Anda di halaman 1dari 36

Program Dokter Internship Laporan Kasus

RSUD Kab. Muna April 2022

GLOMERULO NEFRITIS AKUT

Oleh : dr. Sitti Ismina Sartika Dewi, S.Ked


Pendamping Wahana: dr. La Ode Baynuddin
DPJP Kasus : dr. Gita Novalina, Sp.A, M.Sc.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN MUNA
RAHA
2022
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. RS
Umur : 17 tahun, 10 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
BB/TB masuk : 50 kg/168 cm
Agama : Islam
Alamat : Kel. Watonea
No. RM : 02 05 74
Tanggal masuk : 29 Januari 2022
B. Anamnesis
Keluhan utama : Bengkak pada kaki
Anamnesis Terpimpin : Seorang anak perempuan berusia 17 tahun diantar ibunya
ke IGD dengan keluhan bengkak pada kaki yang disadari sejak + 1 minggu
SMRS. Bengkak hilang timbul, muncul terutama setelah beraktivitas. Saat bangun
tidur pasien mengalami bengkak pada wajah, terutama pada kelopak mata dan
menghilang saat siang hari. Sebelum ke rumah sakit, tekanan darah pasien
mencapai 140/70mmHg. Keluhan lain: demam (-) mual (-), muntah (-), nyeri
perut kiri dan kanan (+). BAB (+) keras, bercampur darah segar sejak 2 hari
terakhir, keluhan sudah sering berulang sejak 3 tahun lalu. BAK (+) kuning jernih
kadang berbusa. Pasien makan 3 kali sehari, jarang makan sayur dan buah, dan
kurang minum air, hanya minum pada saat makan 1-2 gelas.
 Riwayat penyakit: nyeri menelan 2 minggu lalu disertai demam dan
pembengkakan kelenjar pada leher, sembuh setelah berobat ke dokter umum.
 Riwayat keluarga dengan keluhan serupa: (-).
 Riwayat imunisasi dasar: lengkap
 Riwayat tumbuh kembang: baik, sesuai dengan anak seusianya.
C. Pemeriksaan Fisik
Jenis kelamin : Perempuan Umur : 17 tahun 10 bulan
Antropometri : BB : 50 kg
PB : 168 cm
Status gizi: Baik
Tanda Vital : TD : 140/70mmHg P : 24x/menit
N : 82x/menit S : 36,50 C

KU : Sakit Berat
Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
Kegawatdaruratan: Pucat (-) Ikterus (-)
Sianosis (-) Turgor (Baik)
Tonus (Baik) Edema (+) palpebra dan pretibial

Kepala : Normocephal, ubun-ubun tertutup


Muka : Tampak sembab, edema palpebra (+)
Rambut : Hitam, tidak mudah tercabut
Ubun-ubun: Tertutup
Telinga : Otorhea (-), perdarahan (-)
Mata : Pupil isokor, RCL (+/+), RCTL (+/+), Refleks kornea (+/+) kesan
normal, Konjungtiva anemis (+/+)
Hidung : Rinorhea (-), cuping hidung (-)
Bibir : Kering (-), pucat (-), sianosis (-)
Lidah : Kotor (-)
Mulut : Stomatitis (-)
Tenggorokan : Hiperemis (-)
Tonsil : T1/T1, Hiperemis (-)
Leher : Kaku kuduk (-), Burdzinsky 1 dan 2 (-)
Pembesaran KGB (-)
Paru :
PP : Simetris kiri dan kanan │ retraksi (-)
PR : Massa (-)│ krepitasi (-)
PK : Sonor kedua lapangan paru
Batas paru hepar ICS VI
Batas paru belakang kiri VTH XI
Batas paru belakang kanan VTH X
PD : BN : Bronkovesikuler
BT : Rhonki basah kasar +/+ │ Wheezing -/-
Jantung :
PP : Ictus cordis tidak tampak
PR : Ictus cordis tidak teraba
PK : Batas jantung kiri ICS V linea midclavicula sinistra
Batas jantung kanan ICS IV linea parasternal dextra
PD : BJ I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
Abdomen :
PP : supel, ikut gerak nafas
PD : peristaltik (+), kesan normal
PK : tympani (+), nyeri ketok CVA (+)
PR : NTE (+), NTA (+)

Limpa : Tidak teraba


Hepar : Tidak teraba
Kelenjar Limfe : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Anggota Gerak : Edema pretibial (+)
Kulit : Petekie (-/-)
Col. Vertebralis : spondilitis (-) skoliosis (-)
KPR : (+/+) kesan normal APR: (+/+) kesan normal
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin (29/01/2022)
Hasil Nilai Rujukan
WBC 15,00 x 103/uL 4,00 – 10,00
HGB 7,2 g/dL 12,0 – 16,0

Kimia Darah (29/01/2022)


Hasil Nilai Rujukan
Albumin 3,3 mg/dL 3,5 – 5
Kreatinin 0,8 mg/dL 0,7 – 1,2
Kolesterol 180 mg/dl < 200

Urine Lengkap (29/01/2022)


Hasil Nilai Rujukan
Makro
Warna Kuning Kuning
Jernih/keruh Keruh Jernih
Kimia
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
BJ 1,010 1,003 – 1,030
Darah Positif (++) Negatif
pH 6,0 6,0
Protein Positif (+++) Negatif
Urobilin Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Sedimen
Leukosit (++) /ul <5
Eritrosit (++) /ul <5
Epitel Sel (+++)

D. Anjuran Pemeriksaan
- Urine rutin evaluasi
- RO thoraks
- USG Abdomen
E. Resume
Seorang anak perempuan berusia 17 tahun dengan keluhan bengkak pada
kaki yang disadari sejak + 1 minggu SMRS. Bengkak hilang timbul, muncul
terutama setelah beraktivitas. Saat bangun tidur pasien mengalami bengkak pada
wajah, terutama pada kelopak mata dan menghilang saat siang hari. Sebelum ke
rumah sakit, tekanan darah pasien mencapai 140/70mmHg. Keluhan lain: nyeri
perut kiri dan kanan (+). BAB (+) keras, bercampur darah segar sejak 2 hari
terakhir, keluhan sudah sering berulang sejak 3 tahun lalu. BAK (+) kuning
jernih kadang berbusa. Pasien makan 3 kali sehari, jarang makan sayur dan buah,
dan kurang minum air, hanya minum pada saat makan 1-2 gelas. Riwayat
penyakit: nyeri menelan 2 minggu lalu disertai demam dan pembengkakan
kelenjar pada leher, sembuh setelah berobat ke dokter umum. Riwayat imunisasi
dasar: lengkap. Riwayat tumbuh kembang: baik, sesuai dengan anak seusianya.
Keadaan Umum: sakit berat, gizi baik, TD:140/70mmHg, P:24x/m, N:82x/m,
S:36,50 C, BB:50 kg, TB:168 cm, edema (+) palpebra dan pretibial, konjungtiva
anemis, NTA (+), NTE (+), nyeri ketok CVA (+)
Pada hasil pemeriksaan laboratorium (29/01/22) WBC : 15,00 x 10 3 u/L,
HGB : 7,2 g/dL, albumin 3,8. Urine berwarna kuning, keruh (+), darah (++),
protein (+++),leukosit (++), eritrosit (++), sel epitel (+++).
F. Diagnosis Kerja
GNAPS (glomerulonefritis akut pasca streptokokus)
DD:
- Sindrom Nefrotik
- Hematuria
G. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
- IVFD RL 20 tpm makro, mulai besok jam 9 pagi turun jadi 15 tpm
- Inj. Cefotaxim 1 gram/8 jam/iv (skin test)
- Inj. Gentamicin 80 mg/24 jam/iv
- Inj. Furosemid 20 mg/12 jam/iv (mulai besok jam 05.30)
- Paracetamol tab 500mg (4x1) kp nyeri/demam
2. Non Medikamentosa
- Tirah baring
- Diet sementara nasi lembek + sayur + buah
- Diit rendah garam dan cukup protein
- Minum 1 liter per hari

