Disusun Oleh :
RIA FADLIANI MELINA
NIM: 2022-01-14901-056
Pembimbing Akademik
2.2.2. Etiologi
Etiologi dan faktor terbentuknya batu ginjal diduga ada hubungannya
dengan gangguan saluran urin, infeksi saluran urin, dehidrasi dan keadaankeadaan
lainnya yang masih belum terungkap (idiopatik) (Purnomo, 2011).
Secara epidemiologi terdapat beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Berikut ini beberapa faktor
intrinsik dan ekstrinsik yang mempengaruhi terjadinya batu ginjal antara lain
Faktor Intrinsik yakni :
(1) Herediter (keturunan) : penyakit ini diturunkan dari orang tuannya.
(2) Usia : penyakit ini paling sering didapat pada usia 30 sampai 50 tahun.
(3) Jenis kelamin : jumlah pasien laik-laki tiga kali lebihn besar dari pada
wanita.
Faktor Ekstrinsik yakni :
(1) Geografi : beberapa daerah memiliki prevalensi kejadian yang tinggi.
(2) Iklim dan temperatur.
(3) Asupan air.
(4) Diet.
2.2.3. Klasifikasi
2.2.3.1. Gout primer
Dimana menyerang laki-laki usia degenerative, dimana meningkatnya
produksi asam urat akibat pecahan purin yang disintesis dalam jumlah
yang berlebihan didalam hati. Merupakan akibat langsung dari
pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan
ekresi asam urat yaitu hiperurisemia karena gangguan metabolisme purin
atau gangguan ekresi asam urat urin karena sebab genetik. Salah satu
sebabnya karena kelainan genetik yang dapat diidentifikasi, adanya
kekurangan enzim HGPRT (hypoxantin guanine phosphoribosyle
tranferase) atau kenaikan aktifitas enzim PRPP (phosphoribosyle
pyrophosphate ), kasus ini yang dapat diidentifikasi hanya 1 % saja.
2.2.3.2. Gout sekunder
terjadi pada penyakit yang mengalami kelebihan pemecahan
purin menyebabkan meningkatnya sintesis asam urat. Contohnya pada
pasien leukemia Disebabkan karena pembentukan asam urat yang
berlebihan atau ekresi asam urat yang berkurang akibar proses penyakit
lain atau pemakaian obat tertentu. merupakan hasil berbagai penyakit
yang
penyebabnya jelas diketahui akan menyebabkan hiperurisemia karena
produksi yang berlebihan atau penurunan ekskresi asam urat di urin.
2.2.4. Patofisiologi
Peningkatan kadar asam urat serum dapat disebabkan oleh pembentukan
berlebihan atau penurunan eksresi asam urat, ataupun keduanya. Asam urat adalah
produksi akhir metabolisme purin. Secara normal, metabolisme purin menjadi
asam urat dapat diterangkan sebagai berikut: sintesis purin melibatkan dua jalur,
yaitu jalur de novo dan jalur penghematan (salvage pathway).
Jalur de novo melibatkan sintesis purin dan kemudian asam urat melalui
precursor nonpurin. Substrat awalnya adalah ribose-5-fosfat, yang diubah melalui
serangkaian zat antara menjadi nukleotida purin (asam inosinat, asam guanilat,
asam adenilat). Jalur ini dikendalikan oleh serangkaian mekanisme yang
kompleks, dan terdapat beberapa enzim yang mempercepat reaksi yaitu :
fosforibosilpirofosfat (PRPP) sintetase dan amido-fosforibosiltransferase
(amidoPRT). Terdapat suatu mekanisme inhibisi umpan balik oleh nukleotida
purin yang terbentuk, yang fungsinya untuk mencegah pembentukan yang
berlebihan.
Jalur penghematan adalah jalur pembentukan nukleotida purin melalui basa
purin bebasnya, pemecahan asam nukleat, atau asupan makanan. Jalur ini tidak
melalui zat-zat perantara seperti pada jalur de novo. Basa purin bebas (adenine,
guanine, hipoxantin) berkondensasi dengan PRPP untuk membentuk precursor
nukleotida purin dari asam urat. Reaksi ini dikatalisis oleh dua enzim : hioxantin
guanin fosforibosiltrasferase (HGPRT) dan adenine fosforibosiltransferase
(APRT).
