Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


DENGAN MASALAH KEPERAWATAN FRAKTUR
DI RUANG IGD
RSUD JOMBANG

Disusun Oleh :
Siti Syaifulina (22.641.0031)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN
INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Keperawatan Gawat Darurat dengan Masalah Keperawatan


Fraktur di Ruang IGD RSUD Jombang yang disusun oleh :

Nama : Siti Syaifulina

NIM : 22.641.0031

Telah disetujui dan di sahkan pada tanggal……………

Jombang, 2023

Mahasiswa

(Siti Syaifulina)

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )

Mengetahui,

Kepala Ruangan

( )
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan pada Stase Keperawatan Gawat Darurat dengan Masalah


Keperawatan Fraktur di Ruang IGD RSUD Jombang yang disusun oleh :

Nama : Siti Syaifulina

NIM : 22.641.0031

Telah disetujui dan di sahkan pada tanggal……………

Jombang, 2023

Mahasiswa

(Siti Syaifulina)

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )

Mengetahui,
Kepala Ruangan

( )
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR

I. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang
biasanya disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya
trauma (Lukman & Ningsih, 2012). Menurut Smeltzer (2018), fraktur adalah gangguan komplet
atau tak-komplet pada kontinuitas struktur tulang dan didefinisikan sesuai jenis keluasannya
(Smeltzer, 2018).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan
umumnya dikarenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Fraktur adalah rupturnya kontinuitas
struktur dari tulang atau kartilago dengan tanpa disertai subluksasi fragmen yang terjadi karena
trauma atau aktivitas fisik dengan tekanan yang berlebihan (Ningsih, 2011).

II. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst)
2. Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
sama.
4. Berdasarkan posisi fragmen :
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi
fragmen
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman
sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka
dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif.
6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.
7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
1) At axim : membentuk sudut.
2) At lotus : fragmen tulang berjauhan.
3) At longitudinal : berjauhan memanjang.
4) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
8. Berdasarkan posisi frakur. Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
9. Fraktur Kelelahan (Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang).
10. Fraktur Patologis (Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang).

III. Etiologi
Menurut Helmi (2012), hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya fraktur adalah :

a. Fraktur traumatik, disebabkan karena adanya trauma ringan atau berat yang mengenai
tulang baik secara langsung maupun tidak.
b. Fraktur stres, disebabkan karena tulang sering mengalami penekanan.
c. Fraktur patologis, disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi patologis penyakit
yang akan menimbulkan fraktur.

IV. MANIFESTASI KLINIS


Menurut yasmara, Deni (2016)
1. Deformitas, yaitu fragmen tulang berpindah dari tempatnya
2. Bengkak, yaitu edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah terjadi dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
3. Ekimosis
4. Spasme otot, yaitu spasme involunter dekat fraktur
5. Nyeri tekan
6. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi akibat kerusakan saraf/perdarahan)
7. Pergerakan abnormal
8. Hilangnya darah
9. Krepitasi

V. PATOFISIOLOGI
Fraktur adalah gangguan pada tulang yang disebabkan oleh trauma, stress, gangguan fisik,
gangguan metabolik, dan proses patologis. Kerusakan pembuluh darah pada fraktur
mengakibatkan perdarahan sehingga volume darah menurun dan terjadi perubahan perfusi
jaringan. Hematoma yang terjadi mengeksudasi plasma dan berpoleferasi menjadi edema lokal
sehingga terjadi penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup mengenai serabut
saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Setelah terjadi fraktur, periosteum
dan pembuluh darah serta serta saraf dalam korteks, sumsum, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuk
hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respons inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian ini merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Yasmara Deni, 2016).
VI. PATHWAY
VI. PATHWAY
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera
2) Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3) Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4) CCT kalau banyak kerusakan otot.
5) Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah
akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat
luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan
beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cederah hati.

VIII. PENATALAKSANAAN
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka
jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat
diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak
menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara
pemasangan bidai atau gips.
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
b. Pemasangan gips : merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang
patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh.
2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu
diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi
eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
a. Penarikan (traksi) : Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban denga tali
pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah
tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi
antara lain :
a) Traksi manual , Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada
keadaan emergency
b) Traksi mekanik, ada 2 macam
c) Traksi kulit (skin traction) Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang
lain misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
d) Traksi skeletal Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan
balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat
metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal. Kegunaan pemasangan traksi, antara
lain :
1) Mengurangi nyeri akibat spasme otot
2) Memperbaiki & mencegah deformitas
3) Immobilisasi
4) Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
5) Mengencangkan pada perlekatannya Prinsip pemasangan traksi :
a) Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik
b) Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat
agar reduksi dapat dipertahankan
c) Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus
d) Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
e) Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai

3. Dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau batang logam pada pecahan-
pecahan tulang. Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya
mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi
terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan
sepanjang bidang anatomik menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur dan
fragmen-fragmen tulang yang telah mati diirigasi dari luka. Fraktur kemudian direposisi
dengan tangan agar menghasilkan posisi yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-
fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan
paku.

