertentu sangat
terbatas, pengalaman kerja sangat minim. Terbatasnya lapangan kerja dan

10
ditambah kesulitan terbatasnya kemampuan kerja wanita, merupakan
sebab utama bahwa pekerja perempuan belum mampu berperan secara
maksimal dalam pembangunan nasional. Disamping itu karena terbatasnya
kemampuan kerja perempuan sering mendapat upah yang sangat minim.
Persaingan antara tenaga kerja sendiri dalam berebut kesempatan kerja
sering dimanfaatkan oleh pengusaha untuk menekan dan memberi upah
yang minim.
b. Faktor Eksternal
Belum adanya Undang-Undang khusus tentang perlindungan
hukum tenaga kerja perempuan. Ketentuan ketenagakerjaan atau
perburuhan yang ada sekarang hampir sebagian besar belum mengatur
secara khusus perlindungan tenaga kerja perempuan terutama yang
berkaitan dengan keselamatan kerja, perkembangan karier, jaminan
pelayanan sosial tenaga kerja wanita dengan memperhatikan harkat,
kodrat, jender dan martabatnya sebagai wanita.
Belum banyaknya tempat pendidikan keterampilan khusus bagi
pekerja
wanita terutama yang berpendidikan rendah. Masih banyak pengusaha yang
kurang mampu memperhatikan kepentingan tenaga kerja perempuan sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai wanita. Disamping itu, terdapat
kecenderungan bahwa pengusaha menilai segi yang menguntungkan bila
wanita diterima sebagai pekerja, seperti:
1) Bila sifat pekerjaan memerlukan ketelitian, ketelatenan, tenaga kerja
perempuan lebih tepat (pabrik rokok, garment, elektronik, dll).
2) Pekerja perempuan lebih penurut dari pada laki-laki.
3) Angkatan kerja cukup banyak dan melimpah dibanding pria.
4) Gaji atau upah buruh wanita relative murah.
2.4 Hak Tenaga Kerja Wanita
Dalam perspektif hukum di Indonesia kajian pertama yang perlu
dilakukan adalah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 hal ini berdasarkan
asumsi bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dan

11
menjadi dasar dan acuan bagi perundang- undangan yang ada di bawahnya.
Menyinggung tentang perangkat hukum dalam kaitannya dengan
perlindungan bagi tenaga kerja wanita, maka Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 27
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan acuan utama dengan asumsi
sebagaimana dikemukakan di atas bahwa salah satu hakekat dari Pasal 27
tersebut adalah persamaan atau kesetaraan diantara warga negara. Jadi dalam
persfektif hukum tidak ada tempat di Indonesia ini untuk tindakan atau
perlakuan diskriminatif.
Hal ini berarti baik pekerja wanita maupun pekerja pria dalam
kedudukannya sebagai warga negara memiliki hak dan kesempatan yang
sama dibidang ketenagakerjaan ataupun memiliki hak yang sama dalam
berbagai aspek baik itu di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya
maupun ilmu pengetahuan. Undang-Undang memberikan kesempatan tenaga
kerja wanita untuk tidak melaksanakan pekerjaan pada keadaan, tempat, dan
waktu tertentu. Pembatasan ini sehubungan dengan kondisi wanita yang
secara kodrati berbeda dengan pria. Pada dasarnya wanita tidak dilarang
melakukan pekerjaan, tetapi dibatasi berdsarkan pertimbangan bahwa wanita
itu lemah badannya dan untuk menjaga kesehatan dan kesusilaannya.
Prinsip penempatan tenaga kerja wanita pada suatu perusahaan adalah
bahwa setiap tenaga kerja wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk
memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan
yang layak di dalam satu perusahaan tertentu sesuai dengan keahlian juga
kemampuan yang dimilikinya dengan tidak melupakan kodrat wanita yang
mempunyai sifat lemah lembut, teliti dan cendrung lemah.
Pekerja wanita yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang
dipekerjakan antara jam 23.00 sampai jam 07.00. Selanjutnya pengusaha
dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatn kandungannya maupun
dirinya apabila bekerja antara jam 23.00 sampai dengan jam 07.00. Khusus

bagi pekerja wanita mendapat perlindungan sebagai berikut :

