Anda di halaman 1dari 55

MATERI PENYULUHAN

METODE KONTRASEPSI JANGKA PANJANG


1.1 Pengertian
Keluarga berencana adalah suatu intervensi dalam upaya meningkatkan kesehatan
ibu dan anak dengan cara menjarangkan angka kelahiran yang merupakan salah satu
bentuk hak asasi manusia. Kontrasepsi adalah suatu usaha mencegah terjadinya
pembuahan dengan tujuan agar tidak terjadi kehamilan yang bersifat sementara atau
permanen.

1.2 Tujuan
Menurut WHO (1970), Keluarga Berencana merupakan tindakan yang membantu
individu atau pasangan suami istri untuk:
a. Mendapatkan objektif-objektif tertentu
b. Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan
c. Mendapatkan kelahiran yang memang diinginkan
d. Mengatur interval di antara kehamilan
e. Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan usia suami-istri
f. Menentukan jumlah anak dalam keluarga

1.3 Manfaat
Keluarga berencana merupakan cara yang efektif untuk mencegah mortalitas ibu
dan anak, karena dapat menolong pasangan suami istri menghindari kehamilan risiko
tinggi.
Keluarga berencana tidak dapat menjamin kesehatan ibu dan anak, tetapi dapat
melindungi keluarga terhadap kehamilan risiko tinggi, menyelamatkan jiwa dan
mengurangi angka kesakitan ibu dan anak, sehingga dapat meringankan beban
ekonomi keluarga serta terbentuk keluarga bahagia sejahtera menurut norma-norma
yang ada.

1.4 Sasaran
Program Nasional Keluarga Berencana diarahkan pada dua bentuk sasaran:
a. Sasaran langsung
Yaitu pasangan usia subur (15-49 tahun) dengan jalan mereka secara bertahap
menjadi peserta KB aktif.
b. Sasaran tidak langsung
Yaitu organisasi-organisasi, lembaga-lembaga kemasyarakatan, instansi-instansi
pemerintah maupun swasta, tokoh-tokoh masyarakat (alim ulama, wanita, dan
pemuda), diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap program keluarga
berencana.

1.5 Metode Kontrasepsi Jangka Panjang


1.5.1. Kontrasepsi Implan
1.5.1.1 Pengertian
Implan adalah salah jenis satu alat kontrasepsi berupa susuk yang digunakan di
bawah kulit (Subdermal) atau disebut AKBK (Alat Kontrasepsi Bawah Kulit
(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2012).
Kontrasepsi implan adalah metode kontrasepsi yang diinsersikan pada bagian
subdermal yang hanya mengandung progestin dengan masa kerja panjang dosis
rendah dan reversibel untuk wanita (Speroff & Darney, 2005).
Kontrasepsi implan adalah sistem norplan dari implan subdermal
levonorgestrel yang terdiri dari bahan silastik, masing-masing kapsul berisi 36 mg
levonorgestrel dalam format kristal dengan masa kerja lima tahun (Varney, 1997).

1.5.1.2 Jenis Kontrasepsi Implan


1) Norplant
 Terdiri dari 6 batang, silastik, lembut, berongga.
 Panjang 3,4 cm dan diameter 2,4 mm.
 Berisi 36 mg Levonorgestrel.
 Lama kerja 5 tahun.
2) Implanon
 Terdiri dari 1 batang, putih, lentur.
 Panjang 3,4 cm dan diameter 2,4 mm
 Berisi 36 mg Levonorgestrel
 Lama kerja 3 tahun
3) Jadena & Indoplant
 Terdiri dari 2 batang.
 Berisi 75 mg Levonorgestrel
 Lama kerja 3 tahun(Saifuddin, 2010)

4) Capronor
Terdiri dari 1 kapsul biodegradabel, mengandung levonorgestrel dan terdiri
dari polimer E-kaprolakton. Mempunyai diameter 0,24 cm terdiri dari dua ukuran
dengan panjang 2,5 cm mengandung 16 mg levonorgestrel dan panjang 4 cm men-
gandung 26 mg levonorgrestrel. Lama kerja 12-18 bulan, kecepatan pelepasan lev-
onorgestrel dari kaprolakton adalah 10 kali lipat lebih cepat dibanding silastik
(Hanafi, 2002)

1.5.1.3. Mekanisme Kerja


Fungsi progesteron ialah menyiapkan endometrium untuk implanasi dan
mempertahankan kehamilan. Di samping itu, progesteron mempunyai pula
khasiat kontrasepsi, sebagai berikut :
1) Mencegah ovulasi
Mencegah ovulasi melalui fungsi hipotalamus-hipofisis-ovarium, kadar
progestin cukup tinggi di dalam sirkulasi untuk menghambat lonjakan
luteinizing hormone (LH) secara efektif sehingga tidak terjadi ovulasi. Kadar
follicle-stimulating hormone (FSH) dan LH menurun dan tidak terjadi
lonjakan LH (LH Surge). Sehingga dapat menghambat perkembangan folikel
dan mencegah ovulasi.
2) Mengentalkan lendir servik dan menjadi sedikit sehingga menurunkan ke-
mampuan penetrasi sperma.
Lendir serviks menjadi kental dan sedikit, mengalami penebalan mukus
serviks yang mengganggu penetrasi sperma. Perubahan - perubahan siklus
yang normal pada lendir serviks. Secret dari serviks tetap dalam keadaan di
bawah pengaruh progesteron hingga menyulitkan penetrasi spermatozoa.
3) Mengubah endometrium menjadi tidak sempurna untuk implanasi hasil kon-
sepsi.
Endometrium menjadi kurang layak atau baik untuk implanasi dari ovum
yang telah di buahi, yaitu mempengaruhi perubahan-perubahan menjelang
stadium sekresi, yang diperlukan sebagai persiapan endometrium untuk
memungkinkan nidasi dari ovum yang telah di buahi.
4) Menghambat transportasi gamet dan tuba.
Menghambat transportasi gamet dan tuba, mempengaruhi kecepatan transpor
ovum di dalam tuba fallopi atau memberikan perubahan terhadap kecepatan
transportasi ovum (telur) melalui tuba.
(Affandi, 2011)

1.5.1.4 Efektivtas
Sangat efektif (kegagalan 0,2-1 kehamilan per 100 perempuan) (Saifuddin, 2010)

1.5.1.5 Keuntungan
1) Keuntungan Kontrasepsi
a. Daya guna tinggi.
b. Perlindungan jangka panjang (sampai 5 tahun).
c. Pengembalian tingkat kesuburan yang cepat setelah pencabutan.
d. Tidak memerlukan pemeriksaan dalam.
e. Bebas dari pengaruh estrogen.
f. Tidak mengganggu kegiatan senggama
g. Tidak mengganggu ASI.
h. Klien hanya perlu kembali ke klinik bila ada keluhan.
i. Dapat dicabut setiap saat sesuai dengan kebutuhan.
2) Keuntungan non Kontrasepsi
a. Mengurangi nyeri haid
b. Mengurangi jumlah darah haid
c. Mengurangi/memperbaiki anemia
d. Melindungi terjadinya kanker endometrium
e. Menurunkan angka kejadian kelainan jinak payudara
f. Melindungi diri dari beberapa penyebab penyakit radang panggul
g. Menurunkan angka kejadian endometriosis (Saifuddin, 2010)

1.5.1.6. Keterbatasan
Pada kebanyakan klien dapat menyebabkan perubahan pola haid berupa
perdarahan bercak (spoting), hipermenorea atau meningkatkan jumlah darah haid
serta amenorea. Timbulnya keluhan-keluhan, seperti :
a. Nyeri kepala
b. Peningkatan/penurunan BB
c. Nyeri payudara
d. Perasaan mual
e. Pening/pusing kepala
f. Perubahan perasaan (mood) atau kegelisahan (nervousness)
g. Membutuhkan tindak pembedahan minor untuk insersi dan pencabutan
h. Tidak memberikan efek protektif terhadap infeksi menular seksual termasuk
AIDS
i. Klien tidak dapat menghentikan sendiri pemakaian kontrasepsi ini sesuai
dengan keinginan akantetapi harus pergi ke klinik untuk pencabutan
j. Efektivitasnya menurun bila menggunakan obat-obat tuberkulosis
(Rifampisin) atau obat epilepsi (fenition dan barbiturat).
k. Terjadinya kehamilan ektopik sedikit lebih tinggi (1,3 per 100.000
perempuan pertahun)(Saifuddin, 2010).

