Anda di halaman 1dari 57

TEORI-TEORI BELAJAR

A. Pendahuluan

Sebelum abad ke-20 telah berkembang beberapa


teori belajar, yaitu teori disiplin mental, teori
pengembangan alamiah (natural unfoldment) atau self-
actualization, dan teori apersepsi. Hingga sekarang
teori-teori ini masih dirasakan pengaruhnya di
lembaga pendidikan. Ketiga teori belajar ini memiliki
ciri yang sama, yaitu dikembangkan tanpa dilandasi
eksperimen. Ini berarti, bahwa dasar orientasinya
ialah filosofis atau spekulatif.
Teori disiplin mental (Plato, Aristoteles)
menganggap bahwa dalam belajar mental siswa
didisiplinkan atau dilatih. Dalam mengajar peserta
didik membaca misalnya, pendidik pengikut teori ini
melatih “otot-otot” mental peserta didik. Pendidik
mula-mula akan memberikan daftar kata-kata yang
diinginkannya dengan menggunakan kartu-kartu di
mana tertulis setiap kata itu. Selanjutnya, mereka
melatih peserta didik, setiap hari diberi tes, peserta
didik yang belum pandai harus kembali sesudah jam
sekolah untuk dilatih kembali.
Teori yang kontradiktif dengan teori disiplin
mental ialah teori perkembangan alamiah (natural
unfoldment). Menurut teori ini, peserta didik akan
berkembang secara alamiah. Pengembang-
pengembang teori ini adalah: Jean J. Rousseau (1712
– 1778), ahli pendidik Swis Heinrich Pestalozzi (1746 –
1827), dan ahli filsafat, pendidik dan penemu gerakan
“Kindergarten” dari Jerman Friedrich Froebel (1782 –
1852). Para pendidik yang mengikuti teori ini mula-
mula akan menunggu hingga peserta didik
menyatakan keinginannya untuk belajar membaca
misalnya, sebelum mereka mencoba mengajar peserta
didik ini membaca. Pendidik lebih mementingkan
pengembangan kematangan (maturational
development) dari pada menanamkan keterampilan-
keterampilan tertentu. Lagi pula, mereka
menginginkan agar belajar itu merupakan pengalaman
yang menyenangkan bagi peserta didik.
Selanjutnya, adalah teori apersepsi. Menurut
teori ini, belajar merupakan suatu proses
terasosiasinya gagasan-gagasan baru dengan gagasan-
gagasan lama yang sudah membentuk pikiran (mind).
Para pengikut teori ini akan mengajar peserta didik
membaca misalnya, mulai dari abjad, dan berusaha
agar mereka dapat mengenal dan mengucapkan setiap
huruf. Kemudian, pendidik akan mengatakan
bagaimana huruf-huruf itu digabung-gabungkan
untuk membentuk kata-kata, bagaimana huruf-huruf
membuat bunyi, bagaimana bunyi menjadi bersatu,
dan bagaimana huruf-huruf hidup dan huruf-huruf
mati berperan. Dengan kata lain, pendidik akan
memberikan aturan-aturan pada peserta didik.
Selanjutnya, pendidik akan membicarakan benda-
benda atau makhluk-makhluk hidup yang telah
dikenal peserta didik, misalnya kucing, anjing, kuda,
dan lain-lain. Berikut pendidik akan menulis di papan
tulis “ k u d a “, dan menerangkan, bahwa kata ini
menggambarkan kuda. Dalam hal ini, ada keinginan
terutama untuk membuat pelajaran membaca itu
menarik, dan berusaha agar peserta didik memperoleh
gagasan-gagasan yang benar dari belajar dimaksud.
Apersepsi, berlawanan dengan disiplin mental
dan pengembangan alamiah, merupakan suatu
asosiasionisme mental yang dinamis, didasarkan pada
premis fundamental, bahwa tidak ada gagasan bawaan
(sejak lahir); apa pun yang diketahui seseorang datang
dari luar dirinya. Nama yang banyak dihubungkan
dengan teori ini ialah Johann Friedrich Herbart (1776
– 1841), yang untuk pertama kali mengembangkan
psikologi belajar secara sistematis dari teori tabula
rasa mengenai pikiran.
Dewasa ini ada dua kelompok utama yang
mengemukakan teori belajar, yaitu kelompok
Behaviorisme dengan “Stimulus Response Conditioning”
dan kelompok Gestalt dengan “Cognitive Theories”.
Teori ini mulai dikembangkan sejak abad ke-20.
Selama tahun 1920-1930 lembaga-lembaga
pendidikan telah menggeser Herbartianisme, tetapi
tidak berarti ide-ide Herbatian telah ditinggalkan sama
sekali. Kenyataan sampai saat ini ide-ide tersebut
masih diterima dan dipraktikkan oleh para pendidik.
Sebelum abad ke-20 bentuk baru dari Assosianisme
telah populer, yakni assosianisme fisiologik non
mentalistik. Tokoh awalnya adalah John B. Watson
dan Edward L. Thorndike. Psikologi Watson dikenal
dengan Behaviorisme dan psikologi Thorndike disebut
Konneksionisme, tetapi dalam arti yang lebih luas
disebut juga Behavioristik.
Teori belajar Cognitive-field lahir sebagai sintesa
baru yang mutakhir, yang memiliki paradigma dasar
atau modal yang berpusat pada interaksi seseorang
dengan lingkungan psikologisme. Teori belajar ini
berkembang sebagai pemunculan sintesa yang lahir
dari keadaan aktive-subjektive sebagai lawan dari
passive-subjective yang amat ekstrim dalam kaitannya
dengan motivasi manusia dan belajar.
Teori belajar Cognitive-field menyusun
pendapatnya berdasarkan ide-ide pelopor psikologi
Medan yakni : Kurt Lewin (1890-1947). Dalam hal ini,
ahli psikologi amat tertarik mempelajari motivasi
manusia. Akibatnya, teori Medan ini telah
dikembangkan bukan sebagai suatu teori belajar saja,
tetapi lebih dari itu sebagai teori motivasi dan
persepsi.
B. Teori Behavioristik

Teori-teori belajar yang termasuk dalam teori


Behavioristik adalah : Konneksionisme, Classical
Conditioning, dan Operant Conditioning. Berikut ini
teori-teori tersebut akan diberi penjelasan satu
persatu.

1. Konneksionisme
Konneksionisme dipelopori oleh Edward L.
Thorndike. Selama pertengahan abad ke-20 aliran ini
mendominasi dunia psikologi belajar di Amerika
Serikat. Dewasa ini, meskipun pengaruhnya kelihatan
agar mundur karena persaingannya dengan teori lain,
tetapi pengaruhnya dalam bidang praktik pengajaran
masih dapat dirasakan.
Menurut teori ini belajar pada hewan dan
manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-
prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah
pembentukan assosiasi (Bond, conection) antara kesan
panca indera (sense impression) dengan
kecenderungan bertindak (impulse to action). Proses
belajar itu disifatkan oleh Thorndike sebagai “learning
by selecting and connecting” atau trial and error
learning, dan berlangsung menurut hukum-hukum
tertentu.
Thorndike mengemukakan tiga kelompok
hukum atau prinsip yang memberi keterangan tentang
proses belajar, yakni :
a. Tiga buah hukum primer.
b. Lima buah hukum sekunder.
c. Enam buah hukum tambahan (Bigge: 1998).
Inti-inti hukum primer adalah sebagai berikut :
1) Hukum kesiapan (law of readiness).
Ada tiga keadaan yang menggambarkan
berlakunya hukum ini, yakni :
a) Jika seorang individu memiliki kecenderungan
bertindak, maka melakukan tindakan itu akan
menimbulkan rasa puas, dan mengakibatkan ia
tidak akan melakukan tindakan lain.
b) Jika seorang individu memiliki kecenderungan
bertindak, maka tidak melakukan tindakan itu
akan menimbulkan rasa tidak puas, dan
mengakibatkan ia melakukan tindakan lain
untuk mengurangi/meniadakan rasa tidak puas
itu.
c) Jika seorang individu tidak memiliki
kecenderungan bertindak, maka melakukan
tindakan itu akan menimbulkan rasa tidak
puas, dan mengakibatkan ia melakukan
tindakan lain untuk mengurangi/meniadakan
rasa tidak puas itu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa menurut
hukum kesiapan, jika kesiapan itu tidak dimilikinya
maka ia akan melakukan sesuatu tindakan dengan
perasaan setengah-setengah atau mendua hati. Jika
seandainya kesiapan telah dimiliki, tetapi ia tidak
mendapat kesempatan untuk difungsikan, atau
dihalangi/ dirintangi oleh hal-hal lain, maka akan
menimbulkan adanya gangguan. Implikasi praktis
hukum ini adalah bahwa belajar itu akan lebih
mungkin berhasil jika dilandasi oleh kesiapan untuk
melakukan kegiatan belajar.