12
1. Jika dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada
pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid
2. Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum
saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut
perhitungan dokter kandungan atau bidan.
Selain Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, terdapat pula aturan hukum yang lain yang mengatur
tentang tenaga kerja wanita yaitu diantaranya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Undang- Undang Nomor 80 Tahun
1957 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100 Tahun 1953 mengenai
Pengupahan yang Sama Bagi tenaga Kerja Wanita dan Pria Untuk Pekerjaan
yang Sama Nilainya. Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh pemerintah dan
akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1981 tentang Perlindungan Upah, Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga kerja, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 3 tahun 1989
tentang Larangan PHK terhadap wanita menikah, hamil, menyusui.
Pekerja wanita harus mendapatkan perlindungan khusus terkait
dengan kodrat yang melekat pada dirinya yaitu ketika masa haid (datang
bulan), kehamilan, melahirkan, dan menyusui anak. hamil, melahirkan serta
menyusui anak merupakan hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam
pasal 10 ayat 1 UU Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia “setiap
orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah”. Dengan didasarkan kepada pasal 10 ayat 1 UU nomor
39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, negara Indonesia telah
menghormati dan melindungi pekerja wanita terkait dengan hak reproduktif.
Sehingga terhadap hal tersebut, perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan
pekerja harus memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita
terkait hak reproduktif. Walaupun sudah diatur dalam beberapa instrumen
hukum, namun masih banyak pelanggaran yang dilakukan perusahaan
terhadap pekerja wanita.

13
Perlindungan hak-hak perempuan pekerja dalam ketentuan perundang-
undangan merupakan dasar hukum bagi pekerja perempuan didalam
melaksanakan hak-haknya sebagai pekerja dan perlindungan terhadap
tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh pemberi kerja serta pihak lain di
tempat kerja. Hak-hak pekerja perempuan salah satunya adalah hak maternal.
Hak maternal pada dasarnya sama dengan hak kesehatan reproduksi. Aspek
perlindungan terhadap hak-hak maternal ini, pada dasarnya menjadi ketentuan
yang wajib diharmonisasikan ke dalam peraturan perundang-undangan bidang
ketenagakerjaan di Indonesia. Hak tersebut meliputi hak atas perlindungan
khusus terhadap fungsi melanjutkan keturunan dalam bentuk tidak dipecat
atas dasar kehamilan atau dasar status perkawinan, pengadaan cuti hamil
dengan hayaran, pengadaan pelayanan sosial dalam bentuk tempat
penitipan anak, pemberian pekerjaan yang tidak berbahaya bagi kehamilan.
2.5 Permasalahan antara Pekerja Wanita mengenai Perlindungan Kerja di
Perusahaan
Bukan hanya terhadap diskriminasi wanita hamil dan menyusui saja
tetapi diskriminasi upah terdapat pada tunjangan kesejahteraan. Pada
umumnya para pekerja laki-laki akan mendapatkan tunjangan kesejahteraan
untuk anak dan istri, namun pada pekerja perempuan tidak mendapatkan
tunjangan kesejahteraan untuk suami dan anak. Hal ini dikarenakan adanya
anggapan bahwawanita mudah diatur, bahkan anggapan ini juga berimbas
pada adanya pembatasan persyaratan jabatan yang memberikan syarat pada
jenis kelamin.
Seperti pada persyaratan lowongan pekerjaan yang memberikan syarat
pada jenis kelamin tertentu, padahal lowongan pekerjaan tersebut
tidakmempunyai karakter khas yang hanya boleh dikerjakan oleh jenis
kelamin tertentu. Kemudian pada jabatan strategis yang kebanyakan hanya
diperuntukkan bagi pria, dimana kebanyakan pekerja wanita selalu
diposisikan pada jenis-jenis jabatan yang tidak memberikan keputusan final,
tentu hal ini juga merupakan salah satu merupakan diskriminasi wanita.

