a. Yunani Kuno
Xenophanes (± 570 - ±480 SM), dilahirkan di Kolofon, Asia Kecil. Sebenarnya ia adalah
seorang penyair yang kritis yang kenal akan pemikiran filosofati. Xenophanes mencoba melihat
kesatuan sebagao azas segala kenyataan yang ada dan ia menolak kepercayaan kepada banyak “Illahi”.
Yang Illahi itulah yang satu-satunya yang ada, yang merangkumkan segala sesuatu. Ia tidak
membedakan dengan jelas antara pemikiran yang monoteistis dan yang politeistis. Namun pengertian
“Yang Illahi” dikaitkan dengan pandangan etis yang luhur. Ia menentang mereka yang menyamakan
yang Illahi dengan manusia yang dilahirkan, yang berpakaian dan lain-lainnya. Yang Illahi tiada
awalnya, dialah yang kekal, Esa dan Universal. Sekalipun demikian ajarannya tidak dapat digolongkan
ajaran yang Monoteistis.
Tentang asal yang satu dari segalanya telah lebih dahulu diajarkan oleh filosof alam,
Anaximandros, tetapi Xenophanes mengatakan yang satu ini lebih tinggin kedudukannya yaitu Tuhan
Yang Maha Esa yang memeluk sekalian alam.
Berdasarkan kutipan diatas maka dapat difahami bahwa para ahli fikir dari sebelum masehi
sudah dapat menganalisa tentang eksistensi Ketuhanan. Pemahaman tersebut jelas memiliki makna
dan nilai yang mendasar, mendalam dan meluas tentang eksistensi alam, manusia dan Ketuhanan.
Namun Kemampuan keadaan masyarakat dapat diukur melalui melalui pendidikan. Sehingga
kerusakan pada semua aspek dalam masyarakat tidak dapat diperbaiki dengan cara apa pun kecuali
dengan pendidikan menurut Plato.
b. Zaman Pertengahan
Thomas Aquinas (1225-1274) seorang Teologis Naturalis dengan konsepnya mengatakan
bahwa manusia dapat mengenal Tuhan dengan melalui dukungan akal fikiran serta renungan (intuisi).
Dengan akal fikiran dan intuisi nya manusia dapat mengetahui bahwa Tuhan itu ada dan sekaligus
mengetahui sifat-sifatnya.
Thomas Aquinas mengajukan 5 bukti adanya Tuhan, yaitu:
1) Adanya gerak dunia mengharuskan kita menerima ada penggerak pertama, yaitu Allah;
(digerakkan oleh sesuatu yang lain). Seandainya sesuatu yang digerakkan diri sendiri, itu
harus juga digerakkan oleh sesuatu yang lain. Gerak menggerakkan ini tidak dapat
berjalan tanpa batas. Maka harus ada penggerak pertama, penggerak pertama ini adalah
ALLAH.
2) Didalam dunia yang diamati terdapat suatu tertib sebab-sebab yang membawa hasil atau
yang berdaya guna. Tidak pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang
menghasilkan dirinya sendiri. Oleh karenanya harus ada sebab berdaya guna pertama
yaitu ALLAH.
3) Didalam alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin “ada” dan “tidak ada”.Oleh
karenanya semua itu dapat rusak, maka ada kemungkinan semuanya itu “ada”, atau
semuanya itu “tidak ada”. Sesuatu yang tidak ada dapat menjadi ada apabila diadakan
oleh yang sudah ada. Oleh karena itu harus ada sesuatu yang mutlak, yang tidak
disebabkan oleh sesuatu yang lain yaitu ALLAH.
4) Diantara segala yang ada terdapat hal-hal yang lebih baik, kurang baik, kurang benar dan
lain-lain. Untuk mengatakan kurang baik atau lebih baik maka harus ada ukurannya
(standardnya). Dari semua yang ada, dapat disimpulkan bahwa harus ada sesuatu yang
menjadi sebab dari segala yang baik, segala yang benar, segala yang mulia dan
sebagainya. Yang menyebabkan senua itu adalah ALLAH.
