Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

KONSEP SHALAT

DOSEN PENGAMPUH: MAVIANTI S.PD.I M.A

Dibuat untuk memenuhi syarat nilai ibadah muamalah

Disusun Oleh:

Kelompok 1:

1. Hushalia Witri 2204300008


2. Eka Harysandi Tanesa Purba 2204300033
3. Muhammad Sigit prasetyo 2204300024
4. Rachmaden Purba 2204300033
5.Revo Andreanzu 2204300038

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

2023

ii
KATA PENGANTAR

Dengan nama allah yang maha pengasih lagi maha penyayang segala puji
dan syukur penulis ucapkan kehadirat allah swt yang telah memberikan karunia
dan nikmat yang tiada terkira.salah satu dari nikmat tersebut adalah keberhasilan
penulis dalam menyelesaikan makalah ini tentang hadis pertanian sebagai syarat
untuk mendapatkan nilai mata kuliah Pengantar Ilmu Pertanian pada program
studi agribisnis fakultas pertanian,universitas muhammadiyah sumatera utara
(UMSU),medan.Banyak pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
makalah ini ,untuk penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada ;

1. Bapak dosen Ir. Akridiwirsah.,M.M selaku Dosen pengajar mata kuliah


pengantar ilmu pertanian yang telah memberikan materi tentang ketahanan
pangan dan telah mengarahkan penulis dalam menyelesaikan makalah ini
2. Orang tua penulis yang telah berusaha payah membesarkan dan membiayain
studi penulis
3. Bapak/ ibu staff administrasi dibiro fakultas pertanian, universitas
muhammadiyah sumatera utara
4. Seluruh bapak /ibu Dosen di program studi pertanian universitas
muhammadiyah sumatera utara yang telah banyak memberikan ilmu
pertanian kepada saya.
5. Dan teman-teman kelompok 6 yang tidak bisa disebutkan satu-satu nama nya

Medan November 2022

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3

2.1 Hadits Menanam Pohon .......................................................................... 3

2.2 Takhrij Hadits ......................................................................................... 7

2.1.2 Kritik Matan ......................................................................................... 9

2.3 Asbabul Wurud ......................................................................................


11

2.4 Keutamaan Menanam Pohon Menurut Islam ......................................... 12

BAB III PENUTUP .............................................................................................14

3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam pembangunan
suatu Negara (Simatupang, 2007). Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan,
sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena sektor ini menjadi
penyedia pangan utama (Sumastuti, 2010), lebih-lebih negara yang sedang
berkembang, karena memiliki peran ganda yaitu sebagai salah satu sasaran utama
pembangunan dan salah satu instrumen utama pembangunan ekonomi. Fungsi
ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk terjaminnya akses pangan determinan
utama dari inovasi ilmu pengetahuan, teknologi dan tenaga kerja produktif serta
fungsi ketahanan pangan sebagai salah satu determinan lingkungan perekonomian
yang stabil dan kondusif bagi pembangunan. Setiap negara senantiasa berusaha
membangun sistem ketahanan pangan yang mantap. Oleh sebab itu sangat rasional
dan wajar kalau Indonesia menjadikan program pemantapan ketahanan pangan
nasional sebagai prioritas utama pembangunannya.
Sebagai negara agraris yang mempunyai potensi tinggi terhadap sektor
pertanian, Indonesia masih mengalami masalah ketersediaan pangan, menurut
Jokolelono (2011). Hal itu terkait dengan masalah pembangunan pedesaan dan
sektor pertanian. Seperti di negara slovakia, pertanian selalu menjadi salah satu
bagian terpenting. Promosi kegiatan komersial dan pekerjaan yang berkelanjutan
untuk daerah pedesaan sangat penting dilakukan dengan tujuan meningkatkan
kualitas hidup dan mempertahankan kepadatan penduduk pedesaan (Holiencinova,
2016). Realitas pertanian di pedesaan setidaknya dipangku oleh tiga pilar, yaitu
penguasaan tanah, hubungan kerja, dan perkreditan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah ketahanan pangan?
2. Bagaimana pilar ketahanan pangan?
3. Bagaimana pilar strategi atasi kerawanan pangan?
4. Bagaimana Komponen Utama Ketahanan Pangan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang sejarah ketahanan pangan
2. Untuk mengetahui pilar ketahanan pangan
3. Untuk mengetahui pilar strategi atasi kerawanan pangan
4. Untuk mengetahui Komponen Utama Ketahanan Pangan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah ketahanan pangan


Ketahanan pangan adalah sebuah kondisi yang terkait dengan
ketersediaan bahan pangan secara berkelanjutan. Kekhawatiran terhadap
ketahanan pangan telah ada dalam sejarah. Sejak 10 ribu tahun yang lalu
lumbung telah digunakan di Tiongkok dengan kekuasaan penggunaan secara
terpusat di peradaban di Tiongkok Kuno dan Mesir Kuno. Mereka melepaskan
suplai pangan di saat terjadinya kelaparan.
Namun ketahanan pangan hanya dipahami pada tingkat nasional, dengan
definisi bahwa negara akan aman secara pangan jika produksi pangan
meningkat untuk memenuhi jumlah permintaan dan kestabilan harga. Definisi
baru mengenai ketahanan pangan dibuka pada tahun 1966 di World Food
Summit yang menekankan ketahanan pangan dalam konteks perorangan,
bukan negara. Pangan (food) dimaknai sebagai komoditi yang dikelola,
diperdagangkan, dan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan makanan
pokok sehari-hari. Persoalan pangan sudah sejak lama dipikirkan di masa
kemunculan kerajaan-kerajaan nusantara. Tidak sedikit sejarah mencatat,
persoalan pangan menjadi penentu kelanggengan atau kejayaan suatu
kekuasaan. Seorang ekonom, Sjahrir (1986) pernah berujar, siapa yang
menguasai pangan, maka dia yang akan mengusai orang (kekuasaan).

1. Masa kerajaan-kerajaan kuno/klasik


Kehadiran kerajaan kuno di Nusantara ditandai dengan masuknya
pengaruh dari luar, yaitu pengaruh dari Islam, Hindu, dan Budha. Merekalah
yang pertama kali membangun sistem pemerintahan, sistem sosial, dan
membangun kebudayaan baru. Mereka di antaranya seperti Kerajaan Yawa
Dwipa (200 M), Kerajaan Kutai Kertanegara (400 M, tertua), kemudian
Srivijaya dan Majapahit. Darimana mereka berasal, atau dari pengaruh agama
mana mereka dibesarkan, kekuatan pertanian (pangan) menjadi penentu
kekuasaan.
Mengingat pengaruh kebudayaan datang atau berasal dari luar, maka
satu-satunya jalur penghubungnya adalah laut. Seluruh pulau-pulau di wilayah
Nusantara terhubung satu sama lain melalui lautan. Itu sebabnya, kerajaan-
kerajaan kuno di masa lalu memiliki orientasi untuk menguasai lautan.
Mereka yang tadinya memiliki pusat kekuasaan jauh di pedalaman akhirnya
harus menguasai wilayah pesisir. Tetapi mereka yang sebelumnya menguasai
pesisir akan masuk ke pedalaman untuk menguasai wilayah-wilayah strategis.
Catatan sejarah melalui bukti prasasti atau arisp-arsip kuno menyebutkan dua
kata kunci yang berhubungan dengan pangan, yaitu pertanian dan perikanan
(maritim). 129

2
Mengapa kerajaan besar seperti Sriwijaya maupun Majapahit harus
melakukan ekspansi sehingga menguasai wilayah Nusantara? Mustahil apabila
hanya untuk menguasai wilayah tertentu tanpa harus menguasai laut yang
menghubungkan wilayah pusat dan wilayah otoritas di luar wilayah pusat.
Laut bukan semata menjadi sarana penghubung, melainkan menyimpan
sejumlah besar sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Ketersediaannya cukup melimpah dan bisa diambil (dieksploitasi) kapan saja.
Lain halnya jika hanya bergantung dengan sumber protein hewani yang
berasal dari ternak seperti sapi/lembu, ayam, kambing, dan sebagainya yang
harus menunggu masa potong (dewasa).
Aktivitas tanaman pangan di masa itu lebih condong pada jenis tanaman
untuk pemenuhan kebutuhan karbohidratnya. Misalnya seperti padi dan
jagung. Tetapi kedua jenis tanaman tersebut tidak merata tersebar di seluruh
wilayah, tergantung dari budaya tanaman pangan lokal seperti di Kalimantan,
Sulawesi, Ambon, dan Papua. Tanaman padi nampaknya lebih dominan
ditemukan di Pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Di wilayah Maluku hingga
Ternate tidak banyak penemuan pertanian kuno yang menunjukkan ciri khas
bekas penggunaan teknologi tanaman padi. Di Ternate baru mulai ditanami
padi setelah masuk ke era kemerdekaan. Mengingat perdagangan tanaman
pangan masih didominasi oleh jenis tanaman kebutuhan pokok, maka jenis
tanaman seperti rempah-rempah dan komoditi untuk bumbu-bumbu masakan
relatif belum terlalu dominan.
Di Kamboja, kejayaan Kerajaan Khmer mengalami kejatuhan yang
masanya bersamaan dengan kedatangan musim kemarau panjang. Kerajaan
Khmer dan bangsa Khmer sangat bergantung sekali dengan jenis tahaman
padi, serta relatif sedikit memiliki pilihan untuk mencari sumber makanan
pengganti (tanaman substitusi). Tetapi kejadian di Khmer justru tidak banyak
ditemukan dalam catatan sejarah kerajaan-kerajaan Nusantara. Keruntuhan
kerajaan-kerajaan besar di Nusantara bukan dipicu oleh faktor kendala alam
yang berdampak pada tanaman pangan, melainkan karena faktor perebutan
kekuasaan (internal) atau serangan dari kerajaan lain. Wilayah utama di
Sumatera dan Jawa mengenal musim kemarau atau musim paceklik, tetapi
kondisi tersebut tidak sampai pada situasi yang menyebabkan terjadinya
keguncangan politik atau sosial.
Ada sejumlah kemungkinan mengenai pola tanam dan strategi pertanian
di masa kerajaan-kerajaan Nusantara. Mereka memiliki komoditi alternatif
untuk bisa menggantikan komoditi andalannya yang berasal dari tanaman pdi.
Bisa jadi, komoditi alternatif yang dimaksudkan merujuk pada strategi
diversifikasi pangan. Melalui penguasaan laut, mereka menguasai hasil-hasil
perikanan laut yang sudah diperjualbelikan hingga ke pelosok. Mereka diduga
sudah menguasai teknik-teknik pengawetan makanan secara alami sejak masa
Kerajaan Majapahit. Hasil-hasil perikanan masih dominan hanya ditemukan di
wilayah yang tidak jauh 131 dari pesisir.

