Anda di halaman 1dari 22

CVA DAN HIDROSEFALUS DENGAN VP SHUNT PADA DEWASA USIA

LANJUT
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi di dunia yang semakin maju serta pertumbuhan

dalam populasi, dan perubahan sistem dalam gaya pola hidup membuat

perubahan transisi epidemiologi dari penyakit yang asalnya menular melalui

infeksi pada Rahim selama masa kehamilan dapat menjadi peradangan pada

jaringan otak (Khariri & Andriani, 2020). Hidrocefalus yang disebut kepala air

oleh bahasa yunani merupakan permasalahan akibat gangguan aliran cairan di

dalam otak ( cairan cerebro spinal atau CSS) gangguan tersebut

mengakibatkan tertekannya jaringan otak yang dikarenakan adanya

penumpukan cairan (Suanarti, 2020).

Hidrosefalus merupakan suatu maslah patologis otak yang mengakibatkan

bertambahnya cairan serebrospinalis, yang disebabkan baik oleh produksi

yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai

tekanan intrakanial yang meninggi (Suanarti, 2020). Hidrocefalus adalah

dimana kondisi cairan di otak tidak dapat mengalir secara normal sehingga

dapat menyebabkan menumpuknya cairan di dalam otak sehingga perlu

dilakukan tindakan yang diebut VP shunt (Kemenkes RI, 2019).

VP shunt merupakan tindakan pemasangan selang dari otak yang

dihubungkan dengan camber kedalam ronga abdomen atau perut (Kemenkes

RI, 2019). VP shunt bertujuan untuk mengurangi penumpukan cairan didalam

otak yang dapat mengakibatkan keluhan pusing serta mengurangi gejala


pingsan pada pasien (Pujiastuti & Azaria, 2018). Untuk pasien balita kegunaan

VP shunt sama seperti orang dewasa tetapi hal yang paling terlihat dapat

mengurangi pembesaran kepala yang di akibatkan adanya pelebaran sutura

dan ubun-ubun pada balita (Dermawaty & Oktaria, 2017).

Ikatan Dokter Anak Indonesia mengatakan bahwasanya penyakit

hidrosefalus merupakan penyakit yang cukup tinggi di dunia. Di amerika

penyakit ini memiliki angka kematian mencapai 0,5 – 4 per 1000 kelahiran.

Sedangkan di Indonesia sendiri angka kejadian hidrocefalus mencapai0,2-4

per 1000 kelahiran. Akibat terjadinya hidrocefalus antara lain karena

penyumbatan cairan cerebrospinal yang sering terjadi pada bayi, sedangkan

yang terjadi pada oang dewasa dikarenakan infeksi, pendarahan, dan trauma.

Sehingga perlu intervensi pembedahan untuk mengatasi masalah ini yaitu

dengan pemasangan VP Shunt(IDAI, 2019).

Menurut Subagio et al (2019) mengatakan Di Indonesia kasus hidrosefalus

mencapai kurang lebih 2 kasus dalam 1000 kelahiran, sedangkan Hidrosefalus

dibagi dalam 2 kategori, yaitu komunikan dan non komunikan. Penanganan

pasien hidrosefalus telah dimulai sejak tahuan 1950 dengan dilakukannya

pemasangan pirau ventrikuloperitoneal. Kejadian malfungsi pirau

ventrikuloperitoneal di beberapa tempat menunjukkan angka 40 – 60% dalam

setahun. Faktor yang berkaitan dengan malfungsi pirau ventrikuloperitoneal

meliputi jenis kelamin, umur pasien, jenis pirau ventrikuloperitoneal yang

digunakan, jenis hidrosefalus, dokter bedah (operator) dan juga faktor

perioperative(Subagio et al., 2019).


Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik melakukan

penelitian mengenai CVA Dan Hidrosefalus Dengan Vp Shunt Pada Dewasa

Usia Lanjut.