Asam urat yang terbentuk dari hasil metabolisme purin akan difiltrasi
secara
bebas oleh glomerulus dan direabsorpsi di tubulus proksimal ginjal. Sebagian
kecil asam urat yang direabsorpsi kemudian diekskresikan di nefron distal dan
dikeluarkan melalui urin.Pada penyakit gout, terdapat gangguan keseimbangan
metabolisme (pembentukan dan ekskresi) dari asam urat tersebut, meliputi:
a. Penurunan ekskresi asam urat secara idiopatik.
b. Penurunan ekskresi asam urat sekunder, misalnya karena gagal ginjal.
c. Peningkatan produksi asam urat, misalnya disebabkan oleh tumor (yang
meningkatkan cellular turnover) atau peningkatan sintesis purin (karena defek
enzim-enzim atau mekanisme umpan balik inhibisi yang berperan).
d. Peningkatan asupan makanan yang mengandung purin.
e. Peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan kadar asam
urat dalam tubuh.
Asam urat ini merupakan suatu zat yang kelarutannya sangat rendah
sehingga cenderung membentuk kristal. Penimbunan asam urat paling banyak
terdapat di sendi dalam bentuk kristal monosodium urat. Mekanismenya
hingga saat ini masih belum diketahui. Asam urat merupakan produk pemecahan
meabolisme purin. Normalnya, keseimbangan terjadi antara produksi dan
ekskresi, dengan sekitar dua pertiga jumlah yang dihasilkan setiap hari
dikeluarkan oleh ginjal dan sisanya dalam feses. Kadar asam urat serum
normalnya dipertahankan antara 3,5 dan 7,0 mg/dL pada pria dan 2,8 dan 6,8
mg/dL pada wanita. Pada tingkat yang lebih besar dari 7,0 mg/dL, serum
tersaturasi dengan urat, bentuk asam urat terionisasi. Saat peningkatan
konsentrasi, plasma menjadi supersaturasi, menciptakan risiko pembentukan
kristal monosodium urat. Sebagian besar waktu, hiperurisemia terjadi dari
ekskresi asam urat yang kurang oleh ginjal, produksi berlebihan terjadi pada
hiperurisemia pada hanya sekitar 10% individu. Pada hiperurisemia, peningkatan
kadar urat ada dalam cairan ekstraseluler lain, termasuk cairan sinavial, dan juga
pada plasma. Akan tetapi, cairan synovial merupakan pelarut yang buruk untuk
urat daripada plasma, meningkatkan resiko untuk pembentukan kristal urat.
Kristal monosodium urat dapat terbentuk dalam cairan synovial atau dalam
membrane synovial, kartilago, atau jaringan ikat sendi lainnya. Kristal cenderung
terbentuk pada jaringan perifer tubuh, sementara itu suhu yang lebih rendah
mengurangi kelarutan asam urat. Kristal juga terbentuk di jaringan ikat dan ginjal.
Kristal ini menstimulasi dan melanjutkan proses inflamasi, selama neutrofil
berespons dengan ingesti kristal. Neutrofil melepaskan fagolisosom,
menyebabkan kerusakan jaringan, yang menyebabkan terjadinya inflamasi
terusmenerus. Pada akhirnya, proses inflamasi merusak kartilago sendi dan tulang
yang menyertai (LeMone, 2015).
Kadar asam urat dalam serum merupakan hasil keseimbangan antara
produksi dan sekresi. Dan ketika terjadi ketidakseimbangan dua proses tersebut
maka terjadi keadaan hiperurisemia, yang menimbulkan hipersaturasi asam urat
yaitu kelarutan asam urat di serum yang telah melewati ambang batasnya,
sehingga merangsang timbunan urat dalam bentuk garamnya terutama
monosodium urat diberbagai tempat/jaringan. Menurunnya kelarutan sodium urat
pada temperatur yang lebih rendah seperti pada sendi perifer tangan dan kaki,
dapat menjelaskan kenapa kristal MSU (monosodium urat) mudah diendapkan di
pada kedua tempat tersebut (Hidayat, 2009).
WOC Gout Arthirtis
Gangguan metabolik
Gout Arthirtis
Nyeri pada sendi Akumulasi penyakit Penumpukan asam Fisiologi ginjal terganggu Tidak Ada Masalah Nyeri pada sendi
penyebab urat pada sendi Keperawatan
B3 (BRAIN)
MK: Pola Napas Tidak
MK: Perfusi Perifer MK: Nyeri Akut
Efektif
Tidak Efektif.
