Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2021


UNIVERSITAS KHAIRUN

MEKANISME KERJA OBAT ANTIPSIKOTIK DAN JARAS DOPAMIN

Disusun oleh:
NURUL WAHIDA Y. ABBAS
NPM. 09401711022

Konsulen
dr. YAZZIT MAHRI, Sp. KJ, M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2021
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................2

A. Definisi ........................................................................................................................2
B. Transmisi ....................................................................................................................2
C. Patogenesis ..................................................................................................................6
D. Klasifikasi.....................................................................................................................6
E. Manifestasi Klinik .......................................................................................................8
F. Diagnosis .....................................................................................................................10
G. Tatalaksana ..................................................................................................................20
H. Prognosis .....................................................................................................................21

BAB III KESIMPULAN .........................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................23
BAB I

PENDAHULUAN

Jaras yang berperan dalam gangguan psikotik adalah jaras mesolimbik,


mesokortikal, nigrostriatal, tuberoinfundibular, dan talamus. Jaras yang beperan
pada gejala psikotik adalah jaras mesolimbik dan mesokortikal. Jaras mesolimbik
melewati ventral tegmental area menuju striatum ventral. Jika terjadi peningkatan
dopamin pada jaras ini, maka timbulah gejala positif, impulsif, dan agresif. Jaras
Mesokortikal meliputi area ventral tegmental area menuju dorsolateral cortex (DLPFC) dan
ventromedial prefrontal cortex (VMPFC). Jika terjadi penurunan
dopamin pada jaras DLPFC, maka akan terjadi gejala penurunan fungsi kognitif
dan timbul gejala negatif. Jika terjadi peurunan dopamin pada jaras VMPFC maka
akan terjadi penumpulan afek dan timbul gejala negatif

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Coronavirus adalah virus RNA dengan ukuran partikel 120-160 nm. Virus ini
utamanya menginfeksi hewan, termasuk di antaranya adalah kelelawar dan unta. Sebelum
terjadinya wabah COVID-19, ada 6 jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia,
yaitu alphacoronavirus 229E, alphacoronavirus NL63, betacoronavirus OC43,
betacoronavirus HKU1, Severe Acute Respiratory Illness Coronavirus (SARS-CoV), dan
Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV). Coronavirus yang
menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus betacoronavirus. Hasil analisis
filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan
coronavirus yang menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory Illness (SARS) pada
2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus.1,5
B. Transmisi
a. Transmisi kontak dan droplet
Transmisi SARS-CoV-2 dapat terjadi melalui kontak langsung, kontak tidak
langsung, atau kontak erat dengan orang yang terinfeksi melalui sekresi seperti air
liur dan sekresi saluran pernapasan atau droplet saluran napas yang keluar saat orang
yang terinfeksi batuk, bersin, berbicara, atau menyanyi. Droplet saluran napas
memiliki ukuran diameter > 5-10 μm sedangkan droplet yang berukuran diameter ≤ 5
μm disebut sebagai droplet nuclei atau aerosol. Transmisi droplet saluran napas dapat
terjadi ketika seseorang melakukan kontak erat (berada dalam jarak 1 meter) dengan
orang terinfeksi yang mengalami gejala-gejala pernapasan (seperti batuk atau bersin)
atau yang sedang berbicara atau menyanyi; dalam keadaan-keadaan ini, droplet
saluran napas yang mengandung virus dapat mencapai mulut, hidung, mata orang
yang rentan dan dapat menimbulkan infeksi. Transmisi kontak tidak langsung di
mana terjadi kontak antara inang yang rentan dengan benda atau permukaan yang
terkontaminasi (transmisi fomit) juga dapat terjadi (dibahas di bawah).6
b. Transmisi melalui udara
Transmisi melalui udara didefinisikan sebagai penyebaran agen infeksius yang
diakibatkan oleh penyebaran droplet nuclei (aerosol) yang tetap infeksius saat
melayang di udara dan bergerak hingga jarak yang jauh. Transmisi SARS-CoV-2
melalui udara dapat terjadi selama pelaksanaan prosedur medis yang menghasilkan
aerosol (“prosedur yang menghasilkan aerosol”). WHO bersama dengan kalangan
ilmuwan, terus secara aktif mendiskusikan dan mengevaluasi apakah SARS-CoV-2
juga dapat menyebar melalui aerosol, di mana prosedur yang menghasilkan aerosol
tidak dilakukan terutama di tempat dalam ruangan dengan ventilasi yang buruk,
Pemahaman akan fisika embusan udara dan fisika aliran udara telah menghasilkan
hipotesis-hipotesis tentang kemungkinan mekanisme transmisi SARS-CoV-2 melalui
aerosol. Hipotesis-hipotesis ini mengindikasikan bahwa 1) sejumlah droplet saluran
napas menghasilkan aerosol (<5 μm) melalui penguapan dan 2) proses normal
bernapas dan berbicara menghasilkan aerosol yang diembuskan. Karena itu, orang
yang rentan dapat menghirup aerosol dan dapat menjadi terinfeksi jika aerosol
tersebut mengandung virus dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan infeksi
pada orang yang menghirupnya. Namun, proporsi droplet nuclei yang dihembuskan
atau proporsi droplet saluran napas yang menguap dan menghasilkan aerosol, serta
dosis SARS-CoV-2 hidup yang diperlukan untuk menyebabkan infeksi pada orang
lain tidak diketahui, sedangkan untuk kasus virus-virus saluran pernapasan lain
proporsi dan dosis ini telah diteliti.
Suatu penelitian eksperimen mengukur jumlah droplet berbagai ukuran yang
tetap melayang di udara (airborne) selama kegiatan berbicara biasa. Namun, para
penulisnya mengakui bahwa pengukuran ini merupakan hipotesis aksi independen
(independent action hypothesis), yang belum divalidasi untuk manusia dan SARS-
CoV-2. Sebuah model eksperimen lain menemukan bahwa orang yang sehat dapat
menghasilkan aerosol dengan cara batuk dan berbicara, dan sebuah model lain
mengindikasikan angka emisi partikel oleh setiap orang saat berbicara dapat sangat
berbeda-beda, di mana terdapat korelasi antara tingkat emisi yang semakin tinggi
dengan semakin tingginya amplitudo dalam menghasilkan suara. Sampai sekarang,
transmisi SARS-CoV-2 melalui rute aerosol jenis ini belum didemonstrasikan dan
perlu lebih diteliti karena kemungkinan implikasi-implikasi dari rute transmisi ini. 6