H. Follow Up
Tanggal Keluhan Intruksi Dokter
29/01/2022 S : demam (-), bengkak pada kedua kaki dan - IVFD RL 20 tpm makro
kelopak mata (+), pilek (-), nyeri pinggang - Inj. Cefotaxime 1 gr/12
kiri (+), BAK kuning jernih, sedikit berbusa, jam/IV
BAB dbn - Inj. Gentamicin
80mg/12jam/IV
O : KU: Sakit sedang - PCT tab 500 mg/6jam/oral
TD : 140/70 mmHg N: 82 x/menit (Jika nyeri/demam)
P: 24 x/menit S: 36,5o C - Inj. Furosemide
20mg/12j/IV
Kepala : Normochepal - Inj. Ranitidin
Mata : anemis +/+, edema palpebra (+) 50mg/12jam/IV
Bibir : sianosis -, kering - - Tirah baring
Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor (+/+) - Diet sementara nasi
COR: BJ I-II murni reguler lembek + sayur + buah
Pulmo: Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wz (-/-) - Diit rendah garam dan
Abdomen: supel, bising usus (+) kesan cukup protein
normal, NTE (+), NTA (+), timpani (+), - Minum 1 liter per hari
nyeri ketok CVA (+) - Periksa urine lengkap
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, - RO thoraks
edema pretibial (+/+) - USG abdomen

WBC : 15,00 x 103 u/L, HGB : 7,2 g/dL,


albumin 3,8mg/dl. Urine berwarna kuning,
keruh (+), darah (++), protein (++
+),leukosit (++), eritrosit (++), sel epitel (+
++).

A : Susp. GNAPS
30/01/2019 S : demam (-), bengkak pada kedua kaki dan - IVFD RL 15 tpm makro
kelopak mata (+), pilek (-), nyeri pinggang - Inj. Cefotaxime 1 gr/12
kiri (+), BAK kuning jernih, BAB dbn jam/IV
- Inj. Gentamicin
O : KU: Sakit sedang 80mg/12jam/IV
TD : 140/70 mmHg N: 93 x/menit - PCT tab 500 mg/6jam/oral
P: 22 x/menit S: 36,5o C (Jika nyeri/demam)
- Inj. Furosemide
Kepala : Normochepal 20mg/12j/IV
Mata : anemis +/+, edema palpebra (+/+) - Inj. Ranitidin
Bibir : sianosis -, kering - 50mg/12jam/IV
Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor (+/+) - Tirah baring
COR: BJ I-II murni reguler - Diet sementara nasi
Pulmo: Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wz (-/-) lembek + sayur + buah
Abdomen: supel, bising usus (+) kesan - Diit rendah garam dan
normal, NTE (+), NTA (+), timpani (+), cukup protein
nyeri ketok CVA (+) - Minum 1 liter per hari
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik,
edema pretibial (+/+)

A : Susp. GNAPS
31/01/2022 S : demam (-), bengkak pada kedua kaki (+), - IVFD RL 15 tpm makro
pusing (+), nyeri pinggang kiri (+), BAK - Inj. Cefotaxime 1 gr/12
kuning jernih, sedikit bebusa, BAB dbn jam/IV
- Inj. Gentamicin
O : KU: Sakit sedang 80mg/12jam/IV
TD : 140/70 mmHg N: 97 x/menit - Inj. Furosemide
P: 24 x/menit S: 36,5o C 20mg/12j/IV
BB sore: 47kg - Inj. Ranitidin
50mg/12jam/IV
Kepala : Normochepal - PCT tab 500 mg/6jam/oral
Mata : anemis +/+, edema palpebra (-/-) (Jika nyeri/demam)
Bibir : sianosis -, kering - - Captopril 12,5mg (1x1/2)
Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor (+/+) tab, 3 jam setelah inj.
COR: BJ I-II murni reguler furosemide
Pulmo: Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wz (-/-) - Tirah baring
Abdomen: supel, bising usus (+) kesan - Diet sementara nasi
normal, NTE (+), NTA (+), timpani (+), lembek + sayur + buah
nyeri ketok CVA (+) - Diit rendah garam dan
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, cukup protein
edema pretibial (+/+) - Minum 1 liter per hari
- Periksa urine rutin
Urine berwarna kuning, jernih, darah (-),
protein (+),leukosit (+), eritrosit (-), sel
epitel (+).

A : Susp. GNAPS
01/02/2022 S : demam (-), lemas (+), bengkak pada - IVFD RL 15 tpm makro
kedua kaki (-), pusing (-), nyeri pinggang kiri - Inj. Cefotaxime 1 gr/12
(+), BAK kuning jernih, BAB dbn jam/IV
- Inj. Gentamicin
O : KU: Sakit sedang 80mg/12jam/IV
TD : 130/80 mmHg N: 92 x/menit - Inj. Furosemide
P: 20 x/menit S: 36,5o C 20mg/12j/IV
BB: 46kg - Inj. Ranitidin
50mg/12jam/IV
Kepala : Normochepal - PCT tab 500 mg/6jam/oral
Mata : anemis +/+, edema palpebra (-/-) (Jika nyeri/demam)
Bibir : sianosis -, kering - - Captopril 12,5mg (1x1/2)
Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor (+/+) tab, 3 jam setelah inj.
COR: BJ I-II murni reguler furosemide
Pulmo: Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wz (-/-) - Tirah baring
Abdomen: supel, bising usus (+) kesan - Diet sementara nasi
normal, NTE (+), NTA (-), timpani (+), lembek + sayur + buah
nyeri ketok CVA (+) - Diit rendah garam dan
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, cukup protein
edema pretibial (-/-) - Minum 1 liter per hari

