Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep lansia

2.1.1 Definisi Lansia


Lansia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-
tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa dan akhirnya
menjadi tua. (Karlina & Kora, 2020). Lansia bukan suatu penyakit, namun tahap
lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan kemampuan tubuh untuk
beradaptasi dengan stres lingkungan (Guriti & Ismarwati, 2020). Lansia merupakan
seorang pria atau wanita yang telah mencapai usia 60 tahun keatas (undangundang
No. 13 tahun 1998, dalam nugroho, 2018). Peneliti menyimpulkan bahwa lanisa
adalah lansia sangat penting bagi perawat dalam menangani lansia dengan hipertensi
untuk mengingatkan atau membimbing terhadap pemenuhan kebutuhan spiritualnya
guna mengurangi stres atau ketegangan psikologis dalam hidup, sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidupnya.

2.1.2 Klasifikasi lansia


Klasifikasi lansia dibagi menjadi 5 yaitu pralansia, lansia, lansia resiko tinggi,
lansia potensial, dan lansia tidak potensial. Pralansia adalah seseorang yang berusia
antara 45-59 tahun (Sunaryo dkk, 2016). Lansia yaitu seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih, untuk lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau
lebih dan bermasalah dengan kesehatan seperti, menderita rematik, demensia,
mengalami kelemahan dan lain-lain, sedangkan lansia potensial yaitu lansai yang
masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang
ataupun jasa. Lansia tidak potensial yaiyu lanisa yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (nugroho, 2017)
1. Batasan-batasan lansia: menurut WHO, klasifikasi lanisa adalah:
a.Usia Pertengahan (Middleage) 45-59 Tahun.
b. Lansia (Elderly) 60-74 Tahun.
c.Lansia Tua (Old) 75-90 Tahun.
d. Lansia Sangat Tua (Very old) diatas 90 tahun.
2. Menurut depkes R1, 2009 klasifikasi lansia adalah:
a. lansia awal 46-55 tahun.
b. lansia akhir 56-65 tahun.
c. lansia manula atas 65-sampai atas.

2.1.3 Tipe-tipe lanisa Tipe-tipe lansia


Dibagi menjadi 5 yaitu tipe arif bijaksana, tipe mandiri, tipe tidak puas, tipe pasrah
dan tipe bingung. (Nugroho, 2017).
1. Tipe arif bijaksana yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, penyesuaian diri
dengan perubahan jaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,
sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.
2. Tipe mandiri yaitu menganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif
dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan.
3. Tipe tidak puas yaitu konflik lahir batin menantang proses penuaan sehingga
menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan
banyak menuntut.
4. Tipe pasrah yaitu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan
agama dan melakukan pekerjaan apa saja.
5. Tipe bingung yaitu kaget, kehilangan, kepribadian, mengasingkan diri,
minder, menyesal, pasif dan acuh tak acuh.

2.1.4 Perubahan proses menua


Menua atau menjadi tua adalah suatau keadaan yang terjadi dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup tidak hanya dimulai dari
suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua
merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap
kehidupannya, yaitu anak, dewasa, tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis
maupun psikologi. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran misalkan
kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, ruambut memutih,
gigi mulai ompongpendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk,
gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak professional (Nugroho, 2017).
Proses menua mengakibatkan terjadinya banyak perubahan pada lanisa.
Perubahan-perubahan itu meliputi perubahan fisik, psikososial dan kognitif
(ratnawani, 2010):
1. Kardiovaskuler: kemampuan memompa darah menurun, elstis pembuluh darah
menurun, serta mengangkat resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah
meningkat.
2. Respirasi: Elastisitas paru menurun, kapasitas residu meningkat sehingga menarik
nafas lebih berat dan terjadi penyempitan bronkus.
3. Persyarafan: saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun dan lambat
dalam merespon dan waktu bereaksi khusunya yang berhubungan dengan stres,
4. Muskuloskeletal: cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis),
bengkak (kifosis), persendian membesar dan menjadi kaku.
5. Gastriointestinal: esofagus membesar, asam lambung menurun, lapar menurun dan
paristalik menurun.
6. Vesika urinaria: otot-otot melemah, kapasitasnya menurun dan retensi urine.
7. Kulit: keriput serta kulit kepala dan rambut menipis, elastisitas menurun, rambut
memutih (uban), dan kelenjar keringat menurun.