Salah satu penelitian eksperimental yang menghasilkan sampel aerosol


infeksius menggunakan nebulisator jet berdaya tinggi dalam kondisi laboratorium
yang terkontrol menemukan adanya RNA virus SARS-CoV-2 di dalam aerosol pada
sampel udara yang bertahan hingga 3 jam. Penelitian sejenis lain menemukan RNA
virus ini bertahan hingga 16 jam dan menemukan virus hidup yang dapat bereplikasi.
Temuan-temuan ini berasal dari aerosol hasil eksperimen yang tidak mewakili kondisi
batuk biasa pada manusia. 6
Beberapa penelitian yang dilakukan di tempat pelayanan kesehatan di mana
pasien COVID-19 dirawat, tetapi yang tidak menjalankan prosedur yang
menghasilkan aerosol, melaporkan adanya RNA SARS-CoV-2 di sampel udara,
sedangkan penelitian-penelitian lain di tempat pelayanan kesehatan dan bukan tempat
pelayanan kesehatan tidak menemukan keberadaan RNA SARS-CoV-2; tidak ada
penelitian yang menemukan virus hidup (viable) di sampel udara (29-36). Pada
sampel di mana RNA SARS-CoV-2 ditemukan, jumlah RNA yang terdeteksi
berjumlah sangat sedikit di dalam volume udara yang besar, dan sebuah penelitian
yang menemukan RNA SARS-CoV-2 di sampel udara melaporkan tidak dapat
mengidentifikasi virus yang hidup. Deteksi RNA menggunakan asai berbasis reverse
transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) tidak selalu mengindikasikan
virus mampu bereplikasi dan menginfeksi (viable) yang dapat menyebar dan
menyebabkan infeksi. 6
Laporan-laporan klinis baru di mana tenaga kesehatan yang terpapar kasus
indeks COVID-19 di mana prosedur yang menghasilkan aerosol dilakukan tidak
menemukan transmisi nosokomial jika kewaspadaan kontak dan droplet digunakan
secara tepat, seperti mengenakan masker medis sebagai bagian dari alat pelindung diri
(APD), Pengamatan-pengamatan ini mengindikasikan bahwa di dalam konteks ini
tidak terjadi transmisi aerosol. Untuk menentukan apakah SARS-CoV-2 yang hidup
dapat terdeteksi di sampel udara di tempat-tempat di mana dijalankan prosedur yang
menghasilkan aerosol dan peran aerosol dalam transmisi, diperlukan penelitian lebih
lanjut. 6
Di luar fasilitas medis, beberapa laporan kejadian luar biasa (KLB) terkait
tempat dalam ruangan yang padat mengindikasikan kemungkinan transmisi aerosol,
yang disertai transmisi droplet, misalnya pada saat latihan paduan suara, di restoran,
atau kelas kebugaran . Dalam kejadian-kejadian ini, kemungkinan terjadinya
transmisi aerosol dalam jarak dekat, terutama di lokasi-lokasi dalam ruangan tertentu
seperti ruang yang padat dan tidak berventilasi cukup di mana orang yang terinfeksi
berada dalam waktu yang lama, tidak dapat dikesampingkan. Namun, penelitian yang
yang lebih terperinci terhadap klaster-klaster ini mengindikasikan bahwa transmisi
droplet dan fomit juga dapat menjadi penyebab transmisi orang ke orang di dalam
klaster-klaster tersebut. Lebih lanjut lagi, lingkungan kontak erat dalam klaster-
klaster ini dapat memfasilitasi transmisi dari sejumlah kecil kasus kepada orang-orang
lain (kejadian penyebaran super), terutama jika kebersihan tangan tidak dijaga,
masker tidak digunakan, dan penjagaan jarak fisik tidak dilakukan.6
c. Transmisi lain
Beberapa peneliti melaporkan infeksi SARS-CoV-2 pada neonatus. Namun,
transmisi secara vertikal dari ibu hamil kepada janin belum terbukti pasti dapat
terjadi. Bila memang dapat terjadi, data menunjukkan peluang transmisi vertikal
tergolong kecil. Pemeriksaan virologi cairan amnion, darah tali pusat, dan air susu ibu
pada ibu yang positif COVID-19 ditemukan negatif.1

