Anda di halaman 1dari 36

Persoalan dalam Ilmu Kalam

Analisa dan Perbandingan Pemikiran


(Akal, Wahyu, Free Will Predestination, dan Kehendak Mutlak Tuhan)

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam


Dosen Pengampu: Asep Ubaidillah, M.Sy.

Disusun Oleh :
Muhammad Izul
221310240
Muhammad Asfiyak
221310242
Muhammad Ulul Azmi
221310248

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA
1444 H / 2023 M

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT., atas rahmat-Nya kami


mampu menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Ilmu Kalam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memiliki pengetahuan tentang ilmu
kalam yang disusun dari berbagai referensi.
Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
terlibat dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada Bapak Asep Ubaidillah,
M.Sy. selaku dosen pengampu pada mata kuliah Ilmu Kalam ini. Semoga dengan
penyusunan makalah ini mampu meningkatkan pengetahuan tentang Ilmu Kalam
kepadapara pembacanya khususnya para mahasiswa.

Jakarta, 27 Maret 2023

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................ 2
C. TUJUAN ......................................................................................................................... 2
BAB II ........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
A. Analisa dan Perbandingan Pemikiran Akal dan Wahyu ................................................. 3
B. Analisa dan Perbandingan Pemikiran Free Will dan Predestination ............................ 12
C. Analisa dan Perbandingan Pemikiran Keadilan Tuhan ................................................ 29
BAB III .................................................................................................................................... 31
PENUTUP................................................................................................................................ 31
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 31
B. Saran ............................................................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 33
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah
SWT karena memiliki banyak sekali kelebihan jika dibandingkan dengan makhluk
ciptaan Allah yang lainnya. Suatu hal yang membuat manusia lebih baik dari makhluk
yang lain yaitu manuia mampu berpikir dengan akalnya, karena manusia dianugerahi
oleh Allah akal sehingga dengan akal tersebut manusia mampu memilih,
mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri.1
Agama islam sangat menjunjung tinggi kedudukan akal. Dengan akal manusia
mampu memahami Al-Quran sebagai wahyu yang diturunkan melalui Nabi
Muhammad SAW, dengan akal juga manusia mampu menelaah kembali sejarah islam
dari masa ke masa sampai dengan kondisi sekarang ini.
Banyak aliran-aliran yang muncul dan menganggap bahwa aliran yang mereka
percayai sangat benar dalam segi agama terutama agama islam. Ini disebabkan karena
mereka mempunyai sebuah perbedaan yang masing-masing dari mereka beranggapan
yang berbeda-beda.
Perbedaan-perbedaan ini terdapat pada segala bidang. Seperti halnya apa yang
mereka yakini dan mereka taati dalam beribadah dasar-dasar yang mereka pahami.
Dalam konsep ini tentang perbuatan manusia pernah menjadi perdebatan yang begitu
hebat di dunia islam. Suasana perdebatan itu masih sangat terasa hingga saat ini.
Bahkan, sebagian pendapat suasana ini akan terus terjadi sampai zaman yang akan
datang.
Dalam pemikiran islam, perbuatan manusia diinterpretasikan oleh dua
aliran. Pertama, ada yang menganggap sebagai kehendak bebas manusia. Perbuatan-
perbuatan manusia terjadi sesuai apa yang mereka inginkan atau kehendaki, yaitu jika
seseorang ingin berbuat sesuatu maka perbuataan itu akan terjadi. Akan tetapi
sebaliknya, jika seorang tidak menginginkan sesuatu terjadi maka perbuatan itu tidak
akan terjadi. Kedua,bagi kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh
manusia. Melainkan oleh Allah SWT. Bagi kelompok ini, manusia tidak bisa berbuat
apa-apa, karena manusia tidak memiliki kekuatan untuk mengekspresikan perbutan itu.
Manusia hanyalah dikendalikan oleh Allah SWT. Aliran yang pertama ini

1
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 39

1
dalam pemikiran islam dikenal dalam sebutan Qadariyah dan aliran yang kedua
disebut dengan Jabariyah.
Saat ini, akal dan agama menjadi istilah yang berkaitan dengan akal dan wahyu.
Semuanya terdapat dalam berbagai karya pemikir Timur maupun Barat, namun adapula
sekelompok pemikir yang keberatan menggunakan istilah ini dalam beberapa alasan.
Salah satunya adalah kesalah pahaman mereka dalam memposisikan akal dan agama.
Sejak awal mereka mengandaikan posisi keduanya saling bertentangan. Sehingga perlu
bagi penulis melakukan analisa terhadap perbandingan pemikiran dalam persoalan ilmu
kalam yang ada.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu akal dan
wahyu?
2. Bagaimana pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu Free Will dan
Predestination?
3. Bagaimana pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu Keadilan
Tuhan?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu akal dan
wahyu.
2. Mengetahui pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu Free Will dan
Predestination.
3. Mengetahui pandangan aliran Muta’zilah, Asy’ariah, Maturidiah Samarkand, dan
Maturidiah Bukhara mengenai salah satu persoalan ilmu kalam yaitu Keadilan
Tuhan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Analisa dan Perbandingan Pemikiran Akal dan Wahyu


1. Pengertian Akal dan Wahyu
a. Pengertian Akal
Kata “akal” secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yaitu al-
‘aql(‫ )العقل‬adalah bentuk mashdar dari kata ‫ يعقل –عقال‬- ‫ عقل‬yang bermakna
fahima wa tadabbaro (paham dan memikirkan atau menimbang). Maka al-‘aql
(‫ )العقل‬sebagai mashdar memiliki makna kemampuan memahami dan
memikirkan sesuatu. Sesuatu tersebut adalah ungkapan, fenomena, dan lain-
lain yang bisa dijangkau oleh panca indra. Kata akal dapat juga ditemui
penggunaannya dalam al-Qur’an sebanyak 49 kali.
Secara epistimologi, kata akal dapat diartikan sebagai daya berpikir
yang ada pada diri manusia untuk memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya. Menurut al-Ghazali, akal diartikan dalam tiga
pengertian; Pertama, akal didefinisikan sebagai potensi yang membedakan
manusia dengan binatang dan menjadikan manusia mampu menerima berbagai
pengetahuan. Kedua, pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan
pengalaman yang dilaluinya dan akan memperhalus budinya. Ketiga, akal
merupakan kekuatan insting yang menjadikan seseorang mengetahui dampak
dan akibat semua persoalan yang dihadapinya sehingga dapat mengendalikan
hawa nafsunya. Akal dalam pengertian inilah yang kemudian dikontraskan
(dalam Islam) dengan wahyu, sebagai sumber pengetahuan dari luar diri
manusia, yaitu dari Allah Swt.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa akal yang terdapat dalam
diri manusia, merupakan suatu daya yang dengannya manusia dapat hidup
bermutu dan dinamis, karena tingkah laku dan perbuatan manusia dilakukan
atas dasar pengertian atau pengetahuan dan motivasi untuk mencapai tujuan
yang dikehendaki.

3
b. Pengertian Wahyu

Kata wahyu berasal dari bahasa Arab yaitu ‫حى‬


َ ‫ َو‬yang berarti suara, api,
dan kecepatan. Wahyu menurut kamus al-Mufrodat Fi Ghoro’ibil-Qur’an
makna aslinya adalah al-isyaratu al-sari’ah yang memiliki arti isyarat yang cepat
yang disampaikan ke dalam hati. Di samping itu, kata wahyu juga berarti
bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Selanjutnya, ia juga mengandung makna
pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wahyu diartikan sebagai
petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para nabi dan rasul melalui
mimpi dan sebagainya. Dalam kedudukannya sebagai petunjuk, wahyu juga
dapat diartikan sebagai pemberitahuan (informasi) dari Allah yang diberikan
kepada orang-orang pilihannya untuk disampaikan kepada manusia agar
dijadikan sebagai pegangan hidup. Wahyu mengandung ajaran, petunjuk dan
pedoman yang berguna bagi manusia untuk perjalanan hidupnya di dunia dan
akhirat.
Al-Qur’an dalam surah al-Syura ayat 51 menjelaskan cara terjadinya
komunikasi antara tuhan dan nabi-nabi:

‫ّللاه ا َّّل َوحيًا اَو من َّو َر ۤائ‬


ٰ ‫َو َما َكانَ لبَشَر اَن ي َكل َمهه‬
‫ي باذنه َما َيش َۤا هء ۗانَّه‬
َ ‫سو ًّل فَيهوح‬ ‫ح َجاب اَو يهرس َل َر ه‬
‫علي َحكيم‬ َ
Artinya:
Tidak terjadi bahwa Allah berbicara kepada manusia kecuali dengan wahyu,
atau dari belakang tabir, atau dengan mengirimkan seorang utusan, untuk
mewahyukan apa yang Ia kehendaki dengan seizinNya. Sungguh Ia maha tinggi
lagi maha bijaksana. (QS. al-Syura: 51)
Dari ayat di atas dapat dijelaskan bahwa ada tiga cara Allah
berkomunikasi kepada para hambaNya; Pertama, Allah berbicara pada
hambaNya langsung dengan berupa wahyu tanpa perantara, Kedua, dari
belakang tabir (seperti menyaksikan pandangan gaib dalam keadaan tidur, yang
dapat ditakwilkan atau tidak, atau kadang-kadang membuat mereka
mendengarkan kata-kata dalam keadaan jaga dan sadar, namun mereka tidak
melihat wujud yang berbicara kepada mereka), Ketiga, tuhan mengutus seorang
rasul atau malaikat untuk menyampaikan amanatnya.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa akal dapat dimiliki
oleh setiap manusia dan inheren dalam dirinya. Sedangkan wahyu merupakan
informasi dari tuhan yang berada di luar diri manusia. Namun, fungsi kedua alat
ini sama-sama untuk menghasilkan pengetahuan, meskipun tingkat
kebenarannya berbeda. Dalam hal ini, kebenaran yang diperoleh dari wahyu
bersifat absolut, sedangkan kebenaran yang diperoleh melalui akal bersifat
relatif. Wahyu bersumber dari Allah, sedangkan akal bersumber dari manusia.2
2. Pandangan Beberapa Aliran Teologi dalam Islam tentang Akal dan Wahyu
a. Aliran Muta’zilah