2) Hukum pengulangan/latihan (law of exercise).


Hukum ini menjelaskan bahwa koneksi antara
kondisi (yang merupakan perangsang) dan tindakan
adalah karena latihan (law of use). Koneksi-koneksi itu
menjadi lemah adalah disebabkan oleh latihan yang
tidak dilanjutkan atau dihentikan (law of disuse). Pada
dasarnya hukum ini hanya merumuskan kembali
prinsip belajar yang telah dikenal sejak lama dan telah
cukup populer, yakni: repetito est mater studiorum,
atau practice makes perfect.
Atas dasar itu, jelaslah bahwa prinsip belajar
menurut hukum ini adalah “ulangan”. Makin sering
mengulang pelajaran, akan lebih memungkinkan
untuk menguasainya. Tentu saja akan diperoleh
variasi dalam praktiknya, dan ulangan itu tentu pula
bukan ulangan yang dilakukan dengan sembarangan
saja. perbaikan prestasi akan ditentukan pula oleh
pengaturan waktu, distribusi frekuensi ulangan dalam
setiap ulangan yang dilakukan.

3) Hukum pengaruh (law of effect).


Hukum ini menggambarkan bahwa semakin
kuat atau semakin lemahnya koneksi adalah akibat
dari hasil tindakan yang dilakukan. Dalam pengertian
sederhana dapat dirumuskan bahwa perbuatan yang
disertai oleh akibat yang menyenangkan akan
cenderung untuk dipertahankan dan akan diulang
pada waktu lain, sedang perbuatan yang tidak disertai
oleh akibat yang menyenangkan cenderung untuk
dihentikan dan tidak akan diulangi.
Dengan demikian, hukum ini menggambarkan
bagimana pengaruh hasil suatu perbuatan bagi
perbuatan yang sama. Jika ditinjau dari segi
praktisnya, hukum ini berkaitan dengan pengaruh
hadiah dan hukuman bagi peserta didik. Hadiah
menyebabkan peserta didik ingin terus melakukan
pada waktu yang lain. Hukuman menyebabkan
peserta didik akan menghentikan sesuatu perbuatan
yang dilakukannya dan tidak ingin melakukannya lagi
pada waktu yang lain.
Adapun inti-inti hukum sekunder adalah :
a) Hukum respon menyeluruh (law of multiple
respons).
b) Hukum tahapan (law of set).
c) Hukum potensi elemen (law of prepontency of
elements).
d) Hukum responden menyesuaikan diri (law of
respon by analogy).
e) Hukum asosiasi (law of associative shifting).
Sedangkan inti-inti hukum tambahan adalah :
a) Hukum perasaan memiliki (law of
belongingness).
b) Hukum mengesankan (memberi/menangkap
kesan (law of impressiveness).
c) Hukum kemampuan memformulasi (law of
polarity).
d) Hukum mengidentifikasi (law of identifiability).
e) Hukum pengadaan (law of availability).
f) Hukum sistem mental (law of mental system).
Salah satu konsep Thorndike yang dipandang
penting, adalah masalah transfer belajar (transfer of
learning). Yang dimaksud dengan transfer belajar
adalah menggunakan hal-hal yang telah dipelajari
untuk menyelesaikan masalah-masalah lain yang
dihadapi. Transfer belajar menjadi landasan bagi
lembaga pendidikan formal untuk menyajikan bahan
pelajaran yang dapat dipergunakan oleh peserta didik
untuk kepentingan hidupnya di luar sekolah. Justru
itu, diperlukan adanya usaha agar transfer belajar itu
dapat terjadi secara optimal. Dalam hal inilah
diperlukan adanya konsep atau teori yang berkenaan
dengan transfer belajar itu sendiri.
Teori Thorndike mengenai transfer belajar
terkenal dengan nama “theory of identical elements”,
yang berarti bahwa transfer belajar akan terjadi jika
antara hal-hal yang baru (yang akan dipelajari)
terdapat unsur-unsur yang identik. Misalnya, peserta
didik mampu membaca koran/majalah, karena huruf-
huruf yang dipergunakan oleh koran/majalah itu
sama dengan huruf-huruf yang dipelajari di sekolah.
Justeru itu, dalam hubungan ini diperlukan
adanya kebijaksanaan memilih bahan pelajaran, agar
bahan pelajaran itu mengandung kesamaan sebanyak
mungkin dengan masalah-masalah atau hal-hal yang
kelak akan dihadapi oleh peserta didik, baik dalam
kehidupannya sehari-hari maupun dalam kegiatan
belajar lanjutan pada tingkat pendidikan yang lebih
tinggi.
2. Classical Conditioning
Teori ini dikembangkan berdasarkan
eksperimen-eksperimen Pavlov mengenai berfungsinya
kelenjar ludah pada anjing yang merupakan contoh
klasik mengenai bagaimana tingkah laku dapat
dibentuk dengan pengaturan dan manipulasi
lingkungan. Proses pembentukan tingkah laku
tersebut dinamakan proses persyaratan (conditioning
process). Air liur anjing yang semula hanya keluar jika
ada perangsang yang berwujud makanan, pada
akhirnya dengan proses persyaratan dapat keluar
karena perangsang lain yang bukan makanan.
Menurut Hilgard dan Bower (1997), untuk memahami
eksperimen-eksperimen Pavlov ini terlebih dahulu
harus dipahami beberapa pengertian pokok, yang
biasanya digunakan dalam teori Pavlov, yakni sebagai
berikut :
a. Perangsang tak bersyarat = perangsang alami =
unconditioned stimulus (US), yaitu perangsang yang
secara alami dapat menimbulkan perangsang
tertentu. Seperti halnya makanan bagi anjing dapat
menyebabkan keluarnya air liur.
b. Perangsang bersyarat = unconditioned stimulus
(US), yaitu perangsang yang secara alami tidak
dapat menimbulkan responden tertentu, tetapi
melalui proses persyaratan dapat menimbulkan
respon tersebut. Seperti halnya suara lonceng yang
dapat menyebabkan keluarnya air liur.
c. Respon tak bersyarat = respon alami =
unconditioned respons (UR), yaitu respon yang
ditimbulkan oleh perangsang tak bersyarat. Respon
bersyarat = unconditioned respons (UR), yaitu
respon yang ditimbulkan oleh perangsang
bersyarat.
Prosedur eksperimen Pavlov dapat dilukiskan
dengan :
CS1 + US1 -----------> R1 (UR)
CS2 + US2 -----------> R2 (UR)
= =
= =
= =
CS1 5 + US1 5 ---------> R1 5 (UR + CR)
CS1 6 + US1 6 ---------> R1 6 (UR + CR)
= =
= =
= =
CSn -------------------------> Rn (CR)
Dengan demikian, ada dua hal yang prosedural
harus dipenuhi dalam eksperimen ini, yakni :
a. Penyajian CS segera diikuti oleh US.
b. Hal yang demikian itu dilakukan berulang-ulang
hingga CR terbentuk.
Hal ini dapat dilakukan dengan membunyikan
lonceng sebelum makan diberikan kepada anjing.
Setelah hal itu dilakukan berulang-ulang, maka
kelihatan anjing mengeluarkan air liur bergitu
mendengar bunyi lonceng.
Eksperimen selanjutnya dilakukan dengan
maksud untuk mengetahui apakah respon bersyarat
yang telah terbentuk itu dapat dihilangkan.
Prosedurnya, perangsang bersyarat yang telah
menimbulkan respon bersyarat disajikan berulang-
ulang tanpa diikuti oleh perangsang tak bersyarat.
Pada mulanya anjing mengeluarkan air liur, tetapi
lama kelamaan air liur itu tidak keluar lagi meskipun
menyaksikan perangsang bersyarat.
Atas dasar hal tersebut di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa, dalam eksperimen-eksperimen itu
anjing belajar bahwa bunyi lonceng pada mulanya
sebagai pertanda akan datangnya makanan
(pembentukan CR), kemudian dia belajar bahwa bunyi
lonceng sebagai pertanda tidak akan ada makanan
(penghilangan CR).
Sehubungan dengan ini, Watson
mempergunakan prinsip yang sama untuk
menerangkan tingkah laku manusia. Anak yang
semula tidak takut kepada tikus putih dapat dibuat
menjadi takut, dan kemudian ketakutan itu dapat
pula dihilangkan (Bigge : 1998).
Dalam kehidupan sehari-hari hal-hal yang
serupa dapat juga terjadi, misalnya; orang yang
semula tidak takut kepada anjing, akhirnya dapat
menjadi takut. Namun, jika ia sering diganggu atau
ingin digigit oleh anjing itu, tetapi tetap dapat diatasi
atau dihindarkannya, lama kelamaan ketakutan itu
akan hilang kembali.
Dengan demikian, jelaslah bahwa menurut teori
ini, tingkah laku peserta didik dapat dibentuk dengan
melakukannya secara berulang-ulang. Tingkah laku
itu dipancing secara berulang-ulang dengan sesuatu
yang dapat menimbulkan rangsangan untuk
mewujudkan tingkah laku dimaksud.