3
2. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara memberikan pengaruh
yang cukup besar terhadap peta komoditi tanaman pangan. Mereka bangsa
Eropa lebih tertarik untuk membeli komoditi berupa rempah-rempah yang
harganya cukup tinggi di Eropa. Posisi Nusantara (Indonesia) cukup strategis
di mana para pedagang Eropa bisa bersaing dengan kongsi dagang lainnya di
India dan kawasan Asia bagian Tengah. Untuk tanaman rempahrempah,
bangsa Portugis lebih condong ke Kawasan Indonesia Bagian Timur seperti
Maluku, NTT, NTB. Keuntungan Indonesia bukan hanya posisinya dilintasi
oleh garis Khatulistiwa, melainkan sifat tanahnya yang memungkinkan bisa
lebih banyak ditanami oleh jenis tanaman lain.
Sejak masa VOC hingga pemerintahan Hindia Belanda, pola kebijakan
tanaman pangan lebih banyak difokuskan pada jenis tanaman pangan utama
seperti padi, jagung, dan beberapa jenis tanaman perkebunan. Jenis-jenis
tanaman yang lebih laku untuk diperdagangkan. Pemerintah Hindia Belanda
bahkan pernah menerapkan kebijakan Tanam Paksa atau Cultuurstelsel oleh
Van den Bosch yang lebih memfokuskan pada jenis tanaman pertanian utama
seperti padi. Diversifikasi ditekan untuk lebih memfokuskan memperbesar
kuantitas produksi tanaman padi. Sekalipun akhirnya mendapatkan
pertentangan dan dihapuskan, tetapi tetap tidak meubah pola diversifikasi.
Rakyat pribumi tidak memiliki banyak pilihan untuk menanam lebih banyak
jenis tanaman lain, kecuali jenis tanaman yang laku untuk diperdagangkan.
Sumber: Wikipedia.
Sektor perikanan laut sebenarnya telah dikelola melalui pembentukan
departemen kelautan yang bernama Bugerlijk Openbare Werken pada tahun
1911. Aktivitasnya belum terlihat mendominasi dibandingkan dengan sub
sektor pertanian lainnya. Selama fase pembentukan lebih menitikberatkan
untuk pengembangan landas kontinen pertama kalinya untuk wilayah Hindia
Belanda melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939.
Badan kelautan berubah nama menjadi Departemen Verkeer en Waterstaat
pada 1931. Organisasi ini menjadi cikal bakal departemen yang mengurusi
bidang perikanan laut selama masa kemerdekaan. Memang tergolong masih
baru, karena pemerintah Hindia Belanda sendiri baru 133 memikirkan betapa
pentingnya peran perikanan laut sejak tahun 1911.
Secara keseluruhan, sejak masa VOC hingga pemerintahan Hindia
Belanda, pihak kolonial lebih memfokuskan pada jenis tanaman pangan utama
dan jenis tanaman industri. Diversifikasi tanaman pangan sesungguhnya sudah
mulai diterapkan sejak lama, tetapi ditekan (dibatasi) untuk hanya ditanam
jenis tanaman utama seperti padi dan jagung. Budidaya perikanan darat sudah
dikembangkan sejumlah kerajaan-kerajaan Nusantara menjadi tidak
berkembang. Rakyat pribumi tidak diperkenankan memiliki empang sendiri,
kecuali empang yang komoditinya telah dipesankan oleh pemerintah kolonial.
4
Di masa pendudukan Jepang agaknya tidak banyak berbeda dengan masa
pemerintah kolonial sebelumnya. Jepang mengambil alih seluruh aset-aset
pertanian, perkebunan, bahkan perikanan laut yang sebelumnya telah
dikembangkan dan dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah
Jepang berorientasi pada jenis tanaman utama yang dalam jangka pendek
diperuntukkan untuk mendukung suplai makanan ke pasukan Jepang di Asia
Pasifik. Kehadiran Jepang yang cukup singkat itu pula lebih banyak diisi
didominasi oleh aktivitas politik di dalam negeri dan berkonsentrasi untuk
menghadapi tekanan sekutu di Pasifik. Praktis tidak ada sesuatu yang baru di
bidang pertanian selama masa pendudukan Jepang di Indonesia.

3. Masa Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah Indonesia langsung
berkonsentrasi untuk membangun sektor pertanian di segala bidang.
Departemen yang mengurusi bidang perikanan laut sudah ada sejak kabinet
pertama dibentuk. Melalui Kementrian Kemakmuran Rakyat yang dipimpin
oleh Menteri Mr. Sjafruddin Prawiranegara dibentuklah Jawatan Perikanan
yang mengurusi kegiatan-kegiatan perikanan darat dan laut. Program
swasembada beras sesungguhnya pula sudah dicanangkan di era Soekarno,
tepatnya selama periode 1952-1956. Program swasembada beras dilaksanakan
melalui Program Kesejahteraan Kasimo dengan didirikannya Yayasan Bahan
Makanan (BAMA) dan berganti Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM)
pada 1953-1956.
Mengenai diversifikasi tanaman pangan sudah dipikirkan di era
Soekarno. Program swasembada beras paska 1956 tetap dilanjutkan melalui
program sentra padi yang diatur oleh Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP).
Pada 1963, Soekarno memasukkan jagung sebagai bahan pangan pengganti
selain beras dan pada 1964 menerapkan Panca Usaha Tani. Hal ini
menyesuaikan dengan kultur bercocok tanam dari petani yang biasanya
memvariasikan antara tanaman padi dan jagung. Institusi pendukung di bidang
pertanian dan sub-sub sektor pertanian lebih banyak ditopang oleh
kelembagaan inti dulunya pernah digunakan oleh pemerintahan Hindia
Belanda. Bedanya, orientasi pemerintahan republik 135 bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri, lalu orientasi untuk ekspor.
Tidak seperti sekarang yang sudah memiliki sumber daya manusia dan
infrastruktur yang lebih baik, pembangunan di sektor pertanian di era
Soekarno menemui jauh lebih banyak kesulitan dan tantangannya di dalam
negeri. Tingkat ketergantungan terhadap jenis tanaman beras masih tergolong
tinggi. Sekalipun demikian, Indonesia di masa itu belum pernah tercatat
mengalami krisis pangan yang menyebabkan kasus kelaparan seperti yang
pernah dialami oleh India dan China. Dalam beberapa periode, harga
kebutuhan pokok sempat mengalami lonjakan harga yang cukup tinggi. Tetapi
lonjakan harga tersebut tidak banyak berimbas di wilayah pedesaan yang
relatif masih menerapkan pola diversifikasi bahan makanan. Pola kebijakan
5
pertanian di masa Soekarno memang lebih menitikberatkan pada jenis
tanaman lokal sebagai komoditi utama. Misalnya seperti jenis sagu di Maluku
dan Papu atau nasi jagung di Sulawesi.
Untuk pertama kalinya, pemerintahan republik membentuk badan
penyangga pangan yang disebut Badan Urusan Logistik atau Bulog pada
tanggal 14 Mei 1967. Tugas pokok dari Bulog adalah berfungsi sebagai agen
pembeli beras tunggal. Berdirinya Bulog sejak awal diproyeksikan untuk
menjaga ketahanan pangan Indonesia melalui dua mekanisme yakni stabilisasi
harga beras dan pengadaan bulanan untuk PNS dan militer. Pada prinsipnya,
Bulog akan menjadi lumbung nasional yang tugas utamanya untuk menjaga
pasokan (supply) komoditi pangan dan menjaga stabilitas harga tanaman
pangan utama.