14
Marginalisasi itu merupakan proses pemiskinan perempuan
terutama pada masyarakat lapis bawah sangat memprihatinkan kesejahteraan
keluarga mereka. Demikian pula, marginalisasi dalam lingkungan keluarga
biasamterjadi ditengah masyarakat, misalnyaanak laki-laki memperoleh
fasilittas, kesempatan dan hak-hak yang lebih daripada anak perempuan.
Budaya semacam ini selalu diperkuat oleh penafsiran agama, adat istiadat
sehingga perempuan selalu menjadi korban ketidakadilan gender akibat
marginalisasi perempuan tersebut.
a. Penempatan perempuan pada subordinasi
Sebuah pandangan yang tidak adil terhadap perempuan dengan
anggapan dasar bahwa perempuan itu irasional, emosional, lemah dan lain-
lainnya, menyebabkan penempatan perempuan dalam peran-peran yang
dianggap kurang penting. Potensi perempuan sering dinilai tidak fair oleh
sebagian besar masyarakat kita mengakibatkan sulitnya mereka menembus
posisi-posisi strategis dalam komunitasnya, terutama yang berhubungan
dengan peran pengambilan keputusan.
Jika perempuan mampu meraih posisi tersebut, berarti ia
telah berhasil dalam kompetisi yang sangat ketat dan perjuangan yang
cukup panjang, tidak sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki. Agama
sering juga dipakai sebagai pengukuh dari pandangan semacam itu
sehingga perempuan selalu menjadi bagian dari laki-laki.
b. Stereotype perempuan
Stereotype adalah pelabelan terhadap kelompok, suku, bangsa
tertentu yang selalu berkonotasi negatif sehingga sering merugikan dan
timbul ketidakadilan. Pelabelan atau penandaan yang dikaitkan dengan
perbedaan jenis kelamin tertentu (perempuan) akan menimbulkan kesan
negatif yang merupakan keharusan disandang oleh perempuan. Stereotype
itu merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender. Misalnya, suatu
dugaan bahwa perempuan itu suka bersolek untuk menarik perhatian
lawan jenis. Jika terjadi kasus perkosan, selalu disimpulkan bahwa
kejadian tersebut berawal dari label perempuan, tanpa harus

15
menganalisis sisi-sisi lain yang menjadi faktor penyebab terjadinya
perkosaan itu. Karena itu, kasus perkosaan dipandang sebagai kesalahan
perempuan, ia dianggap sebagai sumber fitnah terjadinya perkosaan itu.
Karena itu, kasus perkosaan dipandang sebagai kesalahan perempuan, ia
dianggap sebagai sumber fitnah terjadinya perkosaan, yang semua itu
berangkat dari stereotype pada perempuan secara umum. Demikian pula,
perempuan adalah jenis manusia yang lemah fisik maupun intelektualnya
sehingga tidak layak untuk menjadi pemimpin, karena itu sarat dengan
keterbatasan tidak sebagaimana laki-laki. Aktivitas laki-laki lebih
leluasa, bebas, lebih berkualitas, dan produktif. Keterpurukan itu semaki
parah dengan mencari legitimasi agama yang disalahtafsirkan.
c. Kekerasan (violence) terhadap perempuan
Salah satu bentuk ketidakadilan gender adalah tindak kekerasan
terhadap perempuan baik yang berbentuk kekerasan fisik maupun psikis.
Kekerasan timbul akibat beberapa faktor di atas, termasuk anggapan
bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi terhadap
berbagai sektor kehidupan. Femomena itu oleh masyarakat dianggap
sebagai sesuatu yang wajar jika perempuan menerima perlakuan tersebut.
Kekerasan terhadap perempuan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu
pemerkosaan, pemukulan, penganiayaan dan pembunuhan, prostitusi
sebagai bentuk eksploitasi perempuan, pornografi sebagai bentuk
pelecehan, eksploitasi perempuan pada dunia kerja dan hiburan,
pemaksaan strerilisasi dalam keluarga berencan, dan pelecehan seksual
dengan sentuhan maupun ungkapan yang merendahkan martabat
perempuan. Seluruh tindakan tersebut dapat digolongkan pada pelanggaran
hak asasi manusia yang semestinya dihormati oleh siapa pun tanpa
memandang gendernya. Tindakan yang paling rendah dari tingkat
kekerasan terhadap perempuan tersebut melahirkan berbagai
ketidakharmonisan sosial yang menghambat perkembangan psikis
perempuan. Selanjutnya akan memupuk subur infesrioritas perempuan
dengan sekian banyak ketidakberdayaan.

