Ilmu al-lughot
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat allah SWT. Yang dengan rahmat dan
inayahnya, kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun judul makalah
ini “pengertian, jenis, dan pembentukan kata”.
Kami sebagai penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
ilmu al-lughot yang di amanatkan oleh bapak Abd Muqid,M.Pd. dan kami sebagai menulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengajar dan pihak pihak yang membantu kami
dalam pencarian dan pemberian ide tentang peroses pembuatan makalah ini. Penulis menyadari
belajar bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak sekali kekurangan baik dalam cara
penulisan maupun dalam isi.
Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini. Mudah mudahan makalah ini dapat
bermanfaat, khususnya bagi penulis yang membuat dan umumnya bagi yang membaca makalah
ini.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................i
Daftar isi.............................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan............................................................................................................1
Bab II Pembahasan...........................................................................................................2
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
Kata tidak hanya digunakan saat sedang berbicara dengan orang lain saja. Tetapi juga
digunakan ketika kamu menyampaikan sesuatu dalam bentuk tulisan. Di mana kata-kata
yang disusun dan ditulis haruslah serapi mungkin dan mampu menjelaskan apa yang
sebenarnya ingin dijelaskan dalam bentuk kalimat per kalimat.
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata adalah unsur bahasa yang
diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang
dapat digunakan dalam berbahasa.
Berikut ini adalah pendapat dari para ahli Bahasa mengenai konsep kata.
1. Kata adalah satuan satuan terkecil yang diperoleh sesudah sebuah kaimat dibagi atas
bagian-bagiannya, dan mengandung sebuah ide (Keraf, 1991: 44)
2. Kata adalah satuan bebas yang paling kecil, atau dengan kata lain setiap satuan bebas
merupakan kata (kushartanti, 2005: 151).
3. Kata adalah dasar analisis kalimat dan disajikan dengan simbol N (nomina), V (verb),
A (ajektif), dan sebagainya.(Noam Chomsky) profesor linguistik dari Amerika.
Dan secara umum, kata adalah sebuah unsur bahasa yang susunannya terdiri dari
kumpulan huruf atau unit yang memiliki sebuah arti sehingga dapat berfungsi untuk
membentuk kalimat, frasa, dan klausa.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kata adalah yang
dimaksud dengan kata adalah satuan bebas atau bentuk yang paling kecil, mampu berdiri
sendiri, dan sudah mempunyai arti. Kata merupakan dua macam satuan, ialah satuan
fonologik dan satuan gramatik. Sebagai satuan fonologi, kata terdiri satu atau beberapa suku,
dan suku itu terdiri dari satu atau beberapa fonem. Sebagai satuan gramatik, kata terdiri dari
satu atau beberapa morfem.
Kata adalah bagian dari kalimat yang nantinya mampu menjelaskan sesuatu. Menurut ahli
Bahasa kata sendiri terbagi menjadi beberapa jenis sebagai berikut:
Tidak bisa didahului dengan keterangan yang bernegasi tidak. Contoh: kursi, meja, lemari.
Tidak bisa didahului keterangan derajat agak lebih, sangat, dan paling. Contoh: agak kursi,
lebih meja, dan paling lemari.
Tidak bisa didahului dengan keterangan wajib. Contoh: wajib kursi, wajib meja.
Bisa didahului oleh keterangan jumlah. Contoh: empat kursi, satu meja.
Kata bilangan atau numeralia adalah unsur yang bertugas untuk menjelaskan tentang
jumlah objek atau benda atau urutan benda. Contoh, pertama, kedua, beberapa.
Kata ganti atau pronominal adalah unsur yang fungsinya untuk menggantikan objek
atau nomina atau yang dibendakan. Contoh: ini, itu, ia, seluruh, masing-masing.
Kata ganti diri yang biasanya menggantikan nomina nama orang atau yang diorangkan.
Dibedakan lagi menjadi orang pertama tunggal, orang pertama jamak, orang kedua tungga,
dan sebagainya.
Kata ganti petunjuk atau pronomina demokratif yang berupa “ ini” dan “ itu” yang fungsinya
adalah menggantikan nomina dan juga sebagai penunjuk.
Kata ganti tanya atau pronomina introgatifa yang digunakan untuk menanyakan suatu
nomina. Unsurnya yang biasa dikenal dengan sebutan 5W + 1 H.
Kata ganti tidak tentu adalah kata yang digunakan sebagai pengganti nomina tidak tentu.
Contoh, seseorang, setiap orang, sewaktu-waktu.
Kata sifat atau adjektiva adalah usur yang menggambarkan tentang sifat seseorang
atau kondisi suatu benda. Contoh: besar, kecil, buruk, dan sebagainya.