13
akan makin sering terjadi biasanya tiap 6 bulan, tiap 3 bulan dan
seterusnya, hingga pada suatu saat penderita akan mendapat serangan
setiap hari dan semakin banyak sendi yang terserang.
2.2.5.4. Tahap 4 (tahap Gout Arthritis Kronik Tofaceous)
Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10 tahun
atau lebih. Pada tahap ini akan terbentuk benjolan-benjolan disekitar
sendi
yang sering meradang yang disebut sebagai Thopi. Thopi ini berupa
benjolan keras yang berisi serbuk seperti kapur yang merupakan deposit
dari kristal monosodium urat. Thopi ini akan mengakibatkan kerusakan
pada sendi dan tulang disekitarnya. Bila ukuran thopi semakin besar dan
banyak akan mengakibatkan penderita tidak dapat menggunakan sepatu
lagi
2.2.6. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi pada penyakit gout arthritis ini yaitu:
2.2.6.1. Deformitas pada persendian yang terserang
2.2.6.2. Urolitiasis akibat deposit Kristal urat pada saluran kemih
2.2.6.3. Nephrophaty akibat deposit Kristal urat dalam intertisial ginjal
2.2.6.4. Hipertensi ringan
2.2.6.5. Proteinuria
2.2.6.6. Hyperlipidemia
2.2.6.7. Gangguan parenkim ginjal dan batu ginjal.
14
2.2.7.2 Pemeriksaaan fisik
1) Inspeksi
a. Deformitas
b. Eritema
2) Palpasi
a. Pembengkakan karena cairan / peradanagn
b. Perubahan suhu kulit
c. Perubahan anatomi tulang/ jaringan kulit
d. Nyeri tekan
e. Krepitus
f. Perubahan range of motion
2.2.8. Penatalaksanaan
Penanganan gout biasanya dibagi menjadi penanganan serangan akut dan
penangananhiperurisemia pada pasien artritis kronik. Ada 3 tahapan dalam terapi
penyakit ini :
1) Mengatasi serangan akut.
2) Mengurangi kadar asam urat untuk mencegah penimbunan kristal urat
pada jaringan, terutama persendian.
3) Terapi pencegahan menggunakan terapi hipourisemik.
2.2.8.1 Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi merupakan strategi esensial dalam penanganan
gout. Intervensi seperti istirahat yang cukup, penggunaan kompres dingin,
modifikasi diet, mengurangi asupan alkohol dan menurunkan berat badan
pada pasein yang kelebihan berat badan terbukti efektif.
1) Terapi Komplementer
Selain penatalaksanaan secara medik atau farmakologi,
mengurangi nyeri dapat dilakukan dengan teknik nonfarmakologi yaitu
dengan menggunakan penatalaksanaan secara komplementer salah
satunya dengan menggunakan terapi herbal (Azwar, 2012), ada beberapa
tanaman obat asli indonesia (OAT) yang mempunyai indikasi kuat untuk
mengatasi nyeri rematik yang telah melalui prngujian klinis antara lain :
15
a. Sambiloto (Andrographis panilculata)
Mengandung Flavonoid Andrografolid mineral kalium dan zat
pahit senyawa Lactone Andrografolid sebagai anti radang dan
analgetik.
b. Daun Salam (Syzghium Polyanthum)
Berkhasiat sebagai Diuretika, Analgesik, dan anti radang yang
efektif.Tetapi dari sekian banyaknya tanaman herbal dalam
masyarakat biasanya jahe merahlah yang paling sering dijadikan
alternative pengobatan herbal untuk meredakan nyeri, karena
khasiatnya lebih baik dibandingkan dengan tanaman obat yang
lainnya yang digunakan untuk pengobatan nyeri dan juga banyak
penelitian mengenai manfaat jahe dan kelebihan jahe untuk
meredakan nyeri.
c. Jahe merah (Zingiber Officinale Var Rubrum)
jahe (zingiber officinale rosc) termasuk dalam daftar prioritas
WHO sebagai tanaman obat yang paling banyak digunakan
didunia,
rimpangnya yang mengandung zingiberol dan kurkuminoid
terbukti
berkhasiat mengurangi peradangan dan nyeri sendi.