SARS-CoV-2 telah terbukti menginfeksi saluran cerna berdasarkan hasil


biopsi pada sel epitel gaster, duodenum, dan rektum. Virus dapat terdeteksi di feses,
bahkan ada 23% pasien yang dilaporkan virusnya tetap terdeteksi dalam feses
walaupun sudah tak terdeteksi pada sampel saluran napas. Kedua fakta ini
menguatkan dugaan kemungkinan transmisi secara fekal-oral.1
Stabilitas SARS-CoV-2 pada benda mati tidak berbeda jauh dibandingkan
SARS-CoV. Eksperimen yang dilakukan van Doremalen, dkk. menunjukkan SARS-
CoV-2 lebih stabil pada bahan plastik dan stainless steel (>72 jam) dibandingkan
tembaga (4 jam) dan kardus (24 jam). Studi lain di Singapura menemukan
pencemaran lingkungan yang ekstensif pada kamar dan toilet pasien COVID-19
dengan gejala ringan. Virus dapat dideteksi di gagang pintu, dudukan toilet, tombol
lampu, jendela, lemari, hingga kipas ventilasi, namun tidak pada sampel udara.1

C. Patogenesis
Secara patofisiologi, pemahaman mengenai COVID-19 masih perlu studi lebih
lanjut. Pada SARS-CoV-2 ditemukan target sel kemungkinan berlokasi di saluran napas
bawah. Virus SARS-CoV-2 menggunakan ACE-2 sebagai reseptor, sama dengan pada
SARS-CoV. Sekuens dari RBD (Reseptor-binding domain) termasuk RBM
(receptorbinding motif) pada SARS-CoV-2 kontak langsung dengan enzim ACE 2
(angiotensin-converting enzyme 2). Hasil residu pada SARS-CoV-2 RBM (Gln493)
berinteraksi dengan ACE 2 pada manusia, konsisten dengan kapasitas SARS-CoV-2
untuk infeksi sel manusia. Beberapa residu kritis lain dari SARS-CoV-2 RBM (Asn501)
kompatibel mengikat ACE2 pada manusia, menunjukkan SARS-CoV-2 mempunyai
kapasitas untuk transmisi manusia ke manusia. Analisis secara analisis filogenetik
kelelawar menunjukkan SARS-CoV-2 juga berpotensi mengenali ACE 2 dari beragam
spesies hewan yang menggunakan spesies hewan ini sebagai inang perantara.
Pada penelitian 41 pasien pertama pneumonia COVID-19 di Wuhan ditemukan
nilai tinggi dari IL1β, IFNγ, IP10, dan MCP1, dan kemungkinan mengaktifkan respon sel
T-helper-1 (Th1). Selain itu, berdasarkan studi terbaru ini, pada pasien-pasien yang
memerlukan perawatan di ICU ditemukan konsentrasi lebih tinggi dari GCSF, IP10,
MCP1, MIP1A, dan TNFα dibandingkan pasien yang tidak memerlukan perawatan di
ICU. Hal tersebut mendasari kemungkinan adanya cytokine storm yang berkaitan dengan
tingkat keparahan penyakit. Selain itu, pada infeksi SARS-CoV-2 juga menginisiasi
peningkatan sekresi sitokin T-helper-2 (seperti IL4 dan IL10) yang berperan dalam
menekan inflamasi, yang berbeda dengan infeksi SARS-CoV.2 Berdasarkan pohon
filogeni 2020 menunjukkan semua sampel berkaitan serta terdapat lima mutasi relatif
terhadap induknya, membuktikan adanya transmisi dari manusia ke manusia. Selain itu,
filogeni menunjukkan adanya indikasi infeksi pertama manusia pada November 2019
diikuti dengan bertahan transmisi dari manusia ke manusia.7
D. Klasifikasi
Klasifikasi infeksi COVID-19 di Indonesia saat ini didasarkan pada buku panduan
tata laksana pneumonia COVID-19 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
(Kemenkes RI). Terdapat sedikit perbedaan dengan klasifikasi WHO, yaitu kasus suspek
disebut dengan Pasien dalam Pengawasan (PdP) dan ada penambahan Orang dalam
Pemantauan (OdP). Istilah kasus probable yang sebelumnya ada di panduan Kemenkes
RI dan ada pada panduan WHO saat ini sudah tidak ada. Klasifikasi menurut buku
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disesase (COVID-19) revisi ke-3
dan sewaktu-waktu dapat berubah. 8
a. Pasien dalam Pengawasan (PdP)
1. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38ºC)
atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan
seperti: batuk/sesak nafas/sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga
berat dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi
lokal.
2. Orang dengan demam (≥38ºC) atau riwayat demam atau ISPA dan pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi COVID-19.
3. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di
rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang
meyakinkan.
b. Orang dalam Pemantauan (OdP)
1. Orang yang mengalami demam (≥38ºC) atau riwayat demam; atau gejala
gangguan system pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk dan tidak
ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan dan pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di
negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal.
2. Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit
tenggorokan/batuk dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.
c. Orang Tanpa Gejala (OTG)
Seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari orang konfirmasi
COVID-19. Orang tanpa gejala merupakanseseorang dengan riwayat kontak erat
dengan kasus konfirmasi COVID-19.
d. Kasus Konfirmasi
Pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan tes positif melalui
pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR).