A : Susp. GNAPS
02/02/2022 S : demam (-), lemas (+), bengkak pada - IVFD RL 15 tpm makro
kedua kaki (-), pusing (-), nyeri pinggang kiri - Inj. Cefotaxime 1 gr/12
(-), BAK kuning jernih, BAB dbn jam/IV
- Inj. Gentamicin
O : KU: Sakit sedang 80mg/12jam/IV
TD : 110/80 mmHg N: 84 x/menit - Inj. Furosemide
P: 20 x/menit S: 36,5o C 20mg/12j/IV
BB: 46kg - Inj. Ranitidin
50mg/12jam/IV
Kepala : Normochepal - PCT tab 500 mg/6jam/oral
Mata : anemis +/+, edema palpebra (-/-) (Jika nyeri/demam)
Bibir : sianosis -, kering - - Captopril 12,5mg (1x1/2)
Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor (+/+) tab, 3 jam setelah inj.
COR: BJ I-II murni reguler furosemide
Pulmo: Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wz (-/-) - Tirah baring
Abdomen: supel, bising usus (+) kesan - Diet sementara nasi
normal, NTE (+), NTA (-), timpani (+), lembek + sayur + buah
nyeri ketok CVA (-) - Diit rendah garam dan
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, cukup protein
edema pretibial (-/-) - Minum 1 liter per hari
- Besok cek urine rutin
A : Susp. GNAPS
03/02/2022 S : demam (-), lemas (+), bengkak pada - IVFD RL 15 tpm makro
kedua kaki (-), pusing (-), nyeri pinggang kiri - Inj. Cefotaxime 1 gr/12
(-), BAK kuning jernih, BAB dbn jam/IV
- Inj. Gentamicin
O : KU: Sakit sedang 80mg/12jam/IV
TD : 110/80 mmHg N: 82 x/menit - Inj. Furosemide
P: 20 x/menit S: 36,5o C 20mg/12j/IV
- Inj. Ranitidin
Kepala : Normochepal 50mg/12jam/IV
Mata : anemis +/+, edema palpebra (-/-) - PCT tab 500 mg/6jam/oral
Bibir : sianosis -, kering - (Jika nyeri/demam)
Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor (+/+) - Captopril 12,5mg (1x1/2)
COR: BJ I-II murni reguler tab, 3 jam setelah inj.
Pulmo: Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wz (-/-) furosemide
Abdomen: supel, bising usus (+) kesan - Tirah baring
normal, NTE (+), NTA (-), timpani (+), - Diet sementara nasi
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, lembek + sayur + buah
edema pretibial (-/-) - Diit rendah garam dan
cukup protein
Urine berwarna kuning, jernih, darah (++ - Minum 1 liter per hari
+), protein (+),leukosit (0-1/lbp), eritrosit
(+), sel epitel (++), kristal (++).

A : Susp. GNAPS
04/02/2022 S : lemas (+), BAK kuning jernih, BAB dbn - IVFD RL 10 tpm makro
- Inj. Cefotaxime 1 gr/12
O : KU: Sakit sedang jam/IV
TD : 110/70 mmHg N: 82 x/menit - Inj. Gentamicin
P: 20 x/menit S: 36,5o C 80mg/12jam/IV
- Inj. Furosemide
Kepala : Normochepal 20mg/12j/IV
Mata : anemis +/+, edema palpebra (-/-) - PCT tab 500 mg/6jam/oral
Bibir : sianosis -, kering - (Jika nyeri/demam)
Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor (+/+) - Captopril 12,5mg (1x1/2)
COR: BJ I-II murni reguler tab, 3 jam setelah inj.
Pulmo: Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wz (-/-) furosemide
Abdomen: supel, bising usus (+) kesan - Tirah baring
normal, NTE (-), NTA (-), timpani (+), - Diet sementara nasi
Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik, lembek + sayur + buah
edema pretibial (-/-) - Diit rendah garam dan
cukup protein
A : Susp. GNAPS - Minum 1 liter per hari
- Besok cek urine rutin
05/02/2022 S : keluhan (-) - IVFD RL 8 tpm makro
O : KU: Sakit sedang
TD : 110/70 mmHg N: 82 x/menit Obat pulang:
P: 20 x/menit S: 36,5 C
o
- Eritromicin tab
500mg (4x1 tab)
Mata : anemis +/+, edema palpebra (-/-) - Furosemide tab
Bibir : sianosis -, kering - 40mg (1x1/2 tab)
Thoraks: simetris, retraksi (-), sonor (+/+) - Paracetamol tab
COR: BJ I-II murni reguler 500mg (4x1 tab) kp:
Pulmo: Vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wz (-/-) demam/nyeri
Abdomen: supel, bising usus (+) kesan
normal, NTE (+), NTA (-), timpani (+),
Ekstremitas: edema pretibial (-/-)

Urine berwarna kuning, jernih, darah (++


+), protein (+),leukosit (0-1/lbp), eritrosit
(+), sel epitel (++), kristal (++).

