Anda di halaman 1dari 123

BIODATA PESERTA

SEKOLAH ISLAM dan GENDER -1 (SIG-1)


PENGURUS RAYON PERSIAPAN KORPS PERGERAKAN
MAHASISWA ISLAM INDONESIA PUTRI MANUNGGAL &
PANDORA PASURUAN 2023

NAMA
:...............................................................

ASAL KOMISARIAT/RAYON
:................................................................

MOTTO
:................................................................
DAFTAR ISI

BIODATA PESERTA ..............................................................................................1


MATERI I KONSEP DASAR ISLAM ......................................................................4
MATERI II GENDER PERSPEKTIF ISLAM ........................................................25
MATERI III HUKUM ISLAM INDONESIA ............................................................46
MATERI IV ............................................................................................................67
KONSEP SEKS, GENDER DAN SEKSUALITAS ...............................................67
MATERI V .............................................................................................................83
STRATEGGI PENGEMBANGAN CITRA DIRI KADER KOPRI..........................83
MATERI VI ..........................................................................................................105
PETA NARASI KEADILAN GENDER DI MEDIA SOSIAL ................................105
MATERI VII .........................................................................................................111
SEJARAH GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA ......................................111
MATERI I KONSEP DASAR ISLAM
Klasifikasi 3 konsep kunci dalam ajaran islam

Konsep dasar Ajaran turunan / penjabaran

Pengakuan keesaan terhadap Allah SWT,


Ketauhidan
tidak isyrak (menyekutukan), tidak ada
keagungan dan penyanjungan kepada
selain Allah SWT, kewajiban beribadah;
shalat, puasa, zakat dan haji, keibadahan
sosial untuk Allah SWT, kesederajat dan
kesetaraan manusia, persamaan hak dan
kewajiban manusia, mengukur kemuliaan
hanya dengan ketakwaan semata, ajaran
keadilan, kemanusiaan dan
persaudaraan,
dll.
Keikhlasan Pengakuan adanya Allah SWT, keimanan
kepada nabi-nabi, pewahyuan al-Qur’an
dan kitabkitab lain, keimanan kepada
malaikat, dan hari akhir, relasi kehidupan
dunia dan akhirat, surga neraka, janji
dosa pahala, pembalasan amal
perbuatan, penghormatan terhadap
manusia, pembebasan manusia dari
kebodohan dan kenistaan, ajaran
keadilan dan kemaslahatan, ajaran kasih
sayang, pemuliaan orang tua,
menyayangi anak yatim dan orang papa,
pelarangan
Kekhilafaan Ajaran
kekerasan,kemakmuran
dll. bumi, ajaran
kesejahteraan, prinsip politik
kemaslahatan, pengembangan
peradaban dan ilmu pengetahuan,
penguatan ekonomi dan sosial,
pengembangan sistem politik,
pengelolaan dan pemeliharaan alam
semesta, dll.
Pohon islam oleh KH Husain Muhammad

AI-Syeikh al-Akbar (Grand Syeikh), Universitas al-Azhar Kairo,


Mahmood Syaitut, menulis buku terkenal berjudul “al-Islam, ‘Aqidah
wa Syaria’ah”.Saya ingin menambahkan kata “Akhlaq”.Jadi, Islam
adalah aqidah, syari’ah dan akhlaq. Tiga kata ini merupakam
Komponenkomponen konstruksi bangunan atau sistem agama
yang dibawa oleh NabiMuhammad SAW. Saya ingin menyebutnya
sebagai “Pohon Islam”. Pohon islam ini mempunyai rujukan dari
sumber islam yang digambarkan dalam sebuah hadits Nabi yang
sangat terkenal. Para ulama acap menyebunya sebagai hadits Jibril.
Ia disebut demikian, karena hadits ini berisi dialog antara Nabi dan
Malaikat Jibril. Di situ, Jibril menanyakan tiga hal: iman, islam, dan
ihsan. Para ulama menyebut hadits ini sebagai “Ushul al-din”, pokok-
pokok agama. Meskipun ketiganya berbeda, tetapi satu sama lain
saling berkaitan.
Komponen pertama adalah’aqidah (akidah-Ind), secara literal
berarti ikatan, transaksi, atau komitmen. Iman disebut akidah, karena
ia mengikat hati orang yang mempercayai atau meyakininya. Aqidah
adalah basis, fondasi, dan akar agama. Intinya adalah keyakinan
atau kepercayaan kepada Tuhan, kepada kitab-kitab yang
diturunkan Nya, kepada utusan-utusan- Nya, hari akhirat, para
malaikat dan keputusan-Nya(takdir). Kepercayaan kepada Tuhan
merupan masalah personal, individual, pribadi. Ia ada dalam hati
sanubari masing-masing orang. Tuhan melalui al- Qur’an
danNabiMuhammad SAW dalam hal ini hanya menyampaikan kabar
akan adanya hal-hal di atas memberikan pelajaran untuk dipikirkan
dan direnungkan. Dengan akal dan hai nurani yang diberikan Tuhan,
setiap orang diberikan kebebasan untuk percaya atau tidak.
kepercayaan ini sangat ekslusif, ada di dalam hati masing- masing
orang dan dapat diintervensi siapapun, kecuali Tuhan sendiri.
Dengan kata lain, orang tidak bias.
Komponen kedua adalah syari’ah (syari’ah-Ind). Syari’ah sevara
literal adalah tempat yang menghubungkan ke mata air. Dalam
terminologi Islam, syari’ah adalah cara, jalan, atau metode
mendekati Tuhan dalam bentuknya yang lahiriyah . Al- Qurthubi
mengatakan: “asy- syir’ah al-thariqah al-dhahirah allati yatawasshalu
ila an- najah”(Syari’ah adalah jalan yang bersifat lahiriyah yang
dapat mengantarkan kepada keselamatan). Islam yang oleh Nabi
SAW diurai dalam lima hal pokok (rukun) merupakan jalan, cara,
atau metode bagi manusia yang telah dipercaya atau beriman
kepada Tuhan. Nabi memang hanya menyebutkan lima hal saja,
karena liham hal itu adalah pokok atau fondasi. Akan tetapi,
pembuktian kesetiaan dan ketundukan kepadaNya, tentu jauh lebih
banyak dari itu. Seluruh bentuk kesetiaan dan pengabdian kepada
Tuhan yang berdimensi lahiriah adalah syari’ah. Semuanya pada
akhirnya harus mengacu pada “syahadat tauhid”, atau kalimah
ikhlash, yakni “La ilaha illallah”.
Syahadat, kesaksian kepada Tuhan Yang Esa, sesungguhnya
merupakan sesuatu yang intrinsik pada setiap diri manusia. Ia
berisfat primordial dan telah tertanam dalam relung-relung hati
manusia yang paling dalam. Ia telah ada sebelum manusia pertama
dilahirkan. Ketika manusia masih dalam bentuk potensi untuk
mewujud menjadi manusia faktual dan eksistensial, Tuhan bertanya:
“Alastu bi rabbikum”(Bukankah Aku Tuhanmu?). potensi manusia
itumenjawab: “Bala” (Benar sekali, Engkaulah satu-satunya
Tuhanku). Ikrar perjanjian primodial tersebut mengandung implikasi-
implikasi dan refleksi-refleksi besar dan luas: moral, intelektual, dan
spiritual.
Ikrar kesaksian bahwa Tuhan (Allah) adalah satu dan tidak
ada sesuatu apapun yang lain yang menyekutui-Nya bukanlah
sekedar pertanyaan verbal individual semata, melainkan juga seruan
untuk menjadikan ke-Esa-an itu sebagai basis utama bagi
pembentukan tatanan sosial-ekonomi-politik-kebudayaan
masyarakat manusia. Pada dimensi individual, Syahadat Tauhid
berarti doktrin pembebasan manusia dari segala bentuk belenggu
perbudakan dalam dalam artinya yang luas; perbudakan manusia
atas manusia, perbudakan diri atas benda-benda dan atas segala
bentuk kesenangan-kesenangan diri, kebanggaan diri, kebesaran
diri, kebenaran diri, dan kesombongan diri. Sikap-sikap dan tindakan
tersebut sama dengan menyaingi, menyekutukan dan menantang
Tuhan.
Kalimat “La ilaha” (tidak ada Tuhan) merupakan pernyataan
penolakan atau penegasian terhadap segala hal yang diagungkan,
dipuja atau disembah. Semua bentuk pengagungan terhadap diri
sendiri atau terhadap benda-benda dan yang lain sama artinya
dengan menuhankan diri sendiri atau benda-benda atau yang lain
itu. Cara-cara seperti ini oleh al- Quran dinyatakan sebagai
kesesatan dan menyesatkan. Ia juga dinyatakan sebagai bentuk
penyekutuan terhadap Tuhan. Disinilah, kita dapat mengatakan
bahwa dalam sistem Syahadat Tauhid, semua manusia adalah
makhluk yang setara di hadapan Tuhan, sama-sama harus
merendahkan diri dihadapan-Nya dan bukan kepada selain-Nya.
Karena hanya Dialah Yang Maha Absolut.
Dalam sejarah perasaban Islam, syari’ah kemudian
mengalami pemaknaan yang beragam yang pada intinya adalah
hukum-hukum atau aturan-aturan yang diambil, digali oleh teks-teks
keagamaan, terutama al-Qur’an danHadits (Sunnah) Nabi SAW.
Karena itu, Fakultas Hukum sering disebut Kulliyyat al-Syari’ah.
Sebagian ulama mengkatagorisasikan hukum-hukum ini dalam dua
katagori; syari’ah sendiri dan fiqh. Ketika hukum diputuskan oleh
Nabi, ia bermakna syari’ah, dan ketika ia diinterpretasikan oleh
orang-orang sesudahnya ia disebut fiqh. Fiqh sendiri secara literal
bermakna paham atau pemahaman atas sesuatu. Secara
terminologis, fiqh adalah hukum-hukum yang diambil (digali) dari
dalil-dalil agama.
Dari uraian sederhana di atas tampak bahwa aqidah dan
syari’ah tidaklah identik. AlQur’an, surah al-Maidah ayat 48,
menyatakan: “Li kullin ja’alna minkum syir’atan wa minhajan” (Untuk
masing-masing kamu Kami buatkan syir’ah dan minhaj). Guru para
ahli tafsir: Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, ketika
menjelaskan/menafsirkan ayat ini mengatakan: “Masing- masing
umat ditetapkan/ dibuatkan sabil (jalan/aturan) dan Sunnah (tradisi)
yang berbeda- beda. Kitab Taurat menetapkan syari’at sendiri. Di
dalamnya Allah menghalalkan apa yangdikehendaki-Nya. Hal ini di
maksudkan agar Dia mengetahui siapa yang mentaati dan siapa
yang mendurhakai-Nya. Tetapi “din”yang diterima Tuhan adalah
keyakinan yang meng-Esa- kan Tuhan sebagaimana keyakinan
yang dibawa para utusan Tuhan.
Jika syari’ah diumpamakan sebagai bagian dari komponen
pohon, maka ia adalah batang dan ranting-rantingnya. Ia bagaikan
pilar-pilar dan tembok-tembok sebuah bangunan. Ia lahirdari
akarnya, lalu tumbuh berkembang setahap demi setahap. Di
dalamnya, terdapat urat-urat yang berbeda-beda dan masing-masing
berjalan keatas menghasilkan bunga dan buah.
Dimensi ketiga dari pohon Islam adalah akhlaq. Dalam hadits
Jibril, ia adalah “ihsan” yang secara literal berarti “memberi
kebaikan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “akhlak”
diartikan sebagai budi pekerti, kelakuan. Sebagai bahasa arab,
akhlaq diartikan kedalam bahasa Indonesia sebagai perangai, tabiat.
Akhlak sebenarnya adalah kata plural;kata “mufrad” atau singular-
nya adalah “khalaq” yang berarti ciptaan. Yakni, sesuatu yang
diciptakan oleh Tuhan. Karena itu, ia melekat dalam setiap diri
manusia, dari manapun dia berasal, apapun warna kulit, jenis
kelamin, suku, kebangsaan, agama, dan sebagainya.
Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M) mengatakan bahwa akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Imam al-Ghazali (1015-1111 M) mendukung definisi
Ibnu Miskawaih. Ia mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam- macam perbuatan
mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Meski
akhlak bisa berarti perilaku atau sikap yang baik dan buruk atau
positif dan negatif, akan tetapi dalam banyak perbincangan kata
“akhlak” hampir selalu memiliki konotasi baik dan positif, seperti
kejujuran, ketulusan, kesabaran, kasih, keberanian, ramah, santun,
bertindak adil, menghargai orang lain, dan sebagainya. Dalam teks-
teks Islam, akhlak yang baik disebut al-akhlaq al- karimah (budi
pekerti mulia).
Al-Akhlaq al-karimah adalah tujuan utama Islam, al-hadaf al-
asma li ba’ts al-anbiya’ (tujuan tertinggi kehadiran para Nabi).
Kepada Nabi Muhammad SAW, Tuhan mengatakan: “engkau,
sesungguh, berdiri dan berjalan di atas akhlak yang luhur” (Q.S al-
Qalam [68:4]). Nabi mengatakan bahwa kehadirannya di muka bumi
dalam kerangka menegakkan dan menyempurnakan akhlaq yang
mulia/luhur. Semua nilai- nilai luhur ini akan menjadi rahmat bagi
alam semesta (rahmatan li al-alamin). Akhlak karimah dengan begitu
berisi nilai-nilai luhur kemanusiaan universal yang kepadanya semua
sikap, perilaku, kebijakan, aturan-aturan kehidupan, baik secara
individu maupun dalam relasi sosial diarahkan dan berpijak.
Terkait dengan tujuan Islam ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali
merumuskannya dalam lima prinsip perlindungan. Yakni,
perlindungan terhadap (1) hak beragama (berkeyakinan) (hifdh ad-
din);(2) hak hidup (hifdh an-nafs); (3) hak berpendapat dan
berekspresi (hifdh al-aql), (4) hak kehormatan diri (hifdh an-nafl wa
al-‘irdl); dan (5) hak kepemilikan (hifdl al-mal).

A. Tauhid dan Risalah Keadilan Gender


Tujuan hakiki dari semua agama adalah membina manusia agar
menjadi baik dalam semua aspek: fisik, mental, moral, spiritual, dan
aspek sosialnya. Intisari dari semua ajaran agama berkisar pada
penjelasan tentang masalah baik dan buruk. Yaknimenjelaskan
mana perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang
membawa kepada kebahagiaan, dana mana perbuatan buruk yang
membawa kepada bencana dan kesengsaraan. Agama memberikan
seperangkat tuntunan kepada manusia agar mengerjakan perbuatan
baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan dan
ketentraman manusia itu sendiri. Tuhan, Sang Pencipta, sama sekali
tidak merasauntung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan,
sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengakibatkan
tuntunan-Nya.
Salah satu tuntunan agama yang mendasar adalah keharusan
menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender,
orientasi seksual, ras, suku bangsa, dan bahkan agama. Karena itu,
setiap agama mempunyai dua aspek ajaran: ajaran tentang
ketuhanan dan kemanusiaan. Islam, misalnya, memliki ajaran yang
menekankan padadua aspek sekaligus: aspek vertikal dan aspek
horizontal. Yang pertama berisi seperangkat kewajiban manusia
kepada Tuhan, sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan
yang mengatur hubungan antarsesama manusia dan hubungan
manusia dengan alam sekitarnya. Sayangnya, dimensi horizontal ini
tidak terwujud dengan baik dalam kehidupan penganutnya,
khususnya dalam interaksi dengan sesamanya.
Tauhid adalah inti ajaran Islam yang mengajarkan bagaimana
berketuhanan, dan juga menuntun manusia bagaimana
berkemanusiaan dengan benar. Dalam kehidupan sehari-hari, tauhid
menjadi pegangan pokok yang membimbing dan mengarahkan
manusia untuk bertindak benar, baik dalam hubungannya dengan
Allah, sesama manusia, maupun dengan alam semesta. Bertauhid
yang benar akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang
baik di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat.
Pengetahuan awal mengenai tauhid adalah mengakui keesaan
Allah, yang menciptakan alam semesta mengenal asma (nama) dan
sifat-Nya, serta mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran
wujud-Nya. Tapi pengertian tauhid lebih dari sekedar itu. Pasalnya,
kalau tauhid hanya berupa pengakuan akan keesaan dan kekuasaan
Tuhan, maka makhluk serendah iblis pun bisa melakukan hal
serupa. Iblis mempercayai bahwa Tuhannya adalah Allah. Namun,
pengakuan itu tidak diiringi dengan ketaatan kepada perintah-Nya,
yakni agar bersujud kepada Adam. Sebaliknya, dengan mengakui
kemahabesaran Allah, dia malah memohon agar diizinikan untuk
menjerumuskan anak cucu Adam (Q.S. Shad [38]: 82 dan al- Hijr
[15]: 36-40):
Kepercayaan dan keyakinan manusia itu belum menjadikan
mereka sebagai makhluk yang berpredikat muslimdan mu’min, yang
berserah diri dan beriman kepada Allah SAW. Karena dalam
kenyataan, pengakuan itu tidak menjadikan mereka sebagai
“muwahhid” (orang yang bertauhid) yang sebenarnya, baik secara
vertikal, yakni dengan sang Khalik, maupun secara horizontal, yakni
dengan sesama makhluk.
Jika demikian, patut kita bertanya, apakah hakikat tauhid itu?
Asumsi dasarnya, dengan melihat hakikat Islam pada aspek nilai-
nilai kemanusiaanya, bertauhid tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
horizontal sehari-hari umat manusia, terutama dalam relasilaki-laki
dan perempuan. Peranyaan yang muncul kemudian, bagaimanakah
bertauhid dalam konteks ini?
Tauhid secara bahasa adalah mengetahui dengan sebenar-
benarnya bahwa sesuatu itu satu. Secara terminologis, tauhid
adalah penghambat diri hanya kepada AllahSWT dengan menanti
segala perintah-Nya dan menjelajahi segala larangan-Nya dengan
penuh rasa tawadlu, cinta, harap, dan takut hanya kepada- Nya.
Banyak sekali ayat al-Qur’an yang berbicara tentang tauhid. Di
antara sekian banyak ayat tentang tauhid, Surah al-Ikhlash bisa
disebut sebagai inti ajaran tauhid surah ini mengandung beberapa
ajaran tauhid. Surat ini mengandung beberapa ajaran penting
tentang tauhid, yakni Allah adalah Esa, Allah adalah tempat
bergantung, Allah tidakberanak dan tidak pula diperanakkan, serta
tidak ada satupun makhluk di alam semesta ini yang menyamai
Allah.
Ajaran-ajaran pokok ini kemudian direlasasikan oleh Rasulullah
Muhammad SAW dalam kehidupan individual maupun sosial.
Dengan ajaran ini, Rasulallah melakukan perubahan di segala
bidang, dari tingkat ideologis hingga ke tingkat praktis. Keyakinan
akan keesaan Allah membuat Rasulullah dengan tegas melarang
praktik mempertaruhkan apa pun selain Allah, seprti berhala,
kebesaran suku, pemimpin penguasa; termasuk hawa nafsu dan ego
yang ada dalam diri. Keyakinan bahwa hanya Allah tempat
bergantung menjadikan Rasulallah memiliki kekuatan moral yang
luar biasa dalam melapangkan jalan menuju revolusi sosial, yang
dihadang dengan sangat keras oleh para pembesar Quraisy dan
suku-suku Arab lainnya. Kebesaran musuh-musuh ini tidak membuat
Rasulallah gentar, karena dia memiliki tempat bergantung dan
bersandar yang jauh lebih kuasa, yakni Allah yang Maha Agung.
Tidak ada ketakutan terhadap kekuatan apa pun selain Allah, dan
tidak ada pengharapan apapun yang patut digantungkan selain
kepada Allah. Keyakinan bahwa Allah tidak beranak dan tidak
diperanakkan menafikan semua pengistimewaan Sebagian manusia
atau manusia lainnya. Tidak ada manusia yang dianggap sebagai
anak Allah, seperti anggapan kaun Yahudi terhadap Nabi Uzair dan
kaum Nasrani terhadap Nabi Isa. Semua manusia adalam hamba
Allah, tak terkecuali Nabi Muhammad SAW. Keyakinan bahwa tidak
ada sesuatu yang setara dan sepadan dengan Allah menjadikan
semua selain Allah tidak bisa dipertuhankan. Pada tataran sosial,
kekuatan tauhid pada diri rasulallah SAW membuatnya berani
membela mereka mereka yang direndahkan, teraniaya, dan
terlemahkan secara struktural dan sistemik, seperti kaum
perempuan, budak dan anak- anak yang diperlakukan oelh para
penguasa dan pembesar masyarakat yang menutupi kezalimannya
di balik nama Tuhan. Dengan demikian, tampak bahwa tauhid tidak
sekedar doktrin keagamaan yang statis. Ia adalah energi aktif yang
memebuat Sekolah Islam & Gender KOPRI PK ITSNU Pasuruan 73
manusia mampu menempatkan Tuhan sebagai Tuhan dan manusia
sebagai manusia. Penjiwaan terhadap makna tauhid tidak saja
membawa kemaslahatan dan keselamatan individual, melaikan
jugamelahirkan tatanan masyarakat yang bermoral, santun,
manusiawi, bebas dari diskriminasi, kedikadilan, kezaliman, rasa
takut, penindasan individu atau kelompok yang lebih kuar, dan
sebagainya. Itulah yang telah dilakukan oleh Rasulallah Muhammad
SAW.