B. Rumusan Masalah

Penyakit Hidrocefalus berkaitan erat dengan keluhan pusing yang berat

serta sempoyongan dan sering terjadi pada pasien hipertensi serta sumbatan

akibat caitan cerebrospinal sehingga pasien merasakan masalah tersebut. hal

inilah yang dapat mengakibatkan Hidrocefalus yang mengharuskan cairan

didalam kepala harus di keluarkan dengan cara pemasnagan VP shunt. Hal ini

mengakibatkan harus di keluarkannya cairan tersebut sehingga akan

mengurangi keluhan yang dialami pasien, jika masalah ini tidak di tangani

dengan komprehensif maka akan terjadi permasalahan yang lebih parah

hingga kematian. Oleh karena itu dalam laporan ini penulis ingin menganalisa

mengenai CVA dan hidrosefalus dengan vp shunt pada dewasa usia lanjut.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisa CVA dan hidrosefalus dengan vp

shunt pada dewasa usia lanjut.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penulisan pada laporan ini semoga diharapkan dapat menjadi

informasi bahas informasi bagi bidang kedokteran dan pelayanan kesehatan


terkait dengan intervensi perawatan yang dapat dilakukan untuk menganalisa

CVA dan hidrosefalus dengan vp shunt pada dewasa usia lanjut.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Hidrosefalus

1. Definisi

Hidrosefalus (kepala-air, istilah yang berasal dari bahasa Yunani:

"hydro" yang berarti air dan "cephalus" yang berarti kepala; sehingga

kondisi ini sering dikenal dengan "kepala air") adalah penyakit yang

terjadi akibat gangguan aliran cairan di dalam otak (cairan serebro spinal

atau CSS). Gangguan itu menyebabkan cairan tersebut bertambah banyak

yang selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya, khususnya

pusat-pusat saraf yang vital(Suanarti, 2020). Hidrosefalus merupakan

suatu maslah patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan

serebrospinalis, yang disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan

maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai tekanan

intrakanial yang meninggi (Suanarti, 2020). Serangan yang terjadi pada

bagian otak yang secara tiba-tiba dengan adanya sumbatan otak yang

ditandai dengan gejala kelumpuhan bagian tubuh sebagian, pingsan tiba-

tiba dan penurunan kesadaran merupakan gejala yang disebabkan oleh

hidrocefalus (Pujiastuti & Azaria, 2018).

Hidrocefalus adalah dimana kondisi cairan di otak tidak dapat

mengalir secara normal sehingga dapat menyebabkan menumpuknya

cairan di dalam otak(Kemenkes RI, 2019). Hidrosefalus selalu bersifat

sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-


kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi

pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (Dermawaty & Oktaria, 2017).

Hidrocefalus adalah dimana kondisi cairan di otak tidak dapat mengalir

secara normal sehingga dapat menyebabkan menumpuknya cairan di

dalam otak sehingga perlu dilakukan tindakan yang diebut VP shunt

(Kemenkes RI, 2019).

VP shunt merupakan tindakan pemasangan selang dari otak yang

dihubungkan dengan camber kedalam ronga abdomen atau perut

(Kemenkes RI, 2019). VP shunt bertujuan untuk mengurangi penumpukan

cairan didalam otak yang dapat mengakibatkan keluhan pusing serta

mengurangi gejala pingsan pada pasien (Pujiastuti & Azaria, 2018). Shunt

atau mengalirkan CSS ke rongga lain merupakan suatu teknik bedah saraf

untuk penanganan hidrocefalusmerupakan suatu teknik pembedahan

efektif baik untuk kasus hidrocefalus obstruktif maupun komunikan. Shunt

dapat dibagi berdasarkan lokasi drainasenya yaitu: ventrikulo peritoneal

atau VP shunt pada rongga peritoneum, ventrikulo cisternal Vp shunt ke

sisterna magna, ventrikulo atrial, ventrikulo sinus yaitu VP shunt ke sinus

sagitalis superior dan ventrikulo ubgaleal shunt atau SG shunt yaitu ke

ruang sub galeal ( Permana, 2018).

VP shunt dapat digunakan untuk bayi, anak anak dan dewasa,

untuk pasien balita kegunaan VP shunt sama seperti orang dewasa tetapi

hal yang paling terlihat dapat mengurangi pembesaran kepala yang di

akibatkan adanya pelebaran sutura dan ubun-ubun pada balita (Dermawaty


& Oktaria, 2017). VP shunt memiliki keunggulan tidak perlu diganti

seiring berjalananya waktu, pertumbuhan tinggi dan cukup menggunakan

kakateter panjang ( Permana, 2018).