2.2.8.2 Terapi Farmakologi
1) Serangan akut
Istirahat dan terapi cepat dengan pemberian NSAID, misalnya
indometasin 200 mg/hari atau diklofenak 150 mg/hari, merupakan terapi
lini
pertama dalam menangani serangan akut gout, asalkan tidak ada
kontraindikasi terhadap NSAID. Aspirin harus dihindari karena ekskresi
aspirin berkompetisi dengan asam urat dan dapat memperparah serangan
akut gout. Keputusan memilih NSAID atau kolkisin tergantung pada
keadaan pasien, misalnya adanya penyakit pernyerta lain/komorbid, obat
lain yang juga diberikan pada pasien saat yang sama, dan fungsi ginjal.
Kolkisin merupakan obat pilihan jika pasien juga,menderita penyakit
16
kardiovaskuler, termasuk hipertensi, pasien yang mendapat
diuretik untuk gagal jantung dan pasien yang mengalami toksisitas
gastrointestinal, kecendrungan perdarahan atau gangguan fungsi ginjal.
Obat yang menurunkan kadar asam urat serum (allopurinol dan obat
urikosurik seperti probenesid dan sulfinpirazon) tidsk boleh digunakan
pada
serangan akut. Penggunaan NSAID, inhibitor cyclooxigenase-2 (COX-2),
kolkisin kortikosteroid untuk serangan akut dibicarakan berikut ini :
a) NSAID
NSAID merupakan terapi pertama yang efektif untuk pasien yang
mengalami serangan gout akut. Hal ini penting yang menentukan
keberhasilan terapi bukanlah pada NSAID yang dipilih melainkan pada
seberapa cepat terapi NSAID mulai diberikan. NSAID harus diberikan
dengan dosis sepenuhnya (full dose) pada 24-48 jam pertama atau
sampai rasa nyeri hilang. Indometasin banyak diresepkan untuk serangan
akut artritis gout, dengan dosis awal 75-100 mg/hari. Dosis ini kemudian
diturunkan setelah 5 hari bersamaan dengan meredanya gejala serangan
akut. Efek samping indometasin antara lain pusing dan gangguan saluran
cerna, efek ini akan sembuh pada saat dosis diturunkan. NSAID lain yang
umum digunakan untuk mengatasi episode gout akut adalah:
- Naproxen - awal 750mg, kemudian 250mg 3kali/hari
- Piroxicam - awal 40mg, kemudian 10-20mg/hari
2) Serangan Kronik
Kontrol jangka panjang hiperurisemia merupakan faktor penting untuk
mencegah terjadinya serangan akut gout, gouttophaceous kronik, keterlibatan
ginjal dan pembentukan batu asam urat. Kapan mulai diberikan obat penurun
kadar asam urat masih kontroversi. Penggunaan allopurinol, urikourik dan
feboxostat (sedang dalam pengembangan) unuk terapi gout kronik dijelaskan
berikut ini :
a. Allopurinol
Obat hipurisemik pilihan unuk gout kronik adalah allopurinol. Selain
mengontrol gejala, obat ini juga melindungin fungsi ginjal. Allopurinol
17
menurunkan fungsi asam urat dengan cara menghambat enzim xantin
oksidase. Dosis pada pasien dengan fungsi ginjal normal dosis awal
allopurinol tidak boleh melebihi 300mg/24 jam. Respon terhadap
allopurinol dapat dilihat sebagai penurunan kadar asam urat dalam
serum pada dua hari setelah terapi dimulai dan maksimum setelah 7-10
hari. Kadar asam urat dalam serum harus dicek setelah 2-3 minggu
penggunaan allopurinol untuk meyakinkan turunnya kadar asam urat.
b. Obat urikosurik
kebanyakan pasien dengan hiperurisemia yang sedikit mengekskresikan
asam urat dapat diterapi dengan obat urikosurik. Urikosurik seperti
probenesid (500 mg-1 g 2kali/hari) dan sulfinpirazon (100 mg 3-4
kali/hari) merupakan alternatif allopurinol, terutama untuk pasien yang
tidak tahan terhadap allopurinol. Urikosurik harus dihindari pada pasien
dengan nefropati urat dan yang memproduksi asam urat berlebihan. Obat
ini tidak efektif pada pasien dengan fungsi ginjal yang buruk (klirens
kreatinin <20-30 mL/menit). Sekitar 5% pasien yang menggunakan
probenesid jangka lama mengalami mual, nyeri ulu hati, kembung atau
konstipasi.
