Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh:
Kelompok 7
WANI ( 0201171003 )
AKHWAL SYAKHSIYYAH
MEDAN 2020
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan pertolongannya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan sesuai waktu yang ditentukan. Tak lupa pula
sholawat dan salam penulis sanjungkan kepada baginda Rasulullah SAW yang telah
membawa kita ke zaman yang penuh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini.
Penulisan makalah ini dibuat adalah sebagai media pembelajaran pada mata kuliah
“Qawaid Fiqhiyyah fil Munakahat” yang di bimbing oleh “Bapak Dr. M. Amar Adly, Lc.
MA.” dalam rangka memenuhi tugas diperguruan tinggi yang berkaitan dengan bahan
pembelajaran.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan kata atau kalimat dan tata letak dalam
makalah ini tentunya banyak sekali kekurangan dan kekhilafan, baik kata atau kalimat dan
tata letak Untuk kebaikan dan sempurnanya makalah ini, kritik dan saran yang membangun
sangat diharapkan. Dan akhirnya semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, penyusun dan
mahasiswa.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A. Latar Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah................................................................................................... 1
C. Tujuan .................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 2
A. الضابط األوال............................................................................................................... 2
B. الضابط الثاني............................................................................................................... 3
C. Hukum Li’an........................................................................................................... 4
A. Kesimpulan............................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat
yang terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedangkan, menurut istilah syar’i, li’an ialah
sumpah yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir
dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang istri pun bersumpah bahwa
tuduhan suaminya terhadap dirinya itu adalah bohong atau li’an adalah suami menuduh
istrinya berzinah dengan berkata kepadanya, “Aku melihatmu berzina”, atau ia tidak mengakui
bayi yang di kandungan istrinya berasal dari nya, kemudian kasusnya dibawa ke hakim.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Makna dari kaedah pertama tentang Li’an?
2. Apa Makna kaedah kedua tentang Li’an?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Makna kaedah pertama tentang Li’an.
2. Untuk mengetahui makna kaedah kedua tentang Li’an.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kaedah Peratama
Artinya:” asalnya bahwa li’an disisi kami adalah kesaksian yang menguatkan dengan sumpah
yang di hubungkan dengan melaknat dan marah, seseorang pada posisi had menuduh
berzina (alqazfu) pada haqnya, dan seseorang pada posisi had berzina pada haq
nya.”
1. Makna kaedah
Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat
yang terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedangkan, menurut istilah syar’i, li’an ialah
sumpah yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir
dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang istri pun bersumpah bahwa
tuduhan suaminya terhadap dirinya itu adalah bohong atau li’an adalah suami menuduh
istrinya berzinah dengan berkata kepadanya, “Aku melihatmu berzina”, atau ia tidak mengakui
bayi yang di kandungan istrinya berasal dari nya, kemudian kasusnya dibawa ke hakim.
Jika istrinya mengaku bahwa ia telah berzina, maka ia dijatuhkan hukuman had, akan
tetapi jika ia tidak mengakuinya, maka ia bersaksi sebanyak empat kali dan berkata, “Aku
bersaksi dengan menyebut nama allah bahwa suamiku tidak melihatku berzina”, atau “janin
yang ada di dalam rahimku berasal dari nya.” Lalu berkata, “Kemurkaan allah untuk jika
2
suamiku termasuk orang-orang yang benar. “selanjutnya hakim memisahkan keduanya dan
keduanya tidak boleh rujuk kembali untuk selama-lamanya.1
B. Kaedah kedua
فإن كان القذف صحيحا حد, فيه أن اللعان إذا سقط لمعنى من جهتهyاألصل:الضابط الثاني,
ولو سقط من جهتها فهو كاألول, ولو سقط من جهتها فال حد وال لعان,وإال فال حد وال لعان
Artinya: “asalnya bahwa li’an apabila gugur bagi maksud dari perkaranya (suami),
maka jika adalah menuduh berzina (alqazfu) benar maka dihukum had (had zina), dan jika
tidak benar maka tidak ada had dan tidak ada li’an, dan jikalau gugur bagi maksud dari
perkaranya (istri) maka tidak ada haq dan tidak ada li’an, jikalau gugur dari kedua
perkaranya maka dia seperti pendapat yang pertama.”
1. Apabila suami menuduh istrinya berzina, misalnya dengan kata-kata “engkau telah
melakukan perzinahan” atau "aku melihamu berzinah” , sedangkan ia tidak mempunyai
bukti empat orang saksi. Maka harus dilakukan li’an.
2. Apabila suami tidak mengakui anak yang dikandungan istrinya sebagai darah daging
nya (muhamad Ali As-sabuni,t.t. II,84-86).
Ada dua pendapat dikalangan para fuqaha’ apabila salah seorang dari suami istri
menolak untuk berli’an. Apakah harus dijatuhi hukuman hadd atau tidak?
1. Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad berpendapat: Apabila suami menolak untuk berli’an
maka ia dijatuhi hukuman dera, yakni hukuman qazaf (80 kali dera). Sedangkan apabila
istri yang menolak berli’an maka ia dijatuhi hukuman rajam.
1
Abu Bakar, Minhajul Muslim,( Madinah : PT MSP,2014), h. 987
3
2. Abu hanifah berpendapat jika salah satu pihak dari suami istri menolak untuk berli’an,
maka dijatuhi hukuman penjara sampai mencabut tuduhnya (bagi suami) untuk
selanjutnya dijatuhi hukuman dera. Atau mengakui dirinya berbuat zina (bagi istri)
untuk mendapatkan hukuman rajam (As-Sabuni, t.t.II, 84-86).2
C. Hukum Li’an
ٍ م َولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ْم ُشهَدَا ُء ِإاَّل َأ ْنفُ ُسهُ ْم فَ َشهَا َدةُ َأ َح ِد ِه ْم َأرْ بَ ُع َشهَادَاyَُْوالَّ ِذينَ يَرْ ُمونَ َأ ْز َوا َجه
ُت بِاهَّلل ِ ۙ ِإنَّه
َلَ ِمنَ الصَّا ِدقِين
(7) ,ْالخا ِم َسةُ َو ْالكا ِذبينَ ِمنَ كانَ َأ َّن َعلَ ْي ِه هللاِ لَ ْعنَةَ َأ َّن
Atinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah
empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-
orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah
atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS An-Nuur: 6-9).
Juga berdasarkan li’an yang diberlakukan oleh rasulullah kepada uwaimir al-ajlani dan
istrinya serta terhadap hilal bin umayyah dan istrinya, dimana rasulullah bersabda
2
. Hendra Muhadi, Aspek-Aspek Maqasid Asy-syari’ah Dalam Penepatan Alasan-alasan Perceraian,
(Yogyakarta, Stileto Indie Book, 2019), h. 31-32
4
D. Contoh Kaidah
ِوْ ِل هللاy ِدهَا فِي زَ َم ِن َر ُسyَ َوا ْنتَفَى ِم ْن َول،ُا (( َأ َّن َر ُجالً َر َمى ا ْم َرَأتِةyyع َْن َع ْب ِد هللاِ ْب ِن ُع َم َر رضي هللا عنهم
ثُ َّم،الy َ yَا قyy َك َم،اyyَ فَتَالَ َعنyلمyyه وسyلى هللا عليyy فََأ َم َرهُ َما َرسُوْ َل هللاِ صyصل هللا َعلَيْه وسلم
َ yال هللا تَ َعy
ق ٌ yَ ُمتَّف.ُهyر ىء م ْنy َ y َأ ْن َك: ِدهَاyَ َوا ْنتَفَى ِم ْن َول.))ق بَ ْينَ ْال ُمتَال ِعنَي ِْن
ِ yَرهُ َوبy yَ َّرyَ َوف,رْ َأ ِةyy بِالَ َولِ ِد لِل َمyضى
َ َق
َعلَ ْي ِه.
Artinya: Dari Abdullah bin umar r.a, bahwa ada seorang laki-laki yang menuduh istrinya dan
tidak mengakui anaknya pada zaman Rasulullah Saw. Memerintahkan keduannya
untuk saling melakukan Li’an sebagaimana yang difirmankan oleh allah. Kemudian
beliau memutuskan bahwa anak bagi wanita dan beliau menceraikan diantara yang
saling melakukan Li’an. (HR. Bukhari-Muslim)
1. Suami istri harus baligh dan berakal, karena orang gila dan anak kecil tidak terkena
taklif (beban kewajiban).
2. Suami harus bersaksi, bahwa ia melihat istrinya berzina atau menolak janin yang di
kandungan istrinya, dan ia harus bersaksi bahwa ia tidak menggauli istri nya sama
sekali, atau ia tidak menggaulinya selama jangka waktu yang menyebabkan kehamilan,
misalnya ia mengaku menggauli istrinya kurang dari enam bulan. Jika suami tidak mau
bersaksi dan tidak dapat mendatangkan bukti-bukti yang kuat yang membenarkan
tuduhannya, maka li’an tidak dapat diberlakukan, karena li’an tidak dapat diperlakukan
hanya berdasarkan dugaan atau tuduhan. Jika memperlakukan li’an itu hanya
berdasarkan tuduhan, maka dipandang lebih baik jika suami menalak istrinya, sehingga
ia terbebas dari tekanan psikologis serta kesedihan hati yang berkepanjangan.
3. Hakim harus melangsungkan li’an di hadapan sejumlah orang dari kaum muslimin dan
menggunakan kalimat yang telah disebutkan di dalam Al-qur’an.
4. Hakim harus menasehati suami yang bermaksud meli’an istrinya dengan membacakan
kepadanya hadist-hadist rasulullah.
5. Hakim harus memisahkan pasangan suami istri yang telah melakukan li’an dan
keduanya tidak boleh bersatu lagi selama-lamanya. Berdasarkan sabda rasulullah
5
“jika suami istri saling melaknat telah berpisah, maka keduanya tidak boleh bersatu lagi
selama-lamanya”.
6. Anak yang dili’an dan suami yang meli’an istrinya tidak saling mewarisi dan suami
tersebut tidak berkewajiban menafkahi nya. Tetapi bagi sikap hati-hati hendaklah anak
tersebut diperlakukan seperti anaknya sendiri, dimana suami tersebut tidak boleh
memberikan zakat kepadanya, ketentuan hukum mahram diberlakukan antara anak
tersebut dengan anak-anaknya yang lain, ketentuan qishash tidak diberlakukan diantara
keduanya dan masing-masing dari keduanya tidak boleh menjadi saksi satu sama
lainnya.Anak tersebut dinisabkan kepada ibunya. Jadi ibunya berhak menjadi ahli
warisnya dan anak tersebut juga berhak menjadi ahli waris ibunya, karena rasulullah
memutuskan tentang anak suami istri yang telah melakukan li’an bahwa anak tersebut
berhak menjadi ahli waris ibunya serta ibunya berhak menjadi ahli warisnya
7. Jika setelah dilakukan li’an, suami mengaku dirinya berdusta, maka anak yang tadi nya
tidak diakuinya dinasabkan kepadanya.3
3
Ibid, h. 989-991
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat
yang terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedangkan, menurut istilah syar’i, li’an ialah
sumpah yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir
dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang istri pun bersumpah bahwa
tuduhan suaminya terhadap dirinya itu adalah bohong atau li’an adalah suami menuduh
istrinya berzinah dengan berkata kepadanya, “Aku melihatmu berzina”, atau ia tidak mengakui
bayi yang di kandungan istrinya berasal dari nya, kemudian kasusnya dibawa ke hakim.
Di hadapan hakim, suami di minta supaya mendatangkan bukti-bukti yang menguatkan
tuduhanya, yaitu empat orang saksi yang bersaksi bahwa mereka melihat istrinya berzina. Jika
suami tidak dapat mendatangkannya, maka hakim memberlakukan li’an kepada keduanya.
Dimana suami bersaksi sebanyak empat kali dan berkata “ Aku bersaksi dengan menyebut
nama allah bahwa aku melihat istriku telah berzina” atau “janin yang dikandungnya itu bukan
lah berasal dariku.” Lalu berkata, “Laknat allah jatuh pada ku jika aku termasuk orang-orang
yang berdusta.”
7
DAFTAR PUSTAKA