Kontak erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam
ruangan atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam pengawasan
atau konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah
kasus timbul gejala.8
Termasuk kontak erat adalah:
a. Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan
ruangan di tempat perawatan kasus tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD)
sesuai standar.
b. Orang yang berada dalam suatu ruangan yang
Sama dengan kasus (termasuk tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2
hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
c. Orang yang bepergian bersama (radius 1meter) dengan segala jenis alat
angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari
setelah kasus timbul gejala.
E. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pasien COVID-19 memiliki spektrum yang luas, mulai dari
tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis,
hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami
sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis. Berapa besar
proporsi infeksi asimtomatik belum diketahui. Viremia dan viral load yang tinggi dari
swab nasofaring pada pasien yang asimptomatik telah dilaporkan.1
Berdasarkan beratnya kasus, COVID-19 dibedakan menjadi tanpa gejala, ringan,
sedang, berat dan kritis.8
a. Tanpa gejala
Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.
b. Ringan
Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia. Gejala
yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek, mialgia. Gejala
tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti hidung, sakit kepala, diare,
mual dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang pengecapan (ageusia) yang
muncul sebelum onset gejala pernapasan juga sering dilaporkan. Pasien usia tua dan
immunocompromised gejala atipikal seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas
menurun, diare, hilang nafsu makan, delirium, dan tidak ada demam.
c. Sedang
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam,
batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat termasuk SpO2 >
93% dengan udara ruangan atau anak-anak. Pasien dengan tanda klinis pneumonia
tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas cepat dan/atau tarikan dinding dada)
dan tidak ada tanda pneumonia berat). Kriteria napas cepat : usia <2 bulan,
≥60x/menit; usia 2–11 bulan, ≥50x/menit ; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit ; usia >5
tahun, ≥30x/menit.
d. Berat /Pneumonia Berat
Pada pasien remaja atau dewasa : pasien dengan tanda klinis pneumonia (demam,
batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30 x/menit, distres
pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan atau Pada pasien anak :
pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau kesulitan bernapas), ditambah
setidaknya satu dari berikut ini:
1. sianosis sentral atau SpO2<93%.
2. distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan dinding dada
yang sangat berat).
3. tanda bahaya umum : ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi atau
penurunan kesadaran, atau kejang.
4. Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea : usia <2 bulan, ≥60x/menit; usia 2–
11 bulan, ≥50x/menit; usia 1–5 tahun, ≥40x/menit; usia >5 tahun, ≥30x/menit.
e. Kritis
Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok
sepsis.
F. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis terutama gambaran riwayat perjalanan atau riwayat kontak erat
dengan kasus terkonfirmasi atau bekerja di fasyankes yang merawat pasien infeksi
COVID-19 atau berada dalam satu rumah atau lingkungan dengan pasien terkonfirmasi
COVID-19 disertai gejala klinis dan komorbid. Gejala klinis bervariasi tergantung derajat
penyakit tetapi gejala yang utama adalah demam, batuk, mialgia, sesak, sakit kepala,
diare, mual dan nyeri abdomen. Gejala yang paling sering ditemui hingga saat ini adalah
demam (98%), batuk dan myalgia.9
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tergantung ringan atau beratnya
manifestasi klinis:7
1. Tingkat kesadaran: kompos mentis atau penurunan kesadaran
2. Tanda vital: frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas meningkat, tekanan darah
normal atau menurun, suhu tubuh meningkat. Saturasi oksigen dapat normal atau
turun.
3. Dapat disertai retraksi otot pernapasan
4. Pemeriksaan fisis paru didapatkan inspeksi dapat tidak simetris statis dan dinamis,
fremitus raba mengeras, redup pada daerah konsolidasi, suara napas bronkovesikuler
atau bronkial dan ronki kasar.
Pemeriksaan radiologis berperan penting dalam menemukan dan menatalaksana
pasien COVID-19. Pemeriksaan CT Scan merupakan metode paling efektif untuk
mendeteksi kelainan COVID-19 di paru, khususnya pada tahap awal penyakit. Apalagi
pemeriksaan serial CT scan dada dengan interval waktu yang berbeda (tiga- tujuh hari)
juga efektif dalam menilai perkembangan penyakit (dari saat diagnosis awal COVID-19
hingga pasien sembuh). Secara klinis, penyakit pernapasan virus corona muncul sebagai
pneumonia, sehingga temuan pencitraan yang dominan adalah pneumonia atipikal atau
organising pneumonia. Foto toraks memang kurang sensitif dibandingkan CT scan,
namun foto toraks dapat digunakan sebagai pendekatan lini pertama karena
ketersediaannya dan mudah untuk dibersihkan. Gambaran pada foto toraks mungkin
normal pada fase awal penyakit dan mencapai puncaknya pada 10-12 hari setelah
timbulnya gejala. 10
Pada pemeriksaan foto toraks kelaianan yang paling sering ditemukan adalah
airspace opacities berupa konsolidasi dan ground-glass opacity (GGO). Sebagian besar
menunjukkan distribusi bilateral, perifer, dan lebih banyak di bagian bawah sedangkan
gambaran parenkim abnormal dan efusi pleura jarang ditemukan.10
Gambar 1. Tampak adanya Gambaran ground-glass opacity (panah putih) dan linear
opacity (panah hitam)