B. Tauhid Membebaskan Manusia


Al-Qur’anmenyebut semua hal yang bisamemalinkanmanusia
dari tauhid dan keimanan kepada Allah sebagai thaghut. Hanya
mereka yang bisa mengingkari thaghut- lah yang bisa dikatakan
sebagai manusia yang benar-benar beriman kepada Allah dan
berpegang pada tali yang sangat kuat. “Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karenaitu Barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut [162] dan beriman kepada Allah, Maka
Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat
yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui”.(Q.S.al-Baqarah [2]: 256).
Thaghut adalah sebutan untuk setiap yang diagungkan, yang
disembah, ditaati, dan dipatuhi selain Allah, baik itu berupa batu,
manusia, ataupun setan. Keyakinan terhadap thaghut membuat
manusia menjadi zalim dan dibelenggu oleh kezaliman. Oleh sebab
itu, manusia yang beriman harus kembali kepada Allah dan berlepas
tangan dari thaghut agar bisa keluar dari kezaliman dan
kegelapan.Allah SWT berfirman: “Allah pelindung orang-orang yang
beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran)
kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-
pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada
cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 257).
Dengan tauhid, Allah membebaskan manusia dari belenggu
thaghut dan kezaliman yang mengungkungnya, baik yang diciptakan
oleh kelompok manusia lain yang lebih kuat maupun yang secara
tidak sadar telah diciptakannya sendiri. Agama tauhid sejak Nabi
Adam hingga Nabi Muhammad selalu hadir di tengah kezaliman
seperti itu. Islam juga hadir ketika sebagian besar manusia berada
dibawah kezaliman kelompok manusia lainnya. Mereka menjadikan
pengaruh, kekuasaan, kekayaan, dan kekuatan yang dimilikinya
sebagai alat untuk menindas yang kecil dan lemah tak berdaya. Para
budak, kaum miskin, rakyaat jelata, perempuan dan anak-anak
adalah kelompok yang paling rentan terhadap kezaliman kelompok
manusia yang kuat.
Pada saat yang sama, islam juga hadir di tengah kezaliman yang
diciptakan manusia itu sendiri akibat keyakinan, tata nilai, dan tradisi
yang salah. Masyarakat jahiliah terzalimi oleh keyakinan mereka
sendiri ketika menjadikan berhala sebagai tuhan dan kebesaran
suku sebagai kehormatan. Akibatnya, mereka menjadi dari benda
ciptaan mereka sendiri. Darah pun tumpah ketika sedikit saja rasa
kesukuan terluka. Perasaan malu menyampaikan anak perempuan
mengakibatkan bayi perempuan tak berdosa dikubur hidup-hidup. Ini
merupakan kezaliman akibat kesalahan tradisi. Perlakuan terhadap
perempuan yang tidak ada bedanya dengan benda warisan juga
merupakan sebuahkezaliman akibat tradisi dan tata nilai yang
menganggap perempuan tidak memiliki hak seperti laki-laki.
Demikianlah, keyakinan, tradisi, dan tata nilai yang salah tidak saja
membuat manusia terzalimi, melainkan juga merenggut korban yang
lemah dan tak berdayaDalam situasi timpang dan membelenggu
seperti itu, tauhid memberikan secercah sinar pembebasan. Dengan
hadirnya Islam, manusia dibebaskan dari belenggu kemusyrikan,
fanatisme kesukuan, dan hawa nafsu yang menjadikannya
diperbudak oelh keinginan-keinginan yang tidak benar. Hadirnya
Islam juga berarti lepasnya belenggu yang menjerat kelompok-
kelompok manusia lemah, seperti para budak, rakyat jelata papa,
perempuan, dan anak-anak .pembebasan mereka yang biasa
disebut kaummustadh’afin ini membuktikan bahwa Islam agama
tauhid tidaklah netral dalam memandang tatanan sosial yang penuh
ketimpangan.
Kalau kecenderungan sebagian besar manusia tidak
menghendaki terusiknya kemapanan yang mereka rasakan, maka
Islam justru datang untuk mengusik dan mempertanyakan apa yang
dianggap sebagai sesuatu yang mapan. Kenyataannya, kemapanan
yang dipersepsikan sekelompok manusia adalah sebuah kezaliman
yang dirasakan oleh kelompok yang lain, seperti kemapanan yang
tedapat dalam sistem kasta sosial. Bagi kasta tertiggi, kemapanan
sistem itu adalah anugerah. Sebaliknya, bagi kasta terendah
kemapanan itu adalah kezaliman . demikian juga kemapanan yang
diciptakan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagai ilustrasi, pada masyarakat Mesir kuno dan beberapa
masyarakat lain, ketaatan mereka terhadap Dewa pada waktu
tertentu dibarengi dengan upacara pengorbanan perempuan sebagai
sesaji untuk Dewa. Dalam tradisi Hindu kuno, juga ada keyakinan
bahwa wujud kesetiaan isteri kepada suami adalah membakar diri
hidup-hidup ketika sang suami yang meninggal dibakar. Ilustrasi ini
menunjukan bahwa pembebasan total dilakukan untuk hal-hal yang
menyangkut prinsip-prinsip tauhid dan berkaitan dengan nyawa
manusia. Pembebasan bertahap dilakuka untuk hal-hal yang
menyangkut tradisi dan pranata sosial. Sedangkan pembebasan
terusmenerus, yang sering digunakan, dilakukan untuk segala
bentuk kezaliman dan pengingkaran tauhid yang selalu muncul di
segala ruang dan waktu dalam bentuknya yang berbeda-beda.
1. Pembebasan Total
Dalam konteks menegakkan prinsip-prinsip dasar tauhid, tawar
menawar tidak berlaku sama sekali. Pembebasan manusia dari
kezaliman syirik adalah pembebasan total. Banyak sekali ayat al-
Qur’an yang dengantegas melarang syirik. Bahkan dikatakan syirik
adalah dosa besar yang tak terampuni.“Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia
mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-
Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah,
Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya”.(Q.S.an-Nisa
[4]: 116).Dengan larangan ini, Allah sesungguhnya membahaskan
manusia dari penuhanan yang tidak proporsional. Sebagai makhluk,
manusia hanya boleh menyembah Sang Khalik, dan bukan sesama
makhluk, apalagi benda ciptaannya sendiri. Sebab, tujuan utama
penciptaan manusia dan jin adalah untuk menyembah kepada Allah
semata. Dalam konteks hubungan antarmanusia, larangan
tegasmelakukan syirik ini mengandung ajaran bahwa tidak boleh ada
manusia atau sekelompok manusia yang memperlakukan dirinya
seperti tuhan yang berkuasa. Raja dan pemguasa, idak boleh
menguasai, mendominasi rakyatnya dan memperlakukan mereka
seperti sapi perah. Golongan kuat tidak boleh mengisap golongan
lemah.
Pembebasan secara langsung juga terjadi pada hal-hal yang
menyangkut penghormatan terhadap nyawa manusia. Sebagai
contoh, Islam dengan tegasmelarang praktik pembunuhan anak
perempuan karena menurut Islam perempuan sebagai manusia
mempunyai nilai yang sama dengan laki-laki di hadapan Allah. Tidak
seorang pun berhak untuk menghilangkan nyawanya, bahkan orang
tua atas anak kandungnya sendiri. Baik karena alasan malu maupun
alasan ekonomi atau alasan apa pun.
Allah mengecam keras prakik pembunuhan bayi, yang lazimnya bayi
perempuan. Allah juga melarang pembunuhan anak karena
kemiskinan, baik kemiskinan itu sudah ada dan menimpa orang tua
si anak (sebagian tafsiran atas Q.S. al-An’am [17]: 31 di atas). Allah
berjanji bahwa Dia yang akan memberikan rezeki. Larangan yang
tegas ini menyadarkan masyarakat jahiliah.Sepertiucapan Sayyidina‘
Umar Ibn Khaththab yang terkenal:“ kami semua sama sekali tidak
menganggap kaum perempuan (sebagai sesuatu yang berharga).
Ketika Islam datang dan Tuhan menyebut mereka, kami menyadari
bahwa ternyata mereka juga memiliki hak atas kami”.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tauhid menghindarkan
manusia dari penghambaan kepada selain Allah. Tauhid juga
menghentikan tindak kesewenangan dan kezaliman suatu kelompok
terhadap kelompok yang lain yang lemah. Semua itu karena tauhid
menempatkan makhluk sebagai makhluk dan Khalik sebagai Khalik,
yakni memanusiakan dan menuhankan Tuhan
2. Pembebasan Bertahap
Pembebasan manusia secara terhadap dari sistem dari sistem
sosial yang tidak adil merupakan anugerah yang besar bagi
kelompok yang lemah, seperti budak, perempuan, dan anak-anak,
khususnya kelompok anak-anak yatim. Misalnya, pemerdekaan
budak. Banyak cara yang dilakukan Islam agar perbudakan yang
sebetulanya tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan manusia, bisa di
berbagai belahan bumi pada waktu itu. Cara yang bijaksana adalah
dengan melakukan pembebasan secara bertahap. Seperti anjuran
memerdekakan sebagai kafarat (tebusan) bagi beberapa
pelanggaran hukum, seperti pembunuhan tidak sengaja (Q.S. an-
Nisa’ [4]: 92), suami yangmen- dhihar isterinya (Q.S. al-Mujadilah
[58]:3) danorang yang tidak menepati sumpah (Q.S. al-Maidah [5]:
89).“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) [334],
dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta membayar diat[335] yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuhitu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si
pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si
pembunuh) berpuasa dua bulan berturut- turut untuk penerimaan
taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahuilagi Maha
Bijaksana”. (Q.S. an-Nisa’ [4]: 92).
Pembebasan budak juga dilakukan melalui pernikahan. Al-
Qur’an memandang bahwa menikah budak mukmin dan mukminat
lebih baik daripada menikahi orang merdeka yang musyrik. Cara lain
adalah pemberian status merdeka buat anak yang lahir dari
hubungan budak perempuan dengan tuannya, dan status ummu al-
walad untuk perempuan budak yang melahirkan anak tuannya.
Dengan berbagai cara seperti ini,perlahan-lahan derajat
kemanusiaan budak diangkat dan pada akhirnya perbudakan
terhapus sama sekali dari muka bumi.
Contoh lain adalah proses transformasi dari perkawinan poligami
menuju monogami. Di tengah tradisi yang membolehkan kawin tak
terbatas, pembatasan isteri maksimal empat adalah terobosan yang
luar biasa. Itu disertai dengan catatan bahwa yang paling dekat
kepada keadilan ialah perkawinan monogami, beristeri satu, seperti
yang dinyatakan al-Qur’an:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
Maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga
atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil,
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
(Q.S. an-Nisa [4]: 3)
Lebih dari itu, pada ayat lainnya, dinyatakan bahwa manusia
tidak akan mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya meskipun
berusaha keras. Kedua ayat tersebut secara tegas menekankan
bahwa keadilan merupakan prinsip mendasar yang diajarkan al-
Qur’an untuk dipakai pada seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali
dalam kehidupan perkawinan. Kedua ayat itu bukan melegitimasi
poligami sebagaimana dipahami banyak orang. Poligami hanyalah
solusi sementara bagi umat Islam pada masa-masa awal, sehingga
mereka terbebas dari perkawinan monogami yang lebih menjamin
keadilan.
3. Pembebasan Terus Menerus
Setelah adam diciptakan, Allah menyuruh malaikat bersujud
kepadanya. Semua malaikat bersujud, kecuali iblis yang
membangkang karena merasa dirinya lebihmuliadibanding Adam.
Sikap sombong iblis yang memandang dirinya lebih tinggi inilah yang
membuat Allah murka kepadanya dan sejak saat itu iblis dikutuk oleh
Allah. Namun, atas kemurahan Allah, pada saat yang sama dia juga
diberi kesempatan untuk menyesatkan dan menjerumuskan anak
cucu Adam selama masih di duniamasig berputar, kecuali orang-
orang yang mukhlishin yakni mereka yang diberi taufik dan hidayah
untuk menaati segala perintah Allah (Q.S. Shad [38]: 71-83)
Banyak cara yang dilakukan iblis untuk memalingkan manusia
dari tauhid, antara lain dengan menciptakan ilah-ilah, atau tuhan-
tuhan selain Allah. Seiring dengan perjalan waktu dan peradaban
manusia, ilah mewujudkan dalam bentuk yang berbeda- beda. Pada
zama Mesir Kuno, misalnya, ilah muncul dalam bentuk dewa-
dewadanmenitispada sang raja.Semua aktivitas manusia manuisa di
arahkan kepada pemahaman keinginan mereka. Pada zaman Arab
pra-Islam, ilah yang disembah adalah berhala Latta, ‘Uzza, Manat
(paganisme). Kini, di era modern yang serba canggih, ilah tidak lagi
berupa berhala atau pohon besar, tetapi lebih banyak berupa
keinginan dan obsesi yang membuat hidup manusia selalu berpusat
untuk meraihnya dengan cara apapun, seperti kekayaan, status,
jabatan, gaya hidup, dan sebagainya. Materialisme, konsumerisme,
hendomisme dan isme-isme lain yang membuat manusia tercabut
dari fitrahnya telah menjelma menjadi “tuhan-tuhan” baru dalam
kehidupan manusia modern.
C. Tauhid menjamin keadilan
Sebagai agama tauhid, Islam diturunkan oleh Zat yang Maha
Adil. Oleh karena itu, keadilan merupakan salah satu ajaran Islam
yang prinsipil dan mendasar. Prinsip keadilan dinyatakan secara
tegas dalam banyak al-Qur’an. Di antaranya, prinsip keadilan dalam
kehidupan keluarga: berupa perintah menegakkan keadilan,
kebaikan, berbuat baik kepada keluarga (Q.S. an-Nahl [16]: 90).
Secara khusus, Allah SWT menekankan pentingnya berbuat adil
dalam lingkup keluarga, sebuah lembaga di mana praktik
ketidakadilan terselubung seringkali terjadi dengan korban utama
isteri dan anak -anak perempuan.
Sebagia contoh,pertama prinsip keadilan dalam memutuskan
suatu perkara (Q.S. an-Nisa’ [4]: 58), menegakan keadila sekalipun
terhadap diri sendiri, keluarga maupun orang-orang dekat (Q.S. an-
Nisa’ [4]: 135 dan Q.S. al- An’am[6]: 152). Kedua, prinsip keadilan
tanpa rasa dendam. Ketika harus meneakan keadilan di hadapan
orang atau kelompok yang tidak disukai (Q.S. al- Ma’idah [5]:
8). Ketiga, prinsip keadilan dalam memelihara anak-anak yatim
dan mengelola harta mereka, khususnya terhadap anakanak
yatim perempuan. Al- Qur’an sama sekali tidak membenarkan
praktik ketidakadilan terhadap mereka, seperti mengawini mereka
tanpa memberikan hak haknya. Sebaliknya, al-Qur’an dengan
tandas menyatakan bahwa mereka, anak-anak yatim perempuan
itu, perempuan -perempuan dewasa lainnya dan mereka yang
terlemahkan oleh struktur sosial, harus mendapatkan perlakuna
yang adil (Q.S. anNisa’[4]: 127).
Demikian, keadilan merupakan prinsip ajran Islam yang
mesti ditegakkan dalam menata kehidupan manusia. Prinsip itu
harus selalu ada dalam setiap norma, tata nilai, dan perilaku umat
manusia di manapun dan kapapun. Tanpa keadilan, agama
yang diajarkan oleh Zat Yang Maha Adil dan dinyatakan oleh-
Nya sebagai ajaran ayang dijamin kebenaran dan keadilannya
akan menjadi slogan belaka, seperti jasad yang kehilangan
ruhnya.
D. Keadilan untuk Mustadli`afin ( yang tertindas )
Keadilan yang diajarkan oleh agama selalu memuat prinsip membela
yang benar, melindungi yang tertindas, serta menghentikan
kezaliman dan kesewnangwenangan. Dengan keadilan, yang
benarakan dibela meskipun merupakan kelompok minoritas.
Dengan keadilan, yang tertindas terlindungi hak-haknya dari
pihakpihak yang berkuasa dan menguasai dengan zalim dan
sewenang-wenang. Keadilan menjadikan agama sebagai tumpuan
harapan.
Kehadiran Islam dengan nilai-nilai keadilan yang dibawanya
telah membuat kaum mustadl’afin memiliki secercah harapan. Para
budak yang dipandang sebagai setengah manusia mendapat tempat
yang lebih tinggi daripada orang merdeka yang musyrik (Q.S. al-
Baqarah [2]: 221), orang-orang miskin dan mereka yang lemah
secara ekonomi dan sosial berhak menikmati harta yang dimiliki
oelh orang kaya melalui zakt, infak, dan sedekah (Q.S. at-
Taubah [9]: 60, dan Q.S. al- Baqarah [2]: 177), demikian pula
anakanak yatim dilindungi hartanya (Q.S. al- An’am[6]: 152;Q.S. al-
Isra’ [17]:34; Q.S. an- Nisa’ [4]: 2,6,10) dan bahkan orang kafir
dijamin keselamtan jiwanya (Q.S. an-Nisa’ [4]:90) serta dijamin
kebebasannya dalam beragama (Q.S. al-Baqarah [2]: 256, dan Q.S.
al- Kafirun [109]: 6).
E. Keadilan untuk Perempuan
Di antara kelompok masyarakat mustadl’afin yang paling
beruntung dengan kehadiran Islam adalah kaum perempuan. Dalam
Islam, kaum perempuan dimanusiakan seperti layaknya manusial
laki-laki. Praktik pembunuhan bayi perempuan, yang lazim terjadi
di kalangan masyarakat pra-islam, oelh islam dibasmi total.
Bahkan al-Qur’an menyebut bayi perempuan yang lahir sebagai
berita gembira dari Allah, dan oleh karena itu tidak pantas
kehadirannya disambut dengan rasa malu seperti yang terjadi
sebelumnya:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah)
mukanya, dan Dia sangat marah (58) Dia Menyembunyikan
dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya
dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke
dalam tanah (hidup- hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa
yang mereka tetapkan itu (59)” (Q.S. an-Nahl [16]: 58-59)
Lebih dari sekedar diberi hak hidup, bayi perempuan juga
disambut kehadi rannya dengan ‘aqiqah, suatu tradisi syukuran
setelah kelahiran bayi, yang sebelumnya hanya berlaku buat bayi
laki-laki. Kalaupun dalam hadits Nabi yang shahih dinyatakan
bahwa‘Aqiqah bayi laki-laki adalah dua kambing dan bayi
perempuan satu kambing (sperti dalam hadits riwayat Tirmidzi dan
‘A’isyah), hal itu tidaklah berarti bahwa nilai anak perempuan
setengah atau separuh dari laki-laki. Jika kita melihat konteks
sosial masyarakat pada waktu itu, perintah ‘aqiqah sudah
merupakan terobosan yang luar biasa. Bayi perempuan yang
sebelumnya dibunuh kini menjadi bayi yang dirayakan
kehadirannya. Oleh karena itu, agar tidak terkesan terlalu
revolusioner, ditetapkanlah ketentuan ‘aqiqah sebagai amana
tersebut diatas.
Dalam literatur hadits terdapat jumlah riwayat yang menunjukan
bahwa Rasulullah sangat menghargai hak perempuan untuk memilih
jodoh yang dia sukai. Sebagai Ayah, beliau selalu meminta
pendapat putrinya ketika hendak dilamar seseorang. Dalam
Musnad Ahmad Ibn Hambal disebutkan : Rasulallah berkata kepada
para putrinya, “Sesungguhnya si fulan kerap menyebut
namamu”.Kemudian beliaumelihat reaksimereka. Jikamereka
diamitu bertanda mereka setuju dan pernikahan segera
dilangsungkan. Namun, jika mereka menutup tirai kamarnya, itu
pertanda mereka tidak suka dan Rasul pun
tidakmemaksakakehendaknya.”Selain putri-putri Nabi, perempuan
sahabat juga merasakan kebebasan menentukan pasangan. Di
antara mereka tercatat nama Khansa’ binti Khidamdana Barirah.
Kedua perempuan ini menyatakan ketidak setujuan mereka menikah
dengan laki-laki yang tidak di sukai. Nabi menerima keberatan
mereka dan membatalkan pernikahan mereka. Dengan demikian,
dalam pandangan Nabi, perempuan adalah manusia yang
mempunyai hak pilih sebagaimana yang dimiliki laki-laki.
Hak untuk menentukan mas kawin juga diberikan kepada
perempuan yang hendak menikah. Dia boleh menentukan
maskawin sesuai dengan keinginannya, tanpa ada batasan
maksimum. Maskawin dalam islam diakui sebagai hak milik pribadi
perempuan, baik dalam status sebagai isteri maupun manan isteri.
Al- Qur’an melarangtegas lakilakimengutak-atik ataumenyerobot
hak ini (Q.S. an- Nisa’ [4]:20) Penghormatan terhadap reproduksi
juga diberikan agama terhadap perempuan yang sedang haidl dan
nifas. Berbeda dengan tradisi Yahudi yang memandang perempuan
haidl sebagai najis dan harus diasingkan dari kampung
halaman, islam tidak memperlakukan perempuan demikian. Haidl
dipandang sebagai siklus bulanan yang sifatnya alami. Bahkan
haidl bulanan yang teratur merupakan hal yang positif, yakni
sebagai salah satu pertanda bahwa perempuan itu sehat dan
normal. Oleh karena itu, perempuan haidl boleh bergaul dengan
semua orang dan bebas berhubungan dengan suami selain
berhubungan seksual. Yang najis hanyalah darah haidl, dan
bukan perempuan itu sendiri. Konsekuensinya, yang dilarang
hanya bersetubuh, dan bukan yang lain (Q.S. al- Baqarah [2]:
222). Di ranah publik, islam juga membuka akses yang lebar dan adil
bagi perempuan.
Aktivitas mencari ilmu, mencari nafkah, melakukan transaksi,
kegiatan sosial, dan bahkan aktivitas politik juga dibuka untuk
perempuan. Sama sepertia lakilaki, semua ituharus dilakukan oleh
perempuan secara terhormat dan bermartabat. Di masa
Nabi,tercatatada1.232 permpuan yang menerima dan meriwayatkan
hadits. Bahkan ummul mu’minin ‘Aisyah r.a, isteri Nabi tercatat
sebagai salah satu dari tujuh bendaharawan hadits. Beliau
meriwayatkan 2.210 hadits. Khadijah binti Khuwailid, isteri Nabi
yang pertama, dikenal sebagai perempuan yang sukses dalam dunia
bisnis. Asy-Syifa’ tercatat sebagai perempuan yang ditunjukan
Khalifah ‘Umar sebagai manajer pasar di Madinah, sebuah pasar
besar di ibu kota pada waktu itu. Zainab, isteri Nabi, menyamak kulit
dan hasilnya disedekahkan. Zainab isteri Ibn Masud dan Asma’ binti
Abu Bakar keluar rumah mencari nafkah untuk keluarga. Di medan
perang, banyak nama sahabat perempuan yang tercatat sebagai
pejuang, baik di garis belakang seperti mengobati prajurit yang luka
dan menyediakan logistik maupun di garis depan memegang senjata
berhadapan dengan lawan.
Kita semua sepakat bahwa praktik kehidupan pada masa
Rasulullah adalah implementasi dari ajaran tauhid. Oleh karena itu,
keadilan bagi perempuan sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an
dan diwujudkan oleh Nabi dalam realitas sehari-hari masyarakat
islam yang dibangunnya adalah bagian yang paling mendasar dari
ajaran tauhid itu sendiri. Dengan tauhid itu pula, perempuan
sebagai bagiankelompok mustadl’afindimanusiakan
dandiberikanhak-haknya secara adil oleh islam. Dalam konteks
hubungan laki-laki dan perempuan, keadilan meniscayakan tidak
adanya diskriminasi, Inilah prinsip-prinsip keadilan dalam
hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bisa kita baca dari
ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
F. Tauhid Menjadikan Manusia Bersaudara
Atas dasar keadilan dan setaraan, semua manusia
dipersaudarakan dalam tauhid. Sejarah mencatat, kehadiran Islam
meruntuh fanatisme kesukuan masyarakat Arab yang membuat
mereka terpecah belah dan saling menumpahkan darah.
Perseturuan antara suku Aus dan Khazraj yang berlangsung
turun-temurun, misalnya, luluh dan lembur bersamaan dengan
masunknya tauhid di dalam hati mereka. Tidak ada lagi perasaan
lebih tinggi dan lebih mulia di antara mereka. Jika pada masa lamu
kemuliaan diukur dengan kemenangan dalam persaingan yang
mereka lakukan bukan lagi untuk meraih kemuliaan suku, melainkan
untuk meraih predikat “paling bertakwa”. Demikianlah, mereka
dipersatukan dan dipersaudarakan oleh satu kali yang jauh lebih
kuat daripada tali kesukuan yang pernah mereka pegang, yakni tali
Allah. Di samping mempersaudarakan suku, tauhid juga
mempersaudarakan individu.
Tercatat beberapa nama dari kelompok Muhajirin yang
dipersaudarakan dengan kelompok Anshar, seperti Abdurrahman
bin ‘Auf dengan Sa’ad bin ar-Rabi.Persaudaraan itu berlangsung
atas dasar saling menolong, menghargai, dan menghormati.
Tidak kalah penting, tauhid juga mempersaudarakan laki-laki dan
perempuan ibarat saudara kandung. Mereka tidak boleh saling
menyakiti dan merendahkan. Mereka harusbekerja sama, saling
menolong, dan bahu-membahu demi tercapainya cita-cita bersama.
Rasulallah SAW bersabda, ”kaum perempuan adalah saudara
kandung kaumlaki-laki” (HR. Abu Dawud dan at- Tirmidzi.)Ucapan
ini memiliki makna yang mendalam. Kata “saudara” mengandung
arti kesetaraan, kebersamaan, kasih sayang, penghormatan atas
hak, pembelaan atas orang-orang yang mengalami kezaliman,
serta rasa senasib dan sepenanggungan.
Persaudaraan juga menghapus kata “aku”, sehingga setiap
orang yang bersaudara akan bergerak bersama dengan semangat
dan jiwa “kita” demi kemaslahatan bersama.
Makna mendalam dari sabda Nabi di atas merupakan semangat
yang harus mendasari setiap gerak langkah masyarakat yang terdiri
atas laki-laki dan perempuan. Ini berarti bahwa ibarat saudara, laki-
laki dan perempuan, harus bekerja sama dalam seluruh aspek
kehidupan agar cita-cita masyarakat bisa tercapai dan dirasakan
manfaatnya oleh semua. Laki-laki tidak boleh meninggalkan atau
memandang sebelah mata kepada saudaranya yang perempuan.
Demikian juga perempuan tidak boleh apatis dan asyik dengan
dirinya sendiri, sehingga tidak tahu apa yang di lakukan oleh
saudaranya yang laki-laki. Dalam semangat persaudaraan ini, laki -
laki dan perempuan didorong untuk bersama-sama dan bekerja
sama menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur dalam
ridla Allah.

MATERI IIGENDER PERSPEKTIF ISLAM

Setiap cabang ilmu tidaklah disusun dan dipelajari kecuali


ada kepentingan dan urgensinya. Ada begitu banyak alasan dan
latar belakang mengapa kita membutuhkan kajian khusus ilmu fiqih
wanita. Di antaranya karena Allah SWT. tidak hanya menciptakan
laki-laki tetapi juga menciptakan wanita dan disebutkan secara
khusus dan tersendiri. Juga karena Allah SWT. menciptakan wanita
berbeda dengan laki-laki, baik secara fisik maupun psikis. Dan pada
akhirnya hukum-hukum yang Allah SWT. turunkan juga banyak yang
berbeda antara wanita dan laki-laki.
A. Perempuan Perspektif Al-Qur`an
Secara definitif para ahli tafsir pada umumnya menyebut al-
Qur’ân sebagai: “Kalâmullâh (kata-kata Allah) yang diturunkan
melalui Malaikat Jibrîl kepada Nabi Muhammad Saw.yang
disampaikan kepada kita melalui rangkaian yang terpercaya
(mutawâtir), tertulis dalam mush-haf. Membacanya dinilai sebagai
ibadah (berpahala). Al-Qur’an juga sebuah mu’jizat, yakni
sesuatu yang luar biasa, diluar kemampuan manusia dan
bahasanya tidak bisa ditandingi (i’jaz)”. (Baca:Q.S.alBaqarah[2]:23).
Adalah keyakinan kaum muslimin bahwa al-Qur’ân adalah wahyu
Allah, kitab suci dan sumber paling utama dan otoritatif bagi
aktifitas kehidupan sehari -hari.Di dalamnya terkandung seluruh
aspek yang dibutuhkan bagi kehidupan kaum muslimin yang akan
mengantarkannya pada kesejahteraan hidup di dunia dan
kebahagiaan di akhirat. AlQur’an sendiri menyatakan diri sebagai
kitab yang menjelaskan segala hal (tibyân li kulli syai’). (Baca: Q.S.
al-An’am, 6:38, an-Nahl, 16: 89).
Tetapi pernyataan al-Qur’ân ini segera harus dipahami secara
kritis. Menjelaskan segala hal tidak berarti bahwa al-Qur’ân
menjelaskandetail-detail masalah kehidupan, sebab dalam
kenyataannya memang tidak demikian. Al-Qur’ân sebagai kitab
yang abadi tidak mungkin menjelaskan secara rinci persoalan -
persoalan kehidupan yang berkembang dan berubah secara
terus menerus sampai dunia berakhir. AlQur’ân menjelaskan
semua hal hanyalah berarti kitab suci ini mengemukakan
prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai moral dan ketentuan-ketentuan
umum. Sebagian besar menyampaikan kisah-kisah atau sejarah
kehidupan masyarakat sebelumnya. Ini semua dimaksudkan sebagai
pelajaran .Contoh,bahan pemikiran(‘ibrah)bagimanusia.Ayat-ayat
yang terkait denganpersoalan-persoalan hukum, menurut Imam al-
Ghazali, hanya dijelaskan dalam 500 ayat.
Sementara persoalan-persoalan dan kasus-kasus hukum tentu
saja jutaan bahkan tak terhitung. Imam Haramain mengatakan
bahwa ayat –ayat hukum dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa
kehidupan bagaikan satu ciduk air di antara air lautan. Di sinilah
maka penjelasan secara detail pertama-tama dilakukan oleh hadits
Nabi Muhammad saw. yang biasa disebut as-Sunnah (tradisi
Nabi). Al-Qur’an sendirimenyatakan fungsi Nabi ini. “Dan Kami
menurunkan kepada engkau (Muhammad) alQur’an agar
engkaumenjelaskannya kepadamereka” (Q.S. alNahl, 16:44). Teks -
teks Sunnah (hadits) juga terbatas jumlahnya. Sesudah Nabi
wafat, teks-teks suci ini selanjutnya dipahami oleh kaum muslimin.
Ini yang kemudian dikenal d engan sebutan ijtihâd.Dalam keyakinan
kaum muslimin pula, al-Qur’ânmerupakan kitab suci yang tidak
mungkin mengandung kontradiksi-kontradisksi antara satu teks
dengan teks yang lain, karena ia merupakan kata-kata Tuhan yang
Maha Benar. (QS. an-Nisâ, 4:82). “Tidak ada yang salah (batal) di
dalamnya, semuanya diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana
dan Maha Terpuji”.(QS. Fusshilat, [41]: 42). Al-Qur’ân adalah firman
Tuhan yang terakhir dan dibawa oleh Nabi yang terakhir pula,
dan karena itu berlaku untuk masa yang panjang, abadi dan
untuk seluruh umatmanusia.
Informasi yang kita terima dari al -Qur'an menyebutkan
bahwa kondisi umum perempuan dalam masyarakat Arab
sampai pada masa al-Quran diturunkan adalah kondisi yang
tidak menguntungkan, bahkan sangat buruk. Perempuan bukan
hanya dipandang sebagai makhluk Tuhan yang rendah,
melainkan juga dihargai sebagai barang, bisa diwarisi, dan
diperlakukan sebagai layaknya budak. (Q.S. an - Nisa' [4]:19).
Mereka juga dianggap tidak memiliki hak apa-apa atas
kehidupannya sendiri dan dalam relasi-relasi sosial. Peran-peran
mereka dibatasi pada wilayah domestik dan dalam kerangka
melayani kebutuhan seksual laki-laki. Beberapa ayat al -Qur'an
bahkan menyebutkan adanya tradisi pembunuhan bayi-bayi
perempuan hidup-hidup. (Q.S. 16:58-59, Q.S. 31:8-9). Alasannya
adalah karena kelahiran anak perempuan akan menambah
beban ekonomi dan bisa mencoreng muka atau memalukan
keluarga.
Keadaan ini biasanya berlaku pada keluarga miskin dan
marginal. Realitas posisi subordinat perempuan juga diinformasikan
oleh ayat 34 Surah An-Nisa’. Ayat ini menjelaskan bahwa
kepemimpinan atau kekuasaan domestik, apalagi publik, berada di
tangan laki-laki.
Al-Qur'an menyatakan bahwa hal itu karena laki-laki memiliki
kelebihan setingkat lebih tinggi dibanding perempuan dan karena
fungsi ekonomi ada di tangan laki -laki. Yang menarik adalah
bahwa teks tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit tentang
kelebihan laki-laki atas perempuan.
Apakah kelebihan yang diberikan Tuhan kepada laki-laki
tersebut bersifat tetap, tidak berubah-ubah atau sebaliknya. Para ahli
tafsir kemudian mengelaborasi lebih lanjut ayat ini dengan
menyatakan bahwa kelebihan laki -laki atas perempuan adalah
karena kualitas intelektualnya yang lebih tinggi, di samping
karena fungsi penanggu ngjawab nafkah.
Akibat dari ketimpangan relasi kuasa dalam dua hal ini;
intelektual dan ekonomi, kaum perempuan tidak memiliki hak untuk
dilibatkan sebagai penentu dalam segala urusan penting, baik dalam
ruang domestik maupun publik. Umar bin Khattab, seorang tokoh
terkemuka dan teman sebaya Nabi Muhammad SAW. juga
pernah memberikan kesaksian atas kondisi umum kaum perempuan
Arab pra- Islam tersebut. la mengatakan: "Kami bangsa Arab
sebelum Islam, tidak menganggap apa -apa terhadap perempuan.
Tetapi begitu nama mereka disebutsebut Tuhan (dalam al-
Qur'an), kami baru mengetahui bahwa ternyata mereka mempunyai
hak-hak atas kami.” Beberapa penjelasan tentang kondisi
perempuan di atas, meskipun tidak merupakan kondisi yang
menyeluruh, setidaknya dapat menggambark an sebuah wajah
patriarkhis dalam konstruksi sosial-budaya masyarakat Arab pra-
Islam. Diatas landasan konstruksi sosial inilah, al-Qur'an hadir untuk
membangun konstruksi sosialbudaya baru ke arah yang lebih
beradab dan berkeadilan. Seperti sudah dikemukakan, konstruksi
sosial baru yang ingin diwujudkan al-Qur'an ditempuh melalui
cara-cara yang tidak revolusioner, tidak radikal, tidak instan, dan
anti kekerasan. Meski demikian, pembaca teks -teks alQur'an yang
kritis dan cerdas akan menjumpai bahwa transformasi yang
dilancarkan alQur'an sesungguhnya dapat dipandang progresif dan
terlalu modern untuk zamannya.
Bayangkan, dalam masa kurang dari 23 tahun al-Qur'an
diturunkan, perubahanperubahan besar telah terjadi, baik dari aspek
sosial, budaya, ekonomi, ma upun politik. Seratus tahun sesudah itu,
peradaban baru berskala dunia muncul. Lebih spektakuler lagi
adalah bahwa Nabi Muhammad telah mencanangkan prinsip -prinsip
kemanusiaan universal, melalui apa yang kemudian populer disebut
"Piagam Madinah". Marshall G.S. Hodgson menyebut keadaan ini
dalam ungkapannya yang menarik: "Pada tingkat literal yang cerdas
di mana suara hati dari orang-orang yang berkembang terlibat,
kedatangan Islam menandai suatu pelanggaran dalam
kesinambungan kultural yang tiada bandingnya di antara
peradaban- peradaban besar yang telah kita kenal. Kita mungkin
dapat mengatakan bahwa proses transformasi al-Qur'an secara
umum adalah transformasi kultural; dari tidak ada menjadi ada, dan
dalam proses yang terus menerus untuk menjadi. Cara-cara atau
pendekatan demikian bukan hanya diberlakukan dalam masalah-
masalah perempuan, tetapi juga dalam masalahmasalah yang
lain. Contoh kasus perubahan gradual yang biasa dikemukakan
para ahli tafsir adalah ayat –ayat tentang khamr (minum-minuman
keras) atau ribs (bunga, rente).

