Dafpus Ilmu Kalam
Dafpus Ilmu Kalam
MAKALAH
Disusun Oleh :
Muhammad Izul
221310240
Muhammad Asfiyak
221310242
Muhammad Ulul Azmi
221310248
i
KATA PENGANTAR
Kelompok 8
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................ 2
C. TUJUAN ......................................................................................................................... 2
BAB II ........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
A. Analisa dan Perbandingan Pemikiran Akal dan Wahyu ................................................. 3
B. Analisa dan Perbandingan Pemikiran Free Will dan Predestination ............................ 12
C. Analisa dan Perbandingan Pemikiran Keadilan Tuhan ................................................ 29
BAB III .................................................................................................................................... 31
PENUTUP................................................................................................................................ 31
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 31
B. Saran ............................................................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 33
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah
SWT karena memiliki banyak sekali kelebihan jika dibandingkan dengan makhluk
ciptaan Allah yang lainnya. Suatu hal yang membuat manusia lebih baik dari makhluk
yang lain yaitu manuia mampu berpikir dengan akalnya, karena manusia dianugerahi
oleh Allah akal sehingga dengan akal tersebut manusia mampu memilih,
mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri.1
Agama islam sangat menjunjung tinggi kedudukan akal. Dengan akal manusia
mampu memahami Al-Quran sebagai wahyu yang diturunkan melalui Nabi
Muhammad SAW, dengan akal juga manusia mampu menelaah kembali sejarah islam
dari masa ke masa sampai dengan kondisi sekarang ini.
Banyak aliran-aliran yang muncul dan menganggap bahwa aliran yang mereka
percayai sangat benar dalam segi agama terutama agama islam. Ini disebabkan karena
mereka mempunyai sebuah perbedaan yang masing-masing dari mereka beranggapan
yang berbeda-beda.
Perbedaan-perbedaan ini terdapat pada segala bidang. Seperti halnya apa yang
mereka yakini dan mereka taati dalam beribadah dasar-dasar yang mereka pahami.
Dalam konsep ini tentang perbuatan manusia pernah menjadi perdebatan yang begitu
hebat di dunia islam. Suasana perdebatan itu masih sangat terasa hingga saat ini.
Bahkan, sebagian pendapat suasana ini akan terus terjadi sampai zaman yang akan
datang.
Dalam pemikiran islam, perbuatan manusia diinterpretasikan oleh dua
aliran. Pertama, ada yang menganggap sebagai kehendak bebas manusia. Perbuatan-
perbuatan manusia terjadi sesuai apa yang mereka inginkan atau kehendaki, yaitu jika
seseorang ingin berbuat sesuatu maka perbuataan itu akan terjadi. Akan tetapi
sebaliknya, jika seorang tidak menginginkan sesuatu terjadi maka perbuatan itu tidak
akan terjadi. Kedua,bagi kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh
manusia. Melainkan oleh Allah SWT. Bagi kelompok ini, manusia tidak bisa berbuat
apa-apa, karena manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengekspresikan perbutan itu.
Manusia hanyalah dikendalikan oleh Allah SWT. Aliran yang pertama ini
1
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 39
1
dalam pemikiran islam dikenal dalam sebutan Qadariyah dan aliran yang kedua
disebut dengan Jabariyah.
Saat ini, akal dan agama menjadi istilah yang berkaitan dengan akal dan wahyu.
Semuanya terdapat dalam berbagai karya pemikir Timur maupun Barat, namun adapula
sekelompok pemikir yang keberatan menggunakan istilah ini dalam beberapa alasan.
Salah satunya adalah kesalah pahaman mereka dalam memposisikan akal dan agama.
Sejak awal mereka mengandaikan posisi keduanya saling bertentangan. Sehingga perlu
bagi penulis melakukan analisa terhadap perbandingan pemikiran dalam persoalan ilmu
kalam yang ada.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu akal dan
wahyu?