3. Operant Conditioning
Teori ini dipelopori oleh Skinner. Skinner
berbeda pandang dengan Pavlov dan Watson dalam
kajian tentang hubungan antara perangsang dan
respon dalam tingkah laku manusia. Skinner
membedakan adanya dua macam respon, yakni :
a. Respondent response (reflexcive response),
yakni; respon yang ditimbulkan oleh
perangsang-perangsang tertentu. Perangsang
yang demikian disebut eliciting stimuli,
menimbulkan respon-respon yang secara relatif
tetap. Seperti halnya makanan yang
menyebabkan keluarnya air liur. Pada
umumnya perangsang-perangsang yang
demikian mendahului respon yang
ditimbulkannya.
b. Operant response (instrumental response), yakni;
respon yang timbul dan berkembang diikuti oleh
perangsang-perangsang tertentu. Perangsang
yang demikian disebut reinforcing stimuli atau
reinforcer, karena perangsang tersebut
memperkuat respon yang telah dilakukan oleh
organisme. Justeru itu, perangsang tersebut
mengikuti suatu tingkah laku tertentu yang
telah dilakukan, seperti seorang peserta didik
yang belajar, lalu mendapat hadiah, maka ia
akan lebih giat belajar. Dalam hal ini responnya
menjadi lebih intensif/kuat.
Dalam kenyataannya, respon jenis pertama
sangat terbatas dimiliki manusia. Karena adanya
hubungan yang pasti antara stimulus dan respon,
maka kemungkinan untuk memodifikasikannya
adalah kecil. Sebaliknya, respon jenis kedua
merupakan bagian terbesar dari tingkah laku
manusia, sehingga kemungkinan memodifikasikannya
dapat dikatakan tidak terbatas.
Menurut Reynolds (1998), fokus teori Skinner
adalah pada respon jenis kedua, yaitu bagaimana
menimbulkan, mengembangkan dan memodifikasikan
tingkah laku. Secara sederhana, pembentukan tingkah
laku dalam operant conditioning adalah seperti tertera
berikut ini :
a. Dilakukan identifikasi mengenai hal-hal apa
yang merupakan reinforcer (hadiah) bagi tingkah
laku yang dibentuk itu.
b. Dilakukan analisis untuk mengidentifikasi
komponen-komponen kecil yang membentuk
tingkah laku dimaksud.
c. Urutan komponen-komponen itu dijadikan
tujuan sementara untuk mengidentifikasi
reinforcer (hadiah) untuk masing-masing
komponen itu.
d. Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan
menggunakan urutan komponen yang telah
tersusun itu. jika komponen pertama telah
dilakukan, maka hadiahnya diberikan. Hal ini
akan mengakibatkan komponen tersebut sudah
terbentuk dan dilakukan komponen kedua
dengan mamberi hadiah, tanpa memberi hadiah
lagi untuk komponen terdahulu. Demikian
dilakukan berulang-ulang hingga komponen
kedua terbentuk. Selanjutnya dilakukan dengan
komponen ketiga, keempat dan seterusnya
hingga tingkah laku yang diharapkan dapat
terbentuk.

C. Teori Kognitif

Teori-teori belajar yang termasuk ke dalam teori


kognitif adalah teori Gestalt dan teori Medan, yang
satu persatu akan dijelaskan berikut ini :