1.5.1.7 Syarat Penggunaan Implan


1) Yang Dapat Menggunakan Kontrasepsi Implan
a. Usia reproduksi
b. Telah memiliki anak ataupun yang belum
c. Menghendaki kontrasepsi yang memiliki efektivitas tinggi dan menghendaki
pencegahan kehamilan jangka panjang
d. Menyusui dan membutuhkan kontrasepsi
e. Pascapersalinan dan tidak menyusui
f. Pasca keguguran
g. Tidak menginginkan anak lagi, tetapi menolak sterilisasi
h. Riwayat kehamilan ektopik
i. Tekanan darah <180/100 mmHg, dengan masalah pembekuan darah, atau ane-
mia bulan sabit (Sickle Cell)
j. Tidak boleh menggunakan kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen
k. Sering lupa menggunakan pil
2) Yang tidak boleh menggunakan implan
a. Hamil atau diduga hamil
b. Perdarahan pervaginam yang belum jelas penyebabnya
c. Benjolan/kanker payudara atau riwayat kanker payudara
d. Tidak dapat menerima perubahan pola haid yang terjadi
e. Miom uterus dan kanker payudara
f. Gangguan toleransi glukosa(Saifuddin, 2010).

1.5.1.8 Waktu Mulai Menggunakan Kontrasepsi Implan


a. Setiap saat selama siklus haid hari ke-2 sampai hari ke-7. Tidak diperlukan
metode kontrasepsi tambahan.
b. Insersi dapat dilakukan setiap saat, nasal saja diyakini tidak terjadi kehamilan.
Bila di insersi setelah hari ke-7 siklus haid, klien jangan melakukan hubungan
seksual atau menggunakan metode kontrasepsi lain untuk 7 hari saja.
c. Bila klien tidak haid, insersi dapat dilakukan setiap saat, asal saja di yakini tidak
terjadi kehamilan, jangan melakukan hubungan seksual atau gunakan metode
kontrasepsi lain untuk 7 hari saja.
d. Bila menyusui antara 6 minggu sampai 6 bulan pasca persalinan, insersi dapat
dilakukan setiap saat. Bila menyusui penuh, klien tidak perlu memakai metode
kontrasepsi lain.
e. Bila setelah 6 minggu melahirkan dan telah terjadi haid kembali, insersi dapat
dilakukan setiap saat, tetapi jangan melakukan hubungan seksual selama 7 hari
atau menggunakan metode kontrasepsi lain untuk 7 hari saja.
f. Bila klien menggunakan kontrasepsi hormonal dan ingin menggantinya dengan
implan, insersi dapat dilakukan setiap saat, asal saja diyakini klien tersebut tidak
hamil, atau klien menggunakan kontrasepsi terdahulu dengan benar.
g. Bila kontrasepsi sebelumnya adalah kontrasepsi suntikan, implan dapat
diberikan pada saat jadwal kontrasepsi suntikan tersebut. Tidak diperlukan
metode kontrasepsi lain.
h. Bila kontrasepsi sebelumnya adalah kontrasepsi non hormonal (kecuali AKDR)
dan klien ingin menggantinya dengan implan, insersi implan dapat dilakukan
setiap saat asal saja di yakini klien tidak hamil. Tidak perlu menunggu sampai
datang haid berikutnya.
i. Bila kontrasepsi sebelumnya adalah AKDR dan klien inginmenggantinya
dengan implan, Implan dapat di insersikan pada saat haid hari ke-7 dan klien
jangan melakukan hubungan seksual selama 7 hari atau gunakan metode
kontrasepsin lain untuk 7 hari saja. AKDR segera di cabut dan pasca keguguran
implan dapat di insersikan (Saifuddin, 2010)
1.5.1.9 Penanganan Efek Samping atau Masalah yang Sering Ditemukan
No. EFEK SAMPING PENANGANAN
1 Amenorhoe - Pastikan hamil atau tidak dan bila tidak
hamil tidak perlu penanganan khusus,
cukup konseling saja.
- Bila klien tetap saja tidak dapat menerima,
angkat implan dan anjurkan menggunakan
kontrasepsi lain.
- Bila terjadi kehamilan dan klien ingin
melanjutkan kehamilan, cabut implan dan
jelaskan bahwa progestin tidak berbahaya
bagi janin. Bila diduga terjadi kehamilan
ektopik, klien dirujuk. Tidak ada gunanya
memberikan obat hormon untuk
memancing timbulnya perdarahan.
2 Perdarahan bercak atau Jelaskan bahwa perdarahan ringan sering
spoting ringan ditemukan terutama pada tahun pertama. Bila
tidak ada masalah dan klien tidak hamil, tidak
diperlukan tindakan apapun. Bila klien tetap
saja mengeluh masalah perdarahan dan ingin
melanjutkan pemakaian implan dapat
diberikan pil kombinasi satu siklus, atau
ibuprofen 3x800 mg selama 5 hari.
Terangkan kepada klien bahwa akan terjadi
perdarahan setelah pil kombinasi habis. Bila
terjadi perdarahan lebih banyak dari biasa,
berikan 2 tablet pil kombinasi untuk 3-7 hari
dan kemudian dilanjutkan dengan satu siklus
pil kombinasi atau dapat juga diberikan 50
mg etinilestradiol atau 1,25 mg estrogen
equin konjugasi untuk 14-21 hari.
3 Infeksi pada daerah insersi Bila terdapat infeksi tanpa nanah bersihkan
dengan sabun dan air, atau antiseptik. Berikan
antibiotik yang sesuai untuk 7 hari. Implan
jangan dilepas dan klien diminta kembali satu
minggu. Apabila tidak membaik, cabut
implan dan pasang yang baru pada sisi lengan
yang lain atau cari metode kontrasepsi yang
lain. Apabila ditemukan abses, bersihkan
dengan antiseptik, insisi dan alirkan pus
keluar, cabut implan, lakukan perawatan luka
dan berikan antibiotik.
4 Ekspulsi Cabut kapsul yang ekspulsi, periksa apakah
kapsul yang lain masih di tempat, dan apakah
terdapat tanda-tanda infeksi daerah insersi.
Bila tidak ada infeksi dan kapsul lain masih
berada pada tempatnya, pasang kapsul baru 1
buah pada tempat insisi yang berbeda. Bila
ada infeksi cabut seluruh kapsul yang ada dan
pasang kapsul baru pada lengan yang lain
atau anjurkan klien menggunakan metode
kontrasepsi lain.
5 Berat badan naik atau turun Informasikan kepada klien bahwa perubahan
BB 1-2 kg adalah normal. Kaji ulang diet
klien apabila terjadi perubahan BB 2 kg atau
lebih. Apabila perubahan BB ini tidak dapat
diterima, bantu klien mencari metode lain.
(Saifuddin, 2010).
Keadaan yang memerlukan perhatian khusus :
Keadaan Anjuran
Penyakit hati akut Sebaiknya jangan menggunakan implan
Stroke/riwayat stroke, penyakit Sebaiknya jangan menggunakan implan
jantung
Menggunakan obat untuk Sebaiknya jangan menggunakan implan
epilepsy/tuberculosis
Tumor jinak atau ganas pada hati Sebaiknya jangan menggunakan implan

