Anda di halaman 1dari 12

PERTEMUAN VII.

A. KETUHANAN YANG MAHA ESA DALAM TINJAUAN METAFISIKA


Jika tasawuf (sufi) adalah murni bagian dari Islam itu sendiri namun juga tasawuf (sufi)
adalah Ilmu Metafisika dalam Islam dibidang kerohanian Islam. Sehingga Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang menjadi dasar keyakinan bangsa Indonesia dari berbagai ajaran agama, dapat ditinjau dengan
menggunakan bidang metafisika terutama metafisika ketuhanan. Pancasila memiliki nilai-nilai
universal yang sangat tinggi serta mampu berdiri dalam kehidupan global.
Menurut Bapak Prof. DR. H. SS. Kadirun Yahya dalam bukunya “Sinopsis Mendarah-
dagingkan Pancasila (Sila pertama)” dalam tinjauan metafisika mengatakan:
1) Karena Pancasila mempunyai sila pertamanya KYME, maka Pancasila akan tetap hidup,
akan tetap unggul, tidak akan dapat dikaburkan oleh dasar negara apa sajapun. Disinilah
letak kesaktian Pancasila. Inilah ‘Bisa’ nya Pancasila.
2) Untuk menghayati sila I ini adalah termasuk dalam bidang agama, yang harus dimengerti,
dihayati serta diamalkan oleh penganutnya. Sistem penghayatan dan pengamalan harus
mengambil sistem dalam agama yang tidak cukup sebatas syariat saja namun harus
dikembangkan sampai ketingkat rohani melalui pengetahuan kecerdasan metafisika
supaya syah dan recognized oleh pencipta agama itu sendiri (Allah SWT)
3) Oleh sebab itu jelas jika agama mundur di Indonesia, penghayatan dan pengamalan agama
merosot atau kabur, maka Pancasila akan turut kabur, moral Pancasila pun akan turut
merosot pula.
4) Mutlak perlu masing-masing agama harus mengcondensed inti agamanya masing-masing
dalam hablum minallah nya (bidang Tasaufnya), untuk digiatkan mengamalkannya dan
menghayatinya guna memperkokoh sila pertama dari Pancasila.
Kemudian perlu diperhatikan:
1) Pancasila adalah falsafah hidup bangsa dan negara Indonesia
2) Pancasila lahir sebagai azas berbangsa dan bernegara diciptakan secara orisinal oleh
bangsa Indonesia sebagai landasan pemersatu bangsa dari beragam-ragam suku, bahasa,
adat istiadat, ras dan agama serta kepulauan yang ribuan jumlahnya, ke Bhinekaan
Tunggal Ika.
3) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa (sila pertama) sebagai azas merupakan dasar bahwa
bangsa Indonesia serta negara Indonesia adalah bangsa dan negara yang wajib
berkepercayaan /beragama dan ia merupakan faham filosofis sebagai bangsa yang
berbudaya dan beriman.
4) Negara republik Indonesia adalah negara yang berazaskan agama tetapi bukan
negara agama.
5) Karena negara RI ber Ketuhanan Yang Maha Esa dan rakyat Indonesia pun ber Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka rakyat Indonesia sesuai dengan hak azasinya bebas untuk
memilih/memeluk salah satu agama yang ada di Indonesia.
6) Dengan demikian, sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah landasan dasar filosofis bagi
kesatuan bangsa yang beriman dari berbagai ragam agama/keyakinan, yang harus
dilindungi dan dipelihara oleh negara dan dihormati serta diamalkan oleh rakyat/bangsa
ini dari Sabang sampai Merauke.
7) Setiap umat beragama harus meningkatkan kwalitas beragamanya, agar memiliki ilmu
pengetahuan agamanya yang luas dan dalam sehingga tingkat dan kapasitas toleransi
dapat serasi dan seimbang dalam batas-batas tertentu. Dalam hal ini Pancasila
menjadi motivator bagi kuaitas umat beragama.
8) Didalam usaha memenuhi landasan filosofis sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka para ahli agama berkewajiban memberikan pembinaan pada umat yang masih
menganut Kepercayaan tradisional / primitif untuk memilih salah satu ajaran yang sudah
diakui syah oleh negara.