1. Teori Gestalt
Teori ini dipelopori oleh Koffka, Kohler dan
Wertheimer. Penelitian-penelitian psikologi Gestalt
pada mulanya adalah dalam bidang persepsi, terutama
penglihatan. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan
disusunlah berbagai hukum Gestalt dalam
pengamatan, yakni :
a. Hukum Pragnanz
Hukum ini menyatakan bahwa organisasi psikis
senantiasa cenderung untuk bergerak ke arah
keadaan pragnanz, yakni keadaan “penuh arti”.
Jika individu mengamati sekelompok objek,
maka ia akan mengamatinya dalam arti tertentu,
maksudnya, ia akan mengatur kesan
pengamatannya sedemikian rupa, sehingga
pengelompokan objek itu memiliki arti tertentu
baginya. Pengaturan itu mungkin menurut
bentuk, warna, ukuran dan lain-lain.
b. Hukum Kesamaan (law of similarity).
Hal-hal yang sama cenderung untuk
membentuk gestalt.
c. Hukum keterdekatan (law of proximity).
Hal-hal yang saling berdekatan cenderung untuk
membentuk Gestalt.
d. Hukum ketertutupan (law of closure).
Hal-hal yang tertutup cenderung untuk
membentuk Gestalt.
e. Hukum kontinuitas (law of good continuation).
Hal-hal yang kontinu atau yang merupakan
kontinuitas yang baik cenderung untuk
membentuk Gestalt (Kohler: 1999).
Pada perkembangan selanjutnya, para ahli
psikologi Gestalt berpendapat bahwa hukum-hukum
dan prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang
pengamatan berlaku juga dalam bidang belajar dan
berpikir. Karena apa yang dipelajari, dipikirkan itu
bersumber dari apa yang dikenal lewat fungsi
pengamatan. Belajar, berpikir itu pada hakikatnya
adalah melakukan pengubahan struktur kognitif.
Berbeda dengan teori Behavioristik, teori Gestalt
memandang bahwa “insight” adalah inti belajar.
Belajar yang sebenarnya adalah insightful learning,
sehingga sumber nomor satu adalah dimengertinya hal
yang dipelajari (Bigge: 1998). Eksperimen-eksperimen
Kohler dipandang merupakan bukti mengenai hal ini,
yakni :
a. Insightful learning tergantung kepada
kemampuan peserta didik. Selanjutnya,
kemampuan dasar ini tergantung pula kepada :
(1) umur; (2) keanggotaan dalam suatu spesies,
(3) perbedaan individual dalam suatu spesies.
b. Insight tergantung kepada pengaturan situasi
yang dihadapi. Insightful learning hanya
mungkin diperoleh (timbul) jika situasi belajar
diatur sedemikian rupa, sehingga seluruh aspek
yang dibutuhkan dapat diobservasi. Sarana yang
tidak jelas kegunaannya menjadi tidak mungkin
untuk dimanfaatkan, atau setidak-tidaknya
menjadi sulit.
c. Insight didahului oleh periode mencari dan
mencoba-coba. Sebelum memecahkan problem
peserta pendidik mungkin melakukan hal-hal
yang kurang relevan bagi problem itu.
d. Pemecahan masalah dengan pengertian dapat
diulangi dengan mudah. Jika pemecahan
masalah sudah dapat dilakukan dengan
pengertian, maka peserta didik akan dengan
mudah dapat mengulangi pemecahan masalah
itu, dan dapat dilakukannya secara langsung.
e. Sekali insight telah diperoleh, maka akan dapat
digunakan untuk menghadapi situasi yang lain.
Justeru itu, ada semacam transfer of training,
namun yang ditransfer bukan materi-materi
yang telah dipelajari, tetapi relasi-relasi dan
generalisasi yang diperoleh melalui insight.
Situasi, materi, hal yang lama (yang
menimbulkan insight) mungkin berbeda dengan
situasi, materi, hal yang baru, tetapi relasi-relasi
dan generalisasinya sama.
2. Teori Medan
Teori ini adalah teori yang dihasilkan oleh
perkembangan khusus yang terjadi pada psikologi
Gestalt. Teori ini dikembangkan oleh Kurt Lewin. Kurt
Lewin mengakui prinsip-prinsip yang dikemukakan
oleh teori Gestalt (seperti yang dikemukakan
terdahulu), tetapi ia menambahkan beberapa unsur
baru, yakni :
a. Belajar adalah pengubahan struktur kognitif.
Pemecahan problem hanya dapat dilakukan
apabila struktur kognitif diubah.
b. Peranan hadiah dan hukuman adalah
merupakan dua sarana motivasi yang
bermanfaat. Namun, dalam penggunaannya
memerlukan pengawasan yang cermat. Pada
umumnya peserta didik dipandang memperoleh
nilai baik jika mengerjakan tugas-tugas belajar.
Memperoleh nilai baik dengan cara seperti itu
dipandang sesuatu yang tidak menarik. Justeru
itu, ada kecenderungan untuk memperoleh nilai
baik tanpa usaha belajar. Dalam hal inilah
diperlukan adanya pengawasan tersebut.
c. Masalah sukses dan gagal juga merupakan
faktor motivasi yangj penting. Pengalaman
sukses berperan sebagai hadiah dan
pengalaman gagal berperan sebagai hukuman.
Kesuksesan membuat peserta didik puas,
gembira, bangga, senang dan bergairah, serta
dengan itu ia akan berupaya lebih lanjut dengan
lebih giat. Sebaliknya, kegagalan akan
menyebabkannya merasa malu, sedih, tidak
puas dan kehilangan semangat, sehingga
mengakibatkan ia putus asa untuk melakukan
kegiatan belajar.
Justeru itu, perlu diperhatikan, sebagaimana
dikemukakan oleh Bigge (1998), bahwa pengalaman
sukses itu dapat diperoleh dalam beberapa keadaan,
seperti berikut :
a. Pengalaman sukses dialami apabila peserta
didik benar-benar memperoleh apa yang
diinginkannya, seperti; lulus ujian dalam suatu
program.
b. Pengalaman sukses dapat dialami jika peserta
didik telah berada dalam areal yang ingin
dicapai. Seperti halnya peserta didik yang sudah
merasa berhasil dalam ujian meskipun dalam
beberapa matapelajaran ia memperoleh nilai
rendah.
c. Kemungkinan lain, pengalaman sukses dapat
dialami jika peserta didik telah membuat
kemajuan ke arah tujuan yang hendak dicapai.
Seperti halnya ia telah merasa berhasil jika ia
telah mempersiapkan diri dengan baik dalam
menghadapi suatu ujian.
d. Selain itu, peserta didik telah mengalami
perasaan sukses jika ia telah berbuat dalam
cara yang menurut penilaian adalah cara
terbaik, meskipun sebenarnya penilaian itu
kurang tepat. Seperti halnya peserta didik telah
merasa sukses apabila ia telah memiliki buku
yang tebal-tebal atau buku yang banyak.

D. Teori Humanistik

Menurut teori ini, penyusunan dan penyajian


materi pelajaran harus sesuai dengan perasaan dan
perhatian peserta didik. Teori ini dipelopori oleh
Combs, Maslow dan Rogers. Combs berpendapat,
apabila pendidik ingin memahami perilaku peserta
didik, maka ia harus mencoba memahami dunia
persepsi mereka. Perilaku buruk tidak lain hanyalah
dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak memberikan kepuasan kepada
dirinya.
Sedangkan Maslow menyatakan bahwa
perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin
berkembang jika kebutuhan dasar peserta didik belum
terpenuhi. Kemudian, Rogers mengemukakan 10
(sepuluh) prinsip belajar, yakni :
1. Peserta didik memiliki kemampuan mandiri
untuk belajar secara alami.
2. Belajar adalah proses dan kegiatan yang
signifikan dengan hasil yang dicapai.
3. Belajar merupakan perubahan persepsi.
4. Tugas-tugas belajar juga dipengaruhi faktor-
faktor dari luar diri peserta didik.
5. Pengalaman belajar peserta didik berbeda satu
sama lain.
6. Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik
dengan melakukannya secara langsung.
7. Belajar menjadikan peserta didik untuk
bertanggung jawab.
8. Belajar akan berhasil jika dimulai dari diri
sendiri.
9. Percaya pada diri sendiri adalah awal dari
keberhasilan.
10. Prinsip belajar adalah keterbukaan.