1.5.2 Kontrasepsi IUD Post Plasenta


1.5.2.1. Definisi
IUD post plasenta adalah alat kontrasepsi yang termasuk dalam KB pasca
partum adalah alat kontrasepsi yang dapat langsung dipasang 10 menit setelah plasenta
dilahirkan, yaitu IUD (intra uterine device).pemesangan alat kontrasepsi ini setelah
plasenta dilahirkan diraskan menguntungkan untuk beberapa alasan tertentu, seperti pada
masa ini wanita tersebut tidak ingin hamil dan motivasiny untuk memasang
alatkontrasepsi msih tinggi ( Grimes, David A, et al,2010).
IUD ini dapat digunakan bertahun-tahun dan ini dapat menghemat biaya apalagi
jika pemasangan dapat langsung dilakukan di fasilitas kesehatan tempat ibu melahirkan
(USAID,2008).
Pemasangan IUD post-plasenta dan segera pasca persalinan direkomendasikan
karena pada masa ini serviks masih terbuka dan lunak sehingga memudahkan pemasangan
IUD dan kurang nyeri bila dibandingkan pemasangan setelah 48 jam pasca persalinan
(BKKBN-PKBRS,2010)
Insersi IUD post-plasenta memiliki angka ekspulsi rata-rata 13-16% dan dapat
hingga 9-12,5% jika dipasang oleh tenaga terlatih. Angka ekspulsi ini lebih rendah bila
dibandingkan dengan waktu pemasangan padamasa segera pasca persalinan (immediate
post partum,yitu 28-37%. Sayangnya pengunaan IUD post plasenta belum banyak
digunakan karena masih kurangnya sosialisasi mengenai hal ini dan masih adanya
ketakuan pada calon akseptor mengenai terjadinya komplikasi seperti perporasi uterus,
infeksi, perdarahan, dan nyeri (Edelman et al, 2011).
Kelangsungan IUD pasca salin dalah pemakaian kontrasepsi pada akseptor KB
Pasangan usia subur yang didasari atau dibatasi oleh tujuan program KB diantaranya
apakah kelangsungan pemakaian kontrasepsi jangka panjang tersebut bertujuan untuk
menunda, menjarangkan, dan mengakhirikehamilan. Waktu dimualainya kontrasepsi pasca
salin berdasarkan satrus menyusui, metode kontrasepsiyng dipilih, untuk ini dapt
digunakan algotitma KB pasca salin sebagai berikut :

Gambar 2.1 Algoritma pilihan KB (BKKBN,2012)

1.5.2.2. Mekanisme kerja


Sampai sekarang mekanisme kerja AKDR belum diketahui dengan pasti.
Kini pendapat yang terbanyak ialah bahwa AKDR dalam kavum uteri
menimbulkan reaksi peradangan endometrium yang disertai dengan sebukan
leukosit yang dapat menghancurkan blastokista atau sperma. Pada pemeriksaan
cairan uterus pada pemakai AKDR, sering kali dijumpai pula sel-sel makrofag
(fagosit) yang mengandung spermatozoa. Penelitian selanjutnya menemukan
bahwa sifat dan isi cairan uterus mengalami perubahan pada pemakai AKDR, yang
menyebabkan blastokista tidak dapat hidup dalam uterus, walaupun sebelumnya
terjadi nidasi. Penelitian lain menemukan sering terjadinya kontraksi uterus pada
pemakai AKDR, sehingga akan dapat menghalangi terjadinya nidasi. Diduga hal
ini deisebabkan karena kadar prostaglandin dalam uterus pada wanita tersebut.
Pada AKDR bioaktif mekanisme kerjanya selain menimbulkan peradangan seperti
pada AKDR biasa, juga karena ion logam atau bahan lain yang melarut dari AKDR
mempunyai pengaruh terhadap sperma. Menurut penelitian, ion logam yang paling
efektif adalah ion logam tembaga (Saifuddin, 2009).
Menurut Saifuddin (2010), cara kerja kontrasepsi IUD/ AKDR adalah
menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii, mempengaruhi
fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri, memungkinkan untuk mencegah
implantasi telur dalam uterus serta mencegah sperma dan ovum bertemu (walaupun
AKDR membuat sperma sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan dan
mengurangi kemampuan sperma untuk fertilisasi).
Sedangkan menurut Manuaba (2010), mekanisme kerja kontrasepsi IUD /
AKDR adalah sebagai berikut :
1. AKDR merupakan benda asing dalam rahim sehingga menimbulkan reaksi
benda asing dengan timbunan leukosit, makrofag dan limfosit.
2. AKDR menimbulkan perubahan pengeluaran cairan prostaglandin yang meng-
halangi kapasitasi spermatozoa.
3. Pemadatan endometrium oleh leukosit, makrofag dan limfosit menyebabkan
blastokis mungkin mungkin dirusak oleh makrofag sehingga blastokis tidak
mampu melaksanakan nidasi.
4. Ion Cu yang dikeluarkan AKDR dengan Cupper menyebabkan gangguan gerak
spermatozoa sehinggamengurangi kemampuan untuk melaksanakan konsepsi.

1.5.2.3. Efektifitas IUD Post-Plasenta


AKDR post palsenta teklah dibuktikan tidak menambah risiko infeksi,
perforasi dan perdarahan. Diakui bahwa ekspulsi lebih tinggi (6-10%) dan harus
disadari pasien, bila mau dapat dipasang lagi. Kontraindikadi pemasangan post
plasenta adalah : ketuban pecah lama, infeksi intrapartum, perdarahan post partum

1.5.2.4. Persyaratan pemakaian


Berikut ini merupakan persyaratan pemakaian kontrasepsi IUD menurut
Saifuddin (2010) :
(1) Yang dapat menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR :
a) Usia produktif
b) Keadaan nulipara
c) Menginginkan menggunakan kontrasepsi jangka panjang
d) Menyusui yang menginginkan menggunakan kontrasepsi
e) Setelah melahirkan dan tidak menyusui bayinya
f) Setelah mengalami abortus dan tidak terlihat adanya infeksi
g) Risiko rendah dari IMS
h) Tidak menghendaki metode hormonal
i) Tidak menyukai untuk mengingat-ingat minum pil setiap hari
j) Tidak menghendaki kehamilan setelah 1-5 hari sanggama
(2) Yang mungkin dapat menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR :
a) Perokok
b) Pasca keguguran atau kegagalan kehamilan apabila tidak terlihat adanya
infeksi
c) Sedang memakai antibiotika atau anti kejang
d) Gemuk ataupun yang kurus
e) Sedang menyusui
f) Penderita tumor jinak payudara
g) Penderita kanker payudara
h) Pusing-pusing, sakit kepala
i) Tekanan darah tinggi
j) Varises di tungkai atau di vulva
k) Penderita penyakit jantung (termasuk penyakit jantung katup dapat diberi
antibiotika sebelum pemasangan IUD)
l) Pernah menderita stroke
m)Penderita diabetes
n) Penderita penyakit hati atau empedu
o) Malaria
p) Skistosomiasis (tanpa anemia)
q) Penyakit tiroid
r) Epilepsi
s) Nonpelvik TBC
t) Setelah kehamilan aktopik
u) Setelah pembedahan pelvic
(3) Yang tidak dapat menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR :
a) Sedang hamil (diketahui hamil atau kemungkinan hamil)
b) Perdarahan vagina yang tidak diketahui (sampai dapat dievaluasi)
c) Sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis)
d) Tiga bulan terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP atau
abortus septik
e) Kelainan bawaan uterus yang abnormal atau tumor jinak rahim yang dapat
mempengaruhi kavum uteri
f) Penyakit trofoblas yang ganas
g) Diketahui menderita TBC pelvik
h) Kanker alat genital
i) Ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm
1.5.2.5. Keuntungan dan kerugian
Berikut ini merupakan keuntungan dan kerugian kontrasepsi IUD menurut
Manuaba (2010) :
1. Keuntungan
a. IUD dapat diterima oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia dan
menempati urutan ketiga dalam pemakaiannya
b. Pemasangan tidak memerlukan alat medis dan teknis yang sulit
c. Kontrol medis yang ringan
d. Penyulit tidak terlalu berat
e. Pulihnya kesuburan setelah AKDR dicabut berlangsung baik
2. Kerugian
a. Masih terjadi kehamilan dengan AKDR in situ
b. Terdapat perdarahan (spotting dan menometroragia)
c. Leukorea, sehingga menguras protein tubuh dan liang senggama terasa
lebih basah
d. Dapat terjadi infeksi
e. Tingkat akhir infeksi menimbulkan kemandulan primer atau sekunder
serta kehamilan ektopik
f.Benang AKDR dapat menimbulkan perlukaan portio uteri dan meng-
ganggu hubungan seksual
Sedangkan keuntungan dan kerugian IUD menurut Saifuddin (2010) adalah
sebagai berikut :
1. Keuntungan
a. Sebagai kontrasepsi, efektivitasnya tinggi yaitu > 0,6-0,8 kehamilan/
1000 perempuan dalam 1 tahun pertama (1 kegagalan dalam 125-170
kehamilan)
b. AKDR dapat efektif segera setelah pemasangan
c. Metode kontrasepsi jangka panjang (10 tahun proteksi dari CuT-
380A dan tidak perlu diganti
d. Sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingat-ingat
e. Tidak mempengaruhi hubungan seksual
f. Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak perlu takut untuk
hamil
g. Tidak mempunyai efek samping hormonal dengan Cu AKDR (CuT-
380A)
h. Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI
i. Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau sesudah abortus (apa-
bila tidak terjadi infeksi)
j. Dapat digunakan sampai menopouse (1 tahun atau lebih setelah haid
terakhir)
k. Tidak ada interaksi dengan obat-obat
l. Membantu mencegah kehamilan ektopik
2. Kerugian
a. Efek samping yang umum terjadi :
- Perubahan siklus haid (umumnya pada 3 bulan pertama dan akan
berkurang setelah 3 bulan pemakaian)
- Haid lebih lama dan banyak
- Perdarahan (spotting) antar menstruasi
- Saat haid lebih sakit
b. Komplikasi lain :
- Merasakan sakit dan kejang selama 3-5 hari setelah pemasangan
- Perdarahan berat pada waktu haid atau diantaranya yang memu-
ngkinkan penyebab anemia
- Perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila pemasangannya benar)
c. Tidak mencegah IMS termasuk HIV / AIDS
d. Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan
yang sering berganti pasangan
e. Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan IMS
memakai AKDR. PRP dapat memicu infertilitas
f. Prosedur medis termasuk pemeriksaan pelvik diperlukan dalam pe-
masangan AKDR. Seringkali perempuan takut selama pemasangan
g. Sedikit nyeri dan perdarahan (spotting) terjadi segera setelah pemasan-
gan AKDR. Biasanya menghilang dalam 1-2 hari
h. Klien tidak dapat melepas AKDR oleh dirinya sendiri, petugas kese-
hatan terlatih yang harus melepaskan AKDR
i. Mungkin AKDR keluar dari uterus tanpa diketahui (sering terjadi apa-
bila AKDR dipasang setelah melahirkan)
j. Tidak mencegah terjadinya kehamilan ektopik karena fungsi AKDR
untuk mencegah kehamilan normal
k. Perempuan harus memeriksa posisi benang AKDR dari waktu ke
waktu. Untuk melakukan ini perempuan harus memasukkan jarinya ke
dalam vagina, sebagian perempuan tidak mau melakukan hal ini.