4. Masa Orde Baru


Era Orde Baru, pembangunan di sektor pertanian tetap menjadi prioritas
program kerja kabinet. Selama dua periode PELITA (Pembangunan Lima
Tahun) dari tahun 1969-1979, kebijakan pembangunan lebih banyak
dikonsentrasikan untuk memperkuat basis sektor pertanian. Program revolusi
hijau (green revolution) guna mendukung percepatan pencapaian swasembada
beras pada tahun 1974. Pada tahun 1971, Bulog mendapatkan tugas/peran
baru, yaitu mempunyai tugas sebagai pengimpor gula dan gandum. Biaya
besar untuk mendukung program pertanian tersebut ditopang oleh ekspor
migas yang mencapai puncak harga tertinggi pada pada pertengahan dekade
1970an.
Sesudahnya, Indonesia kembali menjadi pengimpor beras, bahkan
menjadi pengimpor beras terbesar di Asia Tenggara. Program revolusi hijau
hanya menguntungkan petani kaya atau pemilik lahan dengan luas lahan lebih
dari 1 hektar. Setelah beras, pemerintah berusaha untuk menutupi kekurangan
pasokan dalam negeri dan mendatangkan (impor) gandum. Bila semula
diberikan kewenangan ke Bulog, maka kewenangan untuk mengimpor
gandum akhirnya diserahkan ke Bogasari (swasta). Awalnya, pemerintah
mencoba untuk membudidayakan jenis tanaman gandum, tetapi upaya tersebut
sulit terwujud, karena tanaman gandum memang kurang cocok untuk jenis
tanah pertanian di Indonesia.
Dalam rangka untuk mendukung program pertanian pangan, pemerintah
di era Orde Baru membuat cukup banyak pembangunan infrastruktur
pendukung. Misalnya seperti pembangunan irigasi, pendirian pabrik
pembuatan pupuk urea, dan pembangunan pusat-pusat penelitian tanaman
pangan. Sayangnya, keseluruhan saran dan prasarana pendukungnya masih
difokuskan pada jenis tanaman beras. Tanaman beras disosialisasikan di
seluruh wilayah yang dianggap cocok untuk ditanami jenis tanaman padi
seperti di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Ternate, NTT, NTB,
bahkan sampai ke Papua.

6
Impor komoditi pangan utama sesungguhnya sudah mulai marak
dilaksanakan sejak era Soekarno. Bedanya, kegiatan impor komoditi pangan
di era Soekarno lebih banyak dikuasai oleh negara melalui peran Bulog. Di
masa Orba, untuk beberapa jenis komoditi diserahkan kepada pihak swasta
sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Beberapa jenis komoditi yang
diserahkan pengelolaan impornya ke swasta seperti gandum, daging sapi,
kedelai, dan jeruk. Tetapi untuk komoditi pangan utama masih dikuasai atau
dimonopoli Bulog. Impor gandum murah besar-besaran sempat terjadi di awal
dekade 1980-an sebagai tindak lanjut bantuan pangan dari Amerika.
Sesudahnya, gandum masih terus didatangkan dari beberapa negara dimana
paling banyak didatangkan dari Australia. Sayangnya, kehadiran gandum
tidak cukup banyak bisa menyelesaikan masalah ketergantungan pangan
bangsa Indonesia terhadap komoditi beras.
Di bidang sains, pemerintah membangun pusat studi di bidang pertanian
yang melibatkan peran serta dari perguruan tinggi. Pusat studi tersebut
kemudian menghasilkan jenis varietas padi unggulan lokal yang diberi kode
IR (Indonesia Rice). Riset tersebut bertujuan untuk membangun kemandirian
penelitian di bidang tanaman pangan yang sebelumnya lebih banyak
mengdopsi dari luar
Kode IR sempat diganti oleh Presiden Soeharto menjadi PB. Tetapi
kalangan peneliti pertanian masih lebih suka dengan kode IR yang lebih
dikenal oleh internasional. Sayangnya, upaya untuk membangun kemandirian
di sektor pertanian justru berakhir menjadi drama pergantian kekuasaan.
Nyaris sama situasinya menjelang tahun 1965 di mana harga-harga kebutuhan
pokok melambung tinggi. Pada tahun 1994, pemerintah mengambil kebijakan
cukup kontroversial, yaitu menghapuskan subsidi pupuk dan bibit. Kebijakan
tersebut terpaksa harus diambil, karena semakin beratnya beban anggaran
yang ditanggung di dalam APBN. Petani pun mengalami kesulitan bercocok
tanam mengingat biaya bercocok tanam yang semakin sulit untuk ditutupi
dengan hanya menanam padi.
Penjaminan melalui Koperasi tidak lagi memberikan harapan bagi petani
untuk mendongkrak tingkat kesejahteraan, terutama di kalangan petani kecil
yang luas lahannya kurang dari 1 hektar. Akibatnya, impor beras semakin
diperbanyak untuk mengamankan pasokan beras di dalam negeri. Nilai tukar
mata uang Rupiah yang semakin anjlok sejak tahun 1990 mengakibatkan
tingkat volatilitas harga beras dan sejumlah kebutuhan pokok menjadi
semakin tinggi. Akibatnya, harga-harga kebutuhan pun terus merangkak naik
dan tidak terkendali. Angka inflasi selama tahun 1998 sudah mencapai di atas
angka 70%.