5) Kita menyaksikan bahwa segala sesuatu yang tidak berakal, seperti tumbuh alamiah,
berbuat menuju kepada akhirnya. Hal ini terlihat dari sesuatu yang tidak berakal tadi
berbuat, yaitu senantiasa dengan cara yang sama untuk mencapai hasil yang terbaik, dan
ini bukan suatu kebetulan atau ketidak sengajaan. Maka apa yang tidak berakal tidak
mungkin bergerak menuju kepada akhirnya jika tidak diarahkan oleh sesuatu yang
berakal, berpengetahuan, inilah ALLAH.
6) Pandangan filosofis Thomas Aquinas ini dapat dinyatakan bahwa ada integritas dari
faham ajaran agama samawi dengan faham rasional pada pemikirannya dalam konsepnya
yang 5 (lima) bagi pengertian terhadap umat beragama yang berpengtahuan sebagai
integritas faham atas kebebasan manusia dan keterbatasannya. Dari sang Maha Pencipta
yang mengarahkan tentang kebaikan, kebenaran, kemuliaan gerak fisik serta moral dan
sekaligus menyalurkan ilmu pengetahuan dari sumbernya yang absolut yaitu Tuhan Yang
Maha Esa (Allah SWT) kepada manusia sebagai mahluk ciptaan-Nya yang terbatas
(relative).
7) Thomas Aquinas pada abad pertengahan telah mencoba menyalurkan fahamnya tentang
keberadaan, menejerial serta otoritas sang Penguasa Tunggal dalam kehidupan manusia
didunia dalam azas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila pertama dari Pancasila yakni ketuhanan yang maha esa merupaka sebuah kompromi
politik yang dicapai oleh berbagai pihak yang berpikiran bermacam-macam pada waktu negara kita
mulai didirikan. Antara proklamator bung Hatta dan Bung Karno serta para Agamawan dalam
menggali dari tradisi bangsa kita yang bermacam-macam budaya dan agama.
Dari begitu banyak pandangan, diramu semuanya menjadi lima butir sila yang
menempatkan sila Ketuhanan yang maha esa sebagai urutan pertama yang dianggap sebagai pokok
yang terpenting. Karena itu, Pancasila tidak bisa dipisahkan dari inti pokok ketuhanan yang maha
esa sehingga Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa.
Relevansi sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan yang maha esa sebagai dasar negara dan
pandangan hidup bangsa kembali dipertanyakan dan UUD 1945 memerlukan amendemen, sehingga
harus mampu menjawab perubahan zaman. Dalam suasana seperti sekarang ini bangsa Indonesia
perlu merumuskan pelaksanaan aflikasi dari nilai-nilai Ketuhanan yang maha esa agar mampu
menjadikan perilaku manusia yang ber Tuhan pada setiap penganut agama dapat menghasilkan
cerminan karakter manusia yang benar-benar beiman dan bertakwa.
Jangan sampai orang mempertanyakan masih relevankah nilai-nilai Pancasila dijalankan
dalam hidup bersama sebagai keluarga bangsa dizaman melenial ini?. Hal ini tentu memerlukan
kontemplasi mendalam. Kini kita sadari, bahwa di tengah euphoria reformasi dan globalisasi,
banyak orang kehilangan pegangan nilai-nilai ber Tuhan. Sebagian orang merasakan tidak tahu lagi
makna hidup ber Tuhan sebagaimana yang ada didalam sila pertama dari Pancasila. Beragam
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, pencemaran
lingkungan, masih relevankah berbangga sebagai bangsa Indonesia? Ketika KKN merajalela,
masihkah perlu negeri ini diperjuangkan dengan tetesan darah dan keringat sebagaimana zaman
perjuangan dulu pada saat menata Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa
Diakui, baik dalam perjalanan sejarah bangsa yang pahit dan kelam, Pancasila dengan sila
pertama yakni Ketuhanan yang maha esa sebagai way of life bangsa telah dan akan terus memainkan
peranan dalam kehidupan bangsa dan negara, sebagai alat pemersatu yang bisa mencakup dan
menyalurkan ke pelbagai cita-cita dalam pembangunan bangsa sebagai pegangan untuk
mempertahankan identitas bangsa dan menggugah semangat serta kesetiaan kepada tanah air.
Sayang sekali, pengamalan dari sila pertama Pancasila, yakni pelaksanaan ber Tuhan umat pada
masing-masing agama khususnya di era gelobalisasi melenial mengalami kemunduran luar biasa.