KYME dalam presfektif metafisika senantiasa berangkat dari dasar berpijak dalam
merekonstruksikan ide-ide yang terdalam dari realitas tentang Tuhan yang disembah manusia.
Presfektif metafisikawan dan para filosof menempatkan KYME sebagai sila pertama dari Pancasila.
Prof. Dr. Nicolaus Driyarkara SJ, dalam merefleksi metafisik mengenai Pancasila berpijak
pada pendekatan antropologi metafisik. Aristoteles mengemukakan empat macam causa yaitu: causa
material, causa formal, causa effisiensi dan causa finalis. Keempat causa tersebut merupakan cara yang
mendasar untuk memahami segala sesuatu, sehingga melalui cara kerja empat causa tersebut dapat
dipelajari fungsi dan tujuan semua metafisika.
Metafisika juga membahas tentang eksistensi manusia yang memiliki kesadaran penuh yakni
kesadaran jasmai dan rohani sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang dengan itu manusia merasa tak
mungkin ada tanpa peran Penciptaan Tuhan. Tuhan menjadi prinsip pertama dari segala yang ada
(termasuk nilai-nilai yang terkandung dpada Pancasila). Hal demikian kemudian dijadikan pijakan
melakukan pemikiran reflektif metafisis tentang KYME. Digunakannya pendekatan melalui ekstensi
manusia sebagai mahkluk Tuhan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa manusialah sebagai makhluk
Tuhan yang dapat berpikir dan mendunia, sehingga hanya manusialah yang melakukan refleksi
metafisis terhadap hal-hal yang berbentuk fisik maupun yang berada dibalik fisik atau yang transenden.
Asumsi dasar lainnya adalah bahwa manusialah satu-satunya pendukung maupun pengemban
nilainilai KYME ini, sehingga hanya manusialah yang ber-Pancasila.
Dengan demikian refleksi metafisika tentang Pancasila dapat dilakukan dengan cara
antropologi metafisik. Antropologi metafisik adalah metafisika yang bersifat antroposentrik, karena
disitu ada hubungan yang erat antara metafisika dengan antropologi. Metafisika merupakan penataan
realitas yang dialami manusia dalam eksistensinya. Selain itu manusia sebagai pribadi diberi kesadaran
oleh kehadiran nyata yang ada. Jadi, ontologi (metafisika) mempunyai dasar antropologi dan
antropologi memuncak pada ontology.
Hal Adanya Pancasila Karl Jaspers (1883-1969) seorang filsuf eksistensialis, memberikan
pemikiran formal adanya tiga macam konsep yang ada yaitu ada objek, subjek dan ada ada dalam
dirinya sendiri atau ada “an-Sich”. Dalam kaitannya dengan eksistensi manusia, maka pertama-tama
manusia harus memiliki kesadaran bahwa ia berada dalam situasi yang tidak pasti, karenanya terbuka
berbagai kemungkinan. Dalam situasi yang demikian manusia berupaya terus-menerus mencari yang
ada hingga didapatkan kepastian akan dirinya. Menempatkan Pancasila sebagai kategori tematis
mempunyai implikasi bahwa Pancasila dapat dikembangkan secara kreatif dan dinamis.
Pengembangan kreatif dan dinamis harus tetap bersumber pada hakikat keberadaan manusia. Nilai-
nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang terkandung dalam sila-sila Pancasila merupakan suatu hasil
karya besar bangsa Indonesia yang diangkat dari nilai-nilai kultural yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sendiri Heidegger berpendapat bahwa inti adanya manusia terletak dalam eksistensinya.