Ayat-ayat Perempuan dalam Al-Qur`an


Kehadiran al-Qur'an dalam kultur patriarkal tersebut pada
gilirannya membawa implikasi logis terhadap banyaknya wacana
dan pesan yang ditujukan kepada audiens laki-laki. Bahkan,
meskipun pesan al-Qur'an ditujukan untuk kedua jenis kelamin
tersebut, akan tetapi seringkali digunakan bahasa untuk laki -laki.
Para ulama menyebut cara ini dengan li at-taghlib. Ini adalah
sesuatu yang biasa dalam bahasa manapun walaupun begitu,
sangat jelas terbaca pula bahwa al-Qur'an mengemukakan tema-
tema yang menyangkut dan diarahkan kepada perempuan dalam
banyak ayat.
Ayat-ayat ini terbagi dalam dua kategori besar. Yakni, kategori
ayat-ayat universal dan ayat-ayat partikular. Ayat-ayat universal
adalah ayat-ayat yan menunjukkan pada pola hubungan laki-laki dan
perempuan dalam posisi yang setara dan adil, sementara ayat-ayat
partikular adalah ayat-ayat yang memperlihatkan pola hubungan
yang biasgender dalam mana perempuan diposisikan secara
subordinatif. Ayat-ayat ini hadir atau diturunkan berkaitan dengan
aturan-aturan praktis dalam kerangka pembagian kerja atau peran
antara laki-laki dan perempuan, baik dalam ruang domestik maupun
publik. Ayat ayat ini muncul lebih dalam kerangka
mengakomodasi konteks sosiokultural yang patriarkhis dalarn
bentuknya yang sudah direduksi atau ditransformasi. Jika
semula perempuan dianggap setengah manusia atau tidak
dihargai, maka al -Qur'an menyebutkan dan menghargainya
sebagai manusia yang utuh. Dari sama sekali tidak mendapatkan
bagian waris, al-Qur'an memberinya meskipun masih separuh.
Darisemula tidak memiliki hak cerai, al-Qur'an memberinya
meskipun melalui proses pengaduan, dan seterusnya.
Ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara mengenai perempuan
menyebar dalam sejumlah surah al-Qur'an. Antara lain, an-Nisa, al-
Hujurat: 13, al-Mumtahanah: 10, al-Ahzab: 58, al-Buruj: 10, dan
Muhammad:19. Ayat-ayat ini berbicara tentang penciptaan manusia
dan keimanan laki-laki dan perempuan. Balasan amal perbuatan
personal dan sosial perempuan dikemukakan dalam an- Nahl: 97,
al-Mu'min: 40, Ali Imron: 124 dan 195, alAhzab: 35, dan at-Taubah:
72.Tentang peran sosial politik perempuan disebutkan dalam Q.S.
at-Taubah: 71 dan al-Mumtahanah: 12. Ayat-ayat tersebut secara
eksplisit menegaskan kesetaraan posisi dan peran laki-laki dan
perempuan. Ini merupakan apa yang saya sebut sebagai ayat-ayat
universal.
Di luar itu, terdapat sejumlah besar ayat al-Qur'an yang
juga berbicara tentang perempuan, tetapi dalam bentuknya yang
lebih operasional atau praktis mengenai terraterra dan masalah-
masalah tertentu (partikular). Misalnya, tentang nikah, rujuk, talak,
waris, relasi seksual, dan hal-hal yang terkait dengan semuanya
atau yang secara umum dikenal dalam ilmu filth sebagai "al-ahwal
asy- syakhshiyyah" (family law atau personal law) serta tentang
kesaksian perempuan dalam urusan ekonomi. Ayat-ayat ini
membicarakan pembagian kerja, peran, fungsi antara laki-laki dan
perempuan Sebagian besar ayat-ayat ini terdapat dalam surah
An-Nisa’ (perempuan) dan ath-Thalaq (perceraian). Keduanya
masuk dalam katagori surah Madaniyyah . Selebihnya,
dikemukakan dalam berbagai surah.
Di luar itu, terdapat sejumlah besar ayat al-Qur'an yang
juga berbicara tentang perempuan, tetapi dalam bentuknya yang
lebih operasional atau praktis mengenai terraterra dan masalah-
masalah tertentu (partikular). Misalnya, tentang nikah, rujuk, talak,
waris, relasi seksual, dan hal-hal yang terkait dengan semuanya
atau yang secara umum dikenal dalam ilmu filth sebagai "al-ahwal
asy- syakhshiyyah" (family law atau personal law) serta tentang
kesaksian perempuan dalam urusan ekonomi. Ayat-ayat ini
membicarakan pembagian kerja, peran, fungsi antara laki-laki dan
perempuan Sebagian besar ayat-ayat ini terdapat dalam surah
An-Nisa’ (perempuan) dan ath-Thalaq (perceraian). Kedu anya
masukdalam katagorisurahMadaniyyahSelebihnya, dikemukakan
dalam berbagai surah.
Secara singkat dapat kita katakan bahwa pada tema-tema dan
persoalanpersoalan ini ayat-ayat al-Qur'an masih memperlihatkan
kecenderungan memosisikan perempuan secara subordinat.
Misalnya, tentang kepemimpinan (al-giwamah); laki-laki adalah
pemimpin atas kaum perempuan, perempuan dipimpin, karena itu
perempuan wajib taat kepada suaminya. Tentang hak waris dan
kesaksian perempuan; hak perempuan adalah setengah hak laki-
laki.Tentang perceraian; hak ini ada di t angan laki-laki, sementara
perempuan hanya berhak mengajukan gugatan cerai (khulu').
Dalam sejumlah ayat tentang perkawinan disebutkan bahwa laki
-lakilah yang mengawinkan perempuan melalui perwalian,
sementaralaki-lakimengawinkan sendiri tanpa perwalian. Demikian
juga hak-hak perempuan yang lain.
Terkait prinsip keadilan dan kemaslahatan adalah prinsip dasar
dan cita sosial Islam, di mana di atasnya ditegakkan seluruh
bangunan hukum Islam Pemaknaan teks -teks relasi laki-laki dan
perempuan' adalah benar ketika diintegralkan dengan prinsip dasar
keadilan dan kemaslahatan ini. Ketika pemaknaan terjadi yang
sebaliknya, maka harus digugat validitasnya dan diluruskan. Prinsip
keadilan, dalam kaitannya dengan relasi laki laki dan perempuan,
telah ditegaskan ole h al-Qur'an. Prinsip ini berkaitan dengan halhal
fundamental terkait relasi gender yang digariskan al-Qur'an. Hal-hal
yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan dari entiti (nafs) yang
sama (Q. S. an-Nisa' [4]: 1), karena itu kedudukan mereka sama dan
sejajar, yang membedakan hanyalah kualitas kiprahnya (taqwa)
(Q.S. Al-Hujurat [49]: 31).
2. Perempuan dan laki-laki sama dituntut untuk mewujudkan
kehidupan yang baik (haydtan thayyibah) dengan melakukan kerja-
kerja positif ('amalan shalihan) (Q.S. anNahl [16]: 97). Untuk tujuan
ini, diharapkan perempuan dan laki-laki bahu membahu,membantu
satu dengan yang lain (Q.S. at-Taubah [9]: 71).
3. Bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk
memperoleh balasan yang layak atas kerja-kerja yang dilakukan (Q.
S. al-Ahzab [33]: 35).
Posisi subordinat perempuan dalam persoalan-persoalan
partikular diatas tampaknya merupakan konsekuensi -konsekuensi
logis yang lahir dari pernyataan alQur'an tentang otoritas laki-
laki atas perempuan yang disebutkan dalam Q.S. an-Nisa' Ayat
34 dan didukung oleh Q.S. al-Baqarah Ayat 228. Membaca
ayat-ayat ini, secara literalistic (mengartikannya secara harfiyah)
dan tanpa mengaitkannya dengan ayat lain, keterangan lain atau
tanpa memperhatikan konteks sosialnya, hanya akan mudah
membuat kesimpulan bahwa laki-laki menurut Tuhan ditakdirkan
sebagai pemimpin, penguasa, pengendali, atau pendidik
perempuan. Sebaliknya, perempuan diposisikan sebagai yang
dipimpin, dikuasai, dikendalikan, atau dididik.
Dalam banyak tafsir, ayat ini kemudian dijadikan dasar hukum
(tasyri') yang tetap dan selama-lamanya atau bersifat normatif dan
bukannya bersifat fungsional belaka bagi setiap hubungan laki-laki
dan perempuan. Jika pendapat ulama tersebut diyakini
sepenuhnya, maka sebenarnya ini akan bertentangan dengan ayat-
ayat kesetaraan dan kesederajatan manusia. Jadi, di sini kita
melihat adanya inkonsistensi atau kontradiksi antar ayat; ayat
kesetaraan di satu sisi dan ayat subordinasi di sisi yang lain.
Penafsiran, kontradiksi satu ayat atas ayat yang lain seharusnya
tidak boleh terjadi, kecuali jika diberlakukan teori naskah
(penghapusan) atau takhsish (pengecualian atau pembatasan).
Dalam kaitan dengan ayat 34 Surah An-Nisa’ tadi, saya ingin
berpendapat bahwan ayat tersebut merupakan takhshish
(pengecualian atau pembatasan) atas ayat kesetaraan dan
kesederajatan manusia sebagaimana sudah dikemukakan.
Takhshish, pengecualian atau pembatasan, ini dilakukan oleh al-
Qur'an oleh karena adanya konteks tertentu yang menyertainya.
Dalam hal ini adalah tradisi atau konteks sosiokulturalnya. Yakni,
takhshish bi al-'urf. Membaca ayat ini dengan cermat akan terlihat
dengan jelas bahwa inisesungguhnya tengah menginformasikan
kepada pembacanya tentang realitas sosial yang patriarkhis.
Kepernimpinan laki-laki atas perempuan dalam realitas sosial ketika
itu sebagaimana disebutkan oleh ayat itu didukung oleh dua alasan,
yaitu keunggulan dan tanggungjawab enonomi. Meskipun al-Qur'an
tidak menyebut kriteria keunggulan yang dimiliki laki-laki, tetapi
hampir semua ahli tafsir klasik maupun modern menyatakan bahwa
ini adalah keunggulan akal intelektual dan kekuatan fisiknya.
Anehnya, mereka menyatakan bahwa keunggulan akal intelektual
tersebut sebagai sesuatu yang kodrat, yang diciptakan Tuhan dan
melekat secara tetap pada setiap laki-laki. Mereka mengambil dasar
legitimasi pendirian ini dari sumber lain, misalnya tentang sejarah
mitologi kejatuhan Adam dan Hawa dari surga.
Imam Ibnu Jarir al Thabari, guru para ahli tafsir, dalam kitab Jami
' al-Bayan fiy Ta'wil Ayyi al-Qur'an, menyatakan bahwa Adam diusir
dari surga gara-gara Hawa. Karena itu, Tuhan menjatuhkan
hukuman kepada Hawa dengan menjadikannya menstruasi setiap
bulan, bodoh, dan sakit ketika melahirkan. Pendirian ini juga
mengambil legitimasi dari hadits Nabi yang sahih tentang
kekurangan agama dan akal perempuan. Nabi mengatakan: "Aku
tidak melihat orang yang kurang akal dan agamanya kecuali
kalian (perempuan)". Kekurangan akal perempuan menurut hadits
tersebut disebabkan karena kesaksiannya separuh kesaksian laki-
laki. Kekurangan perempuan dalam agama adalah karena
menstruasinya yang terjadi setiap bulan mengharuskan dia tidak
shalat. Pernyataan Nabi ini oleh para ulama dipandang sebagai
kodrat semua perempuan. Ini sesungguhnya berbeda dengan
bahasa alQur'an sendiri. AlQur'an tidak mengemukakan mengenai
hal ini dalam bahasa yang normatif, yakni melekat pada semua
laki-laki, melainkan relatif. Ungkapan yang digunakan al-Qur'an
adalah 'sebagian atas sebagian'. Sebagian yang dimaksud di sini
bisa berarti keadaan umum, pada umumnya atau mainstream.
Saya kira kita tidak dapat menolak suatu kenyataan adanya
sejumlah perempuan yang memiliki keunggulan intelektual dan
kemampuan ekonomi dan menafkahi keluarga, antara lain para
isteri Nabi, seperti Siti Khadijah dan Siti Aisyah, untuk menyebut
beberapa saja. Al- Qur'an sendiri tidak pernah menyebutkan bahwa
keunggulan atau keistimewaan seseorang dilihat dari sisi jenis
kelamin atau dari sisi latar belakang kultural atau lainnya. Q.S. al-
Hujurat, ayat 13 secara jelas menegaskan bahwa kelebihan atau
keistimewaan seseorang hanya didasarkan atas keunggulan
takwanya. Tema ketakwaan dalam Islam menurut saya menunjuk
pada sikap untuk mengapresiasi secara konsisten norma-norma
ketuhanan dan norma-norma kemanusiaan, pada aktifitasnya
dalam ibadah personal dan ibadah sosial. Pencapaian ketakwaan
ini bisa dimiliki atau diraih oleh perempuan dan laki-laki. Tidak
shalatnya perempuan dalam masa menstruasi tidak harus
mengurangi kualitas ketakwaan dan potensi pribadinya.
Dengan begitu menjadi jelas bahwa kepemimpinan yang
didasarkan atas kriteria keunggulan laki-laki tersebut sesungguhnya
adalah sesuatu yang relatif belaka dan sangat terkait dengan
konstruksi sosial budaya suatu masyarakat. Pendasaran ketentuan
pada konstruksi sosial tidak mungkin bisa diberlakukan secara tetap
dan final, karena ini berdiri diatas sesuatu yang memungkinkan
terjadinya perubahan dan perkernbangan. Jadi kepemimpinan dan
keunggulan laki-laki adalah ketentuan yang bersifat relatif dan bisa
berubah atau diubah. Perubahan sosial yang kita lihat dewasa ini
menunjukkan tengah berlangsungnya proses dari tiada menjadi ada,
dan dari ada menuju proses menjadi. Dari sinilah kita bisa
mengatakan bahwa perempuan dapat dinyatakan sah adanya untuk
lebih unggul dari laki-laki dan untuk mengemban fungsi
kepemimpinan dalam rumah tangga.
Adalah menarik untuk mengungkapkan bagaimana al-Qur'an
melalui ayat ini (Q.S.an-Nisa':34) tengah berdialog dan
mengapresiasi realitas sosial. Ini diketahui dalam latar belakang
turunnya ayat ini (sabab an-nuzul). Imam as-Suyuthi menyampaikan
sejumlah riwayat, antara lain dari Hasan melalui Asy'ats bin Abd al-
Malik bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi SAW.
Mengadukan tindakan suaminya yang memukulnya (menampar)
Nabi SAW. Dengan tegas menyarankan pembalasan yang setimpal
(qishdsh).
Tetapi ayat kemudian turun, perempuan tersebut kembali tanpa
membalasnya. As-Suyuthi juga menyebut riwayat yang sama dari
Hasan melalui Qatadah. Begitu ayat ini turun, Nabi mengatakan:
"Aku menghendaki sesuatu, tetapi Allah menghendaki yang lain.”
Sementara an-Nisaburi mengemukakan riwayat yang lain.
Katanya, dari Muqatil, ayat ini turun untuk merespon Sa'ad bin ar-
Rabi' dan isterinya Habibah binti Zaid bin Abu Hurairah. Habibah
membangkang kepada suaminya (nusyuz) (menolak perintah
suami), lalu sang suami menamparnya. Ayah Habibah
membawanya kepada Nabi SAW., dan mengadukan masalahnya.
Nabi menyuruhnya membalas suaminya dengan balasan setimpal.
Keduanya kembali menemui Sa'ad untuk membalas.
Tetapi Nabi kemudian memanggilnya kembali. "Jibril datang
menyampaikan wahyu al-Qur'an ini, "kata Nabi. Beliau kemudian
mengatakan, "Aku menghendaki ini, tetapi Allah menghendaki yang
lain. Kehendak Allah tentu lebih baik.”
Informasi as-Suyuthi dan an-Nisaburi di atas menggambarkan
bagaimana sesungguhnya Nabi Muhammad menghendaki agar
prinsip kesetaraan segera dan seketika itu juga dapat
diimplementasikan, tetapi Tuhan mempunyai kebijakan lain.
Pembalasan itu belum saatnya dilakukan. Jika kita melihat
ayat ini secara utuh akantampak bahwa kebijakan Tuhan ini
adalah ingin agar penerapan prinsip kesetaraan dilakukan secara
bertahap dan tidak seketika.
Tindakan terhadap perempuan yang nusyuz dilakukan
dengan membalik atau mengubah tradisi. Jika dalam tradisi Arab
pada saat itu, tindakan terhadap perempuan nusyuz pertama-tama
dengan memukul, merendahkan dan bahkan menceraikan: maka al-
Qur'an menginginkan tindakan dengan proses bertahap; pertama-
pertama. Jika tidak berhasil, maka membiarkannya tidak digauli; dan
jika tidak berhasil lagi, baru kemudian boleh memukulnya.
Tentang pemukulan sebagaimana disebutkan al-Qur'an, Nabi
SAW. kemudian menjelaskannya agar tidak boleh keras-keras
apalagi sampai melukai, beliau tidak pernah menyakiti para
isterinya, apalagi melakukan pemukulan. Beliau juga menyindir:
"Para suami yang memukul isterinya bukanlah orang baik di antara
kamu." Bahkan beliau jugamelarangnya: "Janganlah kamu memukul
kaml hamba Allah yang perempuan." Lagi-lagi, kita harus
mengatakan bahwa cara-cara menghukum seperti yang
dikemukakan al-Qur'an ini adalah cara-cara yang sesungguhnya
telah mereduksi cara-cara yang berlaku dalam tradisi Arab ketika itu.
Untung saja cara-cara ini tidak sampai mendapatkan resistensi
dan protes yang besar dari masyarakat. Dalam bahasa Vasr
Hamid Abu-Zaid dikatakan: "Adalah pasti bahwa penolakan Nabi
terhadap tindakan suami tersebut memperlihatkan dengan jelas
penegasan prinsip kesetaraan. Tetapi karena audiensnya
tidak/belum mampu memikul prinsip kesetaraan tersebut, maka
Tuhan menurunkan ayat ini.
Dengan logika mereduksi tradisi tersebut,kita dapat memahami
bahwa al-Qur'an sesungguhnya tidak menyetujui pemukulan dan
tidak menghendaki kekerasan terhadap perempuan apapun
bentuknya dan tindakan tersebut pada saatnya harus dihapuskan.
Sekarang ini, pemukulan merupakan suatu tindakan kekerasan
yang dianggap keliru atau salah oleh siapapun, baik laki-laki atau
perempuan. Konflik apapun dalam hubungan suami isteri harus
diselesaikan dengan cara-cara yang lebih beradab, demokratis,
dan tanpa kekerasan. Dengan membaca sabab an -nuzul yang
variatif di atas, mayoritas ahli tafsir biasanya kemudian
mengemukakan teori yang terkenal; "al -'ibrah bi 'umum al-lafdhid bi
khushush as-sabab" (yang harus diperhatikan dan diterapkan
adalah bentuk kata yang general/umum, bukan memperhatikan
sebab atau peristiwa/kasus yang melatari turunnya ayat).
Dalam hal Q.S. An-Nisa’ ayat 34 tersebut, peristiwa yang
dimaksud adalah pemukulan terhadap seorang perempuan
bernama Habibah bint Zaid oleh suaminya,Sa'ad bin Rabi'.
Meskipun demikian, berdasarkan kaidah hukum tadi, hukuman
pemukulan diberlakukan pada kasus perempuan mana saja yang
dianggap tidak taat kepada suaminya. Itulah sebabnya kita
menemukan pandangan para ahli tafsir dan ahli fiqh
sebagaimana termuat dalam kitab-kitab mereka sebuah keputusan
hukum yang membenarkan hukuman-hukuman terhadap
perempuan yang nusyuz tersebut yang berlaku secara general
dan untuk segala konteks.
Perlu dikemukakan pula bahwa mayoritas ahli tafsir cenderung
berpendapat bahwajika terjadi perbedaan atau pertentangan antara
ketentuan -ketentuan hukum yang bersifat umum (prinsip umum
atau hukum universal) dengan ketentuan hukum yang bersifat
khusus, spesifik, partikular, maka yang khusus lebih diutamakan
daripada yang umum. Ini berbeda dengan pandangan Abu Ishaq
asy-Syathibi. Ia berpendapat sebaliknya. Yakni bahwa "ketentuan
umum atau hukum universal bersifat pasti, sementara petunjuk
petunjuk khusus bersifat relatif. Karena itu, keumuman atau
universalitas harus didahulukan.
Aturan-aturan yang bersifat khusus tidak membatasi atau
mengkhususkan aturan-aturan yang bersifat umum, tetapi bias
menjadi pengecualian-pengecualian yang bersifat kondisional bagi
hukum-hukum universal
B. Perempuan prespektif Hadist
Hadits biasa didefinisikan sebagai perkataan [qawl], perbuatan
[fi’il] dan persetujuan [taqrîr] yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw. [kullu mâ udhîfa ilâ an -Nabiyy min qawlin aw fi’lîn
aw taqrîrin]. Ia merupakan teks berita yang berasal dari Nabi. Ia
juga biasa dikenal dengan istilah lain, seperti sunnah, khabar dan
atsar. Di antara ketiga istilah ini, sunnah lebih banyak digunakan
dari yang lain, sehingga hadits Nabi sering juga
disebut dengan sunnah Nabi. Sunnah secara bahasa berarti
jalan, karena itu sering diterjemahkan sebagai tradisi. Atau sesuatu
yang biasa dijalankan Nabi Saw. Khabar secara bahasa berarti
berita, atsar berarti peninggalan dan hadits sendiri berarti sesuatu
yang baru,atau sesuatu yang diceritakan.Tetapi kemudian hadits
dikenal sebagai istilah untuk sesuatu yang dikisahkan dari atau
mengenai Nabi Muhammad Saw.; baik ucapan, perbuatan atau
penetapan.
Dalam metodologi pengambilan dan penetapan hukum Islam
[istinbâth], secara hirarkis hadits menempati urutan kedua setelah
al- Qur’ân. Argumentasinya, seperti yang dinyatakan dalam ushul
fiqh, bahwa hukum Islam adalah hukum Allah SWT. Hukum Allah
Swt. harus bersumber dari rujukan wahyu dan kalam-Nya. Wahyu
yang langsung, primer dan pasti akurat [mutawâtir] adalah al-Qur’ân.
Sementara hadits adalah penjelas terhadap wahyu.
Kalaupun hadits dianggap wahyu, maka ia wahyu yang tidak
langsung, sekunder dan dalam beberapa hal akurasinya tidak
terjamin. Tidak persis seperti al -Qur’ân yang purnaterjamin. Al-
Qur’ân dipastikan sebagai wahyu yang akurat, karena pada
jalur transmisi [riwâyah], ia diriwayatkan oleh orang banyak dalam
setiap generasi [mutawâtir].
Sementara kebanyakan teks-teks hadits, ditransmisikan secara
lebih sederhana, oleh satu atau dua orang [ahâd], yang masih
menyisakan adanya kemungkinan salah dan alpa, bahkan bohong
[ihtimâl al-khata’ wa an-nisyân wa al-kidzb]. Karena itu, hadits
menempati urutan kedua setelah al-Qur’ân dalam penempatan
sebagai sumber hukum Islam.
Teks hadits adalah teks sejarah. Sejarah kehidupan;
pernyataan, anjuran dan tindakan Nabi Muhammad SAW..
Sebagai sebuah teks sejarah, ia bersinggungan langsung
dengan dinamika sosial masyarakat Arab pada masa hidup
Nabi. Meminjam istilah para pemikir 'Islamisasi ilmu pengetahuan'
seperti Taha Jabir al - 'Ulwani dan Abdal Hamid Abu Sulayman,
bahwa teks hadits tidak mengangkangi ruang dan waktu. Ia
muncul,hidup dan bermakna dengan konteksnya.
Teks hadits, dengan sifat demikian dipahami oleh beberapa
ulama dengan melihat tujuan pokok dan akar persoalan yang
terkandung , pemahaman yang tersurat dari lafal teks menjadi tidak
final dan tidak harus diberlakukan secara mutlak Pemahaman literal
hanya digunakan untuk membantu pemahaman konteks pada saat
teks tersebut muncul dan diberlakukan. Ketika konteks sosial
berubah, maka yang harus dikedepankan adalah tujuan pokok yang
terkandung pada teks, bukan lafal teks.
Dalam hal ini lbn Khladun mencontohkan, bahwa hadits:
"Kepemimpinan itu ditangan orang-orang Quraisy", harus dipahami
pada konteks di mana suku Quraisy memiliki sentral ketokohan,
ketangguhan, kekuatan, dan realitas politik. Ketika sukuQuraisy
tidak lagi memiliki sifat-sifat ini, maka kepemimpinan tidak lagi
diberikan kepada mereka, sekalipun lafal hadits menyatakan
demikian. Kepemimpinan hanya diberikan kepada mereka yang
memiliki karakter-karakter dasar, seperti yang dimiliki oleh orang
Quraisy dulu. Demikian, teks hadits tersebut kemudian dipahami
dan dimaknai. Artinya, pokok persoalannya tidak terletak pada orang
Quraisy, sebagai etnik tertentu, tetapi pada karakter kepemimpinan
mereka yang bisa jadi dimiliki etniketnik yang lain, sebagaimana
nyata terjadi dalam panggung sejarah.
Bagi Syekh Muhammad al-Ghazali, hadits "Tidak akan bahagia
suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada
seorang perempuan" harus dipahami sesuai konteksnya. Ia tidak
seharusnya dipaham secar literal,sebagai larangan kepemimpinan
perempuan, sebagaimana lazim dipahami banyak kalangan. Karena
dengan pemaknaan yang demikian, teks hadits ini akan
berseberangan dengan realitas ke -berhasilan kepemimpinan
perempuan di muka bumi ini. Teks hadits itu menceritakan tentang
konteks kepemimpinan seorang Ratu Persia, yang mewarisi Dinasti
yang sedang goyah.
Realitas sosial politik bangsa Persia saat itu sedang kacau,
kalah perang dengan Romawi, terjadi anarkhi di mana-mana.
Mereka memerlukan kepemimpinan yang tangguh, kuat, disiplin dan
mengerti persoalan mereka. Pada saat demikian, ternyata tahta
kerajaan diwariskan kepada seorang perempuan yang masih muda
dan tidak mengerti persoalan Kerajaan.
Nabi hanya bercerita tentang realitas, bukan berbicara tentang
keputusan hukum tentang kepemimpinan perempuan. Hadits-hadits
mengenai berbagai larangan terhadap perempuan; larangan
mencukur rambut, membuat tato, menyambung rambut, mencukur
alis, atau yang lain,
bagi Syekh Muhammad bin 'Asyur (1879-1973), juga harus
dipahami sebagai sesuatu yang kontekstual sesuai keadaan sosial
masyarakat Arab pada saat itu. Kata Ibn Asyur, larangan itu turun
karena perbuatan-perbuatan tersebut pada masa itu menjadi ciri
khas perempuan-perempuan pelacur yang tidak memiliki harga
diri. Artinya, larangan tidak mengarah kepada perbuatan, tetapi
kepada sesuatu yang memotivasi perbuatan tersebut. Yaitu,
menghancurkan kehormatan dan harga diri perempuan di mata
publik. Karena, pada hakikatnya mencukur atau menyambung
rambut adalah salah satu cara untuk berhias, sama seperti
bercelak dan menggosok gigi. Kalau berhias itu dilarang, maka jenis
apapun dan untuk siapapun juga harus dilarang. Tetapi ternyata
Islam memperkenankan seseorang, termasuk perempuan untuk
berhias, selama tidak digunakan untuk hal –hal nyang
menistakan harga dirinya.
Dengan demikian, teks-teks hadits relasi laki - laki dan
perempuan secara umum harus dipahami sebagai potret realitas
sosiokultur masyarakat Arab pada saat itu. Dalam memahami teks-
teks ini, misi dasar keadilan Islam harus tetap menjadi panduan
untuk mengenali yang prinsip dari yang prosedural dalam teks-teks
tersebut. Teks-teks ini harus dipahami dengan logika
historisitasnyauntuktujuantransformasikeadilandan kemaslahatan.
Sebagai sebua rekaman kasus, teks -teks hadits mungkin masih
mengakomodasi realitas-realitas yang bias gender. Karena itu kita
temukan beberapa lafalhadits, secara literal memandang rendah
terhadap perempuan. Tetapi teks-teks ini harus dipahami dalam
konteksnya dan diintegralkan dengan semangat transformatif
yang diusung oleh al-Qur'an dan hadits-hadits lain.
Prinsip keadilan dan kemaslahatan adalah prinsip dasar dan
cita sosial Islam, di mana di atasnya ditegakkan seluruh bangunan
hukum Islam. Pemaknaan teks-teks relasi laki-laki dan perempuan'
adalah benar ketika diintegralkan dengan prinsip dasar keadilan dan
kemaslahatan ini. Ketika pemaknaan terjadi yang sebaliknya, maka
harus digugat validitasnya dan diluruskan.
Prinsip keadilan, dalam kaitannya dengan relasi laki-laki dan
perempuan, telah ditegaskan oleh al-Qur'an. Prinsip ini berkaitan
dengan hal-hal fundamental terkait relasi gender yang digariskan al-
Qur'an. Hal-hal yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan dari entiti (nafs) yang
sama (Q.S.an -Nisa' [4]: 1), karena itu kedudukan mereka sama dan
sejajar, yang membedakan hanyalah kualitas kiprahnya (taqwa)
(Q.S. Al-Hujurat [49]: 31)
2. Perempuan dan laki-laki sama dituntut untuk mewujudkan
kehidupan yang baik (haydtan thayyibah) dengan melakukan kerja-
kerja positif ('amalan shalihan) (Q.S. anNahl [16]: 97). Untuk tujuan
ini, diharapkan perempuan dan laki-laki bahu membahu, membantu
satu dengan yang lain (Q.S. at-Taubah [9]:71)
3. Bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk
memperoleh balasan yang layak atas kerja-kerja yang dilakukan (Q.
S. al-Ahzab [33]: 35).
Di samping prinsip fundamental di atas, pemaknaan hadits
relasi laki-laki dan perempuan juga harus memperhatikan prinsip-
prinsip yang bersifat konseptual dalam tataran yang lebih praksis
dan operasional. Yang terkait relasi perkawinan misalnya, ada
beberapa prinsip; kerelaan kedua belah pihak dalam kontrak
perkawinan (tarddlin) (Q.S. AlBagarah [2]: 232-233), tanggung
jawab (al- amdnah) (Q.S. An-Nisa’ [4]: 48), komitmen bersama
untuk membangun kehidupan yang tenteram (as-sakinah) dan
penuh cinta kasih (al-mawaddah wa ar-rahmah) (Q.S. Ar-Rum [30]:
21), perlakuan yang baik antar sesama (mu'dsyarah bil ma'rufl
(Q.S.An-Nisa’[4]19), selalu berembug untuk menyelesaikan
persoalan (musydwarah) (Q.S. Al-Baqarah [2]:233, Ali 'Imran [3]:
159 danAsy-Syura [42]:38) dan menghilangkan 'beban ganda'
dalam tugas -tugas seharian (al- ghurm bilghunm).
Prinsip-prinsip ini menjadi panduan bagi pemaknaan ulang
terhadap haditshadits yang terkait dengan 'relasi laki-laki dan
perempuan. Sampai saat ini masih banyak pemaknaan hadits
yang menimbulkan ketimpangan 'relasi laki-laki dan perempuan
Ketimpangan yang menyalahi prinsip-prinsip dasar yang telah
dibangun oleh al-Qur'an dan hadits. Karena itu, pemaknaan ulang
terhadap seluruh teks-teks hadits 'relasi laki-laki dan perempuan
harus dilakukan, untuk menemukan cita keadilansosial Islam
dalam tataran realitas yang nyata.
Sebagai contoh, hadits yang melarang perempuan untuk
bepergian:"Tidak dihalalkan bagi perempuan yang beriman kepada
Allah dan hari akhir untuk bepergian tanpa diteman mahram
(keluarga dekat), sejauh jarak tempuh perjalanan tiga hari tiga
malam" (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini harus dipahami sebagai upaya mewujudkan
perlindungan kepada orangorang lemah dari kemungkinan-
kemungkinan kejahatan yang muncul. Perempuan pada
Saat itu termasuk katagori orang-orang lemah yang memerlukan
perlindungan. Karena itu, bila bepergian jauh harus ditemani oleh
keluarga dekatnya, atau yang dikenal dengan konsep mahram.
Keluarga dekat biasanya memiliki jalinan emosional yang cukup
kuat, sehingga perlindungan dan keamanan bisa diberikan.
Kemungkinan terjadinya sesuatu yang buruk erhadap perempuan
bisa dihindari dengan kehadiran kerabatnya, atau mahramnya.
Jaminan perlindungan di masyarakat Arab pada saat itu masih
bersifat kerabat atau kabilah. Berbeda dengan sekarang, jaminan
setiap orang atau warga negara sudah berubah menjadi sistem
sosial dan berada dalam tanggung-jawab negara.Artinya, makna
hadits mengenai kewajiban mahram bukan merupakan pelarangan
terhadap perempuan untuk melakukan bepergian. Tetapi
perintah untuk melindungi perempuan dari kemungkinan terjadinya
kejahatan ketika bepergian. Karena pelarangan ini menafikan
prinsip keadilan dan kesetaraan dalam memperoleh kesempatan
dan akses yang sama terhadap aktivitas kehidupan, tanpa
membedakan jenis kelamin, ras, maupun bangsa. Karena itu,
ketika Nabi mendengar ada seorang perempuan yang bepergian
sendirian untuk menunaikan ibadah haji, beliau tidak melarang
perempuan t ersebut, tetapi justru menegur suaminya dan
menyatakan kepadanya: "Susullah d an temani isterimu" (Riwayat
al-Bukhari dan Muslim). Ini adalah pernyataan tegas dari Nabi
bahwa inti persoalannya terletak pada jaminan dan perlindungan
keamanan, bukan pada pela rangan bepergian. Jika persoalannya
adalah perlindungan, maka seluruh komponen masyarakat
dianjurkan untuk bersama-sama mewujudkan perlindungan dan
pengamanan kepada seluruh warga. Sungguh sangat naif sekali,
jika terjadi sesuatu yang menimpa perempuan, kemudian
perempuan yang menjadi korban dilarang untuk keluar
melakukan aktifitas dengan alasan keamanan. Mengapa tidak
dengan alasan yang serupa, laki-laki yang biasanya menjadi pelaku
seharusnya yang dilarang untuk keluar, agar perempuan bisa
aman melakukan perjalanan dan aktifitas-aktifitas lain?
Dalam masyarakat modern dan beradab, stabilitas sosial tidak
lagi bergantung pada orang dan komunalisme, melainkan pada
sistem dan struktur yang rasional, termasuk kepastian hukum.
Fungsi pengamanan dan perlindungan sosial seharusnya menjadi