2. Patofisiologi

Cairan cerebro spinal yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh

pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler

dalam piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat

(SSP). Cairan likuor serebrospinalis terdapat dalam suatu sistem, yakni

sistem internal dan sistem eksternal. Pada orang dewasa normal jumlah

CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml,

neonatus 20-30 ml dan prematur kecil 10-20 ml. Cairan yang tertimbun

dalam ventrikel 500-1500 ml. Aliran CSS normal ialah dari ventrikel

lateralis melalui foramen monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui

saluran yang sempit akuaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui

foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang subarakhnoid melalui

sisterna magna. Penutupan sisterna basalis menyebabkan gangguan

kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler(Suanarti, 2020)

Hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga

mekanisme yaitu:

a) Produksi likuor yang berlebihan

b) Peningkatan resistensi aliran likuor

c) Peningkatan tekanan sinus venosa


Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan

intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan

absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan

berlangsung berbedabeda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus.

Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari:

a) Kompresi sistem serebrovaskuler.

b) Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler

c) Perubahan mekanis dari otak.

d) Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis

e) Hilangnya jaringan otak.

f) Pembesaran volume tengkorak karena regangan abnormal sutura

kranial.

Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid.

Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus

hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan gangguan aliran akan

meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam upaya

mempertahankan resorbsi yang seimbang (Suanarti, 2020) Peningkatan

tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan

tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial

bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang

dibutuhkan untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus

vena yang relatif tinggi (IDAI, 2014)


3. Etiologi

Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan

serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan

CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid.

Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya. Teoritis

pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang

abnormal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus (Dermawaty &

Oktaria, 2017). Namun dalam klinik sangat jarang terjadi. Penyebab

penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi, anak serta orang

dewasa yaitu:

a) Kelainan Bawaan (Kongenital)

Hidrosefalus kongenital lebih sering tidak diketahui penyebabnya.

Hidrosefalus congenital ada yang bersifat terkait kromosom X (X-

linked hydrocephalus) sehingga hanya terjadi pada bayi laki-laki,

dengan kelainan anatomi yaitu stenosis aquaduktus. Ini adalah

kelainan yang sangat jarang terjadi, kurang dari 2% dari semua kasus

hidrosefalus congenital. Kelainan kromoson lain yang salah satu

manifestasi klinisnya hidrosefalus adalah trisomi 21 dengan insidens

sekitar 4%.

b) Stenosis akuaduktus Sylvii

Stenosis akuaduktus Sylvii merupakan penyebab terbanyak pada

hidrosefalus bayi dananak (60-90%). Aqueduktus dapat merupakan


saluran yang buntu sama sekali atau abnormal, yaitu lebih sempit dari

biasa. Umumnya gejala hidrosefalus terlihat sejak lahit atau progresif

dengan cepat pada bulanbulan pertama setelah kelahiran.

c) Spina bifida dan kranium bifida

Hidrosefalus pada kelainan ini biasanya yang berhubungan dengan

sindrom Arnould- Jhiari akibat tertariknya medulla spinalis dengan

medulla oblongata dan cerebellum letaknya lebih rendah dan menutupi

foramen magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total.

d) Sindrom Dandy-Walker

Merupakan atresia congenital Luscha dan Magendie yang

menyebabkan hidrosefalus obtruktif dengan pelebaran system ventrikel

terutama ventrikel IV, yang dapat sedemikian besarnya sehingga

merupakan suatu kista yang besar di daerah fosa posterior.

e) Kista araknoid dan anomali pembuluh darah

Dapat terjadi congenital tapi dapat juga timbul akibat trauma

sekunder suatu hematoma.

f) Perdarahan

Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat

menyebabkan fibrosisleptomeningen terutama pada daerah basal otak,

selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu

sendiri(Suanarti, 2020).

4. Tanda dan Gejala


Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan

derajat ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS Subagio,

Pramusinto, & Basuki (2019). Gejala-gejala yang menonjol merupakan

refleksi adanya hipertensi intrakranial. Manifestasi klinis dari hidrosefalus

pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:

a) Hidrosefalus terjadi pada masa neonatus

Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap

hidrosefalus kongenital dan pada masa bayi. Lingkaran kepala

neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar

kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Kranium

terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal.

Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan

tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang- tulang kepala menjadi

sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan

berkelok.

- Kepala menjadi makin besar dan akan terlihat pada umur 3 tahun.

- Keterlambatan penutupan fontanela anterior, sehingga fontanela

menjadi tegang, keras, sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.

- Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial antara lain: muntah,

gelisah, menangis dengan suara ringgi, peningkatan sistole pada

tekanan darah, penurunan nadi, peningkatan pernafasan dan tidak

teratur, perubahan pupil, lethargi-stupor.

- Peningkatan tonus otot ekstrimitas.


- Dahi menonjol bersinar atau mengkilat dan pembuluh-pembuluh

darah terlihat jelas.