Kaum Mu‘tazilah dikenal sebagai aliran yang paling banyak


menggunakan akal dalam pembahasan-pembahasan teologinya, sehingga ia
dijuluki sebagai kaum rasionalis Islam. Dalam pandangannya mengenai
peranan akal dan wahyu untuk mengetahui keempat hal tersebut di atas, tokoh-
tokoh aliran Mu‘tazilah sependapat, bahwa pokok-pokok pengetahuan (tentang
Tuhan serta baik dan buruk) dan mensyukuri nikmat adalah wajib, sebelum
turunnya wahyu.3

Hal ini berarti, bahwa mengetahui Tuhan; mengetahui baik dan buruk;
kewajiban bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan; serta mengetahui
kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk dapat
diketahui oleh akal manusia. Sehingga, seandainya tidak ada wahyu pun,
manusia tetap dapat mengetahuinya. Dengan penalaran akalnya, manusia bisa
berkesimpulan bahwa berterimakasih kepada Tuhan adalah wajib sebelum
datangnya wahyu.

Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa Mu‘tazilah menafikan


peranan wahyu. Wahyu menurut mereka tetap memiliki peranan yang sangat
penting dalam keempat masalah tersebut. Dalam kaitan ini, wahyu memiliki
fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa yang telah diketahui akal dan

2
Hudallah, Buku Guru Ilmu Kalam (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016) h. 3
3
al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967), h. 45. Lihat
juga, al-Qadi Abi Hasan Abd. Jabbar, al-Mugni , Juz XII (Qairo: al-Muassah al-Musriyah al-Ammah, t.th.), h.
416-417
menerangkan apa yang belum diketahui oleh akal.4 Hanya saja, menurut
Mu‘tazilah, wahyu tidak selamanya yang menentukan apa yang baik dan apa
yang buruk, karena akal, bagi Mu‘tazilah dapat mengetahui sebagian yang baik
dan sebagian dari yang buruk. Dalam artian, akal dapat mengetahui garis-garis
besarnya, sedangkan rinciannya diperoleh melalui wahyu. Misalnya,
sungguhpun akal dapat mengetahui Tuhan, akan tetapi akal tidak dapat
menentukan jenis Tuhan yang sesungguhnya, sehingga apa yang digambarkan
oleh akal itu dapat saja berubah-ubah. Demikian halnya tentang perbuatan baik
dan buruk, ada saja yang tidak dapat dijangkau oleh akal, misalnya,
penyembelihan binatang untuk keperluan tertentu.5

Dalam kaitannya dengan perbuatan baik dan buruk ini, kaum Mu‘tazilah
membedakan antara ‫ قبائحعقلية‬serta ‫ مناكيرعقلية‬perbuatan-perbuatan yang tidak
baik menurut akal dan ‫ قبائحشرعية‬Serta ‫ مناكيرشرعية‬perbuatan-perbuatan yang
tidak baik menurut wahyu. Begitu pula dibedakan antara kewajiban-kewajiban
yang ditentukan oleh akal ‫ واجباتعقلية‬serta ‫ تكليفعقل‬dengan kewajiban-kewajiban
yang ditentukan oleh wahyu ‫ واجباتشرعية‬serta Dalam kaitan ini, akal hanya dapat
mengetahui garis-garis besarnya saja dari kewajiban-kewajiban manusia,
sedangkan perinciannya - sebagaimana pendapat Abdul Jabbar – hanya dapat
diketahui melalui wahyu.

Selanjutnya, fungsi lain dari wahyu, menurut al-Syahrastani adalah


untuk mengingatkan manusia tentang kewajibannya dan mempercepat untuk
mengetahuinya atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa meskipun aliran Mu‘tazilah


memberikan peranan yang besar kepada akal, namun, tetap dalam
keterbatasannya sebagai akal manusia, yang hanya mampu mengetahui baik dan
buruknya sesuatu secara universal.Sedangkan kebaikan yang bersifat lokal dan
varsial hanya dapat diketahui melalui wahyu. Selanjutnya, wahyu menurut
Mu‘tazilah, di samping sangat berperan untuk mengetahui perincian dari apa

4
Nasution, Harun, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986) h. 99.
5 al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967), h. 45. Lihat
juga, al-Qadi Abi Hasan Abd. Jabbar, al-Mugni , Juz XII (Qairo: al-Muassah al-Musriyah al-Ammah, t.th.), h.
101
yang baik dan buruk, juga dimaksudkan sebagai dasar pembenaran bagi Tuhan
untuk memberikan ganjaran terhadap manusia di hari kemudian.

b. Aliran Asy’ariyah.

Berbeda dengan aliran Mu‘tazilah, aliran Asy‘ariyah yang termasuk


dalam golongan Ahlus Sunnah Wal Jama‘ah memberikan peranan yang lebih
besar kepada wahyu dalam mengetahui keempat persoalan tersebut di atas.

Menurut al-Asy‘ari, segala kewajiban (yang harus dilakukan oleh)


manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu.Akal tidak dapat membuatu
sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui, bahwa mengerjakan yang
baik dan meninggalkan yang jahat (buruk) itu adalah wajib bagi manusia.
Memang betul, bahwa akal dapat mengetahui Tuhan dan perlunya berterima
kasih kepadaNya. Namun, melalui wahyulah manusia dapat mengetahui, bahwa
orang yang taat kepada Tuhan akan mendapat pahala (balasan baik) dan orang
yang berbuat maksiat kepada-Nya akan mendapat hukuman (siksa). Akal
menurut Asy‘ari, tidak mampu mengetahui kewajiban manusia. Untuk itulah
wahyu diperlukan, yakni untuk menetapkan mana yang wajib dan mana yang
tidak, mana perintah dan mana larangan dari Tuhan.

Dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tak akan
tahu kewajiban-kewajibannya, bahkan – kata al-Gazali – sekiranya syari‘at
tidak ada, manusia tidak akan berkewajiban mengetahui Tuhan dan tidak wajib
pula berterima kasih kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang diturunkan kepada
manusia. Demikian juga soal baik dan buruk, ia hanya diketahui melalui
perintah dan larangan Tuhan.

Dalam penjelasannya, al-Syahrastani menyatakan bahwa semua


kewajiban diketahui melalui wahyu, sedangkan pengetahuan, semuanya dapat
diperoleh melalui akal.Karena itu, akal tidak dapat mewajibkan untuk berbuat
baik dan meninggalkan kejahatan, juga tidak bisa menuntut dan menentukan
suatu kewajiban. Dalam kaitan ini, al-Taftazani menjelaskan, bahwa (bagi
Asy‘ariyah) sanksi hukum untuk perbuatan orang yang berakal belum ada,
sebelum datangnya syara‘. Jadi tetapnya suatu hukum adalah atas landasan
syara‘, bukan dengan akal. Akal dalam hal ini, hanyalah merupakan alat untuk
memahami khitab syara‘.Pendapat ini juga didukung oleh al-Gazali, bahkan ia
menegaskan, bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah swt., dan tidak
ada sanksi hukum sebelum datangnya ketentuan syara‘.Hal ini lebih dipertegas
lagi oleh al-‘Amidi dengan mengatakan, bahwa tidak ada hakim (pembuat
hukum) kecuali Allah swt., dan tidak ada hukum kecuali yang telah ditetapkan
oleh Allah. Akal tidak punya wewenang menilai sesuatu perbuatan apakah baik
atau buruk, dan tidak ada hukum sebelum datangnya ketentuan syara‘Tegasnya,
tidak ada hukum taklif (tuntutan dan larangan) sebelum datangnya wahyu.6

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa akal bagi Asya‘ariyah


hanya dapat mengetahui Tuhan. Namun, akal tidak punya otoritas (wewenang)
untuk menetapkan kewajiban.Yang menetapkan adalah al-Hakim (pembuat
hukum) yakni Allah swt. Berbeda dengan Mu‘tazilah yang menjadikan akal
sebagai al-Hakim. Dengan kata lain, Asy‘ariyah memberikan fungsi yang lebih
kecil kepada akal, sedangkan Mu‘tazilah wewenang akal lebih banyak. Dalam
hal ini, akal menurut Asy‘ariyah kemampuannya terbatas dalam hal mengetahui
eksistensi Tuhan. Akal diperlukan untuk memahami wahyu.

c. Aliran Maturidiyah

Nama aliran ini identik dengan pendirinya, yaitu Abu Mansur


Muhammad Ibnu Mahmud al-Maturidy. Dalam faham teologinya, al-Maturidy
banyak terpengaruh oleh pemikiran Imam Abu Hanifah, yang juga banyak
menggunakan rasio dalam pandangan keagamaannya. Meski demikian, sistem
pemikiran teologinya masih dalam kategori Ahlu Sunnah.

Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang akal dan wahyu ini aliran
Maturidiyah terbagi kepada dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand dan
Maturidiyah Bukhara.