bagian dari kerja sistem dan struktur tersebut. Seharusnya, negara
melalui sistem politik dan hukumnya menjamin pengamanan dan
perlindungan bagi setiap warganya, baik laki -laki maupun
perempuan. Negara dituntut mewujudkan pengamanan, sehingga
setiap pelarangan aktivitas warga adalah justru pelanggaran
terhadap hak warga yang paling mendasar.
C. Perempuan prespektif Fiqih
Tidak bisa dielakkan, fiqh merupakan salah satu disiplin
keilmuan inti dalam kajian keislaman. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa disiplin ini telah menghadirkan dirinya dalam
diskursus keislaman sejajar dengan disiplin lainnya seperti tafsir,
hadits, tasawuf, falsafah, tarikh.Keberadaan yang demikian
menjadikan pembicaraan tentang ajaran Islam tidak akan lengkap
dan “bunyi” tanpa melibatkan fiqh sebagai salah satu cabang
utamanya. Meski disiplin ini merupakan hasil interpretasi dari teks-
teks keagamaan, baik berupa al-Qur’ân maupun as-Sunnah,
keberadaannya menjadi “tulang-punggung” wacana keislaman
selama berabad-abad, khususnya setelah kodifikasi, yang oleh
beberapa pengamat dikatakan setelah abad ke dua Hijrah. Hal
ini dikarenakan ekspansi dan panyebaran ajaran Islam ke berbagai
wilayah banyak diwarnai oleh khazanah keilmuan ini, ketimbang
disiplin keislaman lainnya. Untuk kasus Indonesia, misalnya,
menurut para peneliti Islam, yang diajarkan adalah Islam fiqh dengan
kombinasi tasawuf atau tarekat.
Fiqh tidak berkembang dari kehampaan, oleh karena ia
didefinisikan sebagai ”ilmu untuk mengetahui kumpulan-kumpulan
dari berbagai aturan hukum syara’ yang berkenaan dengan
perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil terperinci”.
Perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor,
baik internal individu, kelompok atau zaman yang mengembangkan,
maupun kondisi eksternal sosial, geografis, politis dan kultural yang
mengitarinya. Dalam sejarah Islam, dinyatakanbahwa bangunan fiqh
telah ”mapan” pada abad ke dua dan tiga hijrah, sementara
embrionya dapat dilacak pada masa Nabi dan Sahabat. Hal ini
dikarenakan, Nabi memberikan interpretasi terhadap teks-teks
keagamaan, yang kemudian dijadikan sebagai salah satu rujukan
dan sumber dalam hukum Islam.
Dalam perkembangannya, fiqh dinilai oleh beberapa kalangan
tidak ”berpihak” kepada kaum hawa, mengingat banyak kasus-
kasus fiqh yang tertulis dalam literatur fiqh ternyata lebih banyak
menonjolkan peran kaum Adam. Isu -isu sensitif tentang gender
agaknya kurang begitu mengemuka di dalam khazanah fiqh
madzhab yang menjadikan fiqh terkesan amat “maskulin”. Untuk itu,
pertanyaan yang diajukan salah satunya adalah, benarkah kesan
tersebut di dalam literatur fiqh? Jika memang benar, apa faktor -
faktor yang menyebabkannya? Dan bagaimana pula upaya untuk
menyeimbangkan kepentingan kaum Adam dan Hawa dalam fiqh
kontemporer? Jika tidak, mengapa kesan fiqh ”diskriminatif” tersebut
begitu kuat di negeri -negeri Muslim? Uraian berikut mencoba
memberikan jawaban dengan menghadirkan kasus-kasus fiqh yang
didiskusikan dalam khazanah fiqh klasik, dan kemungkinan
melakukan dekonstruksi terhadapnya.
MATERI IIIHUKUM ISLAM INDONESIA
Hukum Islam saat ini merupakan salah satu sistem hukum yang
dipergunakan di dunia, yang pada prakteknya masih banya
disalahpahami oleh dunia barat. Menurut sumbernya, maka Hukum
Islam itu berasal dari 4 sumber, yaitu (1) Alquran; (2) Sunnah; (3)
Ijma; dan (4) Qiyas. Secara mendasar masih adanya pemahaman
yang keliru terkait dengan keberadaan Hukum Islam yang hidup dan
berkembang sebagai sebuah sistem hukum di berbagai negara.
Ketidakpahaman akan adanya perbedaan antara dua istilah yaitu
“syari’ah” dan “fiqih” menjadikan kerancuan di tengah masyarakat.
A. Sumber Hukum Islam
1. Al-Qur’an
Sumber hukum islam yang paling dasar adalah Al Qur’an.
Sebagai kitab suci umat muslim, tentu saja Al Qur’an sebagai
tiang dan penegak. DImana Al Qur’an pesan langsung Dari Allah
SWT yang diturunkan lewat Malaikat Jibril. Kemudian Jibril
menyampaikan langsung kepada Nabi Muhammad. Muatan Al
Qur’an berisi tentang anjuran, ketentuan, larangan, perintah, hikmah
dan masih banyak lagi. Bahkan, di dalam Al Quran juga
disampaikan bagaimana masyarakat yang berakhlak, dan
bagaimana seharusnya manusia yang berakhlak.
2. Hadist
Hadits sabagai sumber islam yang tidak kalah penting. Kenapa
hadis digunakan untuk hukum islam? Karena Hadis merupakan
pesan, nasihat, perilaku atau perkatan Rasulullah SAW. segala
sabda, perbuatan, persetujuan dan ketetapan dari Rasulullah SAW,
akan dijadikan sebagai ketetapan hukum islam. Hadits
mengandung aturan aturan yang terperinci dan segala aturan
secara umum. Muatan hadits masih penjelasan dari Al-Qur’an.
Perluasan atau makna di dalam masyarakat umum, hadits
yang mengalami perluasan makna lebih akrab disebut dengan
sunnah.
3. Ijma’
Mungkin ada yang asing dengansumber hukum islam yang
ketiga, iaitu ijma’ Ijma’ dibentuk berdasarkan pada kesepakatan
seluruh ulama mujtahid. Ulama yang di maksud di sini adalah ulama
setelah sepeninggalan Rasulullah SAW.
Kesepakatan dari para ulama, Ijma’ tetap dapat
dipertanggungjawabkan di masa sahabat, tabiin dan tabi’ut tabiin.
Kesepakatan para ulama ini dibuat karena penyebaran Islam
sudah semakin meluas tersebar kesegala penjuru. Tersebarnya
ajaran islam inilah pasti ada perbedaan antara penyebar satu
dengan yang lainnya. nah, kehadiran ijma’ diharapkan menjadi
pemersatu perbedaan yang ada.
4. Qiyas
Qiyas sepertinya tidak banyak orang yang tahu. Sekalipun ada
yang tahu, masih ada perbedaan keyakinan, bahwa qiyas ini tidak
termasuk dalam sumber hukum islam. Meskipun demikian, para
ulama sudah sepakat Qiyas sebagai sumber hukum islam. Qiyas
adalah sumber hukum yang menjadi penengah apabila ada
suatu permasalahan. Apabila ditemukan permasalahan yang tidak
ditemukan solusi di AlQuran, Hadits, Ijma’ maka dapat ditemukan
dalam qiyas.
Qiyas adalah menjelaskan sesuatu yang tidak disebutkan dalam
tiga hal tadi (Alquran, hadits dan Ijma’) dengan cara membandingkan
atau menganalogikan menggunakan nalar dan logika. Keempat
sumber hukum islam di atas menunjukkan bahwa hukum islam tidak
sekedar hukum biasa. Karena dasarnya mengacu pada 4 hal yang
sangat fundamental.Bahkan, ada beberapa pendapat lain, selain
mengacu pada empat sumber hukum di atas, masih ada lagi sumber
hukum islam, yaitu ada : Istihsan, Istishab, Saddudz-dzari’ah atau
tindakan preventif, urf atau adat dan Qaul sahabat Nabi SAW.
B. Menuju Kompilasi Hukum Islam (KHI) Indonesia yang Adil Gender
Sejumlah kajìan dan penelitian menjelaskan bahwa Kompilasi
Hukum Islam (KHI) mengandung dalam dirinya berbagai potensi
kritik. Kritik umumnya diarahkan selain pada eksistensi KHI juga
pada substansi hukumnya yang dipandang tidak lagi memadai
dalam menyelesaikan berbagai problem keumatan yang cukup
kompleks. Ini karena konstruksi KHI sejak awal kelahirannya telah
membawa pelbagai kelemahan.
Hasil-hasil penelitian baik berupa tesis maupun disertasi
menyatakan bahwa KHI memiliki kelemahan pokok justru pada
rumusan visi dan misinya. Terang benderang, beberapa pasal di
dalam KHI secara prinsipil berseberangan dengan prinsip-prmsip
dasar Islam yang universal,seperti prinsip persamaan (al- musâwah),
persaudaraan (al-ikhã’), dan keadilan (al-‘adl), serta gagasan
dasar bagi’ pembentukan masyarakat madani, seperti pluralisme,
kesetaraan gender, HAM, demokrasi, dan egalitarianisme.
Di samping itu juga disinyalir oleh para pakar hukum, di dalam
KHI terdapat sejumlah ketentuan yang tidak lagi sesuai dengan
hukum-hukum nasional dan konvensi internasional yang telah
disepakati bersama. Belum lagi kalau ditelaah dan sudut metodologi,
corak hukum KHI masih mengesankan replika hukum dari produk
fikih jerih payah ulama zaman lampau di seberang sana.
Konstruksi hukum KHI belum dikerangkakan sepenuhnya dalam
sudut pandang masyarakat Islam Indonesia, melainkan
lebih mencerminkan penyesuaian-penyesuaian dari fikih Timur
Tengah dan dunia Arab lainnya.
Program ini hadir untuk membaca ulang KHI setelah 12 tahun
berlalu dan menyusunnya kembali dalam perspektif baru (meliputi
visi dan misi) yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia dewasa ini. KHI yang diharapkan adalah seperangkat
ketentuan hukum Islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar
bagiterciptanya masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai-
nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak kaum perempuan,
meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta
terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua
ketentuan tersebut hendak digali dan dirumuskan dan sumber-
sumben Islam yang otoritatif, al-Qur’ân dan al-Sunnah, melalui
pengkajian terhadap kebutuhan, pengalaman, dan ketentuan-
ketentuan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, khazanah
intelektual klasik Islam, dan pengalaman peradaban masyarakat
Muslim dan Barat di belahan dunia yang lain.
a. KHI dalam Kerangka Hukum Nasional dan Internasional
Eksistensi hukum Islam di Indonesia selalu mengambil dua
bentuk; hukum normatif yang diimplementasikan secara sadar oleh
umat Islam, dan hukum formal yang dilegislasikan sebagai hukum
positif bagi umat Islam. Yang pertama menggunakan pendekatan
kultural, sementara yang kedua menggunakan penghampiran
struktural.
Hukum Islam dalam bentuk kedua itu pun proses legislasinya
menggunakan dua cara. Pertama, hukum Islam dilegislasikan secara
formal untuk umat Islam, seperti PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan, UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, dan UU Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat. Kedua, mater materi hukum Islam
diintegrasikan ke dalam hukum nasional tanpa menyebutkan hukum
Islam secara formal, seperti UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Berbeda dengan itu, KHI dalam sejarahnya adalahproduk
kebijakan hukum pemeniritah yang proses penyusunannya
didasarkan pada hukum normatif Islam, terutama fikih madzhab
Syafi’i. Oleh karenanya, boleh jadi hal itu membuat KHI tampil dalam
wajah yang tidak akrab dengan hukum-hukum nasional dan
internasional yang memiliki komitmen kuat pada tegaknya
masyarakat yang egaliter, pluralis, dan demokratis. Bahkan
disinyalir oleh sejumlah pemikir Muslim bahwa alih -alih menjadi
landasan agama untuk demokratisasi, KHI sendiri dalam
beberapa pasalnya mengandug potensi sebagai penghambat laju
gerak demokrasi di Indonesia.
Kalau pasal-pasal tersebut tetap dibiarkan, maka KHI aka terus
menerus turut menyuburkan praktik diskriminasi dalam
masyarakat, terutama terhadap perempuan dan kaum minoritas.
Tentu saja praktik ini bertentangan dengan produk-produk hukum
nasional, seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan. Undang-Undang yang
terakhir ini dirumuskan sebagai konsekuensi logis dan ratifikasi
negara terhadap CEDAW (The Convention on the Elimination of All
Form of Dis crimination Against Women), UU Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan
dan penguatanterhadap perempuan, bahkan dengan UUD 1945 da n
Amandemen UUD 1945. Dalam hal-hal tertentu, praktik diskriminasi
juga berseberangan dengan UU Nomon 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang menekankan pada prinsip
desentralisasi dengan ciri partisipasi seluruh masyarakat tanpa
membedakan laki dan perempuan.
Pada tataran internasional, terdapat sejumlah instrumen
penegakan dan perlindungan HAM, antara lain Dekiarasi Universal
HAM (1948), Kovenan Iternasional tentang Hakhak Sipil dan Poiltik
(1966), Kovenan Internasional tentang Hak -hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya (1%6), CEDAW (1979), Deklarasi Kairo (1990), dan
Deklarasi dan Program Aksi Wina (1993). Sebagai dampak ikutan
dan kesepakatan kesepakatan tersebut, Kompilasi Hukum Islam
kiranya tidak bisa mengelak kecuali harus menyesuaikan diri dengan
ketentuanketentuan tersebut.
b. KHI dan Konteks Politik Hukum
Telah maklum bahwa KHI lahir bukan dan kondisi vakum. Ada
kondisi-kondisi sosial politik, dan hukum yang mendorong KHI harus
lahir. KHI lahir dan rahim negara.Ia lahir sebagai produk politik
negara Onde Baru, yang jika dipandang dari optik politik hukum
tentu saja tidak bebas nilai dan tidak bebas kuasa dan muatan
interest politik rezim itu. Dengan perkataan lain, pembidanan
kelahiran dan keberadaan KHI terselimuti oleh bias-bias
kekuasaan rezim Orde Baru.
Setiap legislasi oleh negara, apalagi negara Orde Baru yang
saatituberwatak otoritarian-birokratik, terdapat suatu kehendak-
kehendaksosialpolitik tersembunyi yang menyertainya,
sebagaimana anutan banyak pakar hukum bahwa tak ada hukum
yang bebas nilai, bebas kepentingan, dan bebas kuasa.Termasuk
dalam jaring-jaring ini adalah hukum Islam yang terkumpulkan
dalam KHI, kehadirannya menjadi sarat dengan nilai, kepentingan,
dan relasi kuasa. Dengan nalar demikian, wajar kiranya kalau KHI
dipandang oleh sebagian orang sebagai “fikih madzhab negara”.
Ini karena elemen-elemen konstruksi hukum Islam dalam KHI
mulai dan inisiatif, proses penelitian, penyusunan, hingga
penyimpulan terakhir dan pilihan-pilihan hukumnya semuanya
dilakukan oleh suatu tim yang beranggotakan hampir seluruhnya
orang-orang negara.
Betapa latar belakang pembentukan, logika hukum yang
digunakan,hingga pola redaksi yang diterapkan juga sebagaimana
lazimnya digunakan oleh hukum positif negara. Bahkan, legitimasi
hukum pemberlakuannya juga sangat bergantung pada keputusan
negara melalui Instruksi Presiden.
Berdasarkan kajian politik hukum, KHI setidak-tidaknya memiiki 4
(empat) buah karakter hukum yang spesifik sebagai akibat logis dan
pengaruh politik hukum pada masanya. Karakter-karakter tersebut
adalah sebagai berikut: dan perspektif strategi pembentukan
hukum, KHI berkarakter semi-responsif, yakni proses
pembentukannya dikuasai oleh pihak yudikatif (MA) dan eksekutif
(Depag RI), sementara pihak legislative (DPR) selaku perwakilan-
formal rakyatIndonesia tidak terlibat sama sekali dan perwakilan
masyarakat Islam (MUI dan cendekiawan Muslim di lAIN)
berada pada posisi peripheral; dan perspektif materi hukum, KHI
berkarakter otonom,reduksionistik dan konservatif. Artinya, materi
hukum Islam pada KHI secara substansial diakui sebagai fiqh
(yunisprudensi Islam), namun hanya sebagian kecil materi hukum
Islam
Yang dilegislasikan (perkawinan, kewanisan, dan perwakafan)
dengan formulasi bahasa dan pokok masalah yang tidak adaptif dan
inovatif; dan perspektif implementasi hukum, KHI berkarakter
fakultatif, yakni tidak secara a priori harus ditaati dan bisa
memaksa setiap warga negara, meski beragama Islam, untuk
melaksanakan ketentuan KHI; dan perspektif fungsi hukum, KHI
berkarakter regulatif dan legitimatif, yakni ketentuan hukumnya
lebih bersifat teknis- prosedural dan praktis-operasional ketimbang
strategis-konsepsional dan teonitik.SeÌain itu, aturan-aturan
hukumnya cenderung melakukan pembenaran terhadap ketentuan
hukum positif sebelumnya dan institusi-institusi bentukan negara,
seperti KUA,PPAIW Pengadilan Agama, dan lainlain. Walhasil,
hukum Islam dalam KHI telah bergeser dan otoritas hukum agama
(divine law] menjadi otoritas hukum negara (state law]
c. KHI dalam Perbandingan Hukum Keluarga Negeri-negeri Muslim
Kiranya penting juga untuk menjuktaposisikan KHI dengan
hukum keluarga (the family law) yang ada di berbagai negeri Islam
yang lain. Negeri negeri Muslim tersebut telah berkali-kali
mengadakan sejumlah pembaharuan terhadaphukum keluarga.
d. KHI dalam Lingkup Problematika Sosial
Seiring dengan perkembangan zaman dan dinamika masyarakat
yang antara lain membawa kepada perubahan pola interaksi
manusia, sejumlah problem sosial muncul. Problem-problem ini
pada umumnya tidak terwadahi secara memadai dalam KHI.
Problem sosial yang dimaksud adalah persoalan ketidakadilan,
ketidakmanusiawian, dan diskriminasi yang ditemukan terutama
dalam dua materi pokok KHI, yaitu hukum
perkawinan dan hukum kewarisan. Di samping itu, terdapat pula
beberapa persoalan yang cukup penting yang belum terakomodasi
dalam hukum perwakafan.
Pada bidang hukum perkawinan, harus fair diakui bahwa
dalam KHI terdapat beberapa pasal yang problematis dan sudut
pandang keadilan relasi laki -laki dan perempuan. Di antara
masalah-masalah yang kurang mendukung semangat keadilan
tersebut antara lain: batas usia pernikahan, wali nikah, saksi nikah,
hak dan kewajiban suami isteri, nusyuz, poligami, dan nikah beda
agama. Pasal -pasal yang dinilai sarat dengan ketidakadilan tersebut
dapat dijelaskansebagai berikut:
Pertama, batas usia minimal nikah yang diatur dalam pasal 15
ayat (1).Pasal ini dianggap tidak adil karena telah mematok usia
minimal perempuan bolehmenikah lebih rendah dan usia laki-
laki.Pasal ini jelas memperlakukan laki -laki danperempuan secara
diskriminatif, yakni semata-mata didasarkan pada kebutuhan
dankepentingan laki-laki (ideologi patriarkhis).
Kedua, tentang wali nikah. Pembahasan tentang wali nikah
dijelaskan dalam pasal 19,20, 21, 22, dan 23. Di antara pasal-pasal
tersebut, yang cenderung bias jender adalah pasal 19, 20 ayat (1)
dan 21 ayat (1). Hak kewalian hanya dimiiki oleh orang yang
berkelamin laki-laki. Tidak ada ruang sedikitpun bagi searang ibu
untuk menjadi wali nikah atas anak perempuannya, misalnya
ketika sang ayah berhalangan.
Sekiranya ayah tidak memungkinkan untuk tampil menjadi
wali, maka hak kewalian jatuh pada kakek. Jika kakek ‘udzur, maka
hak kewalian tidak secara otomatis pindah ke tangan ibu, tetapi
turun pada anak laki-laki atau saudara laki -laki kandung dan si
perempuan tersebut. Hirarki kewalian ini telah diatur oleh KHI dalam
pasal 21 dengan menutup sama sekali peluang perempuan untuk
menjadi wali. Untuk itu, secara praktis harus ditegaskan bahwa
pasal tentang perwalian dalam KHI hendaknya tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki memiliki
otoritas untuk menikahkan dirinya sendiri dan berwenang menjadi
wali nikah,maka seharusnya demikian juga untuk perempuan.
Ketiga, tentang saksi Ketentuan tentang saksi dalam pernikahan
diatur dalam pasal 24,25, dan 26. Namun, yang dinilal bias
jender hanyalah pasal 25 saja yang menutup sama sekali
kemungkinan perempuan untuk menjadi saksi pernikahan.Dengan
menggunakan parameter kesetaraan gender, maka semestinya laki
laki dani perempuan mempunyai peluang yang sama untuk tampil
sebagai saksi nikah.
Keempat, kepala rumah tangga hanya disandangkan pada
pundak seorang suami, dan tidak pada isteri. Pasal 79 KHI
mengatakan suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu
rumah tangga. Sebagaimana fikih pada umumnya, KHI tidak
pernah mempertimbangan kapabilitas dan kredibilitas isteri untuk
memangku status kepala keluarga. Jabatan “kepala keluarga” telah
diberikan secara gratis dan otomatis kepada para suami.
Kelima, pengaturan tentang nusyûz dalam KHI terdapat dalam
pasal 84 ayat (1). Namun demikian, dalam persoalan nusyûz ini KHI
masih terlihat bias jender. Sebab, masalah nusyûz dalam KHI hanya
berlaku bagi pihak perempuan, sementara laki-laki (baca: suami)
yang mangkir dan tanggungjawabnya tidak diatur dan tidak
dianggap nusyûz. Oleh sebab itu, pasal ini terlihat mengekang
kebebasan hak-hak perempuan dan tidak mendudukkan hubungan
suami isteri secara setara.
Keenam, pemberian mahar dan seorang suami terhadap isteri.
Pertanyaannya, bukankah dengan mahar ini, laki-laki (suami)
semakin digdaya di hadapan perempuan (isteri). Terdapat anggapan
yang menggumpal di alam bawah sadar seorang suami bahwa
dirinya telah “membeli” (alat kelamin,vagina) isteri, sehingga dapat
dengan leluasa memperlakukannya. Transaksi”pembelian” melalui
selubung mahar ini akan terungkap dengan jelas ketika membaca
pasal 35 ayat 1 yang berbunyi, “suamiyang mentalak isterinya
qabla al-dukhûl wajib membayar setengah mahar yang
telahditentukan dalam akad nikah. Dalam fikih, walau masih
diperdebatkan, ada pendapatyang menyatakan bahwa hak suami
terhadap isteri adalah haqq altamlîk dan bukanhaqq al-intifâ.
Ketujuh, poligami Dalam KHI poligami masih dimungkinkan
untuk dilakukan. Pandangan ini seperti ini dapat disangkal dengan
dua alasan berikut:
1. asas perkawinan dalam Islam adalah monogami dan bukan
poligami.Oleh karena itu, perkawinan poligami jelas bertentangan
dengan asas tersebut.
2. Perkawinan poligami dalam praktiknya sangat menyakitkan bagi
isteri. Beberapa penelitian menemukan sebuah fakta bahwa
sebagian besar perkawinan poligami diselenggarakan secara
sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan dan seijin isteri. Dengan
fakta ini, maka tindak kebohongan yang begitu menyakitkan telah
terjadi. Kejujuran dan keterbukaan yang semestinya menjadi
landasan utama dalam rumah tangga kemudian menjadi rapuh.
Kedelapan, nikah beda agama. Perbedaan agama dalam KHI
dipandang sebagai penghalang bagi sepasang pemuda dan pemudi
yang hendak melangsungkan suatu perkawinan. Artinya, orang
Islam baik laki-laki maupun perempuan tidak diperbolehkan untuk
menikah dengan orang non- Islam. Pandangan seperti ini tentu saja
bertentangan prinsip dasar ajaran Islam, yaitu pluralisme.
Dengan berlandas tumpu pada nalar pluralisme itu, maka tidak
tepat menjadikan perbedaan agama (ikhtizaf ad-dIn) sebagai
penghalang (mâni’) bagi dilangsungkannya suatu perkawinan beda
agama.
Selain ketidak adilan pada hukum perkawinan, KHI juga tidak
mencerminkan keadilan pada hukum kewarisan. Dalam hukum
kewarisan, ketentuan-ketentuan hukum KHI tampak mengabaikan
hak-hak anak yang sedang dalam kandungan. KHI hanya
memperhitungkan bagian anak yang telah lahir. Padahal, anak
yang sedang dalam kandungan justru memiliki beban yang lebih
berat, baik dan aspek psikologis maupun finansial. Oleh karena itu,
sudah selayaknya KHI merumuskan konsep tentang pembagian
warisan bagi anak yang sedang dalam kandungan Ketidakadilan lain
terlihat
pada pasal 172 KHI yang diantaranya menyatakan bahw bay yang
baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut
ayahnya atau lingkungannya. Secara implisit, pasal ini
menyatakan bahwa agama ibu tidak bernilai sama sekali pada
anaknya, baik dalam pandangan masyarakat maupun dalam
pandangan Tuhan. Padahal, posisi ibu dalam keluarga sangat
penting sebagai pendidik dan perambah masa depan anak-
anaknya. lni tidak saja mengabaikan peran dan posisi ibu
dalam keluarga dan masyarakat, tetapi juga menafikan agama yang
dianut ibu di hadapan anak-anaknya.
Hal senada juga terjadi pada pasal 186 KHI. Pasal ini secara
tegas menyatakan bahwa anak yang Iahir di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan saling mewarisi
dengan ibunya dan keluarga dan pihak ibunya. Sementara status
anak yang lahir karena kawin sirri tidak diatur dalam kaitan dengan
hubungan kewarisan. Oleh karena itu, definisi sah atau tidaknya
perkawinan kirany a penting untuk ditinjau kembali.Di samping
nuansa ketidakadilan, hukum kewarisan juga memuat
beberapakendala teknis yang dirasakan sulit dalam
penerapannya.Kendala teknis itu, antaralain, terdapat pada pasal
192 dan 193 yang tidak menjelaskan secaraeksplisitmana
yang‘awl danmana pula yang radd. Jika tidak segera dijelaskan tentu
saja akan menyulitkan para hakim di pengadilan untuk
menyelesaikan persoalan warisan keluarga Muslim.Kendala teknis
lain terdapat pada Bab V dan bab VI yang tidak menjelaskan
secararinci definisi wasiat dan hibah. Pendefinisian dua
terminologi ini cukup penting karenaadanya kemiripan dalam praktik
wasiat dan hibah. Sedangkàn dari sisi hukum wakaf, KHI juga
belum dapat dikatakan sempurna mengingat masih banyak
persoalan penting yang belum terakomodasi. Di
antarapersoalan tersebut adalah ketentuan wakaf non-Muslim
perlu mendapat tempatdalam KHI mengingat adanya beberapa
kasus yang mengindikasikan kemungkinanterjadinya hal tersebut.
Aturan itu setidaknya dapat menegaskan boleh tidaknya
warganon-Muslim untuk mewakafkan hanta bendanya untuk
kepentingan
umat Islam.
Aturan tentang wakaf tunai juga perlu diakomodasikan dalam
KHI. Hal inikarena perkembangan dunia perbankan syarî’ah yang
cukup pesat, sehingga visi danperspektif manusia dalam
“menginvestasikan” hartanya di jalan Allah juga berubah.Sebagai
contoh, aturan tentang seseorang atau sekelompok orang ataupun
suatu badanusaha yang bermaksud mewakafkan uangnya dalam
bentuk deposito, kemudiankeuntungan bagi hasil deposito tersebut
dimanfaatkan untuk membantu para Korbanbencana alam ataupun
untuk membiayai pendidikan masyarakat miskin. Wakaf
dalambentuk ini tentu saja sangat bermanfaat dan sesuai dengan
tujuan utama wakaf dalamIslam.
e. KHI dan Problem Metodologis (Ushul Fiqh)
Dalam banyak kajiani akademis, KHI tidak digali sepenuhnya
dan kenyataan empirisIndonesia, melainkan banyak “mengangkut”
begitu saja penjelasan normatif
tafsir-tafsirkeagamaanklasik, dan kurang mempertimbangkan
kemaslahatann bagi umatIslam Indonesia. KHI mengutip nyaris
sempuma seluruh pandanganpandanganfikih”purba”. KHI tidak
betul- betul merepresentasikan kebutuhan dan keperluanumat
Islam Indonesia, akibat tidak digali secara seksama dan
kearifan kearifan lokalmasyarakat Indonesia. Pendeknya, telah
tenjadi sak ralisasi fikih klasik yang kita yakinipara penulisnya
sendiri tidak menginginkan hal itu.Sejumlah pemikir Islam telah
menilal beberapa sisi ketidakrelevanan fikih -fikihkiasik itu, oleh
karena ia memang disusun dalam era, kultur dan imajinasi
sosial yang berbeda. Bahkan,
disinyalir bahwa fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari
sudut materialnya, melainkan juga bermasalah dari ranah
metodologisnya. Misalnya, per definisi fikih selalu dipahami
sebagai “mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang
diperoleh dari dalil-dalil tafshili, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah”.(al-
‘ilmu bi al ahkam alsyar’iyyah al- ‘amaliyyah al-muktasab min
adillatiha al- afshiliyyah). Mengacu pada ta’rif tersebut, kebenaran
fikih menjadi sangat normatif, sehingga kebenaran fikih bukan
dimatriks dari seberapa jauh ia memantulkan kemaslahatan bagi
umat manusia,melainkan pada seberapa jauh ia benar dari aspek
perujukannya pada aksara al-Qur’an
dan al-Sunnah. Metodolgi dan pandangan literalistik ini
belakangan terus mendapatkan pengukuhan dari kalangan Islam
fundamentalis-idealis. Mereka selalu berupaya untuk
menundukan realitas ke dalam kebenaran dogmatik nash, dengan
pengabaian yang nyaris sempurna terhadap kenyataan konkret di
lapangan. Bahkan seringkali terjadi, mereka telah melakukan
tindakan eisegese, yakni membawa masuk pikiran atau
ideologinya sendiri ke dalam nash, lalu menariknya keluar dan
mengklaimnya sebagai maksud Tuhan. Klaim keberanan ini sangat
berbahaya. Ia hanya akan membuat umat Islam menjadi semakin
eksklusif dalam tata pergaulan yang multireligius dan
multikultural. Telah terbukti, klaim-klaim seperti itu tidak memberikan
pengaruh positif apapun dalam usaha-usaha membangun
kehidupan bersama yang toleran dalam masyarakat yang
majemuk.
Kesalahan epistemologis semacam inilah yang menjadi utang
besar model literalistik. Untuk menghindari kegawatan itu, hal -hal
berikut perlu mendapatkan perhatian utama. Pertama,
mengungkapkan dan merevitalisasi kaidah ushul marginal yang tidak
terliput secara memadai dalam sejumlah kitab ushul fikih. Terus
terang, walau kerap muncul dalam kitab-kitab ushul fikih, kaidah -
kaidah berikut belum difungsikan secara optimal,seperti [1] al-‘ibrah
bi khushush al-sabab la bi umum al- lafadz.
Kaidah ini hendak mengatakan bahwa sebuah pemikiran atau
pernyataan selalu memiliki latar subjektifnya sendiri. Dengan
demikian, generalisasi dan idealisasi tanpa batas harus dihindari; [2]
takhshish bi al-‘aql wa takhshish bi al-‘urf. Bahwa akal dan tradisi
memiliki kewenangan untuk mentakhshish suatu nash agama; [3] al-
amr idza dlaqa ittasa’a. Ini penting direvitalisasi, karena umat Islam
over dosis memakai kaidah kebalikannya: al-amr idza
ittasa’adhaqa,dan sebagainya.
Kedua, sekiranya usaha pertama tidak lagi memadai untuk
menangani dan menyelesaikan problem-problem kemanusiaan,
maka upaya selanjutnya adalah membongkar bangunan paradigma
ushul fikih lama; [1] mengubah paradigma dari teosentrisme ke
antroposentrisme, dari elitis ke populis; [2] bergerak dari eisegese ke
exegese. Dengan exegese, para penafsir berusaha semaksimal
mungkin untuk menempatkan nash sebagai “objek” dan dirinya
sebagai “subjek” dalam suatu dialekta yang seimbang. [3]
Memfikihkan syari’at ataumerelatifkan syari’at. Syari’at harus
diposisikan sebagai jalan (wasilah, hajiyat) yang berguna bagi
tercapainya prinsipprinsip Islam (ghayat, dlaruriyat) berupa
keadilan, persamaan, kemaslahatan, penegakan HAM. Dus, shalat,
zakat, puasa, haji adalah wasilah dan bukan ghayah dlaruriyat. [4]
Kemaslahatan sebagai rujukan dari seluruh kerja penafsiran. [5]
Mengubah gaya berfikir deduktif ke induktif (istiqra’iy). Di sinilah letak
pentingnya KHI menimba sebanyak-banyaknya dari kearifan-
kearifan lokal (local wisdom, al- ‘urf).
Dari fondasi paradigmatik ini kita dapat merencanakan
beberapa kaidah ushul fikih alternatif, misalnya,
pertama, adalah kaidah al-‘ibrah bi al-maqashid la bi bi
alfadz.Kaidah ini berati bahwa yang mesti menjadi perhatian
seorang mujtahid didalam mengistinbatkan hukum dari al-Qur’an
dan al-Sunnah bukan huruf dan aksara al-Qur’an dan al-Hadits
melainkan dari maqashid yang dikandungnya. Yang menjadi aksis