Gambar 2. Tampak adanya konsolidasi luas di kedua lapangan paru

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang S, dkk temuan utama
pada foto radiologi pasien COVID-19 adalah konsolidasi disertai air bronchogram pada
lapangan paru kanan kiri yang dominan pada aspekperifer. Gambaran ini sesuai dengan
gambaran pneumonia yang disebabkan COVID-19.10 (Gambar 4)
Gambar 4. Pemeriksaan X-ray toraks serial pada pasien Covid 19 menunjukkan adanya
konsolidasi dengan air bronchogram yang sesuai dengan gambaran pneumonia virus.(A)
X-ray toraks saat masuk rumah sakit, tampak konsolidasi disertai air bronchogram pada
lapangan atas tengah bawah paru kanan kiri terutama aspek perifer. (B) X-ray toraks hari
ke-3 dan (C) ke-4 menunjukkan konsolidasi yang relatif sama dibandingkan sebelumnya.
(D) X-ray toraks hari ke-7 menunjukkan konsolidasi yang relatif bertambah. (E) X-ray
toraks hari ke-10 menunjukkan konsolidasi yang relatif sama dibandingkan sebelumnya.
(F) X-ray toraks hari ke-14 menunjukkan perbaikan, konsolidasi pada kedua lapangan
paru tampak berkurang. (G) Pemeriksaan X-ray toraks hari ke-17 menunjukkan infiltrat
pada lapangan tengah bawah paru kanan kiri yang berkurang dibandingkan sebelumnya.

Pemeriksaan CT-scan menjadi metode pencitraan yang penting untuk deteksi dini
pasien COVID-19. Gambaran pada CT-scan umumnya menunjukkan adanya ground-
glass opacity (GGO) dan konsolidasi. GGO adalah gambaran CT-Scan yang utama pada
COVID-19, khususnya pada pasien dengan derajat ringan. Pemeriksaan CT-scan
dimasukkan ke dalam kriteria penegakkan diagnosis COVID-19 oleh National Health
and Health Commission of China di Provinsi Hubei. Kriteria ini digunakan untuk
memastikan tindakan selanjutnya terkait perawatan dan isolasi tepat waktu sehingga tidak
menunggu hasil pemeriksaan RT-PCR yang lama di Hubei.11
Gambaran pencitraan yang dapat ditemukan yaitu:11
a. Ground-glass opacity (GGO)
GGO adalah gambaran buram dengan kepadatan yang sedikit lebih tinggi
di paru-paru, dimana pembuluh darah pulmonalis terlihat. Hal ini terjadi karena
invasi virus pada epitel alveolar dan bronkiolus. Virus lalu bereplikasi di sel
epitel, mengakibatkan kavitas alveolar bocor, sehingga dinding alveolus
mengalami inflamasi dan menebal, Distribusinya disekitar paru-paru dan dibawah
pleura. (Gambar 4)
b. Konsolidasi dan air bronchogram
Ketika inflamasi berlangsung dan ada keterlibatan alveolus, diikuti oleh
konsolidasi, saat tubuh bereaksi dengan badai inflamasi, muncullah eksudat yang
banyak dalam alveolus dikedua paru-paru, sehingga tampak seperti paru-paru
berwarna putih (white lung). Gambaran air bronchogram terjadi karena patogen
menyerang sel epitel, menyebabkan peradangan penebalan dan pembengkakan
pada dinding bronkial.(Gambar 5)
c. Tanda paving stone
Pada CT-scan yang beresolusi tinggi, penebalan lobular dan bayangan
garis interlobular tumpang tindih dengan GGO. Hal ini terjadi karena interval
lobular dan penebalan interstisial interlobular, mengakibatkan perubahan
interstisial. (Gambar 6)
Gambar 4. Tampak adanya gambaran Ground-glass opacity di lobus bawah bilateral.

