A. Pendahuluan
1. Konneksionisme
Konneksionisme dipelopori oleh Edward L.
Thorndike. Selama pertengahan abad ke-20 aliran ini
mendominasi dunia psikologi belajar di Amerika
Serikat. Dewasa ini, meskipun pengaruhnya kelihatan
agar mundur karena persaingannya dengan teori lain,
tetapi pengaruhnya dalam bidang praktik pengajaran
masih dapat dirasakan.
Menurut teori ini belajar pada hewan dan
manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-
prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah
pembentukan assosiasi (Bond, conection) antara kesan
panca indera (sense impression) dengan
kecenderungan bertindak (impulse to action). Proses
belajar itu disifatkan oleh Thorndike sebagai “learning
by selecting and connecting” atau trial and error
learning, dan berlangsung menurut hukum-hukum
tertentu.
Thorndike mengemukakan tiga kelompok
hukum atau prinsip yang memberi keterangan tentang
proses belajar, yakni :
a. Tiga buah hukum primer.
b. Lima buah hukum sekunder.
c. Enam buah hukum tambahan (Bigge: 1998).
Inti-inti hukum primer adalah sebagai berikut :
1) Hukum kesiapan (law of readiness).
Ada tiga keadaan yang menggambarkan
berlakunya hukum ini, yakni :
a) Jika seorang individu memiliki kecenderungan
bertindak, maka melakukan tindakan itu akan
menimbulkan rasa puas, dan mengakibatkan ia
tidak akan melakukan tindakan lain.
b) Jika seorang individu memiliki kecenderungan
bertindak, maka tidak melakukan tindakan itu
akan menimbulkan rasa tidak puas, dan
mengakibatkan ia melakukan tindakan lain
untuk mengurangi/meniadakan rasa tidak puas
itu.
c) Jika seorang individu tidak memiliki
kecenderungan bertindak, maka melakukan
tindakan itu akan menimbulkan rasa tidak
puas, dan mengakibatkan ia melakukan
tindakan lain untuk mengurangi/meniadakan
rasa tidak puas itu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa menurut
hukum kesiapan, jika kesiapan itu tidak dimilikinya
maka ia akan melakukan sesuatu tindakan dengan
perasaan setengah-setengah atau mendua hati. Jika
seandainya kesiapan telah dimiliki, tetapi ia tidak
mendapat kesempatan untuk difungsikan, atau
dihalangi/ dirintangi oleh hal-hal lain, maka akan
menimbulkan adanya gangguan. Implikasi praktis
hukum ini adalah bahwa belajar itu akan lebih
mungkin berhasil jika dilandasi oleh kesiapan untuk
melakukan kegiatan belajar.
3. Operant Conditioning
Teori ini dipelopori oleh Skinner. Skinner
berbeda pandang dengan Pavlov dan Watson dalam
kajian tentang hubungan antara perangsang dan
respon dalam tingkah laku manusia. Skinner
membedakan adanya dua macam respon, yakni :
a. Respondent response (reflexcive response),
yakni; respon yang ditimbulkan oleh
perangsang-perangsang tertentu. Perangsang
yang demikian disebut eliciting stimuli,
menimbulkan respon-respon yang secara relatif
tetap. Seperti halnya makanan yang
menyebabkan keluarnya air liur. Pada
umumnya perangsang-perangsang yang
demikian mendahului respon yang
ditimbulkannya.
b. Operant response (instrumental response), yakni;
respon yang timbul dan berkembang diikuti oleh
perangsang-perangsang tertentu. Perangsang
yang demikian disebut reinforcing stimuli atau
reinforcer, karena perangsang tersebut
memperkuat respon yang telah dilakukan oleh
organisme. Justeru itu, perangsang tersebut
mengikuti suatu tingkah laku tertentu yang
telah dilakukan, seperti seorang peserta didik
yang belajar, lalu mendapat hadiah, maka ia
akan lebih giat belajar. Dalam hal ini responnya
menjadi lebih intensif/kuat.
Dalam kenyataannya, respon jenis pertama
sangat terbatas dimiliki manusia. Karena adanya
hubungan yang pasti antara stimulus dan respon,
maka kemungkinan untuk memodifikasikannya
adalah kecil. Sebaliknya, respon jenis kedua
merupakan bagian terbesar dari tingkah laku
manusia, sehingga kemungkinan memodifikasikannya
dapat dikatakan tidak terbatas.