adalah cita-cita etikmoral dari sebuah ayat dan bukan legislasi
spesifik atau formulasi literalnya. Nah, untuk mengetahui maqashid
ini maka seorang dituntut untuk memahami konteks. Yang
dimaksudkan bukan hanya konteks personal yang juz’iy- partikular
melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal.
Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekedar ilmu sabab al-
nuzul dalam pengertian klasik itu merupakan pasyarat utama untuk
menemukan maqashid al-syari’ah.
Kedua, adalah kaidah jawaz naskh al-nushush bi al-maslahah.
Bahwa menganulir ketentuan-ketentuan ajaran dengan
menggunakan logika kemaslahatan adalah diperbolehkan. Kaidah
ini sengaja ditetapkan, oleh karena syari’at (hukum) Islam
memang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan
universal (jalb almashalih), dan menolak segala bentuk
kemafsadatan (dar’u al-mafasid). Ibnu alQayyim al-jauziyah,
seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, menyimpulk an bahwa
syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-
tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan,
keadilan, kerahmatan,dan kebijaksanaan (al hikmah). Prinsip-
prinsip ini haruslah menjadi dasar dan substansi dari seluruh
persoalan hukum. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para
ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan
terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita- cita hukum
Islam.
Ketiga, adalah kaidah tanqih al nuhush bi al-‘aql al-
mujtama’.Kaidah ini hendak mengatakan bahwa alak publik
memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen
sejumlah ketentuan “dogmatik” agama menyangkut perkara-
perkara publik. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal
publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik
berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan
memodifikasinya. Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika
berhadapan dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat poligami, nikah
beda agama, iddah, waris beda agama, dan sebagainya. Ayat- ayat
tersebut dalam konteks sekarang, alih-alih bisa menyelesaikan
masalah - masalah kemanusiaan, yang terjadi bisa-bisa merupakan
bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur
tanqih yang berupa taqyid bi al-‘aql, takshish bi al-‘aql, dan tabyin bi
al-‘aql.
f. Menyusun Visi KHI Indonesia
Bertolak dari beberapa problem di atas, maka ke depan KHI
diharapkan dapat mencerminkan visi dan landasan berikut:
1. Pluralisme (Al-Ta`addudiyyah)
Tak terbantahkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat
plural. Pluralitas ini terjadi bukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya,
dan bahasa melainkan juga agama. Sehingga, kemajemukan di
Indonesia tidak mungkin bisa dihindari.Keberagaman telah
menyusup dan menyangkut dalam pelbagai ruang kehidupan. Tidak
saja dalam ruang lingkup keluarga besar seperti masyarakat negara,
bahkan dalam lingkup keluarga, pluralitas juga bisa berlangsung.
Setiap orang senantiasa berbeda dalam dunia pluralitas.
Menghadapi pluralitas tersebut, yang dibutuhkan tentu saja bukan
pada bagaimana menjauhkan diri dari kenyataan pluralisme
tersebut, tetapi pada bagaimana cara dan mekanisme yang bisa
diambil di dalam menyikapi pluralitas itu. Sikap antipati terhadap
pluralitas, di samping bukan merupakan tindakan yang cukup tepat,
juga akan berdampak kontra-produktif bagi tatanan kehidupan
manusia yang damai.
2. Nasionalitas (Muwathanah)
Telah maklum bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia
dibangunmbukan oleh satu komunitas agama saja. Indonesia
merekrut anggotanya bukan didasarkan pada kriteria keagamaan,
tetapi pada nasionalitas. Dengan perkataan lain, yang
menemalikan seluruh warga negara Indonesia bukanlah basis
keagamaan, melainkan basis nasionalitas (muwathanah).
Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil jerih payah seluruh warga
bangsa, bukan hanya masyarakat Islam melaikan juga non Islam,
bukan hanya masyarakat Jawa melainkan juga masyarakat luar
Jawa. Dengan nalar demikian, Indonesia tidak mengenal adanya
warga negara kelas dua. Umat non-Islam Indonesia tidak bisa
dikat akan sebagai dzimmi atau ahl aldzimmah dalam pengertian
fikih politik Islam klasik. Oleh karena itu, menjadikan nasionalitas
sebagai aksis atau poros dalam perumusan hukum Islam khas
Indonesia adalah niscaya. Artinya, kenyataan nasionalitas
Indonesia mestinya merupakan batu pijak dari hukum Islam. Ini
pentig dilakukan. Sebab, sebagai agama mayoritas, Islam (dan
segala urusan yang berkaitan dengannya) tidak pernah menjadi
urusan umat Islam sendiri. Apa yang terjadi pada Islam dan
umatnya kerap membawa dampak yang besar buat orang lain (al-
akhar). Tentu, upaya ini tidak gampang dilakukan di tengah
kecenderungan untuk menghidupkan secara terus-menerus hukum
(fikih) Islam klasik. Akan tetapi,tetaplah harus diupayakan bahwa
realitas pluralisme merupakan faktor determinan di dalam
memformat hukum Islam Indonesia. Penafsiran terhadap realitas
tersebut hanya akan menyebabkan hukum Islam yang dibentuk akan
mengalami “miskram” atau keguguran sejak awal.
3. Penegakan HAM (Iqamat al-Huquq al-Insaniyyah).Hak asasi
manusia diamksudkan sebagai hak-haHak asasi manusia
diamksudkan sebagai hak-hak yang dimiliki manusia karena
erberikan kepadanya. Hak asasi mengungkapkan segi -segi
kemanusiaan yang perlu dilindungi dan dijamin dalam rangka
memartabatkan dan menghormati eksistensi manusia secara
utuh. Oleh karena manusia dengan martabanya merupakan
ciptaan Allah, maka dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia
dimiliki manusia karena diberikan oleh Allah sendiri. Dengan
demikian, hak asasi manusia secara otomatis akan dimiliki oleh
setiap insan yang lahir di bumi ini. Islam adalah agama yang
memiliki komitmen dan perhatian cukup kuat bagi tegaknya hak
asasi manusia di tengah masyarakat. Dalam sejarahnya yang awal,
Islam hadir justru untuk menegakkan hak asasi manuisa,
terutama hak kaum mustadh ‘afin, yang banyak dirampas oleh
penguasa. Misalnya, Islam datang untuk mengembalikan hak-hak
kaum perempuan, para budak, dan kaum miskin. Mereka inilah
kelompok- kelompok yang rentan kehilangan haknya yang
paling asasi sekalipun. Dalam Islam, ada sejulah hak asasi manusia
yang harus diusahakan sepenuhnya, baik oleh diri sendiri maupun
negara. Masing-masing adalah hak hidup (hifdz al-nafsaw al-hayat),
hak kebebasan beragama (hifdz al-din), hak kebebasan berfikir
(hifdz al-‘aql), hakp roperti (hifdz al-mal) hak untuk mempertahankan
nama baik (hifdz al-‘irdh), dan hak untuk memiliki garis keturunan
(hifdz al -nasl). Menurut al-Ghazali, pada komitmen untuk
melindungi hak-hak kemanusiaan inilah, eluruh ketentuan hukum
dalam Islam diacukan.
4. Demokratis
Demokrasi sebagai sebuah gagasan yang percaya pada
prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan manusia untuk
mengambil keputusan menyangkut urusan publik, secara mendasar
bisa dikatakan paralel dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Artinya, pada dataran prinsipil tersebut antara Islam dan demokrasi
tidaklah bertentangan.
Sejumlah konsep ajaran Islam yang dipandang sejalan dengan
prinsip demokrasi adalah; pertama, al-musawah (egalitarianism).
Bahwa manusia memiliki derajat dan posisi yang setara di hadapan
Allah. Kedua, al- hurriyah (kemerdekaan). Ketiga, alukkhuwwah
(persaudaraan). Keempat, al- ‘adalah (keadilan) yang berintikan
pada pemenuhan hak asasi manusia, baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat-negara. Kelima, al- syura
(musyawarah). Bahwa setiap wargamasyarakat memiliki hak
untuk ikut berpartisipasi di dalam urusan publik yang menyangkut
kepentingan bersama. Kiranya mekanisme penyusunan sebuah
komplasi hukum Islam harus bersendikan kelima pokok ajaran
tersebut.
5. Kemaslahatan (Al-Mashlahat)
Sesungguhnya syari’at (hukum) Islam tidak memiliki tujuan
lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan
universal (jalbal-mashalih) dan menolak segala bentuk
kemafsadatan (dar’u al-mafasid). Ibn al-Qayyim al-Jawziyah,
seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, menyimpulkan bahwa
syari’at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-
tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan (al-
mashlahat), keadilan (al-‘adl), kerahmatan (al-rahmat), dan
kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar
dan substansi dari seluruh persoalan hukum Islam. Ia harus
senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan
suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip -prinsip ni
berarti menyalahi cita-cita hukum Islam. Persoalannya, jika acuan
hukum adalah kemaslahatan, maka siapa yang berhak
mendefinisikan dan yang memiliki otoritas untuk mermuskannya.
Untuk menjawabnya, perlu kiranya dibedakan antara
kemaslahatan yang bersifat individual- subjektif dan kemaslahatan
yang bersifat sosial-objektif. Yang pertama adalah kemaslahatan
yang menyangkut kepentingan orang perorang yang terpisah
dengan kepentingan orang lain. Tentu saja sebagai penentu
kemaslahatan
pertama ini adalah yang bersangkutan itu sendiri, seperti
dalam kasu s poligami (perempuanlah penentu kemaslahatan dan
keadilan). Sedangkan jenis kemaslahatan kedua adalah
kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Dalam hal ini, otoritas yang memberikan penilaian adalah orang
banyak juga melalui mekanisme syura untukmencapai konsensus
(ijma’). Dan sesuatu yang telah menjadi konsensus dari proses
pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah hukum tertinggi
yang mengikat kita. Di sinilah
pemecahan masalah bersama cukup menentukan. A Qur’an
mengatakan, urusanmereka dimusyawarahkan (dibicarakan dan
diputuskan) bersama di antara mereka sendiri. (Q.S. al-Syura, 38)
Sesungguhnya syari’at (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain
kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal
(jalb al- mashalih)dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar’u
al-mafasid). Ibn Qayyim al-Jawziyah, seorang tokoh Islam
bermadzhab Hanbali, menyimpulkan bahwa syari’at Islam
dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan
kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan (al-
mashlahat), keadilan (al-‘adl), kerahmatan (al-rahmat), dan
kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar
dan substansi dari seluruh persoalan hukum Islam. Ia harus
senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan
suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip -prinsip ini
berarti menyalahi cita-cita hukum Islam. Persoalannya, jika acuan
hukum adalah kemaslahatan, maka siapa yang berhak
mendefinisikan dan yang memiliki otoritas untuk mermuskannya.
Untuk menjawabnya, perlu kiranya dibedakan antara kemaslahatan
yang bersifatndividual- subjektif dan kemaslahatan yang bersifat
sosial-objektif. Yang pertama
adalah kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang perorang
yang terpisah dengan kepentingan orang lain. Tentu saja sebagai
penentu kemaslahatan pertama ini adalah yang bersangkutan itu
sendiri, seperti dalam kasus poligami
(perempuanlah penentu kemaslahatan dan keadilan).
Sedangkan jenis kemaslahatan kedua adalah kemaslahatan yang
menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, otoritas
yang memberikan penilaian adalah orang banyak juga melalui
mekanisme syura untukmencapai konsensus (ijma’). Dan sesuatu
yang telah menjadi konsensus dari proses pendefinisian
maslahat melalui musyawarah itulah hukum tertinggi yang mengikat
kita. Di sinilah pemecahan masalah bersama cukup menentukan. Al-
Qur’an mengatakan, urusan mereka dimusyawarahkan (dibicarakan
dan diputuskan) bersama di antara mereka sendiri. (Q.S. al-Syura,
38).
6. Kesetaraan Gender (Al-`Musawah Al-Jinsiyyah)
Gender dan seks merupakan dua entitas yang berbeda.
Jikagendersecaraumumdigunakanuntuk mengidentitikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya, maka
seks secara umum dipakai untuk mengidentifikasi perbedaan laki-
laki dan perempuan dari segi anatomi biologis. Artinya, gender
bukan kategoribiologis yang berkaitan dengan hitungan kromosom,
pola genetik, struktur genital, melainkan merupakan konsrtuksi sosial
dan budaya. Sementara seks merupakan kodrat Tuhan bersifat
permanen. Erbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan
tidak ada yang perlu dipersoalkan. Tidak mengapa bahwa karena
kodratnya, perempuan harus melahirkan, menyusui, mengasuh
anak, dan lain sebagainya. Problem baru muncul tatkala perbedaan
jenis kelamin tersebut melahirkan ketidakadilan perlakuan
sosialantara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan diposi
sika sebagai makhluk yang hanya boleh bekerja dalam dunia
domestik dan tidak dalam dunia publik karena dunia publik
merupakan area khusus bagi laki-laki.Perempuan tidak memiliki
kewenangan untuk menjadi pemimpin di tingkat keluarga maupun
masyarakat. Disinilah letak pentingnya memisahkan seks dan
gender secara proposional. Dari
sudut gender, relasi antara laki-laki dan perempuan mesti diletakkan
dalam konteks kesetaraan dan keadilan. Sebab, ketidakadilan
gender di samping bertentangan
dengan spirit Islam, juga hanya akan memarginalkan dan
mendehumanisasi perempuan.
Islam dengan sangat tegas telah mengatakan bahwa laki
dan perempuan memiliki derajat yang sama. Yang membedakan
di antara meraka hanyalah kadar ketakwaannya saja. Al-Qur’an
tidak menekankan superioritas dan inferioritas atas dasar jenis
kelamin. Hukum Islam mutlak memegangi prinsip ini, sebab
kesetaraan gender merupakan unit inti dalam relasi keadilan
sosial. Tanpa kesetaraan gender tidak mungkin keadilan sosial
dapat tercipta. Di sinilah, persoalan konstruksi sosial hukum Islam
karena hukum Islam yang kita pahami, yakini, dan amalkan sehari -
hari dilahirkan oleh masyarakat dan budaya patriarkhis di mana
laki-laki selalu menjadi pusat kuasa, dan misoginis (kebencian
terhadap perempuan) sering dianggap wajar dalam penafsiran.
Adalah benar belaka bahwa merekonstruksi hukum Islam (fiqh)
dewasa ini tidak cukup sekedar melakukan tafsir ulang, tetapi harus
melalui proses dekonstruksi (pembongkaran) terhadap kebatuan
ideologi yang melilitnya berabad abad
MATERI IV
KONSEP SEKS, GENDER DAN SEKSUALITAS
Kalau kita mengucapkan kata “seks” di ruang publik, pasti
puluhan sampai ratusan mata langsung mendelik dan berpikir kalau
kita sedang mempromosikan hal - hal yang cabul. Lain soal kalau
yang digunakan adalah kata “gender”. Orang-orang cenderung
lebih mewajarkannya, bahkan sebagian menganggap bahwa gender
ini adalah bahasa “halus” dari seks. Pemahaman yang super salah
kaprah ini adalah buah dari reproduksi pengetahuan yang buruk dan
setengah-setengah mengenai seksualitas maupun gender manusia.
Padahal seks tidak bisa dimaknai sesempit perilaku seksual,
dan gender tidak bisa disamakan dengan jenis kelamin atau
bawaan biologis manusia. Baik seks maupun gender memiliki
lapisan yang luar biasa kompleks dan sesungguhnya tidak bisa
dikotakkotakan dengan label mana yang benar dan mana yang
salah.Untuk memahami kajian gender dan seksualitas ini, dikenal lah
istilah SOGIE-SC, singkatan dari sexual orientation, gender identity
and expression, and sex characteristic, sebagai komponen-
komponen dasar yang perlu dipahami untuk bisa memaknai gender
dan seksualitas sebagai dua hal yang berbeda, tapi berkaitan.
A. Seksualitas
Secara garis besar, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
seksualitas merupakan aspek hidup manusia yang mencakup seks,
identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan,
keintiman dan reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan
dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku,
kebiasaan, peran dan relasi. Seksualitas ini dialami dan
diekspresikan dalam pikiran, fan tasi, hasrat, kepercayaan, sikap,
nilai, perilaku, kebiasaan, peran dan relasi. Meskipun seksualitas
bisa mencakup semua dimensi ini, tidak semuanya selalu dialami
atau diekspresikan. Seksualitas seseorang terbentuk karena
pengaruh banyak hal, terutama interaksi faktor biologis, psikologis,
sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, sejarah, agama, spiritual
dan sebagainya
B. Karakteristik Seks
Karakteristik seks adalah karakter biologis yang melekat pada
diri setiap manusia. Penekanannya ada pada berbedaan struktur
kromosom, hormon, serta alat kelamin (genitalia) dan organ
reproduksi. Secara garis besar, jenisnya ada perempuan, laki -laki
dan interseks. Yang kerap menuai stigma dan perdebatan adalah
interseks.Interseks adalah kondisi individu yang memiliki
karakteristik seks yang berbeda dengan kategorisasi medis yang
konvensional, yaitu tubuh betina (perempuan) dan tubuh jantan (laki
-laki). Interseks berbeda dengan hermafrodit atau kondisi kelamin
ganda. Sejak lahir pun manusia tidakotomatis menjadi identik
laki-laki ataupun identik perempuan. Misalnya, ada orang
yangmemiliki vagina, tapi tidak punya rahim. Ada juga orang
yang hormonnya tidak identik dengan hormon perempuan ataupun
hormon laki-laki. Ada pula yang alat kelaminnya secara eksplisit
terlihat seperti mikropenis, yang terlihat terlalu kecil untuk dibilang
penis, tapi terlalu membengkak untuk dibilang klitoris.Kemudian
ada transeksual, istilah untuk kondisi individu transgender yang
memutuskan melakukan tindakan medis, seperti terapi sulih hormon
dan operasi penegasan kelamin, untuk mendapatkan gambaran
tubuh dan karakteristik seks yang dibutuhkannya
C. Gender
Sementara itu, gender merujuk pada keragaman peran,
fungsi, dan identitas yang merupakan hasil konstruksi sosial atau
bentukan masyarakat. Pemaknaanfungsi gender itu sangat
kontekstual, bisa berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya,
juga satu budaya dengan budaya lainnya. Pembahasan mengenai
gender biasanya melekat dengan kualitas sifat "maskulin dan
feminin. “Seksualitas manusia adalah hal yang sungguh kompleks,
dan penyematan istilah-istilah tertentu merupakan alat yang
digunakan manusia untuk memersepsikan realitas yang kompleks.
” Akademisi dan pegiat isu gender dan seksualitas, pemaknaan
masyarakat terhadap gender masih mengandung bias-bias tertentu.
Sebagai hasil konstruksi sosial, tak ada hal yang salahmaupun
yang benar dalam gender. “Dari pertanyaan apa yang terlintas di
benakmu ketika mendengar kata perempuan?’, sebagian besar
menjawab ‘dilindungi’. Padahal perempuan bisa melindungi dan
dilindungi. Lalu pertanyaan mengenai identitas ibu, itu melekatnya
di perempuan, sementara identitas ayah di laki -laki. Padahal
kalau seseorang menjadi orang tua tunggal, dia harus jadi ibu
sekaligus ayah”
D. Identitas Gender
Identitas gender adalah apa dan bagaimana seseorang
mengidentifikasikan dirinya, sebagai perempuan, laki-laki, atau
yang lainnya. Identitas gender bersifat subjektif dan didasari
pada perasaan yang sangat personal, tergantung penghayatan
masing-masing individu. Oleh karena itu, ragamnya sangat banyak.
Bisa puluhan bahkan ratusan.
Identitas gender seseorang bisa sama atau berbeda dengan
gender yang ditetapkan untuknya saat dia lahir. Ketika identitas
gender seseorang sama dengan gender/seks yang ditetapkan
kepadanya sejak lahir, maka ia disebut sebagai cisgender.
Sementara ketikait identitas gender seseorang berbeda dengan
gender/seks yang ditetapkan kepadanya saat lahir, maka ia disebut
dengan transgender.
E. Ekspresi Gender
Cara seseorang menampilkan identitas gender dirinya melalui
penampilan fisik dan/atau perilaku saat berinteraksi dengan orang
lain disebut dengan ekspresi gender. Seseorang dapat
menampilkan dirinya sebagai feminin, maskulin, androgin (memiliki
karakter feminin dan maskulin yang seimbang dalam waktu
bersamaan), atau lainnya.“Enggak ada pakemnya perempuan harus
begini, laki -laki harus begitu. Realitas yang ada, kita punya seks
dan gender yang konstelasinya sangat cair dan
blur.Setiaporangjugapunyasisifeminindansisimaskulin,”ujarAyu.
Dalam Modul Pendidikan Dasar SOGIESC, tertulis bahwa
situasi penerimaan lingkungan, termasuk ketersediaan ruang
aman dan nyaman, mempengaruhi keputusan seseorang untuk
menampilkan dirinya. Namun, semakin banyak juga individu
yang menggunakan ekspresi gender sebagai bentuk perlawanan
F. Orientasi Seksual
Orientasi seksual adalah ketertarikan manusia terhadap manusia
lain yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual.
Orientasi seksual bersifat sangat personal. Sejauh ini
masyarakat belum banyak mengenal keragaman orientasi sek
sual selain heteroseksual. Situasi lingkungan, termasuk di
antaranya ketersediaan ruang aman dan nyaman mempengaruhi
pilihan seseorang untuk menyatakannya orientasi seksualnya atau
tidak. Ketertarikan secara seksual erat kaitannya dengan perilaku
seksual. Perilaku seksual merupakan segala aktivitas manusia,
baik sendiri maupun melibatkan orang lain yang didorong oleh
hasrat seksual, yang umumnya dilakukan untuk mencapai kepuasan
seksual.
Bila dilakukan dengan orang lain, harus melalui kesepakatan
yang dibuat secara sadar, sukarela dan tanpa paksaan.Namun, kita
tidak bisa mengidentifikasikan orientasi seksual seseorang sebatas
dari dengan siapa dia berhubungan seksual. Ketertarikan seksual
atau bagaimana seseorang ingin mengekspresikan hasrat
seksualnya, bisa berbeda dengan orientasi seksual orang tersebut.
Misalnya, ada orang-orang yang memiliki orientasi seksual dan
menikah secara heteroseksual, tapi memiliki hasrat seksual terhadap
orang dengan seks/gender yang sama dengan dirinya. Ada juga
mereka yang memiliki orientasi seksual sebagai homoseksual,
namun memilih untuk menikah dan berhubungan seksual secara
heteroseksual.Identitas gender dan orientasi seksual adalah dua hal
yang berbeda, dan keduanya sangat subjektif tergantung pada
penghayatan pribadi. Seiring waktu, lahir pula istilah-istilah lain
dalam pembahasan mengenai orientasi seksual manusia.
Panseksual, misalnya, yaitu ketertarikan emosi, romantis, dan/atau
seksual manusia terhadap manusia lain tanpa memandang
gender atau seksnya. Kemudian ada aseksual, atau tidak adanya
ketertarikan seksual seseorang pada manusia lainnya. Mengenai
hal ini bahwa seksualitas manusia adalah hal yang sungguh
kompleks, dan penyematan istilah-istilah tertentu merupakan alat
yang digunakan manusia untuk memersepsikan realitas yang
kompleks.
Apa orientasi seksual bisa berubah? Ada sebagian kelompok di
dunia psikologi yang masih bersikeras bahwa orientasi seksual ini
bersifat biologis dan hormonal, sehingga tidak bisa berubah ataupun
diubah. Tapi secara global, perdebatan ini sebenarnya sudah
selesai dengan kesimpulan bahwa seksualitas terbentuk atas
banyak faktor interaksi, baik itu biologis, psikologis, lingkungan
sosial, dan sebagainya. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa
orientasi seksual hanya dibentuk oleh faktor genetik ataupun pilihan
seseorang.
Di masyarakat hari ini, ada banyak sekali stigma yang meliputi
orang-orang dengan orientasi seksual selain heteroseksual. Salah
satu yang paling banyak melekat adalah stigma bahwa orang-
orang gay (laki-laki homoseksual) pasti pernah mengalami
kekerasan di masa kecilnya, terutama kekerasan seksual. Namun
tidak ada penyebab spesifik yang menyebabkan seseorang
menjadi homoseksual, termasuk dinamika keluarga dan
kekerasan seksual. Hal itu juga berlaku bagi orangorang yang
heteroseksual. Dia bisa menjadi seorang heteroseksual karena
interaksi dengan berbagai faktor di hidupnya. Hanya saja, orang-
orang heteroseksual memang tidak pernah coming out sebagai
heteroseksual, kecuali ketika dia dituduh
homoseksual.Pertanyaannya, apakah orientasi seksual orang itu
akhirnya berubah? Tidak. Apakah
perilaku seksualnya berubah? Sebagian ya, sebagian tidak.
Ada orang-orang tertentu yang jadi tidak mau berhubungan seksual
karena trauma. Yang jelas, bahkan intervensi psikologis pun tidak
terbukti berhasil mengubah orientasi seksual seseorang.
SOGIESC adalah konsep pemahaman mengenai ketubuhan,
orientasi seksual, dan gender, yang dibuat agar dapat membuka
pemikiran masyarakat secara lebih luas, konsep ini berlatar
belakang pada banyaknya pelanggar an - pelanggaran HAM
yang terjadi, dikarenakan masyarakat masih belum menerima
keberagaman, baik itu keberagaman gender, maupun orientasi
seksual. Banyaknya kasus "DISKRIMINASI, PERSEKUSI bahkan
KEKERASAN" yang menyerang pada seseorang yang memiliki
orientasi seksual yang berbeda,konstruksibudayajuga
mempengaruhi masyarakat memiliki pemikiran yang sempit,
terutama pemahaman mengenai "HETERONORMATIVE",
pemahaman ini mengandung makna bahwa "seseorang dianggap
normal, jika memiliki orientasi seksual "heterosexual", pola - pola
pemahaman ini tentunya berasal dari penanaman mengenai
"PATRIARKI", hal ini yang menyebabkan keberagaman menjadi
terabaikan Nah apa sih kepanjangan dari SOGIESC itu ?
SO (sexual orientation), yang artinya ketertarikan baik secara
fisik, emosional, romantisme, dan atau seksual pada jenis kelamin
tertentu.
1. Heterosexual (artinya ketertarikan baik secara fisik, emosional,
romantisme,dan atau seksual pada jenis kelamin yang berbeda )
2. Homosexual (artinya ketertarikan baik secara fisik, emosional,
romantisme, dan atau seksual pada jenis kelamin yang sama : GAY
(artinya ketertarikan baik secara fisik, emosional, romantisme, dan
atau seksual pada sesama laki - laki), dan LESBIAN (artinya
ketertarikan baik secara fisik, emosional, romantisme, dan atau
seksual pada sesama perempuan)
3. Asexual (artinya seseorang yang tidak memiliki ketertarikan, tetapi
itu tidak memungkiri bahwa seorang yang asexual, bisa saja memiliki
ketertarikan secara fisik saja atau emosi saja atau bahkan sexual
saja, tidak ada patokan yang resmI karena berbicara mengenai
otoritas seseorang itu sendiri.
4. Bisexual (artinya ketertarikan baik secara fisik, emosional,
romantisme dan atau seksual pada laki-laki dan perempuan)
5. Pansexual (artinya ketertarikan baik secara fisik, emosional,
romantisme, dan atau seksual yang tidak memandang identitas
gender, maupun jenis kelamin apappun, seorang yang
pansexual, dapat memiliki ketertarikan dengan sesama laki -laki,
sesama perempuan, maupun keduanya, kepada Transgender,
maupun Intersex )
6. Demisexual (artinya ketertarikan baik secara fisik emosional,
romantisme, dan atau seksual yang tidak memandang identitas
gender, maupun jenis kelamin apapun, akan tetapi melibatkan emosi
yang sangat kuat dan membutuhkan waktu ya ng lama untuk
membangun hubungan emosional dengan seorang demisexual)
GI (gender identity) mengenai bagaimana seseorang
mengidentifikasikan dirinya terhadap suatu gender tertentu, perlu
dicatat bahwa ini adalah otoritas setiap orang, kita tidak bisa men
judge seorang yang fisiknya nampak seperti laki - laki, akan tetapi
dia ingin mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan, ataupun
sebaliknya, dan ada juga seorang yang mengidentifikasikan dirinya
sebagai transgender, dan ada juga seseorang yang tidak ingin
mengidentifikasikan dirinya baik sebagai laki-laki perempuan,
maupun transgender yang seringkali disebut sebagai "QUEER"
E (expression) mengenai bagaimana seseorang
mengekspresikan dirinya Androgini (perlu dicatat bahwa seorang
yang memiliki ekspresi androgyn tidak ada patokan mengenai
persentase berapa banyak dia ingin berekspresi masculine
ataupun feminim, karena seringkali seseorang, mengklasifikasikan
orang androgyn adalah dia yang 50% masculine dan 50% feminim,
balik lagi otoritas tubuh setiap orang itu adalah hak masing -
masing orang)
SC (sex characteristic) berbicara mengenai karakteristik sexual
setiap orang, hal ini berkaitan dengan kromosom, gonad dan
biologi setiap orang. point yang terakhir ini lebih
ditujukan kepada intersex, kenapa? Karena biasanya seorang
dokter akan langsung menentukan gendernya dengan
karakteristik kelaminnya, seperti panjang clitoris akan tetapi
mengesampingkan jumlah kromosom, gonad dll. Ini akan berdampak
pada anak jika anak itu sudah memasuki usia dewasa, dimana dia
yang seharusnya laki - laki, akan tetapi karena kesalahan operasi,
dapat saja menunjukkan tanda - tanda nya bahkan ketika dia baru
mulai memasuki usia remaja, dimana bisa saja tumbuh
payudara, dan mengalami menstruasi. ketidak tahuan mengenai
karakteristik seksual, akan sangat berdampak pada intersex. Nah
biasanya di luar negeri, mereka yang intersex dapat menentukan
sendiri, jenis kelamin yang di inginkannya, tentu saja yang sesuai
dengan karakteristik seksualnya Perlu dicatat, kenapa selalu saja
ada perkataan "OTORITAS SESEORANG"?yakarena ini berbicara
mengenai hak tiap orang, dan kita harus menghormati bukan
mendiskriminasi dengan stigma-stigma negatif yang belum tentu
benar, karena stigma itu lahir juga dari konstruksi budaya
dimasyarakat.
KONKLUSI
Dengan demikian kita dapat mengenal apa LGBTIQ itu. LGBTIQ
merupakan singkatan dari Lesbian,Gay, Biseksual,
Transgender,Transseksual,Intersex,Queer,dan Questioning. Penting
untuk ditekankan bahwa keragaman identitas seksual dan
gender bukanlah sesuatu yang salah dari segi kesehatan. Sejak
tahun 1990-an, World Health Organization (WHO) telah
mencabut homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa.
Kementrian Kesehatan RI pun mengikuti hal tersebut dengan
dicabut dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa (PPDGJ). Dengan demikian homoseksualitas merupakan