1) Maturidiyah Samarkand

Aliran ini dianggap oleh beberapa kalangan lebih dekat corak


pemikirannya kepada Mu‘tazilah dalam bidang teologi dari pada ke
Asy‘ariyah.7

6
Haq, Hamka, Dialog Pemikiran Islam (Ujungpandang: Yayasan AHKAM, 1995), h. 20.
7
Nasution, Harun. Islam Rasionalis (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996), h. 115.
Dalam pandangannya tentang otoritas akal dan wahyu, kaitannya
dengan keempat masalah pokok tersebut, Maturidiyah Samarkand
berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan, oleh karena
Allah sendiri yang memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan
merenungi alam ini. Hal ini menunjukkan bahwa akal manusia dapat
mencapai ma‘rifatullah. Oleh karena itu, akal sudah mengetahui tentang
kewajiban mengetahui Tuhan sebelum datangnya wahyu. Sehingga akan
berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum datangnya wahyu.

Demikian halnya dengan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan,


menurut Maturidiyah Samarkand, akal dapat mengetahui kewajiban
manusia berterima kasih kepada Tuhan, meski tanpa bantuan wahyu.

Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat
baik yang terdapat di dalamnya, dan sifat buruk yang terdapat dalam yang
buruk. Dengan demikian, akal juga dapat mengetahui bahwa yang buruk
adalah buruk dan berbuat baik adalah baik. Akal selanjutnya akan membawa
kepada kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan
yang membawa kepada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian
menjadi wajib dengan kemestian akal. Namun, yang diketahui akal hanyalah
sebab wajibnya perintah dan larangan itu. Adapun mengenai kewajiban
berbuat baik dan menjauhi yang buruk, akal tidak berdaya untuk
mewajibkannya. Karena kewajiban tersebut hanya dapat diketahui oleh
wahyu.

Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa aliran Maturidiyah


Samarkand berpendapat, bahwa akal dapat mengetahui tiga dari empat
persoalan pokok tersebut, yakni: Mengetahui Tuhan; kewajiban mengetahui
Tuhan (berterima kasih kepada Tuhan); serta mengetahui baik dan buruk.
Sedangkan yang terakhir, kewajiban mengerjakan yang baik dan
meninggalkan yang jahat adalah wewenang wahyu atau Tuhan.

2) Maturidiyah Bukhara

Jika Maturidiyah Samarkand ditokohi oleh Abu Mansur al-Maturidy


sendiri, maka Maturaidiyah Bukhara, tokohnya adalah Abu Yusr
Muhammad al-Bazdawy. Pemikiran teologi dari kedua tokoh ini sedikit
berbeda dan tidak terlalu mendasar. Perbedaannya hanya pada sekitar
masalah kewajiban-kewajiban manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.

Al-Bazdawy mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban


mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat
mengetahui baik dan buruk saja. Sedangkan yang menentukan kewajiban
mengenai yang baik dan buruk itu adalah Tuhan sendiri. Demikian halnya
dengan kewajiban mengetahui Tuhan. Akal hanya mampu mengetahui
Tuhan, tetapi ia tidak dapat mengetahui dan menentukan kewajiban
mengetahui Tuhan. Dalam hal ini, yang mengetahui dan menentukannya
adalah wahyu.

Pada prinsipnya, akal menurut paham aliran Maturidiyah Bukhara, tidak


dapat mengetahui kewajiban-kewajiban, melainkan hanya dapat mengetahui
sebab-sebab dari proses kewajiban itu menjadi wajib. Oleh karenanya,
mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan, sebelum
turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Bahkan mereka (para alim
ulama Bukhara) berpendapat bahwa sebelum datangnya Rasul, percaya
kepada Tuhan tidaklah wajib dan tidak percaya kepada Tuhan bukanlah
suatu dosa. Dari sini, kelihatan bahwa Maturidiyah Bukhara lebih mendekati
faham Asy‘ariyah yang lebih memfungsikan wahyu dibandingkan akal.

3. ANALISA PERBANDINGAN

Merujuk pada uraian keempat aliran teologi Islam tersebut di atas, maka
dapat dinyatakan bahwa pandangan masing-masing aliran tidaklah sama antara satu
dengan yang lainnya. Masing-masing aliran memberikan porsi tersendiri dalam
menempatkan peranan akal dan wahyu. Mu‘tazilah misalnya, memberikan porsi
paling besar kepada akal, dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Bagi Mu‘tazilah,
keempat masalah yang diperbincangkan itu, semuanya dapat diperoleh melalui
akal. Hal ini berarti, bahwa porsi kekuatan wahyu bagi Mu‘tazilah lebih kecil
dibanding dengan akal.
Sedangkan aliran Maturidiyah yang terdiri dari dua cabang itu, menempati
posisi tengah antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah. Meski demikian, kedua cabang
Maturidiyah tersebut sedikit mempunyai perbedaan.

Maturidiyah Samarkand lebih dekat kepada Mu‘tazilah, karena aliran ini


berpendapat bahwa dari keempat pokok masalah tersebut, tiga diantaranya dapat
diketahui oleh akal, sedangkan yang satunya hanya dapat diketahui melalui wahyu.

Adapun Maturidiyah Bukhara, dalam pandangannya terhadap akal dan


wahyu, lebih mendekati pemikiran Asy‘ariyah. Meskipun pada kenyataannya
memberikan porsi yang sama antara akal dan wahyu. Dalam hal ini, dari empat
masalah pokok tersebut, dua di antaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan dua
yang lainnya lagi hanya dapat diketahui melalui wahyu.

Untuk lebih jelasnya, perbandingan ini dapat dianalogikan ke dalam bentuk


nilai (harga), yaitu, jika disusun dalam skala prioritas, sesuai dengan tingkat
penghargaannya antara akal dan wahyu, maka akan terlihat dalam urutan sebagai
berikut:

a) Mu‘tazilah: Memberikan nilai 4 (empat) kepada akal, dan nilai positif (0) pada
wahyu.
b) Maturidiyah Samarkand: Memberikan nilai 3 (tiga) pada akal, dan nilai 1 (satu)
pada wahyu.
c) Maturidiyah Bukhara: Memberikan nilai 2 (dua) pada akal dan 2 (dua) pada
wahyu
d) Sedangkan Asy‘ariyah: Memberikan nilai 1 (satu) pada akal dan nilai 3 (tiga)
pada wahyu.
Mu’tazilah Asy’ariyah Maturidyah
Samarkand Bukhara
Akal Wahyu Akal Wahyu Akal Wahyu Akal Wahyu
Mengetahui
Tuhan
√ √ √ √
Kewajiban
Mengetahui
√ √ √ √
Tuhan
Mengetahui Baik
dan Buruk
√ √ √ √
Kewajiban
Melaksanakan
√ √ √ √
yang Baik dan
Menjauhi yang
Buruk

Menyangkut tentang eksistensi masyarakat terpencil dan mayarakat modern


yang tidak mempunyai kesempatan untuk mengetahui Islam secara baik, hubungannya
dengan persoalan teologi, menurut Mu‘tazilah pedomannya adalah akal pemimpinnya.
Dalam arti, mereka harus berpedoman pada aturan atau ketentuan yang telah berlaku
dalam kelompoknya. Sedangkan menurut Asy‘ariyah persoalannya diserahkan kepada
kemahakuasaan mutlak Tuhan. Namun secara teologis tidak dibebani kewajiban.
Karena menurut Asy‘ariyah, selama seseorang belum sampai dakwah kepadanya, maka
selama itu pula tidak ada taklif atasnya.

B. Analisa dan Perbandingan Pemikiran Free Will dan Predestination


1. Kebebasan merupakan nilai yang fundamental dalam kehidupan manusia.

Berbincang mengenai kehidupan manusia tanpa kebebasan manusia


tampaknya sulit untuk dimengerti, karena tidak adanya kebebasan manusia
menyiratkan maksud tidak adanya proses eksistensial dalam hidup manusia.
Kebebasan manusia merupakan prakondisi paling fundamental bagi
pertanggungjawaban manusia (the most fundamental precondition of human
responsibility). Jika tidak diberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan
dan melakukan perbuatan yang dikehendakinya, maka tidak masuk akal ada
tuntutan pertanggungjawaban atas akibat perbuatan tersebut. Apabila ada orang
memaksa orang lain melakukan suatu perbuatan, maka tidak ada
pertanggungjawaban yang bisa dibebankan kepada pelakunya, karena yang harus
bertanggungjawab adalah orang yang memaksanya.

Sedemikian esensialnya makna kebebasan ini bagi eksistensi manusia,


dalam sejarah filsafat Barat modern terdapat satu aliran filsafat, yaitu,
eksistensialisme, yang penuh perhatian pada isu kebebasan manusia. Bahkan dalam
eksistensialisme yang bercorak ateistik, kebebasan manusia dipandang sebagai
hakikat dari manusia. Manusia adalah diri yang bebas secara mutlak. Kemutlakan
dalam pengertian kebebasan ini mensyaratkan bahwa manusia ada mendahului
esensinya, dan karenanya eksistensi manusia tidak pernah ditentukan sebelumnya
oleh siapapun, termasuk oleh Tuhan. Dengan menegasikan keberadaan Tuhan, para
eksistensialis ateis menegaskan bahwa manusia adalah bebas, dan bebas tanpa
Tuhan adalah bebas secara absolut.