A : Susp. GNAPS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan
inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis. Glomerulonefritis akut
adalah suatu kumpulan gejala yang ditandai oleh penurunan mendadak laju filtrasi
glomerulus dengan manifestasi klinik berupa edema, hematuria, hipertensi,
oligouria serta insufisiensi ginjal, sehingga disebut sebagai sindrom nefritik akut.
Glomerulonefritis akut pasca streptokokus disebabkan oleh infeksi bakteri
streptokokus beta hemolotikus grup A dan menjadi penyebab umum dari
glomerulonefritis dengan kejadian 80% dari jumlah kasus SNA. 1,2,3
Sindrom Nefritik Akut merupakan salah satu manifestasi klinis
glomerulonefritis akut pasca streptokokus dimana terjadi suatu proses inflamasi
pada tubulus dan glomerulus ginjal yang terjadi setelah adanya suatu infeksi
streptokokus pada seseorang. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus
berkembang setelah strain streptokokus tertentu yaitu streptokokus ß hemolitikus
group A tersering tipe 12 menginfeksi kulit atau saluran nafas. Terjadi periode
laten berkisar antara 1 sampai 2 minggu untuk infeksi saluran nafas dan 1 sampai 3
minggu untuk infeksi kulit. 4
Sindrom nefritik akut (SNA) adalah istilah umum kelainan ginjal berupa
proliferasi dan inflamasi glomeruli, yang disebabkan oleh mekanisme imunologis
terhadap antigen tertentu seperti bakteri, virus, parasit, dll. Bentuk SNA yang
sering ditemukan pada anak ialah glomerulonefritis yang didahului infeksi
streptokokus β hemolitikus grup A sehingga disebut glomerulonefritis akut pasca
streptokokus (GNAPS). Glomerulonefritis akut (GNA) merupakan penyakit yang
sering ditemukan pada anak. Penyakit ini ditandai dengan hematuria yang timbul
mendadak, hipertensi, edem, dan penurunan fungsi ginjal.5,6
GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting, tetapi dapat juga
menyebabkan gagal ginjal akut. Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi
5% di antaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang buruk dengan cepat.7
B. Epidemiologi
Bentuk glomerulonefritis akut yang banyak dijumpai pada anak adalah
glomerulonefritis akut pasca streptokokus. GNAPS dapat terjadi pada semua usia,
tetapi paling sering terjadi pada usia 6-7 tahun. Penelitian multisenter di Indonesia
memperlihatkan sebaran kasus pada usia 2,5 – 15 tahun dengan rerata usia
tertinggi 8,46 tahun dan rasio ♂ : ♀ = 1, 34 : 1. ,2
Kejadian glomerulonefritis pasca streptokokus sudah mulai menurun pada
negara maju, namun masih terus berlanjut pada negara berkembang, penurunan
kejadian GNAPS berkaitan banyak faktor diantaranya penanganan infeksi
streptokokus lebih awal dan lebih mudah oleh pelayanan kesehatan yang
kompeten.2 Di beberapa negara berkembang, glomerulonefritis pasca
streptokokus tetap menjadi bentuk sindroma nefritik yang paling sering ditemui.
Attack rate dari glomerulonefritis akut terlihat memiliki pola siklus, yaitu sekitar
setiap 10 tahun.1
C. Etiologi
Penyebab Glomerulonefrtitis akut adalah bakteri, virus, dan proses
imunologis lainnya, tetapi pada anak penyebab paling sering adalah disebabkan
oleh Streptococcus beta hemolyticus group A tipe nefritogenik antigen protein M
(80% kasus). Serotipe streptokokus beta hemolitik yang paling sering
dihubungkan dengan glomerulonefritis akut yang didahului faringitis adalah tipe
12, tetapi kadang-kadang juga tipe 1, 4 ,6 dan 25. Tipe 49 paling sering dijumpai
pada glomerulonefritis yang didahului infeksi kulit yaitu pioderma.
Glomerulonefritis juga bisa disebabkan oleh penyakit varicella yang diaktifkan
oleh kompleks imun yang mengandung antigen varicella, atau infeksi varicella
sehingga terjadi perubahan imunologi yang membentuk kompleks imun yang
mengandung antigen streptokokus. 8,9
D. Patofisiologi
Pada glomerulonefritis akut pasca streptokokus terjadi reaksi radang pada
glomerulus yang menyebabkan filtrasi glomeruli berkurang, sedangkan aliran
darah ke ginjal biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan fraksi filtrasi
berkurang sampai di bawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di
tubulus proksimalis berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis
meningkatkan proses reabsorbsinya, termasuk Na, sehingga menyebabkan retensi
Na dan air. Terjadinya retensi Na dan air didukung oleh keadaan berikut ini:1,2
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses
peradangan di glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel .
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin
intrarenal.
Pada GNAPS diduga terdapat sejumlah faktor host dan faktor kuman
streptokokus yang berhubungan dalam terjadinya GNAPS. 2
 Faktor host
Penderita yang terserang infeksi kuman streptokokus beta hemolyticus
grup A strain nefritogenik, hanya 10-15% yang berkembang menjadi GNAPS,
mengapa hal ini demikian masih belum dapat diterangkan, tetapi diduga
beberapa faktor ikut berperan diantaranya faktor ekonomi rendah, faktor
pendidikan, faktor lingkungan yang padat dan memiliki sanitasi jelek. Selain
itu faktor genetik juga berperan, misalnya alleles HLA-DRW4, HLA-DPA1
dan HLA-DPB1 paling sering terserang GNAPS.
 Faktor kuman
Proses glomerulonefritis akut pasca streptokokus dimulai ketika kuman
streptokokus sebagai antigen masuk kedalam tubuh penderita,yang rentan,
kemudian tubuh memberikan respon dengan membentuk antibodi. Bagian dari
kuman streptokokus yang bersifat antigen masih belum diketahui.
Beberapa penelitian pada model binatang dan penderita
glomerulonefritis akut pasca streptokokus menduga yang bersifat antigenik
adalah: M protein, endostreptosin, cationic protein, Exo-toxin B, nephritis
plasmin-binding protein dan streptokinase. Kemungkinan besar lebih dari satu
antigen yang terlibat dalam proses ini, barangkali pada stadium jejas ginjal
yang berbeda dimungkinkan akibat antigen M protein dan streptokinase.1
 Mekanisme Jejas Glomerulus pada GNAPS
GNAPS adalah suatu penyakit imunologik akibat reaksi antigen-
antibodi yang terjadi dalam sirkulasi atau in situ dalam glomerulus. Mekanisme
terjadinya inflamasi yang mengakibatkan terjadinya jejas renal didahului oleh
proses sebagai berikut:
1. Terbentuknya plasmin sebagai akibat pemecahan plasminogen oleh
streptokinase yang akan menaktivasi reaksi kaskade komplemen.
2. Terperangkapnya kompleks Ag-Ab yang sudah terbentuk
sebelumnya kedalam glomerulus.
3. Antibodi antistreptokokus yang telah terbentuk sebelumnya
berikatan dengan molekul tiruan (molecul mimicry) dari protein
renal yang menyerupai Ag Streptokokus (jaringan glomerulus yang
normal yang bersifat autoantigen).
Struktur sel streptokokus grup A terdiri dari kapsul asam hialuronidat,
dinding sel, fimbriae, dan membrane sitoplasma yang menutupi sitoplasma.
Produk streptokokus yang bersifat antigenik dapat menyebabkan proses
imunopatologis yang menimbulkan glomerulonefritis akut.3
Proses terjadinya jejas renal pada GNAPS diterangkan pada gambar
dibawah ini:

Gambar. Mekanisme imunopatogenik GNAPS


1. Patomekanisme Hipertensi
Hipertensi merupakan tanda kardinal bagi SNA pasca infeksi
streptokokus. Hipotesis terjadinya hipertensi mungkin akibat dari dua atau
tiga faktor berikut yaitu, gangguan keseimbangan natrium, peranan sistem
rennin angiotensinogen dan substansi renal medullary hypotensive faktors,
diduga prostaglandin. Penurunan laju filtrasi glomerulus menyebabkan
penurunan ekskresi atau kenaikan reabsorbsi natrium sehingga terdapat
penimbunan natrium dengan air selanjutnya akan diikuti kenaikan volume
plasma (hipervolemia). Keadaan hypervolemia inilah yang menyebabkan
curah jantung meningkat, dimana curah jantung menyebabkan tekanan
darah meningkat.2,4
2. Patomekanisme Oliguria dan Edema
Penurunan laju filtrasi glomerulus berhubungan dengan penurunan
koefisien ultrafilltrasi glomerulus. Penurunan ini diikuti penurunan ekskresi
atau kenaikan reabsorbsi natrium sehingga terdapat penimbunan natrium
dengan air selanjutnya akan diikuti kenaikan volume plasma dan volume
cairan ekstraselular sehingga akan timbul gambaran klinis produksi urin
sedikit (oliguria) dan edema. Bendungan sirkulasi infeksi streptokokus,
biasanya terjadi mendadak dan pertama kali terjadi di daerah periorbital
dan selanjutnya dapat menjadi edema anasarka. Derajat berat ringannya
edema yang terjadi tergantung pada beberapa faktor yaitu luasnya
kerusakan glomorelus yang terjadi, asupan cairan, dan derajat
hipoalbuminemia. Manifestasi yang timbul urine dapat berwarna seperti
cola, teh ataupun keruh dan sering dengan oliguri. Efek proteinuria yang
terjadi pada Glomerulonefritis Akut Pasca Streptococus tidak sampai
menyebabkan edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur
ekpansi cairan ekstraselular seperti renin angiotensin, aldosteron dan anti
diuretik hormone (ADH) tidak meningkat. Edema yang berat dapat terjadi
pada glomerulonefritis akut pasca streptococus bila ketiga hormon tersebut
meningkat.2,4
3. Patomekanisme Proteinuria dan Hematuria
Pada proses imunologis glomerulonephritis menyebabkan kerusakan
atau jejas di glomerulus. Kerusakan diding kapiler glomerulus
menyebabkan dinding kapiler ini menjadi lebih permeable terhadap protein
dan sel-sel eritrosit. Akibatnya timbul manifestasi klinis protein dalam urin
(proteinuria) dan sel eritrosit dalam urin (hematuria).4
E. Manifestasi Klinis
Glomerulonefritis akut pasca streptococus lebih sering terjadi pada anak
usia 6 sampai 15 tahun dan jarang  pada usia di bawah 2 tahun. Gejala klinik
glomerulonefritis akut pasca streptococus sangat bervariasi dari bentuk
asimtomatik sampai gejala simtomatik yang khas. Bentuk asimtomatik lebih
banyak dari pada bentuk simtomatik baik sporadik maupun epidemik (>50%
kasus). Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat kelainan sedimen urin
terutama hematuria disertai riwayat kontak dengan penderita Glomerulonefritis
akut pasca streptococus simtomatik.2,8
1. Periode laten
Pada glomerulonefritis akut pasca streptococus yang khas harus ada
periode laten yaitu periode antara infeksi streptokokus dan timbulnya gejala
klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu. Periode 1-2 minggu umumnya terjadi
pada glomerulonefritis akut pasca streptococus yang didahului oleh ISPA,
sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit yaitu piodermi.
Periode ini jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten
ini berlangsung kurang dari 1 minggu, maka harus dipikirkan
kemungkinan penyakit lain yaitu eksaserbasi dari penyakit kronik, lupus
eritomatous sistemik, purpura Henouch Schonlein.2
2. Edema
Merupakan gejala paling sering, umumnya pertama kali timbul dan
menghilang  pada akhir minggu pertama. Gejala pertama yang paling sering
ditemukan adalah edem palpebra, disusul edema daerah tungkai. Jika terjadi
retensi cairan hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia
eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai edema pada sindrom nefrotik.
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan
jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu
bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan
menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan
kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang- kadang terjadi
edema laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui
setelah terjadi dieresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting
sebagai akibat cairan jaringan yang tertekan masuk ke jaringan intertitial yang
dalam waktu singkat akan kembali kekedudukan semula.2,7
3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus glomerulonefritis
akut pasca streptococus sedangkan hematuria mikroskopik dijumpai hampir
pada semua kasus. Suatu  penelitian multisenter di Indonesia mendapatkan
hematuria makroskopik berkisar 46- 100%, sedangkan hematuria mikroskopik
berkisar 84-100%. Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh
pekat, air cucian daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik
biasanya timbul dalam minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi
dapat pula berlangsung sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik
dapat berlangsung lebih lama, umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan.
Kadang-kadang masih dijumpai hematuria mikroskopik dan proteinuria
walaupun secara klinik glomerulonefritis akut pasca streptococus sudah
sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun,
sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan
indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya
glomerulonefritis kronik.2.7
4. Hipertensi
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70 % kasus
glomerulonefritis akut pasca streptococus. Umumnya terjadi dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang
lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan yaitu tekanan diastolik
80-90 mmHg. Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang
cukup dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya
hipertensi berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang
disertai gejala serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran
menurun dan kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan
ensefalopati hipertensi berkisar 4-50 %.2
5. Oligouria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus
glomerulonefritis akut pasca streptococus dengan produksi urin kurang dari
350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul
kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya, oliguria umumnya
timbul dalam minggu pertama dan menghilang  bersamaan dengan terjadinya
diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bias pula menjadi anuria yang
menunjukan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan prognosis yang
jelek. 2,3
6. Gejala Kardiovaskular
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi
yang terjadi pada 20-70 % kasus glomerulonefritis akut pasca streptokokus.
Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi akibat retensi Na dan air sehingga
terjadi hipervolemia. Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi
akibat bendungan sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya
hanya terlihat secara radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas,
sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus.
Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam
minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini
menyerupai bronkopneumonia sehingga penyakit utama ginjal tidak
diperhatikan.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
a. Proteinuria
Secara kualitatif proteinuria yang bisa ditemukan sampai dengan ++,
jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus
dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria
makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2
LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/ m2
LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan
hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi
antara beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah gejala klinik
menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat
proteinuria disebut proteinuria menetap yang menunjukkan kemungkinan
suatu glomerulonefitis kronik yang memerlukan pemeriksaan biopsi
ginjal.1,2
b. Hematuria mikroskopik
Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada,
karena itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling
penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis.
Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat
pada 60-85% kasus glomerulonefritis akut pasca streptococus. Adanya torak
eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada kasus
glomerulonefritis akut pasca streptococus yang tidak jelas, sebab torak ini
menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus atau glomerulitis.
Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula dijumpai pada
penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut. 2
2. Darah
a. Reaksi serologis
Infeksi streptokokus pada glomerulonefritis akut menyebabkan reaksi
serologis terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga
timbul antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASO),
antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer
ASO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa, karena
mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS. Sedangkan
kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi, hampir 100%
menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan titer ini
dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan
mencapai puncaknya pada minggu ke- 3 hingga minggu 5 dan mulai
menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASO jelas meningkat pada
glomerulonefritis akut pasca streptococus setelah infeksi saluran pernapasan
oleh streptokokus. Titer ASO bisa normal atau tidak meningkat akibat
pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer
ASO. Sebaliknya titer ASO jarang meningkat setelah piodermi.2
b. Aktivitas komplemen
Kompleks serum hampir selalu menurun pada glomerulonefritis
akut pasca streptococus, karena turut serta berperan dalam proses antigen-
antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara
sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1C globulin) yang
paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah.
Beberapa penulis melaporkan 8092% kasus glomerulonefritis akut pasca
streptococus dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar C3 mulai
menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit,
kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-
gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih
rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai
pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus.1,2
c. Laju Endap Darah
Laju endap darah umunya meninggi pada fase akut dan menurun
setelah gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat
digunakan sebagai parameter kesembuhan glomerulonefritis akut pasca
streptococus, karena terdapat kasus glomerulonefritis akut pasca
streptococus dengan LED tetap tinggi walaupun gejala klinik sudah
menghilang.2
3. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi dan ultrasonografi pada penderita glomerulonefritis
akut pasca streptokokus tidak spesifik. Foto toraks umumnya menggambarkan
adanya kongesti vena sentral daerah hilus, dengan derajat yang sesuai dengan
meningkatnya volume cairan ekstraseluler. Sering terlihat adanya tanda-tanda
sembab paru (di Indonesia 11.5%), efusi pleura (di Indonesia 81.6%),
kardiomegali ringan (di Indonesia 80.2%), dan efusi perikardial (di Indonesia
81.6%). Foto abdomen dapat melihat adanya asites. Pada ultrasonografi ginjal
terlihat besar dan ukuran ginjal yang biasanya normal. Bila terlihat ginjal yang
kecil, mengkerut atau berparut, kemungkinannya adalah penyakit ginjal kronik
yang mengalami eksaserbasi akut. Gambaran ginjal pada ultrasonografi
menunjukkan peningkatan echogenisitas yang setara dengan echogenisitas
parenkhim hepar. Gambaran tersebut tidak spesifik dan dapat ditemukan pada
penyakit ginjal lainnya.1
G. Diagnosis
1. Anamnesis 5
a. Riwayat infeksi saluran napas atas (faringitis) 1-2 minggu sebelumnya
atau infeksi kulit (pyoderma) 3-6 minggu sebelumnya
b. Umumnya pasien datang dengan hematuria nyata (gross hematuria) atau
sembab di kedua kelopak mata dan tungkai
c. Kadang-kadang pasien datang dengan kejang dan penurunan kesadaran
akibat ensefalopati hipertensi
d. Oligouria/anuria akibat gagal ginjal atau gagal jantung
2. Pemeriksaan Fisis 5
a. Sering ditemukan edema di kedua kelopak mata dan tungkai dan
hipertensi
b. Dapat ditemukan lesi bekas infeksi di kulit
c. Jika terjadi ensefalopati, pasien dapat mengalami penurunan kesadaran
dan kejang
d. Pasien dapat mengalami gejala-gejala hipervolemia seperti gagal jantung,
edema paru
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Urinalisis menunjukkan proteinuria, hematuria dan adanya silinder
eritrosit
b. Kreatinin dan ureum darah umumnya meningkat
c. ASTO meningkat pada 75-80% kasus
d. Komplemen C3 menurun pada hampir semua pasien pada minggu pertama
e. Jika terjadi komplikasi gagal ginjal akut, didapatkan hiperkalemia,
asidosis metabolic, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia.(2)
H. Diagnosis Banding
1. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut
Kelainan ini penting dibedakan dari Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptococus karena prognosisnya sangat berbeda. Perlu dipikirkan adanya
penyakit ini bila pada anamnesis terdapat penyakit ginjal sebelumnya dan
periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-3 hari. Selain itu adanya
gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas meninggi waktu
timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu. 2
2. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN)
RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada
anak. Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan glomerulonefritis akut pasca
streptococus terutama pada fase akut dengan adanya oligouria atau anuria.
Titer ASO, AH-ase, AND-ase B meninggi pada glomerulonefritis akut pasca
streptococus, sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang
menurun pada glomerulonefritis akut pasca streptococus, jarang terjadi pada
RPGN. Prognosis glomerulonefritis akut pasca streptococus jelek dan
penderita biasanya meninggal karena gagal ginjal. 2
I. Penatalaksanaan
1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang
biasanya timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit glomerulonefritis
akut pasca streptococus. Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di
tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya
perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan  prolonged
bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria
mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan
sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi. Bila masih
dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan lanjut pada
waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur menyebabkan
anak tidak dapat bermain dan jauh dari teman-temannya, sehingga dapat
memberikan beban psikologik.2
2. Diet
Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada
penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus
seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin +
insensible water loss (20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah keperluan cairan pada
setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari). Bila terdapat edema
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan
makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam
dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Tujaan permbetasan natrium untuk mengurangi
retensi Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1
g/kgbb/hari.2,6
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada glomerulonefritis akut pasca streptococus
sampai sekarang masih sering dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi
antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus,
sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan
negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat
terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau
akibat periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa
golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50
mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis. Jika terdapat alergi terhadap golongan
penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari. Pemberian antibotik
dapat diberikan selama 10 hari, profilaksis yang lama sesudah nefritisnya
sembuh terhadap kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas
yang menetap2,7,14
4. Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan
cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi
edema berat atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik,
misalnya furosemid (1 – 3 mg/kgbb). Bila tidak berhasil, maka dilakukan
dialisis  peritoneal. 2
b. Hipertensi
Pemilihan obat antihipertensi juga tergantung dari penyebabnya,
misalnya pada glomerulonefritis akut pascastreptokokus pemberian diuretik
merupakan pilihan utama, karena hipertensi pada penyakit ini disebabkan
oleh retensi natrium dan air. Golongan penghambat ACE dan reseptor
angiotensin memiliki keuntungan mengurangi proteinuria. ACEi dapat juga
di kombinasikan dengan diuretik. Dosis captopril 0,3-2 mg/kgbb/hari dan
furosemid 1 – 3 mg/kgbb/hari. Pada keadaan keadaan hipertensi yang
ringan tidak perlu mendapat pengobatan, pencegahan dapat dilakukan
dengan diet dan istirhat yang cukup tekanan darah dapat normal kembali.
2,15

c. Gangguan ginjal akut


Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan,
pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi
asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia
diberi Ca glukonas atau Kayexalate untuk mengikat kalium.2
5. Edukasi
Penderita dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai perjalanan dan
prognosis penyakitnya. Keluarga perlu memahami bahwa meskipun
kesembuhan yang sempurna diharapkan 95%, masih ada kemungkinan kecil
terjadinya kelainan yang menetap dan bahkan memburuk 5%. Perlu dielaskan
rencana pemantauan selanjutnya, pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan
urine untuk protein dan hematuria dilakukan dengan interval 4-6 minggu
untuk 6 bulan pertama, kemudian tiap 3-6 bulan sampai hematuria dan
proteinuria menghilang dan tekanan darah normal untuk selama 1 tahun.
Kadar C3 yang telah kembali normal setelah 8-10 minggu menggambarkan
prognosis yang baik.2
J. Komplikasi
1. Ensefalopati Hipertensi (EH).
Ensefalopati hipertensi adalah sindrom klinik akut reversible yang
dicetuskan oleh kenaikan tekanan darah secara mendadak sehingga
melampaui batas autoregulasi otak. Biasanya tekanan darah mendadak
meningkat tinggi pada anak > 6 tahun dengan tekanan sistolik > 180 mm Hg ,
dan/atau tekanan diastolik > 120 mmHg. Ensefalopati hipertensi, payah
jantung akut, edema paru,aneurisma aorta, atau gagal ginjal akut termasuk
dalam hipertensi emergensi karena disertai komplikasi yang mengancam jiwa.
Ensefalopati hipertensi diakibatkan oleh peningkatan tekanan darah yang akan
mengaktivasi regulasi mikrosirkulasi di otak (respon vasokontriksi terhadap
distensi dinding endotel). Aliran darah otak tetap konstan selama perfusi
aliran darah otak sekitar 60 –  120 mmHg. Ketika tekanan darah meningkat
secara tiba-tiba, maka akan terjadi vasokontriksi dan vasodilatasi dari arteriol
otak yang mengakibatkan kerusakan endotel, ekstravasasi protein plasma, dan
edema serebral.2,10
Manifestasi klinis ensefalopati hipertensi merupakan suatu sindrom
hipertensi berat yang dikaitkan dengan ditemukannya nyeri kepala hebat,
mual,muntah, gangguan penglihatan, confusion, pingsan sampai koma. Onset
gejala biasanya berlangsung perlahan, dengan progresi sekitar 24-48 jam.
Gejala-gejala gangguan otak yang difus dapat berupa defisit neurologis fokal,
tanda-tanda lateralisasi yang bersifat reversible maupun irreversible yang
mengarah ke perdarahan cerebri atau stroke. Microinfar k dan peteki pada
salah satu bagian otak jarang dapat menyebabkan hemiparesis ringan, afasia
atau gangguan penglihatan. Manifestasi neurologis berat muncul jika telah
terjadi hipertensi maligna atau tekanan diastolik >125 mmHg disertai
perdarahan retina, eksudat, papiledema, gangguan pada jantung dan ginjal.1,2,10
Anak yang menderita hipertensi emergensi harus diberi nifedipin yang
kerjanya cepat dan harus dirawat untuk memantau keadaan dan melihat efek
samping. Tekanan darah harus diturunkan dalam waktu 24 jam dengan
nifedipin dosis awal 3 mg dan ditingkatkan menjadi 10 mg/6 jam. Selain itu
dapat juga diberikan captopril tablet dengan dosis 12,5 mg/12 jam.
Pengobatan dengan captopril tablet tetap dilanjutkan dengan observasi
tekanan darah setiap 6 jam untuk mengetauhi apakah dosis sudah cukup. Dari
hasil observasi, dengan pemberian dosis tersebut tekanan darah dapat dijaga
dalam nilai normal.12
2. Gangguan ginjal akut ( Acute kidney injury/AKI  )
Glomerulonefritis akut pasca streptococus tercatat sebagai penyebab
penting terjadinya gagal ginjal, yaitu terhitung 10-15% dari kasus gagal ginjal
di Amerika Serikat. Glomerulonefritis akut pasca streptococus dapat muncul
secara sporadik maupun epidemik terutama menyerang anak-anak atau
dewasa muda pada usia sekitar 4-12 tahun dengan puncak usia 5-6 tahun.
Lebih sering pada laki-laki dari pada wanita dengan rasio 1,7-2 : 1. Tidak ada
predileksi khusus pada ras ataupun golongan tertentu.2,
a. Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan
memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari
b. Mengatur elektrolit :
 Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
 Bila terjadi hipokalemia diberikan : Calcium Gluconas 10% 0,5
ml/kgbb/hari, NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari, K  + exchange resin 1
g/kgbb/hari, Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 –  1 g glukosa 0,5 g/kgbb.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Redy lufian dkk pada
tahun 2017, didapatkan hasil bahwa dari 30 pasien yang terdiagnosis GNAPS
yang menglami kompilikasi gagal ginjal akut sebanyak 13 pasien dengan
kelompok usia 5 – 9 tahun.13 Selain kriteria gagal ginjal akut yang berbasis
kreatinin, parameter yang bisa digunakan untuk mencurigai adanya gagal
ginjal akut adalah urin output. Secara fundamental, meskipun banyak
penelitian tidak ada obat yang divalidasi atau terapi yang dapat mebalikkan
atau mengurangi gagal ginjal akut setelah berkembang. Paada anak anak
beberapa pilihan obat yang dapat digunakan yaitu (amninofilin, steroid,
dexomedetomide, fenoldopam, n-acetylcyseinine, dan lain lain), dapat
menunjukan harapan yang baik, namun uji coba kontrol perwatan obat ini
belum menunjukan manfaat yang konsisten. Dengan demikian hamper semua
terapi yang tersedia diarahkan unutk mengelola gejala sisa dari gagal ginjal
akut. Contohnya termaksud penggunaan cairan intravena untuk mengatur
volume intravascular, diuretik untuk mengelola kelebihan cairan,
antihipertensi untuk megelola hipertensi dan alkali terapi untuk mengelola
asidosis.13,14
3. Edema paru
Edema paru pada anak biasanya ditandai dengan terlihat sesak dan
terdengar ronki nyaring, sehingga sering disangka sebagai bronkopneumoni.
Hal ini diakibatkan oleh adanya bendungan sirkulasi. Cara mengatasinya
dengan  pemberian diuretik, misalnya furosemid (Dosis : 1 –  3 mg/kgbb).2
K. Prognosis
Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak
ada komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam  self limiting disease.
Walaupun sangat jarang, glomerulonefritis akut pasca streptococus dapat
kambuh kembali.,2
Pada anak 85-95% kasus glomerulonefritis akut pasca streptococus
sembuh sempurna, sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis
kronik. Walaupun prognosis glomerulonefritis akut pasca streptococus baik,
kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut
(Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi.2,11
BAB III
PEMBAHASAN