varian biasa dari seksualitas manusia.
Hanya saja memang dalam masyarakat kita, heteronormativitas
masih diyakini sebagai sesuatu yang paling benar. Misalnya saja,
ketika seorang bayi ber jenis kelamin laki-laki lahir, ia diharapkan
kelak menjadi laki -laki yang maskulin dan tertarik kepada
perempuan. Begitu pula ketika seorang bayi berjenis kelamin
perempuan lahir, ia diharapkan kelak menjadi perempuan yang
feminin dan tertarik kepada laki-laki. Bagaimana dengan bayi yang
lahir dengan identifikasi jenis kelamin yang tidak jelas (padahal
interseks)? Akan menjadi masalah tersendiri. Bagaimana jika anak
laki-laki itu kemudian menyukai sesama laki-laki, atau anak
perempuan itu kemudian lebih nya man dengan sifat maskulin?
Inilah sebabnya mengapa ketika manusia lahir, pada dasarnya
yang dapat kita identifikasi adalah jenis kelaminnya. Seksnya. Kita
tidak dapat memastikan, dan bahkan tak berhak menentukan,
orientasi seksualnya maupun identitas gendernya. Adalah
merupakan hak bagi setiap orang untuk menentukan identitas
gender dan seksualnya, dan konsep ini perlu dipahami secara
komprehensif dalam lingkup pemenuhan hak asasi manusia.
G. Peran Gender
Peran Gender adalah perilaku yang dipelajari di dalam suatu
masyarakat/komunitas yang dikondisikan bahwa kegiatan, tugas-
tugas atau tanggung jawab patut diterima baik oleh laki-laki maupun
perempuan. Peran gender dapat berubah, dan dipengaruhi oleh
umur, kelas, ras, etnik, agama dan lingkungan geografi,
ekonomi dan politik. Baik perempuan maupun laki-laki memiliki
peran ganda di dalam masyarakat. Perempuan kerap mempunyai
peran dalam mengatur reproduksi, produksi dan kemasyarakatan.
Laki -laki lebih terfokus pada produksi dan politik kemasyarakatan.
Peran Produksi kegiatan yang dilakukan baik oleh laki-laki dan
perempuan agar supaya menghasilkan barang dan layanan untuk
diperdagangkan, dipertukarkan atau memenuhi nafkah bagi
keluarga. Sebagai contoh di pertanian kegiatan produksi termasuk
penanaman, penyiangan, peternakan. Peran Reproduksi aktivitas
untuk menjamin reproduksi angkatan kerja. Hal ini termasuk
pembatasananak penjarangan anak, perawatan terhadap anggota
keluarga seperti orang tua, anak-anak dan pekerja. Tugas-tugas
tersebut umumnya tidak mendapatkan upah dan kebanyakan
dilakukan oleh perempuan. Peran Masyarakat kegiatan-kegiatan
yang dilakukan di tingkat masyarakat untukmenjamin ketersediaan
dan pengelolaan sumberdaya yang terbatas seperti air, perawatan
kesehatan dan pendidikan. Pekerjaan ini biasanya tidak dibayar dan
kebanyakan dilakukan oleh perempuan.
Peran Politik Perempuan kegiatan-kegiatan di tingkat
masyarakat, mengorganisir di tingkatan formal politik, sering kali
dalam kerangka kerja politik nasional. Pekerjaan ini biasanya
dilakukan oleh pria, dan biasanya dibayar secara langsung
(uang) atau tidak langsung (meningkatnya kekuasaan dan status).
Beban Ganda merujuk kepada kenyataan bahwa perempuan
cenderung bekerja lebih lama dan lebih sedikit harinya dibandingkan
laki -laki sebagaimana biasanya mereka terlibat dalam tiga peran
gender yang berbeda-reproduksi, produksi dan dan peran di
masyarakat. Gender hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan. Gender merujuk pada hubungan antara laki-laki dan
perempuan, anak laki -laki dan anak perempuan, dan bagaimana
hubungan sosial ini dikonstruksikan. Peran gender bersifat dinamis
dan berubah antar waktu.
Kesetaraan Gender hasil dari ketiadaan diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin atas dasar kesempatan, alokasi sumber
daya atau manfaat dan akses terhadap pelayanan.
Pengarusutamaan Gender proses untukmenjamin perempuan
dan laki-laki mempunyai aksesdan kontrol terhadap sumber daya,
memperoleh manfaat pembangunan dan pengambilan keputusan
yang sama di semua tahapan proses pembangunan dan seluruh
proyek, program dan kebijakan pemerintah.
Kesadaran Gender suatu pengertian bahwa ada faktor-faktor
sosial yang menentukan antara laki-laki dan perempuan atas dasar
tingkah laku, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk
mengakses dan mengontrol sumber daya. Kesadaran ini
membutuhkan penerapan melalui analisa gender menjadi proyek,
program dan kegiatan Analisa Gender metodologi untuk
pengumpulan dan pengolahan informasi tentang gender. Analisa
gender membutuhkan data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan
suatu pengertian dari konstruksi sosial dari peran gender,
bagaimana pembagian kerja dan dinilai.
Analisa gender adalah proses dari analisa informasi agar
supaya menjamin manfaat dan sumberdaya pembangunan secara
efektif dan adil ditujukan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Analisa Gender digunakan juga untuk mengantisipasi dan menolak
akibat negatif dari pembangunan yang mungkin terjadi pada
perempuan atau karena relasi gender.
Analisa gender dilakukan menggunakan bermacam alat dan
kerangka kerja. Perencanaan Gender Perencanaan Gender (atau
Perencanaan yang sensititif Gender) adalah proses dari
perencanaan program-program dan proyekproyek pembangunan
yang sensitif gender dan dimana mempertimbangkan impact dari
peran gender dan kebutuhan gender dari laki-laki dan perempuan di
dalam sasaran masyarakat atau sektor.
H. Gender Multiprespektif
1. Media Sosial
Mengapa perempuan harus hadir di media sosial? Pertama,
banyak narasi yang melemahkan perempuan muncul di media
sosial dalam bentuk konten, meme, atau tulisan. Meski kadang
menimbulkan rasa kesal, tetapi tidak harus dilawan dengan kontra
narasi, atau disikapi dengan marah -marah. Namunbagaimana
menghadirkan narasi alternatif yang memberi kesan positif dan baik
bagi
perempuan, tanpa harus memusuhi mereka yang berbeda. Misal
jika ada narasi yang mengatakan bahwa perempuan sholihah itu di
rumah, dan tidak boleh bekerja karena surga perempuan ada di
dalam rumah. Maka, kita hadirkan perempuan bekerja juga
merupakan istri sholihah, di mana ia bisa membagi waktu,
membangun relasi dan komunikasi yang baik dengan pasangan,
serta tetap dicintai oleh keluarga. Surga perempuan berada
dimanapun ia bisa memberi manfaat bagi sekitarnya.
Kedua, lima pengalaman biologis (menstruasi, hamil,
melahirkan, nifas dan menyusui) dan sosiologis perempuan
(subordinasi, streotype, marjinalisasi, bebanganda dan kekerasan
berbasis gender) penting untuk dihadirkan dalam setiap kebijakan
apapun di negara ini, dari level desa hingga ke nasional.
Maka, melalui suara perempuanlah, yang kadang dianggap bising,
berisik, tetapi lebih sering pula kita temui sunyi dan diam perempuan
para penyintas, adalah potret kemajuan suatu negeri. Ibu yang
bahagia, istri yang sejahtera, anak-anak perempuan yang
diperlakukan secara adil dan setara, dengan cucuran banyak cinta
serta kasih sayang, adalah cermin bagaimana peradaban semakin
maju. Sebab, pembatasan peran perempuan adalah langkah
mundur peradaban.
Apapun pilihan jalan hidup perempuan, sebagai ibu rumah
tangga, single parent, lajang, perempuan bekerja, pengusaha,
petani, pedagang, pemimpin, dan atau pekerja migran Indonesia,
selama pilihan itu berangkat dari kesadaran, pengalaman dan
pengetahuan perempuanmaka berbahagialah, dan nikmati setiap
prosesnya. Karena support system terbesar sebelum orang terdekat
dan keluarga adalah dirimu sendiri.
2. Hukum Agama
Masih banyak sekali miskonsepsi mengenai tafsir agama
yang mendominasi pemahaman masyarakat sehingga Islam
seakan-akan terlihat sebagai momok yang begitu menakutkan,
terutama bagi perempuan.Hal itu tecermin mulai dari banyaknya
kesalahpahaman mengenai kodrat perempuan, kepemimpinan
perempuan yang kerap dipertanyakan dalam diskursus agama,
hingga anggapan miring soal Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
Miskonsepsimiskonsepsi tersebut pada akhirnya memunculkan
pandangan bahwa feminisme tidak bisa berjalan beriringan dengan
Islam.
Magdalene: Kenapa sih tafsir agama dominan yang
meminggirkan perempuan misalnya tentang perempuan yang harus
manut kepada laki-laki, tetap langgeng sampai sekarang? Karena
budaya patriarki masuk ke seluruh aspek kehidupan termasuk
agama. Yang menafsirkan [agama] itu manusia toh? Mereka
dipengaruhi oleh budaya patriarki sehingga tidak heran kita
menemukan ajaran-ajaran yang terkesan meminggirkan perempuan.
Misalnya tentang istri harus manut sama suami, atau perempuan
ada di bawah laki-laki. Ini salah satunya berangkat dari tafsir surat
An -Nisa ayat 34 yang dipahami bahwa lakilaki adalah pemimpin
bagi perempuan. Itu tok.
Padahal, kita enggak bisa membaca teks secara tekstual atau
dibaca terjemahannya saja. Kita harus melihat asbabul nuzul-nya
[yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an
harus melihat tafsirannya seperti apa, disesuaikan dengan realitas
saat ini.
Kita lihat realitasnya, nih, perempuan dianggap sebagai
makmum, harus nurut sama laki-laki kalau enggak masuk neraka.
Hal ini harus kita liat lagi karena dari realitas sosial, banyak
perempuan menjadi kepala keluarga. Kalau kita lihat, pada
zaman jahiliyah [sebelum turunnya Nabi Muhammad] memang ada
situasi di mana perempuan tidak dianggap sebagai manusia.
Namun sekarang, banyak perempuan maju, berpendidikan,
menempati posisi-posisi strategis di berbagai leading sector. Ya
kita tidak bisa memungkiri realitas. Kita harus pikirkan bagaimana
agama bisa berdialog dan juga bisa melakukan advokasi dalam
realitas.
Lantas gimana mengubah keadaan yang enggak adil bagi
perempuan? Kita harus mengintrepertasi teks, memaknai
bagaimana teks itu dipastikan hadir untuk kemaslahatan manusia
yang di dalamnya baik laki -laki maupun perempuan, dan
disesuaikan dengan cita-cita Islam Ketika budaya patriarki dan
interpretasi Islam dominan sudah mengakar, enggak gampang
memberitahukan ke orang-orang yang lebih awam tentang tafsir
Islam ramah perempuan. Strateginya bagaimana untuk
mengedukasi mereka, terutama saat bicara dengan kelompok
konservatif? Kita harus berbicara dengan orang itu sesuai dengan
kadar intelektualnya. Kita enggak bisa menyamaratakan satu
strategi untuk semua orang. Contoh, mau menanamkan soal
gender ke anak, kita bisa pakai nyanyian. Untuk mahasiswa,
bisa lewat kelas-kelas training, lebih teoretis.
Di pesantren, tidak pakai teori-teori berat tapi pakai kitab, ada
banyak. Salah satunya itu Asitin Al'adliyah. Itu isinya hadis -hadis
sahih Bukhari Muslim tentang kedudukan perempuan, hak-hak
perempuan dalam Islam. Ini hadis sahih tapi enggak dipopulerkan.
Ini juga karena patriarki. Yang dipopulerkan malah hadis yang
menyebut kalau suami mengajak istrinya ke ranjang lalu istri
menolak, maka istri akan dilaknat oleh malaikat, perempuan itu
aurat, perempuan akan dilaknat, perempuan akan masuk neraka.
Seperti Islam itu menakutkan bagi perempuan.
Lalu, gimana cara memberitahukan tafsir ramah perempuan ke
masyarakat umum dan lewat media sosial? Tergantung audience-
nya siapa. Kalau milenial ya pakainya video, atau apa pun yang
sekreatif mungkin. Yang jelas dan yang paling penting, dalam
membangun, melakukan proses penyadaran dan berdakwah itu
harus menggunakan narasi alternatif. Walaupun rada susah,
narasi alternatif bisa berlaku sesuai dengan zaman.
Masih banyak yang menganggap bahwa feminisme tidak
bisa sejalan dengan agama, khususnyaI slam. Nabi Muhammad itu
merevolusi peradaban manusia, termasuk peradaban perempuan.
Dulu, perempuan tidak dihargai, bayi perempuan dikubur hidup-
hidup. Namun, ketika Islam datang dengan Nabi Muhammad
sebagai Rasulullah yang diutus, perempuan akhirnya dianggap
sebagai manusia. Kalau ada yang bilang poligami itu bagian dari
ajaran Islam, sebenarnya itu salah. Poligami adalah tradisi jahiliyah,
laki-laki bisa kawin dengan ratusan perempuan. Ketika Islam datang,
poligami dibatasi menjadi empat. Karena kalau ujug-ujug
dilarang, diharamkan, dan langsung menyuruh monogami, ya Islam
tidak bisa diterima.
Perubahan dan gerakan yang dilakukan Rasul merupakan
suatu hal yang evolusioner dilakukan secara bertahap. Perempuan
tadinya diwariskan sebagai benda.
Sejak kedatangan Islam, perempuan bahkan dapat warisan. Jika
dilihat dari esensi yang dilakukan gerakan feminis dengan revolusi
kemanusiaan yang dilakukan Nabi Muhammad,Kita harus
membedakan feminis esensi dan feminis ekspresi. Kalau dari
esensi,feminisme bicara soalbagaimana memperjuangkan hak
perempuan.
Ekspresinya bisa berbeda- beda based on the situation,
tergantung budayanya masingmasing. Kita harus berangkat dari
esensi feminis itu sendiri dan ekspresikanlah bagaimana kamu
memperjuangkan hak-hak perempuan. Dalam konteks feminis
muslim, mereka menghadirkan reinterpretasi dari teks-teks agama
supaya dikembalikan pada keadilan sebagaimana cita-cita Islam.
Ekspresi di sini bisa beda dengan di Barat sana.
Contohnya, kita lihat Kartini Kendeng, bagaimana perempuan
berjuang melawan perampasan tanah. Lalu, ada model-model
Indonesia Feminis, ada juga model-model Mubadalah. Itu adalah
ekspresi dan ekspresi itu beda-beda. Jadi, kita enggak boleh
terjebak pada istilah, apalagi pada ekspresi. Kita harus berangkat
dari esensi feminis itu sendiri dan ekspresikanlah gimana kamu
memperjuangkan hak-hak perempuan. Dalam konteks feminis
muslim, mereka menghadirkan reinterpretasi dari teks- teks agama
supaya dikembalikan pada keadilan sebagaimana cita-cita Islam.
Jadi, Islam tidak hanya hadir untuk laki-laki. Laki-laki enak,
perempuan dikontrol, ujungujungnya perempuan banyak di neraka,
laki-laki banyak di surga dapat bidadari. Enggak Gitu.
Tantangan kita soal pengesahan RUU PKS terutama terletak
pada kelompok yang mengatasnamakan agama. Sebetulnya,
kalau kita mengambil ayat Al-Qur’an dalam konteks
menjembatani atau berdakwah, kita harus melakukan proses
penyadaran dengan cara yang edukatif. Terakhir, boleh berdebat
jika berdebat itulah hal yang terbaik. Jika mereka menolak
dengan menggunakan argumentasi agama, kita juga harus
menggunakan bahasa yang mereka gunakan. Tapi kadang,
menggunakan bahasa yang mereka gunakan juga belum tentu
diterima. Kenapa? Karena mereka memiliki sifat yang eksklusif,
sulit untuk terbuka dengan pemahaman baru. Kalau sudah
terdoktrin, dicuci otaknya, ya sudah sulit. Tapi, masih ada upaya
yang bisa kita lakukan dalam konteks dukungan terhadap RUU PKS.
Kita bisa menggunakan narasi bahwa Islam mengecam kekerasan
seksual; Ada hadis La Darar wa La Dirar,“Tidak boleh membuat
orang menjadi mudarat, rusak fisik, psikis, ekonomi,seksual,dan
tidak boleh membuat rusak orang lain”.Atau bagi teman teman
feminis, cocok banget nih memakai dalil ini: Unshur akhooka
dzooliman au madzluuman.“Tolonglah saudaramu yang didzalimi
atau berbuat dzalim”.
Saya yakin nih orang-orang yang menolong yang
memperjuangkan RUU PKS untuk korban, mereka akan masuk
surga. Mereka akan diberikan pahala y ang setimpal oleh Allah ya
karena itu kata Nabi. Tolonglah saudaramu it tuh perintah.
Tolonglah saudaramu yang mengalami kekerasan seksual ibaratnya,
dan pelaku untuk mencegah mereka melakukan kekerasan
seksual. Kalau kita melihat kemungkaran, kalau kita melihat
kekerasan seksual, kita harus menolong dengan tangan kita sendiri.
Kita bisa maknai dengan melakukan advokasi atau pendampingan
langsung bisa dengan pencegahan, atau setidaknya fabil ikhsani,
yaitu dengan omongan atau dakwah. Paling tidak, dakwah kasih
campaign lah istilahnya di media sosial.
MATERI V
STRATEGGI PENGEMBANGAN CITRA DIRI KADER KOPRI
A. Sejarah Kopri
Pada saat PMII didirikan KOPRI memang belum ada. Yang ada
hanya divisi keputrian. Hal ini bukan lantaran peran perempuan
sangat kecil, melainkn lebih dikarenakan kepraktisan semata.
Maksudnya dalam divisi keputrian ini dikalangan perempuan PMII
bisa lebih fokus memusatkan perhatiannya menangani masalah-
masalah yang berkaitan dengan dunianya. Sayang, saat itu dunia
perempuan hanya sebatas menjahit, memasak dan dapur.
Dalam divisi keputrian tadi, yang menangani semua
permasalahan didalamnya tentu saja harus perempuan. Namun
walau demikian tidak menutup kemungkinan perempuan
menempati posisi di struktur PMII. Tapi lagi-lagi karena kesiapan
SDM dan profesionalitas perempuan yang kurang menyebabkan
jumlah mereka secara kuantitias masih sedikit Dimaklumi,
karena waktu itu memang sangat sedikit kaum perempuan yang
dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Kondisi
yang terjadi saat itu antara lakilaki dan perempuan saling
bahumembahu (guyub) dalam menutupi kekurangan di
organisasi. Termasuk pula guyub dalam pengambilan keputusan
serta beberapa hal yang mengharuskan mereka bekerja sama
mempertaruhkan nama organisasi.
Lahirnya KOPRI berawal dari keinginan kaum perempuan untuk
memiliki ruang sendiri dalam beraktifitas, sehingga mereka dapat
bebas mengeluarkan pendapat atau apapun. Keinginan tersebut
didukung sepenuhnya oleh kaum lakilaki saat itu. Corps
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Poetri (COPRI) lahir
pada tanggal 25 November 1967 di Semarang, dengan status
semi otonom yang sebelumnya merupakan follow up atas
dilaksanakannya Training Kursus keputrian di Jakarta pada tanggal
16 Februari 1966 yang melahirkan Panca Norma KOPRI.
Disisi lain, kondisi gerakan perempuan pada saat berdirinya
KOPRI baru sebatas emansipasi perempuan dalam bidang
sosial dan kemasyarakatan. Misalnya di NU, kita mengenal
Muslimat yang hanya mengadakan kegiatan pengabdian sosial
kemasyarakatan
Dalam tahap awal berdirinya, KOPRI banyak mengadopsi dan
melakukan kerjasama dengan Muslimat serta beberapa organisasi
perempuan lain yang sudah lebih dahulu ada saat itu, seperti
Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) maupun Korp HMI-Wati
(KOHATI) Pada saat pertama kali berdiri, sebagaimana organisasi
perempuan yang ada pada waktu itu, KOPRI hanya semata-mata
sebagai wadah mobilisasi perempuan. Alasan mengapa ada KOPRI
tak lain karena dirasa perlu untuk mengorganisir kekuatan
perempuan PMII untuk bisa menopang organisasi yang
menaunginya (PMII).
Hal ini seperti juga terjadi di organisasiorganisasi lain baik
organisasi mahasiswa, ormas keagamaan, dan organisasi politik.
Akan tetapi ada pada perkembangan selanjutnya menunjukkan
hubungan yadianggap problematis. Dengan gagasan otonomisasi
di tingkat pusat (Pengurus Besar) sekilas nampak dualisme
organisasi karena KOPRI memiliki program terpisah dan kebijakan
yang berbeda dari PMII Beberapa kalangan menganggap
perkembangan inisebagai suatu yang positif, karena KOPRI
telah bergerak dari organisasi dengan pola ketergantungan
terhadap PMII menuju organisasi yang mandiri. Sedangkan
kalangan lain menanggapi dengan nada minor, karena KOPRI
dianggap melakukan pelanggaran konstitusi dan telah menjadi
kendaraan politik menuju posisi strategis di PMII.
Arus gerakan perempuan pada umumnya sangat memberi warna
pada perkembangan yang terjadi dalam KOPRI. Untuk
menjelaskan bagaimana realitas kondisi KOPRI, tidak lepas
dengan bagaimana paradigma gerakan perempuan di Indonesi a.
Yang perlu diketahui lagi bahwa historis struktural yang mendorong
lahirnya KOPRI sebagai organisasi ekstra kampus yang nota bene
merupakan kumpulan intelektual muda, dimana pada
perkembangan awalnya perempuan di PMII masih termasuk dalam
bidang keputri an. Tapi dengan kebutuhan serta didukung adanya
kualitas dan kuantitas yang ada, menimbulkan keinginan yang tidak
terbendung untuk mendirikan KOPRI sebagai otonom di PMII.
Alasannya adalah sebagai upaya guna peningkatan partisipasi
perempuan serta pengembangan wawasan wilayah-wilayah kerja
sosial kemasyarakatan. Bentuk dan perkembangan struktur itulah
yang kemudian kita mengenal adanya Pengurus Besar (PB), di
propinsi ada Pengurus Koordinator Cabang (PKC), kabupaten atau
kota ada Pengurus Cabang (PC), terus hingga ke Komisariat atau
rayon yang dulunya bernama anak cabang,ranting dan sebagainya.
Orientasi pemikiran sahabat-sahabat pendiri waktu itu dengan
dibentuknya KOPRI sebagai organ otonom PMII adalah merupakan
keinginan sahabat-sahabat dan kebulatan tekad yang teguh bahwa
kaum perempuan cukup mampu dalam menentukan kebijakan
tanpa harus lagi mengekor kepada laki -laki. Hal ini bukan
berarti KOPRI terpicu oleh keinginan pragmatis dengan berkaca
dari organisasi lainnya. Walaupun KOPRI merupakan bagian dari
komunitas NU dan saat itu masi menjadi partai, tetapi tidak ada
kaitannya sama sekali. Dengan terbentuknya KOPRI, baik itu alasan
politis, kepentingan sesaat, maupun tunggangan ideologi, sekalipun
NU merupakan parpol. Pada saat orde baru di bawah
kepemimpinan Suharto, trend isu serta suara perempuan pada saat
itu turun tensinya dan menuju pada titik kulminasi terendah,
sangat melemah. Kondisi saat itu dihisap oleh keberadaan
penguasa yang dikenal otoriter serta menghegemoni seluruh
kekuatan yang ada di masyarakat. Namun walaupun demikian itu
bukanlah masalah yang berarti bagi KOPRI, karena PMII memiliki
pola dan karakter gerakan yang massifagressif, keterpurukan KOPRI
itu bisa tertutupi dengan baik. Pada saat kepemimpinan Sahabati
Khofifah ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1991
mengenai Nilai Kader KOPRI dan pada saat itu pula kaderisasi
KOPRI telah dibentuk pola pengkaderan yang sistematis yaitu
dibentuk sistem kaderisasi yang terdiri dari Kurikulum dan Pedoman
Pelaksanaan LKK (Latihan Kader KOPRI) serta petunjuk
pelaksana Latihan Pengkaderan KOPRI, dalam hal jenjang
pengkaderan KOPRI dibagi menjadi 2 tahap yaitu LKK (Latihan
Kader KOPRI) dan LPKK (Latihan Pelatih Kader KOPRI), ini adalah
satu bentuk kemajuan kepengurusan KOPRI dariwaktu ke waktu.
PMII secara institusi selalu selangkah lebih maju dengan
rekapitalisasi gerakan. Tidak demikian dengan KOPRI yang
dirasakan justru kehilangan orientasi, dan mengalami distorsi
paradigma gerakan yang dibangun pada saat itu. Tapi karena
hubungan antara KOPRI-PMII baik-baik saja, maka secara
personal sahabat-sahabat perempuan KOPRI masih seringdiajak
berurun-berembug, berdiskusi, atau dilibatkan dalam beberapa
kegiatan. Secara struktural KOPRI didalam institusinya berstatus
semi otonom atau bagian integral dan tidak terpisahkan dari wadah
utamanya yaitu PMII. Lewat semua itu, KOPRI banyak belajar dan
menyadari betul tentang perlu adanya seorang pemimpin yang
memiliki kemampuan. Dan performance pemimpin sangat
mempengaruhi gerak dan aktifitas organisasi.
Klaim tentang kesadaran gender pada PMII membangun
argumentasi bahwa pembubaran KOPRI merupakan suatu
keharusan. Karena KOPRI hanya mengakibatkan eksklusifitas
perempuan di PMII. Organisasi perempuan sebagai subordinat dari
organisasi lain dianggap memberi legitimasi terhadap streotyp
perempuan sebagai makhluk subordinat dan kontra produktif
terhadap gerakan perempuan untuk penyadaran,
kesetaraan,pemberdayaan akses dan advokasi perempuan.
Cabang-cabang KOPRI yang membuat keputusan untuk
meleburkan diri dengan PMII bereksperimen untuk berkompetisi
dengan warga PMII lainnya dengan mengandalkan seleksi alam.
Kader KOPRI dilanda syndrom inferior untuk menamakan diri
sebagai bagian dari KOPRI. Mereka lebih nyaman menjadi PMII atau
menjadi bagian dari wadah lain (asal bukan KOPRI). Disisi lain
adalah fenomena kemandegan KOPRI, dimana eksis secara
struktur tapi tidak melakukan apa -apa dan beberapa cabang
KOPRI yang merasa tidak terganggu dan enjoy menjadi bagian dari
PMII dengan alasan adanya sinergitas antara PMII dan KOPRI.
Tidak dipungkiri bahwa pembubaran KOPRI pada Kongres XIII di
Medan tahun 2000 merupakan salah satu pengaruh dari euforia
gerakan kesadaran gender. Selama ini kita merasakan tampak
kesenjangan-kesenjangan, tidak hanya antara kader laki-laki dan
perempuan, tetapi juga antar daerah. Memang terdapat
beberapa eksperimentasi yang dilakukan oleh sebagian kecil
daerah (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dengan menafsirkannya
dalam bentuk jaringan gender sementara daerah lain menjadi
tampak kesulitan. Hal ini karena pembubaran KOPRI tidak dibarengi
dengan usaha institusionalisasi yang serius ke arah penataan
kelembagaan. Sehingga secara institusional yang terjadi bukan
memperteguh pemberdayaan kader putri, tetapi meluluh lantakannya
kembali ke titik nol.
Maka bukan hal yang mustahil manakala ditengah lemahnya
mobilitas sosial dan aktualisasi diri kader putri yang secara
sosiologis berlatar rural (pedesaan) ada kecurigaan bahwa
pembubaran KOPRI adalah “Patriakhal Conspiration”. Ibarat perang,
kader putri yang memang “dilemahkan berangkat ke medan
konstentasi”. Mengambil pilihan liberal atau kontestasi bebas
ditengah kader yang tidak seimbang oleh kondisi sosial yang
timpang/serba laki-laki memang terlihat naif karena dengan
begitu akan menimpakan masalah ketimpangan pada perempuan
yang sesungguhnya juga adalah korban (Blamming the Victim)Untuk
menunjukkan bahwa PMII adalah organisasi pro-demokrasi dan
HAM sehingga tidak memandang laki-laki dan perempuan secar
dikotomis. Akan tetapi argumentasi kesadaran gender di PMII
terjadi bersamaan dengan fenomenafenomena sebagai berikut:
pertama, marginalisasi perempuan di kepengurusan PMII di
setiap level kepengurusan.
Kedua, munculnya krisis kader perempuan dalam PMII yaitu
terjadinya gap antara jumlahanggota perempuan yang aktif
dengan jumlah anggota yang pasif. Pada saat dilakukan
MAPABA di PMII biasanya separuh atau lebih merupakan kader
perempuan. Mayoritas dari mereka hanya sempat mengikuti
MAPABA, dan setelah itu seleksi alam akan menentukan apakah
seorang kader perempuan akan bertahan atau tidak. Ketiga adalah
kader putri yang melakukan pembaharuan melalui KOPRI terutama
di PB KOPRI dan cabang-cabang PMII yang masih
mempertahankan KOPRI. Aktifitas KOPRI melihat bahwa di
tubuh PMII kesadaran gender terjadi bersamaan dengan
ketimpangan gender yang tercermin dari ketidak jelasan kebijakan
PMII terhadap kader perempuan yang jumlahnya melebihi 50% dari
kader PMII seluruhnya. Hal ini disebabkan karena PMII merupakan
organisasi secara idealitas tidak membedakan kader laki -laki
maupun perempuan. Akan tetapi ditingkat realitas menunjukkan
perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain kader
perempuan PMII tidak memiliki landasan konstitusional yang
jelas dalam memperjuangkan aspirasi perempuan. Berdasarkan
forum musyawarah yang diamanatkan oleh Kongres XIV di
Kutai Kertanegara Kalimantan Timur untuk membuat pertemuan
POKJA Perempuan PMII pada
tanggal 26-29 September 2003 yang menghasilkan ketetapan
bahwa dibentuk kembali keorganisasian wadah perempuan yang
bernama KOPRI (Korps PMII Putri) yang merupakan bagian
integral dengan PMII di Jakarta pada tanggal 29 September 2003
dimana PB KOPRI berpusat di Jakarta. Dengan visi terciptanya
masyarakat yang berkeadilan berlandaskan kesetaraan dan
menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan, sedangkan misinya adalah
mengidologisasikan gender dan mengkonsolidasikan gerakan
perempuan di PMII untuk membangun masyarakat berkeadilan
gender. Ketika PMII berusaha untuk memaksimalkan kader-kader
perempuan PMII untuk mampu bersaing dan mandiri dengan
membentuk badan semi otonom yaitu KOPRI, tetapi keberadaannya
tidak dapat dirasakan oleh kaderkader PMII secara keseluruhan
baik itu laki-laki maupun perempuan apalagi masyarakat yang
lebih luas, keberadaan KOPRI seperti “Hidup segan mati tak
mau”. Masing-masing daerah belum terkonsentrat dalam hal
sistem kaderisasi KOPRI karena minimnya pemahaman
mengenai KOPRI itu sendiri, padahal pada masa kepemimpinan
Sahabati Khofifah sudah dibentuk Latihan Kader KOPRI (LKK) dan
Latihan PelatihKader KOPRI (LPKK), namun seiring berjalannya
waktu, masingmasing daerah membentuk sistem kaderisasi KOPRI
sendiri dengan mengikuti perkembangan waktu dan pemahaman
dari setiap kader di daerah, seperti di KOPRI PKC Jawa Barat
membentuk sistem kaderisasi KOPRI yang dikenal dengan SKK
(Sekolah Kader KOPRI) I, SKK II, dan SKK III mengikuti
jenjang pendidikan formal di PMII. Kemudian KOPRI PC Kota
Malang membentuk sistemkaderisasi KOPRI yang dikenal dengan
SKP (Sekolah Kader Putri) I, SKP II dan SKK begitupun KOPRI
PC. Kota Malang mengikuti jenjang pendidikan formal di PMII.
B. Panca Norma Kopri
Panca Norma KOPRI dicetuskan pada tanggal 16 Februari
1966 pada saat ajaran tentang hak batal, benar salah, baik buruk,
bermoral pelaksanaan Training Course Keputrian I PMII di Jakarta
bersamaan dengan pelaksanaan Mukernas I, yang berisi sebagai
berikut
1. Tentang Emansipasi
a. Emansipasi wanita berarti memberikan hak-hak dan kesempatan
kepada wanita sederajat, setingkat dan seirama dengan kaum pria.
Bukan merupakan pemberian hak hak istimewa karena penghargaan
atau perbedaan naluri fitriahnya justru karena dia wanita.
b. Tuntutan akan hak-hak wanita, meliputi segala segi kehidupan
baik politik sosial ekonomi, maupun kebudayaan. Hak-hak ini
diberikan adalah merupakan tuntutan nurani yang mendorong
manusia berkeinginan, berkehendak, dan berbuat sebagai
realisasi dan manifestasi dari pada ajaran Islam.
c. Perjuangan hidup baik di dalam bidang politik, sosial ekonomi
maupun kebudayaan adalah suatu tuntutan yang bagi kita
mempunyai ukuran-ukuran yaitu yang didasarkan atas perbedaan
struktur rohaniah jasmaniah dan kondisi ruang dan waktu.
d. Pembatasan atas hak adalah kewajiban yaitu suatu langkah dan
tindakan yang harus ditempuh lebih dulu. Ini berarti bahwa
kewajiban harus mendapat tempat yang lebih utama daripada