Dalam perbincangan mengenai apakah manusia terbatas atau tidak terbatas,


atau apakah manusia bebas atau tidak bebas merupakan perbincangan yang telah
ada sejak lama, baik dalam filsafat maupun dalam teologi Islam telah dikenal sejak
awal kelahiran keduanya. Dalam kajian filsafat muncul wacana apakah tindakan
manusia telah ditentukan sebelumnya atau tidak. Wacana ini kemudian melahirkan
dua paham terkenal yang disebut oleh Goldman dengan determinism atau
predictionism dan indeterminism atau anti-predictionism. Paham pertama
mengajarkan bahwa tindakan-tindakan manusia telah ditentukan sebelumnya
sehingga bisa diramalkan, sementara paham kedua menegaskan tidak ditentukan
sebelumnya dan karenanya tidak bisa diramalkan. Kedua paham ini kemudian
sangat populer dalam kajian filsafat ketika bicara tentang problem koeksistensial
antara Tuhan dan manusia. Sumber pokok dari problem koeksistensial ini adalah
kebebasan. Para ateis menganggap kehadiran Tuhan sebagai penghalang bagi
kebebasan manusia, sementara para teis justru menilai kehadiran Tuhan sebagai
sumber kebebasan manusia. Dalam kajian teologi Islam Klasik pun telah ada isu
polarisasi pandangan seperti ini. Ada dua aliran kalam atau teologi Islam yang
muncul pada periode awal kesejarahannya, yaitu Jabariyah dan Qadariyah. Aliran
pertama berpandangan bahwa kehendak dan perbuatan manusia telah ditentukan
sebelumnya oleh Tuhan, dan aliran kedua berpandangan sebaliknya, bahwa
manusia adalah bebas dan perbuatannya tidak ditentukan sebelumnya.

Dari segi pendapat mengenai kebebasan manusia, penganut kalam


Qadariyah tampak tidak berseberangan dengan kaum eksistensialis tentang
kebebasan manusia. Namun, dalam tulisan ini tidak hendak memperbandingkan
antara keduanya, melainkan ingin mengkaji konsep kebebasan manusia tanpa
Tuhan atau kebebasaan absolut para eksistensialis ateis dari perspektif kebebasan
manusia konsepsi Qadariyah. Kebebasan manusia memang harus ada, tetapi
mungkinkah secara rasional membenarkan gagasan kebebasan manusia tanpa
Tuhan atau kebebasan mutlak manusia itu. Tulisan ini coba menganalisis dari
pandangan teologi Islam Qadariyah.