Gambar 5. Gambaran GGO dengan konsolidasi dan air-bronchogram


Gambar 6. Gambaran GGO (atas) dan crazy paving pattern (bawah)

Gambaran CT toraks pada pneumonia COVID-19 berubah sesuai perjalanan


penyakitnya. Terdapat 4 fase perjalanan penyakit pneumonia COVID-19, yaitu early
stage (0-4 hari), progressive stage (5-8 hari), peak stage (10-13 hari), dan resolution
stage (>14 hari). Pada early stage, gambaran yang muncul adalah ground glass opacity
(GGO) fokal dan konsolidasi atau multipel opasitas paru. Lima puluh persen pasien
menunjukkan lokasi predominan GGO di perifer. Sebagian pasien belum menunjukan
adanya opasitas paru. Pada middle stage (5-13 hari), menunjukkan progresi, lesi
bertambah luas, Sebagian lesi menjadi crazy paving, timbul konsolidasi dan melibatkan
kedua paru. Pada fase lanjut atau fase resolusi (lebihh dari 14 hari), akan tampak berbagai
variasi, sebagian masih berupa GGO dan konsolidasi, sebagian lagi berupa skar atau
curvilinear parenchyma/ band. Gambar di bawah ini adalah fase pneumonia COVID-19
pada CT-Scan toraks.12
Gambar 7. Empat fase penyakit pneumonia COVID-19 pada CT scan toraks. Gambar a)
fase akut ground glass opacity; b) middle stage tampak Crazy paving; c) Konsolidasi; d)
fase Lanjut tampak konsolidasi dan kurviliner Parenchymal band

Paling penting bagi kita adalah mengenal gambaran CT scan pneumonia COVID-
19 pada fase awal yang berupa gambaran ground glass, lokasi perifer, bilateral,
konsolidasi dan dominan pada lobus bawah paru kanan. Dalam perjalanan penyakit,
gambaran tersebut dapat bertambah banyak dan menjadi bilateral. Beberapa gambaran
kadang ditemukan pada fase awal berupa nodul kecil ground glass, halo sign dan reverse
halo. Lesi - lesi ground glass dan konsolidasi umumnya didapatkan pada bagian perifer,
sedangkan yang berbentuk nodular umumnya berada lebih ke sentral.Dengan meluasnya
penyakit, dapat timbul gambaran crazy paving dan konsolidasi yang dominan, dimana
peak-nya pada hari 9-13 setelah gejala. Umumnya setelah 13 hari 1 bulan, gambaran CT
Scan akan menunjukkan perbaikan, akan tetapi pada sebagian kasus, dapat ditemukan
gambaran ground glass yang baru. 12

Pada fase lanjut/absorbsi, akan timbul beberapa gambaran yaitu garis-garis


fibrotik yang disebut curvilinear band, pneumatocele, bronchioloectasis dan adanya
dilatasi pembuluh darah akibat adanya fibrosis tersebut. Pada fase absorbsi kasus
pneumonia COVID-19 ringan, gambaran kelainan paru menyisakan ground glass yang
minimal, bisa hilang sempurna. Kelainan-kelainan paru tersebut diatas dapat juga
ditemukan pada kasus pneumonia non-COVID-19, influenza HINI, CMV, pneumonia
typical maupun atypical. 12

Gambar 8. Gambar CT toraks pada fase absorbs; a) pneumatocele; b) bronchioloectasis,


curvilinear band, dilatasi vascular; c) curvilinier band.

Gambar 9. Fase absorbs pada kasus ringan. Kasus ringan yang hamper sempurna. Kiri CT
scan toraks pada awal diagnosis. Kanan setelah 2 minggu pengobatan.

Beberapa gambaran CT toraks yang jarang ditemukan atau bahkan dapat


menyingkirkan kemungkinan pneumonia COVID-19 adalah efusi pleura, pembesaran
kelenjar getah bening dan adanya kavitas. Pasien dengan perluasan lesi yang cepat
menandakan kondisi yang buruk, umumnya pada pasien usia lanjut, jenis kelamin pria,
serta mempunyai komorbid, Prognosis perjalanan penyakit juga dapat diperkirakan pada
CT scan toraks awal, Apabila pada CT awal hasilnya normal, umumnya prognosis baik
Tetapi apabila gambaran CT awal ditemukan pneumoni berat, umumnya prognosis
menjadi buruk Pada temuan CT toraks yang menunjukan efusi pleura, nodul kecil, tree-
in-bud dan lymphadenopathy sangat mencurigakan adanya superinfeksi bakterial atau
bahkan menyingkirkan kemungkinan pneumonia COVID-19. CT scan toraks mempunyai
sensitivitas yang lebih tinggi dibanding radiografi toraks. Lesi-lesi kecil ground glass dan
berlokasi di perifer pada kasus pneumonia COVID-19 sering sulit terdeteksi pada
radiografi toraks. 12