Kata keterangan atau adverbial adalah hal yang memberikan keterangan tambahan
mengenai verba, numeralia, adjektiva, atau seluruh kalimat. Fungsinya adalah menjelaskan
secara lebih lanjut mengenai jenis-jenis morfem yang berdampingan dengannya.
-Kata Tugas
Jenis kata yang terakhir adalah kata tugas yang meliputi berbagai macam unsur yang
tidak termasuk dari jenis-jenis kata sebelumnya. Dari bentuknya sulit untuk dilakukan
perubahan bentuk dan tidak bisa mengalami perubahan tersebut.
Sedangkan menurut Kridalaksana (1994: 20) Jenis kata di dalam bahasa Indonesia, telah
banyak dikemukakan oleh beberapa ahli bahasa (Linguistik), baik dalam pandangannya
secara tradisional (lama) maupun secara struktural (baru). Jenis kata dalam bahasa Indonesia
dibagi dalam sepuluh macam, yaitu kata benda, kata keadaan, kata ganti, kata kerja, kata
bilangan, kata sandang, kata depan, kata keterangan, kata sambung (konjungsi), dan kata
seru.
2.3 Pembentukan kata
Setiap bahasa di dunia, memiliki cara yang khas dalam pembentukan katanya.
Kekhasan itu bergantung pada tipe dan rumpun bahasa yang bersangkutan. Artinya, setiap
bahasa yang serumpun atau setipe akan memilki cara pembentukan kata yang hampir sama.
Demikianlah, Bahasa-bahasa yang berumpun Austronesia akan berbeda dengan bahasa
rumpun Melanesia atau yang lainnya. Bahasa tipe Aglutinasi berbeda dengan bahasa tipe
Isolatif.Para ahli mencatat beberapa proses pembentukan kata yang umum terjadi pada
bahasa-bahasa di dunia. Misalnya, Huddleston (1984: 22-25) mengemukakan bahwa
perubahan morflogis mencakup: pemajemukan, afiksasi, konversi, derivasi balik, perubahan
bunyi, suplesi, perpaduan, dan pengakroniman. Grady (1987: 134—132), mengatakan bahwa
perubahan morfologis (baca pembentukan kata) mencakup: afiksasi, reduplikasi,
pemajemukan, konversi, pemangkasan, pengakroniman, perpaduan, derivasi balik, dan
penganamatopeaan.
Kridalaksana (1988: 56, 1992: 12) berpendapat bahwa, pembentukan kata terdiri atas:
derivasi balik, derivasi zero, afiksasi, reduplikasi, pemendekan, dan perpaduan. Mamkjaer
(1991: 319) dengan mengutip Marchand (1969: 2) menyebutkan bahwa proses morfologis
mencakup: pemajemukan, afiksasi, derivasi zero, derivasi balik, perpaduan, pemangkasan,
dan pengakroniman.Proses pembentukan kata secara internal yang lazim terjadi dalam bahasa
Indonesia mencakup: afiksasi, reduplikasi, pemajemukan, pemendekan, dan derivasi balik.
Dari beberapa pembentukan kata ini, tidak semua dianalisis tetapi hanya dikhususkan pada
pembentukan kata yang dinamis (mengalami pasang surut).
Salah satu ciri bahasa bertipe Aglutinasi adalah pembentukan kata lebih banyak
melalui afiksasi. Ini terjadi hampir pada sebagian besar bahasa-bahasa yang ada di Nusantara.
Namun, untuk beberapa bahasa di NTT, Indonesia bagian timur, dan Papua, tampaknya ciri
ini mulai memudar karena ada sejumlah bahasa yang sangat miskin afiksasinya. Misalnya,
bahasa Kambera di Sumba Timur, bahasa Kodi di Sumba Barat, bahasa Sabu, bahasa Woleo
di Sulawesi dan lain-lain. Tampkanya, bahasa-bahasa di Indonesa dapat digolongkan kedalam
tiga kelompok, yaitu kelompok Austronesia Barat, Austronesia Tengah, dan Austronesia
Timur. Kelompok Austronesia Timur hidup berdampingan dengan rumpun Melanesia,
khususnya di Papua. Ragam bahasa Indonesia yang mendominasi atau dijadikan acuan
masyarakat penutur bahasa Indonesia adalah “ragam bahasa Indonesia ibu kota”. Bahasa
Indonesia Jakarta menjadi model bagi standardisasi pemakaian bahasa Indonesia karena
Jakarta dianggap sebagai sumber dari semua sumber, termasuk bahasa Indonesia yang
dianggap standar.