1.5.2.6. Jenis AKDR


Hartanto (2004) membedakan AKDR atau IUD menjadi 2 golongan besar,
yaitu :
1. Un-Medicated Devices (Inert Devices atau First Generation Devices)
Yang termasuk dalam golongan ini antara lain :
a. Grafenberg ring
b. Ota ring
c. Margulies coil
d. Saf-T-Coil
e. Delta Loop: Modified Lippes Loop D dengan penambahan benang chromic
catgut pada lengan atas, terutama untuk insersi post partum.
f. Lippes Loop (dianggap sebagai IUD standart)
Lippes Loop terbuat dari bahan polyethelene, bentuknya seperti spiral atau
huruf S bersambung. Untuk memudahkan kontrol, dipasang benang pada
ekornya. Lippes Loop mempunyai angka kegagalan yang rendah.
Keuntungan lain dari pemakaian spiral jenis ini ialah bila terjadi perforasi
jarang menyebabkan luka atau penyumbatan usus, sebab terbuat dari bahan
plastik. Yang banyak dipergunakan dalam program KB nasional adalah IUD
jenis ini. Lippes loop dapat dibiarkan in-utero untuk selama-lamanya sampai
menopause, sepanjang tidak ada keluhan bagi akseptor. Lippes Loop terdiri
dari 4 jenis yang berbeda menurut ukuran panjang bagian atasnya :
1) Tipe A panjang 26,2 mm, lebar 22,2 mm, benang biru, satu titik pada
pangkal IUD dekat benang ekor
2) Tipe B panjang 25,2 mm dan lebar 27,4 mm, memiliki 2 benang hitam,
dan bertitik 4
3) Tipe C panjang 27,5 mm dan lebar 30 mm, memiliki 2 benang kuning,
dan bertitik 3
4) Tipe D panjang 27,5 mm dan lebar 30 mm, tebal, memiliki 2 benang
putih, dan bertitik 2.
2. Medicated Devices (Bio-Active Devices atau Second Generation Devices)
A. Mengandung logam
1) AKDR-Cu generasi pertama (First Generation Copper Devices), yang
termasuk dalam kelompok ini adalah :
a. CuT-200 (Tatum-T)
Memiliki panjang 36 mm dan lebar 32 mm, dengan luas per-
mukaan Cu 200 mm2 dan daya kerja selama 3 tahun.
b. Cu-7 (Gravigard)
Berbentuk angka 7 dengan maksud untuk memudahkan pe-
masangan. Jenis ini mempunyai ukuran panjang 36 mm, lebar 26
mm dan ditambahkan gulungan kawat tembaga (Cu) yang mempun-
yai luas permukaan 200 mm2 dengan daya kerja selama 3 tahun. Je-
nis IUD ini memiliki tabung inserter dengan diameter paling kecil
dibandingkan lainnya, sehingga dapat dianjurkan untuk nulligravida.
c. MLCu-250 (Multiload Cu 250)
Terbuat dari dari plastik (polyethelene) dengan dua tangan kiri
dan kanan berbentuk sayap yang fleksibel. Batangnya diberi gulun-
gan tembaga dengan luas permukaan 250 mm2 dan memiliki daya
kerja 3 tahun. Ada 3 ukuran, yaitu standar, short, dan mini.
2) AKDR-Cu generasi kedua (Second Generation Copper Devices), yang
termasuk dalam kelompok ini adalah :
a. CuT-380 A (Paragard)
Panjang 36 mm dan lebar 32 mm dengan 314 mm 2 lilitan tembaga
mengelilingi batang vertikal dan 2 selubung Cu seluas 33 mm2 pada
masing-masing lengan horizontal. Daya kerjanya 8 tahun, tetapi
rekomendasi FDA adalah 10 tahun.
b. CuT-380Ag
Seperti CuT-380A, hanya saja dengan tambahan inti Ag di dalam
kawat Cu-nya dan memiliki daya kerja selama 5 tahun.
c. Nova T (Novagard)
Panjang 32 mm dan lebar 32 mm, 200 mm 2 luas permukaan Cu den-
gan inti Ag di dalam kawat Cu-nya dan memiliki daya kerja selama 5
tahun.
d. CuT-220C
Panjang 36 mm dan lebar 32 mm, dengan 220 mm 2 Cu di dalam tujuh
selubung, 2 pada lengan dan 5 pada batang vertikalnya. Jenis ini
memiliki daya kerja selama 3 tahun.
e. Delta T
Modified CuT-220C dengan penambahan benang chromic catgut
pada lengan atas, terutama untuk insersi post partum.
f. MLCu-375 (Multiload Cu 375)
Terbuat dari dari plastik (polyethelene) dengan dua tangan kiri dan
kanan berbentuk sayap yang fleksibel. Batangnya diberi gulungan
tembaga dengan luas permukaan 375 mm2 dan memiliki daya kerja 5
tahun. Ada 3 ukuran, yaitu standar, short, dan SL
B. Mengandung hormon
Disebut juga IUS (Intra Uterine System) yaitu bingkai berbentuk T yang
terbuat dari plastik dan memiliki sebuah reservoir steroid yang mengelilingi
batang tegak lurus yang berisi hormon progesteron atau levonorgestrel.
Beberapa jenis IUS :
 Progestasert (Alza-T)
Alat ini memiliki panjang 36 mm dan lebar 32 mm dengan 2 benang
ekor berwarna hitam. Mengandung 38µg progesteron dan barium sulfat
dalam dasar silicon. Alat ini melepaskan 65 mcg progesteron per hari
dengan daya kerja 18 bulan.
 LNG-20
Serupa progestasert, tetapi mengandung levonorgestrel. Alat ini
melepaskan levonorgestrel ke dalam uterus dengan kecepatan relatif
konstan 20 µg levonorgestrel selama 24 jam.
 Mirena®
Mempunyai panjang 32 mm dan diameter 4,8 mm. Mirena® diperkaya
dengan barium sulfat yang mengeluarkan radio-opaqnya sendiri.
Mirena® memiliki masa hidup 3 tahun, tetapi durasi pemakaian yang
dianjurkan selama 5 tahun.