Menurut Reynolds (1998), fokus teori Skinner
adalah pada respon jenis kedua, yaitu bagaimana
menimbulkan, mengembangkan dan memodifikasikan
tingkah laku. Secara sederhana, pembentukan tingkah
laku dalam operant conditioning adalah seperti tertera
berikut ini :
a. Dilakukan identifikasi mengenai hal-hal apa
yang merupakan reinforcer (hadiah) bagi tingkah
laku yang dibentuk itu.
b. Dilakukan analisis untuk mengidentifikasi
komponen-komponen kecil yang membentuk
tingkah laku dimaksud.
c. Urutan komponen-komponen itu dijadikan
tujuan sementara untuk mengidentifikasi
reinforcer (hadiah) untuk masing-masing
komponen itu.
d. Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan
menggunakan urutan komponen yang telah
tersusun itu. jika komponen pertama telah
dilakukan, maka hadiahnya diberikan. Hal ini
akan mengakibatkan komponen tersebut sudah
terbentuk dan dilakukan komponen kedua
dengan mamberi hadiah, tanpa memberi hadiah
lagi untuk komponen terdahulu. Demikian
dilakukan berulang-ulang hingga komponen
kedua terbentuk. Selanjutnya dilakukan dengan
komponen ketiga, keempat dan seterusnya
hingga tingkah laku yang diharapkan dapat
terbentuk.
C. Teori Kognitif
1. Teori Gestalt
Teori ini dipelopori oleh Koffka, Kohler dan
Wertheimer. Penelitian-penelitian psikologi Gestalt
pada mulanya adalah dalam bidang persepsi, terutama
penglihatan. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan
disusunlah berbagai hukum Gestalt dalam
pengamatan, yakni :
a. Hukum Pragnanz
Hukum ini menyatakan bahwa organisasi psikis
senantiasa cenderung untuk bergerak ke arah
keadaan pragnanz, yakni keadaan “penuh arti”.
Jika individu mengamati sekelompok objek,
maka ia akan mengamatinya dalam arti tertentu,
maksudnya, ia akan mengatur kesan
pengamatannya sedemikian rupa, sehingga
pengelompokan objek itu memiliki arti tertentu
baginya. Pengaturan itu mungkin menurut
bentuk, warna, ukuran dan lain-lain.
b. Hukum Kesamaan (law of similarity).
Hal-hal yang sama cenderung untuk
membentuk gestalt.
c. Hukum keterdekatan (law of proximity).
Hal-hal yang saling berdekatan cenderung untuk
membentuk Gestalt.
d. Hukum ketertutupan (law of closure).
Hal-hal yang tertutup cenderung untuk
membentuk Gestalt.
e. Hukum kontinuitas (law of good continuation).
Hal-hal yang kontinu atau yang merupakan
kontinuitas yang baik cenderung untuk
membentuk Gestalt (Kohler: 1999).
Pada perkembangan selanjutnya, para ahli
psikologi Gestalt berpendapat bahwa hukum-hukum
dan prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang
pengamatan berlaku juga dalam bidang belajar dan
berpikir. Karena apa yang dipelajari, dipikirkan itu
bersumber dari apa yang dikenal lewat fungsi
pengamatan. Belajar, berpikir itu pada hakikatnya
adalah melakukan pengubahan struktur kognitif.
Berbeda dengan teori Behavioristik, teori Gestalt
memandang bahwa “insight” adalah inti belajar.
Belajar yang sebenarnya adalah insightful learning,
sehingga sumber nomor satu adalah dimengertinya hal
yang dipelajari (Bigge: 1998). Eksperimen-eksperimen
Kohler dipandang merupakan bukti mengenai hal ini,
yakni :
a. Insightful learning tergantung kepada
kemampuan peserta didik. Selanjutnya,
kemampuan dasar ini tergantung pula kepada :
(1) umur; (2) keanggotaan dalam suatu spesies,
(3) perbedaan individual dalam suatu spesies.
b. Insight tergantung kepada pengaturan situasi
yang dihadapi. Insightful learning hanya
mungkin diperoleh (timbul) jika situasi belajar
diatur sedemikian rupa, sehingga seluruh aspek
yang dibutuhkan dapat diobservasi. Sarana yang
tidak jelas kegunaannya menjadi tidak mungkin
untuk dimanfaatkan, atau setidak-tidaknya
menjadi sulit.
c. Insight didahului oleh periode mencari dan
mencoba-coba. Sebelum memecahkan problem
peserta pendidik mungkin melakukan hal-hal
yang kurang relevan bagi problem itu.
d. Pemecahan masalah dengan pengertian dapat
diulangi dengan mudah. Jika pemecahan
masalah sudah dapat dilakukan dengan
pengertian, maka peserta didik akan dengan
mudah dapat mengulangi pemecahan masalah
itu, dan dapat dilakukannya secara langsung.
e. Sekali insight telah diperoleh, maka akan dapat
digunakan untuk menghadapi situasi yang lain.