tuntutan akan hak. Manifestasi daripada itu ialah pengorbanan kaum
perempuan untuk berjuang menyelami dan terjun dalam langkah
perjuangan politik, sosial ekonomi, kebudayaan, dalam mana
kewajiban seorang putri telah terpenuhi dan akan berjalan
seiring dengan hak-hak yangdituntutnya.
2. Tentang Etika Wanita Islam
a. Ajaran tentang hak batal, benar salah, baik buruk, bermoral
immoral adalah suatu persoalan etika. Etika ya dimaksudkan
adalah Al-Qur’an dan Assunnah, yaitu etika Islam. Etika yang
pengabdian kepada Tuhan maupun berhubungan antar manusia
dengan manusia, dan perkembangan kebudayaannya.
b. Pengabdian kepada Tuhan adalah suatu bentuk pengabdian
yang tertinggi danmerupakan gerak hidup yang disandarkan atas
taqwallah dengan beramar ma’ruf nahi munkar membabat jiwa
keimanan, keikhlasan serta tawadlu’ dan khusuk.
c. Hubungan antar manusia diperlukan keharmonisan, keserasian dan
penyesuaian akan arus perkembanagan dan perubahan zaman
berpegang kepada ajaran agama dan etiket pergaulan adalah
suatu kemutlakan, sehingga prinsip perorangan yang tidak
hanyut terseret oleh arus yang tanpa arah dapat terkendalikan
secara positif.d. Etiket pergaulan yang diartikan dengan “Tata Cara
Pergaulan” mempunyai arti relatif, anggapan sopan bagi suatu
bangsa akan berbeda dengan bangsa lain, dan pandangan benar
bagi suatu ajaran pun menempatkan hal yang sama. Garis penegas
yang positif bagi realisasi bentuk-bentuk itu adalah pandangan
agama, suatu ajaran yang mempunyai norma-norma hukum
nasional maupun internasional.
d. Arus budaya yan senantiasa berkembang akan senantiasa
mendapatkan tempat dalam masyarakat. Posisi menarik bukan lebur
tertarik adalah suatu norma bagi PMII, perkembanagan budaya
sebagai hasil pikiran harus diarahkan, diisi dan dijiwai ajaran agama,
moral nasional dan kepribadian bangsa.
3. Tentang Watak PMII Putri dalam Kesatuan dan Totalitas
BerorganisiPMII Putri adalah bagian dan organ organisasi yang
tak terpisahkan dari PMII. Ia sebagai organ bukan merupakan
kesatuan yang terpisahkan dan berdiri sendiri dalam kesatuan
meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan, baik dalam bentuk
tubuh. Tetapi ia merupakan suatu paduan dan persenyawaan yang
tanpa melarutkan sifat dan ci ri-ciri kewanitaannya yang dibawanya
sebagai fitrah dan kondis potensial yang dimilikinya.
a. Sebagai organ yang tak terpisahkan ia melakukan perjuangan
yang senada dan seiring, selangkah dan seirama, maju dalam
berbagai bidang tujuan organisasi, bidang kepemimpinan dan
interdepartemental merupakan suatu bentuk-bentuk lapangan
perjuangan yang mendapat sorotan dan hak memanfaatkan
akan perjuangan yang mendapat akan tuntutan sosial wanita
dimana tugas-tugas dan peranan organisasi tak dibedakan.
b. Sebagai mahasiswa putri Islam, walaupun merupakan kesatuan
organ yang tak terpisahkan, tetapi ia mempunyai sikap hidup
dan pandangan dan langkah serta tindakan yang berbeda
dengan mahasiswa -mahaiswa di luar islam, bahkan berbeda
dengan mahasiswa-mahasiswa putri di luar Ahlussunnah Wal
Jamaah.
c. Suatu kesatuan dalam totalitas berorganisasi adalah bentuk antara
PMII Putri dan PMII Putra merupakan suatu paguyuban. Tetapi garis
pemisah yang terbatas dengan norma dan kaedah -kaedah agama
suatu tuntutan mutlak yang memberikan tabir dan benteng ukuran
moral dan watak positif sehingga moral dan amalan syariat
Islam terjamin karenanya.
d. Tentang Partisipasi PMII Putri terhadap Even-even Organisasi
e. Sebagai organ yang memihak pada ideologi partai maka neven
organisasi yang berafiliasi terhadap partai adalah juga alat
perjuangan yang senada dan seirama, seiring dan berdampingan
dalam mencapai tujuan bersama dan tujuan yang sama.
f. Sikap masa bodoh, sikap rendah diri, sikap penakut dan nrimo
adalah suatu bentuk yang tidak seharusnya ada bagi PMII Putri,
justru emansipasi wanita maka sifat-sifat kerendahan itu dapat
dilenyapkan.c. Atas dasar tanggungjawab yang mendalam
terhadap agama, bangsa dan revolusi, maka partisipasi terhadap
neven-neven organisasi sebagai alat partai dan revolusi
terutama organisasi wanita adalah kemutlakan yang tak dapat
dielakan adanya.
g. Usaha-usaha konkrit kearah itu dapat dilakukan ialah turut
meningkatkan kemampuankemampuan dan daya perjuangan dalam
berorganisasi khususnya terhadap Muslimat, Fatayat, IPPNU baik
dalam bidang politik, sosial, ekonomi, perkembanagan
kebudayaan, maupun dalam bidang-bidang yang lebih luas dengan
didasarkan atas kondisi, tempat dan waktu sekarang.
h. Bidang-bidang praktis yang dapat dilakukan dalam usaha partisipasi
ini meliputi bidangbidang organisasi, administrasi, latihan-latihan
kepemimpinan, pendidikan dan pengajaran, keubudayaan,
dakwah Islam dalam perkembangan organisasi, maupun dalam
berbagai bentuk sosial kemasyarakatan yang lain yang menyangkut
per hidup wanita dalam hubungannya dengan perjuangan agama
dan revolusi.
i. Tentang Partisipasi PMII Putri terhadap Kegiatan-kegiatan
Masyarakat
 Pengabdian kepada masyarakat adalah merupakan suatu amanat
Tuhan. Ia merupakan amal ibadah kalau pengabdiaannya itu
diiringi niat yang ikhlas danpembaktian kepada Tuhan. Jurang
pemisah anatara perkuliahan dan masyarakat mutlak ditolak dan
organisasi berarti jembatan emas penghubung antara keduanya.
 PMII Putri sebagai mahasiswa dan anggota masyarakat, akan
menyatukan dwi tunggal antara ilmu dan amal, antara teori dan
perbuatan, berusaha merelaisasikan satunya kata dan perbuatan
serta ikut serta secara aktif dalam seluruh kegiatan dan aktifitas
masyarakat selagi ia tidak bertentangan dengan norma-norma
agama.
 PMII Putri sebagai wanita realistik, mampu menyelesaikan tugas-
tugas kemasyarakatan, dan tugas-tugas ini akan diselesaikan kalau
tugas -tugas dan bentukbentuk kegiatan-kegiatan masyarakat itu
semata-mata mengarah kepada kepentingan agama, nusa, bangsa
dan revolusi.
 Secara konkrit ia akan mendharmabaktikan dalam seluruh bentuk
kehidupan baik dalam bidang politik, sosial ekonomi pendidikan
maupun dalam perkembangan kebudayaan.
 Suatu pembaktian yang mesti dituntut lebih dahulu agar tidak
menyimpang dari normanorma agama revolusi dan kemasyarakatan,
adalah usaha mutlak untuk mempelajari hukumhukum dan ajaran
agama. Doktrin revolusi dan pengetahuan masyarakatIndonesia.
C. NKK (Nilai Kader KOPRI)
Nilai Kader KOPRI atau biasa disingkat dengan NKK merupakan
sebuah sarana kader KOPRI untuk mengenal, melihat dirinya
sendiri dan bahkan mengharapkan yang lain untuk melihat. NKK
juga merupakan potret yang diharapkan. Untuk menjawab
pertanyaan “Siapa saya ini” maka NKK mengembangkan sebagai
berikut:
1. Warga KOPRI sebagai insan individu harus dipenuhi dengan muatan
religiusitas karena islamnya, harus dipenuhi dengan muatan
intelektualitas karena mahasiswa, dan juga harus dipenuhi
dengan muatan kemandirian karena kedewasaannya.
2. Warga KOPRI sebagai makhluk sosial, tanpa membedakan unsur
suku, agama, ras dan antar golongan serta melihat dimensi ruang
dan waktu.
3. Warga KOPRI sebagai insan organisasi, harus mengembangkan
sikap profesionalitas dalam menjalankan aktifitas.
Fungsi dari NKK ini yaitu :
1. Sebagai justifikasi terhadap tertib sosial dan tertib organisasi yang
mensyaratkan pada anggota untuk menerima.
2. Sebagai konstruk yang sah dan dianggap vital secara moral
mengikat. Jadi setiap tindakan harus berada dibalik legitimasi NKK.
3. Mampu menumbuhkan “sense of belonging” warga terhadap
organisasi yang mempertautkan kolektifitas masa lampau sekaligus
diarahka pada masadepan sebagai pengidentifikasian diri terhadap
lingkungan yang selalu berubah.
4. Sebagai pedoman yang memberikan wawasan mengenal misi dan
tujuan organisasi sekaligus merupakan komitmen untuk bertindak.
Berangkat dari pemikiran di atas maka
Nilai Kader KOPRI dirumuskan sebagai berikut:
a. Modernisasi
Modernisasi telah mampu mengembangkan suatu kultur
dengan menempatkan bentuk rasionalitas tertentu sebagai nilai
yang menonjol tapi dalam beberapa hal sering gagal, karena
rasionalitas itu kurang bisa dipaksa sebagai panutan yang tepat.
Meskipun begitu rasionalitas dalam beberapa segi telah mampu
mengganti semangat keagamaan. Modernisasi seringkali ditandai
dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata
mampu merubah beberapa pandangan manusia dalam beberapa
masalah kehidupan mereka, akibatnya manusia seringkali
mengidiologikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai sembahan
kehidupan. Menghadapi fenomena demikian, maka sikap KOPRI
menerima modernisasi secara selektif mana yang harus diambil.
b. Mitra Sejajar
1. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam kodrat yang
berbeda, namun sama-sama mempunyai tanggungjawab
kekholifahan. (Q.S 8: 165)
2. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang sama
seimbang. (Q.S 2: 228)
3. Mempunyai kesempatan beraktifitas dan berjuang serta akan
diperhitungkan prestasi kerjanya. (Q.S 4: 32)
4. Antara laki-laki dan perempuan saling melindungi. (Q.S 9: 71)
5. Antara laki-laki dan perempuan saling membutuhkan. (Q.S 2: 167)
c. Wanita Ideal
1. Sholihah, taat, dan menjaga diri dengan baik. (Q.S 2: 34)
2. Beriman, tunduk, jujur,khusuk dan dermawan, menjaga kehormatan
dan banyak berdzikir kepada Allah. (Q.S 33: 35)
3. Memiliki pribadi yang dinamis dan kreatif ditunjang dengan tindakan,
intelegensi dan kasih sayang.
4. Memiliki kemampuan untuk melepaskan diri dari keterbatasannya,
menembus ruang dan waktu untuk meningkatkan kehidupan sosial.
d. Watak KOPRI
1. KOPRI dalam melakukan kegiatan tidak akan meninggalkan sifat -
sifat kewanitaannya.
2. KOPRI mempunyai tindakan, pandangan dan langkah yang
berbeda dengan mahasiswi non Islam, bahkan di luar Ahlussunnah
Wal Jamaah pun harus beda.
D. Edeologi Politik Organisasi (IPO) KOPRI
Semakin merasa “lemah” seorang hamba, semakin kuat pula
keinginan untuk “memuji”. Akhirnya bentuk penghambaan terhadap
Tuhan bermetamorfosa menjadi penghambaan terhadap penguasa.
Kekuasaan agama teralih secara tak sadar pada kekuasaan
politik (Hassan Hanafi) Perkembangan sejarah manusia adalah
min lawazim al-hayah, seperti halnya perkembangan pengalaman
hidup bernegara umat manusia yang semula cuma kumpulan
dari tribes (suku-suku; qabilah) ke pembentukan ummah, dan
kemudian dari ummah berkembang kependirian negarabangsa
(nation-states) seperti saat sekarang ini.
Bahkan sekarang mengarah ke pasca nation-states, yang
biasa disebut global. Masing masing fase mempunyai karakteristik
sendiri-sendiri sejak dari sistem hukum, sosial, budaya, ekonomi
termasuk agama. Dalam proses perkembangan seperti itu,
continuity (kesinambungan) dan change (perubahan), dan
perkembangan dan transformasi (development), pada porsinya,
adalah sebuah keniscayaan. Pada tataran praksisnya, tiga proses itu
pun berlaku bagi setiap entitas, kelompok, atau bangsa manapun di
dunia ini, termasuk Indonesia. Indonesia adalah negeri yang subur
dan kaya akan sumber daya alam, namun bukan negara yang
makmur. Indonesia termasuk negara miskin yang kemudian
dieufinisme-kan menjadi negara berkembang. Indonesia hanyalah
negara yang ada di titik pinggiran, yang menyediakan kekayaan
alamnya untuk disedot ke pusat-pusat negara maju dengan cara
meminjam uang ke negara-negara maju dan dengan penanaman
modal asing. Penduduk yang besar dan kekayaan yang melimpah
justru menjadi hadiah berharga bagi negara -negara maju: dulu,
kolonialisme fisik dan sekarang, imperialisme neoliberal.
Globalisasi neoliberal adalah ideologi lanjutan dari
kapitalisme yang saat ini sedang diadopsi oleh sebagian besar
negara-negara berkembang dan telah dipraktekkan oleh negara-
negara maju. Ideologi ini didukung oleh pilar-pilar badan dunia,
seperti: Bank Dunia,
IMF, WTO, dan perusahaan-perusahaan transnasional.
Neoliberal ini memperjuangkansepenuhnya pasar bebas dan
tidak mempercayai perlunya “pemerataan”. Lagi, ia merupakan
bentuk lain dari imperialisme Barat ke negara-negara belahan bumi
selatan di abad ke-18, 19, dan 20, termasuk di nusantara ini: sama-
sama digerakkan oleh negaranegara maju.
Di tengah posisi bangsa dan dunia yang demikian, dalam
hierarki sosial di antara kelompok-kelompok lain, terdapat
sebuah kelompok yakni komunitas NU, berada dalam posisi
bawah: berada di desa-desa dan berbasiskan petani, pedagang,
serta nelayan kecil.
Mereka inilah (baca: basis komunitas NU terbesar) yang
mengalami akumulasi kemiskinan laten, yang disuburkan oleh
minimnya akses tanah dan kebijakan pem bangunan yang lebih
berorientasi ke teknologi tinggi padat modal. “Komunitas NU” tengah
menghadapi masalah serius pada hari ini dan di masa mendatang.
Sebab, masyarakat NU ditempatkan dalam kerangka: sebagai
komunitas yang menjadi bagian dari bangsa besar bernama
Indonesia yang juga bagian dari bangsa-bangsa di dunia; dan
sebuah komunitas bersama kelompokkelompok lain yang
menyangga bangsa yang bernama Indonesia.
Dalam hiruk pikuk kehidupan bangsa ini, dalam pelbagai
pergumulan multidimensionalnya, NU seolah-olah tak pernah
terpisahkan dalam gerak dan langkah keorganisasiannya vis-à-
vis negara. Paling tidak, dalam satu dasawarsa ini, kita
menyaksikan dinamika pemikiran Islam di kalangan intelektual muda
NU yang berlangsung dalam suasana penuh gairah. Di banyak sudut
dan ruang komunitas, anak-anak muda NU terpelajar hampir setiap
hari berlangsung perdebatanperdebatan intelektual yang sungguh
menakjubkan; progresif dan bebas. Semangat intelektualisme dan
implementasinya dalam laku pergerakan (movement) yang didesain
dam disuguhkan mereka kembali mengingatkan kita bahwa masih
ada harapan yang dapat diretas untuk entitas yang bernama
Indonesia,Islam -dan lebih khusus lagi NU di masa depan.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, selanjutnya disebut
PMII, merupakan organisasi di tingkatan mahasiswa yang mayoritas
dari mereka memliki latar belakang kultur keagamaan NU. Mereka,
dalam pergulatan pikir dan geraknya, mengusung isu-isu
kontemporer sekaligus menggugat kemapanan kemapanan
intelektual dan kekakuankekakuan konservatisme. PMII
memposisikan dirinya sebagai kelompok muda NU progresif yang
berada pada dinamika pergulatan Negara dan masyarakat. PMII
hadir sebagai alat pengontrol sekaligus penekan basis atas untuk
kepentingan masyarakat atau kelas bawah.
Indonesia dan pilihan sistemiknya seperti yang telah
diuraikan diatas, berada pada situasi yang akut, dimana system
kapitalis neoliberal yang masuk ke sendi -sendi Negara semakin
merajalela. Imbas dari konspirasi perselingkuhan tersebut maka,
posisi yang paling terkena dampaknya adalah masyarakat bawah
tidak terkecuali perempuan didalamnya.
Kemiskinan, kebodohan, terusir, biaya yang mahal, penindasan
dan lain sebagainya seakan menjadi tontonan sehari-sehari di
republic ini. Ini adalah tantangan serius yang dihadapi bangsa
ini.
Pada situasi demikian, maka yang paling diharapkan untuk bisa
melawan dan mengikis system yang akut tersebut adalah
kekhususan kontradiksi yang ada, atau bisa disebut juga kehendak
masyarakat, individu dan alat perjuangan yang mempunyai
kesadaran untuk berlawan terhadap penjajahan gaya baru
kapitalis neoliberal. Kalau ini dibiarkan maka harapan
kesejahteraan dan tatanan yang adil tidak akan pernah terlaksana.
Kekhususan kontradiksi terpancar dari dialektika organisasi yang
mampu mengakumulasi kekuatan kesadaran individunya menjadi
sebuah gerak perlawanan yang militant. Maka, penguatan kapasitas
individu, alat perjuangan dan pilihan ideology -politik-organisasi
untuk melancarkan serangan tersebut harus tepat sesuai dinamika
perkembangan yang ada.
Dalam sejarah gerakan kemerdekaan dan perlawanan terhadap
penjajahan Negaranegara maju, dibutuhkan kecermatan analisa,
taktik strategi dan landasan ideologis yang jelas untuk
mengintervensi kesadaran massa akan pentingnya arah dan tujuan
gerakan, kita lihat misalkan gerakan mengusir penjajah belanda
dari Indonesia yang dikawal oleh soekarno, termasuk juga pendiri
NU yakni KH. Hasyim Asy’ari. Mereka sangat gigih dan lantang
dengan konsepsi Nasionalis -marhaen dan religious-mustadl‟afin
sebagai manifestasi yang harus tercipta dalam tatanan bangsa
kedepan. Begitupun juga dibelahan
Negara lain, lenin dengan konsep marxissosialisnya berhasil
meruntuhkan rezim dikator tzar, Iran dengan revolusi islamnya,
Venezuela dengan revolusi sosialisnya dan lain sebagainya. Ini
menandakan betapa sangat urgen sebuah landasan dan taktik
strategi yang sistematis dalam organisasi atau gerakan perlawanan
untuk mengusir penjajah atau musuh yang menyengsarakan rakyat.
PMII sebagai organisasi kader yang menganut ideology
ahlusunnah wal jama‟ah, seharusnya mampu menjadi dinamisator
gerakan perubahan untuk masyarakat Indonesia.
Seperti yang ditekankan oleh aswaja itu sendiri. Aswaja dengan
pilar dan prinsipnya mengharuskan cara berfikir bagi
penganutnya untuk selalu sadar dan respon akan perkembangan
kehidupan yang terjadi dan permasalahannya, kemudian
memberikan solusi atasnya. Aswaja hadir dalam tubuh PMII sebagai
landasan dan corong berfikir kader untuk melakukan perubahan
kebaikan dalam tata masyarakat yang berkembang.
Dalam prinsipnya, al-khuriyah,al-„adalah dan al-musawwamah
(Pembebasan/kemerdekaan, keadilan dan kesetaraan) aswaja hadir
bukannya berdimensi dengan nuansa spiritual, akan tetapi harus
mampu tampil sebagai narasi yang bisa memberikan solusi untuk
bangsa terkait mengenai masalah muamalah, dan ini lebih dominan.
KOPRI yang juga bagian dari instrument ideology aswaja
hendaknya bisa mengurai secara sistematis tentang aswaja dan
melakukan pembacaan ulang konteks kekinian terkait kebutuhan
mendasar bagi pembebasan kaum perempuan. Dimana ketidak
adilan terhadap perempuan semakin merajalela di bumi ini,
marginalisasi, stereotype, subordinasi/ penaklukan / penomorduaan,
kekerasan dan beban ganda sangat erat dengan perempuan.
Seperti yang diungkapkan hasan hanafi diatas, perempuan harus
kuat dan progresif serta menolak ketertundukan yang
menyebabkan keterpurukan bagi kaumnya. Dengan hal tersebut,
maka perempuan harus bisa mandiri dengan dinamikanya untuk
mendorong tatanan nilai yang ekologis bagi semua makhluk
bumi ini. Dan tid ak mungkin sebuah perjuangan tanpa ideology
yang jelas, garis perjuangan politik yang sistematis dan
organisasi/alat perjuangan yang kuat untuk merealisasikan cita-cita
tersebut.
E. Garis Perjuangan Politik Yang Tegas
Setiap organisasi harus mempunyai pandangan dan garis
perjuangan yang jelas, dalam arti sederhana; cita-cita untuk
kebaikan bersama umat manusia. setelah selesai secara ideology
maka, sebuah ketegasan dari cita-cita perjuangan politik mutlak
harus terlaksana. Seperti penguraian diatas, perjuangan
dikarenakan ada sebuah musuh atau bisa juga kita
mengandaikan musuh.
Dalam prinsip aswaja dan pilarnya; pembebasan, keadilan
dan kesetaraan mutlak menghadirkan musuh yang harus kita kikis
habis keberadaan dan ruang geraknya. Karena akar masalah yang
menyebabkan terjadinya degradasi kemanusiaan yang terjadi
(baik terhadap laki-laki maupun perempuan) adalah bergerak
bebasnya musuh rakyat yang menguasai seluruh sendi-sendi
bangsa dan Negara, ini juga tidak terkecuali perempuan.
1. Budaya Patriarki
Budaya yang menomorduakan posisi perempuan dan
menempatkan perempuan sebagai entitas masyarakat yang inferior.
Inilah yang kemudian menghambat perempuan untuk maju.
2. Kapitalisme
System ekonomi kapitalis (yang menghendaki nilai lebih), dalam
islam disebut juga riba, mendapatkan hidup dari hasil ekploitasi
sumberdaya yang terusmenerus demi kepentingan akumulasi
dan juga penghisapan manusia antar manusia. Dengan
penguasaan dan kepemilikan individu yang lebih, Kekayaan yang
dikumpulkan hanya dinikmati oleh beberapa gelintir orang saja.
Akhirnya perempuanlah yang menjadi korban paling utama dengan
system tersebut. Perempuan hanya menjadi objek dan komoditi dari
kepentingan modal mereka, perempuan dijadikan pekerja
penurut dengan upah
yang murah.
3. Fasisme Religius
Ini adalah istilah baru yang lebih maju dari devinisi radikalisme
dan fundamentalisme. Fasisme sendiri adalah sebuah system yang
dibangun oleh kelompok borjuis kecil dan tengah eropa untuk
menguasai Negara. Fasisme juga bisa dikatakan sebagai
penguasaan atau kediktatoran penuh yang reaksioner. Adapun
ciri -ciri dari fasisme religious adalah :
a. Gerakannya mengambil bentuk mobilisasi massa di jalanan; Contoh;
militer, FPI, HTI,dll (isu-isu yang diusung: anti pluralisme, anti
demokrasi, anti liberalisme,dll).
b. Percaya pada keagungan sistem dan nilai-nilai sosial masa lalu;
(seperti konsep khilafah, kehebatan kepemimpin masa lalu dll).
Tindakan fasisme religious sangat merugikan perempuan,
dengan claim kebenaran tafsir yang mereka suguhkan, apa yang
kemudian dilakukan diyakini sebagai sebuah kebenaran. Contohnya
adalah serangan brutal yang dilakukan oleh FPI dan kelompok
kanan lainnya terhadap ideology atau faham yang dianggap sesat
(ILGA, Ahmadiyah,Komunisme dll), penerapan perda di beberapa
wilayah di Indonesia; dengan dalih kemuliaan untuk perempuan,
perempuan terbelenggu dalam ruang public dan
mengembalikannya ke ranah domestic. Bukan hanya itu,
penafsiran mereka yang dianggap sebuah kebenaran tunggal
dalam membolehkan poligami dan etikaperempuan menjadikan
perempuan terkurung dalam ruang yang sama sekali jauh dari
esensi kehidupannya.
Kunci memenangkan pertarungan dengan kelompok kanan
radikal/Fasisme Religius ini tergantung pada dua hal berikut:
a. Seberapa mampu gerakan progresif membangun basis massa yang
terorganisir dan berkesadaran kritis;
b. Seberapa mampu kaum progresif memenangkan pertarungan di
jalan-jalan
4. Imperialisme
Imperialisme atau disebut juga penj ajahan gaya baru atau
penjajahan non fisik, imperialisme adalah bergeraknya modal
asing yang sangat bebas untuk menguasai sumber daya alam dan
asset-aset masyarakat. Metode yang dilakukannya adalah melalui
kerjasama investasi atau pembelian aset-aset kepemilikan
Negara/masyarakat (kepemilikan produksi emas, baja, minyak,
telekomunikasi dan lainnya oleh pemodal besar dan Negara maju)
dan pemberian utang yang menjerat Negara dan rakyatnya.
Sehingga kemiskinan kebodohan, pengangguran, kriminalitas
semakin merajalela di Negeri ini. Disinilah perempuan juga terkena
dampak yang sangat serius, khususnya ibu rumah tangga yang
kesehariannya berjibaku dengan kebutuhan pokok keluarga.
Ketika keempat musuh tersebut masih bertahan dan merajalela,
maka sebuah keniscayaan keadilan, kesejahteraan, kesetaraan
tercipta di tengah-tengah masyarakat yang kita cintai ini. Dari
keempat musuh yang diuraikan diatas, satu –satunya jalan untuk
melawannya adalah keseriusan dari individu dan organisasi kita
yang tertuang dalam landasan ideology yang jelas kemudian
diteruskan dengan taktik strategi organisasi yang sistematis.
F. Refleksi Paradigma KOPRI
Paradigma merupakan hal yang sangat vital dalam organsiasi,
dan menjadi tolak ukurdalam memandang suatu kondisi atau realita.
Bagi PMII, pengertian paradigma dapat dirumuskan sebagai titik
pijak untuk menentukan cara pandang menyusun sebuah teori,
menyusun sebuh pertanyaan, dan rumusan mengenai suatu
masalah. Berkaitan dengan fenomena perempuan dalam konteks
nasional serta sinergitas gerakan KOPRI dalam tinjauan
sosiologis-historis, perlu ditinaju ulang paradigma kritis transformatif
itu sendiri. Hingga saat ini tantangan global yang lebih kompleks
dalam era kontemporer harus disikapi secara komprehensif dalam
berbagai tinajuan. Fenomena yang terjadi di internal
KOPRI itu sendiri, semakin naik struktur kepengurusan, kader-
kader KOPRI semakin kian terkikis. Permasalahannya adalah
banyak kader KOPRI itu sendiri yang terjebak oleh kontradiksi
ekonomi, yaitu peluang usaha dan karier kader itu sendiri. Tentu
saja, fenomena ini bukan terjadi secara alamiah, tetapi lebih dari itu,
bagaimana KOPRI mampu menjawab tantangan kontradiksi
ekonomi itu sendiri demi kaderisasi KOPRI.Didalam tatanan global,
permasalahan penindasan perempuan yang terdiri dari
hegemoni relasi ekonomi dan patriakhi itu sendiri. permasalahan
tersebut semakin dimapankan oleh media komunikasi yang mampu
merebut ruang gerak grass root, juga hegemoni kapital/modal
sehingga merebut kemandirian relasi ekonomi.
Jika dua problematika utama tersebut dimapankan oleh struktur
ekonomi dan politik, maka mau tidak mau pembedahan masalah
penindasan tersebut dikaji melalui dua pisau analisa yang
komprehensif. Ketimpangan yang terjadi dalam gerakan KOPRI
itu sendiri adalah terdapat ruang kosong antara pemahaman
secara teoritik dan kesadaran secara praktik. Kajian yang
dimapankan dalam ruang diskursus tidak mampu menjawab
permasalahan jika saja tidak mampu melakukan advokasi
hingga ke ruang -ruang marginal/pelosok, terutama dalam merebut
kesadaran yang telah direnggut kaum pemodal.
Disisi lain, diaspora gerakan KOPRI diharapkan mampu
mengkonsolidasikan diri dengan berbagai gerakan perempuan
secara intens. Hingga saat ini, hal terpenting yang bisa meng-
counter ruang geografis penindas adalah semangat persatuan dan
nasionalisme itu sendiri. hal ini tdak mampu terwujud jika tidak ada
konsolidasi secara massif di antara berbagai elemen,baik gerakan
mahasiswa, buruh tani, dan gerakan lain yang terkait.
Konsolidasi holistik tersebut mampu menciptakan kemandirian
gerakan solidaritas dan solidaritas gerakan perempuan. Titik tekan
hal ini adalah menciptakan kader-kader petarung yang siap terjun di
masyarakat dengan basis kompetensi dan integritas gerakan.
Secara general paradigma KOPRI dapat direfleksikan melalui
konsolidasi basis-holisitk Disatu sisi gerakan KOPRI diprioritaskan
ke dalam sinergitas gerakan antara penguatan teoritik dengan
advokasi grass root, juga penguatan konsolidasi interkoneksi, baik
melalui relasi ekonomi, relasi politik, maupun relasi antar gerakan
perempuan.
G. KOPRI Sebagai Gerakan Perempuan yang “KHAS”
Korps PMII Putri (KOPRI) yang lahir 25 November 1967
merupakan wadah kaderperempuan Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia. Prinsip kesetaraan KOPRI yang merupakan salah satu
bagian prinsip kesetaraan dalam Al-Qur`an sebagai khalifatullah
filardl dan keberadaannya menjadi rahmat bagi segenap alam,
karenanya keberadaan KOPRIharus dirasakan kemanfaatannya
tidak hanya oleh kader-kader PMII baik seluruh umat yang ada
dibumi ini, baiks ecara langsung maupun tidak langsung.
Dalam konteks kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan, keberadaan KOPRI diharapkan mampu menjadi salah
satu kelompok efekti yang aktif dalam memberikan tawaran-tawaran
gerakan untuk mengurai persoalan- persoalan yang muncul di
masyarakat. Semakin banyaknya gerakan-gerakan perempuan saat
ini, KOPRI berusaha untuk membuat arah gerakan KOPRI yang
“khas”. Ada dua landasan yang akan membuat gerakan KOPRI
memiliki cirri dan menjadi arah gerak KOPRI yaitu Nilai Kader
KOPRI dan Panca Norma KOPRI. Gerakan KOPRI perlu adanya
penguatanpenguatan dari basis atau kaderkader PMII. Pada
kongres ke XVII di Jambi lahir IPO (Ideologi Politik Organisasi)
KOPRI. Ini berangkat dari hasil analisa bahwa penguatan basis
ideologi yang lemah, merupakan faktor utama yang membuat kader
perempuan PMII tidak bertahan lama didalam organisasi. Ini
menegaskan kurangnya penguatan ideologisasi baik landasan
dan asupan-asupan gizi intelektual. Ketika sudah menemukan
dasar -dasar ideologi, maka akan mempermudah fungsionaris
kader dan organizer KOPRI untuk menentukan berbagai langkah
gerak serta kebijakan yang berkaitan dengan perempuan dalam
perspektif gender yang tetap memegang nilainilai dasar Islam
Ahlusunnah wal Jama‟ah, karena dari nilai-nlai ini telah melahirkan
berbagai pandangan dan kemudian dipakai untuk menajamkan
analisa untuk berbagai persoalan yang dialami perempuan.
Penguatan basis gerakan, paradigma gerakan KOPRI harus
dipertajam lewat penggalian/pengkajian.eksplorasi pemikiran yang
berkaitan dengan cara pandang dan cara lihat organisasi terhadap
persoalan yang dihadapi. Aswaja merupakan salah satu metode
berfikir yang dianggap masih penting dalam melakukan pembacaan
persoalan, khususnya ersoalan kesetaraan gender yang menjadi
fokus kecenderungan KOPRI.
Gerakan yang dapat dilakukan KOPRI sebagai wujud bentuk
perubahan dalam wacana-wacana baru dan menjawab
permasalahanpermasalahan perempuan baik internal dan eksternal
KOPRI. Dan gerakan KOPRI akan lebih massif dan terorganisir baik
ketika arah gerak dan tujuan gerakan KOPRI diperjelas. Dua
gerakan strategis yang dapat dilakukan KOPRI untuk tetap
konsisten dengan gerakan dan tujuan PMII. Disamping sebagai
kader KOPRI (karena jati dirinya adalah perempuan) yang dapat
bergerak pada ranah issue-issue perempuan, disamping yang lain
sebagai kader PMII secara mutlak dan senantiasa dapat bergerak
pada isu-isu gerakan sosial lainnya. Jadi pada dasarnya KOPRI
harus mampu menerobos pembagian kerja secara gender
dengan merumuskan “dua strategi gerakan”:
Gerakan politik, out put yang akan dicapai dalam proses
gerakan politik adalah penguasaan leading sector oleh kader-kader
perempuan PMII. Gerakan sosial, out put yang akan dicapai dalam
proses gerakan sosial adalah advokasi kepada masyarakat baik
advokasi kebijakan publik yang tidak berpihak kepada perempuan
dan advokasi ke basis massa (include terhadap sektor buruh, tani,
mahasiswa, kaum miskin kota, dll).
MATERI VI
PETA NARASI KEADILAN GENDER DI MEDIA SOSIAL