Hal ini disebabkan pelaksanaan dan penerapan dari sila pertama Pancasila yakni ber Tuhan masing-
masing umat beragamanya dilakukan masih secara teoritis yakni jiwa yang berinteraksi dengan
fisik, akal saja. Sehingga sakralisasi Pancasila berjalan secara biasa-biasa saja belum menghasilkan
tingkat ketaqwaan kepada Tuhan yang maha esa.
Sila pertama dari Pancasila yakni Ketuhanan yang maha esa adalah satu-satunya wadah
yang di dalamnya semua unsur agama dari bangsa Indonesia dan suku bangsa yang majemuk itu
bisa bertemu, berdialog, dan merumuskan komitmen bersama untuk membangun masa depan ya ng
penuh harapan dan menjanjikan, hidup sukses didunia dan selamat di hari kemudian. Karena itu,
Pancasila sebagai dasar negara adalah satu-satunya pilihan; dasar itu tak bisa ditawar-tawar lagi,
tak bisa diganti, kecuali jika kita memang menginginkan Indonesia yang terpecah belah dan tercerai
berai.
Kita semua bersama seluruh komponen bangsa perlu “menghidupkan” kembali nilai -nilai
luhur Pancasila dan memposisikannya sebagai dasar negara yang abadi dan lestari. Sebagai dasar
negara, Pancasila harus menjadi nada dasar dan jiwa dari seluruh ketentuan perundangan di negeri
ini. Hukum Nasional yang dibangun di Indonesia haruslah hukum yang dinafasi Pancasila, yang
berketuhanan yang maha esa yang memenuhi rasa keadilan segenap masyarakat Indonesia yang
majemuk dan bukan hukum yang mengacu, berlandaskan ketakikan masing-masing umat beragama
kepada Tuhannya. Di dalam perkembangannya, keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum ditentukan oleh setiap rezim yang berkuasa. Ketika rezim Orde Baru (Orba) berkuasa Pancasila
menjadi dogma statis karena dikultuskan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945) secara murni dan konsekuen. Pada ruang dan waktu tersebut, Pancasila tidak hanya sebatas
sebagai sumber segala sumber hukum dalam tatanan hukum nasional tetapi sekaligus sebagai pemberi
legitimasi yang sahih bagi kekuasaan otoriter Orba. Terkait pengkultusan Pancasila sebagai ideologi
tunggal dan hubungannya dengan kekuasaan Orba. Mahfud MD menuliskan bahwa pengkultusan
Pancasila tersebut merupakan puncak penggalangan yang dilakukan secara terus menerus sejak tahun
1966/1997 oleh Orba dalam rangka integrasi nasional sebagaimana diputuskan dalam Seminar II
Angkatan Darat tahun 1966 yang menyatakan akan membayar berapa pun untuk terciptanya persatuan
dan kesatuan, serta menjamin stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan.
Pemahaman yang inklusif, sikap non-diskriminatif, akomodatif terhadap kemajemukan,
apresiatif terhadap umat beragama dalam hal menyembah kepada Tuhannya yang sesuai dengan
agamanya masing-masing, keberbedaan suku, ras, dan golongan adalah hal-hal fundamental yang
mesti mendapat tempat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia perlu
merumuskan pemikiranpemikiran konstruktif di bidang itu bagi pemerintah, bangsa, dan negara
termasuk bagaimana cara yang lebih efektif dalam mengaplikasikan nilainilai luhur Pancasila di
tengah realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang melenial ini. Tanpa kesungguhan
menempatkan kembali Pancasila, dengan nilai-nilai ketuhanan yang tidak berseberangan dengan
kemungkaran, Maka sebagai warga negara, hendaknya kita mendukung upaya pemerintah Indonesia
untuk mendesak negara maju agar menanamkan nilai-niai yang mencerminkan karakter yang baik
terhadap dunia. Namun semuanya itu dapat terjadi, jika Indonesia telah membuktikan terlebih dulu
kebrhasilan merekonstruksi karakter bangsanya dengan nili-nilai luhur Pancasila, yang dikagumi dunia
termasuk diantaranya dari ungkapan pidato peresiden nagara maju dan adidaya dunia yakni Presiden
Amirika Serikat Barack Obama.