Justeru itu, ada semacam transfer of training,
namun yang ditransfer bukan materi-materi
yang telah dipelajari, tetapi relasi-relasi dan
generalisasi yang diperoleh melalui insight.
Situasi, materi, hal yang lama (yang
menimbulkan insight) mungkin berbeda dengan
situasi, materi, hal yang baru, tetapi relasi-relasi
dan generalisasinya sama.
2. Teori Medan
Teori ini adalah teori yang dihasilkan oleh
perkembangan khusus yang terjadi pada psikologi
Gestalt. Teori ini dikembangkan oleh Kurt Lewin. Kurt
Lewin mengakui prinsip-prinsip yang dikemukakan
oleh teori Gestalt (seperti yang dikemukakan
terdahulu), tetapi ia menambahkan beberapa unsur
baru, yakni :
a. Belajar adalah pengubahan struktur kognitif.
Pemecahan problem hanya dapat dilakukan
apabila struktur kognitif diubah.
b. Peranan hadiah dan hukuman adalah
merupakan dua sarana motivasi yang
bermanfaat. Namun, dalam penggunaannya
memerlukan pengawasan yang cermat. Pada
umumnya peserta didik dipandang memperoleh
nilai baik jika mengerjakan tugas-tugas belajar.
Memperoleh nilai baik dengan cara seperti itu
dipandang sesuatu yang tidak menarik. Justeru
itu, ada kecenderungan untuk memperoleh nilai
baik tanpa usaha belajar. Dalam hal inilah
diperlukan adanya pengawasan tersebut.
c. Masalah sukses dan gagal juga merupakan
faktor motivasi yangj penting. Pengalaman
sukses berperan sebagai hadiah dan
pengalaman gagal berperan sebagai hukuman.
Kesuksesan membuat peserta didik puas,
gembira, bangga, senang dan bergairah, serta
dengan itu ia akan berupaya lebih lanjut dengan
lebih giat. Sebaliknya, kegagalan akan
menyebabkannya merasa malu, sedih, tidak
puas dan kehilangan semangat, sehingga
mengakibatkan ia putus asa untuk melakukan
kegiatan belajar.
Justeru itu, perlu diperhatikan, sebagaimana
dikemukakan oleh Bigge (1998), bahwa pengalaman
sukses itu dapat diperoleh dalam beberapa keadaan,
seperti berikut :
a. Pengalaman sukses dialami apabila peserta
didik benar-benar memperoleh apa yang
diinginkannya, seperti; lulus ujian dalam suatu
program.
b. Pengalaman sukses dapat dialami jika peserta
didik telah berada dalam areal yang ingin
dicapai. Seperti halnya peserta didik yang sudah
merasa berhasil dalam ujian meskipun dalam
beberapa matapelajaran ia memperoleh nilai
rendah.
c. Kemungkinan lain, pengalaman sukses dapat
dialami jika peserta didik telah membuat
kemajuan ke arah tujuan yang hendak dicapai.
Seperti halnya ia telah merasa berhasil jika ia
telah mempersiapkan diri dengan baik dalam
menghadapi suatu ujian.
d. Selain itu, peserta didik telah mengalami
perasaan sukses jika ia telah berbuat dalam
cara yang menurut penilaian adalah cara
terbaik, meskipun sebenarnya penilaian itu
kurang tepat. Seperti halnya peserta didik telah
merasa sukses apabila ia telah memiliki buku
yang tebal-tebal atau buku yang banyak.
D. Teori Humanistik
E. Tipe-tipe Belajar
Nama : Amir
Kelas : III IPS3 MAN 1 Medan
Jenis Kelamin : Memahami kata-kata “naik”,
“turun” dan “jatuh” dalam
berbagai konteks kalimat.
Materi remedial : 1. Sebuah seri gambar yang terdi-
ri atas: 1) gambar yang mem-
peragakan arti kata “naik”, b)
gambar yang memperagakan
arti kata “turun”, c) gambar
yang memperagakan arti kata
“jatuh”.
2. Sebuah seri kartu yang terdiri
atas : a) kartu kata “naik”, b)
kartu kata “turun”, c) kartu
kata “jatuh”.
3. Tiga buah cerita pendek yang
masing-masing mengandung
kalimat yang menggunakan
kata “naik”, “turun” dan
“jatuh”.
Alokasi waktu : 45 menit
Evaluasi remedial : Menggunakan instrumen tes isian
yang terdiri atas kalimat-kalimat
yang harus disempurnakan
dengan menggunakan kata naik,
turun dan jatuh.