2. Bagaimana pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu Free Will dan
Predestination?
3. Bagaimana pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu Keadilan
Tuhan?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu akal dan
wahyu.
2. Mengetahui pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu Free Will dan
Predestination.
3. Mengetahui pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu Keadilan
Tuhan.
BAB II
PEMBAHASAN
3
b. Pengertian Wahyu
Hal ini berarti, bahwa mengetahui Tuhan; mengetahui baik dan buruk;
kewajiban bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan; serta mengetahui
kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk dapat
diketahui oleh akal manusia. Sehingga, seandainya tidak ada wahyu pun,
manusia tetap dapat mengetahuinya. Dengan penalaran akalnya, manusia bisa
berkesimpulan bahwa berterimakasih kepada Tuhan adalah wajib sebelum
datangnya wahyu.
2
Hudallah, Buku Guru Ilmu Kalam (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016) h. 3
3
al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967), h. 45. Lihat
juga, al-Qadi Abi Hasan Abd. Jabbar, al-Mugni , Juz XII (Qairo: al-Muassah al-Musriyah al-Ammah, t.th.), h.
416-417
menerangkan apa yang belum diketahui oleh akal.4 Hanya saja, menurut
Mu‘tazilah, wahyu tidak selamanya yang menentukan apa yang baik dan apa
yang buruk, karena akal, bagi Mu‘tazilah dapat mengetahui sebagian yang baik
dan sebagian dari yang buruk. Dalam artian, akal dapat mengetahui garis-garis
besarnya, sedangkan rinciannya diperoleh melalui wahyu. Misalnya,
sungguhpun akal dapat mengetahui Tuhan, akan tetapi akal tidak dapat
menentukan jenis Tuhan yang sesungguhnya, sehingga apa yang digambarkan
oleh akal itu dapat saja berubah-ubah. Demikian halnya tentang perbuatan baik
dan buruk, ada saja yang tidak dapat dijangkau oleh akal, misalnya,
penyembelihan binatang untuk keperluan tertentu.5
Dalam kaitannya dengan perbuatan baik dan buruk ini, kaum Mu‘tazilah
membedakan antara قبائحعقليةserta مناكيرعقليةperbuatan-perbuatan yang tidak
baik menurut akal dan قبائحشرعيةSerta مناكيرشرعيةperbuatan-perbuatan yang
tidak baik menurut wahyu. Begitu pula dibedakan antara kewajiban-kewajiban
yang ditentukan oleh akal واجباتعقليةserta تكليفعقلdengan kewajiban-kewajiban
yang ditentukan oleh wahyu واجباتشرعيةserta Dalam kaitan ini, akal hanya dapat
mengetahui garis-garis besarnya saja dari kewajiban-kewajiban manusia,
sedangkan perinciannya - sebagaimana pendapat Abdul Jabbar – hanya dapat
diketahui melalui wahyu.
4
Nasution, Harun, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986) h. 99.
5 al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967), h. 45. Lihat
juga, al-Qadi Abi Hasan Abd. Jabbar, al-Mugni , Juz XII (Qairo: al-Muassah al-Musriyah al-Ammah, t.th.), h.
101
yang baik dan buruk, juga dimaksudkan sebagai dasar pembenaran bagi Tuhan
untuk memberikan ganjaran terhadap manusia di hari kemudian.
b. Aliran Asy’ariyah.
Dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tak akan
tahu kewajiban-kewajibannya, bahkan – kata al-Gazali – sekiranya syari‘at
tidak ada, manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak wajib
pula berterima kasih kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang diturunkan kepada
manusia. Demikian juga soal baik dan buruk, ia hanya diketahui melalui
perintah dan larangan Tuhan.
c. Aliran Maturidiyah
Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang akal dan wahyu ini aliran
Maturidiyah terbagi kepada dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand dan
Maturidiyah Bukhara.
1) Maturidiyah Samarkand
6
Haq, Hamka, Dialog Pemikiran Islam (Ujungpandang: Yayasan AHKAM, 1995), h. 20.