18
1) Data Umum:
a) Nama kepala keluarga, usia, pendidikan, pekerjaan, dan alamat kepala
keluarga, komposisi anggota keluarga yang terdiri atas nama atau
inisial, jenis kelamin, tanggal lahir, atau umur, hubungan dengan
kepala keluarga, status imunisasi dari masing-masing anggota
keluarga,dan genogram (genogram keluarga dalam tiga generasi).
b) Tipe keluarga, menjelaskan jenis tipe keluarga beserta kendala atau
masalah yang terjadi dengan jenis tipe keluarga tersebut.
c) Suku bangsa atau latar belakang budaya (etnik), mengkaji asal suku
bangsa keluarga tersebut, serta mengidentifikasi budaya suku bangsa
terkait dengan kesehatan.
d) Agama, mengkaji agama yang dianut oleh keluarga serta kepercayaan
yang dapat mempengaruhi kesehatan.
e) Status sosial ekonomi keluarga, ditentukan oleh pendapatan, baik dari
kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya. Selain itu, status
sosial ekonomi keluarga ditentukan pula oleh kebutuhan-kebutuhan
yang dikeluarkan oleh keluarga serta barang-barang yang dimiliki oleh
keluarga.
f) Aktivitas rekreasi keluarga dan waktu luang, rekreasi keluarga tidak
hanya dilihat kapan keluarga pergi bersamasama untuk mengunjungi
tempat rekreasi, namun dengan menonton TV dan mendengarkan radio
juga merupakan aktivitas rekreasi, selain itu perlu dikaji pula
penggunaan waktu luang atau senggang keluarga. (Mubarak, 2012).
19
1.4.1 Intervensi
Menurut SIKI DPP PPNI, 2018 intervensi keperawatan adalah segala
treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian krisis untuk mencapai luaran (outcome) yang di harapkan, sedangkan
tindakan keperawatan adalah prilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh
perawat untuk mengimpementasikan intervensi keperawatan. Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia menggunakan sistem klasifiksai yang sama dengan SDKI.
20
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi
1. Gangguan Pola Napas 1. Ventilasi semenit meningkat 1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2. Kapasitas vital meningkat 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
3. Diarmeter thotaks anterior – posterior wheezing, ronkhi kering)
meningkat 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
4. Tekanan ekspirasi meningkat 4. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-
5. Tekanan inspirasi meningkat lift (jaw-trust jika curiga trauma servikal)
6. Dipsnue menurun 5. Posisi semi – fowler atau fowler
7. Penggunaan otot bantu napas menurun 6. Berikan minuman hangat
8. Pemanjangan fase ekspirasi menurun 7. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
9. Ortopnea menurun 8. Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
10. Pernapasan pursed – lip menurun 9. Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
11. Pernapasan cuping hidung menurun 10. Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
12. Frekuensi napas membaik 11. Berikan oksigen, jika perlu
13. Kedalaman napas membaik 12. Anjurkan asupan cairan 2.000 ml/hari , jika tidak
14. Ekskursi dada membaik terkontaindikasi
13. Ajarkan teknik batuk efektif
14. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
21
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteri Hasil) Intervensi
2. Perfusi Perifer Tidak 1. Denyut nadi perifer meningkat 1. Pemeriksaan sirkulasi perifer
Efektif 2. Penyembuhan luka meningkat 2. Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
3. Sensasi meningkat 3. Monitor panas kemerahan, nyeri, atau bengkak pada
4. Warna kulit pucat menurun ekstermitas
5. Edema perifer menurun 4. Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area
6. Nyeri ekstermitas menurun keterbatasan perfusi
7. Parastesia menurun 5. Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstermitas dengan
8. Kelemahan otot menurun keterbatasan perfusi
9. Kram otot menurun 6. Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area
10. Bruir fermonalis menurun yang cedera
11. Nekrosis menurun 7. Lakukan pencegahan infeksi
12. Pengisian kapiler membaik 8. Lakukan perawatan kaki dan kuku
13. Akral membaik 9. Lakukan hidrasi
14. Tungor kulit membaik 10. Anjurkan berhenti merokok
15. Tekanan darah sistolik membaik 11. Anjurkan olah raga rutin
16. Tekanan darah diastolik membaik 12. Anjurkan cek air mandi untuk menghindari kulit terbakar
17. Tekanan arteri rata – rata membaik 13. Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah,
18. Indeks ankle – brachial membaik antikoagulan, dan penurun kolesterol
14. Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara
teratur
15. Anjurkan menghindari obat penggunaan obat penyekat beta
16. Anjurkan perawatan kulit yang tepat
17. Anjurkan program rehabilitasi vascular
18. Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi
19. Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan
22
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi
( halaman 145, L.08066) ( halaman 201, I.08238 )