Metode reporting CT toraks pada pneumonia COVID-19 yang banyak dipakai


adalah dari Radiology Society of North America (RSNA) dan British Society of Thoracic
Imaging (BSTI). Menurut BSTI, gambaran CT toraks dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu:
probable, indeterminate, alternative dan normal. 12

1. Gambaran probable yang khas ditemukan pada pasien pneumonia COVID-19


sehingga memberikan high probability pneumonia COVID-19 antara lain: GGO
yang perifer dan multifokal dengan atau tanpa konsolidasi, crazy paving, reverse
halo, atau organizing pneumonia.
2. Gambaran CT indeterminate akan menunjukkan gambaran GGO multifocal
diffuse perihilar unilateral tanpa adanya gambaran atipikal atau GGO yang kecil
dengan distribusi tidak di perifer dan tidak bulat, sehingga harus dipikirkan
diagnosis banding yang lain selain pneumonia COVID-19.
3. Gambaran CT alternative akan menunjukkan konsolidasi baik lobar atau
segmental isolated, tanpa GGO, nodul discrete, certrilobular, tree-in-bud, kavitas,
penebalan septa atau efusi pleura.
4. Negative/normal finding: bila tidak ditemukan konsolidasi sama sekali pada CT
toraks.

Berdasarkan kriteria dari RSNA, gambaran CT Scan pada pneunwnia COVID-19


terbagi menjadi typical, indeterminate, atypical dan normal. 12
1. Typical ditemukan gambaran :
a. GGO perifer, basal , dengan atau tanpa konsolidasi atau garis garis
intralobular (crazy paving).
b. GGO multifokal dengan morfologi bulat dengan atau tanpa konsolidasi atau
crazy paving.
c. Reverse halo sign atau temuan lain dari organizing pneumonia ( terlihat di
tahap penyakit yang lebih lanjut ).
2. Indeterminate tidak ada ciri ciri tipikal, namun memiliki gambaran :
a. Ada GGO multifokal, difus , perihilar atau unilateral dengan atau tanpa
konsolidasi yang tidak memiliki distribusi spesifik dan non bulat dan non
perifer.
b. GGO kecil dalam jumlah yang sangat sedikit dengan distribusi non bulat dan
non perifer.
3. Atypical tidak didapatkan ciri ciri tipikal atau indeterminate namun memiliki ciri-
ciri berikut :
a. Terdapatnya konsolidasi lobar atau segmental terisolasi tanpa GGO.
b. Nodul-nodul kecil diskret ( sentrilobular, tree-in-bud).
c. Kavitas paru, penebalan septal interlobular yang halus dengan effusi pleura
4. Negative untuk pneumonia, tidak ada ciri ciri CT Scan yang sugestif untuk
pneumonia.

Ada sedikit perbedaan antara typical dari RSNA dan probable dari BSTI, dimana
gambaran organizing pneumonia tidak termasuk. 12