16
d. Beban kerja yang tidak proporsional
Budaya patriarki beranggapan bahwa perempaun tidak punya hak
untuk menjadi pemimpin rumah tangga. Sebaliknya, ia berhak untuk
diatur, pekerjaan domestik yang dibebankan kepadanya menjadi identik
dengan dirinya sehingga posisi perempuan sarat dengan pekerjaan yang
beragam macamnya, dalam waktu yang tidak terbatas dan dengan beban
yang cukup berat, misalnya memasak, mencuci, seterika, menjaga
kebersihan dan kerapian rumah, membimbing belajar anak-anak dan
sebagainya. Pekerjaan domestik yang berat tersebut dilakukan bersama-
sama dengan fungsi reproduksi, haid, hamil, melahirkan dan menyusui.
Sementara laki-laki dengan peran publiknya menurut kebiasaan
masyarakat (konstruk sosial), tidak bertanggung jawab terhadap beban
kerja domestik, karena hanya layak dikerjakan oleh perempuan.
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender melalui marginalisasi,
penempatan perempuan pada subordinat, stereotype, tindak kekerasan,
maupun beban kerja yang tidak proporsional dilakukan oleh laki-laki
dalam segala komunitas yang ada. Hal itu dapat terjadi dalam lingkungan
keluarga, ditempat-tempat kerja, ditempat-tempat umum, dan dapat pula
dilakukan oleh siapa saja yang tidak peka pada persoalan gender dan
kemanusiaan.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Tenaga kerja perempuan adalah Seorang perempuan yang mampu
melakukan kegiatan/pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan
kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan
sendiri maupun kebutuhan masyarakat.
b. Karakteristik perlindungan kerja tenaga kerja wanita dibagi menjadi 4,
yaitu ketentuan jam kerja, waktu kerja dan jam istirahat, cuti pekerja
wanita, dan pengawasan pemerintah terhadap penggunaan tenaga kerja
wanita.
c. Hambatan hukum tenaga kerja wanita yaitu kurangnya penyuluhan dan
penerangan kepada pekerja baik itu dari pihak pengusaha ataupun dari
pihak yang terkait dalam program ini. Kendala dari pihak pekerja wanita
itu sendiri, misalnya kurang memahami akan hak dan kewajibannya,
pekerja mempuyai kewajiban untuk memenuhi dan mematuhi seluruh
syarat dalam peraturan kesehatan dan keselamatan kerja yang diwajibkan.
d. Prinsip penempatan tenaga kerja wanita pada suatu perusahaan adalah
bahwa setiap tenaga kerja wanita mempunyai kesempatan yang sama
untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh
penghasilan yang layak di dalam satu perusahaan tertentu sesuai dengan
keahlian juga kemampuan yang dimilikinya dengan tidak melupakan
kodrat wanita yang mempunyai sifat lemah lembut, teliti dan cendrung
lemah.
e. Permasalahan antara pekerja wanita mengenai perlindungan kerja di
perusahaan banyak disebabkan karena sebuah pandangan yang tidak adil
terhadap perempuan dengan anggapan dasar bahwa perempuan itu
irasional, emosional, lemah dan lain-lainnya, menyebabkan penempatan
perempuan dalam peran-peran yang dianggap kurang penting.
3.2 Saran

18
Seperti pada umumnya sudah pasti tidak lepas dari yang namanya
kritik dan kesalahan dalam pembuatan dan penulisanya. Ini semua
dikarenakan keterbatasan kemampuan penyusun dalam memnyusun makalah
ini. Namun penyusun akan berjanji dan berusaha untuk belajar dan
merperbaiki kesalahan dalam pembuatan makalah. Oleh karena itu penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dalam
pembuatan makalah yang selanjutnya dapat lebih baik baik lagi. Penyusun
siap menerima kritik dan saran yang diberikan.

19
DAFTAR PUSTAKA
Djakaria, M. (2018). Perlindungan Hukum bagi Pekerja Wanita untuk
Memperoleh Hak-Hak Pekerja Dikaitkan dengan Kesehatan Reproduksi.
Jurnal Bina Mulia Hukum. 3(1), p.16-21.,
Husni, L. (2017). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Rajawali, jakarta, p.27
Khoiriyah, A.M. (2020). Perlindungan dan Hak Pekerja Perempuan di Bidang
Ketenagakerjaan. IJouGS: Indonesian Journal of Gender Studie. 1(1), p.
62-62.
Kusmayanti, H., & Karsona, AM (2020). Perlindungan Hukum terhadap Anak
Diluar Perkawinan bagi Tenaga Kerja Wanita di Kabupaten
Cianjur. Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, 4 (1), p. 39-
54. https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v4i1.2162
Prajnaparamita, K. 2019. Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja
Perempuan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Adminitrative Law & Governance Journal, 2(1)
Trijono, R. (2017). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Papas Sinar.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Yusrini, B. A. (2017). Tenaga Kerja Wanita Dalam Perspektif Gender di Nusa
Tenggara Barat. Jurnal Al – Maiyyah, 10(1). Sinanti. Jakarta. p.26.

20

Anda mungkin juga menyukai