2.1.5 Perubahan sosial

Perubahan fisik yang dialami lansia seperti berkuranganya fungsi indera


pendengaran, penglihatan, gerakan fisik dan sebagainya menyebabkan gangguan
fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia, misalnya bahu membungkuk,
pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur sehingga sering menimbulkan
keterasingan. Keterasingan ini akan menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain
(Batubara, 2020).

Perubahan aspek psikososial. Fungsi kognitif meliputi belajar, persepsi, pemahan,


pengalaman dan lain-lain. Pada umumnya, setelah orang memasuki masa lansia akan
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor sehingga menyebabkan reaksi
dan perilaku lansia menjadi makin tidak seoptimal pada saat muda. Fungsi
psikomotor (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan, seperti
gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang aktif dari
waktu muda (priyoto, 2015).

DAFTAR PUSTAKA

Batubara, NI, & Kep, M. (2020). MODUL TEORI KEPERAWATAN GERONTIK.

Guriti, G., & Ismarwati, I. (2020). Peran keluarga pada perawatan lansia. Jurnal
Keperawatan, 12(2), 241-244.

Karlina, L., & Kora, F. T. (2020). HUBUNGAN PERAN PERAWAT SEBAGAI


CARE GIVER DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA LANSIA. Jurnal
Kesehatan Samodra Ilmu, 11(1), 104-113.

Sunaryo, M. K., Rahayu Wijayanti, S. K., Kep, M., Kom, S., Kuhu, M. M., SKM, M.,
... & Kuswati, A. (2016). Asuhan keperawatan gerontik. Penerbit Andi.
2.2 Asuhan Keperawatan

2.2.1 Definisi proses keperawatan


Proses keperawatan adalah suatu metode yang sistematis untuk mengkaji
respon manusia terhadap masalah – masalah kesehatan dan membuat rencana
keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah – masalah tersebut.
Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, implementasi dan evaluasi.
1. Pengkajian
Adalah dasar utama dari proses keperawatan. Pengumpulan data yang akurat
dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan pola pertahanan klien,
mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien, serta merumuskan diagnosis
keperawatan.
Data subyektif meliputi anoreksia, mual, tidak nyaman perut pada tingkat
tertentu. Data obyektif meliputi selaput mukosa kering, otot lemah, muntah (jumlah,
frekuensi, adanya darah), ada tanda – tanda ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
haus, penurunan turgor kulit.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik tentang respon individu, keluarga
atau komunitas terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan yang aktual atau
potensial.
Adapun diagnosa keperawatan pada gastritis adalah :
a. Ansietas berhubungan dengan pengobatan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan masukan nutrien
tidak adekuat.
c. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan masukan cairan berlebihan
karena
d. Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan diet dan proses penyakit.
e. Nyeri berhubungan dengan mukosa lambung teriritasi.
3. Perencanaan
a. Ansietas berhubungan dengan pengobatan.
Tujuan : Utama mencakup mengurangi ansietas
Intervensi keperawatan :
Bila pasien mencerna asam atau alkali, maka tindakan darurat diperlukan.
1. Terapi pendukung diberikan pada pasien dan keluarga selama pengobatan dan
setelah mencerna asam atau alkali yang telah dinetralisir atau diencerkan.
2. Pasien perlu disiapkan untuk pemeriksaan diagnostik (endoskopi) atau
pembedahan.
3. Menggunakan pendekatan untuk mengkaji pasien dan menjawab semua
pertanyaan selengkap mungkin.
4. Semua prosedur dan pengobatan dijelaskan sesuai dengan minat dan tingkat
pemahaman pasien.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan masukan nutrien tidak
adekuat.
Tujuan : Menghindari makanan pengiritasi dan menjamin masukan
nutrien adekuat.
Intervensi keperawatan :
1. Dukungan fisik dan emosi diberikan.
2. Pasien dibantu untuk menghadapi gejala yang dapat mencakup mual, muntah,
sakit
3. ulu hati dan kelelahan.
4. Makanan dan cairan tidak diijinkan melalui mulut selama beberapa jam atau
beberapa hari sampai gejala akut berkurang.
5. Bila terapi intravena diperlukan, pemberiannya dipantau dengan teratur, sesuai
dengan nilai elektrolit serum.
6. Bila gejala berkurang, pasien diberikan es batu diikuti dengan cairan jernih.
7. Makanan padat diberikan sesegera mungkin untuk memberikan nutrisi oral,
menurunkan kebutuhan terhadap terapi intravena.
8. Meminimalkan iritasi pada mukosa lambung.
9. Bila makanan diberikan, adanya gejala yang menunjukkan berulangnya episode
gastritis dievaluasi dan dilaporkan.
10. Masukan minuman mengandung kafein dihindari, demikian juga merokok.

c. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan masukan cairan berlebihan


karena muntah.
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan cairan.
Intervensi keperawatan :
1. Masukan dan haluaran cairan setiap hari dipantau untuk mendeteksi tanda – tanda
awal dehidrasi.
2. Bila makanan dan minuman ditunda, cairan intravena biasanya diberikan.
3. Masukan cairan ditambah nilai kalori diukur.
4. Nilai elektrolit dapat dikaji setiap 24 jam untuk mendeteksi indikator awal
ketidakseimbangan.
5. Pantau adanya indikator gastritis
6. Pantau tanda-tanda vital sesuai kebutuhan.

d. Kurang pengetahuan tentang penatalaksanaan diet dan proses penyakit.


Tujuan : Meningkatkan kesadaran tentang penatalaksanaan diet.
Intervensi keperawatan :
1. Pengetahuan pasien tentang gastritis dievaluasi.
2. Diet diresepkan dan disesuaikan dengan jumlah kebutuhan kalori harian pasien,
makanan yang disukai, pola makan.
3. Pasien diberi daftar zat – zat untuk dihindari.
4. Antibiotik, obat – obatan untuk menurunkan sekresi lambung diberikan sesuai
resep.
5. Pasien dengan anemia pernisiosa diberi instruksi tentang kebutuhan terhadap
injeksi vitamin B12 jangka panjang.
e. Nyeri berhubungan dengan mukosa lambung teriritasi.
Tujuan : Menghilangkan nyeri.
Intervensi keperawatan :
1. Pasien diinstruksikan untuk menghindari makanan dan minuman yang dapat
mengiritasi mukosa lambung.
2. Perawat mengkaji tingkat nyeri.
3. Pantau kenyamanan pasien setelah penggunaan obat – obatan.
4. Hindari zat pengiritasi.

5. .Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat dan
klien. beberapa petunjuk pada implementasi adalah :
a. Keterampilan interpersonal, intelektual, teknikal, dilakukan dengan cermat dan
efisien pada situasi yang tepat.
b. Keamanan fisik dan psikologis dilindungi
c. Dokumentasi intervensi dan respons klien

5.     Evaluasi
Bagian terakhir dari proses keperawatan. Semua tahap proses keperawatan
harus dievaluasi.
Hasil yang diharapkan :
a. Menunjukkan berkurangnya ansietas
b. Menghindari makan makanan pengiritasan, atau minuman yang mengandung
kafein atau alkoholik.
c. Mempertahankan keseimbangan cairan.
1. Mentoleransi terapi intravena sedikitnya 1,5 liter setiap hari.
2. Minum 6 – 8 gelas air setiap hari.
3. Mempunyai haluaran urine  1 liter setiap hari.
4. Menunjukkan turgor kulit yang adekuat.
d.        Mematuhi program pengobatan.
1. Memilih makanan dan minuman bukan pengiritasi.
2. Menggunakan obat-obatan sesuai resep.
e.         Melaporkan nyeri berkurang
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, S.C,. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, ; alih
bahasa, Agung Waluyo; editor Monica Ester, Edisi 8, Vol.2. Jakarta; EGC
Soeparman, S.W,. 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II,. Jakarta; Gaya Baru
2.3 Konsep Gastritis
2.3.1 Pengertian Gastritis
Gastritis pada lansia adalah suatu peradangan mukosa lambung yang dapat
bersifat kronis, difus atau lokal yang sering terjadi pada lansia:
dua jenis gastritis yang paling sering terjadi : gastritis superfisial akut dan gastritis
atropik kronik. (aspitasari & Toharudin, 2020).