Dalam meneggakan diagnosis pasti COVID-19 perlu dilakukan reverse transcription


polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mengekstraksi 2 gen SARS-CoV-2. 8,9
 Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis. Bila
pemeriksaan di hari pertama sudah positif, tidak perlu lagi pemeriksaan di hari
kedua, Apabila pemeriksaan di hari pertama negatif, maka diperlukan
pemeriksaan di hari berikutnya (hari kedua).
 Pada pasien yang dirawat inap, pemeriksaan PCR dilakukan sebanyak tiga kali
selama perawatan.
 Untuk kasus tanpa gejala, ringan, dan sedang tidak perlu dilakukan pemeriksaan
PCR untuk follow-up. Pemeriksaan follow-up hanya dilakukan pada pasien yang
berat dan kritis.
 Untuk PCR follow-up pada kasus berat dan kritis, dapat dilakukan setelah sepuluh
hari dari pengambilan swab yang positif.
 Bila diperlukan, pemeriksaan PCR tambahan dapat dilakukan dengan disesuaikan
kondisi kasus sesuai pertimbangan DPJP dan kapasitas di fasilitas kesehatan
masing-masing.
 Untuk kasus berat dan kritis, bila setelah klinis membaik, bebas demam selama
tiga hari namun pada follow-up PCR menunjukkan hasil yang positif,
kemungkinan terjadi kondisi positif persisten yang disebabkan oleh terdeteksinya
fragmen atau partikel virus yang sudah tidak aktif. Pertimbangkan nilai Cycle
Threshold (CT) value untuk menilai infeksius atau tidaknya dengan berdiskusi
antara DPJP dan laboratorium pemeriksa PCR karena nilai cutt off berbeda-beda
sesuai dengan reagen dan alat yang digunakan.
G. Tatalaksana
Prinsip tatalaksana secara keseluruhan menurut rekomendasi WHO yaitu: Triase :
identifikasi pasien segera dan pisahkan pasien dengan severe acute respiratory infection
(SARI) dan dilakukan dengan memperhatikan prinsip pencegahan dan pengendalian
infeksi (PPI) yang sesuai, terapi suportif dan monitor pasien, pengambilan contoh uji
untuk diagnosis laboratorium, tata laksana secepatnya pasien dengan hipoksemia atau
gagal nafas dan acute respiratory distress syndrome (ARDS), syok sepsis dan kondisi
kritis lainnya. 9
Hingga saat ini tidak ada terapi spesifik anti virus nCoV 2019 dan anti virus
corona lainnya. Beberapa peneliti membuat hipotesis penggunaan baricitinib, suatu
inhibitor janus kinase dan regulator endositosis sehingga masuknya virus ke dalam sel
terutama sel epitel alveolar. Pengembangan lain adalah penggunaan rendesivir yang
diketahui memiliki efek antivirus RNA dan kombinasi klorokuin, tetapi keduanya belum
mendapatkan hasil. Tata laksana utama pada pasien adalah terapi suportif disesuaikan
kondisi pasien, terapi cairan adekuat sesuai kebutuhan, terapi oksigen yang sesuai derajat
penyakit mulai dari penggunaan kanul oksigen, masker oksigen. Bila dicurigai terjadi
infeksi ganda diberikan antibiotika spektrum luas. 9
Salah satu yang harus diperhatikan pada tata laksana adalah pengendalian
komorbid. Dari gambaran klinis pasien COVID-19 diketahui komorbid berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas. Komorbid yang diketahui berhubungan dengan luaran
pasien adalah usia lanjut, hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular dan penyakit
serebrovaskular.9
H. Prognosis
Hingga saat ini mortalitas mencapai 2% tetapi jumlah kasus berat mencapai 10%.
Prognosis bergantung pada derajat penyakit, ada tidaknya komorbid dan faktor usia.9

BAB IV
KESIMPULAN
Infeksi COVID-19 yang disebabkan virus corona baru merupakan suatu pandemik baru
dengan penyebaran antar manusia yang sangat cepat. Derajat penyakit dapat bervariasi dari
infeksi saluran napas atas hingga ARDS.
Diagnosis COVID-19 ditegakkan dengan anamnesis pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan radiologi yakni foto thoraks dan CT-Scan. Gambaran foto toraks
yang paling sering adalah airspace opacities berupa konsolidasi dan ground-glass opacity
(GGO) dengan distribusi bilateral, perifer, dan lebih banyak di bagian bawah sedangkan
gambaran parenkim abnormal dan efusi pleura jarang ditemukan. Gambaran yang sering
ditemukan pada CT-scan dada yaitu GGO, konsolidasi, crazy-paving stone, air bronchogram
Dalam meneggakan diagnosis pasti COVID-19 perlu dilakukan reverse transcription
polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mengekstraksi 2 gen SARS-CoV-2.
COVID-19 memiliki tingkat mortalitas yang tidak dapat diabaikan, dan belum adanya
terapi definitive. Diperlukan pengembangan mengenai berbagai hal termasuk pencegahan di
seluruh dunia.

Daftar Pustaka
1. Susilo A, Rumende C, dkk. Coronavirus Disease 2019 : Tinjauan Literatur Terkini. 2020
2. World Health Organization . About Coronavirus Disease. 2020. Available form :
https://covid19.who.int
3. Komite Penanganan Covid – 19 dan pemulihan ekonomi nasional. About Coronavirus
Disease. 2020. Available https://covid19.go.id/peta-sebaran
4. Hossam MA. Walid FE. Dkk. Insight into the recent 2019 novel Coronavirus (SARS-
CoV-2) in light of past human coronavirus outbreak. 2020
5. Yuliana. Coronavirus Disease 2019 ; Sebuah tinjauan Literatur. 2020
6. World Health Organization. Modes of transmission of virus causing COVID – 19 :
Implication for infection prevention and control (PIC) precaution recommendations. 2020
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Covid-19 Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. 2020
8. Direktorat jendral pencegahan dan pengendalian penyakit (P2P) kementerian Kesehatan
RI. Pedoman pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) Edisi 3.
2020
9. Handayani D, Hadi DR, dkk. Coronavirus disease 2019. 2020
10. Satoto B, dkk. Evaluasi dengan High Resolution Computed Tomography (HRCT) Setelah
Infeksi Covid-19: Laporan Kasus di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang. 2020
11. Yanti B, Hayatun U. Pemeriksaan radiologis pada diagnosis coronavirus disease 2019.
2020
12. Icksan AG, Muljadi R. Imejing Pneumonia COVID-19. Jakarta. 2020

Anda mungkin juga menyukai