Oleh
Assalamu’alaikum Wr. wb
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-nya kepada kita semua berupa, ilmu dan amal.
Berkat rahmat dan karunia-NYA pula, penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul“(Langkah-langkah Kerja Penelitian Filologi)”. mata kuliah filologi
yang InsyaAllah tepat pada waktunya.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab
itu, penulis mengharapkan kritik dan pembaca saran demi kesempurnaan makalah
untuk kedepannya. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi peneliti dan
pembaca. Dengan demikian, tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada para
pembaca. Semoga Allah memberkahi makalah ini sehinga benar-benar
bermanfaat.
penulis
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...............................................................................................................i
Daftar Isi.......................................................................................................................ii
BAB I
Pembahasan................................................................................................................2
A. Pengertian Filologi............................................................................................2
BAB II (Penutup)
a. Kesimpulan .....................................................................................................9
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filologi
Filologi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua kata philos dan
logos. Philos artinya cinta dan logos artinya kata (logos juga berarti ilmu). Jadi,
filologi itu secara harfiah berarti cinta pada kata-kata. ltulah sebabnya filologi
selalu asik dengan kata-kata atau teks. Kata-kata dipertimbangkan, diperbaiki,
dibandingkan, dijelaskan asal-usulnya, dan sebagainya sehingga jelas bentuk dan
artinya. Penelitian filologi secara khusus berfokus pada teks dan naskah.
Penelitian filologi yang berfokus pada teks disebut kritik teks atau tekstologi.
Sedangkan penelitian filologi yang berfokus pada naskah atau bahan yang
digunakan untuk menuliskan teks disebut kodikologi.
Pengertian filologi ini kemudian berkembang dari pengertian cinta kepada
kata-kata menjadi cinta ilmu. Filologi tidak hanya sibuk dengan kritik teks, serta
komentar penjelasannya, tetapi juga menyelidiki kebudayaan suatu bangsa
berdasarkan naskah. Objeknya tetap sama, yaitu naskah. Dari penelitian filologi,
kita dapat menetahui latarbelakang kebudayaan yang menghasilkan karya sastra
tersebut, seperti kepercayaan, agama, adat-istiadat, dan pandangan hidup suatu
bangsa.1
1
Barried. Dkk, Pengantar teori filologi, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994) hal. 3.
3
berkembang di kawasan kerajaan Yunani, (di Kota Iskandariyah) yaitu untuk
menyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan tulisan yang
berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya. Namun di balik
pentingnya mendalami ilmu filologi, dalam jurnalnya yang berjudul "kembali
ke filologi: filologi Indonesia dan tradisi orientalisme" mengatakan bahwa
dalam disiplin ilmu kemanusiaan filologi sering diposisikan sebagai suatu
disiplin ilmu yang kurang menarik, kurang trendi, tidak modern, dan
ketinggalan zaman. Pernyataan tersebut tidak menjadi hambatan bagi para
filolog untuk tetap meneruskan penelitian yang bergerak pada naskah-naskah
klasik, karena dengan penyuntingan naskah lama melalui disiplin ilmu filologi
akan membuka wawasan baru yang tidak ada di zaman sekarang.
Tranliterasi Teks
Tranlitersai artinya penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad
yang satu ke abjad yang lain. Istilah ini dipakai dengan istilah bersama-sama
dengan istilah transkripsi dengan pengertian yang sama pada penggantian
jenis tulisan naskah. Penggantian jenis tulisan pada prasasti umumnnya
memakai istilah transkripsi. Apabila istilah transkripsi dibedakan dari istilah
transliterasi, maka transkripsi diartikan sebagai salinan atau turunan tanpa
mengganti macam tulisan (hurufnya tetap sama).
Transliterasi sangat penting untuk memperkenalkan teks-teks lama
yang tertulis dengan huruf daerah karena kebanyakan orang sudah tidak
mengenal atau tidak akrab lagi dengan tulisan daerah. Dalam melakukan
transliterasi, perlu diikuti pedoman yang berhubungan dengan pembagian kata,
ejaan, dan pungtuasi. Sebagaimana diketahui, teks-teks lama ditulis tanpa
memperhatikan unsur-unsur tata tulis yang merupakan kelengkapan wajib
untuk memahami teks. Hal ini berkaitan dengan gaya penceritaan yang
mengalir terus karena dulu teks dibawakan atau dibacakan pada peristiwa-
peristiwa tertentu untuk dihayati dan dinikmati bersama-sama. Penulisan kata-
4
kata yang tidak mengindahkan pemisahan serta penempatan tanda baca yang
tidak tepat dapat menimbulkan arti yang berbeda, sedangkan prinsip dasar
ejaan adalah keajegan disamping mengikuti ejaan yang sudah dibakukan.
Berdasarkan pedoman, transliterasi harus mempertahankan ciri-ciri teks
asli sepanjang hal itu dapat dilaksanakan karena penafsiran teks yang
bertanggung jawab akan sangat membantu pembaca dalam memahami isi teks.