E. Tipe-tipe Belajar

Ada 8 (delapan) tipe belajar, yakni sebagai


berikut :
Contoh Prestasi
Hasil Belajar
(Berdasarkan
Tipe Belajar (Kemampuan
Kemampuan
Internal)
Internal)
VIII Belajar meme- Menggabungkan - Menemukan
cahkan Prob- beberapa kaidah cara mencegah
lem (problem menjadi prinsip bisa berguling
solving) pemecahan pada alas yang
miring.
- Menemukan ca-
ra memperoleh
energi dari
tenaga atom,
tanpa mencemar
kan lingkungan
VII Belajar Kaidah Menghubungkan - “Benda yang
(Rule Learning) beberapa konsep bulat berguling
pada alas
miring”.
- “2 x 8 = 16. Dua
kali delapan
sama dengan
enam belas”.
VI Belajar Konsep Menempatkan - Manusia, ikan,
(Concept obyek-obyek dalam paus, kera,
Learning) kelompok tertentu anjing adalah
(klasifikasi) makhluk
menyusui.
- Pensil, spidol,
pulpen, adalah
alat-alat tulis
V Belajar diskri- Memberikan reaksi - Menyebutkan
minasi yang ja- yang berbeda-beda merek mobil-
mak (Multiple) pada stimulus- mobil yang lewat
stimulus yang mem dijalan
punyai kesamaan/ - Inilah beras C,
mirip yang ini beras
PB 8; yang ini
beras raja lele,
yang ini beras
merah.
IV Belajar asosiasi Memberikan reaksi - “Meja” dalam
verbal (chaining pada suatu bahasa Inggris
verbal). simulus / apa ? “Table”
- cap verbal perangsang. - “Nomor telepon
- rangkaian mu ? “0313301
verbal pesawat 28”
- - “Ini gambar
apa ? “boneka”,
“orang”.
III Belajar mem- Menghubungkan - Membuka pintu
bentuk rangkai gerakan yang satu mobil-duduk-
an gerak gerik dengan yang lain kontrol porsene
(chaining ling-menghidup
motorik) kan mesin-
pasang
porseneling 1-
mengijak gas.
- Memegang jang
ka bagian atas
jangka dibuka-
dibuat lingkaran
-dilepaskan-di
tutup kembali
II Belajar perang Memberikan reaksi - Burung merpati
sang reaksi, pada perangsang mematuk ling-
dengan menda (S – R). karan diberi
pat penguatan/ makan. Akan
peneguhan berulang-ulang.
(conditioning - “Coba salaman
ala Skinner) dengan Paman
“mendapat se-
nyuman akan di
ulang-ulang.
- Guru memuji tin
dakan anak-
anak, cenderung
mengulang.
I Belajar signal Memberikan reaksi - Bunyi bel seba
(conditioning pada perangsang gai tanda akan
ala Pavlov) (S – R) disajikan maka-
nan. Mulut siap
dengan air liur.
- Kilat sebagai
tanda akan ada
suara guntur,
jantung berde-
bar-debar.
- Guru sejarah
yang galak di-
takuti murid-
murid.

Tipe-tipe belajar itu dipandang sebagai tahap-


tahap yang saling mendasari, mulai dari tahap yang
bawah. Dengan demikian, tipe belajar yang dibawah
menjadi landasan bagi tipe yang diatasnya; berarti
bahwa peserta didik yang tidak menguasai tipe belajar
yang terdahulu, akan mengalami kesulitan dalam
menguasai tipe belajar selanjutnya. Sistematika ini
disusun menurut hirarkis, tetapi R. Cagne belum
berani memastikan, bahwa tipe I menjadi landasan
bagi tipe II dan seterusnya. Penyusunan secara
hirarkis sekaligus berarti, bahwa tipe-tipe belajar yang
berada pada nomor urutan tinggi bersifat lebih
kompleks, karena mencakup semua tipe belajar yang
terdapat di bawahnya. Prestasi belajar sesuai dengan
tipe VIII menuntut kemampuan untuk memberikan
prestasi belajar sesuai dengan tipe VII, VI, V dan
seterusnya. Dengan kata lain, menentukan prinsip
pemecahan pada suatu problem, menuntut peserta
didik untuk menguasai beberapa kaidah-kaidah baru.
Setelah mencegah bola berguling pada alas miring,
mengandung pemahaman dua kaidah, yaitu benda
yang bulat berguling ke bawah pada alas miring, tetapi
tidak berguling pada alas yang datar. Memahamai
kaidah-kaidah itu mengendalikan, bahwa peserta didik
telah paham akan konsep “bulat”, “berguling”, “alas”,
“dasar” dan “miring”.
Adapun penjelasan pada masing-masing tipe
belajar adalah sebagai berikut :
Tahap I. Istilah “belajar signal” adalah nama yang
diberikan pada cara belajar yang diteliti oleh Ivan
Pavlov. Unsur pokok dalam penelitian Pavlov ialah
“refleks bersyarat” (conditioned respons). Suatu
perangsang alamiah (unconditioned stimulis, S1)
menimbulkan secara spontan reaksi alamiah
(unconditioned stimulis, R1). Perangsang alamiah itu
dihubungkan dengan perangsang lain (conditioned
stimulus, S2) yang secara spontan tidak menimbulkan
reaksi alamiah. Karena terjadi asosiasi antara S1 dan
S2 sampai beberapa kali, akhirnya S2 menimbulan
reaksi yang sama dengan R1 atau sangat mirip dengan
R1. Yang terakhir inilah yang disebut “refleks
bersyarat” (conditioned response, R2). Pola ini
ditemukan oleh Pavlov dalam eksperimen-eksperimen
yang diselenggarakannya. Misalnya, seekor anjing
dipasagi pipa pada kelenjar ludahnya, sehingga jumlah
air liur yang dihasilkan dapat diukur. Pada saat
disajikan makanan (S1), air liur (R1) anjing tersebut
keluar. Kemudian pada saat menjelang disajikan
makanan, diberikan perangsang lain, misalnya bunyi
bel atau sinar lampu (S2). Pola demikian diulang
sampai beberapa kali. Akhirnya, air liur mengalir
meskipun makanan tidak disajikan (R2). Telah
terbentuk asosiasi antara bunyi bel atau sinar lampu
dengan disajikannya makanan, bunyi bel telah
menjadi tanda atau signal, bahwa sebentar lagi akan
disajikan makanan. Anjing itu memberikan suatu
prestasi yang sebelumnya tidak diberikan; maka
anjing itu telah belajar. Pola belajar semacam ini
melandasi beberapa gejala belajar yang bersifat
sederhana dan dapat juga dialami oleh manusia,
meskipun tidak disadari. Telah terbukti, bahwa
sebenarnya stimulus telah menimbulkan reaksi.
Misalnya, bila seseorang mendengar bunyi-bunyi
tertentu yang menandakan meja makan sedang diatur,
mulut telah berisi air liur, meskipun belum melihat
hidangan atau menghirup aroma makanan, terasa
bagaikan telah mencicipinya. Beberapa reaksi
perasaan, seperti rasa takut, dapat diperoleh atas
dasar pola belajar ini. Misalnya tingkah laku seorang
guru yang galak dan kerapkali marah-marah,
menimbulkan reaksi takut dan perasaan tidak senang
terhadap guru tersebut, lama kelamaan, perasaan
tidak senang berpindah ke matapelajaran yang
disajikannya.