Penulisan makalah ini tidak hanya terfokus pada pembentukan kata yang dianggap
standar, tetapi mencakup pula kata atau istilah yang populer (baca gaul), dan untuk kata-kata
ini tampkanya tidak perlu disikapi secara berlebihan. Bahasa itu ibarat pakaian, kalau tepat
pemakaiannya tentu tidak perlu dirisaukan. Sikap penulis bukan sebagai pembina bahasa,
melainkan sebagai peneliti bahasa. Oleh karena itu, kajian ini tidak mempersoalkan apakah
pembentukan kata itu baku atau tidak, yang penting kata itu ada atau tidak.
Ketika pertama kali istilah galau dan lebai muncul di televisi, sebagian dari kita
mungkin tercengang. Kreativitas penciptanya sangat berjasa bagi pengayaan leksikon penutur
bahasa Indonesia karena kata ini dapat disandingkan dengan kata: cemas, resah, gelisah,
sedih, dan risau.
Setiap kata memiliki komponen makna tersendiri, sehingga tidak ada kata yang
bernar-benar bersinonim. Demikianlah kata galau sangat pas digunakan untuk menyatakan
sikap hati penutur dan kata ini tidak tergantikan oleh kata sandingannya.
Kata lebai yang berarti ‘pegawai masjid atau orang yang mengurus sesuatu pekerjaan
yang bertalian dengan agama Islam di dusun; orang yang selalu sial atau malang, tentu sangat
berbeda maknanya dari kata lebai yang dipahami dalam dunia intertaimen. Misalnya, dalam
kalimat” Wah kamu terlalu lebai”, “Begitu saja kamu sudah lebai”, atau “Dasar manusia
lebai” dan seterusnya.Perkembangan pembentukan kata bahasa Indonesia juga diwarnai oleh
masuknya afiks asing atau afiks bahasa serumpun. Sufiks –in dari bahasa Melayu Betawi
yang semula dipakai oleh penutur bahasa Indonesia di Jakarta, menyebar ke seluruh pelosok
tanah air. Tidak mengherankan kalau kata: rasain, ngapain, kerjain, dudukin, besarin, kecilin,
syukurin, dan lain muncul dalam pemakaian bahasa Indonesia saat ini. Tampaknya, kata-kata
ini bersaing dengan bentuk: rasakan, mengapa, kerjakan, diduduki, dibesarkan, dikecilkan,
dan disyukuri.
Hal yang sama juga pernah diungkap oleh Kridalaksana (1992: 58).Pembentukan kata
dewasa ini juga ditandai oleh adanya penanggalan afiks atau nasalisasi, seperti tampak di
bawah ini.
Bekerja kerja
Menulis nulis
Menyontek nyontek
Menuduh nuduh
Menari nari
Membawa bawa
Menguliti ngulitin
Ada pula kecenderungan memanfaatkan afiks asing seperti afiks –ization dan –ir,
yang masing berpadanan dengan isasi dalam bahasa Indonesia. Beranalogi dari bentuk
organisasi dan reboasasi kemudian lahir kata-kata: lamtoronisasi, gotisasi, vavingisasi,
pagarisasi, aspalisasi, dan seterusnya, yang ternyata bersanding dengan bentuk: pelamtoroan,
pengegotan, pemavingan, pemagaran, dan pengaspalan.
Dewasa ini, juga berkembang pemakaian afiks atau kata asing walaupun dalam
bahasa Indonesia sudah ada kata atau istilah yang dianggap lebih pas. Misalnya, kata disabel,
afiks a, in/im-, pro-, kontra, dan lain-lain. Kata disabel adalah istilah asing yang terbentuk
dari unsur dis ‘tidak’ dan abel ’mampu’. Ternyata, kata ini muncul untuk menggantikan kata
tuna’kurang/tidak mampu, yang lazim ditemukan dalam komposisi tuna netra, tuna rungu,
tuna grahita, tuna daksa, tuna wisma, tuna karya, tuna susila. Padahal, awal kemunculan kata
ini dimaksudkan untuk memberikan efek lebih sopan untuk istilah buta, tuli, dan lain-lain.
Sekarang, gabungan kata tuna netra diganti dengan disabel netra dan ada kecenderungan
untuk menyebut penyandang cacat sebagai anak-anak berkebutuhan khusus.
Di sisi lain, afiks a-.in/im, kontra-, dan pro- juga dimaksudkan untuk memperhalus
tuturan dan ada kecenderungan untuk mengaburkan makna kata yang dibubuhi imbuhan itu
karena tidak semua penutur paham akan arti afiks dimaksud yang sesungguhnya. Misalnya,
kata amoral, inpoten, kontrarevolusi, dan prolemerdekaan.
Lima tahun belakangan ini, ada kecenderungan pembentukan kata, khususnya yang
berkaitan dengan prefiks meN- atau peNtaat asas dengan aturan. Perubahan yang drastis
menyebabkan pemakai bahasa belum terbiasa. Di bawah ini disajikan beberapa kata yang
dianggap bentukan baru.
Memperkirakan memerkirakan
Mempengaruhi memengaruhi
Mensinyalir menyinyalir
Mempedulikan memedulikan
Mempopulerkan memomulerkan
Memperjuangkan memerjuangkan
Pendelegasian penelegasian
Pendayagunaan penayagunaan
Beanalogi dari bentukan baru ini, munculah bentuk-bentuk berikut ini, yang
barangkali menyimpang dari aturan. Setahu saya bentuk-bentuk ini tidak mengalami
peluluhan
Mentradisi menradisi
Mentraktor menraktor
Mentraktir menraktir
Memfitnah memitnah
Memfasilitasi memasilitasi
Memfoto memoto
Infleksi adalah proses morfologis yang menghasilkan bentuk- bentuk kata yang berbeda
dari sebuah leksem yang sama sedangkan derivasi adalah proses morfologis yang
menghasilkan leksem baru. Proses infleksi dan derivasi dapat diterapkan dalam bahasa
Indonesia. Dalam pembentukan kata bahasa Indonesia, ditemukan afiks infleksi meng-, di-,
klitik ku-, kau-, dan reduplikasi penuh yang menyatakan pluralitas tindakan. Selanjutnya,
pembentukan kata dalam bahasa Indonesia secara derivasi, ditemukan afiks derivasi: meng-,
ber-, ter-, ke- an, ber-an, ber- kan, dan reduplikasi penuh serta reduplikasi dengan perubahan
fonem
Bauer (1988: 12-13) menyatakan bahwa derivasi adalah proses morfologis yang
menghasilkan morfem baru; sedangkan infleksi adalah proses morfologis yang menghasilkan
bentuk-bentuk kata yang berbeda dari sebuah leksem yang sama. Lebih lanjut Bauer
menjelaskan bahwa pembentukan infleksional dapat diramalkan, sedangkan pembentukan
derivasional tidak dapat diramalkan.Bauer dalam kajian morfologi tersebut menetapkan cara
untuk mengetahui apakah sebuah afiks bersifat infleksional atau derivasional. Antara lain
seperti berikut.(i) Jika afiks mengubah bentuk kata dasarnya, afiks itu bersifat derivasional.
Apabila afiks itu tidak mengubah bentuk kata dasarnya maka afiks itu termasuk afiks
infleksional. Misal form nomina menjadi formal sebagai adjektiva. Afiks –al dalam proses
morfologis mengubah kelas kata sehingga memiliki ciri derivasional. Adapun contoh
formalize verba menjadi formalizes juga merupakan verba. Jadi –s tidak mengubah kelas
kata, sehingga dapat diidentifikasi sebagai afiks infleksional.
BAB III
PENUTUP
3.1 kesimpulan
kata adalah satuan bebas atau bentuk yang paling kecil, mampu berdiri sendiri, dan
sudah mempunyai arti. Kata merupakan dua macam satuan, ialah satuan fonologik dan
satuan gramatik. Sebagai satuan fonologi, kata terdiri satu atau beberapa suku, dan suku
itu terdiri dari satu atau beberapa fonem. Sebagai satuan gramatik, kata terdiri dari satu
atau beberapa morfem.
Infleksi adalah proses morfologis yang menghasilkan bentuk- bentuk kata yang
berbeda dari sebuah leksem yang sama sedangkan derivasi adalah proses morfologis yang
menghasilkan leksem baru. Proses infleksi dan derivasi dapat diterapkan dalam bahasa
Indonesia. Dalam pembentukan kata bahasa Indonesia, ditemukan afiks infleksi meng-,
di-, klitik ku-, kau-, dan reduplikasi penuh yang menyatakan pluralitas tindakan.
Selanjutnya, pembentukan kata dalam bahasa Indonesia secara derivasi, ditemukan afiks
derivasi: meng-, ber-, ter-, ke- an, ber-an, ber- kan, dan reduplikasi penuh serta
reduplikasi dengan perubahan fonem.
DAFTAR PUSTAKA
Gramedia.
I Wayan simpen, Dinamika Pembentukan kata bahasa Indonesia, Retorika: jurnal ilmu
bahasa,vol.1,no.2 Oktober 2015,319-330.