5. Pemerintahan Transisi

7
Gejolak harga pangan sejak tahun 1985 mulai mencapai puncaknya pada
pertengahan tahun 1997. Stabilisasi harga ternyata harus ditebus cukup mahal
dengan meminimalkan peran pemerintah (intervensi), termasuk menanggalkan
peran Bulog.
Penandatanganan Letter of Intent (LoI) pada tanggal 21 Oktober 1997
yang di dalamnya berisikan poin penting di bidang kebijakan pertanian. Bulog
harus meninggalkan praktik monopoli beras dan peran pengawasan terhadap
harga-harga produk pertanian atau kebutuhan pokok seperti beras, gula,
cengkeh, kedelai, dan lainnya.
Paska kejatuhan Soeharto di tahun 1998 akan menjadi penanda babak
baru kebijakan di sektor pertanian. Liberalisasi di sektor pertanian sudah
mulai resmi diterapkan sejak tahun 1998. Harga-harga kebutuhan pokok
pangan diserahkan kepada mekanisme pasar. Pemerintah hanya berperan
sebagai regulator atau mengatur tata kelolanya, tetapi tidak memiliki
kewenangan lagi untuk mempengaruhi secara langsung atas harga-harga
kebutuhan pokok.
Operasi pasar yang selama ini dilakukan pemerintah belum bisa disebut
intervensi, karena 141 dampaknya hanya bersifat sementara. Melalui SK
Memperindag No. 439 Tentang Bea Masuk (Impor), peran Bulog yang dulu
memonopoli impor beras sudah dihilangkan, sehingga pihak manapun sesuai
dengan ketentuan diperkenankan untuk mengimpor beras.

6. Era Pemerintahan Reformasi


Pemerintahan reformasi sesungguhnya baru dimulai setelah masa pemilu
pertama yang mengusung Abdurrahman Wahid sebagai presiden pertama pada
pemilu langsung. Era pemerintahan reformasi melanjutkan kembali sejumlah
poin kesepakatan yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia yang
tertuang di dalam LoI dengan IMF. Melalui Undang-Undang No 23 Tahun
1999, dilakukan penghapusan fasilitas pemberikan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) yang selama ini melekat pada Bulog. KLBI merupakan
fasilitas finansial yang diberikan kepada Bulog untuk membeli kelebihan
produksi beras yang dihasilkan oleh petani.
Antara tahun 1998 hingga 2000, merupakan tahuntahun yang kelam bagi
Bulog. Setelah hak atas monopoli beras dicabut, Bulog tidak memiliki
kekuatan untuk turut berperan menjadi penyeimbang pasar perberasan
nasional. Peran impor maupun distribusinya sudah diserahkan kepada
mekanisme pasar. Di saat-saat yang terakhir itu pula, Bulog tidak diberikan
kewenangan lagi untuk menyalurkan beras yang telah ditetapkan harganya
kepada TNI dan Polri. Akibatnya, Bulog tidak memiliki segmentasi pasar
yang jelas, sehingga berimplikasi pada ketidakefektifannya peran Bulog
sebagai lembaga stabilisasi harga gabah dan beras.
Angin segar nampaknya mulai ditiupkan setelah muncul sejumlah gejolak
harga beras dan gabah paska 1998. Peran Bulog mulai dihidupkan secara
perlahan oleh Presiden Megawati melalui Peraturan Pemerintah No 7 Tahun
8
2003. Pemerintah nampaknya sedikit berhati-hati menetapkan status Bulog
agar tidak melanggar ketentuan yang digariskan melalui LoI 1998. Melalui
peraturan pemerintah tersebut, untuk pertama Bulog ditempatkan sebagai
lembaga logistik dengan misi ganda, yaitu misi publik (Public Service
Obligation) dan misi komersial atau misi mencari keuntungan.
Masih di era Presiden Megawati, kebijakan harga dasar diganti dengan
kebijakan harga pembelian pemerintah (procurement price). Ketetapan
tersebut dilaksanakan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2002
tentang Penetapan Kebijakan Perberasan. Secara konsepsional, harga
pembelian pemerintah tidak 143 sama dengan harga dasar (floor price).
Konsep harga pembelian berpedoman pada target kuantitas, yaitu pembelian
sejumlah tertentu pada harga tersebut. Pengaruh terhadap keseimbangan harga
di pasar tidak menjadi prioritas. Konsep tersebut tidak selalu berpihak pada
kepentingan petani, bahkan secara konseptual pula tidak bisa menjamin harga
ideal yang dikehendaki oleh para petani.
Pemerintah agaknya hanya mencoba menggerakkan kembali peran Bulog
agar lebih mampu untuk memfungsikan secara kelembagaan untuk melakukan
stabilisasi harga. Sekalipun demikian, stabilisasi harga tersebut seringkali
hanya bersifat sementara, serta tidak mampu menahan kerentanan terhadap
gejolak harga yang bersumber dari luar (impor beras). Kebijakan harga
pembelian tersebut masih diterapkan di era Presiden Yudhoyono. Masuki era
kepemimpinan Yudhoyono sebagai RI1, liberalisasi semakin diperluas di
sejumlah komoditi. Pada prinsipnya, kebijakan tersebut hanya melanjutkan
kembali poin-poin kesepakatan yang belum dilaksanakan oleh pemerintahan
reformasi sebelumnya. Tetapi tanpa proteksi penuh dari pemerintah, petani
lokal akan sulit bertahan ketika menghadapi pasar bebas. Angka impor
komoditi pangan utama terus melonjak, bahkan untuk komoditi pangan
lainnya selain tanaman pangan utama.
Paradigma kebijakan di sektor pertanian dari Presiden Yudhoyono masih
meneruskan paradigma usang yang masih bergantung pada komoditi beras,
yaitu orientasi untuk mencapai swasembada beras. Presiden Yudhoyono
sempat pula memberikan kewenangan monopoli impor beras kepada Bulog di
akhir tahun 2007. Tetapi sayangnya, kewenangan tersebut tidak banyak bisa
membantu untuk mengatasi dinamika harga beras di dalam negeri yang rawan
dengan gejolak harga.
Biaya oportunitas untuk mengelola lahan pertanian menjadi semakin
mahal, akibat regulasi di bidang agraria yang kurang menguntungkan petani.
Sekalipun biaya input seperti pupuk dan bibit bisa ditekan, tetapi biaya-biaya
input yang lebih besar tidak dapat dibendung dengan hanya bertahan dengan
mata pencaharian sebagai petani. Akibatnya, jumlah petani dan sumber daya
manusia di sektor pertanian di pedesaan terus menyusut setiap tahunnya. Kerja
sama yang dijalin bersama pusat penelitian pangan di Xinchua (China) pun
hanya membawa bibit-bibit beras yang diharapkan bisa cocok dibudidayakan
di Indonesia. Pada akhirnya, rencana swasembada beras di tahun 2014 nanti
9
pun tidak akan mampu menyelesaikan ketergantungan pangan utama bangsa
Indonesia terhadap beras. Wacana tentang keberagaman pangan ataupun
diversifikasi tanaman pangan sesungguhnya telah dihidupkan kembali di masa
kepemimpinan Presiden Yudhoyono.
Indonesia merupakan satu-satunya neagra di dunia yang memiliki potensi
keberagaman tanaman pangan paling banyak. Kebutuhan karbohidrat tidak
hanya dapat dicukupi dengan tanaman beras, melainkan dapat dipenuhi dari
tanaman singkong, jagung, ketela, kentang, ubi jalar, sagu, ataupun sejenis
umbi-umbian. Diversifikasi pangan sesungguhnya pula telah diperkenalkan
secara resmi sejak era Soekarno, kemudian terakhir dimunculkan pada tahun
1974. Andai saja, program diversifikasi pangan yang diperkenalkan kembali
pada tahun 2010 tersebut bisa dilaksanakan dengan serius, maka Indonesia
tidak perlu lagi harus mengeluarkan lebih banyak uang hanya untuk
mewujudkan program swasembada beras yang belum tentu akan tercapai
setiap tahunnya.