- Alis mata dan bulu mata ke atas, sehingga sclera telihat seolaholah

di atas Iris

- Bayi tidak dapat melihat ke atas, “sunset eyes”

- Strabismus, nystagmus, atropi optic

- Bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas.

b) Hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak

Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai

manifestasi hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas.

Dapat disertai keluhan penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti

penurunan visus. Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada

pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran

abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania

mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih

besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal. Makrokrania

biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:

- Fontanel anterior yang sangat tegang.

- Sutura kranium tampak atau teraba melebar.

- Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial

menonjol.

- Fenomena „matahari tenggelam‟ (sunset phenomenon).


Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih

besar dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala,

muntah, gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus

yang telah lanjut ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi

tonsiler (bradikardia, aritmia respirasi). Kepala bisa berukuran normal

dengan fontanela anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar dan

mengeras menjadi bentuk yang karakteristik oleh peningkatan dimensi

ventrikel lateral dan anterior-posterior diatas proporsi ukuran wajah

dan bandan bayi. Ventirkulogram menunjukkan pembesaran pada

sistim ventrikel.

CT scan dapat menggambarkan sistim ventrikuler dengan

penebalan jaringan dan adanya massa pada ruangan Occuptional. Pada

bayi terlihat lemah dan diam tanpa aktivitas normal. Proses ini pada

tipe communicating dapat tertahan secara spontan atau dapat terus

dengan menyebabkan atrofi optik, spasme ekstremitas, konvulsi,

malnutrisi dan kematian, jika anak hidup maka akan terjadi retardasi

mental dan fisik (Subagio et al., 2019).

c) Anak yang telah menutup suturanya:

Menurut sunarti & rahyani (2020) mengatakan hidrocefalus pada

anak yang telah menutup suturanya kadang sering mengalami gejala

seperti:

- Nyeri kepala
- Muntah

- Lethargi, lelah, apatis, perubahan personalitas

- Ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10

tahun

- Penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer

- Strabismus

- Perubahan pupil

B. Cerebrovascular Accident (CVA)

1. Definisi

Stroke merupakan penyakit dengan gangguan disfungsi pada sistem

saraf karena terdapat masalah pada pasokan peradaran darah ke otak, penyakit

ini dapat terjadi secara mendadak (Mulyadi, dkk, 2007 dalam Siregar MH, 2021).

Cerebrovascular Accident (CVA)/ Cerebrovascular Disease (CVD) atau sering

disebut penyakit stroke ini terjadi karena sumbatan yang terjadi secara tiba-tiba.

Sumbatan yang terjadi bisa karena penggumpalan, perdarahan, atau

penyempitan pada pembuluh darah arteri yang mengalirkan darah ke jaringan

otak, sehingga oksigen dan nutrisi tidak dapat menyupali organ otak (Siregar

MH, 2021).

Hal ini sesuai dengan penjelasan Bianca & Gerard (2022) bahwa otak

memerlukan suplai darah yang banyak, disebutkan bahwa otak memerlukan

sebesar 20% dari aliran darah di dalam tubuh dan otak membutuhkan energi

paling banyak dari seluruh organ tubuh manusia. Hal ini terjadi karena otak
terus bekerja walaupun kita tidak melakukan pergerakkan apapun. Menurut

Feigin (2006) dalam Siregar (2021), Penyakit ini merupakan gangguan otak yang

paling destruktif dengan dampak yang paling beratDampak dari penyakit ini

selain fisik juga menyerang psikologi penderita stroke.

2. Klasifikasi

Berdasarkan data klinik stroke dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:

a) Stroke Non Hemoragik (SNH)/ Iskemik

Pada stroke non hemoragik merupakan penyakit stroke yang disebabkan

karena otak tidak mendapatkan aliran oksigen secara adekuat, sehingga

terjadi kematian jaringan otak. Peredaran darah yang tersumbat ini dapat

disebabkan karena plak pada pembuluh darah sehingga peredaran darah ke

jaringan otak tidak lancar. Berdasarkan etiologi dari penyakit stroke non

hemoragik ini dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu sebagai berikut:

1) Stroke Trombotik, merupakan penyakit stroke yang disebabkan oleh

aliran oklusi darah karena sumbatan/ aterosklerosis berat. Hal ini

biasanya dipengaruhi oleh tingginya kadar kolestrol dan tekanan darah.