Gambar 2.1 Beberapa jenis AKDR


Keterangan gambar (berurutan dari kiri)
Atas: Lippes Loop, Saf-T-Coil, dana device
Bawah: Cu-T, Cu-7, MLCu, Progestasert

1.5.2.7. Efek samping


Efek samping yang sering dan mungkin terjadi pada pengguna akseptor
kontrasepsi IUD / AKDR menurut Sifuddin (2009) adalah sebagai berikut :
1. Perdarahan
Umumnya setelah pemasangan AKDR terjadi perdarahan sedikit-sedikit yang
cepat terhenti. Kalau pemasangan dilakukan sewaktu haid perdarahan yang
sedikit-sedikit ini tidak akan diketahui oleh akseptor. Keluhan yang sering
terjadi pada pemakai AKDR adalah menoragia, spotting, metoragia. Jika terjdi
perdarahan banyak yang tidak dapat diatasi, sebaiknya AKDR dikeluarkan dan
diganti AKDR yang mempunyai ukuran kecil. Jika perdarahan sedikit-sedikit
dapat diusahakan mengatasinya dengan pengobatan konservatif. Pada
perdarahan yang tidak berhenti dengan tindakan-tindakan tersebut diatas,
sebaiknya AKDR diangkat dan digunakan pilihan kontrasepsi yang lain.
2. Rasa nyeri dan kejang di perut
Terjadi segera setelah pemasangan AKDR biasanya rasa nyeri ini berangsur-
angsur hilang dengan sendirinya. Rasa nyeri dapat dihilangkan dengan member
analgesik. Jika keluhan berlangsung terus, sebaiknya AKDR dikeluarkan dan
diganti dengan AKDR yang mempunyai ukuran yang lebih kecil.
3. Gangguan pada suami
Kadang-kadang suami dapat merasakan adanya benang AKDR sewaktu
senggama, dikarenakan oleh benang AKDR yang keluar dari portio uteri terlalu
pendek atau terlalu panjang. Untuk mengurangi/ menghilangkan keluhan ini,
benang AKDR yang terlalu panjang dipotong sampai kira-kira 2-3cm dari
portio, sedang jika benang AKDR terlalu pendek sebaiknya AKDRnya diganti.
Dengan cara ini biasanya keluhan suami akan hilang.
4. Ekspulsi (pengeluaran sendiri)
Ekspulsi AKDR dapat terjadi untuk sebagian atau seluruhnya. Ekspulsi biasanya
terjadi waktu haid dan dipengaruhi oleh :
 Umur dan paritas
Pada paritas yang rendah (1 atau 2), kemungkinan ekspulsi 2 kali lebih
besar daripada pada paritas 5 atau lebih.demikian pula pada wanita muda.
Ekspulsi lebih sering terjadi daripada wanita yang umurnya lebih tua
 Lama pemakaian
Ekspulsi paling sering terjadi pada 3 bulan pertama setelah pemasangan.
Setelah itu angaka kejadian menurun dengan tajam.
 Ekspulsi sebelumnya
Pada wanita yang pernah mengalami ekspulsi, maka pada pemasangan
kedua kalinya, kecencerungan untuk terjadinya ekspulsi lagi ialah sebesar
50%. Jika terjadi ekspulsi, pasangkanlah AKDR jenis yang sama, tetapi
dengan ukuran yang lebih besar daripada sebelumnya. Dapat juga diganti
dengan AKDR jenis lain atau dipasang 2 AKDR.
 Jenis dan ukuran
Jenis dan ukuran AKDR yang dipasang sangat mempengaruhi frekuensi
ekspulsi. Pada Lippes Loop, makin besar ukuran AKDR makin kecil
kemungkinan terjadinya ekspulsi.
 Faktor psikis
Oleh karena motilitas usus dapat dipengaruhi oleh faktor psikis, maka
frekuensi ekspulsi lebih banyak dijumpai pada wanita-wanita yang
emosional dan ketakutan, atau yang mempunyai psikis labil. Kepada
wanita-wanita seperti ini, penting diberikan penerangan yang cukup
sebelum dilakukan pemasangan AKDR.

1.5.2.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pengguna akseptor kontrasepsi IUD /
AKDR menurut Sifuddin (2009) adalah sebagai berikut :
1. Infeksi
AKDR itu sendiri, atau benang yang berada di dalam vagina umumnya tidak
menyebabkan terjadinya infeksi jika alat-alat yang digunakan steril. Infeksi
mungkin terjadi karena disebabkan oleh sudah adanya infeksi yang subakut atau
menahun pada traktus genitalis sebelum pemasangan AKDR.
2. Perforasi
Umumnya perforasi terjadi sewaktu pemasangan AKDR walaupun dapat terjadi
pula dikemudian hari. Pada permulaan hanya ujung AKDR saja yang menembus
dinding uterus, tetapi lama kelamaan dengan adanya kontraksi uterus, AKDR
terdorong lebih jauh menembus dinding uterus, sehingga akhirnya sampai ke
rongga perut. Kemungkinan adanya perforasi harus diperhatikan apabila pada
pemeriksaan dengan spekulum, benang AKDR tidak kelihatan. Dalam hal ini
pada pemeriksaan dengan sonde uterus atau mikrokuret tidak dirasakan AKDR
dalam rongga uterus. Jika ada kecurigaan kuat tentang terjadinya perforasi,
sebaiknya dilakukan foto rontgen, dan jika tampak di foto AKDR dalam rongga
panggul, hendaknya dilakukan histerografi untuk menetukan apakah AKDR
terletak di dalam atau diluar kavum uteri. Dewasa ini dapat dilakukan dengan
USG transvaginal atau USG transabdominal.
3. Kehamilan
Jika timbul kehamilan pada AKDR in situ, tidak akan timbul cacat pada bayi
baru lahir, oleh karena AKDR terletak antara selaput ketuban dan dinding
rahim. Angka keguguran dengan AKDR in situ tinggi. Jika ditemukan
kehamilan dengan AKDR in situsedang benangnya masih kelihatan, sebaiknya
AKDR dikeluarkan oleh karena kemungkinan terjadinya abortus setelah AKDR
itu dikeluarkan lebih kecil daripada jika AKDR dibiarkan terus berada dalam
rongga uterus. Jika benang AKDR tidak kelihatan, sebaiknya AKDR dibiarkan
saja berada dalam uterus.
1.5.2.9. Pemasangan
Menurut Saifuddin (2009), AKDR dapat dipasang dalam keadaan berikut
ini :
1. Sewaktu haid sedang berlangsung
Pemasangan AKDR pada waktu ini dapat dilakukan pada hari-hari terakhir haid.
Keuntungan pemasangan AKDR pada waktu ini antara lain :
a. Pemasangan lebih mudah oleh karena serviks pada waktu itu agak ter-
buka dan lembek
b. Rasa nyeri tidak seberapa keras
c. Perdarahan yang timbul sebagai akibat pemasangan tidak seberapa di-
rasakan
d. Kemungkinan pemasangan AKDR pada uterusyang sedang hamil tidak
ada
2. Sewaktu postpartum
Pemasangan AKDR setelah melahirkan dapat dilakukan :
a. Secara dini (immediate insertion) yaitu AKDR dipasang pada wanita
yang melahirkan sebelum dipulangkan dari rumah sakit
b. Secara langsung (direct insertion) yaitu AKDR dipasang dalam masa 3
bulan setelah partus atau abortus
c. Secara tidak langsung (indirect insertion) yaitu AKDR dipasang sesudah
masa 3 bulan setelah partus atau abortus
d. Pemasangan AKDR dilakukan pada saat yang tidak ada hubungan sama
sekali dengan partus atau abortus
Bila pemasangan AKDR tidak dilakukan dalam waktu seminggu setelah
bersalin, sebaiknya AKDR ditangguhan sampai 6-8 minggu postpartum oleh
karena jika pemasangan AKDR dilakukan antara minggu kedua dan minggu
keenam setelah partus, bahaya perforasi atau ekspulsi lebih besar.
3. Sewaktu postabortum
Sebaiknya AKDR dipasang segera setelah abortus oleh karena dari segi fisiologi
dan psikologi waktu itu adalah paling ideal. Tetapi, septic abortion merupakan
kontraindikasi.
4. Beberapa hari setelah haid terakhir
Dalam hal yang terakhir ini wanita yang bersangkutan dilarang untuk
bersenggama sebelum AKDR dipasang. Sebelum pemasangan AKDR
dilakukan, sebaiknya diperlihatkan pada akseptor bentuk AKDR yang dipasang,
dan bagaimana AKDR tersebut terletak dalam uterus setelah terpasang. Perlu
dijelaskan kemungkinan terjadinya efek samping seperti perdarahan, rasa sakit,
atau AKDR keluar sendiri. Untuk memilih AKDR yang akan dipasang, terlebih
dahulu ditentukan panjangnya rongga uterus. Selalu diusahakan untuk
memasang AKDR yang mempunyai ukuran yang sebesar mungkin oleh karena
dengan memakai AKDR yang mempunyai ukuran besar, kegagalan dan
kecenderungan untuk ekspulsi akan berkurang. Sebaliknya, ukuran yang lebih
kecil sebaiknya dipasang ada akseptor yang mengalami banyak perdarahan dan
rasa sakit.