B. Pilar Ketahanan Pangan


Kebutuhan pemenuhan pangan dalam negeri yang amat besar tanpa
diimbangi dengan produksi pangan dalam negeri yang mencukupi,
mengancam Indonesia terjebak dalam kondisi negara rawan pangan. Rawan
pangan disini bukan berarti tidak tersedianya pangan, namun pangan rakyat
Indonesia sangat tergantung dari suplai luar negeri (impor). Fenomena ini
memancing produsen pangan luar negeri mengincar pasar pangan Indonesia
yang amat besar ini dengan menginginkan Indonesia tidak memiliki
kemandirian pangan. Sesuai data Badan sentra Statistik tahun 2013, angka
kerawanan pangan warga Indonesia pada tahun 2012 ternyata masih ada 47,64
juta penduduk berada pada kondisi sangat rawan pangan.
Tentu saja ini menjadi problem yang perlu segera ditangani, mengingat
ketika ini jumlah masyarakat rawan pangan telah mencapai 19,46% dari
jumlah penduduk. Jika dibiarkan berlarutlarut, maka akan berpotensi menjadi
rawan pangan akut yang berdampak pada bencana kelaparan. Konversi lahan
pertanian ke penggunaan lain (non pertanian) dan sulitnya penerapan UU No.
41 tahun 2009 mengenai lahan pertanian berkelanjutan diyakini hingga waktu
ini masih sebagai perseteruan primer berdasarkan evaluasi RPJMN tahun 2010
– 2014, planning ekspansi areal pertanian sebesar dua juta hektar terhambat.
Saat ini baru 37.000 ha lahan terlantar yang telah ditetapkan dengan SK
kepala BPN Republik Indonesia.
Disamping semakin meningkatnya konversi lahan seiring menggunakan
semakin tingginya jumlah 147 penduduk, ketersediaan infrastruktur pertanian
waktu ini berada di syarat yang belum mumpuni. Terdapat kurang lebih 52%
saluran irigasi di wilayah-wilayah pertanian mengalami kerusakan, kurangnya
dukungan infrastruktur budidaya pertanian dan perikanan tangkap dan baru

10
ada 60% saja jalan kabupaten yang layak pada mendukung kemudahan
transportasi hasil pertanian
Namun, pada kenyataannya ketahanan pangan masih dihadang dengan
kendala permasalahan yang hingga saat ini belum tuntas. Hal ini dapat dilihat
pada nilai NTP yang tidak kunjung mengalami perubahan. Keadaan ini
diakibatkan harga input seperti benih, pupuk, tenaga kerja, dan sewa lahan
semakin meningkat, sedangkan harga outputnya pada saat panen cenderung
rendah. Harga output yang cenderung rendah ini dapat disebabkan karena
adanya peningkatan persaingan dari impor. Disamping itu, upaya
menyelamatkan Indonesia dari perangkap kerawanan pangan juga dihambat
oleh masih rendahnya produktivitas komoditi pangan utama. Penggunaan
benih unggul bersertifikat dari petani saat ini pun hanya mampu menembus
40% saja.