Lebih bermanfaat lagi bagi peminat dari daerah lain di Nusantara apabila teks
yang sudah ditransliterasikan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, kecuali
teks berbahasa Melayu karena bahasa itu sudah dipandang menyatu dengan
bahasa Indonesia. Dalam menerjemahkan kiranya dapat dipakai metode harfiah
apabila mungkin dan metode bebas apabila mutlak perlu untuk menjaga
kemurnian segala lapisan penciptaan teks dalam bahasa asalnya.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam transliterasi teks adalah sebagai
berikut:
1) tata tulis aksara yang digunakan dalam naskah dan sifat aksara yang
akan digunakan untuk mengalih tuliskannya,
2) sifat aksara dalam naskah dan sifat aksara yang akan digunakan
untuk mengalihtuliskannya (dalam hal pemisahan kata),
3) sifat aksara dalam naskah dan sifat aksara yang akan digunakan
untuk mengalihtuliskannya (dalam hal pemisahan kata),
4) pungtuasi, yaitu tanda baca yang berfungsi sebagai tanda penuturan
kalimat (koma, titik koma, titik, titik dua, tanda tanya, tanda seru, dan
tanda petik) serta tanda metra yang berfungsi sebagai tanda pembagian
puisi, yaitu pembatas larik, pembatas bait, dan tembang.
Pada tahap transliterasi teks, seorang filolog mempunyai dua tugas pokok
yang harus dilakukan. Pertama, menjaga kemurnian bahasa lama dalam naskah,
khususnya penulisan kata. Penulisan kata yang menunjukkan ciri ragam bahasa
lama dipertahankan bentuk aslinya, tidak disesuaikan penulisannya dengan
penulisan kata menurut EYD dengan tujuan agar bahasa lama dalam naskah tidak
hilang. Kedua, menyajikan teks sesuai dengan pedoman ejaan yang berlaku
5
sekarang, khususnya teks yang tidak menunjukkan ciri bahasa lama yang
disebutkan dalam tugas pertama di atas.2 Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa ada dua metode transliterasi yang dapat digunakan agar tugas filolog dapat
tercapai, yaitu transliterasi diplomatik dan transliterasi standar.
Transliterasi diplomatik, yaitu alih tulis dari aksara teks ke dalam aksara sasaran
dengan tidak mengadakan perubahan pada teks yang disalin atau sesuai apa
adanya, sehingga kemurnian teks dapat terjaga dengan mempertahankan
bentuk aslinya dan tidak disesuaikan dengan pedoman Ejaan yang
Disempurnakan. Wiryamartana (1990: 30) menambahkan bahwa tujuan
transliterasi dengan terbitan diplomatik, yaitu agar pembaca dapat mengikuti teks,
seperti yang termuat dalam naskah sumber. Tujuan lain dari adanya
transliterasi dengan terbitan diplomatik disebutkan oleh Suyami (2001: 28), yaitu
untuk memberikan deskripsi atau gambaran yang lebih jelas mengenai
keseluruhan isi teks dengan apa adanya.
2
Edward Ojamarls, Filologi dan cara kerja Filologi, Jakarta: (Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, 1997) hal. 13.
6
Suntingan teks
Setelah teks ditransliterasikan, langkah selanjutnya adalah mengadakan
suntingan teks. mendefinisikan suntingan teks sebagai suatu cara yang
dilakukan dalam langkah kerja penelitian filologi dengan mengadakan
pembetulan-pembetulan, perubahan, penambahan, maupun pengurangan
dengan harapan teks yang dihasilkan bersih dari segala kekeliruan.
3
Barried. Dkk, Pengantar teori filologi, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), 1985 hal. 69.
7
Parafrase Teks
Secara etimologis, kata parafrase atau parafrasa berasal dari Bahasa
Yunani (Pharaprasain) dimana dalam Bahasa latin disebut “ Paraprasis”
yang artinya “cara ekptresi tambahan”. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) arti parafrase adalah:
1). Pengungkapan kembali suatu tuturan dari sebuah tingkatan atau
macam Bahasa menjadi yang lain tanpa mengubah pengertian.
2). Penguraian pengembalian suatu teks (karangan) dalam bentuk
(susunan kata-kata) yang lain, dengan maksud untuk dapat menjelaskan
makna yang tersembunyi
Dari penjelasan tersebut maka dapat kita simpulkan Parafrase adalah
penyajian kembali atau penulisan ulang suatu paragraf atau teks, untuk
meminjam, mengklarifikasi, atau memperluas informasi tanpa menjiplak
konten orang lain, dengan menggunakan kata-kata sendiri tanpa
mengubah maknanya.
Adapun ciri-ciri parafrase adalah:
Konten disampaikan dengan cara yang berbeda
Subtansi konten tidak berubah
Bahasa penyampaian konten dibuat berbeda
Makna yang terkandung dalam konten masih tetap sama.
8
BAB III
Kesimpulan
Filologi tidak hanya sibuk dengan kritik teks, serta komentar penjelasannya,
tetapi juga menyelidiki kebudayaan suatu bangsa berdasarkan naskah. Objeknya
tetap sama, yaitu naskah. Dari penelitian filologi, kita dapat menetahui
latarbelakang kebudayaan yang menghasilkan karya sastra tersebut, seperti
kepercayaan, agama, adat-istiadat, dan pandangan hidup suatu bangsa.
1
DAFTAR PUSTAKA