1.5.2.10. Waktu Kunjungan Ulang


Segeralah pergi ke dokter jika menemukan gejala-gejala berikut satu bulan
setelah pemasangan:
a. Mengalami keterlambatan haid yang disertai tanda-tanda kehamilan:
mual, pusing, muntah-muntah.
b. Terjadi pendarahan yang lebih banyak (lebih hebat) dari haid biasa.
c. Terdapat tanda-tanda infeksi, semisal keputihan, suhu badan meningkat,
mengigil, dan lain sebagainya. Pendeknya jika ibu merasa tidak sehat
d. Sakit, misalnya diperut, pada saat melakukan senggama.
Bila tidak ada keluhan sebelumnya, waktu kunjungan ulang menurut BKKBN
(2003) yaitu;
a. 1 bulan pasca pemasangan
b. Tiga (3) bulan kemudian
c. Setiap 6 bulan berikutnya
d. Satu (1) tahun sekali
e. Bila terlambat haid 1 minggu
f. Perdarahan banyak dan tidak teratur.

1.5.3 Kontrasepsi mantap


1.5.3.1 Metode Operatif Wanita (MOW)
a. Definisi Metode Operatif Wanita (MOW)
Metode Operatif Wanita (MOW) disebut juga MOW adalah metode kon-
trasepsi untuk perempuan yang tidak ingin memiliki keturunan lagi.Metode ini
dapat berupa pengikatan dan pemotongan, dapat juga disebut juga sebagai
oklusi tuba atau sterilisasi( Saifudin, 2011).
Indung telur akan menghasilkan sel telur dengan siklus sebulan sekali
mulai menarche sampai menopause. Sel telur tersebut kemudian masuk ke
dalam saluran tuba yang apabila bertemu dengan spermatozoa akan terjadi
pembuahan. Kehamilan terjadi apabila mudigah tertanam pada dinding rahim.
Dengan MOW maka perjalanan sel telur terhambat sehingga tidak dapat
bertemu dan tidak dibuahi oleh sperma (Prawiroharjo, 2010). Dijepit dengan
cincin (tubal ring), penjepit (tuba klip), atau pita tuba (tuba band). Selain itu
dapat dilakukan koagulasi elektrik.
Metode ini memerlukan prosedur bedah, sehingga diperlukan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan tambahan lainnya untuk memastikan klien sesuai dengan
metode kontrasepsi ini. Metode Operatif Wanita (MOW) termasuk metode
efektif dan tidak menimbulkan efek samping jangka panjang, dan angka kefek-
tivitasan MOW dibandingkan dengan metode kontrasepsi yang lain adalah se-
bagai berikut :
Kehamilan Per 100 Perempuan Dalam 12 Bulan
Pertama Pemakaian
Tingkat Efektivitas Metode Kontrasepsi
Dipakai Secara Biasa Dipakai Secara Tepat
Dan Konsisten

Metode Operatif Wanita 0,5 0,5


(MOW)

Vasektomi 0,15 0,1

Implan 0,05 0,05

Sangat Efektif Suntikan kombinasi 3 0,05

Suntikan DMPA 3 0,3

AKDR CuT-380A 0,8 0,6

Pil Progesteron ( Masa 1,0 0,5


Laktasi)

Metode Amenore Laktasi 2 0.5


(MAL)
Efektif dalam pemakaian
biasa, sangat efektif jika
Pil Kontrasepsi Kombinasi 8 0,3
dipakai secara tepat dan
konsisten
Pil Progesteron (Bukan - 0,5
Masa Laktasi)

Efektif jika dipakai secara Kondom Pria 15 2


tepat dan konsisten
Senggama Terputus 27 4
Diagfragma + Spermisida 29 18

KB Alamiah 25 1-9

Kondom Perempuan 21 5

Spermisida 29 18

Tanpa KB 85 85

Keterangan 0-1 : Sangat Efektif 2-9 : Efektif > 9 : Kurang efektif

Tabel Efektivitas Berbagai Metode Kontrasepsi (WHO, 2004)

MOW mempunyai keunggulan-keunggulan sebagai berikut; cara relative


mudah, murah dan aman, hanya memerlukan sekali motivasi, sekali tindakan
dan tidak memerlukan pengawasan lebih lanjut yang terus menerus. Angka
kegagalan rendah dan sangat efektif dalam mencegah kehamilan dan efek
samping sedikit. Umumnya tidak terjadi keluhan yang berkepanjangan pada
akseptor MOW (kontrasepsi mantap) apabila dilakukan secara baik,benar dan
sesuai prosedur (Prawiroharjo, 2010) .
Keluhan awal yang terjadi pada post operasi hanya bersifat rasa nyeri pada
daerah sayatan, dan infeksi yang terjadi sekitar 1-3% dan ini dapat
ditanggulangidengan antibiotik dan perawatan yang adekuat. Selain
keunggulan dari MOW juga mempunyai dampak negatif seperti; dapat terjadi
perdarahan dalam rongga perut atau terjadi infeksi daerah panggul, tetapi angka
kejadiannya sangat jarang. Lebih ekonomis karena hanya memerlukan biaya
untuk sekali tindakan saja, apabila dilakukan dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan, maka efek samping, resiko komplikasi dan kematian sangat
minimal (Prawiroharjo, 2010).
Faktor yang mempengaruhi masyarakat khususnya wanita yang PUS tidak
memilih metode kontrasepsi MOW ini salah satunya adalah tidak ada
dukungan dari keluarga khususnya suami yang disebabkan oleh banyaknya
efek samping dari MOW terutama respon seksual terhadap suami. Banyak yang
tidak setuju terhadap MOW ini dari salah satu pasangan suami dan istri yang
disebabkan oleh kurangnya informasi tentang MOW.
Hasil penelitian Sahid (2008) tentang dari 43 respon ditemukan pengguna
akseptor MOW mayoritas sudah mendapat konseling pra MOW sehingga dapat
disimpulkan bahwa penting untuk memberikan informasi terkait MOW untuk
memberikan pemahaman positif tentang hal ini. Oleh sebab itu bagi pasangan
suami istri yang akan melaksanakan MOW ini perlu konseling dari tenaga
kesehatan seperti dokter atau perawat yang melayani kontrasepsi keluarga
berencana.
Faktor lain yang menyebabkan masyarakat tidak menggunakan tindakan
MOW ini dapat dianggap tidak reversibel artinya kontrasepsi ini dilakukan
sekali dalam seumur hidup wanita tersebut ((Prawiroharjo, 2010). Walaupun
sekarang ada kemungkinan untuk membuka tuba kembali pada mereka yang
akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi rekanalisasi yaitu
operasi dengan bedah mikro sudah banyak dikembangkan.Tehnik ini tidak saja
menyambung kembali tuba fallopi dengan baik, tetapi juga menjamin
kembalinya fungsi tuba.

Hal ini disebabkan oleh tehnik bedah mikro yang secara akurat
menyambung kembali tuba dengan trauma yang minimal,, mengurangi
perlekatan pasca operasi, mempertahankan fisiologi tuba, serta menjamin
fimbriae tuba tetap bebas sehingga fungsi penangkapan ovum masih tetap baik
((Prawiroharjo, 2010) walaupun angka keberhasilannya kecil.