Tipe II. Tipe gerakan motorik. Pola belajar ini telah


diselidiki oleh Skinner; yang menjadi unsur pokok
dalam pola belajar ini adalah “peneguhan” atau
“penguatan” (reinforcement). Dalam pola belajar ini
dibentuk hubungan antara perangsang dengan reaksi,
berdasarkan efek yang mengikuti pemberian reaksi
tertentu. Dalam eksperimen-eksperimen yang
diadakan terbukti bahwa Skinner berhasil
mendatangkan perubahan dalam tingkah laku pada
hewan, bahkan pada manusia. Misalnya, seekor tikus
dimasukkan dalam kurungan yang di dalamnya
terdapat berbagai peralatan, antara lain sebuah
tombol yang dapat ditekan ke bawah. Mula-mula tikus
itu dibiarkan bergerak bebas di dalam kurungan;
peralatan yang ada akan disentuh dan tombol pun
dipijak dengan kaki kanan. Kemudian, setiap kali
tombol itu terpijak, disajikan sebutir gandum untuk
dimakan. Namun, gandum itu hanya akan jatuh
kedalam kurangan setelah tombol itu terpijak, bukan
setelah peralatan lain disentuh atau dipijak. Setelah
beberapa waktu, tikus telah “belajar” cara untuk
mendapatkan makanan dan mulai memijak tombol itu
secara terus menerus. Skinner memberikan penjelasan
pada eksperimen ini sebagai berikut: makanan
merupakan efek positif (peneguhan, penguatan)
terhadap reaksi atau perbuatan tikus yang tepat.
Karena perbuatan memijak tombol membawa efek
positif, maka tikus itu akan mengulang kembali
perbuatnnya setiap kali menghadapi peralatan itu.
Maka, tikus belajar melakukan sesuatu, sesuai dengan
yang diinginkan oleh orang yang mengadakan
eksperimen. Agar proses belajar ini berhasil, hanya
perbuatan atau reaksi tepat yang diberi penguatan,
bukan yang salah. Pemberian penguatan juga dapat
dirangkaikan, yaitu setiapkali hewan percobaan
melakukan perbuatan yang dituntut, maka penguatan
pun disajikan. Berdasarkan cara demikian, Skinner
berhasil membentuk tingkah laku (shaping) tertentu
pada hewan percobaan. Cara demikian juga kerap
digunakan oleh pelatih sirkus untuk mengajar gajah,
anjing dan beruang, melakukan bermacam-macam
gerakan dan mempermainkan bermacam-macam alat-
alat; misalnya, seekor beruang naik sepeda beroda
satu. Pola belajar demikian mendasari beberapa gejala
belajar yang sederhana pada manusia, khususnya
gerakan-gerakan motorik. Misalnya, bila anak kecil
mulai mengoceh dan mengeluarkan bunyi-bunyi yang
menyerupai kata “Mama” atau “Papa”, orang tua
memuji anak itu, membenarkan ucapannya dan
memuji kembali bila anak mengeluarkan bunyi yang
tepat. Akhirnya, terbentuk ucapan kata “Mama” atau
“Papa” yang tepat. Dalam pola belajar yang demikian,
penguatan/peneguhan (reinforcement) dan
pembentukan tingkah laku (shaping), ternyata
memegang peranan kunci. Pola belajar ini
dikembangkan lebih lanjut oleh ahli-ahli lain, sehingga
dapat dimanfaatkan untuk menanamkan dan
mengembangkan tingkah laku tertentu pada anak-
anak kecil dan orang-orang yang ditampung dalam
suatu institusi penderita sakit jiwa. Di sekolah pun
pola belajar ini dapat dimanfaatkan dan telah
dituangkan dalam prosedur-prosedur untuk
mendatangkan perubahan dalam tingkah laku peserta
didik, khususnya di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah
Dasar. Prosedur ini dikenal dengan nama Behavior
modifiaction. Misalnya, seorang anak di Taman Kanak-
Kanak yang selalu memisahkan diri dari teman-
temannya dan bermain sendirian, diberi peneguhan
setiap kali anak itu mulai mendekati seorang teman
didalam ruang kelas. Memberikan penguatan telah
mendapat aplikasi yang luas dalam pendidikan
sekolah, yaitu setiapkali peserta didik berkata dan
berbuat yang tepat atau menjawab yang benar, ia
diberi peneguhan dengan maksud agar lain kali
berbuat dan menjawab yang sama. Bentuk penguatan
dapat berupa pujian dengan kata-kata atau izin untuk
melakukan sesuatu yang disenangi peserta didik.
Namun, yang perlu selalu dijaga ialah agar peneguhan
hanya diberikan bila tindakan atau perkataan mereka
ternyata tepat, bukan bilamana salah. Dengan
demikian, pola belajar yang dikemukakan Skinner,
telah mendapat aplikasi yang luas dan tidak lagi
hanya terbatas pada situasi belajar di dalam
laboratorium psikologi. Dalam setiap tipe belajar yang
lebih tinggi, penguatan dapat memainkan peranan
penting.

Tipe III. Dalam cara belajar ini, terbentuk suatu


rangkaian motorik, dimana sejumlah gerakan tertentu
dilakukan dalam ukuran tertentu. Misalnya,
mengancing baju, memasang dasi, mengikat tali
sepatu, merupakan suatu rangkaian gerakan yang
menjadi komponen dalam keterampilan motorik
mengenakan pakaian. Unsur-unsur dalam masing-
masing rangkaian gerakan, bergungsi sebagai
perangsang (stimulus) dan reaksi (response). Unsur
“mendapat penguatan” ikut memegang peranan dalam
tipe belajar ini, baik dalam bentuk umpan balik dari
orang lain bila rangkaian gerakan ternyata tepat
(informative feedback), maupun dalam bentuk umpan
balik dari orang yang belajar sendiri, yaitu rangkaian
gerak-gerik terasa berjalan dengan lancar (intrinsic
feedback). Dalam belajar di sekolah, belajar
membentuk rangkaian gerak gerik memegang peranan
pokok dalam belajar berbagai macam keterampilan
motorik, misalnya main bola volley.

Tipe IV. Cara belajar ini membentuk hubungan antara


suatu perangsang dengan suatu reaksi verbal
misalnya antara benda yang berkaki empat dan kata
“meja” (cap verbal). Reaksi verbal terhadap perangsang
verbal, boleh jadi terdiri atas satu kata saja, dan boleh
jadi pola terdiri dari suatu rangkaian kata yang cukup
panjang, dimana masing-masing kata atau bagian
kalimat mulai berfungsi sebagai suatu perangsang
reaksi. Unsur “mendapat penguatan” ikut memegang
peranan dalam tipe belajar ini, baik dalam bentuk
umpan balik dari orang lain, bila rangkaian verbal
ternyata tepat (informative feedback), maupun dalam
bentuk umpan balik dari diri sendiri, bila suatu mata
rantai dalam rangkaian verbal atau keseluruhan
rangkaian verbal tepat. Dalam belajar di sekolah,
belajar membentuk rangkaian verbal memegang
peranan penting khususnya dalam rangka belajar
informasi verbal.

Tipe V. Hasil dari cara belajar ini ialah kemampuan


untuk membeda-bedakan antara obyek-obyek yang
terdapat dalam lingkungan fisik yang berbeda.
Kemampuan ini berdasarkan hasil pengamatan, yaitu
fungsi untuk mengenal dunia real yang berbeda. Hasil
pengamatan disebut “persepsi” dan melalui persepsi
inilah dikenal ciri-ciri fisik dari obyek-obyek, yaitu
warnanya, bentuknya, ukurannya dan lain
sebagainya. setiap obyek memiliki ciri tersendiri yang
dapat diamati dan dibedakan dari obyek lainnya. Hasil
pengamatan tertampung dalam persepsi dan
berdasarkan persepsi-persepsi yang berlain-lainan,
peserta didik membedakan antara obyek yang satu
dengan obyek yang lain (diskriminasi jamak).
Misalnya, peserta didik memiliki persepsi tentang :
Padi : tangkai berkeping tunggal atau kekuning-
kuningan, buahnya berbentuk pedang, warnanya
hijau atau kekuning-kuningan, buahnya berbentuk
butir-butir yang kecil.
Kacang : tangkai bercabang, warnanya, bentuknya
membulat, daunnya bulat, buahnya berbentuk butir-
butir lonjong.
Wortel : tangkai bercabang, warnanya hijau,
bentuknya melebar ke atas, daunnya tipis dan
memanjang, buahnya panjang dan berwarna oranye.
Ketiga persepsi itu berbeda dan berdasarkan persepsi
yang berlain-lainan itu, orang membedakan ketiga
tanaman itu. Makin teliti pengamatan, makin tajamlah
persepsi yang dihasilkan; semakin pasti pula
diskriminasi antara obyek-obyek dalam lingkungan
hidup yang fisik. Biasanya, ciri-ciri fisik yang khas
dari obyek-obyek itu diberi suatu nama atau “cap
verbal”, sehingga hasil pengamatan dapat
dideskripsikan dengan kata-kata dan
dikomunikasikan kepada orang lain. Maka, tipe belajar
IV memegang peranan dalam tipe belajar V ini. Dalam
belajar di sekolah, kemampuan persepsi yang dimiliki,
memegang peranan penting. Misalnya, dalam
praktikum Fisika atau Kimia di Sekolah Menengah
Atas (SMA), peserta didik harus mengamati secara
teliti, apa yang terjadi bila benda atau kejadian yang di
observasi mengalami perubahan. Tanpa pengamatan
yang teliti dan tanpa diskriminasi yang cermat, mereka
akan sulit untuk memperoleh konsep dan kaidah.