2. Penolakan Tuhan dan Indeterminisme Mutlak Kebebasan Manusia


Ateisme sebagai pemikiran berkembang dalam pemikiran dan filsafat Barat
sebagai salah satu bentuk respons atas gerakan dan politik keagamaan Gereja Abad
Pertengahan di Eropa yang membelenggu kebebasan berpikir, berilmu
pengetahuan, dan beragama manusia. Ateisme memiliki banyak corak alirannya, di
antaranya, ateisme materialis ateisme Marxis, ateisme naturalis, dan ateisme
eksistensialis. Semua ateis sudah pasti menolak eksistensi Tuhan, namun ateis yang
menolak keberadaan Tuhan untuk alasan demi kebebasan manusia adalah ateis-
eksistensialis. Ada beberapa filosof ateis-eksistensialis, namun yang mencitakan
dunia tanpa Tuhan demi kepenuhan kebebasan manusia adalah Frederich Wilhelm
Nietzsche dan Jean-Paul Sartre. Baik Nietzsche maupun Sartre tidak bisa menerima
konsep kebebasan manusia tetapi ada Tuhan. Tuhan dan kebebasan manusia adalah
dua hal yang tidak bisa digabungkan, dan harus menetapkan pilihan: memilih Tuhan
dan tidak ada kebebasan bagi manusia, atau memilih kebebasan manusia dan Tuhan
tidak ada. Dunia dan belantara kehidupan di dalamnya, bagi Nietzsche, terbuka bagi
kebebasan manusia, jika dan hanya jika Allah, Tuhan Kristiani, tidak ada, dan
segala perintah dan larangannya bukan menjadi halangan lagi. Sementara bagi
Sartre, dengan tidak adanya Tuhan, manusia justru menjadi bebas secara total.
Segala sesuatu diperbolehkan bagi manusia. Dengan kematian Tuhan atau tiada
kepercayaan pada Tuhan, manusia mengarah kepada dunia ini tanpa determinisme
sama sekali. Manusia tidak sedang mengarah pada suatu masa depan yang telah
digambarkan sebelumnya, melainkan mengarah kepada masa depan yang dia
kehendaki sendiri. Manusia tidak sedang dalam terang bimbingan untuk diantar ke
suatu dunia tertentu, tetapi manusia selalu berada dalam kebebasannya untuk suatu
dunia yang dia bayangkan dan inginkan. Manusia yang bebas adalah manusia yang
menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Manusia adalah eksistensi tanpa esensi.
Eksistensi manusia datang sebelum, atau mendahului, esensinya.
Dalam pemikiran kedua ateis-eksistensialis, dunia ini ada bagi manusia
tanpa Tuhan. Dunia ini adalah dunia tanpa Tuhan, dan manusia sebagai pencipta
tunggalnya yang bebas. Tiadanya Tuhan telah membebaskan manusia dari problem
pemahaman mengenai dirinya sendiri di hadapan kekuatan supernatural. Apabila
manusia sudah menerima kematian Tuhan, maka dirinya menjadi bebas berkarya
untuk perbuatan-perbuatan yang menurutnya harus dilakukan. Kreativitas harus
menjadi tanda perubahan mentalitas tanpa ketabuan dalam diri manusia. Kaum
pencipta adalah kaum yang lebih tinggi, karena ia sedang menjalankan kuasa
kebebasannya. Dengan memproklamirkan diri sebagai pencipta, manusia menjadi
awal dan akhir eksistensinya. Dia menjadi bebas dan hanya bergantung pada
kekuatan kehendaknya sendiri. Kehendak untuk berkuasa menegaskan manusia
adalah diri yang berkehendak tanpa batas. Manusia adalah pencipta yang tidak
mungkin tinggal diam dengan ditentukan oleh hukum-hukum sebelumnya. Suatu
tindakan kreatif yang murni berisi norma-normanya sendiri, dan setiap penciptaan
adalah suatu penciptaan norma-norma baru. Nilai dan esensi manusia adalah hasil
konstruksinya sendiri. Nietzsche menandai makna nilai dan esensi manusia seperti
ini dengan kehendak untuk berkuasa. Kehendak ini dalam perjalanan sejarah akan
mencapai kesudahannya dalam üebermensch, atau superman, atau manusia atas.
Namun, setiap kesudahan menuntut permulaan baru. Sartre lebih konsekuen
merumuskan kebebasan manusia yang ditariknya dari sikap ateistiknya. Baginya,
tidak ada nilai-nilai, aturan-aturan, dan perintah-perintah yang melegitimasi
perilaku manusia, karena Tuhan tidak ada. Eksistensi manusia mendahului
esensinya, manusia adalah bebas, dan lebih tegas lagi dia mengatakan manusia
dihukumi menjadi bebas. Manusia sejak ada saat pertama dari eksistensinya, dia
ada dan menjadi semua yang umat manusia ada dan menjadi. Manusia bebas karena
dia sendiri tidak lain hanyalah kehadiran bagi dirinya sendiri.
Kebebasan justru merupakan ketiadaan yang dibuat-untuk-ada pada diri
manusia dan memaksanya untuk membentuk dirinya untuk ada dan mengada secara
terus-menerus tanpa determinasi oleh apapun dan siapapun. Kebebasan manusia
adalah proses nihilasi tanpa kesudahan, karena manusia adalah bebas dari
determinasi apapun yang ada sebelumnya. Dia adalah diri yang bebas, dan
kebebasanya adalah absolut. Kebebasan absolut, karena lepas dari determinasi
Tuhan, memiliki lima penegasan. Pertama, untuk ada berarti bertindak, eksistensi
individu manusia tak dapat dipisahkan dari totalitas tindakannya. Kedua, kondisi
dasar suatu tindakan adalah kebebasan. Ketiga, kebebasan muncul dalam suatu
tindakan nihilasi oleh being-for-itself (ada-untukdirinya sendiri) terhadap being-in-
itself (ada-dalam-dirinya sendiri). Keempat, kebebasan identik atau paling kurang
tak dapat dibedakan dari being-for-utself, ia adalah kesadaran manusia akan
kemurnian keberadaannya. Kelima, kebebasan mewujudkan dirinya pada kesadaran
dalam perasaan cemas. Penjelasan tentang kelima penegasan ini bisa dilihat dalam
uraian di bawah ini.
Titik awal ontologi eksistensial sebagai asumsi dasar adalah tampaknya
kesadaran dalam dunia ini. Karena tanpa kesadaran tidak ada eksistensi manusia.
Kesadaran muncul dalam dunia ini tanpa alasan, tanpa tujuan. Ia terlempar ke dalam
dunia. Kesadaran dimengerti hanya dengan abstraksi, kesadaran tidak
menampakkan dirinya kecuali sebagai kesadaran terhadap sesuatu. Meskipun
kesadaran muncul dalam dunia ini, tetapi ia bukanlah bagian dari dunia ini. Dunia
ini berisi segala sesuatu yang ada, oleh karenanya, kesadaran, yang lain dari dunia
ini, adalah “ketiadaan”. Kesadaran yang adalah “ketiadaan” membedakan diri dari
“yang dianugerahkan” melalui tindakan peniadaan atau nihilasi being-in-itself. Jadi,
eksistensi yang sadar atau eksistensi manusia tidak dapat dipisahkan dengan dari
tindakan nihilasi.
Realitas manusia adalah ada untuk bertindak, dan berhenti bertindak adalah
berhenti untuk ada. Makna pernyataan kondisi fundamental dari tindakan adalah
kebebasan terletak pada hubungan antara kesadaran dan tindakan. Sartre menolak
gagasan-gagasan “sebab” dan “motif ” yang sama dalam menjelaskan tindakan-
tindakan. Bagaimanapun, situasi konkret, yang dikatakan menjadi “sebab” suatu
tindakan, itu ada dan “kondisi kejiwaan” itu juga ada. Bagaimana yang ada
memotivasi atau menyebabkan yang tidak ada, Sartre mengatakan bahwa jika
realitas manusia adalah tindakan, dengan jelas ini berarti bahwa determinasi atas
tindakan adalah tindakan itu sendiri. Pendek kata, ia adalah kesadaran yang
menentukan isi suatu situasi konkret dan membedakannya dari “yang terberikan”.
Kebebasan muncul dalam tindakan penidakan terhadap berada-dalam diri oleh
berada-untuk-diri. Karena kesadaran (berada-untuk-diri) secara hakiki adalah
“ketiadaan”, ia tidak terlibat dalam hubungan kausal dengan dunia berada-dalam-
diri. Oleh karena itu, kesadaran adalah bebas, bebas dari kontingensi kausal.
Kesadaran membawa “ketiadaan” dalam dunia ini, sehingg dapat melakukan
nihilasi. Melakukan nihilasi berarti tidak puas dengan ada yang kasar dan
mentransformasikannya ke dalam sesuatu yang akan menyesuaikan diri secara lebih
dekat dengan adanya maksud-maksud. Kesadaran manusia tidak hanya bebas,
bahkan ia tak dapat dibedakan dari kebebasan itu sendiri. Oleh karena itu,
kebebasan untuk-diri itu tampak sebagaimana adanya. Tetapi, karena kebebasan ini
bukan merupakan suatu anugerah atau suatu kepemilikan, ia dapat ada hanya
dengan memilih dirinya sendiri. Kebebasan untuk-diri selalu dijalani. Tidak ada
persoalan di sini tentang suatu kebebasan yang tidak dapat dideterminasi dan yang
akan ada sebelum pilihannya. Kita tidak pernah akan mengerti diri kita sendiri
kecuali sebagai suatu pilihan yang bakal dibuat. Tetapi, kebebasan semata-mata
merupakan fakta bahwa pilihan ini selalu tidak dikondisikan.
Akhirnya, manifestasi kebebasan pada kesadaran dalam perasaan cemas
dapat dijelaskan. Kebebasan muncul dari tindakan bebas memilih yang tak dapat
dihindarkan, tak terelakkan. Pilihan-pilihan seperti kesadaran itu sendiri tak dapat
dikondisikan dan tanpa pondasi, sehingga seseorang tak dapat tidak memilih,
bahkan keputusan untuk tidak memilih itupun termasuk suatu pilihan. Hal ini dalam
perasaan cemas bahwa individu manusia menjadi sadar terhadap fakta-fakta yang
berkenaan dengan kebebasannya. Fakta bahwa dia harus memilih, fakta bahwa
pilihan-pilihannya tidak dikondisikan, fakta bahwa kebebasannya tanpa pondasi,
fakta bahwa berusaha untuk ada sebagai bagian dari dunia ini, tetapi selamanya
“dihukumi untuk menjadi bebas” dan selalu “dihukumi” untuk menjadi melalui
pilihan-pilihannya. Kecemasan yang, ketika kemungkinan ini dinyatakan,
menjelmakan kebebasan kita pada kesadaran adalah kesaksian atas kebisa-
berubahan terus-menerus tentang proyeksi awal kita. Dalam kecemasan, kita tidak
hanya mengerti fakta bahwa yang mungkin-yang mungkin yang kita proyeksikan
secara terus-menerus dirusak oleh kebebasan-mendatang kita, selain itu, kita
memahami pilihan kita, yaitu, diri kita sendiri sebagai yang tak dapat dijustifikasi.
Dengan demikian, kebebasan manusia dalam dunia tanpa Tuhan merupakan
kebebasan yang tanpa penghambat dan mutlak sifatnya. Kebebasan merupakan
nasib setiap orang sebagai manusia. Kebebasan adalah mutlak sifatnya.
Kebebasan tidak terbatas pada aspek tertentu saja, karena ia mencakup seluruh
eksistensi manusia. Tidak ada batas untuk kebebasan manusia. Kebebasan tidak
mempunyai batas lain kecuali dirinya sendiri, kebebasan sendiri menentukan batas-
batasnya.
3. Kebebasan Manusia dan Tuhan dalam Indeterminisme Qadariyah
Dalam sejarah pemikiran kalam atau teologi Islam, dikenal dua aliran kalam
yang kontras pandangan-pandangannya. Kedua aliran kalam ini adalah Jabariyah
dan Qadariyah. Terdapat aliran kalam lain yaitu seperti Murji’ah, Asy’ariyah dan
Mu’tazilah. Murji’ah merupakan aliran kalam yang tidak ingin terlibat dalam
perselisihan dan perdebatan kalam. Perbuatan-perbuatan dosa, sebagai ganti
dipandang sebagai penentu keluar dari keimanan atau tidak, kaum Murji’ah lebih
memilih untuk menyerahkan keputusannya pada Tuhan. Asy’ariyah merupakan
aliran kalam yang pendirian teologisnya berada di tengah antara Jabariyah dan
Qadariyah. Sementara Mu’tazilah merupakan aliran kalam pendukung Qadariyah.
Pendirian teologis Islam kalam Mu’tazilah adalah Qadariyah.
Menyangkut hubungan antara Tuhan dan Manusia dalam hal kekuasaan,
Jabariyah berpandangan bahwa Allah memiliki kekuasaan secara mutlak.
Perbuatan-perbuatan manusia sepenuhnya dalam kuasa dan telah ditentukan sejak
awal oleh Allah. Dalam perbuatan-perbuatan manusia, sebenarnya manusia tidak
berbuat, melainkan Allahlah yang berbuat karena Dia yang menghendaki
perbuatanperbuatan manusia. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dan
ditetapkan sebelumnya sejak awal zaman. Pandangan ini dikenal sebagai
pandangan yang ortodoks dalam pemikiran kalam atau teologi Islam. Menurut
paham ini, manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat apa-apa, karena
manusia tidak mempunyai daya, kehendak dan pilihan sendiri; manusia dalam
perbutan-perbuatannya adalah dipaksa dengan tidak ada kekuasaan, kemauan, dan
pilihan baginya. Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri manusia tak
ubahnya seperti gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Perbuatan
manusia dalam paham kalam Jabariah ini diibaratkan bulu burung yang ditiup
angin. Bulu itu bergerak atau diam ditentukan oleh ada atau tidaknya angin.
Manusia dikatakan “berbuat” tak ubahnya seperti, pergerakan benda-benda
di alam raya ini. Manusia sama sekali tidak memegang kendali dan kuasa, karena
dalam diri manusia sama sekali tidak ada qudrah, irādah, dan ikhtiyār. Karena
ketiadaan kuasa potensial, kehendak, dan usaha, maka perbuatan-perbuatan
manusia, apakah itu perbuatan baik yang membawa kepada perolehan nikmat
balasan kebaikan maupum perbuatan buruk atau dosa yang menjadikan disiksa,
pada hakikatnya adalah dipaksakan dan telah tertulis sejak awal zaman.
Asy’ariyah menolak paham kebebasan manusia Qadariyah yang
mengerdilkan kekuasaan Allah, dan membela serta mendukung paham Jabariyah
mengenai adanya kekuasaan dan kehendak Allah dalam perbuatan manusia. Namun
demikian, Asy’ariyah tidak bisa menerima paham Jabariyah yang meniadakan
kebebasan manusia sama sekali. Paham ini memegangi bahwa manusia memang
memiliki kebebasan dalam berbuat, namun dibatasi oleh kekuasaan dan kehendak
Allah. Paham kalam ini membuat istilah kasb (perolehan) untuk menjembatani
hubungan ruang bebas perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Karena pandangan yang mengambil jalan tengah inilah yang membuat al-
Syahrastāni menyebut aliran kalam Asy’ariyah ini dengan al-Jabariyah al-
Mutawāsithah, sedangkan paham Jabariyah yang disebarkan Jaham bin Shafwān
disebutnya dengan Jabariyah ekstrem atau al-Jabariyah al-Khālishah.
Penyebutan Jabariyah yang moderat untuk Asy’ariyah dapat dimaklumi dari
segi penerimaan pandangan mengenai adanya peran Tuhan dalam perbuatan
manusia, namun dari segi penerimaan juga ada kebebasan dan ikhtiyar dari
manusia, Asy’ariyah kelihatannya juga dapat disebut dengan Qadariyah yang
moderat (al-Qadariyah al-Mutawāsithah). Kata Qadariyah, secara etimologis,
berasal kata Arab, qadar yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara
terminologis, ia mengandung pengertian kekuatan dan kemampuan manusia untuk
menghendaki dan melakukan tindakan-tindakan yang lepas dari intervensi langsung
dari Allah.
Qadariyah merupakan paham teologi Islam yang mengajarkan kemerdekaan
berpikir dan kebebasan manusia untuk menentukan pilihan perbuatan dengan tetap
mengimani Tuhan sebagai Wujud Tunggal yang Transenden, yang tidak
mencampuri pilihan bebas manusia dalam penentuan tindakan-tindakan yang
dipilihnya. Kepastian awal kemunculan paham kalam Qadariyah dalam sejarah
teologi Islam masih menjadi perbincangan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah yang ditulis untuk Khalifah
Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M. Pendapat lain mengatakan
bahwa meskipun belum bisa dipastikan kapannya, namun hanya diyakini bahwa
aliran ini dikenalkan pertama kali olah Ma’bad al-Juhāni dan koleganya, Ghailān
al-Dimasyqi. Ghailānlah yang aktif menyebarkan aliran ini di Damaskus. Dia
sempat berhenti menyiarkan paham ini karena ada larangan dari Khalifah Umar bin
Abdul Aziz.
Penyebaran paham ini dilanjutkannya, setelah Khalifah Umar bin Abdul
Aziz wafat, sampai dia dihukum mati oleh Hisyām bin Abdul Mālik. Paham
Qadariyah secara politis merupakan gerakan pemikiran yang mengisyaratkan
perlawanan terhadap politik Bani Umayyah. Kehadiran paham kalam ini dalam
wilayah kekuasaan Bani Umayyah sering mendapat tekanan politik, bahkan paham
kalam ini sempat vakum sementara, karena tekanan yang keras oleh kekuasaan pada
masa Abdul Malik ibn Marwan.
Paham kalam ini kemudian berkembang lagi bukan dengan nama
Qadariyah, melainkan Mu’tazilah, dan memang ajaran-ajaran teologi Islam
Qadariyah dikembangkan dalam paham kalam Mu’tazilah. Pandangan kalam
Qadariyah menerima Tuhan sebagai wujud yang harus ada. Tuhan diyakini sebagai
ada yang transenden seperti halnya pandangan Aristoteles mengenai kausa prima
atau suatu Penggerak yang tidak digerakkan. Dengan meyakini Tuhan sebagai
wujud transenden, para penganut Qadariyah percaya bahwa Allah itu Wahid, tidak
berserikat, tidak bertubuh, tidak berbentuk, dan lain sebagainya Manusia memiliki
kuasa untuk memilih untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
Terdapat kemerdekaan atau kebebasan dalam diri manusia untuk menentukan
pilihan-pilihan hidupnya. Manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia
sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri,
dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat
atas kemauan dan dayanya sendiri. Manusia hidup mempunyai daya, dan dengan
daya itu dia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.
Manusia mempunyai kebebasan melalui kuasa dan kehendak pribadinya
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya yang dipilihnya secara sadar. Manusia
sendirilah yang menentukan secara mandiri melakukan perbuatan-perbuatan yang
bernilai keutamaan ataupun kejahatan. Dalam paham ini manusia merdeka dalam
tingkah lakunya. Ia berbuat baik adalah atas kemauan dan kehendaknya sendiri. Di
sini tak terdapat paham yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatan-
perbuatannya hanya bertindak menurut nasibnya yang telah di tentukan sejak awal.
Apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh manusia belum ditetapkan oleh Allah di
waktu dulu, dan Tuhan mengetahui perbuatan manusia setelah dilakukan oleh
manusia.
Tuhan tidak mencampuri manusia ingin menghendaki perbuatan apa,
namun Tuhan mengetahui perbuatan-perbuatan manusia ketika sudah dilakukan.
Tuhan yang diyakini transenden, pada masa awalnya telah menetapkan qudrah-nya
pada diri manusia berupa akal yang memiliki kemampuan bawaan potensialnya,
dan kepada struktur alam secara sistemik telah diberikan qudrah-nya berupa hukum
yang pendeknya, Allah dibersihkan dan disucikan dari segala bentuk pandangan
antropomorfisme mengenai Tuhan. Tuhan percaya dan diakui sebagai yang
mengadakan semua yang ada dalam kehidupan ini, tetapi Tuhan tidak turut campur
dalam perilaku-perilaku manusia.
Manusia bebas berkehendak dan bertindak serta harus menanggung
pertanggungjawaban atas akibat perbuatan yang telah dipilihnya, dan dalam proses
ini tidak ada intervensi dari Tuhan. Para ahli kalam Qadariyah, termasuk
Mu’tazilah, memahami Tuhan tidak seperti dalam aliran kalam ortodoks, seperti
Jabariyah. Dalam pandangan kalam ortodoks, setiap perbuatan manusia, apakah itu
perbuatan baik ataupun buruk, terjadi dengan kehendak dan rahmat Allah. Allah
memiliki kuasa atas perbuatan manusia. Bagi para ahli kalam Qadariyah, perbuatan-
perbuatan manusia, yang baik ataupun yang buruk, terjadi karena kehendak
manusia sendiri. Aliran kalam Asy’ariyah mengambil jalan tengah. Para ahli kalam
Asy’ariyah menolak pemikiran kalam Qadariyah yang membatasi kekuasaan
Tuhan, dan menerima pandangan ortodoks tentang kekuasaan Tuhan tetapi juga
menerima konsep peran manusia dalam menentukan perbuatan meskipun tidak
sebebas seperti pandangan kalam Qadariyah.
Peran Tuhan, dalam kalam Qadariyah, tampaknya adalah yang menciptakan
dan memberikan qudrah atau kemampuan yang telah ditentukan kadar kerjanya,
berupa indra, akal dan hati, dengan potensi kerja bawaan tertentu, kepada manusia,
sehingga memungkinkan manusia untuk menggunakannya untuk secara bebas
berkehendak dan menentukan pilihan-pilihan perbuatan yang diinginkannya. Selain
itu, dalam pengertian qudrah itu, Allah juga telah menciptakan hukum-hukum alam
atau sunnatullah yang kadarnya telah ditentukan dan bersifat tidak beubah dalam
alam ini.
Manusia dalam kalam Qadariyah memang bebas dalam berkehendak dan
menentukan perbuatannya, tetapi kebebasan manusia dibatasi oleh hukum-hukum
alam. Manusia tidak dapat mengubah hukum alam dan melawan hukum alam.
Setelah itu, Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia dengan
kemampuan bawaan potensialnya untuk menentukan apa yang diinginkan dan
dilakukannya, Tuhan hanya melihat dan mengetahuinya. Kalau manusia
mengerjakan perbuatan yang baik, maka dia akan diberi pahala oleh Tuhan karena
dia telah memakai kodrat yang diberikan Tuhan sebaik-baiknya, tetapi dia akan
dihukum kalau kodrat yang diberikan Tuhan kepadanya tidak dipakai.
Manusia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan
juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran
kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akhirat dan ganjaran siksa
dengan balasan neraka kelak di akhirat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sebebas-bebasnya manusia, manusia tidak dapat
berbuat melawan, atau bahkan hendak mengubah, hukum-hukum alam. Manusia
meskipun berkeinginan untuk berenang tanpa alat bantu pernafasan di dalam laut
dalam waktu yang lama, namun tidak dapat melakukannya. Manusia meskipun
menginginkan hidup abadi, tetapi manusia tidak mungkin bisa menghindari
kematian, dan sebagainya.
4. Perspektif Qadariyah terhadap Konsep Kebebasan Absolut Manusia