Faktor-faktor lain yang mengharuskan seorang wanita usia subur yang


berstatus pasien psikiatrik yang dirawat dirumah, tidak menutup kemungkinan
akan menjadi hamil. Kondisi ini menyebabkan wanita tersebut kurang tanggap
terhadap penggunaan jenis kontrasepasi lain. Sebaiknya pada wanita ini dengan
status tersebut diberikan kontrasepsi MOW.Jika ada kegagalan pada metode
MOW ini maka kemungkinan terjadi resiko tinggi kehamilan ektopik.
(Prawiroharjo, 2010).

Pada ibu yang post MOW sementara waktu akan merasa berduka atau
merasa kehilangan sesuatu dari tubuhnya disebabkan kurangnya pengetahuan
pasien tentang MOW ini atau tingkat pengetahuan / pendidikan pasien yang
rendah. Metode dengan operasi MOW ini dijalankan atas dasar sukarela dalam
rangka Keluarga Berencana. Tugas perawat harus memberikan penjelasan
tentang berbagai alternatif pengendalian kehamilan permanent dan sementara,
konseling difokuskan untuk membicarakan rasa takut dan pemahaman yang
keliru tentang MOW ini dan kenikmatan seksual menurun tidak benar kecuali
hal tersebut disebabkan oleh faktor psikis (Sujiyatini,2009).
b. Mekanisme Kerja MOW (Metode Operatif Wanita)

Mekanisme kerja dari MOW adalah dengan mengoklusi tuba falopii (mengikat
dan memotong atau dengan memasang cincin) sehingga sperma tidak dapat
bertemu dengan ovum.

c. Profil MOW (Metode Operatif Wanita)

Menurut buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi, profil MOW


adalah:

· Sangat efektif dan permanen.


· Tindak pembedahan yang aman dan sederhana.
· Tidak ada efek samping.
· Konseling dan informed consent (persetujuan tindakan) mutlak diperlukan.

d. Jenis MOW

Ada dua jenis metode MOW, yaitu:

· Manilaporotomi.
· Laparoskopi.

Persyaratan Medis Dalam Penggunaan Kontrasepsi Metode Operatif Wanita


(MOW)

Dalam BukuPanduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, pada


kontrakontrasepsi mantap seperti Metode Operatif Wanita (MOW) dan Metode
Operatif Pria (MOP) digunakan klasifikasi sebagai berikut untuk persyaratan
penggunaan kontrasepsi :

Klasifikasi Penjelasan

A Tidak ada alasan medis yang merupakan kontraindikasi dilakukannya


kontrasepsi mantap.

B Tindakan kontrasepsi mantap dapat dilakukan, tetapi dengan persia-


pan dan kewaspadaan khusus
C Sebaiknya kontrasepsi mantap ditunda sampai kondisi medis diper-
baiki. Sementara itu berikan metode kontrasepsi lainnya.

D Tindakan kontrasepsi mantap hanya dilakukan oleh tenaga yang san-


gat berpengalaman, dan perlengkapan anestesi tersedia. Demikian
pula fasilitas penunjang lainnya. Diperlukan pula kemampuan untuk
mentukan prosedur klinik serta anestesi yang tepat.

Tabel Klasifikasi Persyaratan Medis Kontrasepsi Mantap (Saifudin,


2011)

Untuk kontrasepsi mantap pada wanita, yakni Metode Operatif Wanita


(MOW) persyaratan medis yang digunakan dalam penggunaan kontrasepsi
dalah sebagai berikut :

Kondisi Klasifikasi

Karakteristik Pribadi dan Riwayat Reproduksi

Kehamilan C

Usia Muda B

Nulipara A
Paritas
Multipara A

Preeklamsia ringan A

Selama Kehamilan Preeklamsia berat/eklamsia C

Perdarahan Antepartum C

Trauma Berat Daerah Genitalia C

Ruptur Uterus D

Ketuban Pecah > 24 jam C

< 7 hari A

7 – 24 hari C
Pasca Persalinan
≥ 24 hari A

Infeksi Nifas C

Pasca Abortus Tanpa Komplikasi A

Sepsis Pasca Keguguran C

Perdarahan Pasca Keguguran C


Trauma Alat Genital saat abortus C

Perforasi Uterus D

Hematometra C

Kehamilan Ektopik Lampau A

Usia < 35 tahun A


Merokok
Usia >35 tahun A

Obesitas ≥ 30kg/m2 IMT B

Penyakit Kardiovaskuler

Faktor Resiko Multipel Penyakit Kardiovaskuler D

Hipertensi terkontrol B

Kenaikan Tekanan Darah Sistolik 140-


B
Hipertensi 160 atau diastolic 90-100

Sistolik > 160 atau Diastolik > 100 D

Penyakit vaskuler D

Riwayat Hipertensi Selama Kehamilan A

Riwayat TVD/EP A
Trombosis Vena Dalam/
TVD/EP saat ini C
Emboli Paru
Riwayat Keluarga dengan TVD/EP A

Imobilisasi Lama C
Bedah Mayor
Tanpa Imobilisasi Lama A

Bedah Minor A

Mutasi Trombogenik A

Trombosis Vena Per- Varises


A
mukaan

Tromboflebitis Permukaan A

Penyakit Jantung Iskemik Saat ini D

Riwayat B

Stroke B

Hiperlipidemia A

Penyakit Jantung Ven- Tanpa Komplikasi B


trikuler Dengan Komplikasi D

Kelainan Neurologis

Nyeri Kepala Non Migrain A

Migrain A

Epilepsi B

Depresi

Depresi B

Infeksi dan Kelainan Alat Reproduksi

Irreguler A
Perdarahan Pervaginam
Banyak A

Perdarahan yang tidak jelas sebabnya C

Endometriosis D

Tumor Ovarium Jinak A

Dismenorea Berat A

Jinak A
Penyakit Trofoblas
Ganas C

Ektropion Serviks A

Neoplasia Intraepitelial Serviks A

Penyakit Mammae Massa tidak terdiagnosis A

Penyakit Mamma Jinak A

Riwayat Kanker dalam Keluarga A

Kanker Mammae saat ini B

Kanker Mammae riwayat lampau,


A
dan Tidak Kambuh dalam 5 Tahun

Kanker Endometrium C

Kanker Ovarium C

Fibroma Uterus Tanpa Gangguan Kavum Uteri B

Dengan Gangguan Kavum Uteri B

Penyakit Radang Panggul Riwayat PRP dengan Kehamilan


A
Berikutnya
Riwayat PRP tanpa Kehamilan B

Saat ini C

Purulen servisitis/infeksi
C
klamidia/gonorea

IMS Lain ( Kecuali HIV dan Hepati-


Infeksi Menular Seksual A
tis)

Vaginitis A

Resiko IMS Meningkat A

HIV/AIDS

Resiko Tinggi HIV A

Terinfeksi HIV A

AIDS D

Infeksi Lain

Tanpa Komplikasi A
Skistosomiasis
Fibrosis Hati B

Nonpelvis A
Tuberkulosis
Pelvis D

Malaria A

Penyakit Endokrin

Riwayat Diabetes Gestasional A

Non-Insulin Dependen B

Insulin Dependen B
Diabetes
Nefropati/renopati/neuropati D

Penyakit vascular lain/Diabetes >


D
20 tahun

Goiter A

Penyakit Tiroid Hipertiroid D

Hipotiroid B

Penyakit Gastrointestinal

Penyakit Kantung Empedu Terapi Kolesistektomi A

Diobati dengan Obat Saja A


Simptomatik Saat ini C

Asismtomatik A

Berhubungan dengan kehamilan A


Riwayat Kolestasis Berhubungan dengan pil kon-
A
trasepsi

Aktif C
Hepatitis Virus
Carier A

Ringan B
Sirosis
Berat D

Jinak (Adenoma) B
Tumor Hati
Malignan (Hepatoma) B

Kelainan pada Darah

Talasemia B

Anemia Bulan Sabit B

Anemia Defisiensi Fe Hb < 7gr% C

Hb 7 – 10 gr% B

Kelainan Lain Yang Relevan dengan MOW

Infeksi Kulit Abdomen C

Gangguan Peredaran Darah D

Bronkhitis, pneumonia C
Penyakit Paru
Asthma, Emfisema, Infeksi Paru D

Infeksi Sistemik/Gastroenteritis C

Perlekatan uterus oleh karena pembedahan/infeksi lampau D

Hernia Umbilikalis atau Abdomen D

Hernia Diagfragmatikus B

Penyakit Ginjal B

Defisiensi Gizi Berat B

Pembedahan Abdomen/Pelvik Terdahulu B

Strerilisasi bersamaan dengan Elektif B


Pembedahan Abdominal Emergency C

Keadaan Infeksi C

Strerilisasi bersamaan dengan Sectio Sesarea A

Tabel Persyaratan Medis Dalam Penggunaan MOW (Buku Panduan


Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2011)

e. Metode Operatif Wanita (MOW) Pasca Salin

Lebih dari 95% klien pasca persalinan ingin menunda kehamilan


berikutnya paling sedikit 2 tahun lagi, atau tidak ingin menambah anak lagi.
Konseling tentang Keluarga Berencana (KB) atau metode kontrasepsi
sebaiknya diberikan sewaktu asuhan antenatal maupun pasca persalinan.