C. Pilar Strategi Atasi Kerawanan Pangan


Pembangunan ketahanan pangan nasional merupakan bagian upaya buat
mewujudkan Indonesia mandiri. Upaya diarahkan pada usaha buat menjaga
ketahanan pangan serta kemandirian pangan nasional dengan pengembangan
kemampuan produksi pada negeri yang tinggi sesuai dengan keragaman lokal.
Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan pangan tidak tergantung lagi pada
impor produk pangan dari luar negeri. Dampaknya penduduk Indonesia yang
sebagian besar menggantungkan hidupnya berasal sektor pertanian akan lebih
mandiri dan sejahtera. Setidaknya ada 4 pilar yang perlu dibangun guna
mendukung sektor pertanian dalam mewujudkan ketahanan pangan. Ke-4 pilar
tadi yaitu (1) Pembangunan infrastruktur pertanian; (2) Penyediaan info dan
IPTEK berbasis kearifan lokal; (3) perluasan akses pendidikan; dan (4)
Budaya penelitian serta pengembangan pertanian. Infrastruktur pertanian
artinya faktor kunci yang mendukung program pengentasan kemiskinan, pada
hal ini petani di pedesaan. Pada akhir 1990-an di Vietnam, pembangunan
infrasruktur pertanian berupa irigasi dan 149 jalan mencapai 60% dari total
anggaran mampu menurunkan tingkat kemiskinan dengan pesat.
Hal serupa juga terjadi di Ethiopia yang pernah mengalami krisis pangan
dan kelaparan pada tahun 1980. Ketersediaan kabar yang mumpuni dalam hal
teknis, hemat, mapun sosial petani sangat diperlukan guna menyampaikan
akses info yang diharapkan petani. Akses berita ini terutama informasi
kesempatan kerja, pasar, input, serta output pertanian, serta tentang
teknikteknik pertanian teranyar. Pendidikan memegang peranan yg sangat
krusial pada peningkatan kesejahteraan petani dan pencegahan kerawanan
pangan rumah tangga. Tingkat pendidikan berkaitan erat dengan peningkatan
produktivitas sektor pertanian, kemampuan melakukan diversifikasi pada
bidang pertanian, dan meningkatkan posisi tawar upah petani yang lebih baik.
Penelitian dan pengembangan sangat diharapkan baik yang dilakukan
sang peneliti secara mandiri juga yang melibatkan petani. percepatan release

11
benih unggul dan pengawalan di lapangan, revitalisasi sistem perbenihan
nasional, dan penguatan penangkarpenangkar benih di petani sangat
diperlukan guna mewujudkan peningkatan produktivitas produk pangan dalam
negeri. Ke-4 pilar perlu diimplementasikan secara komprehensif dalam
peningkatan sumberdaya manusia petani dengan memanfaatkan sumberdaya
alam terutama sektor pertanian. Penerapan ke-4 pilar akan memunculkan
rekomendasi kebijakan prioritas ketahanan pangan yang dapat
dipertimbangkan dalam RPJMN tahun 2015 – 2019

D. Komponen Utama Ketahanan Pangan


WHO (World Health Organization) selaku salah satu organisasi PBB
yang berkiprah di bidang kesehatan telah mendefinisikan 3 komponen utama
ketahanan pangan, yaitu:
1. Ketersediaan
Ketersediaan pangan berhubungan dengan suplai pangan melalui produksi,
distribusi, dan pertukaran. Produksi pangan ditentukan oleh aneka macam
jenis faktor, termasuk kepemilikan lahan dan penggunaannya; jenis serta
manajemen tanah; pemilihan, pemuliaan, serta manajemen tanaman pertanian;
pemuliaan serta manajemen hewan ternak; serta pemanenan. Produksi
tumbuhan pertanian dapat ditentukan oleh perubahan temperatur serta curah
hujan. Pemanfaatan lahan, air, dan tenaga untuk menumbuhkan bahan pangan
tak jarang berkompetisi dengan kebutuhan lain.
Pemanfaatan lahan buat pertanian dapat berubah menjadi pemukiman
atau hilang dampak desertifikasi, salinisasi, dan erosi tanah karena praktik
pertanian yang tidak lestari. Produksi tumbuhan pertanian bukanlah suatu
kebutuhan yang mutlak bagi suatu negara untuk mencapai ketahanan pangan.
Jepang dan Singapura menjadi model bagaimana sebuah negara yang tidak
memiliki sumber daya alam untuk memproduksi bahan pangan namun bisa
mencapai ketahanan pangan. 151 Distribusi pangan melibatkan penyimpanan,
pemrosesan, transportasi, pengemasan, serta pemasaran bahan pangan.
Infrastruktur rantai pasokan serta teknologi penyimpanan pangan juga dapat
mempengaruhi jumlah bahan pangan yg hilang selama distribusi.Infrastruktur
transportasi yg tidak memadai dapat menyebabkan peningkatan harga sampai
ke pasar global.Produksi pangan per kapita dunia sudah melebihi konsumsi
per kapita, tetapi pada banyak sekali tempat masih ditemukan kerawanan
pangan karena distribusi bahan pangan sudah menjadi penghalang primer
dalam mencapai ketahanan pangan.