7
Nasution, Harun. Islam Rasionalis (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 115.
Dalam pandangannya tentang otoritas akal dan wahyu, kaitannya
dengan keempat masalah pokok tersebut, Maturidiyah Samarkand
berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan, oleh karena
Allah sendiri yang memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan
merenungi alam ini. Hal ini menunjukkan bahwa akal manusia dapat
mencapai ma‘rifatullah. Oleh karena itu, akal sudah mengetahui tentang
kewajiban mengetahui Tuhan sebelum datangnya wahyu. Sehingga akan
berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum datangnya wahyu.
Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat
baik yang terdapat di dalamnya, dan sifat buruk yang terdapat dalam yang
buruk. Dengan demikian, akal juga dapat mengetahui bahwa yang buruk
adalah buruk dan berbuat baik adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa
kepada kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang membawa kepada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian
menjadi wajib dengan kemestian akal. Namun, yang diketahui akal hanyalah
sebab wajibnya perintah dan larangan itu. Adapun mengenai kewajiban
berbuat baik dan menjauhi yang buruk, akal tidak berdaya untuk
mewajibkannya. Karena kewajiban tersebut hanya dapat diketahui oleh
wahyu.
2) Maturidiyah Bukhara
3. ANALISA PERBANDINGAN
Merujuk pada uraian keempat aliran teologi Islam tersebut di atas, maka
dapat dinyatakan bahwa pandangan masing-masing aliran tidaklah sama antara satu
dengan yang lainnya. Masing-masing aliran memberikan porsi tersendiri dalam
menempatkan peranan akal dan wahyu. Mu‘tazilah misalnya, memberikan porsi
paling besar kepada akal, dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Bagi Mu‘tazilah,
keempat masalah yang diperbincangkan itu, semuanya dapat diperoleh melalui
akal. Hal ini berarti, bahwa porsi kekuatan wahyu bagi Mu‘tazilah lebih kecil
dibanding dengan akal.
Sedangkan aliran Maturidiyah yang terdiri dari dua cabang itu, menempati
posisi tengah antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah. Meski demikian, kedua cabang
Maturidiyah tersebut sedikit mempunyai perbedaan.
a) Mu‘tazilah: Memberikan nilai 4 (empat) kepada akal, dan nilai positif (0) pada
wahyu.
b) Maturidiyah Samarkand: Memberikan nilai 3 (tiga) pada akal, dan nilai 1 (satu)
pada wahyu.
c) Maturidiyah Bukhara: Memberikan nilai 2 (dua) pada akal dan 2 (dua) pada
wahyu
d) Sedangkan Asy‘ariyah: Memberikan nilai 1 (satu) pada akal dan nilai 3 (tiga)
pada wahyu.
Mu’tazilah Asy’ariyah Maturidyah
Samarkand Bukhara
Akal Wahyu Akal Wahyu Akal Wahyu Akal Wahyu
Mengetahui
Tuhan
√ √ √ √
Kewajiban
Mengetahui
√ √ √ √
Tuhan
Mengetahui Baik
dan Buruk
√ √ √ √
Kewajiban
Melaksanakan
√ √ √ √
yang Baik dan
Menjauhi yang
Buruk
Dalam hal pemberian kuasa kebebasan yang penuh, dalam arti bahwa
manusia memiliki kebebasan penuh untuk menentukan pilihanpilihan
perbuatannya, konsepsi kebebasan manusia kedua eksistesialis-ateis di atas bertemu
dengan ajaran kebebasan manusia dari Qadariyah. Tanpa kehendak dan kuasa yang
bebas dalam menentukan pilihan-pilihan perbuatan manusia, manusia tidak
mungkin memiliki eksistensi, dan tidak pula bisa dituntut mengenai
pertanggungjawabannya. Namun, mungkinkan kebebasan absolut manusia bisa
dibenarkan dalam pandangan kalam Qadariyah. Dalam perspektif Qadariyah
mengenai kebebasan manusia, tampaknya tidak mungkin bisa dibenarkan
kebebasan absolut untuk manusia. Meskipun Tuhan dalam konsep Qadariyah,
kekuasaannya dibatasi, namun Tuhan dipandang sebagai Wujud yang telah
menciptakan suatu kondisi bagi manusia dan alam sedemikian rupa, sehingga ia
memungkinkan manusia untuk menjalankan kebebasannya sebagai manusia secara
bermakna.
Apabila Allah tidak menciptakan indra, akal, dan hati dengan kemampuan
potensial bawaan tertentu sebagai anugerah bagi manusia sedemikian rupa,
mungkinkah manusia akan memiliki kemampuan untuk menyadari adanya dan
perlunya kebebasan dalam dirinya, dan apabila Allah tidak menciptakan
hukumhukum alam yang tidak akan berubah hukum-hukum alam itu, mungkinkah
manusia melakukan pilihan-pilihan secara bebas, sementara hukum-hukum
alamnya tidak pasti. Kebebasan absolut harus juga berarti bahwa karena Tuhan
ditiadakan, maka manusialah yang membuat prakondisiprakondisi yang
memungkinkan manusia menjadi wujud yang bebas. Bagaimana ini mungkin.
Manusia tidak pernah mungkin bisa menciptakan keadaan kehidupan seperti yang
dialami manusia, bahkan tidak mungkin bisa menciptakan prakondisi potensi
akalnya yang bisa berpikir dan menyadari nilai kebebasan. Konsep kebebasan
manusia Qadariyah dalam hal ini lebih masuk akal ketimbang konsep kebebasan
absolut manusia dari eksistensialis-ateis.
Kebebasan manusia secara absolut berarti tidak ada batasan manusia untuk
melakukan pilihan hidupnya. Ketika manusia memilih untuk menjadi diri yang
tidak bebas, meski lahir dari kehendak bebas, tidaklah mungkin dilakukan karena
kontras dengan konsep bahwa manusia adalah bebas secara mutlak. Selain itu, juga
sulit untuk dimengerti, apa manusia akan memilih perbuatan seenaknya menurut
selera dan kehendak bebas mutlaknya, misalnya manusia memilih untuk memukul
atau bahkan membunuh orang lain di jalan atau di pusat perbelanjaan tanpa sebab
dan tidak kenal sama sekali orang itu.
Dalam pemikiran dan keinginan mungkin saja, tetapi apa mungkin ini
menjadi pilihan manusia. Apabila dikatakan, manusia hanya akan memilih
perbuatan yang tidak merugikan dirinya dan orang lain, maka makna kemutlakan
dalam kebebasan manusia menjadi tidak ada, karena kebebasan manusia dibatasi
oleh kebebasan orang lain dan dibatasi oleh pilihan yang baik, yakni tidak
merugikan orang lain. Setiap perbuatan manusia yang dipilih membawa
konsekuensi pertanggungjawaban.
b. Kaum Asy’ariah
c. Kaum Maturidiah
Karena menganut paham free will dan free act serta adanya batasan bagi
kekuasaan mutlaq Tuhan, kaum maturidiah golongan Samarkand mempunyai
posisi yang lebih dekat dengan golongan Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan
batasan yang di berikan pada kekuasaan mutlaq Tuhan lebih kecil dari pada
yang diberikan aliran Mu’tazilah. Kehendak mutlaq Tuhan menurut Maturidia
Samarkhan dibatasi keadilan Tuhan. Aliran Maturidi Samarkand mengambil
posisi tengah, antara golongan Mu’tazilah dan golongan Asy’ariyah. Hal-hal
yang mereka pegangi sebagai batas kehendak mutlak Tuhan. Walaupun
golongan ini mengidentifikasikan adanya kemerdekaan dan kemauan pada
manusia, bukan berarti sama sekali menafikan kehendak Tuhan dalam diri
manusia. Tuhan masih juga ikut campur tangan dalam menentukan perbuatan
manusia, yaitu dengan menciptakan daya yang terkandung dalam diri manusia.
2. Kaum Asy’ariah
3. Kaum Maturidiah
Aliran Maturidiyah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan
sebagai lawan dari perbuatan dhalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan
membalas kejahatan kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu.
Maturidiyah Bukhara’ berpendapat, bahwa keadilan Tuhan harus dipahami dalam
kontek kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas Al-Bazdawi
menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur
pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendakNya sendiri.
Dengan demikian posisi aliran Maturidyah Bukhara dalam menginterpretasikan
keadilan Tuhan adalah lebih dekat pada aliran Asy’ariyah. Masalah dalil yang
dipakai pun sama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terkait akal dan wahyu masing-masing aliran memberikan porsi tersendiri
dalam menempatkan peranan akal dan wahyu. Mu‘tazilah misalnya, memberikan porsi
paling besar kepada akal, dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Bagi Mu‘tazilah,
keempat masalah yang diperbincangkan itu, semuanya dapat diperoleh melalui akal.
Hal ini berarti, bahwa porsi kekuatan wahyu bagi Mu‘tazilah lebih kecil dibanding
dengan akal. Sedangkan aliran Maturidiyah yang terdiri dari dua cabang itu, menempati
posisi tengah antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah.
Adapun Maturidiyah Bukhara, dalam pandangannya terhadap akal dan wahyu,
lebih mendekati pemikiran Asy‘ariyah. Meskipun pada kenyataannya memberikan
porsi yang sama antara akal dan wahyu. Dalam hal ini, dari empat masalah pokok
tersebut, dua di antaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan dua yang lainnya lagi
hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Kehendak Tuhan dipahami oleh aliran Mu'tazilah sebagai kehendak yang tidak
mutlak semut la k-mutlak nya namun dibatasi oleh free will dan free act (kehendak
bebas) manusia, keadilan Tuhan, kewajiban Tuhan kepada manusia dan kausalitas
sunnatullah. Konsep pemahaman tersebut dalam banyak hal searah dengan yang
disampaikan oleh aliran Maturidiyah Samarkand. Sedangkan oleh aliran Asy'ariyah,
kehendak Tuhan ini dipahami sebagai kehendak mutlak dan absolut dalam semua hal.
Konsep pemahaman tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh
aliran Maturidiyah Bukhara.
Keadilan Tuhan oleh aliran Mu'tazilah dipahami sebagai sesuatu yang terpusat
pada kepentingan manusia. Tuhan tidak dapat mengabaikan pada kewajiban-kewajiban
terhadap manusia. Sedangkan oleh aliran Asy'ariyah dipahami sebagai menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Interpretasinya tetap berorientasi pada absolutisme kehendak
dan kekuasaan Allah. Aliran Maturidiyah Bukhara dalam hal ini serupa dengan
pemahaman Asy'ariyah. Sedang aliran Maturidiyah Samarkand mengutamakan
pengertian keadilan Tuhan sebagai lawan perbuatan zalim.
31
B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan sebagai bahan
evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian dan karya
tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam, (jakarta: UI-Press, 1986)
Haq, Hamka, Dialog Pemikiran Islam (Ujungpandang: Yayasan AHKAM, 1995)
Nasution, Harun. Islam Rasionalis (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996)
Hudallah, Buku Guru Ilmu Kalam (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016)
al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967) Lihat juga,
al-Qadi Abi Hasan Abd. Jabbar, al-Mugni , Juz XII (Qairo: al-Muassah al-Musriyah al-
Ammah, t.th.),
Nasution, Harun, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986)
1 al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967), h. 45.
dalam al-Qadi Abi Hasan Abd. Jabbar, al-Mugni , Juz XII (Qairo: al-Muassah al-
Musriyah al-Ammah, t.th.)