Tulisan berperspektif feminis kian banyak mewarnai media


digital belakangan ini. Melalui berbagai portal media, gaung
keadilan gender diulas dengan beragam sudut pandang
penulisnya. Ada yang tertarik untuk menyorot berbagai bentuk
penindasan dan kekerasan entah verbal, fisik dan psikis yang
dialami perempuan, ada pula yang tertarik dengan diskusi wacana
feminis yang mencoba untuk menemukan hal esensial yang
menindas perempuan di konteks sosial budaya secara umum.
Singkatnya, tulisan berperspektif feminisme memang sangat
penting hadir di era digital karena ada banyak hal dari perempuan
yang harus diperjuangkan. Sekurang -kurangnya, cara demikian
dapat menjadi kampanye untuk memulihkan martabat dan
mendefinisikan identitas perempuan.Hal diatas memunculkan
pertanyaan sederhana misalnya, mengapa janda selalu dicurigai
penggoda?Mengapa perempuan dituntut untuk segera menikah?
Mengapa pula misalnya perawan tua sering dianggap sebagai
perempuan tak laku? Padahal, perempuan sama halnya dengan laki-
laki, yang mana mereka berhak menentukan arah hidup dan
karirnya agar bisa mencapai kelayakan hidup.
Seolah-olah saja, laki-laki bebas menentukan hidupnya
sedangkan perempuan dibatasi oleh standar tertentu. Bahkan,
tuntutan puan menikah muda mungkin sebagian besarnya
didasari oleh persepsi awam bahwa perempuan muda jauh
lebih subur sehingga bisa menghasilkan anak dan masih memiliki
kecantikan.
Menyoal kecantikan saja, perempuan seperti tidak memiliki
kuasa untuk mendefinisikan apa itu cantik. Kebanyakan orang
akan menyebut bahwa cantik itu mestilah berkulit putih, mulus,
langsing dll. Definisi kecantikan dimonopoli dan berpijak dari sudut
pandang laki-laki. Kemudian muncullah kritik atas kecantikan
yang ditulis oleh Saraswati, Dosen di Departemen Kajian
Perempuan, Universitas Hawaii, yang membedah mitos
kecantikan di Indonesia. Melalui bukunya, Seeing Beauty,
Sensing Race In Transnational Indonesia, ia mengotopsi sejarah
pikiran masyarakat tentang konsepsi menjadi cantik adalah menjadi
putih. Saraswati mengamati bahwa ‘putih’ itu cantik, telah hadir jauh
sebelum kolonialisme. Mitos kecantikan, mula-mula dapat ditemukan
dari Epos Ramayana dari India. Karakteristik Sinta misalnya,
digambarkan seperti rembulan yang terang dan putih. Ini pada
akhirnya membentuk suatu idealit as tertentu tentang cantik
haruslah putih. Dengan demikian, Saraswati mengatakan bahwa
konsep warna kulit putih sebagai standar kecantikan lebih
merupakan efek dari sejarah transnasional bangsa kita. Hasrat
kecantikan itu kemudian dimanfaatkan oleh industri kapital untuk
membuat berbagai produk kecantikan.
Selain itu, fitur-fitur filter pemberi efek putih yang disuguhkan
oleh berbagai platform media sosial, mengkristalkan definisi kulit
putih sebagai standar kecantikan. Oleh karenanya, sangat jelas
bahwa praktik pewacanaan kecantikan ‘kulit putih’ harus dilihat
sebagai alienasi atas perempuan di jagad maya, karena
suprastruktur atau kesadaran perempuan distimulus oleh paltform
media yang di satu sisi menguntungkan kapitalisme, di sisi lain juga
menindas mere kapara puan yang tidak memiliki warna putih di
kulitnya.
Kecantikan bukan hanya melulu persoalan tentang tampilan
tubuh, melainkan juga fashion dan moral. Aspek-aspek ini pada
akhirnya mampu mendefinisikan kehadiran perempuan di ruang
publik, baik itu di ruang nyata ataupun maya. Masyarakat Jawa
umumnya mengaitkan kecantikan dengan segenap norma sosial.
Ramah tamah dan kesantunan misalnya, merupakan satu ciri
dari konsep kecantikan itu sendiri. Namun selain itu, bagi saya
yang terpenting lagi adalah persoalan tentang bagaimana
perempuan hadir di ruang sosial dengan identitasnya dan sadar
akan pilihannya. Jelas persoalan yang dihadapi perempuan tidak
terbatas pada satu ihwal saja seperti kecantikan. Tema lain
yang layak diangkat pula adalah bagaimana membuat
perempuan berdaya di ruang sosial-budaya untuk membentuk
masyarakat yang berkeadilan gender.
Setelah membaca uraian tentang PUG (Pengarusutamaan
Gender) yang ditulis oleh founder Perempuan Berkisah, Alimah
Fauzan, saya sedikit paham bagaimana langkah strategis untuk
mewujudkan masyarakat yang berkeadilan gender. Gender
Equality, orang menyebutnya, harus dimulai dengan gender equity
Alimah menjelaskan bahwa gender equality lebih merupakan visi
yang hendak dicapai, sedangkan gender equity merupakan
tinjauan atas kondisi awal perempuan yang hendak diperjuangkan.
Kalau kita refleksikan paparan di atas, kita akan tahu bahwa
strategi kebudayaan untuk mewujudkan masyarakat berkeadilan
gender, haruslah berangkat dari persoalan yang mereka hadapi.
Jika dikaitkan dengan diskursus kecantikan, strategi yang
diambil misalnya adalah kampanye tentang kecantikan yang
diwakili oleh berbagai perempuan Nusantara. Biarkan setiap
perempuan mendefinisikan cantiknya. Semakin kita inklusif ,
maka semakin membuktikan bahwa cantik itu tidak dibatasi oleh
standar tertentu, karena setiap perempuan adalah cantik.
Kemudian, apabila dikaitkan dengan kearifan lokal, seperti
tulisan kolega saya, maka kita dapat mengambil langkah membuat
ruang ekspresi bagi para seniman misalnya, dalam kasus dhalang
perempuan yang semakin tersingkirkan. Adapun jika terkait dukun
bayi, saya rasa langkah kerjasama dengan para tenaga medis
seperti bidan menjadi sangat penting karena dukun bayi sebagai
profesi semakin tersingkir dan hilang.
Hadirnya berbagai platform feminis seperti Perempuan
Berkisah, JalaStoria, Konde, Empuan, Magdalene adalah hal
penting yang menandai emansipasi perempuan untuk
mewujudkan gender equality. Memang kampanye seperti ini
tidak hanya terbatas pada kampanye berbasis tulisan saja,
melainkan melalui penyuluhan, pembinaan dan advokasi yang
panjang. Akan tetapi, tulisan berperspektif feminis atau berkaitan
dengan emansipasi perempuan adalah hal yang punya kontribusi
besar emasipasi perempuan di era digital saat ini.
Oleh sebab itu, narasi perempuan yang hadir di berbagai
platform media, menjadi sangat bagus, karena ini membuktikan
bahwa kita sedang berbicara dan berdiskusi untuk mewujudkan
keadilan gender. Jadi, para perempuan tetaplah menulis. Syukur
juga kalau laki- laki menulis feminis, sebab kita tahu bahwa cita-cita
keadilan gender akan lebih cepat berhasil jika laki-laki juga melek
gender.
Alasan Perempuan Penting Hadir di Media Sosial Mengapa
perempuan harus hadir di media sosial? Sebaris tanya itu kemarin
mengemuka dari peserta yang hadir dalam sesi halaqoh virtual
Perempuan Ulama 2020 “Dakwah di Medai Sosial dan Penguatan
Literasi Pesantren”, yang digelar pada Kamis, 10 September 2020
oleh Pusat Studi Pesantren Jakarta. Selain saya, ada Buya KH
Husein Muhammad dan Ibu Nyai Hj. Affah Mumtazah yang
menyampaikan pendapat.
Dan ini jawaban saya atas pertanyaan di atas. Pertama,
representasi perempuan harus hadir di media sosial, selain
sebagai aktualisasi dan ruang berekspresi, juga karena
menghadirkan wajah perempuan yang bahagia itu penting. Agar,
apapun peran kehidupan yang dimainkan oleh perempuan,
memastikan sistem kehidupan telah memberinya ruang aman
serta nyaman bagi perempuan untuk berproses sebagai apa atau
siapa.
Kedua, banyak narasi yang melemahkan perempuan,
muncul di media sosial dalam bentuk konten, meme, atau tulisan.
Meski kadang menimbulkan rasa kesal, tetapi tidak harus dilawan
dengan kontra narasi, atau disikapi dengan marah-marah.
Namun bagaimana menghadirkan narasi alternatif yang memberi
kesan positif dan baik bagi perempuan, tanpa harus memusuhi
mereka yang berbeda. Misal jika ada narasi yang mengatakan
bahwa perempuan sholihah itu di rumah, dan tidak boleh bekerja
karena surga perempuan ada di dalam rumah. Maka, kita hadirkan
perempuan bekerja juga merupakan istri sholihah, di mana ia bisa
membagi waktu, membangun relasi dan komunikasi yang baik
dengan pasangan, serta tetap dicintai oleh keluarga. Surga
perempuan bera da dimanapun ia bisa memberi manfaatbagi
sekitarnya.
Ketiga, lima pengalaman biologis (menstruasi, hamil,
melahirkan, nifas dan menyusui) dan sosiologis perempuan
(subordinasi / penomerduaan, streotype / pelabelan, marjinalisasi
/peminggiran, beban ganda dan kekerasan berbasis gender) penting
untuk dihadirkan dalam setiap kebijakan apapun di negara ini, dari
level desa hingga ke nasional. Maka, melalui suara perempuanlah,
yang kadang dianggap bising, berisik, tetapi lebih sering pula kita
temui sunyi dan diam perempuan para penyintas, adalah potret
kemajuan suatu negeri. Ibu yang bahagia, istri yang sejahtera, anak
-anak perempuan yang diperlakukan secara adil dan setara, dengan
cucuran banyak cinta serta kasih sayang, adalah cermin bagaimana
peradaban sem akin maju. Sebab, pembatasan peran perempuan
adalah langkah mundur peradaban.
Terakhir, sebagai closing statement saya juga
menyampaikan. Apapun pilihan jalan hidupmu perempuan,
sebagai ibu rumah tangga, single parent, lajang, perempuan bekerja,
pengusaha, petani, pedagang, pemimpin, dan atau pekerja migran
Indonesia, selama pilihan itu berangkat dari kesadaran,
pengalaman dan pengetahuan perempuan, maka berbahagialah,
dan nikmati setiap prosesnya. Karena support system terbesar
sebelum orang dan keluarga adalah dirimu sendiri.
MATERI VII
SEJARAH GERAKAN PEREMPUAN DI INDONESIA

Perempuan, sebagai individu maupun secara kolektif, dari jenis


kelaminnya, adalah bagian tak terpisahkan dari kolektif sosial:
masyarakat. Tak terpisahkan, karena, tanpa

perempuan maka tidak ada peradaban manusia. Seperti halnya


yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer, “perempuan adalah
lautan kehidupan, maka hormatilah ia”. Apa yang disampaikan oleh
Pramoedya merupakan himbauan untuk menghargai perempuan,
diatas kenyataan bahwa perempuan tidak berada dalam posisi
setara, sebagai manusia, dengan manusia lainnya. Pernyataan
Pramoedya ini sekaligus memberikan landasan fundamental atas
kontribusi perempuan bagi peradaban manusia.
Soekarno dalam bukunya Sarinah mengatakan: “bahwa soal
wanita adalah soal masyarakat. Sayang sekali masalah wanita itu
belum pernah dipelajari sungguh-sungguh oleh pergerakan kita. Kita
tidak dapat menyusun negara dan menyusun masyarakat jika kita
tidak mengerti soal wanita.” Demikian penting soal wanita ini menjadi
bahan bagi penyusunan masyarakat dan negara, sehingga
pemahaman atas persoalan perempuan menjadi salah satu pijakan
dalam membangun gerakan perempuan.
Bentuk kesadaran pergerakan perempuan di Indonesia pada
awal abad ke 20 hanya dapat dirasakan oleh perempuan lapisan
atas, kemudian dalam perkembangannya makin meluas hingga
lapisan bawah. Adanya perubahan seperti ini tidak hanya
mendatangkan perbaikan dalam gerakan perempuan, tetapi juga
menambah kesanggupannya dan kecakapannya dalam hal
berorganisasi. Berbagai perkumpulan pun tumbuh hampir di seluruh
wilayah Indonesia, baik yang berdiri sendiri maupun sebagai lapisan
dari organisasi lainnya, seperti: Aisyiyah bagian dari
Muhammadiyah, Serikat Perempuan Islam Indonesia bagian dari
Partai Serikat Islam Indonesia dan Muslimat NU bagian dari NU.13
Untuk mengetahui lebih lanjut gerakan perempuan di Indonesia
kami bagi menjadi beberapa fase, antara lain: Gerakan Perempuan
Pra Kemerdekaan dan Orde Lama, Gerakan Perempuan Orde Baru,
dan Gerakan Perempuan Reformasi sampai Sekarang.

a. Gerakan Perempuan Pra Kemerdekaan dan Orde Lama


Ketika masa prakemerdekaan, gerakan perempuan di Indonesia
ditandai dengan munculnya beberapa tokoh perempuan yang rata-
rata berasal dari kalangan atas, seperti: Kartini, Dewi Sartika, Cut
Nyak Dien, dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi
perempuan di lingkungannya. Perlu dipahami bila model gerakan
Dewi Sartika dan Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya
melek huruf dan mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang
terampil, karena baru sebatas itulah yang memungkinkan untuk
dilakukan dimasa itu.14
Dengan kebijakan politik etis pada awal abad ke-20, penguasa
kolonial yang menganggap kaum bumiputera malas, bodoh dan tidak
beradab membuka ruang- ruang pendidikan secara luas dengan
harapan rakyat Hindia Belanda akan menerima peradaban barat dan
menjadi bagian kerajaan Belanda dengan sukarela. Kesempatan ini
langsung dimanfaatkan oleh kaum bumiputera yang menganggap
kemajuan sebagai tumbuhnya gairah untuk berfikir merdeka,
meninggalkan kepatuhan kepada penguasa kolonial dan terlibat
kerja-kerja melawan pembodohan, diskriminasi dan segala bentuk
ketidakadilan.
Gagasan kemajuan kaum bumiputera terpelajar yang masih bisa
dikatakan sedikit, berpengaruh terhadap pandangan mereka tentang
perempuan. Mereka tetap melihat peran utama perempuan adalah
melahirkan dan merawat anak, tetapi kepedulian mereka akan
perlunya satu generasi baru dengan kualitas moral dan intelektual
yang lebih baik membuat mereka berfikir tentang pentingnya
pendidikan bagi kaum perempuan sebagai ibu. Sementara kaum
perempuan terdidik melihat bahwa sistem kolonialisme dan tradisi
feodal sudah menyebabkan kehidupan perempuan secara umum
terpuruk.
Di penghujung abad ke-19, ketika Kartini menulis tentang
ketertindasannya sebagai perempuan jawa. Ia menyadari bahwa
pembebasan perempuan bisa terwujud bila terjadi perubahan pola
pikir di kalangan masyarakat secara keseluruhan. Memperjuangkan
kesetaraan bagi perempuan adalah kerja pemberadaban suatu
bangsa dan bukan semata-mata tugas perempuan.

Emansipasi perempuan Indonesia merupakan gerak social yang jadi


penunjang dan sekaligus bagian yang ikut menentukan dalam
periode kebangkitan nasional pada sekitar awal abad 20. Ia bukan
terbatas pada usaha mendapatkan hak-hak sederajat dengan pria
sebagaimana terjadi di Eropa pada kurun yang hampir
bersamaan. Ia lebih banyak merupakan gerakan untuk
mendapatkan faal social lebih banyak daripada yang selama itu
dimungkinkan oleh system keluarga yang berlaku.15
Semangat inilah yang mendorong perempuan-perempuan
terdidik di beberapa tempat menyelenggarakan sekolah-sekolah bagi
perempuan. Pada tanggal 16 Januari 1904 sekolah perempuan
pertama Sekolah Istri didirikan oleh Dewi Sartika. Delapan tahun
kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kautamaan Istri dan
meluas menjadi 9 sekolah yang memberi perhatian terbesar pada
anak-anak perempuan dari kalangan biasa. Di Kotogadang,
Roehana Koeddoes mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia pada
tahun 1911; dan di Manado Maria Walanda Maramis mendirikan
sekolah PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Keturunannya) pada
1917. Sementara itu ide Kartini dilanjutkan oleh C. Th. Van Deventer
beserta istrinya dengan mendirikan Sekolah Kartini pada 1913 di
Semarang. R.A Kartini adalah tokoh emansipasi perempuan
Indonesia pertama. Khususnya karena pada sekitar pergantian
abad, barang 15 tahun sebelum terbit suntingan Abendanon Door
Duisternis tot Licht, telah berkali-kali mengumumkan tulisan dalam
beberapa berkala Belanda. Dengan faal social baru itu teoritis ia
telah meninggalkan kedudukannya dalam system keluarga ningrat,
golongan atas pribumi pada masanya. 16
Perlu ditekankan sebutan system keluarga ningrat, karena dalam
system ini perempuan tidak ikut berproduksi untuk kehidupan social,
maka juga sangat sedikit hak-hak pribadinya. Jadi system ini
berbeda dari system keluarga golongan bawahan jawa yang
menganut parentalisme, dimana pria dan perempuan sama-sama
berproduksi di sawah, ladang, pasar, dalam lingkungan rumah; hak
antara pria dan perempuan sama, maka juga tidak ada poligami,
sejauh mereka tidak keluar dari sistemnya.17

Di kalangan organisasi Islam seperti Muhammadiyah, pada tahun


1917 di Yogyakarta membentuk Aisyiyah yang menyelenggarakan
sekolah berkurikulum modern bagi anak-anak perempuan dengan
tekanan pendidikan agama. Sedangkan di Padang Panjang, Rahma
El-Joenoesia, pada tahun 1922, mendirikan pesantren perempuan
yang diberi nama Dinijah Poetri.
Dukungan dari para lelaki yang aktif dalam pergerakan nasional
menjadi penting, terutama menghadapi tantangan dari kalangan
konservatif di kalangan bumiputera yang tidak melihat perlunya
perempuan berkumpul, bertukar pikiran, menyatakan pendapat dan
bekerja untuk masyarakat. Disamping itu juga perempuan
membutuhkan bantuan dari laki-laki untuk mengenali dan
memanfaatkan perangkat kerja modern, seperti organisasi,
penerbitan dan pertemuan umum. Poetri Mardika didirikan di Jakarta
pada tahun 1912, di dorong oleh Boedi Oetomo. Sementara surat
kabar perempuan pertama, Poetri Hindia, yang diterbitkan oleh
junalis R.M. Tirtho Adhi Soeryo di Bandung pada tahun 1909, masih
dipimpin dan diawaki oleh laki-laki. Baru tiga tahun kemudian,
Roehanna Koeddoes menerbitkan Soenting Melajoe (Bukittinggi)
yang sepenuhnya dikelola oleh perempuan. Dalam waktu kurang
lebih
15 tahun organisasi-organisasi lainpun berdiri di berbagai kota
dengan kegiatan, antara lain: menyelenggarakan pendidikan dan
layanan kesejahteraan sosial bagi perempuan, memberi beasiswa
kepada anak-anak perempuan berbakat, menyebarkan informasi
tentang pendidikan, dan menerbitkan surat kabar mingguan untuk
menyebarluaskan gagasan tentang kemajuan dan keadaban
perempuan.
Kongres Perempuan Indonesia I di Jakarta 1928 dan II di
Yogyakarta 1935 berulangkali menekankan pandangan tentang
pentingnya keutuhan rumah tangga dengan perkawinan yang
bahagia. Persoalan sosial seperti perdagangan perempuan,
prostitusi, pergundikan, atau kawin paksa diperbincangkan dalam
kerangka pentingnya membangun institusi perkawinan dan
kerumahtanggaan yang sehat dan kuat demi kemajuan dan
keadaban bangsa. Selanjutnya masalah poligami ini menjadi sumber
perdebatan sepanjang sejarah gerakan perempuan, apakah poligami
sesungguhnya sumber masalah atau bagian dari penyelesaian
masalah bagi perempuan? Hal ini mendorong Kongres Perempuan
Indonesia II membentuk Komisi Penyelidik Hukum Perkawinan
dibawah pimpinan ahli hukum Maria Ulfah Santoso yang hasilnya
disampaikan pada Kongres Perempuan III. Kesimpulannya adalah
bahwa pada akhirnya masyarakat Indonesia akan sepakat bahwa
poligami harus dihapuskan. Dari perdebatan tentang poligami dapat
dipelajari bahwa soal
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942, semua
organisasi perempuan dilarang kecuali Fujinkai yang merupakan organisasi
bentukan Jepang untuk para istri pegawai pemerintah dan sebagai wadah
memobilisir dukungan demi kepentingan fasisme Jepang. Salah satu
kegiatan dari Fujinkai ini adalah pemberantasan buta huruf.
Soekarno pun turut ambil andil dalam pergerakan perempuan masa itu
dengan menganggap soal perempuan adalah soal yang amat penting, soal
perempuan adalah soal masyarakat. Pasca proklamir kemerdekaan
Soekarno mengadakan kursus-kursus terhadap para perempuan republic
dan kemudian dia tuliskan dengan judul buku Sarinah.
Menurut Soekarno melihat keadaan perempuan saat itu mengatakan
dalam bukunya bahwa kita bangsa Indonesia, kita terbelakang didalam
banyak urusan kemajuan. Kita didalam urusan posisi perempuan pun
terbelakang, tetapi keterbelakangan ini bermanfaat, kita dapat melihat dari
keadaan kaum perempuan di negeri-negeri yang lain, bagaimana soal
perempuan harus kita pecahkan. 19

Pada masa orde lama ini, akses perempuan untuk berorganisasi sangat
kuat, karena ada keinginan dari Soekarno agar perempuan berbareng
bergerak mempertahankan kemerdekaan, dan perempuan pada saat itu
ikut membantu mempertahankan kemerdekaan dan turut membebaskan
Irian Barat.
Untuk mempermudah mempelajari sejarah gerakan perempuan yang
bermunculan di Indonesia, dapat dilihat pada kolom dibawah ini:

mempertahankan kemerdekaan, dan perempuan pada saat itu ikut


membantu mempertahankan kemerdekaan dan turut membebaskan Irian
Barat.
Untuk mempermudah mempelajari sejarah gerakan perempuan yang
bermunculan di Indonesia, dapat dilihat pada kolom dibawah ini:
Karakter Gerakan
No Periodisasi Aktor Gerakan Gagasan
(Isu Utama)
1. 1912-1928 Putri Medika Kesetaraan gender Akses pendidikan,
keadilan
peran dalam rumah
tangga
2. 1920 Gerakan Peran aktif dalam Partisipasi perempuan
Perempuan wilayah politik dalam kancah politik,
Mayoritas keterlibatan perempuan
dalam pengambilan
keputusan
3. 1928- Perserikatan Sosialis-Nasionalis Perlindungan wanita dan
1935
Perkumpulan anak-anak dalam
Perempuan perkawinan, mencegah
Indonesia (PPPI) perkawinan anak-anak,
menuntut pendidikan bagi
anak-anak. Dan
kedudukan wanita dalam
perkawinan
4. Pasca WANI (Wanita Perbaikan nasib Menuntut dan
mempertahankan keadilan
Kemerdekaan Indonesia) dan perempuan
social
(1945-1946) KOWANI
(Kumpulan dari
Beberapa
organisasi
perempuan)
5. 1950-1965 GERWIS Peningkatan Orientasi pendidikan yang
pendidikan kaum lebih terhadap perempuan
perempuan dan menyediakan fasilitas
penitipan anak
6. 1954 GERWANI Politik praktis Partisipasi perempuan di
dalam parlemen, menuntut
suara perempuan di
parlemen,pembentukan
organisasi perempuan,
dan menuntut hukum
perkawinan

GERWANI dalam prosesnya mampu menunjukkan eksistensinya dengan


sebuah keberhasilan mampu memobilitasi massa (organisasi-organisasi
perempuan) sekaligus sebagai satu-satunya organisasi perempuan terbesar waktu
itu dengan jumlah anggotanya lebih satu juta massa. GERWANI mampu menjadi
pelopor gerakan perempuan dibidang politik. Sampai kemudian tibalah masa
demokrasi terpimpin (pergantian pucuk kekuasaan orde lama ke orde baru) yang
berimplikasi pada penghancuran gerakan perempuan, termasuk GERWANI pada
tahun 1965 yang ditandai dengan runtuhnya orde lama.20

b. Gerakan Perempuan Orde Baru


Di masa kemerdekaan dan masa orde lama, gerakan perempuan
terbilang cukup dinamis dan memiliki bargaining cukup tinggi. Dan kondisi
semacam ini mulai tumbang sejak orde baru berkuasa, bahkan mungkin
perlu dipertanyakan: adakah gerakan perempuan dimasa rejim orde baru?
Bila menggunakan definisi tradisional dimana gerakan perempuan
diharuskan berbasis massa, maka sulit dikatakan ada gerakan
perempuan ketika itu.21 Disini ada semacam domestikasi gerakan; dimana
orientasi gerakan diarahkan pada wilayah-wilayah domestic.
Penumpasan yang dilakukan oleh Suharto terhadap kelompok kiri dan
revolusioner yang kemudian seringkali disebut sebagai tragedi kemanusiaan
terbesar dalam sejarah Indonesia, merupakan awal dari sejarah kelam
gerakan perempuan. Sejarahpun mengalami distorsi, dimana kaum
perempuan yang tergabung dalam

gerakan perempuan khususnya gerwani dianggap sebagai sosok-sosok


perempuan tanpa rasa peri kemanusiaan dan menumpas habis gerakan ini.
inilah titik balik gerakan perempuan, dimana pasca itu gerakan perempuan
direduksi dan hanya menjadi alat pelanggeng keuasaan Suharto. Lewat
wadah PKK dan Dharma wanita, wadah-wadah perempuan ini menjadi alat
mobilisasi kaum perempuan dalam program pembangunanisme. Dengan
kepandaian memutarbalikkan bahasa, orde baru menyebut penghilangan
peran perempuan dalam dunia politik ini sebagai “normalisasi” posisi
perempuan. Jadi, situasi keterlibatan perempuan dalam politik dianggap
abnormal, sementara domestifikasi peran dinilai sebagai hal normal belaka.
Gerakan perempuan di masa rejim otoriter orde baru muncul sebagai
hasil dari interaksi antara faktor-faktor politik makro dan mikro. Factor-faktor
politik makro berhubungan dengan politik gender dan proses demokratisasi
yang semakin menguat di akhir tahun 80-an. Sedangkan factor politik mikro
berkaitan dengan wacana tentang perempuan yang mengkerangkakan
perspektif gerakan perempuan masa pemerintahan orde baru. Wacana-
wacana ini termasuk pendekatan Women in Development (WID) yang telah
mendominasi politik gender orde baru sejak tahun 70- an, juga wacana
feminism yang dikenal oleh kalangan terbatas (kampus/akademis) dan
ornop.22
Walaupun telah berdiri organisasi-organisasi seperti IDHATA (Ikatan
Dharma Wanita), akan tetapi fungsi daripada organ tersebut hanya sebagai
wadah perkumpulan para perempuan-perempuan atau istri kepala desa,
lurah, polisi serta pejabat. Wilayah garapannya pun hanya pada masalah
keperempuanan yang sifatnya domestic. Tidak pernah sekalipun menyoroti
masalah social kemasyarakatan ataupun politik.23
Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, pemerintahan orde
baru di identikkan dengan peraturan yang otoriter yang tersentralisasi dari
militer dan tidak diikutsertakannya partisipasi efektif partai-partai politik
dalam proses pembuatan keputusan. Andres Uhlin berpendapat bahwa
selain dominasi Negara atas masyarakat sipil, struktur ekonomi dan politik
global, struktur kelas, pembelahan atas dasar etnis

dan agama, maka hubungan gender juga mendukung kelanggengan


kekuasaan rejim orde baru.24
Untuk memahami politik gender ini sangat penting, menganalisis
bagaimana rejim orde baru ini berhubungan dengan hubungan-hubungan
gender sejak ia berkuasa setelah peristiwa 1965. Rejim orde baru dibangun
diatas kemampuannya untuk memulihkan keteraturan. Pembunuhan besar-
besaran berskala luas yang muncul digunakan untuk memperkuat kesan di
masyarakat Indonesia bahwa orde lama adalah kacau balau dan tak
beraturan. Rejim orde baru secara terus-menerus dan sistematis
mempropagandakan komunis adalah amoral dan anti agama serta
penyebab kekacauan. 25
Orde baru menginstruksikan sebuah ideology gender yang mendasarkan
diri pada ibuisme, sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi
perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu dan partisipasi
perempuan dalam politik sebagai tak layak. Politik gender ini
termanifestasikan dalam dokumen-dokumen Negara, seperti GBHN, UU
Perkawinan No. 1/1974 dan Panca Dharma Wanita.26
Dalam usaha untuk memperkuat politik gender tersebut, pemerintah orde
baru merevitalisasi dan mengelompokkan organisas-organisasi perempuan
yang berafiliasi dengan departemen pemerintah pada tahun 1974.
Organisasi-organisasi ini (Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, PKK) membantu
pemerintah menyebarluaskan ideology gender ala orde baru. Gender politik
ini telah diwarnai pendekatan WID sejak tahun 70-an. Ini dapat dilihat pada
Repelita kedua yang menekankan pada “partisipasi populer” dalam
pembangunan, dan mengkonsentrasikan pada membawa perempuan
supaya lebih terlibat pada proses pembangunan.
Dibawah rejim otoriter, implikasi politik gender ini ternyata sangat jauh,
tidak sekedar mendomestifikasi perempuan, pemisahan dan depolitisasi
perempuan, tetapi juga telah menggunakan tubuh perempuan sebagai
instrument-instrumen untuk tujuan ekonomi politik. Ini Nampak pada program
KB yang dipaksakan untuk “hanya” perempuan dengan ongkos yang tinggi,
yang khususnya dirasakan oleh perempuan kalangan bawah di pedesaan.
Ringkasnya politik gender orde baru telah berhasil

membawa perempuan Indonesia sebagai kelompok yang homogeny


apolitis dan mendukung peraturan otoritarian. 27

c. Gerakan Perempuan Reformasi sampai Sekarang


Disaat teridentifikasi bahwa banyak perempuan yang mengalami
pemerkosaan pada peristiwa Mei 1998, sejumlah perempuan mendatangi
presiden baru BJ Habibie unutk menyampaikan bahwa negara harus
bertanggung jawab terhadap kekerasan pada perempuan yang berlangsung
pada Mei 1998 tersebut. Dari kunjungan terhadap presiden tersebut,
berdirilah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) dengan mandat utama dari presiden adalah menciptakan
situasi yang kondusif untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan,
melakukan pemantauan atasnya dan memberi masukan kepada para
pengambil kebijakan untuk memastikan bahwa setiap kebijakan tidak
diskriminatif yang berdampak kekerasan terhadap perempuan.
Pada masa reformasi (1998) sentralnya pada masa kepemimpinan Gus
Dur sampai sekarang, banyak munculnya LSM-LSM dan PSW (Pusat Studi
Wanita). PSG (Pusat Studi Gender) yang diberi hak penuh untuk berkreasi
dan mengeluarkan pendapat, terutama bagi organisasi perempuan yang
selama ini hak berbicara dan hak berpolitiknya dipasung. Orientasi LSM
perempuan dan PSW/PSG lebih mengarah pada program pendampingan
masyarakat. Perlu diingat bahwa pergerakan (perempuan) tidak hanya
berkutat pada orientasi keperempuanan, adapun persoalan yang lebih
makro lagi untuk diperjuangkan dan disikapi adalah keadaan kongrit bangsa
Indonesia yang didominasi oleh kaum imperialis yang menguasai sumber-
sumber daya alam dan memonopolinya, sehingga menjadikan warga
Indonesia hanya sebagai tenaga kerja.28
Bila system pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling
kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi seperti ini
semestinya pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan
bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat
dari kuantitas peran di sejumlah

jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, justru ada


penurunan di banding masa-masa akhir rejim orde baru. Namun, secara
kualitatif, peran perempuan itu semakin diperhitungkan juga di pos-pos
strategis, seperti yang tampak pada komposisi cabinet. Ini dapat digunakan
untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia
semakin terperbaiki.
Di era reformasi ini mereka melakukan konsolidasi gerakan dan
menggolkan perbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) di tahun
2004, mendesakkan kebijkaan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000
Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan yang hendak mewujudkan
bahwa semua departemen pemerintah, termasuk birokrasi di daerah harus
memberlakukan pengarusutamaan gender dengan penekanannya pada
program penguatan institusi. Ide-ide gerakan perempuan pun tidak hanya
mewarnai beragam aturan dan kebijakan, tetapi juga mendorong tumbuh
dan berkembangnya organisasi-organisasi gerakan perempuan dalam
kelompok civil society. Organisasi-organisasi tersebut misalnya
Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Migrant Care,
KAPAL Perempuan, SERUNI (Serikat Perempuan Indonesia). Organisasi
perempuan juga tumbuh subur di lingkungan Islam, antara lain: Rahima,
Fahmina, Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS). Organisasi-organisasi
gerakan perempuanpun tumbuh subur dan berkembang di perbagai daerah
di Indonesia, seperti: SAPA Institut dan Institut Perempuan di Bandung,
Legal Research Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia
(LRCKJHAM) di Semarang, Nurani Perempuan di Padang, Sumatera Barat,
Duek Pakar Inong Aceh (DPIA) dan Inong Bale di Aceh, Suara Parangpuan
di Manado, Lembaga Pemberdayaan Perempuan (LPP) di Bone, Sulawesi
Utara, dan Lembaga Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (TRUK-F), dll.
Hanya saja harus tetap diakui angka-angka peranan perempuan di
sector strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi
perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan
terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau
kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih
berkuasa dalam struktur Negara dan budaya (termasuk dalam rumah

tangga), maka kini diperlengkap dengan basis industrialisasi yang


mensupport perempuan menjadi semacam komoditas.
KOPRI

Taqwa Intelektual, Profesional SIG-1 Kopri Rayon persiapan Manunggal X


Pandora | 123

Anda mungkin juga menyukai