2) Stroke Embolik, merupakan penyakit stroke yang disebabkan oleh

emboli atau gumpalan trombosit/fibrin pada pembuluh darah yang lebih

kecil sehingga mengalami pembekuan dan menyumbat aliran darah ke

otak.

b) Stroke Hemoragik (SH)

Stroke hemoragik terjadi karena gangguan pembuluh darah yang

mengalami perdarahan karena pecah. Menurut WHO dalam International


Classification of Disease (ICD) stroke hemoragik dibagi menjadi 2

berdasarkan penyebabnya, yaitu sebagai berikut:

1) Perdarahan Intra Serebral (PIS), merupakan keadaan perdarahan primer

dari pembuluh darah yang ada dalam parenkim otak dan tidak

disebabkan oleh trauma fisik. Pada keadaan ini sering disebabkan

karena tekanan darah yang tinggi sehingga arteri dapat pecah atau

robek.

2) Perdarahan Sub Arachnoidal (PSA), merupakan kejadian yang akut

karena darah masuk ke dalam ruang subaraknoid. Penyebab utama

terjadinya perdarahan ini karena aneurisma di intracranial. (Siregar MH,

2021).

3. Patofisiologi

Infark serebral merupakan keadaan ketidakadekuatan suplai darah ke

pembuluh darah di otak dan tersumbatnya pembuluh darah sehingga suplai

darah ke otak dapat berubah (lambat atau cepat) bisa terjadi karena gangguan

9arth (thrombus, emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau terjadi karena

gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Atherosklerotik

adalah masalah yang paling sering terjadi pada pembuluh darah. Thrombus

terjadi karena terdapat flak arterosklerotik, atau terdapat pembekuan darah

pada daerah yang mengalami penyempitan/ stenosis, hal ini menyebabkan

aliran darah menjadi lambat atau disebut turbulensi.

Keadaan seperti ini menyebabkan thrombus pecah dari dinding

pembuluh darah dan terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Thrombus
pada pembuluh darah menyebabkan iskemia pada jaringan yang berada di otak,

hal ini mengganggu suplai darah dan menyebabkan edema bahkan kongesti

disekitar area jaringan. Area yang mengalami edema akan mengalami disfungsi

yang lebih besar dibandingkan area infark. Namun kondisi jaringan yang

mengalami edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau berkurang dalam

beberapa hari perawatan. Tanda penurunan edema merupakan bukti objektif

bahwa terdapat adanya pemulihan. Sehingga thrombosis yang terjadi pada

beberapa kasus biasanya tidak fatal namun hal ini terjadi jika tidak terdapat

perdarahan masif. Oklusi di dalam pembuluh darah serebral karena embolus

mengakibatkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis.

Jika terdapat septik infeksi mengakibatkan meluasnya abses atau

ensefalitis pada dinding pembuluh darah, atau bila terdapat sisa infeksi pada

pembuluh darah yang mengalami penyumbatan akan menyebabkan dilatasi

aneurisma di pembuluh darah. Hal ini akan memicu terjadinya perdarahan

cerebral jika aneurisma pecah atau terjadi ruptur. Perdarahan otak lebih sering

disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik ataupun hipertensi. Perdarahan yang

terjadi pada intraserebral dengan skala luas akan menyebabkan kematian

dibandingkan daripada keseluruhan penyakit semacam cerebro vaskuler, karena

perdarahan dengan skala luas menyebabkan destruksi massa otak, lalu tekanan

yang meningkat pada intra cranial dapat menyebabkan herniasi pada otak.

Sehingga kompresi pada batang otak, hemisfer di otak, dan perdarahan

yang terjadi pada batang otak sekunder ataupun ekstensi perdarahan mengarah

pada batang otak menyebabkan kematian. Pada keadaan ini darah dapat

merembes ke ventrikel otak, keadaan ini sering terjadi pada sepertiga kasus
perdarahan pada otak di nucleus kaudatus, talamus dan pons. Jika terjadi

hambatan pada sirkulasi serebral, dapat menyebabkan berkembangnya anoksia

cerebral. Perubahan ireversibel bila terjadi anoksia bisa terjadi lebih dari 10

menit. Anoksia serebral terjadi akibat berbagai macam penyebab, salah satunya

adalah henti jantung. Selain terjadi kerusakan pada parenkim otak, akibat

volume perdarahan yang banyak menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan

intrakranial dan menyebabkan penurunan tekanan pada perfusi otak serta

gangguan pada drainase otak.