3. Nyeri Akut 1. Keluhan nyeri menurun Observasi
2. Meringis menurun 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
3. Sikap protektif menurun intensitas nyeri.
4. Kesulitan tidur menurun 2. Identifikasi skala nyeri
5. Menarik diri menurun 3. Identifikasi respons nyeri nonverbal
6. Berfokus pada diri sendiri menurun 4. Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan
7. Diaforesis menurun nyeri.
8. Perasaan depresi menurun 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
9. Perasaan takut mengalami cedera ulang 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
menurun 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
10. Anoreksia menurun 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah di
11. Perineum terasa tertekan menurun berikan
12. Uterus teraba membulat menurun 9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
13. Ketegangan otot menurun Terapeutik
14. Pupil dilatasi menurun 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
15. Muntah menurun 2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
16. Mual menurun 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
17. Frekuansi nadi membaik 4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
18. Pola napas membaik strategi meredakan nyeri
19. Tekanan darah membaik Edukasi
20. Proses berpikir membaik 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
21. Fokus membaik 2. Anjurkan memonir nyeri secara mandiri
22. Fungsi berkemih membaik 3. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
23. Perilaku membaik 4. Ajarkan teknik norfarmakologis untuk mengurangi rasa
24. Nafsu makan membaik nyeri
25. Pola tidur membaik Kolaborasi
23
1. Kaloborasi dengan dokter pemberian analgetik, jika perlu.
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi
( halaman 24, L.04034 ) ( halaman 175, I.04152 )
4. Gangguan Eliminasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x8 1. Identifikasi tanda dan gejala retensi atau inkontinensia urine
Urine (halaman 96, jam di harapkan masalah keperawatan 2. Identifikasi faktor yang menyebabkan retensi atau
D.0149). gangguan eliminasi urine dapat teratasi inkontinensia urine
dengan kriteria hasil : 3. Monitor eliminasi urine (mis. Frekuensi, konsistensi, aroma,
1. Sensasi berkemih meningkat (5) volume, dan warna)
2. Desakan berkemih (urgensi) menurun 4. Catat waktu – waktu dan haluaran berkemih
(5) 5. Batasi asupan cairan, jika perlu
3. Distensi kandung kemih menurun (5) 6. Ambil sampel urine tengah (midstream) atau kultur
4. Berkemih tidak tuntas (hesitancy) 7. Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih
menurun (5) 8. Ajarkan mengukur asupan cairan dan haluaran urine
5. Volume residu urine menurun (5) 9. Ajarkan mengambil specimen urine midstream
6. Urine menetes (dribbling) menurun (5) 10. Ajarkan mengenali tanda berkemih dan waktu yang tepat
7. Nokturia menurun (5) untuk berkemih
8. Mengompol menurun (5) 11. Ajarkan terapi modalitas penguat otot - otot
9. Enuresis menurun (5) panggul/perkemihan
10. Disuria menurun (5) 12. Anjurkan minum yang cukup, jika tidak ada kontraindikasi
11. Anuria menurun (5) 13. Anjurkan mengurangi minum sebelum tidur
12. Frekuensi BAK membaik (5) 14. Kolaborasi pemberian asupan obat supostoria, jika perlu
13. Karakteristik urine membaik (5)
24
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi
5. Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x8 Observasi:
Fisik jam di harapkan masalah keperawatan 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan
intoleransi aktivitas dapat teratasi dengan kelelahan
kriteria hasil : 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
1. Frekuensi nadi meningkat (5) 3. Monitor pola dan jam tidur
2. Saturasi oksigen meningkat (5) 4. Monitir lokasi dan ketidaknyamanan melakukan aktivitas
3. Kemudahan dalam melakukan Terapeutik:
aktivitas sehari-hari meningkat (5) 1. Sediakan lingkungan nyaman, dan rendah stimulus (mis.