Manusia berada dalam eksistensinya. Manusia berada pada dirinya sendiri dirasakan dan disadari oleh
setiap orang. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu berpusat pada kesadaran manusia
tentang dirinya, sehingga seluruh hidup dan kehidupannya dialami sebagai bagian dari dirinya. Hal ini
dimaksud sebagai dimensi imanensi. Selain itu manusia dapat keluar dari dirinya. Manusia tidak hanya
hidup dalam batin saja tetapi yang dirasakan dalam batin itu merupakan yang ada diluar dirinya, yaitu
dalam dunia. Dengan demikian manusia mempunyai dimensi yang melampaui dirinya, inilah yang
disebut dimensi transendensi. (Theo Huijbers, 1990:51). Adanya Pancasila sebagai simbol hidup
merupakan kristalisasi ide- ide bangsa Indonesia yang ditangkap dan dirumuskan oleh para anggota
BPUPKI maupun PPKI. Pancasila sebagai dasar negara tercantum dalam pembukaan Undang Undang
Dasar tahun 1945 yang terdapat dalam alinea keempat dan sebagaimana tertuang dalam Memorandum
Dewan Perwakilan Rakyat – Gotong Royong 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa yang telah di murnikan dan di padatkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Pancasila
sebagai simbol yang hidup di alam bangsa Indonesia, mampu mengarahkan dan menggerakkan
eksistensi manusia. Dengan demikian alasan adanya Pancasila yaitu bahwa manusia Indonesia
memerlukan simbol hidup yang mengarahkan dan menggerakkan eksistensinya dalam hidup bersama
sebagai satu masyararakat dan bangsa dalam satu wadah negara Indonesia. Manusia dalam kenyataan
selalu hidup bersama orang lain. Kebersamaan ini nyata dalam seluruh hidup manusia dalam segala
tindakannya. Karena itu eksistensi manusia selalu berkoeksistensi, yaitu keluar dari dirinya sendiri
kearah sesamanya (Theo Huijbers, 1990:60). Dalam proses pergaulan hidup bersama orang lain,
tingkah laku manusia dapat membawa akibat bagi manusia-manusia lainnya. Akibat tingkah laku itu
dapat memperkaya kemanusiaan manusia lain, tetapi dapat juga merugikan karena menggerogoti
kemanusiaan yang lain. (B. Arif Sidharta, 1989: 256). Tampak bahwa Perjalanan Pancasila semenjak
runtuhnya rezim otoritarianisme Orde Baru, gelombang “ketidak-percayaan” rakyat terhadap dasar
negara semakin menguat. Hal tersebut sebagai akibat dari penggunaan Pancasila sebagai salah satu
instrumen politik bagi kekuasaan oleh penguasa Orde Baru. menjadi satu-satunya pihak yang bisa
menggunakan tema Pancasila dan menafsirkannya sendiri demi kepentingan kekuasaan. Ketuhanan
yang maha esa dipahami sebagai sesuatu yang dinamis, bukan substansi yang statis dan beku dalam
konteks Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaran perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, begitu juga untuk sila-sila lainnya – 399 SM). Dalam sejarah pemikiran filsafat pembahasan
tentang “aku”, “subjek”, “kesadaran”, “self” mendapat porsi yang cukup penting, dikarenakan dengan
“subjek yang berkesadaran” diri manusia akan mampu memahami dan mengatasi dunia, memaknai
lingkunngan budaya dan kehidupannya, termasuk di dalamnya Pancasila (adaptasi dari Akhyar Yusuf
dalam Toeti Heraty Noerhadi, 2013: 263). Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh sufi dan juga
filosof. Bagi al-ghazali perkataan yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Alquran dipakai untuk
menyatakan berbagai obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS Al-
Jatsiiyah/45: 23, yang artinya: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai Tuhannya? Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “laa ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat
tersebut dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan
“melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri dari segala macam
Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya ada satu Tuhan yaitu Allah.
Demikianlah pemikiran filsafat al-Ghazali tentang devinisi Tuhan.. Kesadaran diri “aku subjek” telah
menjadi ciri khas manusia (manusiawi) yang membedakan dengan makhluk yang lain. Disamping itu,
manusia dalam pergerakan hidupnya selalu dalam lingkungan budaya, karena manusia berbudaya juga
menjadi ciri khas manusiawi. Istilah aku (self) menunjukkan “subjek” atau sesuatu yang tetap ada
sepanjang pengalaman yang berubahubah dari kehidupan seseorang. Aku (self) sesuatu yang melakkan
persepsi, konsepsi, memikir, merasa, mennghendaki, mimpi dan menentukan. (Titus, H.dkk,1984:57).