Tipe VI. Cara belajar ini menghasilkan suatu konsep.


Konsep yang tepat tidak akan terbentuk jika tidak
mengadakan diskriminasi perseptual sebelumnya.
Misalnya, peserta didik yang tidak mempunyai
persepsi-persepsi jelas tentang variasi dalam bentuk,
ukuran dan tanaman, akan mengalami kesulitan
dalam menggolong-golongkan tanaman itu menjadi
golongan “padi”, golongan “kacang” dan golongan
“wortel”. Di lain pihak, konsep-konsep akan mendasari
pembentukan kaidah.

Tipe VII. Cara belajar ini menghasilkan suatu kaidah


yang terdiri atas penggabungan beberapa konsep.
Pengungkapan hubungan atau relasi tetap diantara
konsep-konsep itu, biasanya dituangkan dalam
bentuk kalimat. Misalnya, kalimat “Air yang
dimasukkan dalam ruang yang bersuhu kurang dari
nol derajat celcius, akan membeku” mengungkapkan
relasi tetap antara air yang masih berbentuk cairan
dengan air yang berbentuk padat, setelah suhu air
diturunkan sampai temperatur nol derajat celcius.
Dengan demikian, beberapa konsep dihubungkan satu
sama lain sampai terbentuk suatu pemahaman baru,
yang dikenal dengan nama “kaidah”.

Tipe VIII. Cara belajar ini menghasilkan suatu prinsip


yang dapat dipergunakan dalam pemecahan problem.
Problem yang dihadapi akan dapat dipecahkan dengan
menghubung-hubungkan beberapa kaidah sedemikian
rupa, sehingga terbentuk kaidah yang lebih tinggi yang
oleh Cagne disebut “higher-order rule” dan kerapkali
dilahirkan sebagai hasil dari berpikir, jika peserta
didik menghadapi suatu problem untuk dipecahkan.
Misalnya, peserta didik telah berhasil menemukan
cara mencegah sebuah bola berguling pada alas
miring, mungkin sekali telah menggunakan cara
mencegah sebuah bola berguling ke bawah pada alas
miring, juga mungkin sekali telah menggunakan dua
kaidah, yaitu “benda yang bulat berguling kebawah
pada alas miring” dan “benda yang bulat tetap
ditempatnya pada alas datar”. Maka, dia mengubah
alas miring menjadi alas datar, dengan menaruh suatu
ganjal yang berbentuk di bawah bola, sehingga di
tempat itu alasnya juga dapat diterapkan dalam
memecahkan problem lain yang sejenis, misalnya;
mobil yang rem tangannya tidak bekerja jangan di
parkir di jalan yang menanjak.

F. Beberapa Kesukaran Belajar

Pada prinsipnya peserta didik berhak


memperoleh peluang untuk mencapai kinerja
akademik (academic performance) yang memuaskan.
Namun, ternyata mereka memiliki kemampuan
intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga,
kebiasaan dan pendekatan belajar yang berbeda satu
satu lain.
Semantara itu, penyelenggaraan pendidikan di
sekolah-sekolah pada umumnya hanya ditujukan
kepada peserta didik yang berkemampuan rata-rata
(pada umumnya normal). Dengan demikian, mereka
yang berkategori “diluar rata-rata” itu (sangat pintar
dan sangat bodoh) tidak mendapat kesempatan yang
layak dan memadai untuk berkembang sesuai dengan
kapasitasnya. Pada gilirannya timbullah apa yang
disebut kesukaran belajar (learning difficulty), bukan
saja dialami oleh peserta didik yang berkemampuan
rata-rata (normal) disebabkan oleh faktor-faktor
tertentu yang menghambat tercapainya kinerja
akademik yang sesuai dengan harapan, tetapi juga
dialami mereka yang berkategori di luar rata-rata.
Beberapa kesukaran belajar yang terjadi di
kalangan peserta didik dapat diidentifikasi melalui
faktor-faktor yang turut menentukan proses belajar
dan keberhasilan belajar itu sendiri.
Jika ditinjau dari segi faktor yang berasal dari
luar diri peserta didik, maka kelihatan kesukaran-
kesukaran tersebut pada umumnya bersumber pada
minimnya fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk
menunjang upaya pencapaian hasil belajar yang
maksimal. Namun, jika ditinjau dari faktor yang
berasal dari dalam diri peserta didik, maka kelihatan
kesukaran itu dapat bersumber dari hal-hal berikut
ini :
1. Taraf aspirasi yang sangat berbeda dari
kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik.
2. Keinginan orang tua yang berbeda dengan
keinginan peserta didik yang bersangkutan, atau
keinginan orang tua yang jauh melebihi
kemampuan peserta didik dimaksud.
3. Belum membudayanya kebiasaan belajar yang baik
dan kebiasaan membaca di kalangan peserta didik.
Menurut The Liang Gie (2002), untuk mengatasi
kesukaran-kesukaran tersebut dibutuhkan tindakan
yang memiliki ruang lingkup yang luas, yang
diharapkan dapat merupakan pemberian bimbingan
dalam pemilihan studi, penerangan mengenai
kemungkinan-kemungkinan karir yang ada di tengah-
tengah masyarakat, dan sekaligus sebagai bimbingan
dalam upaya membudayakan kebiasaan membaca di
kalangan peserta didik. Selain itu, dipihak pendidik,
pengenalan terhadap keadaan dan kondisi peserta
didik serta penerapan psikologi belajar secara baik
diharapkan dapat membantu upaya mengurangi
kesukaran-kesukaran belajar yang mungkin timbul
dan dirasakan oleh peserta didik.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kesukaran
belajar itu akan mungkin timbul dan dirasakan oleh
peserta didik dalam kegiatan belajar yang dilaluinya.
Namun, hal itu masih dapat ditanggulangi dengan
pemahaman pendidik terhadap penyebabnya dan
berupaya mencari jalan keluar atas dasar penyebab
itu pula.

G. Diagnosis Kesukaran Belajar

Sebelum menetapkan alternatif pemecahan


masalah kesukaran belajar peserta didik, pendidik
dianjurkan untuk terlebih dahulu melakukan
identifikasi (upaya mengenali gejala dengan cermat)
terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan
adanya kesukaran belajar tersebut. Upaya ini disebut
diagnosis yang bertujuan menetapkan “jenis penyakit”
yakni kesukaran belajar.
Dalam melakukan diagnosis diperlukan
prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu
dan diorientasikan pada ditemukannya kesukaran
belajar jenis tertentu. Prosedur seperti ini dikenal
sebagai “diagnostik” kesukaran belajar.
Banyak langkah diagnostik yang dapat
ditempuh pendidik, antara lain yang cukup terkenal
adalah prosedur Weener & Sent sebagaimana yang
dikutip Wardani (1999) sebagai berikut :
1. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku
menyimpang peserta didik ketika mengikuti
pelajaran.
2. Memeriksa penglihatan dan pendengaran peserta
didik, khususnya yang diduga mengalami
kesukaran belajar.
3. Mewawancarai orang tua atau wali peserta didik
untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang
mungkin menimbulkan kesukaran belajar.
4. Melakukan tes diagnostik bidang kecakapan
tertentu untuk mengetahui hakikat kesukaran
belajar yang dialami peserta didik.
5. Melakukan tes kemampuan intelegensi (IQ)
khususnya kepada peserta didik yang diduga
mengalami kesukaran belajar.
Secara umum, langkah-langkah tersebut di atas
dapat dilakukan dengan mudah oleh pendidik kecuali
langkah ke-5 (tes IQ). Untuk keperluan tes IQ,
pendidik dan orang tua peserta didik dapat
berhubungan dengan klinik psikologi. Dalam hal ini,
sangat perlu dicatat bahwa peserta didik yang
mengalami kesukaran belajar itu ber-IQ jauh dibawah
normal (tuna grahita), orang tua hendaknya
mengirimkan mereka ke lembaga pendidikan khusus
tuna grahita (sekolah luar biasa), karena lembaga/
sekolah biasa tidak menyediakan tenaga pendidik dan
kemudahan belajar khusus. Selanjutnya peserta didik
yang nyata-nyata menunjukkan misbehabior berat
seperti perilaku agresif yang berpotensi antisosial atau
kecanduan narkoba atau obat-obat terlarang lainnya,
harus diperlakukan secara khusus pula, umpamanya
dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan atau ke
“pondok pesantren” khusus rehabilitasi pecandu
narkoba atau obat-obat terlarang lainnya, seperti
pondok pesantren Suralaya, pondok pesantren al-
Islami Kulonprogo Yogyakarta, atau lainnya.