2. Akses
Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli dan
besarnya alokasi bahan pangan, pula faktor selera pada suatu individu serta
tempat tinggal tangga itu sendiri. PBB menyatakan bahwa penyebab kelaparan
serta kekurangan gizi seringkali bukan disebabkan sang kelangkaan bahan

12
pangan tetapi ketidakmampuan mengakses bahan pangan sebab kemiskinan.
Kemiskinan membatasi akses terhadap bahan pangan dan pula menaikkan
kerentanan suatu individu atau tempat tinggal tangga terhadap peningkatan
harga bahan pangan. Kemampuan akses bergantung pada besarnya pendapatan
suatu tempat tinggal tangga buat membeli bahan pangan, atau kepemilikan
lahan buat menumbuhkan makanan buat dirinya sendiri. Rumah tangga
dengan sumber daya yg relatif dapat mengatasi ketidakstabilan panen dan
kelangkaan pangan setempat dan bisa mempertahankan akses pada bahan
pangan. terdapat dua perbedaan tentang akses pada bahan pangan. (1) Akses
pribadi, yaitu rumah tangga memproduksi bahan pangan sendiri, (2) akses
ekonomi, yaitu tempat tinggal tangga membeli bahan pangan yg diproduksi
pada tempat lain. Lokasi bisa mensugesti akses kepada bahan pangan serta
jenis akses yang digunakan di rumah tangga tersebut. Meski demikian,
kemampuan akses pada suatu bahan pangan tidak selalu menyebabkan
seorang membeli bahan pangan tersebut sebab ada faktor selera serta budaya.
Demografi dan tingkat edukasi suatu anggota rumah tangga juga gender
memilih hasrat memiih bahan pangan diinginkannya sebagai akibatnya
mensugesti jenis pangan akan dibeli.

3. Pemanfaatan Pangan
Waktu bahan pangan sudah didapatkan, maka banyak sekali faktor
mempengaruhi jumlah serta kualitas pangan yang dijangkau oleh anggota
keluarga. Bahan pangan yang dimakan wajib safety dan memenuhi kebutuhan
fisiologis suatu individu. Keamanan pangan menghipnotis pemanfaatan
pangan dan dapat dipengaruhi sang cara penyiapan, pemrosesan, dan
kemampuan memasak pada suatu komunitas atau tempat tinggal tangga. 153
Akses kepada fasilitas kesehatan jua mensugesti pemanfaatan pangan sebab
kesehatan suatu individu menghipnotis bagaimana suatu kuliner dicerna.
Misal keberadaan parasit pada pada usus bisa mengurangi kemampuan tubuh
menerima nutrisi eksklusif sebagai akibatnya mengurangi kualitas
pemanfaatan pangan sang individu. Kualitas sanitasi pula menghipnotis
eksistensi dan persebaran penyakit yg bisa menghipnotis pemanfaatan pangan
sebagai akibatnya edukasi mengenai nutrisi serta penyiapan bahan pangan
dapat mensugesti kualitas pemanfaatan pangan.

4. Stabilitas
Stabilitas pangan mengacu pada kemampuan suatu individu dalam
mendapatkan bahan pangan sepanjang saat eksklusif. Kerawanan pangan
dapat berlangsung secara transisi, musiman, ataupun kronis (permanen). di
ketahanan pangan transisi, pangan kemungkinan tidak tersedia pada suatu
periode saat tertentu. Alam serta kekeringan mampu mengakibatkan
kegagalan panen dan mensugesti ketersediaan pangan pada tingkat produksi.
perseteruan sipil pula bisa mempengaruhi akses kepada bahan pangan.
Ketidakstabilan di pasar mengakibatkan peningkatan harga pangan sebagai
13
akibatnya jua mengakibatkan kerawanan pangan. Faktor lain contohnya
hilangnya tenaga kerja atau produktivitas yg disebabkan oleh wabah penyakit.
animo tanam menghipnotis stabilitas secara musiman karena bahan pangan
hanya terdapat pada demam isu tertentu saja. Kerawanan pangan permanen
atau kronis bersifat jangka panjang dan persisten.

BAB III
KESIMPULAN

Ketahanan pangan adalah sebuah kondisi yang terkait dengan ketersediaan


bahan pangan secara berkelanjutan. Ketahanan pangan hanya dipahami pada
tingkat nasional, dengan definisi bahwa negara akan aman secara pangan jika
produksi pangan meningkat untuk memenuhi jumlah permintaan dan kestabilan
harga. Definisi baru mengenai ketahanan pangan dibuka pada tahun 1966 di
World Food Summit yang menekankan ketahanan pangan dalam konteks
perorangan, bukan negara. Pangan (food) dimaknai sebagai komoditi yang
dikelola, diperdagangkan, dan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan
makanan pokok sehari-hari.
Tidak sedikit sejarah mencatat, persoalan pangan menjadi penentu
kelanggengan atau kejayaan suatu kekuasaan. Seorang ekonom, Sjahrir (1986)
pernah berujar, siapa yang menguasai pangan, maka dia yang akan mengusai
orang (kekuasaan). Ada beberapa sejarah ketahanan pangan yang terjadi di
Indonesia yaitu:
1. Masa kerajaan-kerajaan kuno/klasik,
2. Masa pemerintahan kolonial belanda,
3. Masa kemerdekaan,
4. Masa orde baru,
5. Pemerintahan transisi,
6. Era pemerintahan reformasi.
WHO (World Health Organization) selaku salah satu organisasi PBB yang
berkiprah di bidang kesehatan telah mendefinisikan 4 komponen utama
ketahanan pangan, yaitu:
1. Ketersediaan,
2. Akses,
3. Pemanfaatan pangan,
4. Stabilitas.

14
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Referensi
Dr. Ir. Alridiwirsah, M.M., Muhammad Alqamari, S.P., M.P. dan Abdul
Rahman Cemda, S.P., M.Si. (2022). Pengantar Ilmu Pertanian. Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara. Medan.

15

Anda mungkin juga menyukai