Hal demikian menggambarkan adanya kesadaran penuh dari subjek manusia dalam menghadapi hidup
dan kehidupannya. “Aku” sebagai seorang subjek manusia senantiasa menyadari identitas pribadiku
dengan segenap ciri kekhususanku dan kesadaran mengatasi berbagai hal ataupun persoalan yang
melingkupi kehidupanku bersama-sama dengan yang lainnya. “Aku” oleh Toeti Heraty dibedakan
menjadi tiga, yaitu “aku mitik”, “aku ontologis”, dan “aku fungsional”. Aku mitik dimaksudkan
sebagai subjek manusia yang memiliki sikap merasa dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib
disekitarnya. Aku ontologis dimaksudkan sebagai subjek manusia yang mampu mengambil jarak
dengan lingkungannya, sekaligus merasa bebas untuk meneliti hakikat hal-hal di sekitarnya. Aku
fungsional dimaksudkan sebagai subjek manusia yang memiliki kesadaran penuh untuk mengadakan
relasi-relasi dengan lingkungannya, dan sekaligus memposisikan subjek “aku” nya dalam spektrum
lingkunngannya secara tepat, sehingga tidak mengganggu ataupun merugikan “subjek diri” yang lain.
(adaptasi dari Toeti Heraty, 2013: 254). Makna “aku” dalam kaitan dengan Pancasila, nampaknya
lebih tepat mengarah pada “aku ontologis” dan “aku fungsional”. Dikarenakan Pancasila bukan
merupakan rangkaian maupun kesatuan rumusan sila-sila yang bersifat mitik, melainkan merupakan
rumusan yang rasional dan objektif berdasarkan keadaan dan historisitas bangsa Indonesia. Dengan
“aku ontologis” berarti tiap-tiap subjek manusia Indonesia memiliki kesadaran pemikiran mengenai
kehadiran dirinya dalam negara yang berdasarkan pada sila-sila Pancasila, dan akar budaya bangsanya.
Aku manusia Indonesia bila memposisikan Pancasila sebagai objek (genetivus objektivus), berarti aku
manusia sedang berada di luar dan mengambil jarak dengan Pancasila itu. Secara ontologis (aku-
manusia) merupakan makhluk yang memiliki kesadaran akan keterbatasannya. Dengan kondisi
demikian meski aku manusia yang berkorelasi dengan eksistensi yang lain, ia tetap tidak bisa secara
menyeluroh dan sempurna mampu menangkap essensi dari adanya Pancasila. Selanjutnya bila aku
manusia memposisikan Pancasila sebagai subjek dalam dirinya (genetivus subjektivus), berarti aku-
manusia sedang memasukkan Pancasila di dalam eksistensi dirinya, berarti pula ia dan Pancasila
sedang menyatu. Hal ini berarti pula bahwa aku-manusia senantiasa berupaya agar tata nilai dalam
dirinya, sikap dan tingkah lakunya selaras dengan struktur dan isi dari Pancasila. Sebagai subjek yang
tidak sempurna, manusia tidak berdiri dari dirinya sendiri. Ia berada bersama subjek eksistensi lainnya
dan hal lain yang Transenden. Ketidak sempurnaan subjek manusia itu membawa konsekuensi bahwa
(aku-manusia) tidak pernah dapat bereksistensi secara total, ia selalu berada dalam bentuk situasi
eksistensi tertentu yang terbatas. Menurut Jaspers eksistensi manusia itu berhadapan dengan “situasi
batas”. Situasi batas itu antara lain: penderitaan, kegagalan, nasib, dan puncaknya adalah kematian
(lihat: Joko Siswanto.1998: 134-135). Situasi eksistensi yang tertentu dan terbatas itulah yang
membawa akibat manusia pada eksistensi gelisah terhadap masa depannya. Kegelisahan itu barulah
dapat tenang jika manusia menerima bahwa ada realitas yang menjadi dasar dari segala yang ada, ialah
yang disebut dengan Yang Maha Ada. Yang Maha Ada itu satu sebab kalau ada dua atau lebih maka
predikat Maha bersifat kontradiksi; Yang Maha Ada itu abadisebab bila pernah tidak ada berarti ada
yang mengadakan sebelum ia ada. Uraian di atas menggambarkan bahwa asumsi dasar Pancasila
mengandaikan adanya nilai humanisme yang integral. Struktur kenyataan dalam Pancasila berpusat
pada eksistensi manusia. Dunia infra –human diartikan dan diakui nilainya dalam hubungannya