Glomerulonefritis akut merupakan suatu reaksi imunologis pada ginjal


terhadap bakteri atau virus tertentu yang karakterisitiknya berupa cedera
glomerular dengan onset mendadak. Glomerulonefritis akut yang paling sering
terjadi pada anak di negara berkembang setelah infeksi bakteri streptokokus beta
hemolitikus grup A yaitu glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus
(GNAPS).
Seorang anak perempuan berusia 17 tahun datang ke IGD RSUD Kab.
Muna dan didiagnosis dengan GNAPS pada tanggal 29 Januari 2022. GNA dapat
terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia 6 – 7 tahun.
Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan sebaran usia 2,5 – 17 tahun
dengan rerata usia tertinggi 8,46 tahun dan rasio ♂ : ♀ = 1, 34 : 1.
Pasien masuk dengan keluhan bengkak pada kaki yang disadari sejak + 1
minggu SMRS. Bengkak hilang timbul, muncul terutama setelah beraktivitas.
Saat bangun tidur pasien mengalami bengkak pada wajah, terutama pada kelopak
mata dan menghilang saat siang hari. Edema merupakan gejala yang paling
sering, umumnya pertama kali timbul, dan menghilang pada akhir minggu
pertama. Edema paling sering terjadi di daerah periorbital (edema palpebra),
disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan hebat, maka edema timbul di
daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema skrotum/vulva) menyerupai
sindrom nefrotik. Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi
dan tahanan jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol
waktu bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan
menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan
kegitan fisik.
Keluhan lain: nyeri perut kiri dan kanan (+). BAB (+) keras, bercampur
darah segar sejak 2 hari terakhir, keluhan sudah sering berulang sejak 3 tahun
lalu. BAK (+)sedikit-sedikit, kuning jernih dan kadang berbusa . Salah satu gejala
dari GNA yaitu oligouria/anuria walaupun sangat jarang dijumpai, terdapat pada
5-10% kasus GNAPS dengan produksi urin kurang dari 350 ml/m 2 LPB/hari.
Oliguria terjadi bila fungsi ginjal menurun atau timbul kegagalan ginjal akut.
Pada hasil pemeriksaan laboratorium (29/01/22) didapatkan urine
berwarna kuning, keruh (+), darah (++), protein (+++),leukosit (++), eritrosit (+
+), sel epitel (+++). Ada dua macam hematuria yaitu hematuria mikroskopik dan
hematuria makroskopik. Hematuria makroskospik dapat dilihat dengan kasat mata
sedangkan hematuria mikroskopik hanya dapat dilihat dengan pemeriksaan
mikroskopik urin yang ditemukan sel darah merah 3 atau lebih per lapang
pandang. Hematuria kasus berat mungkin berlangsung selama beberapa minggu,
tapi hematuria mikroskopik bisa berlanjut selama beberapa bulan. Hematuria
terjadi karena berbagai penyebab atau kelainan di sepanjang saluran kemih.
Kelainan tersebut dikategorikan sebagai kelainan ekstra renal, kelainan intra
renal, kelainan sistemik, dan penyakit darah. Kelainan dalam ginjal dibagi dua,
yaitu pada glomerolus dan non-glomerolus. Faktor-faktor lain yang dapat
menyebabkan hematuria, antara lain: olahraga yang berlebihan, aktivitas seksual,
menstruasi dan laserasi pada organ genitalia pada perempuan dan disirkumsisi
pada laki-laki, infeksi saluran kemih, trauma, dan keganasan. Akan tetapi pada
pasien ini tidak ditemukannya riwayat trauma, nyeri daerah pinggang, nyeri saat
buang air kecil ataupun penurunan berat badan yang signifikan sehingga
kemungkinan hematuria dikarenakan penyebab-penyebab lain seperti trauma,
infeksi saluran kemih, batu saluran kemih, dan keganasan dapat disingkirkan.
Pasien memiliki riwayat penyakit: nyeri menelan 2 minggu lalu disertai
demam dan pembengkakan kelenjar pada leher, sembuh setelah berobat ke dokter
umum. Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara
infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu;
periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA,
sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/pioderma.
Keadaan umum pasien sakit berat, gizi baik, TD:140/70mmHg, P:24x/m,
N:82x/m, S:36,50 C, BB:50 kg, TB:168 cm, edema (+) palpebra dan pretibial,
konjungtiva anemis, NTA (+), NTE (+), nyeri ketok CVA (+).
Pemeriksaan fisik yang didapatkan saat pemantauan didapatkan TD
140/70 (29-01), 140/70 (30-01). 140/70 (31-01), 130/80 (01-02).110/80 (02-02),
110/80 (03-02) , 110/70 (04-02), 110/70 (05-02). Hipertensi merupakan gejala
yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS. Pada kebanyakan kasus dijumpai
hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90 mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu
diobati sebab dengan istirahat yang cukup dan diet yang teratur, tekanan darah
akan normal kembali. Keadaan hipertensi pada pasien GNAPS berhubungan
dengan ekspansi volume intravaskular dan ekstravaskular hingga vasospasme
akibat faktor neurogenik dan hormonal. Hipertensi pada GNAPS adalah bentuk
volume-dependen-hypertension sehingga retriksi cairan dan garam serta
pemberian diuretik dan garam serta permberian diuretik dan vasodilator mampu
mengontrol kejadian hipertensi dengan optimal.
Pemeriksaan laboratorium pasien dengan GNA yang sering dijumpai antara
lain ditemukannya proteinuria, hematuria, leukosituria, anemia, penurunan LFG,
leukositosis, dan hipoalbuminemia. Pada hasil pemeriksaan laboratorium
(29/01/22) WBC : 15,00 x 103 u/L, HGB : 7,2 g/dL, albumin 3,8. Urine berwarna
kuning, keruh (+), darah (++), protein (+++),leukosit (++), eritrosit (++), sel epitel
(+++).
Penatalaksaan yang diberikan pada pasien dengan GNAPS terbagi
menjadi 2 yaitu non-medikamentosa dan medikamentosa. Tatalaksana non-
medikamentosa meliputi istirahat yang cukup, diet rendah garam dan protein.
Bila edema berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan,
pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar
ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus
diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria.
Pemberian cairan yang diberikan yaitu cairan kristaloid. Pasien ini diberikan
IVFD RL 20 tpm makro awal, kemudian mulai besok jam 9 pagi turun jadi 15
tpm, tirah baring, diet sementara nasi lembek + sayur + buah, diit rendah garam
dan cukup protein, dan minum 1 liter per hari. Sedangkan terapi medikamentosa
dapat diberikan antibiotik dan obat-obat untuk terapi simptomatik. Pada pasien
ini diberikan terapi antibiotik golongan cephalosporin generasi III yaitu
cefotaxime 1 gram/8 jam/iv (skin test) dan golongan aminoglikosida yaitu
gentamicin 80 mg/12 jam/iv. Pengobatan antibiotik pada GNAPS bertujuan
untuk eradikasi infeksi kuman streptokokus yang menyerang tenggorokan atau
kulit sebelumnya. Pemberian antibiotika dalam kasus ini tidak mempengaruhi
beratnya manifestasi yang ditimbulkan pada glomerulonefritis, melainkan hanya
mengurangi menyebarnya infeksi streptokokus yang mungkin masih ada. Pasien
juga diberikan inj. Furosemid 20 mg/12 jam/iv dengan harapan dapat megurangi
edema yang terjadi akibat retensi cairan. Sedangkan pemberian paracetamol tab
500mg (4x1) dilakukan karena pasien terus mengeluh nyeri pada perut kiri dan
kanan.
Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak
ada komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam  self limiting disease.
Walaupun sangat jarang, glomerulonefritis akut pasca streptococus dapat
kambuh kembali. Pada anak 85-95% kasus glomerulonefritis akut pasca
streptococus sembuh sempurna, sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi
glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis glomerulonefritis akut pasca
streptococus baik, kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat
gangguan ginjal akut (Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati
hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahmadi, D. Diagnosis dan Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut. Bagian


Ilmu Kesehatan Anak FK. Unpad-RS Dr. Hasan Sadikin Bandung; 2010. Hal. 1-
14

2. Rauf, S. Albar, H. Aras J. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca


Streptokokus.Jakarta: Unit Kerja Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012.
Hal. 1-17

3. Pardede, SO. Struktur Sel Streptokokus Dan Patogenesis Glomeluronefritis Akut


Pascastreptokokus. Sari Pediatri. Volume 11 nomor 1; 2009. Hal. 56-65

4. Rena NMRA dan Suwitra K. Seseorang Penderita Sindrom Nefritik Akut


PaskaInfeksi Streptokokus.  J Peny Dalam, Volume 10 Nomor 3 September 2010.
Hal. 201-207

5. Salim, E., Dkk. Pedoman Praktik Klinik Rumah Sakit Undata. Departeman Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako Palu. 2015.Hal. 184-
187

6. Pardede, SO. Trihono, PP. Tambunan. T. Gambaran Klinis Glomerulonefritis


Akut Pada Anak di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta. Sari pediatri. Volume 6 nomor 4; 2005. Hal. 144-48

7. Pudjiadi,AH., Dkk. Pedoman Pelayanan Media Ikatan Dokter Anak Indonesia.


IDAI. 2009. Hal.89-91

8. Lumbanbatu SM. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak. Sari


pediatri. Volume 5 nomor 2; 2003. Hal. 58-63

9. Parinding IT, Devi R, Indra R. Varicella dengan Komplikasi Glomerulonefritis


Akut. CDK-199 Vol. 39 no.11;2012 Hal. 833-837

10. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Konsensus Tatalaksana Hipertensi pada


Anak  .Jakarta: Unit Kerja Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. Hal. 1-
20

11. Nur S, Albar H, Daud D. Prognostic Faktors For Mortality In Pediatric Acute
Poststreptococcal Glomerulonephritis. Paediatrica Indonesiana. Vol. 56, No. 3,
May 2016. Hal. 166-170.

12. Ananto A , Suryati E. Ensofalo Hipetensi Pada Anak dengan Glomerulo Nefritis
Akut Pasca Streptokokal. Bagiain Ilmu Kesehatan Anak Fakultas kedokteral
Universitas Lampung. Jurnal Medula. Vol. 9, No. 3, Oktober 2019. Hal.479
13. Lufyan R, Dkk. Karakteristik glomerulonefritis akut pasca-streptokokus pada
anak di RSUP Sanglah Denpasar Tahun 2012-2015. SMF Ilmu kesehatan Anak
Fakultas kedoktean Universitas Udayana. Jurnal Medicina; 2017.

14. Scot M, Dkk. Acute Kidney Injury In Children. Divison nephrology


Departement Of Pediatric Stanford University. 2017. Hal 385-386

15. Arsyid R, Dkk. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. Departemen


Pediatric Undana general Hospita. Jurnal Medical Profesional. Vol.1. No.2.
2019. Hal 101.

Anda mungkin juga menyukai