2.3.2 Etiologi
Penyebab terjadinya gastritis, yaitu:
a. Endotoksin bakteri (masuk setelah menelan makanan yang terkontaminasi), kafein,
alkohol, dan aspirin merupakan agen-agen penyebab yang sering.
b. Penyebab lain adalah obat-obatan seperti : sulfonamida, steroid.
c. Beberapa makanan berbumbu termasuk lada, cuka dapat menyebabkan gejala yang
mengarah pada gastritis.
d. Gastritis kronik umumnya disebabkan akibat minum alkohol berlebihan, teh panas,
merokok, merupakan predisposisi timbulnya gastritis atropik.
e. Pada kasus anemia pernisiosa, patogenesis agaknya berkaitan dengan gangguan
mekanisme imunologik. Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap sel
parietal dalam darahnya, lebih spesifik lagi, penderita ini juga mempunyai antibodi
terhadap faktor intrinsik.

2.3.3 Patogenesis
Seluruh mekanisme yang menimbulkan gastritis erosif karena keadaan –
keadaan klinis yang berat belum diketahui benar. Aspirin dan obat anti inflamasi non
steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa mekanisme. Prostaglandin
mukosa merupakan salah satu faktor defensif mukosa lambung yang amat penting.
Selain menghambat produksi prostaglandin mukosa, aspiran dan obat aninflamasi
topikal terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif sehingga
dapat merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin dan obat antiflamasi non
steroid juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga
kemampuan faktor defensif terganggu (Rahmawati, 2016)..

2.3.4 Patofisiologi
Obat-obatan, alkohol, garam empedu atau enzim – enzim pankreas dapat
merusak mukosa lambung (gastritis erosif), mengganggu pertahanan mukosa
lambung dan memungkinkan difusi kembali, asam dan pepsin ke dalam jaringan
lambung, hal ini menimbulkan peradangan respons mukosa terhadap kebanyakan
penyebab iritasi tersebut dengan regenerasi mukosa, karena itu gangguan-gangguan
tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya.
Dengan iritasi yang terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat
terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat seperti asam dan basa yang bersifat korosif
mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada dnding lambung. Gastritis kronis dapat
menimbulkan keadaan dengan atropi kelenjar-kelenjar lambung dan keadaan mukosa
terdapat bercak-bercak penebalan warna abu-abu. Hilangnya mukosa lambung
akhirnya akan berakibat kurangnya sekresi lambung dan timbulnya anemia
pernisiosa.

2.3.5 Manifestasi klinik


Manifestasi klinis dari gastritis akut dapat bervariasi dari keluhan abdomen
yang tidak jelas, seperti anoreksia atau mual, sampai gejala lebih berat seperti nyeri
epigastrium, muntah, perdarahan dan hematemesis. Pada pemeriksaan fisis biasanya
tidak ditemukan kelainan, kecuali mereka yang mengalami perdarahan yang hebat
sehingga menimbulkan tanda dan gejala gangguan hemodinamik yang nyata seperti
hipotensi, pucat, keringat dingin, takikardia sampai gangguan kesadaran. Klien juga
mengeluh kembung, rasa asam di mulut.
Sedangkan manifestasi klinis dari gastritis kronik ; gejala defisiensi B 12, sakit
ulu hati setelah makan, bersendawa rasa pahit dalam mulut, mual dan muntah.
2.3.6 Pemeriksaan Diagnosis
Gastritis erosif harus selalu diwaspadai pada setiap pasien dengan keadaan
klinis yang berat atau pengguna aspirin dan anti inflamasi nonsteroid. Diagnosa ini
ditegakkan dengan pemeriksaan gastroduodenoskopi. Pada pemeriksaan akan tampak
mukosa yang sembab, merah, mudah berdarah atau terdapat perdarahan spontan, erosi
mukosa yang bervariasi dari yang menyembuh sampai tertutup oleh bekuan darah dan
kadang ulserasi.
Pada gastritis kronis diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
endoskopi dan histopatologi. Untuk pemeriksaan histopatologi sebaiknya dilakukan
biopsi pada semua segmen lambung. Perlu pula dilakukan kultur untuk membuktikan
adanya infeksi helicobacter pylori apalagi jika ditemukan ulkus baik pada lambung
ataupun pada duodenum, mengingat angka kejadian yang cukup tinggi yaitu hampir
mencapai 100%. Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosis H. Pylori jika hasil
PA positif.

2.3.7 Penatalaksanaan
Gastritis akut :
a. Mengatasi kedaruratan medis yang terjadi.
b. Mengatasi atau menghindari penyebab apabila dijumpai / ditemukan.
c. Pemberian obat – obat H2 blocking, antasid atau obat – obat ulkus lambung yang
lain.
Gastritis kronis :
Pada umumnya gastritis kronik tidak memerlukan pengobatan, yang harus
diperhatikan ialah penyakit – penyakit lain yang keluhannya dapat dihubungkan
dengan gastritis kronik. Anemia yang disebabkan oleh gastritis kronik biasanya
bereaksi baik terhadap pemberian vitamin B12 atau preparat besi, tergantung dari
defisiensinya.

2.3.8 Komplikasi
Komplikasi pada gastritis akut adalah :
a. Perdarahan saluran cerna bagian atas yang merupakan kedaruratan medis.
Kadang – kadang perdarahan cukup banyak sehingga dapat menyebabkan
kematian.
b. Terjadi ulkus kalau prosesnya hebat.
c. Jarang terjadi perforasi.
Komplikasi pada gastritis kronik adalah :
a. Atropi lambung dapat menyebabkan gangguan penyerapan terutama terhadap
vitamin B12. Gangguan penyerapan terhadap vitamin B12 selanjutnya dapat
menyebabkan anemia yang secara klinik hampir sama dengan anemia pernisiosa.
Keduanya dapat dipisahkan dengan memeriksa antibodi terhadap faktor intrinsik.
Selain vitamin B12 penyerapan besi juga dapat terganggu.
b. Gastritis kronik antrum pilorum dapat menyebabkan penyempitan daerah antrum
pilorum. Gastritis kronik sering dihubungkan dengan keganasan lambung,
terutama gastritis kronik antrum pilorus.

DAFTAR PUSTAKA
Aspitasari, A., & Taharuddin, T. (2020). Analisis Pengaruh Terapi Non-Farmakologi
terhadap Intensitas Nyeri pada Pasien dengan Kasus Gastritis di Instalasi Gawat
Darurat: Literatur Review.
RAHMAWATI, N. (2016). ASUHAN KEPERAWATAN PADATn. S DENGAN
GASTRITIS EROSIF DIRUANG MINA RSI KLATEN (Doctoral dissertation, STIKES
Muhammadiyah Klaten).
2.4 Jurnal Terkait Pemberian Rebusan Kunyit Terhadap Gastritis

2.4.1 Safitri, D., & NURMAN, M. (2020). PENGARUH KONSUMSI PERASAN


AIR KUNYIT TERHADAP RASA NYERI PADA PENDERITA GASTRITIS
AKUT USIA 45-54 TAHUN DI DESA KAMPUNG PINANG WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PERHENTIAN RAJA. Jurnal Ners, 4(2), 130-138.

Hasil penelitian didapatkan bahwa skala nyeri pada penderita gastritis sebelum
diberikan perasan air kunyit adalah 4,85 dengan standar deviasi 0,671 dan skala nyeri
pada penderita gastritis sesudah diberikan perasan air kunyit adalah 2,20 dengan
standar deviasi 0,768. Berdasarkan uji statistik didapatkan bahwa nilai p value 0,000
(< 0,05) yang artinya terdapat pengaruh konsumsi perasan air kunyit terhadap
penurunan skala nyeri pada penderita gastritis di Desa Kampung Pinang wilayah
kerja Puskesmas Perhentian Raja tahun 2020. 

2.4.2 Budianto, N. E. W. (2014). Ekstrak Etanol Kunyit (Curcuma domestica val)


Dalam Mencegah Peningkatan Keasaman Lambung Rattus norvegicus Yang
Diinduksi Histamin. Surabaya: Farmakologi Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma.

Pemberian ekstrak etanol kunyit P2 yang diberikan secara intra oral menurunkan
kadar asam bebas, asam total, asam organik dan pH asam lambung yang diinduksi
oleh histamin yang diberikan secara intra peritoneal. Ekstrak etanol kunyit
mengurangi angka kejadian dan mencegah timbulnya tukak lambung yang
ditimbulkan oleh histamin.

Anda mungkin juga menyukai