dengan manusia. Bersama dengan itu, manusia dalam strukturnya terbuka bagi dimensi transenden dan
menunjukkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Anton Bakker, 1987: 78). Situasi Batas yang melingkupi
eksistensi (aku-manusia) dalam konteks aku dalam Pancasila dan sekaligus Pancasila dalam
eksistensiku, secara ontologis telah membawa Pancasila sebagai simbol hidup yang mengarahkan dan
mempangaruhi situasi eksistensi manusia, baik subjek eksistensi yang mandiri maupun subjek
eksistensi yang bersifat dan bersamasama dengan subjek eksistensi yang lainnya. Pertemuan antar aku
dengan sesama yang terjadi dalam ruang dan waktu tertentu dinamakan masyarakat. Masyarakat yang
terorganisir dan bersatu karena kesamaan nasib, pertalian darah, wilayah, dapat terbentuk suatu
bangsa. Timbulnya kesadaran akan bangsa atau nasionalisme adalah penghayatan sila kemanusiaan
dalam lingkungan, kebudayaan, serta nasib bersama dan untuk kepentingan bersama. Nasionalisme
tidak bersifat eksklusif, tetapi harus dijalankan dalam rangka internasionalisme yang pada hakekatnya
mengakui bahwa seluruh umat manusia adalah sama (Soerjanto Puspowardojo,
Pendekatan dalam melakukan refleksi metafisik atas Pancasila dapat menggunakan pijakan
dasar pada eksistensi manusia yang memiliki kesadaran penuh sebagai mahkluk ciptaan Tuhan yang
dengan itu manusia merasa tak mungkin ada tanpa peran Penciptaan Tuhan, dengan asumsi dasar
bahwa hanya manusia yang bereksistensi yang dapat berpikir dan mendunia, sehingga hanya manusia
yang bereksistensi itulah yang dapat melakukan refleksi metafisik terhadap hal-hal yang ada dibalik
yang real maupun yang transenden (termasuk didalamnya hal adanya Pancasila). Disamping itu juga
dilandasi adanya titik temu antara metafisika dan Pancasila yang terletak pada eksistensi manusia.
Eksistensi aku-manusia Indonesia pada aku dalam Pancasila, berada dalam bentuk humanis-me yang
integral yang menempatkan relasi akumanusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia dan
dengan Tuhannya secara serasi, selaras dan seimbang. Disini Pancasila menempatkan manusia
Indonesia sebagai subjek monopluralis. Refleksi metafisik terhadap Pancasila agar bisa dipahami dan
dihayati secara utuh, menyeluroh dan komprehensif bisa dilakukan dengan pendekatan holistik-
dialogis.

B. KETUHANAN YANG MAHA ESA DALAM TINJAUWAN FILSAFAT


Pancasila Dalam tinjauan filsafat menampakan ciri atau karakter bahwa rumusan kelima sila
yang ada merupakan sistem jaringan dalam keseluruhan. Artinya masing-masing sila tidak bisa
dimaknai sendiri-sendiri secara terpisah satu sama lainnya, masing-masing sila hanya bisa dipahami
secara tepat justru dalam relasi atau kontek dengan sila lainnya dalam keseluruhan yang utuh. Pancasila
bagi bangsa Indonesia harus dimaknai sebagai simbol hidup yang mampu manjadi penggerak dalam
setiap perjuangan menuju cita-cita sebagaimana pula yang digambarkan Pancasila. Pancasila yang
memuat lima rumusan sila merupakan sistem filsafat yang mono-pluralis, berarti bahwa kelima sila
Pancasila merupakan satu kesatuan utuh yang saling terkait, saling memberi memberi makna secara
fungsional, sehingga Pancasila hanya bisa dipahami secara lebih tepat melalui pendekatan sintesis-
dialogis diantara sila-sila yang ada di dalamnya. Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia adalah
objektivikasi ajaran Islam. Sebagai misal untuk memahami sila Ketuhanan yang maha esa harus
diletakan dalam konteks sistesis-dialogis dengan keempat sila lainnya. Filsafat Metafisika yang
dimaksudkan adalah aliran Filsafat Metafisika khusus yang menyangkut konsep dari hasil pemikiran
dan renungan para filosof tentang Ketuhanan.