Kebebasan manusia dipandang penting tidak hanya dalam pemikiran orang


yang tidak bisa menerima dunia dengan Tuhan, tetapi juga dalam pemikiran orang
yang menerima dunia dengan Tuhan. Eksistensialis-ateis seperti Nietzsche dan
Sartre adalah di antara pemikir yang menyuarakan rakan kebebasan tanpa rintangan
dan ketabuan apapun, bahkan Sartre menyebutnya kebebasan absolut, dan
mendorong manusia untuk menggunakannya tanpa harus dibayangi oleh kekuatan-
kekuatan suci dan adikodrati seperti Tuhan. Konsepsi kebebasan absolut manusia
dalam eksistensialisme ateistik berbicara mengenai pemaknaan eksistensi manusia
secara penuh. Manusia adalah yang pertama dan utama, tidak ada yang mendahului
atau yang berada “di belakang” manusia.
Dalam konsep ini, manusia adalah bebas sepenuhnya untuk menentukan
apapun yang ingin dilakukan berkenaan dengan eksistensinya. Kebebasan manusia
yang mutlak ini tentu bermaksud berfilsafat tentang eksistensi manusia yang bebas,
independen, dan tidak bisa dideterminasi oleh kekuatan luar. Manusia selalu berada
dalam proses dan karena itu apa-apa yang digumuli dalam dunia tidak pernah
memberikan kesudahan bagi proses pergumulannya. Manusia tidak dapat
didefinisikan secara terbatas sebab manusia adalah totalitas tindakan dan
aktivitasnya di sepanjang hidupnya. Manusia selalu terbuka pada kemungkinan-
kemungkinan, tidak cukup-diri dalam proses menjalani eksistensinya yang tentu
saja juga dinamis, namun manusia juga harus berkomitmen bahwa dirinya
sendirilah yang harus bertanggung jawab atas aktualisasi eksistensialnya sebagai
manusia baik sebagai individu maupun sosial. Kebebasan manusia juga dipandang
penting dalam paham kalam Qadariyah.