1) Fiksasi Interna
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk fraktur lainnya
kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan terhadap panjangnya dengan nail,
tetapi fiksasi mungkin tidak cukup kuat untuk mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan
jika hasil pemeriksaan radiologi memberi kesan bahwa jaringan lunak mengalami
interposisi di antara ujung tulang karena hal ini hampir selalu menyebabkan non-union.
Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan stabilitas longitudinal
serta kesejajaran (alignment) serta membuat penderita dápat dimobilisasi cukup cepat
untuk meninggalkan rumah sakit dalam waktu 2 minggu setelah fraktur. Kerugian meliput
anestesi, trauma bedah tambahan dan risiko infeksi.
Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang tercepat dengan trauma yang
minimal, tetapi paling sesuai untuk fraktur transversal tanpa pemendekan. Comminuted
fracture paling baik dirawat dengan locking nail yang dapat mempertahankan panjang
dan rotasi.
2) Fiksasi Eksterna
Bila fraktur yang dirawat dengan traksi stabil dan massa kalus terlihat pada
pemeriksaan radiologis, yang biasanya pada minggu ke enam, cast brace dapat dipasang.
Fraktur dengan intramedullary nail yang tidak memberi fiksasi yang rigid juga cocok
untuk tindakan ini.
1. Agar terjadi penyatuan tulang kembali
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan
menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat gangguan
dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang.

2. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula


Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi.
Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin

IX. KOMPLIKASI
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di
otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan
aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala-
gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang
berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih
sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini
terjadi ketika gelembung-gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi
jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat
menyebabkan oklusi pada pembuluh-pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan
sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam
status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit
ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.

e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s
Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal
ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala
femur berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis
avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin
tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas
kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang
dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang
berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus,
atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat
tulangnya, luka amputasi karena trauma dan frakturfraktur dengan sindrom kompartemen
atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu
yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai
darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang-kadang
dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan non
union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari
fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis.

c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan
deformitas, angulasi atau pergeseran.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk
itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri.
2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
d. Riwayat Penyakit Dahulu
e. Riwayat Penyakit Keluarga
f. Riwayat Psikososial
g. Pengkajian Primer
1) Airway. Kaji: bersihan jalan nafas, ada/tidaknya sumbatan pada jalan nafas, distress
pernafasan, tanda-tanda perdarahan di jalan nafas, muntahan, edema laring

2) Breathing. Kaji: frekuensi nafas, usaha, dan pergerakan dinding dada, suara
pernafasan melalui hidung dan mulut, udara yang dikeluarkan dari jalan nafas
3) Circulation. Kaji: denyut nadi karotis, tekanan darah, warna dan kelembaban kulit,
tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
4) Disability. Kaji: tingkat kesadaran, gerakan ekstremitas, GCS, ukuran pupil dan
responnya terhadap cahaya
5) Exposure. Kaji: tanda-tanda trauma yang ada
h. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu: pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk
dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. Gambaran umum
perlu menyebutkan: Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti: Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. Tanda-tanda vital tidak normal
karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. Secara sistemik dari kepala sampai
kelamin.
1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri
tekan.

a) Kepala : Tidak ada gangguan yaitu, normocephalik, simetris, tidak ada


penonjolan, tidak ada nyeri dan tidak ada lesi.
b) Leher : Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
c) Wajah : Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tidak edema.
d) Mata : Konjungtiva anemis jika terjadi perdaraha hebat dan tidak ada sekret.
e) Telinga : Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.

f) Hidung : Tidak ada deformitas, simetris, tidak ada pernafasan cuping hidung
dan tidak ada sekret.
g) Mulut dan Faring : Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
h) Thoraks : Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
i) Paru-paru
Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru. Palpasi : Pergerakan
sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi : Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan lainnya.
Auskultasi : Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
j) Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Perkusi : tidak ada pembesaran jantung.
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
k) Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : Tugor baik, tidak ada benjolan, tidak ada defands
muskuler, hepar tidak teraba.
Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
l) Genetalia-Anus : Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran lymphe, tidak ada
kesulitan BAB.
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan merupakan kesimpulan atas pengkajian yang dilakukan
terhadap pasien, diagnosis keperawatan ini adalah maslah keperawatan pasien sebagai
akibat atau respon pasien terhadap pemyakit yang dialami. Diagnosa keperawatan ini
dapat ditegakkan dalam 3 kategoori/jenis: actual, potensial/resiko, resiko tinggi
(Purwanto,2016).
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, kelemehan, gangguan
muskuloskeletal
3) Defisit perawatan diri : mandi berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma, gangguan sirkulasi
5) Resiko infeksi
6) Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
7) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber pengetahuan.
III. INTERVENSI KEPERAWATAN
Intervensi merupakan tahapan selanjutnya dalam asuhan keperawatan setelah
tahapan pengkajian dan diagnosis keperawatan. Dalam merencanakan tindakan sangat
tergantung pada diagnosis yang diangkat, kondisi pasien dan sarana prasarana rumah sakit
tempat pasien tersebut dirawat (Purwanto, 2016).