Stroke merupakan penyakit gangguan pada sistem saraf dan otot

sehingga penderita stroke umumnya mengalami gejala pada gangguan saraf

seperti hemiparesis, fenomena yang terjadi pasien dengan gejala seperti ini

mengalami gangguan dalam melakukan pergerakkan sehingga hampir semua

aktivitas sehari-hari perlu dibantu oleh orang lain karena keterbatasan yang

dialami. Hal ini juga merupakan upaya dalam mengurangi angka risiko jatuh

pada pasien stroke sehingga pada pasien stroke mengalami penurunan

kemandirian.

C. Bedah Kraniotomi

Kraniotomi adalah suatu tindakan bedah yang dilakukan untuk mengatasi

berbagai macam kerusakan yang terjadi pada otak dan merupakan tindakan

rekomendasi apabila terapi lain yang dilakukan tidak efektif. Kraniotomi

berarti membuat lubang (-otomi) pada tulang tengkorak (cranium). Prosedur

operasi kraniotomi dilakukan dengan cara membuka sebagian tulang

tengkorak sebagai akses ke intrakranial guna mengetahui dan memperbaiki


kerusakan yang terjadi pada otak. Kraniotomi dapat dilakukan secara

intratentorial maupun supratentorial, atau kombinasi dari keduanya.

Tindakan ini biasanya dilakukan di rumah sakit yang memiliki departemen

bedah saraf dan ICU (Pratama dkk., 2020). Ukuran lebar kraniotomi beragam

mulai dari beberapa milimeter (burr holes) sampai beberapa sentimeter

(keyhole), tergantung pada masalah dan terapi yang dibutuhkan. Kraniotomi

dilakukan menggunakan pisau khusus, bagian cranium yang telah dipotong

(bone flap) dibuka agar pelindung otak (dura) terlihat. Kemudian dura juga

dibuka untuk mengekspos bagian otak. Bone flap diletakkan kembali dan

‘direkatkan’ pada cranium di akhir prosedur dengan menggunakan peralatan

khusus (Dunn et al., 2016)


DAFTAR PUSTAKA

Alarcon, J. D., Rubiano, A. M., Okonkwo, D. O., Alarcón, J., Martinez-Zapata,

M. J., Urrútia, G., & Bonfill Cosp, X. (2017). Elevation of the head during

intensive care management in people with severe traumatic brain injury.

Cochrane Database of Systematic Reviews, 2017(12).

https://doi.org/10.1002/14651858.CD009986.pub2

Altun Uǧraş, G., Yüksel, S., Temiz, Z., Eroǧlu, S., Şirin, K., & Turan, Y. (2018).

Effects of Different Head-of-Bed Elevations and Body Positions on

Intracranial Pressure and Cerebral Perfusion Pressure in Neurosurgical

Patients. Journal of Neuroscience Nursing, 50(4), 247–251.

https://doi.org/10.1097/JNN.0000000000000386

Dewi, Trisniawati & Nopryanty, Rich. (2018). Phenomenologi Dtudy : Risk

Factor Related TO Faal Incidence In Hospitalliced Pediatric Patient With

Teory Faye G. Abdellah. Bandung. Nurseline Journal Vol. 3. No. 2

November 2018 p-ISSN 2540-7937 e-ISSN 2541-464X.

Dunn, L. K., Naik, B. I., Nemergut, E. C., & Durieux, M. E. (2016).

PostCraniotomy Pain Management: Beyond Opioids. Current Neurology

and Neuroscience Reports, 16(10). https://doi.org/10.1007/s11910-016-

0693-y

Ekacahyaningtyas, M., Setyarini, D., Agustin, W. R., & Rizqiea, N. S. (2017).

Posisi Head Up 30 Derajat sebagai Upaya untuk Meningkatkan Saturasi


Oksigen pada Pasien Stroke Hemoragik dan Non Hemoragik. Adi Husada

Nursing Journal, 3(2), 55–59. H

Iturri, F., Valencia, L., Honorato, C., Martínez, A., Valero, R., & Fàbregas, N.

(2020). Narrative review of acute post-craniotomy pain. Concept and

strategies for prevention and treatment of pain. Revista Española de

Anestesiología y Reanimación (English Edition), 67(2), 90–98.

https://doi.org/10.1016/j.redare.2019.09.004

Pasaribu dkk, (2018) Analisi Faktor Risiko Jatuh Di Instalasi Rawat Inap RSU

Daerah AL-Ihsan Bandung : Studi Literatur. Bandung. Jurnal Kesehatan

Budi Luhur. Cimahi. Volume 2 No 2, Februari – Juli 2018

Anda mungkin juga menyukai