Manusia memang harus memiliki kebebasan. Tanpa kebebasan, bagaimana


bisa menyebut manusia memiliki eksistensi. Perbuatan yang dipaksakan tidak
mungkin diberikan pertanggungjawaban. Akibat perbuatan manusia yang bisa
dibebani pertanggungjawaban memang harus bersyaratkan bahwa perbuatan yang
dilakukan manusia itu harus merupakan pilihan yang sadar-bebas dari kehendak dan
kuasanya sendiri. Paham Qadariyah dalam prinsip ini tidak bertentangan dengan
konsep kebebasan manusia yang tanpa determinasi Tuhan dan mutlak sifatnya.
Substansi kehidupan baik dalam perspektif teologi Islam Qadariyah maupun filsafat
eksistensialisme ateistik adalah sama, yaitu adanya kebebasan. Kehidupan dan
kebebasan merupakan dua hal yang bisa saling dipertukarkan. Kehidupan dan
kebebasan merupakan nilai-nilai keutamaan yang tinggi di antara nilai-nilai yang
ada dalam hidup ini. Dalam ruang etik, kebebasan manusia, dalam pandangan
Islam, berada dalam arahan Wujud yang Maha Baik dan Bebas, yaitu Tuhan.

Dalam paham Qadariyah, manusia memang diberi kebebasan penuh dalam


penentuan pilihan perbuatan, namun kebebasan yang bisa dia jalankan tidak
mungkin untuk melanggar hukum alam dan kemampuan potensial bawaan yang
telah dianugerahkan-Nya kepada manusia. Manusia bebas melakukan apa saja,
tetapi manusia tidak mungkin melakukan perbuatan yang mencelakai atau bahkan
membunuh dirinya. Karena kebebasan adalah hakikat dari kehidupan, maka tidak
ada kebebasan berarti tidak ada kehidupan. Tidak ada kebebasan, maka kehidupan
menjadi tidak bermakna. Manusia yang hidup adalah manusia bebas yang mencintai
kebebasan dan menampilkan kebebasannya dengan tetap memberikan kebebasan
untuk orang lain. Hanya dengan melakukan hal yang demikian jiwa manusia
menjadi semakin murni dan penuh rasa hormat. Semakin murni jiwa manusia,
semakin bebas diri manusia. Oleh karena itu, kehidupan tanpa kebebasan sama juga
dengan kematian, dan manusia tanpa kebebasan tak ubahnya seperti batu.
Barangkali karena alasan seperti ini, nilai kebebasan manusia juga ditinggikan oleh
paham kalam Qadariyah, dan juga dalam konsep kebebasan absolut manusia. Jika
melihat konsep kebebasan manusia yang total dari kedua eksistensialis-ateis di atas
dari pandangan kalam Qadariyah, kebebasan manusia memang fundamental bagi
eksistensi setiap manusia, namun, mungkinkah kebebasan manusia absolut dan
tanpa Tuhan itu.

Dalam hal pemberian kuasa kebebasan yang penuh, dalam arti bahwa
manusia memiliki kebebasan penuh untuk menentukan pilihanpilihan
perbuatannya, konsepsi kebebasan manusia kedua eksistesialis-ateis di atas bertemu
dengan ajaran kebebasan manusia dari Qadariyah. Tanpa kehendak dan kuasa yang
bebas dalam menentukan pilihan-pilihan perbuatan manusia, manusia tidak
mungkin memiliki eksistensi, dan tidak pula bisa dituntut mengenai
pertanggungjawabannya. Namun, mungkinkan kebebasan absolut manusia bisa
dibenarkan dalam pandangan kalam Qadariyah. Dalam perspektif Qadariyah
mengenai kebebasan manusia, tampaknya tidak mungkin bisa dibenarkan
kebebasan absolut untuk manusia. Meskipun Tuhan dalam konsep Qadariyah,
kekuasaannya dibatasi, namun Tuhan dipandang sebagai Wujud yang telah
menciptakan suatu kondisi bagi manusia dan alam sedemikian rupa, sehingga ia
memungkinkan manusia untuk menjalankan kebebasannya sebagai manusia secara
bermakna.

Apabila Allah tidak menciptakan indra, akal, dan hati dengan kemampuan
potensial bawaan tertentu sebagai anugerah bagi manusia sedemikian rupa,
mungkinkah manusia akan memiliki kemampuan untuk menyadari adanya dan
perlunya kebebasan dalam dirinya, dan apabila Allah tidak menciptakan
hukumhukum alam yang tidak akan berubah hukum-hukum alam itu, mungkinkah
manusia melakukan pilihan-pilihan secara bebas, sementara hukum-hukum
alamnya tidak pasti. Kebebasan absolut harus juga berarti bahwa karena Tuhan
ditiadakan, maka manusialah yang membuat prakondisiprakondisi yang
memungkinkan manusia menjadi wujud yang bebas. Bagaimana ini mungkin.
Manusia tidak pernah mungkin bisa menciptakan keadaan kehidupan seperti yang
dialami manusia, bahkan tidak mungkin bisa menciptakan prakondisi potensi
akalnya yang bisa berpikir dan menyadari nilai kebebasan. Konsep kebebasan
manusia Qadariyah dalam hal ini lebih masuk akal ketimbang konsep kebebasan
absolut manusia dari eksistensialis-ateis.

Kebebasan manusia secara absolut berarti tidak ada batasan manusia untuk
melakukan pilihan hidupnya. Ketika manusia memilih untuk menjadi diri yang
tidak bebas, meski lahir dari kehendak bebas, tidaklah mungkin dilakukan karena
kontras dengan konsep bahwa manusia adalah bebas secara mutlak. Selain itu, juga
sulit untuk dimengerti, apa manusia akan memilih perbuatan seenaknya menurut
selera dan kehendak bebas mutlaknya, misalnya manusia memilih untuk memukul
atau bahkan membunuh orang lain di jalan atau di pusat perbelanjaan tanpa sebab
dan tidak kenal sama sekali orang itu.

Dalam pemikiran dan keinginan mungkin saja, tetapi apa mungkin ini
menjadi pilihan manusia. Apabila dikatakan, manusia hanya akan memilih
perbuatan yang tidak merugikan dirinya dan orang lain, maka makna kemutlakan
dalam kebebasan manusia menjadi tidak ada, karena kebebasan manusia dibatasi
oleh kebebasan orang lain dan dibatasi oleh pilihan yang baik, yakni tidak
merugikan orang lain. Setiap perbuatan manusia yang dipilih membawa
konsekuensi pertanggungjawaban.

Dari perspektif kalam Qadariyah, ajaran kebebasan absolut manusia dari


eksistensialis-ateis bisa dibenarkan dari segi adanya konsekuensi
pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh setiap perbuatan yang dikehendaki
dan dilakukan secara sadar dan bebas oleh manusia. Manusia tidak hanya memiliki
kehendak secara penuh untuk membulatkan putusan melakukan perbuatan tertentu,
tetapi juga harus bertanggungjawab secara penuh atas akibat dari perbuatan itu.
Sampai di sini ada titik temu ajaran kebebasan manusia dan pertanggungjawaban
antara ajaran kalam Qadariyah dan eksistensialis-ateis. Bedanya, kalau dalam
pandangan eksistensialis-ateis, pertanggungjawaban manusia tidak ada elemen
transendensinya, karena manusia mempertanggungjawabkan perbuatan kepada
dirinya dan manusia yang terkait dengan perbuatan yang dilakukannya; sementara
dalam ajaran kalam Qadariyah, pertanggungjawaban manusia terdapat unsur
transendensinya, yaitu manusia selain mempertanggungjawabkan perbuatan seperti
yang dilakukan eksistensialis-ateis, juga mempertanggungjawabkannya di hadapan
Tuhan, yang memilih perbuatan baik akan mendapatkan balasan pahala dan yang
memilih perbuatan buruk atau jahat akan memperoleh balasan siksa di hari akhir
nanti.

2. Analisa dan Perbandingan Pemikiran Free Will dan Predestination


a. Kaum Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia bebas atau merdeka
melakukan perbuatannya sendiri, dan kekuasaan Tuhan terbatas dan
memandang kekuasaan Tuhan dari sudut kepentingan manusia. kekuasaan
Tuhan tidak bersifat mutlak lagi ketika Tuhan dibatasi oleh kebebasan yang
telah diberikan kkepada manusia untuk menentukan kemauan dan
perbuatannya. Kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat-sifat keadilan
Tuhan. Tuhan tidak dapat lagi berbuat sekehendak-Nya. Tuhan telah terkait oleh
norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan tidak bersifat adil
bahkan dikatakan zalim. Tentunya sifat demikian tidak dapat diberikan kepada
Tuhan. itu, dalam pandangan mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan
berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta. Maka
kehendak mutlak dibatasi oleh natur atau hukum alam (sunnatullah) yang tidak
mengalami perubahan. Untuk mendukung pendapat ini, kaum Mu’tazilah
mempergunakan ayat 62 surat al-Ahzab yang berbunyi : “Dan kamu sekali-kali
tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” Ayat ini menegaskan
bahwa tidak akan dijumpai perubahan hukum alam. Tokoh Mu’tazilah, al-
Khayyat, menjelaskan bahwa tiap benda mempunyai natur tertentu dan tidak
dapat menghasilkan apa-apa yang kecuali efek itu juga. Hal ini didukung oleh
al-Jahiz berpendapat bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur sendiri
yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-masing . Kaum
Mu’tazilah percaya pada sunnatullah (hukum alam) yang mengatur perjalanan
kosmos dan dengan demikian mereka mengatur faham determinisme dengan
pemahaman tidak berubah-rubah atau sama dengan keadaan Tuhan yang juga
tidak berubah-rubah, Tuhan tidak bersikap absolut, tetapi tidak melanggar
konsitusi yang telah Dia gariskan dengan sunnatullah dimaksud.