DIAGNOSA
NOC NIC
KEPERAWATAN
Nyeri akut berhubungan Tujuan : nyeri dapat berkurang 1. Lakukan pendekatan pada klien
dengan agen cedera atau hilang. Kriteria Hasil : dan keluarga
fisik 2. Kaji tingkat intensitas dan
• Nyeri berkurang atau hilang
frekwensi nyeri
• Klien tampak tenang. 3. Jelaskan pada klien penyebab
• Pasien mengungkapkan dari nyeri
mampu untuk melakukan 4. Observasi tanda-tanda vital.
beberapa aktivitas tanpa
dibantu. 5. Melakukankolaborasi dengan
tim medis dalam pemberian
• Koordinasi otot, tulang dan analgesic
anggota gerak lainya baik

Kerusakan integritas kulit Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji kulit dan identifikasi pada
berhubungan dengan
keperawatan Mencapai tahap perkembangan luka.
trauma
penyembuhan luka pada waktu 2. Kaji lokasi, ukuran, warna, bau,
yang sesuai. Kriteria Hasil : serta jumlah dan tipe cairan luka.
• Tidak ada tanda tanda infeksi 3. Pantau peningkatan suhu tubuh.
seperti pus. 4. Berikan perawatan luka dengan
• Luka bersih tidak lembab dan tehnik aseptik. Balut luka
tidak kotor. dengan kasa kering dan steril,

• Tanda-tanda vital dalam gunakan plester kertas.


batas normal atau dapat 5. Jika pemulihan tidak terjadi
ditoleransi.
kolaborasi tindakan lanjutan,
misalnya debridement.
6. Setelah debridement, ganti
balutan sesuai kebutuhan.
7. Kolaborasi pemberian antibiotik
sesuai indikasi.
Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji kebutuhan akan pelayanan
berhubungan dengan nyeri, keperawatan Tujuan : pasien kesehatan dan kebutuhan akan
kelemahan akan menunjukkan tingkat peralatan.
mobilitas optimal. 2. Tentukan tingkat motivasi
Kriteria hasil : pasien dalam melakukan
aktivitas.
• Penampilan yang seimbang.
3. Ajarkan dan pantau pasien
• Melakukan pergerakkan dan
dalam hal penggunaan alat
perpindahan.
bantu.
• Mempertahankan mobilitas
optimal yang dapat di 4. Ajarkan dan dukung pasien
toleransi. dalam latihan ROM aktif dan
pasif. Kolaborasi dengan ahli
terapi fisik atau okupasi.

IV. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan merupakan langkah berikutnya dalam proses
keperawatan. Semua kegiatan yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan
pada pasien harus direncankan untuk menunjang tujuan pengobatan medis, dan memenuhi
tujuan rencana keperawatan.
Implementasi rencana asuhan keperawatan berarti perawat mengarahkan,
menolong, mengobservasi dan mendidik semua personil keperawatan dan pasien,
termasuk evaluasi perilaku dan pendidikan, merupakan supervisi keperawatan yang
penting (Hidayah, 2014).
V. EVALUASI
Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari asuhan keperawatan, dimana pada
tahapan ini mengevaluasi apakah tindakan yang dilakukan sudah efektif atau belum untuk
mengatsi masalah keperawatan pasien atau dengan kata lain tujuan tersebut tercapai atau
tidak. Evaluasi ini sangat penting karena manakala setelah dievaluasi ternyata tujuan tidak
tercapai sebagian, maka harus reassessment kembali kenapa tujuan tidak tercapai
(Purwanto, 2016) menggunakan metode SOAP (subyektif, obyektif, planning).
DAFTAR PUSTAKA

Anjaswati Buana, R. (2019). Deskripsi Pengetahuan Klien Fracture tentang perawatan selama
penyembuhan di Poli Bedah. 10(1)

Brunner dan Suddarth, 2012, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta

Engram Barbara, 2001. Rencana Asuhan Keperawatan Bedah Volume 2. EGC

Ignatavicius, D. D. 2010. Medical – Surgical Nursing : Clients- Centered Colaborative Care.


Sixth Edition, 1 & 2. Missouri : Saunders Elsevier
Mansjoer (2000) & Muttaqin (2008). Penatalaksanaan keperawatan. Jakarta : EGC

Muttaqin, Arif (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Muskuloskaletal. Jakarta : EGC
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Defisit dan Kriteria Hasil Keperawatan,
Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
Smeltzer Suzanne, C. 2012. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta : EGC

Yasmara Deni. (2016). Rencana asuhan keperawatan medikal-bedah Diagnosis NANDA-1 2015-
2017 Intervensi NIC Hasil NOC. Editor: Nursiswati. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai