Anda di halaman 1dari 15

ISLAM DAN PENERAPAN IPTEKS : FIKIH LINGKUNGAN

Al- Islam dan Kemuhammadiyahan IV (Islam & Ilmu Pengetahuan)

Dosen Pengampu :

Anisatu Thouuibah, S. Hum, M. Hum

Disusun Oleh :

Akmal Rizqi (202010340311052)

PRODI TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadiarat Allah SWT yang mana telah melimpahkan
rahma dan segala bentuk kenikmatan kepada kita semua. Makalah ini merupakan bentuk
komitmen dan penyempurnaan nilai-nilai kia sebagai mahasiswa. Universitas Muhammadiyah
Malang dalam mata kuliah Al-Islam dan Kemuhammadiyahan IV yang berjudul “Islam dan
Penerapan IPTEKS : Fiqih Lingkungan” dalam rangka memenuhi tugas ibadah mata kuliah Al-
Islam dan Kemuhammadiyahan IV dengan baik dan sesuai dengan tenggat yang telah ditentukan.

Terima kasih pula penulis ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan IV kelas A, Anisatu Thouuibah, S. Hum, M. Hum yang telah
meamanahkan tugas kepada kelompok 11, sehingga dapat kami kerjakan dengan sebaik-baiknya.

Pada makalah ini, dijelaskan tentang pengertian fikih lingkungan dan urgensinya,
pandangan islam dan islam agama yang ramah lingkungan, islam dan pemeliharaan lingkungan
(perspektif etika), dan konsep islam dalam pemeliharaan lingkungan. Menginat pentingnya kita
sebagai umat muslim untuk mengerti pentingnya mengetahui apa itu fikih lingkungan sehingga
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari menurut sumber-sumber yang terpercaya seperti
Al-Quran dan Hadist-hadist.

Namun, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini baik dari segi konten maupun susunan penulisan. Oleh karena itu, penulis akan
sangat menghargai kritik dan saran yang membangun dari dosen pengampu maupun pembaca.
Akhir kata, besar harapan penulis agar laporan yang telah dibuat ini dapat bermafaa bagi para
pembaca.

6 Juni 2023
Akmal Rizqi

DAFTAR ISI

BAB 1...........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN............................................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................5
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................6
2.1 Pengertian Fiqih Difabel dan Urgensinya.....................................................................................6
2.1.1 Pengertian Fiqih Difabel.......................................................................................................6
2.1.2 Urgensi.................................................................................................................................6
2.2 Pandangan Islam tentang Difabel dan Kebijakan Umum Tentang Difabel....................................7
2.2.1 Pandangan Islam tenang Difabel..........................................................................................7
2.2.2 Kebijakan Umum tentang Difabel........................................................................................8
2.3 Ibadah Berprespektif Difabel.......................................................................................................9
2.4 Muamalah Berprespektif Difabel...............................................................................................13
BAB III........................................................................................................................................................14
PENUTUP...................................................................................................................................................14
3.1 Kesimpulan................................................................................................................................14
3.2 Saran..........................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................................15
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyandang disabilitas (difabel) di Indonesia masih sangat rentan dan


dipandang kurang (belum/tidak) terfasilitasi dengan baik, bahkan mendapatkan
perlakuan yang diskriminatif, marginalisasi dan dianggap merepotkan (mengganggu)
di ruang publik, karena kondisi disabilitas dianggap tidak ada kemampuan untuk
berpartisipasi di tengah-tengah masyarakat. Penyandang disabilitas dalam aktifitasnya
mengalami problem, kendala dan hambatan dalam mengakses layanan publik, akses
layanan pendidikan, layanan kesehatan, ketenagakerjaan dan fasilitas lainya.
Disabilitas seharusnya tidak terjadi hambatan, halangan dan problem bagi
penyandangnya, justru untuk memperoleh hak hidup (huququl insan) dan hak
mempertahankan kehidupanya. Landasan konstitusional perlindungan penyandang
disabilitas (difabel) di Indonesia dapat dilihat UUD 1945 Bab X-A tentang Hak Asasi
Manusia (HAM) pasal 28 A, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper-
tahankan hidup dan kehidupanya“. Landasan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang “Penyandang Disabilitas (difabel) menjamin hak setiap penyandang
disabilitas mempunyai kedudukan hukum dan hak asasi yang sama untuk hidup, maju
dan berkembang secara adil dan bermatabat.

Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan


fisik, intelektual, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi
dengan lingkungan mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara
penuh dan efektif dengan warga negara lainya berdasarkan kesamaan hak” Setiap
tanggal 3 Desember (setiap tahun) diperingati sebagai Hari Penyandang Disabilitas
(difabel) Internasional, sebuah peringatan yang dirintis PBB sejak tahun 1992. Dalam
kehidupan beragama, kekurangan akses dan fasilitas yang memadahi serta tidak ada
fasilitas yang berpihak pada penyandang disabilitas menjadi dasar perlunya kajian ini.
Dalam fiqh Islam penyandang disabilitas perlu adanya ruang publik dan fasilitas yang
ramah dalam beribadah dan mendalami agama. Di tempat-tempat ibadah, sekolah,
pondok pesantren perlu disediakan fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas,
fasilitas jalan, toilet, tempat wudhu’ MCK, WC, mandi, tempat ibadah, lainya. karena
dilihat dari kondisi penyandang disabilitas kurang diperhatikan hak-haknya, terutama
dalam menjalankan syariat (hukum Islam) bagi yang beragama Islam.

Oleh karena itu, disabilitas adalah fenomena yang kompleks dan dipengaruhi
oleh interaksi antara ciri-ciri fisik atau mental seseorang dan lingkungan sosial dan
budaya tempat orang tersebut tinggal. Penyandang cacat atau difabel merujuk pada
individu yang memiliki kekurangan fisik dan/atau mental yang menghalangi atau
mengganggu kemampuannya untuk melakukan tugas-tugas atau aktivitas dengan
benar dan efektif. Hal ini dapat meliputi berbagai jenis hambatan atau rintangan, dan
menyebabkan kesulitan dalam partisipasi dan integrasi sosial. mereka terbagi menjadi
tiga kategori, yaitu penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, dan
penyandang cacat fisik sekaligus mental.

1.2 Rumusan Masalah

 Apa pengertian fikih difabel dan urgensinya ?


 Bagaimana pandangan islam dan kebijakan umum tentang difabel ?
 Bagaimana ibadah berprespektif difabel ?
 Bagaimana muamalah berprespektif difabel ?

1.3 Tujuan

 Untuk mengetahui pengertian fikih difabel dan urgensinya.


 Untuk mengetahui pandangan islam dan kebijakan umum tentang difabel.
 Untuk mengetahui ibadah berprespektif difabel.
 Untuk mengetahui muamalah berprespektif difabel.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fiqih Difabel dan Urgensinya

2.1.1 Pengertian Fiqih Difabel

Fiqih difabel merupakan respon terhadap persoalan persoalan


sosial dan keagamaan yang dalam pelaksanaannya tidak selalu dilihat dari
segi hukum taklifh (halal-haram). Nilai-nilai universal islam, sebagaimana
kesetaraan, al-musawa (kesamaan hak), al-adalah (keadilan), al-hurriyah
(kebebasan) dan sejenisnya menjadi tolak ukur, dasar, dan landasan dalam
penguatan disabilitas dalam fiqih islam atas penghargaan dan
perlindugngan terhadap hal-hak penyandang disabilitas, sekaligus
menegaskan untuk menghindari sikap dan tindakan diskrimatif terhadap
penyandang disabilitas.

2.1.2 Urgensi

Para penyandang disabilitas Muslim di Indonesia selain


menghadapi tantangan terkait fasilitas dan layanan umum yang tidak
ramah disabilitas, mereka juga dihadapkan pada persoalan tatacara 33
Disabilitas di Indonesia beribadah sesuai syariat Islam yang dipandang
belum mengakomodasi kondisi dan kebutuhan khusus mereka. Hal ini
tampak dalam berbagai pertanyaan, misalnya soal sah tidaknya ijab qabul
dalam bahasa isyarat bagi penyandang disabilitas rungu-wicara baik dalam
prosesi pernikahan maupun proses jual beli atau bagaimana hukum
membuka al-Qur’an dengan kaki bagi penyandang disabilitas yang tidak
memiliki tangan. Selain itu muncul pula persoalan tentang bagaimana
hukum transaksi jual beli penyandang disabilitas netra menurut fiqih dan
berbagai macam persoalan lain yang terkait dengan permasalahan ibadah.
Sementara itu pada wilayah sarana peribadatan, penyandang
disabilitas acapkali mendapati kenyataan bahwa tempat atau fasilitas
ibadah yang tidak aksesibel. Infrastruktur masjid banyak yang tidak ramah
pada mereka; undakan tinggi, tempat wudu berkolam, lantai licin, trotoar
tanpa guiding block di sekitar masjid, dan lainnya. Di luar permasalahan
infrastruktur, seringkali mereka dihadapkan pada khotbah Jum’at tanpa
running text atau penerjemah bahasa isyarat. Di situ perintah anshitu
terlaksana bagi mereka penyandang disabilitas rungu, tapi tidak wasma’u
untuk memastikan ketersampaikan isi khotbah sebagai salah satu syarat
sah salat Jum’at.

2.2 Pandangan Islam tentang Difabel dan Kebijakan Umum Tentang Difabel

2.2.1 Pandangan Islam tenang Difabel

Pada dasarnya semua manusia diciptakan Allah Swt fi ahsan


taqwim (dalam bentuk sempurna). Manusia adalah karya agung
(masterpiece) Allah. Beda dengan makluk lain, Allah menyediakan akal
budi dalam diri manusia agar ia sebagai khalifah-Nya bisa mengemban
amanah membangun peradaban di bumi. Namun, Allah Swt menciptakan
manusia tak seragam. Setiap manusia yang hadir ke bumi adalah unik.
Yang satu bukan foto copy dari yang lain. Manusia lahir membawa
kelebihan dan keterbatasan masing-masing Secara fisik-jasmani, rangka
manusia hakekatnya sama. Yang berbeda adalah bentuk dan
kemampuannya. Ada hikmah dan rahasia yang kita tidak tahu di balik
penciptaan manusia yang berbeda-beda bentuk fisiknya itu. Tak hanya
berbeda secara fisik-jasmani, secara intelektual, kemampuan manusia juga
berbeda. Yang satu unggul pada satu bidang, tapi lemah pada bidang lain.
Dalam literatur fikih ditemukan beberapa istilah yang menjelaskan
macam-macam penyandang disabilitas atau difabel, seperti syalal
(kelumpuhan) yaitu kerusakan atau ketidak-berfungsian organ tubuh, al-
a’ma (difabel netra), al-a’raj (difabel daksa kaki), dan al-aqtha’ (difabel
daksa tangan). Imam Ibnu al-Shalah juga membuka peluang bagi tuna
netra dan tuna wicara yang memenuhi persyaratan akademik-intelektual
untuk menjadi seorang mufti. Menurut Ibn al-Shalah, orang tuna wicara
bisa berfatwa dengan bahasa isyarat yang bisa dipahami, sementara tuna
netra bisa berfatwa dengan bahasa tulisan.4 Ini menunjukkan bahwa orang
tuna netra dan tuna wicara bisa mencapai derajat inetelektual sebagaimana
yang lain.
Terlebih mereka menyandang disabilitas bukan atas kehendaknya
melainkan sebagai karunia Allah. Karena itu, dalam perspektif Islam,
menghargai penyandang disabilitas adalah menghargai ciptaan Allah.
Mereka punya hak untuk dihormati, dihargai. Artinya, seperti manusia
lain, penyandang disabilitas. Islam mengajarkan dan menempatkan
manusia pada posisi yang sangat tinggi. Bahkan dalam al-Qur’an
menjamin adanya hak pemuliaan dan pengutamaan manusia. Firman Allah
Swt.:

‫ت َوفَض َّْل ٰنهُ ْم ع َٰلى َكثِي ٍْر ِّم َّم ْن خَ لَ ْقنَا‬


ِ ‫َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِ ْٓي ٰا َد َم َو َح َم ْل ٰنهُ ْم فِى ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر َو َر َز ْق ٰنهُ ْم ِّمنَ الطَّي ِّٰب‬
ِ ‫تَ ْف‬
‫ض ْياًل‬
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan
Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki
dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk
yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (Q.S. AL-
Isra’:70)

2.2.2 Kebijakan Umum tentang Difabel


Penyandang disabilitas merupakan bagian dari masyarakat
Indonesia yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, serta peran yang
sama dengan masyarakat Indonesia lainnya dalam kehidupan dan
penghidupannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kebijakan
pemerintah yang memperhatikan dan mewadahi tentang hak penyandang
disabilitas dalam kegitan kehidupannya dalam masyarakat.
Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan untuk pemenuhan
hak kaum difabel antara lain dalam hal :
 Pendidikan : pemerintah membuat kebijakan dengan
membuat undang-undang tentang hak pendidikan bagi
difabel yaitu undang-undang no.39 tahun 1999 tentang hak
asasi manusia yang berbunyi bahwa “setiap warga negara
yang berusia lanjut, cacat fisik, dan atau mental berhak
memperoleh perawaan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan
khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang
layak sesau dengan martabat kemanusiaannya,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara”.
 Pekerjaan : pemerintah sudh menerbitkan UU tentang
difabel No. 4 Tahun 1997, khusus mengenai aksesbilitas
kerja, UU ini menentukan bahwa perusahaan negara dan
swasta memberi kesempatan kepada difabel untuk bekerja.
Hal ini tertuang dalam pasal 14 UU difabel bawha sebuah
perusahaan harus memperkejakan sekurang-kurangnya 1
orang difabel untuk tiap 100 karyawan.

2.3 Ibadah Berprespektif Difabel

Islam memandang semua manusia adalah setara. Hal yang membedakan


antarmanusia adalah tingkat ketakwaan, tidak terkecuali bagi para penyandang
disabilitas. Mereka berhak mendapat perlakuan manusiawi dan layanan fasilitas,
terutama fasilitas beribadah. Hal ini dapat secara jelas disampaikan oleh Allah
SWT dalam Surat An-Nur ayat 61:
۟ ُ‫س ُك ْم َأن تَْأ ُكل‬ ِ ُ‫ض َح َر ٌج َواَل َعلَ ٰ ٓى َأنف‬
‫وا ِم ۢن بُيُوتِ ُك ْم‬ ِ ‫ج َح َر ٌج َواَل َعلَى ٱ ْل َم ِري‬ ِ ‫س َعلَى ٱَأْل ْع َم ٰى َح َر ٌج َواَل َعلَى ٱَأْل ْع َر‬ َ ‫لَّ ْي‬
‫ت َع ٰ َّمتِ ُك ْم َأ ْو‬ ِ ‫ت َأ ْع ٰ َم ِم ُك ْم َأ ْو بُيُو‬ ِ ‫ت َأ َخ ٰ َوتِ ُك ْم َأ ْو بُيُو‬ ِ ‫ت ُأ َّم ٰ َهتِ ُك ْم َأ ْو بُيُو‬
ِ ‫ت ِإ ْخ ٰ َونِ ُك ْم َأ ْو بُيُو‬ ِ ‫ت َءابَٓاِئ ُك ْم َأ ْو بُيُو‬ ِ ‫َأ ْو بُيُو‬
ۚ ‫شتَاتًا‬ْ ‫وا َج ِمي ًعا َأ ْو َأ‬ ۟ ُ‫اح َأن تَْأ ُكل‬ ٌ َ‫س َعلَ ْي ُك ْم ُجن‬ َ ‫ت ٰ َخ ٰلَتِ ُك ْم َأ ْو َما َملَ ْكتُم َّمفَاتِ َح ٓۥهُ َأ ْو‬
َ ‫ص ِديقِ ُك ْم ۚ لَ ْي‬ ِ ‫ت َأ ْخ ٰ َولِ ُك ْم َأ ْو بُيُو‬
ِ ‫بُيُو‬
ٰ ۟ ‫سلِّ ُم‬
َ‫ت لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْعقِلُون‬ ِ َ‫طيِّبَةً ۚ َك َذلِ َك يُبَيِّنُ ٱهَّلل ُ لَ ُك ُم ٱ ْل َءا ٰي‬
َ ً‫س ُك ْم تَ ِحيَّةً ِّمنْ ِعن ِد ٱهَّلل ِ ُم ٰبَ َر َكة‬ِ ُ‫وا َعلَ ٰ ٓى َأنف‬ َ ‫َفِإ َذا د ََخ ْلتُم بُيُوتًا َف‬

“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak
(pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-
sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-
ibumu, dirumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang
perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu
yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu
yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-
kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau
sendirian. Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini)
hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi
salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi
berkat lagi baik. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar
kamu memahaminya.”

Ayat di atas secara eksplisit menegaskan kesetaraan sosial antara


penyandang disabilitas dan mereka yang bukan penyandang disabilitas. Mereka
harus diperlakukan sama dan diterima dengan tulus, tanpa diskriminasi, serta tanpa
stigma negatif dalam kehidupan sosial

 Cara Bersuci Bagi Orang Disabilitas


Dalam masalah thaharah (bersuci), baik mandi atau wudlu, sebenarnya
tata caranya sama. Tetapi terdapat beberapa tuntunan bagi penyandang disabilitas
netra, mengingat mereka tak bisa mengetahui dengan pasti tentang najis tidaknya
air yang bisa digunakan untuk bersesuci.Di antaranya adalah; Apabila penyandang
disabilitas netra akan menggunakan air lalu ada yang memberitahukannya bahwa
air itu sudah najis, maka ia harus menerima pemberitahuan tersebut dengan syarat
ada penjelasan sebab najisnya dan tidak berijtihad sendiri. Ini adalah pendapat
mayoritas Ulama Apabila ada dua bejana (wadah air), salah satunya najis dan
yang lainnya suci, lalu orang penyandang disabilitas netra tersebut bingung
menentukan mana yang najis, padahal dia akan shalat. Jika demikian, maka ia
diperbolehkan berijtihâd dan bersuci berdasarkan dugaan kuatnya (ghalabatuzh-
zhan) dengan cara memaksimalkan indra lain yang masih berfungsi. Inilah
pendapat yang rajih dari tiga pendapat para Ulama. Pendapat ini adalah pendapat
madzhab Hanafiyah dan Syâfi’iyah. Apabila orang disabilitas netra bingung
memilih pakaian yang akan dikenakannya antara yang suci dan yang najis, maka
ia berijtihâd dan berusaha semampunya untuk memilih lalu shalat dengan pakaian
yang dianggapnya suci.

Adapun cara kedua ialah dengan membasuh anggota wudu yang masih
tersisa (jika yang tersisa di atas siku, maka sunah membasuh di atasnya). Tapi jika
kondisi tidak memungkinkan untuk melakukannya sendiri, maka mencari orang
untuk mewuduinya, baik secara gratis ataupun harus membayar. Sedangkan
apabila belum menemukan orang yang bisa membantunya berwudu ataupun tidak
punya uang untuk membayar mereka, maka boleh shalat dengan tanpa wudu
tetapi harus mengulangi lagi shalat tersebut apabila sudah memungkinkan
berwudu. Sedangkan perihal orang yang tangan hingga sikunya tidak ada, maka ia
tidak wajib lagi membasuh sisa tangannya tersebut. Dengan kata lain, dia bisa
langsung beralih ke anggota wudu

 Shalat Bagi Orang Disabilitas


Sebagian orang disabilitas pasti menggunakan kursi roda atau tongkat
dalam sehari-harinya. Untuk soal shalat di kursi roda yang sedemikian, hukumnya
diperbolehkan dan shalatnya sah, akan tetapi dengan syarat tidak menggenggam
kursi roda tersebut dan dipastikan kursinya tidak ikut bergerak sebab pergerakan
orang tersebut (misalnya di-hand-rem). Jadi kursi roda tersebut berfungsi sama
seperti kursi pada umumnya yang tidak ikut bergerak dengan pergerakan orang di
atasnya. Hal seperti ini tak mempengaruhi keabsahan shalat orang yang
mendudukinya meskipun bagian bawah kursi itu najis. Adapun persoalan
menggenggam tongkat seperti tersebut di atas, dalam Madzhab Syafi’iyyah
sebenarnya hukumnya tidak boleh sebab dianggap shalat dengan membawa najis.
Akan tetapi, hal itu diperbolehkan mengikuti Madzhab Hanbali yang
memperbolehkan dan mengesahkan shalat dalam keadaan membawa barang najis.
Akomodasi fikih kebutuhan khusus kalangan difabel dapat dilihat dalam
tabel berikut :

Ibadah Jenis Disabilitas Jenis Dispensasi Fiqih


Thoharoh Lumpuh Jika tidak ada yang
membawakan air, cukup
dengan tayamum.
Shalat Tidak mampu berdiri, Berbaring atau
hilang akal. mengerjakan
semampunya.
Shalat jumat Buta, lumpuh, dan Tidak wajib jumatan,
kondisi lainnya tetapi shalat dhuhur di
rumah, berdasarkan
kaida hifzu adami afdal
min hifzu al-Jamaah.
Puasa Sakit permanen yang Membayar denda dan
tidak memungkinkan jika ia masih mampu
puasa untuk melaksanakan
ibadah puasa, wajib
untuk mengikuti puasa.
Haji Sakit yang Tidak perlu pergi sendiri
mengahalinginya pergi dan kalau scara ekonomi
haji mampu, maka ia wajib
membayar orang untuk
mewakilinya
Zakat Penyandang disabilitas wajib
dan prang yang sakit jiwa

2.4 Muamalah Berprespektif Difabel

 Hifzh al-din: memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk memelihara agama
dan keyakinannya (al-din). Sementara itu Islam juga menjamin sepenuhnya atas
identitas (kelompok) agama yang bersifat lintas etnis, oleh karena itu Islam menjamin
kebebasan beragama, dan larangan adanya pemaksaan agama yang satu dengan
agama lainnya
 Hifzh al-nafs wa al-’irdh: memberikan jaminan hak atas setiap jiwa (nyawa) manusia,
untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menuntut adanya
keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar (hak atas penghidupan) pekerjaan, hak
kemerdekaan, dan keselamatan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.
 Hifzh al-‘aql: adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan
mimbar, kebebasan mengeluarkan opini, melakukan penelitian dan berbagai aktivitas
ilmiah. Dalam hal ini Islam melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk
penyiksaan (represi), penggunaan ekstasi, minuman keras dan lain-lain.
 Hifzh al-nasl: merupakan jaminan atas kehidupan privasi setiap individu,
perlindungan atas profesi (pekerjaan), jaminan masa depan keturunan dan generasi
penerus yang lebih baik dan berkualitas. Free sex, zina menurut syara’, adalah
perbuatan yang dilarang karena bertentangan dengan hifzh al-nasl.
 Hifzh al-mal: dimaksudkan sebagai jaminan atas pemilikan harta benda, properti dan
lain-lain. Dan larangan adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti
mencuri, korupsi, monopoli, oligopoli, monopsoni dan lain-lain
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas,


dan pembatasan partisipasi. Penyandang disabilitas itu tidak emmiliki strata sosial
yang rendah dengan manusia lain yang sehat, yang mana hal itu menunjukkan
perintah agar menyamakan perhatian terhadap seluruh umat manusia dengan tidak
membedakan status sosial dan juga menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang
tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik. Agama Islam kaya akan tuntunan hidup bagi
umatnya yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadist. Penyandang difabilitas di
Indonesia masih sangat rentan dipandang kurang terfalisitasi dengan baik. Oleh
karena itu, muncul fiqih difabel yang membahas tentang berbagai cara beribadah
berprespektif difabel.
Fiqih difabel itu ada tetapi masi samar-samar, karena belum keberpihakan
fiqih terhadap hak-hak disabilitas. Dengan demikian, fiqih disabilitas menjadi
tantangan bagi kaum muslimin termasuk masyarakat muslim Indonesia yang
masih belum atau “kurang” dalam memperhatikan konsep fiqih disabilitas.

3.2 Saran

Makalah ini tentunya masih banyak penyesuaian dalam penyusunan


kerangka berfikirnya. Maka dari itu, kritik dan saran sangar membantu untuk
membangundan memperbaiki makalah yang kami buat ini utnuk menjadi lebih
baik dan menjadi bagian yang dapat diterima di lingkungan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahannya.

Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Mayarakat, Pusat Studi Layanan Disabilitas


UNIBRAW. (20818). Fiqih Penguatan Penyandang
Disabilitas Lembaga Bahtasul Masail.

Ahmad Totonji dan Abdulaziz Sachedina. (2013). “Islam and Disability: Perspectives in
Theology and Jurisprudence,” Journal of Religion, Disability
& Health.

Anda mungkin juga menyukai