b. Kaum Asy’ariah

Menurut As’ariyah tuhan berkuasa mutlak atas segala-galanya. Tidak ada


sesuatupun yang membatasi kekuasaannya itu, karena kekuasaan Tuhan bersifat
absolute. kaum asy’ariah berpendapat bahwa mereka percaya pada kemutlakan
Tuhan, sehingga berpendapat bahwa perubahan-perubahan Tuhan tidak
mempunyai tujuan. Sebab, yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu
semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlakNya, bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan lain.Dan pada aliran Asy’Ariah ini berpijak
pada paham Jabariyah dan penggunaan akal yang tidak begitu besar maka
Asy’ariyah berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai kehendak mutlak.
Kehendak Tuhan baik berupa hidayat dan kesesatan, kenikmatan dan
kesengsaraan, pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang maksiat, perbuatan
shalah wa al-ashlah, pengutusan rasul dan pengukuhannya dengan mu’jizat,
semuanya itu berasal dari ketentuan Tuhan. Dialah yang menentukannya. Jika
dikehendaki-Nya, ia akan terjadi. Dan jika tidak maka tidak akan terjadi.
Dengan demikian aliran ini beranggapan, bahwa kehendak Tuhan itu adalah
mutlak semutlak-mutlaknya. Dalam hal ini Asy’ariyah memperkuat dengan dua
dalil, yaitu dalil aqli dan dalil naqli. Secara aqli dinyatakan bahwa perbuatan
Tuhan itu berasal dari qudrat dan iradat Nya secara sempurna dan teralisasi
secara mutlak. Sedangkan secara naqli adalah firman Allah Q.S. Ash-Shaffat,
37: 96 dan Hadis Nabi. Keadilan Tuhan dalam konsep Asy’Ariah terletak pada
kehendak mutlak-Nya.

c. Kaum Maturidiah

Maturidiah Tuhan memiliki kekuasaan yang mutlak, namun kemutlakannya


tidak semutlak paham yang dianut oleh paham As’ariyah, inti paham
Maturidiyah adalah Tuhan tak mungkin melanggar janjinnya kepada orang yang
berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat jahat. Pendapat ini
menunjukan bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak sepenuhnya sebagaimana
pendapat as’ariyah sebab masih terkandung adannya kewajiban tuhan dalam
menepati janji. Kaum Maturidiah ini terpisah menjadi dua yaitu Maturidiah
Samarkand dan Maturidiah Bukhara. Perpisahan ini disebabkan perbedaan
keduanya dalam menentukan porsi penggunaan akal dan pemberian batas
terhdap kehendak mutlak Tuhan.

Karena menganut paham free will dan free act serta adanya batasan bagi
kekuasaan mutlaq Tuhan, kaum maturidiah golongan Samarkand mempunyai
posisi yang lebih dekat dengan golongan Mu’tazilah, tetapi kekuatan akal dan
batasan yang di berikan pada kekuasaan mutlaq Tuhan lebih kecil dari pada
yang diberikan aliran Mu’tazilah. Kehendak mutlaq Tuhan menurut Maturidia
Samarkhan dibatasi keadilan Tuhan. Aliran Maturidi Samarkand mengambil
posisi tengah, antara golongan Mu’tazilah dan golongan Asy’ariyah. Hal-hal
yang mereka pegangi sebagai batas kehendak mutlak Tuhan. Walaupun
golongan ini mengidentifikasikan adanya kemerdekaan dan kemauan pada
manusia, bukan berarti sama sekali menafikan kehendak Tuhan dalam diri
manusia. Tuhan masih juga ikut campur tangan dalam menentukan perbuatan
manusia, yaitu dengan menciptakan daya yang terkandung dalam diri manusia.

Adapun maturidiah bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan


mempunyai kekuasaan mutlaq. Tuhan berbuat yang dikehendaki-Nya dan
menentukan segalanya. Tidak ada yang dapat menentang dan memaksa Tuhan
dan tiada larangan bagi-Nya. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala
perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu berbuat buruk serta tidak
mengabaikan kewajiban-Nya terhadap manusia. Paham mereka tentang
kehendak Tuhan dekat dengan paham Asy’ariyah. Mereka beranggapan bahwa
Tuhan mempunyai kehendak mutlak. Tidak ada yang menghalangi kehendak
Tuhan, karena selainNya tidak ada yang mempunyai kehendak. Tuhan mampu
berbuat apa saja yang dikehendakiNya dan menentukan segala-galanya menurut
kehendakNya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan, dan tidak
ada larangan-larangan bagi Tuhan.
C. Analisa dan Perbandingan Pemikiran Keadilan Tuhan
1. Kaum Mu’tazilah

Kebebasan manusian yang diberikan Tuhan kepadanya, akan bermakna


apabila Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Demikian pula
keadilan Tuhan, membuat Tuhan terikat pada norma-norma keadilan yang apabila
dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil atau zalim. Dengan demikian, dalam
pemahaman Mu’tazilah, Tuhan tidak memperlakukan kehendak dan kekuasaan-
Nya secara mutlak, tetapi sudah terbatas. Selanjutnya, aliran Mu’tazilah
mengatakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Abd Al-Jabbar bahwa keadilan
Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak
melalaikan kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik.
Keadilan Tuhan menurut konsep Mu’tazilah merupakan titik tolak dalam
pemikirannya tentang kehendak mutlak Tuhan. Keadilan Tuhan terletak pada
keharusan adanya tujuan dalam perbuatan-Nya, yaitu kewajiban berbat baik dan
terbaik bagi makhluk dan memberi kebebasan kepada manusia. Adapun kehendak
mutlak-Nya dibatasi oleh keadilan Tuhan. konsep keadilan Tuhan menurut
Mu’tazilah adalah bermuara pada kepentingan manusia.

2. Kaum Asy’ariah

Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran


Asy’ariah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat
sekehendak hati-Nya dalam pandangan Asy’ariah. Dengan demikian, ketidakadilan
dipahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-
Nya. Dengan kata lain, dikatakan tidak adil, apabila yang dipahami Tuhan tidak lagi
berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.

3. Kaum Maturidiah
Aliran Maturidiyah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan
sebagai lawan dari perbuatan dhalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan
membalas kejahatan kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu.
Maturidiyah Bukhara’ berpendapat, bahwa keadilan Tuhan harus dipahami dalam
kontek kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas Al-Bazdawi
menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur
pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendakNya sendiri.
Dengan demikian posisi aliran Maturidyah Bukhara dalam menginterpretasikan
keadilan Tuhan adalah lebih dekat pada aliran Asy’ariyah. Masalah dalil yang
dipakai pun sama.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Terkait akal dan wahyu masing-masing aliran memberikan porsi tersendiri
dalam menempatkan peranan akal dan wahyu. Mu‘tazilah misalnya, memberikan porsi
paling besar kepada akal, dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Bagi Mu‘tazilah,
keempat masalah yang diperbincangkan itu, semuanya dapat diperoleh melalui akal.
Hal ini berarti, bahwa porsi kekuatan wahyu bagi Mu‘tazilah lebih kecil dibanding
dengan akal. Sedangkan aliran Maturidiyah yang terdiri dari dua cabang itu, menempati
posisi tengah antara Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah.
Adapun Maturidiyah Bukhara, dalam pandangannya terhadap akal dan wahyu,
lebih mendekati pemikiran Asy‘ariyah. Meskipun pada kenyataannya memberikan
porsi yang sama antara akal dan wahyu. Dalam hal ini, dari empat masalah pokok
tersebut, dua di antaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan dua yang lainnya lagi
hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Kehendak Tuhan dipahami oleh aliran Mu'tazilah sebagai kehendak yang tidak
mutlak semut la k-mutlak nya namun dibatasi oleh free will dan free act (kehendak
bebas) manusia, keadilan Tuhan, kewajiban Tuhan kepada manusia dan kausalitas
sunnatullah. Konsep pemahaman tersebut dalam banyak hal searah dengan yang
disampaikan oleh aliran Maturidiyah Samarkand. Sedangkan oleh aliran Asy'ariyah,
kehendak Tuhan ini dipahami sebagai kehendak mutlak dan absolut dalam semua hal.
Konsep pemahaman tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh
aliran Maturidiyah Bukhara.
Keadilan Tuhan oleh aliran Mu'tazilah dipahami sebagai sesuatu yang terpusat
pada kepentingan manusia. Tuhan tidak dapat mengabaikan pada kewajiban-kewajiban
terhadap manusia. Sedangkan oleh aliran Asy'ariyah dipahami sebagai menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Interpretasinya tetap berorientasi pada absolutisme kehendak
dan kekuasaan Allah. Aliran Maturidiyah Bukhara dalam hal ini serupa dengan
pemahaman Asy'ariyah. Sedang aliran Maturidiyah Samarkand mengutamakan
pengertian keadilan Tuhan sebagai lawan perbuatan zalim.

31
B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan sebagai bahan
evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian dan karya
tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam, (jakarta: UI-Press, 1986)
Haq, Hamka, Dialog Pemikiran Islam (Ujungpandang: Yayasan AHKAM, 1995)
Nasution, Harun. Islam Rasionalis (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1996)
Hudallah, Buku Guru Ilmu Kalam (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2016)
al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967) Lihat juga,
al-Qadi Abi Hasan Abd. Jabbar, al-Mugni , Juz XII (Qairo: al-Muassah al-Musriyah al-
Ammah, t.th.),
Nasution, Harun, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1986)
1 al-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Juz I (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1967), h. 45.
dalam al-Qadi Abi Hasan Abd. Jabbar, al-Mugni , Juz XII (Qairo: al-Muassah al-
Musriyah al-Ammah, t.th.)

Anda mungkin juga menyukai