Konsep yang diajukan hanya 2 (dua) yaitu konsep periode Yunani Kuno dan konsep periode
Zaman Pertengahan.

a. Yunani Kuno
Xenophanes (± 570 - ±480 SM), dilahirkan di Kolofon, Asia Kecil. Sebenarnya ia adalah
seorang penyair yang kritis yang kenal akan pemikiran filosofati. Xenophanes mencoba melihat
kesatuan sebagao azas segala kenyataan yang ada dan ia menolak kepercayaan kepada banyak “Illahi”.
Yang Illahi itulah yang satu-satunya yang ada, yang merangkumkan segala sesuatu. Ia tidak
membedakan dengan jelas antara pemikiran yang monoteistis dan yang politeistis. Namun pengertian
“Yang Illahi” dikaitkan dengan pandangan etis yang luhur. Ia menentang mereka yang menyamakan
yang Illahi dengan manusia yang dilahirkan, yang berpakaian dan lain-lainnya. Yang Illahi tiada
awalnya, dialah yang kekal, Esa dan Universal. Sekalipun demikian ajarannya tidak dapat digolongkan
ajaran yang Monoteistis.
Tentang asal yang satu dari segalanya telah lebih dahulu diajarkan oleh filosof alam,
Anaximandros, tetapi Xenophanes mengatakan yang satu ini lebih tinggin kedudukannya yaitu Tuhan
Yang Maha Esa yang memeluk sekalian alam.
Berdasarkan kutipan diatas maka dapat difahami bahwa para ahli fikir dari sebelum masehi
sudah dapat menganalisa tentang eksistensi Ketuhanan. Pemahaman tersebut jelas memiliki makna
dan nilai yang mendasar, mendalam dan meluas tentang eksistensi alam, manusia dan Ketuhanan.
Namun Kemampuan keadaan masyarakat dapat diukur melalui melalui pendidikan. Sehingga
kerusakan pada semua aspek dalam masyarakat tidak dapat diperbaiki dengan cara apa pun kecuali
dengan pendidikan menurut Plato.

b. Zaman Pertengahan
Thomas Aquinas (1225-1274) seorang Teologis Naturalis dengan konsepnya mengatakan
bahwa manusia dapat mengenal Tuhan dengan melalui dukungan akal fikiran serta renungan (intuisi).
Dengan akal fikiran dan intuisi nya manusia dapat mengetahui bahwa Tuhan itu ada dan sekaligus
mengetahui sifat-sifatnya.
Thomas Aquinas mengajukan 5 bukti adanya Tuhan, yaitu:
1) Adanya gerak dunia mengharuskan kita menerima ada penggerak pertama, yaitu Allah;
(digerakkan oleh sesuatu yang lain). Seandainya sesuatu yang digerakkan diri sendiri, itu
harus juga digerakkan oleh sesuatu yang lain. Gerak menggerakkan ini tidak dapat
berjalan tanpa batas. Maka harus ada penggerak pertama, penggerak pertama ini adalah
ALLAH.
2) Didalam dunia yang diamati terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau
yang berdaya guna. Tidak pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang
menghasilkan dirinya sendiri. Oleh karenanya harus ada sebab berdaya guna pertama
yaitu ALLAH.
3) Didalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin “ada” dan “tidak ada”.Oleh
karenanya semua itu dapat rusak, maka ada kemungkinan semuanya itu “ada”, atau
semuanya itu “tidak ada”. Sesuatu yang tidak ada dapat menjadi ada apabila diadakan
oleh yang sudah ada. Oleh karena itu harus ada sesuatu yang mutlak, yang tidak
disebabkan oleh sesuatu yang lain yaitu ALLAH.
4) Diantara segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih baik, kurang baik, kurang benar dan
lain-lain. Untuk mengatakan kurang baik atau lebih baik maka harus ada ukurannya
(standardnya). Dari semua yang ada, dapat disimpulkan bahwa harus ada sesuatu yang
menjadi sebab dari segala yang baik, segala yang benar, segala yang mulia dan
sebagainya. Yang menyebabkan senua itu adalah ALLAH.
5) Kita menyaksikan bahwa segala sesuatu yang tidak berakal, seperti tumbuh alamiah,
berbuat menuju kepada akhirnya. Hal ini terlihat dari sesuatu yang tidak berakal tadi
berbuat, yaitu senantiasa dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang terbaik, dan
ini bukan suatu kebetulan atau ketidak sengajaan. Maka apa yang tidak berakal tidak
mungkin bergerak menuju kepada akhirnya jika tidak diarahkan oleh sesuatu yang
berakal, berpengetahuan, inilah ALLAH.
6) Pandangan filosofis Thomas Aquinas ini dapat dinyatakan bahwa ada integritas dari
faham ajaran agama samawi dengan faham rasional pada pemikirannya dalam konsepnya
yang 5 (lima) bagi pengertian terhadap umat beragama yang berpengtahuan sebagai
integritas faham atas kebebasan manusia dan keterbatasannya. Dari sang Maha Pencipta
yang mengarahkan tentang kebaikan, kebenaran, kemuliaan gerak fisik serta moral dan
sekaligus menyalurkan ilmu pengetahuan dari sumbernya yang absolut yaitu Tuhan Yang
Maha Esa (Allah SWT) kepada manusia sebagai mahluk ciptaan-Nya yang terbatas
(relative).
7) Thomas Aquinas pada abad pertengahan telah mencoba menyalurkan fahamnya tentang
keberadaan, menejerial serta otoritas sang Penguasa Tunggal dalam kehidupan manusia
didunia dalam azas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila pertama dari Pancasila yakni ketuhanan yang maha esa merupaka sebuah kompromi
politik yang dicapai oleh berbagai pihak yang berpikiran bermacam-macam pada waktu negara kita
mulai didirikan. Antara proklamator bung Hatta dan Bung Karno serta para Agamawan dalam
menggali dari tradisi bangsa kita yang bermacam-macam budaya dan agama.
Dari begitu banyak pandangan, diramu semuanya menjadi lima butir sila yang
menempatkan sila Ketuhanan yang maha esa sebagai urutan pertama yang dianggap sebagai pokok
yang terpenting. Karena itu, Pancasila tidak bisa dipisahkan dari inti pokok ketuhanan yang maha
esa sehingga Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa.
Relevansi sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan yang maha esa sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bangsa kembali dipertanyakan dan UUD 1945 memerlukan amendemen, sehingga
harus mampu menjawab perubahan zaman. Dalam suasana seperti sekarang ini bangsa Indonesia
perlu merumuskan pelaksanaan aflikasi dari nilai-nilai Ketuhanan yang maha esa agar mampu
menjadikan perilaku manusia yang ber Tuhan pada setiap penganut agama dapat menghasilkan
cerminan karakter manusia yang benar-benar beiman dan bertakwa.
Jangan sampai orang mempertanyakan masih relevankah nilai-nilai Pancasila dijalankan
dalam hidup bersama sebagai keluarga bangsa dizaman melenial ini?. Hal ini tentu memerlukan
kontemplasi mendalam. Kini kita sadari, bahwa di tengah euphoria reformasi dan globalisasi,
banyak orang kehilangan pegangan nilai-nilai ber Tuhan. Sebagian orang merasakan tidak tahu lagi
makna hidup ber Tuhan sebagaimana yang ada didalam sila pertama dari Pancasila. Beragam
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, pencemaran
lingkungan, masih relevankah berbangga sebagai bangsa Indonesia? Ketika KKN merajalela,
masihkah perlu negeri ini diperjuangkan dengan tetesan darah dan keringat sebagaimana zaman
perjuangan dulu pada saat menata Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa
Diakui, baik dalam perjalanan sejarah bangsa yang pahit dan kelam, Pancasila dengan sila
pertama yakni Ketuhanan yang maha esa sebagai way of life bangsa telah dan akan terus memainkan
peranan dalam kehidupan bangsa dan negara, sebagai alat pemersatu yang bisa mencakup dan
menyalurkan ke pelbagai cita-cita dalam pembangunan bangsa sebagai pegangan untuk
mempertahankan identitas bangsa dan menggugah semangat serta kesetiaan kepada tanah air.
Sayang sekali, pengamalan dari sila pertama Pancasila, yakni pelaksanaan ber Tuhan umat pada
masing-masing agama khususnya di era gelobalisasi melenial mengalami kemunduran luar biasa.