Alternatif Pemecahan Kesulitan Belajar


Banyak alternatif yang dapat diambil pendidik
dalam mengatasi kesukaran belajar peserta didiknya.
Sebelum pilihan tertentu diambil, diharapkan pendidik
terlebih dahulu melakukan beberapa langkah penting
sebagai berikut :
1. Menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah
bagian-bagian masalah dan hubungan antar
bagian tersebut untuk memperoleh pengertian
yang benar mengenai kesukaran belajar yang
dialami peserta didik.
2. Mengindentifikasi dan menentukan bidang
kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan.
3. Menyusun program perbaikan, khususnya
program remedial teaching (pengajaran perbaikan).
Setelah langkah-langkah di atas ditempuh,
pendidik melaksanakan langkah berikutnya yakni
melaksanakan program perbaikan.

Analisis Hasil Diagnosis


Data dan informasi yang diperoleh pendidik
melalui diagnosis kesulitan belajar tadi perlu di
analisis sedemikian rupa, sehingga kesulitan khusus
yang dialami peserta didik berprestasi rendah itu
dapat diketahui secara pasti. Contoh : Amir mengalami
kesulitan khusus dalam memahami konsep kata
“polisemi”. Polisemi ialah sebuah istilah yang
menunjukkan kata yang memiliki dua makna atau
lebih. Kata “turun”, umpamanya dapat dipakai dalam
berbagai frase seperti turun harga, turun ranjang,
turun tangan dan sebagainya. Contoh lain, kata “naik”
juga dapat dipakai dalam berbagai frese seperti : naik
daun, naik darah, naik banding, dan sebagainya.

Menentukan Kecakapan Bidang Bermasalah


Berdasarkan analisa tersebut, diharapkan
pendidik dapat menentukan bidang kecakapan
tertentu yang dianggap bermasalah dan memerlukan
perbaikan. Bidang-bidang kecakapan bermasalah ini
dapat dikategorikan menjadi tiga macam :
1. Bidang kecakapan bermasalah yang dapat
ditangani oleh pendidik sendiri.
2. Bidang kecakapan bermasalah yang dapat
ditangani oleh pendidik dengan bantuan orang tua.
3. Bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat
ditangani baik oleh pendidik maupun orangtua.
Bidang kecakapan yang tidak dapat ditangani
atau terlalu sulit untuk ditangani baik oleh pendidik
maupun orang tua dapat bersumber dari kasus-kasus
tuna grahita (lemah mental) dan kecanduan narkoba
atau obat-obat terlarang lainnya. Mereka yang
termasuk dalam lingkup dua macam kasus yang
bermasalah berat ini dipandang tidak berketerampilan
(unskilled people). Justeru itu, peserta didik yang
mengalami kedua masalah kesukaran belajar yang
berat tersebut tidak hanya memerlukan pendidikan
khusus, tetapi juga memerlukan perawatan khusus.
Kembali kepada masalah Amir, ternyata dari
hasil diagnosis diketahui bahwa ia belum memiliki
kecakapan memahami konteks kalimat, khususnya
kalimat-kalimat yang mengandung elemen polisemi.
Akibatnya, sebuah kata polisemi yang arti aslinya “X”
dalam sebuah konteks kalimat dipahaminya sebagai
“X” juga dalam konteks kalimat yang lain.

Menyusun Program Perbaikan


Sebelum menyusun program pengajaran
perbaikan (remedial teaching), terlebih dahulu perlu
ditetapkan hal-hal berikut :
1. Tujuan pengajaran remedial
2. Materi Pengajaran remedial
3. Metode pengajaran remedial
4. Alokasi pengajaran remedial
5. Evaluasi kemajuan peserta didik setelah mengikuti
program pengajaran remedial.
Agar lebih jelas, berikut ini disajikan sebuah
contoh program pengajaran remedial yang sengaja
dikaitkan dengan masalah yang dihadapi oleh peserta
didik yang bernama Amir.
Contoh :
Program Pengajaran Remedial

Nama : Amir
Kelas : III IPS3 MAN 1 Medan
Jenis Kelamin : Memahami kata-kata “naik”,
“turun” dan “jatuh” dalam
berbagai konteks kalimat.
Materi remedial : 1. Sebuah seri gambar yang terdi-
ri atas: 1) gambar yang mem-
peragakan arti kata “naik”, b)
gambar yang memperagakan
arti kata “turun”, c) gambar
yang memperagakan arti kata
“jatuh”.
2. Sebuah seri kartu yang terdiri
atas : a) kartu kata “naik”, b)
kartu kata “turun”, c) kartu
kata “jatuh”.
3. Tiga buah cerita pendek yang
masing-masing mengandung
kalimat yang menggunakan
kata “naik”, “turun” dan
“jatuh”.
Alokasi waktu : 45 menit
Evaluasi remedial : Menggunakan instrumen tes isian
yang terdiri atas kalimat-kalimat
yang harus disempurnakan
dengan menggunakan kata naik,
turun dan jatuh.

Melaksanakan Program Perbaikan


Pada prinsipnya program pengajaran remedial
(perbaikan) tersebut akan lebih berhasil baik jika
dilaksanakan sesegera mungkin. Tempat
penyelenggaraannya diutamakan di tempat yang
memungkinkan peserta didik (yang memerlukan
bantuan) mengkonsentrasikan perhatiannya terhadap
proses pengajaran perbaikan tersebut. Namun, perlu
dipertimbangkan oleh pendidik kemungkinan untuk
menggunakan ruang Bimbingan Konseling yang
tersedia di sekolah dalam upaya mendayagunakan
ruang tersebut.
Selanjutnya, untuk memperluas wawasan
pengetahuan mengenai alternatif-alternatif pemecahan
masalah kesukaran belajar peserta didik, pendidik
sangat dianjurkan mempelajari buku-buku khusus
mengenai Bimbingan Konseling. Selain itu, juga
dianjurkan untuk mempertimbangkan penggunaan
model-model mengajar tertentu yang dipandang sesuai
sebagai alternatif lain atau pendukung cara
memecahkan masalah kesukaran belajar peserta
didik.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Bigge, Morris L. Learning Theories for Teachers, New


York : Harper & Row, Publisher Inc., 1992

Hilgard, Ernest R, and Bower, Gordon H. Theories of


Learning, New Delhi Presentice Hill of India
Privat, 1997

Kohler, W. The Tast of Gestalt Psychology, Princeton


New Jersey : Princenton University Press,
Jakarta : 1999

Ratna Wilis Dahar. Teori-teori Belajar, Jakarta :


Dirjend Dikti Depdikbud RI, 1999

Reynold, G.S. A Primer of Operant Conditioning,


Glenview : Foresman & Co, 1998

Sardiman A.M. Interaksi dan Motivasi Belajar-


Mengajar, Jakarta : Rajawali, 2002

The Liang Gie. Cara Belajar Yang Efisien, Yogyakarta :


Gajah Mada University Press, 2002

Anda mungkin juga menyukai