4. Kecepatan berjalan meningkat (5) Cahaya, suara, kunjungan)
5. Jarak berjalan meningkat (5) 2. Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
6. Kekuatan tubuh bagian atas meningkat 3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
(5) 4. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak berpindah atau
7. Kekuatan tubuh bagian bawah berjalan
meningkat (5) Edukasi:
8. Toleransi dalam menaiki tangga 1. Anjurkan tirah baring
meningkat (5) 2. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
9. Keluhan lelah menurun (5) 3. Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
10. Dispnea menurun (5) kelelahan tidak berkurang
11. Dispnea setelah aktivitas menurun (5) 4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
12. Perasaan lemah menurun (5) Kolaborasi:
13. Aritmia saat aktivitas menurun (5) 1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan
14. Aritmia setelah aktivitas menurun (5) asupan makanan
15. Sianosis menurun (5)
16. Warna kulit membaik (5)
17. Tekanan darah membaik (5)
18. Frekuensi napas membaik (5)
19. EKG iskemia membaik (5)
25
26
2.3.3. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan atau pelaksanaan keperawatan
adalah proses dimana perawat mendapatkan kesempatan untuk menerapkan
rencana tindakan yag telah disusun dan membangkitkan minat dan kemandirian
keluarga dalam mengadakan perbaikan ke arah perilaku hidup sehat. Namun
sebelum melakukan implementasi, perawat terlebih dahulu membuat kontrak agar
keluarga lebih siap baik fisik maupun psikologis dalam menerima asuhan
keperawatan yang diberikan. Tindakan keperawatan keluarga mencakup hal-hal
di bawah ini yaitu :
1) Merangsang kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai masalah
kesehatan dan kebutuhan kesehatan dengan cara memberi informasi,
mengkaji kebutuhan dan harapan tentang 41 kesehatan serta memberi
motivasi atau dorongan sikap emosi yang sehat terhadap masalah
2) Membantu keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat,
dengan cara memberitahu konsekuensi jika tidak melakukan,
mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki, dan
membicarakan tentang konsekuensi tiap tindakan.
3) Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota yang sakit,
dengan cara mendemonstrasikan cara perawatan, memanfaatkan alat dan
fasilitas yang ada di rumah, dan mengawasi keluarga dalam melakukan
tindakan.
4) Membantu keluarga untuk memodifikasi lingkungan menjadi sehat,
dengan cara menggali sumber-sumber yang ada dan
memodifikasi lingkungan semaksimal mungkin
5) Memberi motivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan tyang
ada, dengan cara mengenalkan fasilitas kesehatan yang ada di lingkungan,
(Widyanto, 2014).
27
2.3.5 Evaluasi keperawatan
Evaluasi Menurut Mubarak (2012), evaluasi proses keperawatan ada dua
yaitu evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif.
Evaluasi Kuantitatif Evaluasi kuantitatif dilaksanakan dalam kuantitas,
jumlah pelayanan, atau kegiatan yang telah dikerjakan.
Evaluasi Kualitatif Evaluasi kualitatif merupakan evaluasi mutu yang dapat
difokuskan pada salah satu dari tiga dimensi yang saling terkait.
Tahapan evaluasi dapat dilakukan pula secara formatif dan sumatif.
Evaluasi. formatif adalah evaluasi yang dilakukan selama proses asuhan
keperawatan sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada
akhir
asuhan keperawatan (Mubarak, 2012).
Evaluasi dilaksanakan dengan pendekatan SOAP (Subyektif, Obyektif,
Analisa, dan Planning)
S : adalah hal-hal yang dikemukakan oleh keluarga secara subjektif setelah
dilakukan intervensi keperawatan.
O : adalah hal-hal yang ditemui oleh perawat secara objektif setelah dilakukan
intervensi keperawatan.
A : adalah analisa dari hasil yang telah dicapai dengan mengacu pada tujuan
yang terkait dengan diagnosis.
P : adalah perencanaan yang akan datang setelah melihat respon dari keluarga
pada tahapan evaluasi
28
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Volume 2. Jakarta: EGC
Keperawatan Indonesia (SDKI).Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2018.Standar Luaran
Suarjana, I Nyoman, 2014, Arthritis rheumatoid dalam buku penyakit dalam edisi
V, Sudoyo, A,W., Setiyohadi., B Alwi, Idrus, et al, Internet Publishing,
Jakarta.
29
30
31