Hal ini disebabkan pelaksanaan dan penerapan dari sila pertama Pancasila yakni ber Tuhan masing-
masing umat beragamanya dilakukan masih secara teoritis yakni jiwa yang berinteraksi dengan
fisik, akal saja. Sehingga sakralisasi Pancasila berjalan secara biasa-biasa saja belum menghasilkan
tingkat ketaqwaan kepada Tuhan yang maha esa.
Sila pertama dari Pancasila yakni Ketuhanan yang maha esa adalah satu-satunya wadah
yang di dalamnya semua unsur agama dari bangsa Indonesia dan suku bangsa yang majemuk itu
bisa bertemu, berdialog, dan merumuskan komitmen bersama untuk membangun masa depan ya ng
penuh harapan dan menjanjikan, hidup sukses didunia dan selamat di hari kemudian. Karena itu,
Pancasila sebagai dasar negara adalah satu-satunya pilihan; dasar itu tak bisa ditawar-tawar lagi,
tak bisa diganti, kecuali jika kita memang menginginkan Indonesia yang terpecah belah dan tercerai
berai.
Kita semua bersama seluruh komponen bangsa perlu “menghidupkan” kembali nilai -nilai
luhur Pancasila dan memposisikannya sebagai dasar negara yang abadi dan lestari. Sebagai dasar
negara, Pancasila harus menjadi nada dasar dan jiwa dari seluruh ketentuan perundangan di negeri
ini. Hukum Nasional yang dibangun di Indonesia haruslah hukum yang dinafasi Pancasila, yang
berketuhanan yang maha esa yang memenuhi rasa keadilan segenap masyarakat Indonesia yang
majemuk dan bukan hukum yang mengacu, berlandaskan ketakikan masing-masing umat beragama
kepada Tuhannya. Di dalam perkembangannya, keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum ditentukan oleh setiap rezim yang berkuasa. Ketika rezim Orde Baru (Orba) berkuasa Pancasila
menjadi dogma statis karena dikultuskan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) secara murni dan konsekuen. Pada ruang dan waktu tersebut, Pancasila tidak hanya sebatas
sebagai sumber segala sumber hukum dalam tatanan hukum nasional tetapi sekaligus sebagai pemberi
legitimasi yang sahih bagi kekuasaan otoriter Orba. Terkait pengkultusan Pancasila sebagai ideologi
tunggal dan hubungannya dengan kekuasaan Orba. Mahfud MD menuliskan bahwa pengkultusan
Pancasila tersebut merupakan puncak penggalangan yang dilakukan secara terus menerus sejak tahun
1966/1997 oleh Orba dalam rangka integrasi nasional sebagaimana diputuskan dalam Seminar II
Angkatan Darat tahun 1966 yang menyatakan akan membayar berapa pun untuk terciptanya persatuan
dan kesatuan, serta menjamin stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan.
Pemahaman yang inklusif, sikap non-diskriminatif, akomodatif terhadap kemajemukan,
apresiatif terhadap umat beragama dalam hal menyembah kepada Tuhannya yang sesuai dengan
agamanya masing-masing, keberbedaan suku, ras, dan golongan adalah hal-hal fundamental yang
mesti mendapat tempat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia perlu
merumuskan pemikiranpemikiran konstruktif di bidang itu bagi pemerintah, bangsa, dan negara
termasuk bagaimana cara yang lebih efektif dalam mengaplikasikan nilainilai luhur Pancasila di
tengah realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang melenial ini. Tanpa kesungguhan
menempatkan kembali Pancasila, dengan nilai-nilai ketuhanan yang tidak berseberangan dengan
kemungkaran, Maka sebagai warga negara, hendaknya kita mendukung upaya pemerintah Indonesia
untuk mendesak negara maju agar menanamkan nilai-niai yang mencerminkan karakter yang baik
terhadap dunia. Namun semuanya itu dapat terjadi, jika Indonesia telah membuktikan terlebih dulu
kebrhasilan merekonstruksi karakter bangsanya dengan nili-nilai luhur Pancasila, yang dikagumi dunia
termasuk diantaranya dari ungkapan pidato peresiden nagara maju dan adidaya dunia yakni Presiden
Amirika Serikat Barack Obama.

Anda mungkin juga menyukai