Pada klien pasca persalinan dianjurkan untuk :

a. Memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan. Sesudah bayi


berusia 6 bulan diberikan makanan pendamping ASI dengan pemberian
ASI diteruskan samapai anak berusia 2 tahun.
b. Tidak menghentikan ASI untuk memulai suatu metode kontrasepsi.
c. Metode kontrasepsi pada klien menyusui dipilih agar tidak mempen-
garuhi ASI atau kesehatan bayi.
Pemilihan Metode Kontrasepsi Mantap pada wanita, yaitu MOW memiliki
karakteristik seperti berikut :

Metode Kon- Waktu Pasca


Ciri Ciri Khusus Catatan
trasepsi Persalinan

Metode Op-  Dapat di-  Tidak ada pengaruh  Perlu anestesi


eratif Wanita lakukan terhadap laktasi atau local
(MOW) dalam 48 tumbuh kembang  Konseling
jam pasca bayi mengenai kon-
persalinan  Minilaparotomi pas- trasepsi jenis
 6 minggu capersalinan paling ini sudah harus
pasca salin mudah dan di- dilakukan se-
lakukan dalam 48 waktu asuhan
jam pasca persali- antenal
nan bersama ibu
dan suami

Tabel Penggunaan MOW Pasca Salin (Buku Panduan Praktis Pelayanan


Kontrasepsi, 2011)

f. Manfaat dan Keterbatasan

Manfaat dari penggunaan MOW dilihat dari tujuannya sebagai kontrasepsi


maupun sebagai nonkontrasepsi yaitu:

Kontrasepsi

· Motivasi kepada pasien hanya dilakukan satu kali saja, sehingga tidak diper-
lukan motivasi yang berulang-ulang.
· Sangat efektif/ Efektivitas hampir 100% (0,5 kehamilan per 100 perempuan se-
lama tahun pertama penggunaan).
· Tidak mempengaruhi proses menyusui (breastfeeding).
· Tidak bergantung pada faktor sanggama.
· Baik bagi klien apabila kehamilan akan menjadi risiko kesehatan yang serius.
· Pembedahan sederhana, dapat dilakukan dengan anestesi lokal.
· Tidak ada efek samping dalam jangka panjang.
· Tidak ada perubahan dalam fungsi seksual (tidak ada efek pada produksi hor-
mon ovarium).
· Tidak mempengaruhi libido seksualitas
· Kegagalan dari pihak pasien (patient’s failure) tidak ada.
Nonkontrasepsi

Berkurangya risiko kanker ovarium.

Selain manfaat yang dimiliki, MOW juga memiliki keterbatasan. Adapun


keterbatasan MOW adalah:

· Harus dipertimbangkan sifat permanen metode kontrasepsi ini (tidak dapat dip-
ulihkan kembali), kecuali dengan operasi rekanalisasi.
· Klien dapat menyesal di kemudian hari.
· Risiko komplikasi kecil (meningkat apabila digunakan anestesi umum).
· Rasa sakit/ketidaknyamanan dalam jangka pendek setelah tindakan.
· Dilakukan oleh dokter yang terlatih (dibutuhkan dokter spesialis ginekologi atau
dokter spesialis bedah untuk proses laparoskopi).
· Tidak melindungi diri dari IMS, termasuk HBV dan HIV/AIDS

g. Indikasi Metode Dengan Operasi

Metode dengan operasi dewasa ini dijalankan atas dasar sukarela dalam
rangka keluarga berencana.Kerugiannya ialah bahwa tindakan ini dapat dianggap
tidak reversible, walaupun sekarang ada kemungkinan untuk membuka tuba
kembali pada mereka yang akhirnya masih menginginkan anak lagi dengan operasi
rekanalisasi.Oleh karena itu, penutupan tuba hanya dapat dikerjakan pada mereka
yang memenuhi syarat-syarat tertentu (Prawiroharjo, 2010).

Seminar kuldoskopi Indonesia pertama di Jakarta (18-19 Desember 1972)


mengambil kesimpulan, sebaiknya MOW sukarela dilakukan pada wanita yang
memenuhi syarat-syarat berikut:

1. Umur termuda 25 tahun dengan 4 anak hidup


2. Umur sekitar 30 tahun dengan 3 anak hidup
3. Umur sekitar 35 tahun dengan 2 anak hidup
Pada konferensi khusus perkumpulan untuk sterilisasi sukarela Indonesia di
Medan (3-5 Juni 1976) dianjurkan pada umur antara 25-40 tahun, dengan jumlah
anak sebagai berikut:

1. Umur antara 25-30 tahun dengan 3 anak atau lebih


2. Umur antara 30-35 tahun dengan 2 anak atau lebih
3. Umur antara 35-40 tahun dengan 1 anak atau lebih.
Umur suami hendaknya sekurang-kurangnya 30 tahun, kecuali apabila jumlah anak
telah melebihi jumlah yang diinginkan oleh pasangan itu.
Sedangkan dalam buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi disebutkan
bahwa yang dapat menjalani tubektomi meliputi:

· Usia> 26 tahun.
· Yakin telah mempunyai besar keluarga yang sesuai dengan kehendaknya.
· Pada kehamilannya akan menimbulkan risiko kesehatan yang serius.
· Pasca persalinan.
· Pasca keguguran.
· Paham dan secara sukarela setuju dengan prosedur

Keadaan Anjuran
Masalah – masalah medis signifikan Klien dengan masalah medis yang
(misalnya penyakit jantung atau signifikan menghakekati penatalaksanaan
pembekuan darah, Penyakit Radang lanjutan dan bedah yang khusus.
Panggul Sebenlumnya / sekarang, Misalnya, prosedur ini harus dilakukan di
obesitas diabetes. rumah sakit tipe A atau B atau fasilitas
swasta dan bukan di sebuah ambulatory
facility. Bila memungkinkan, masalah –
masalah medis yang signifikan sebaiknya
din kontrol proses pembedahan.
Anak tunggal dan /atau dengan tanpa Nasihat yang sangat hati-hati dan
anak sama sekali membutuhkan yang bijak. Bantulah klien
untuk memilih metode yang lain, bila
perlu.
Tabel Keadaan yang memerlukan kehati-hatian(Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kontrasepsi, 2011)

Yang Sebaiknya Tidak Menjalani Tubektomi

· Hamil (sudah terdeteksi atau dicurigai).


· Perdarahan vaginal yang belum terjelaskan (hingga harus dievaluasi).
· Infeksi sistemik atau pelvik yang akut (hingga masalah itu disembuhkan atau
dikontrol).
· Tidak boleh menjalani proses pembedahan.
· Kurang pasti mengenai keinginannya untuk fertilitas di masa depan.
· Belum memberikan persetujuan tertulis.

h. Waktu Dilakukan Tubektomi

Sehubungan dengan waktu melakukan dengan metode operasi, dapat


dibedakan antara M.O post partum dan M.O dalam interval. Tubektomi post
partum dilakukan satu hari setelah partus (Prawiroharjo, 2010).

Dalam buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi disebutkan


bahwa waktu pelaksanaan tubektomi meliputi:

· Setiap waktu selama siklus menstruasi apabila diyakini secara rasional


klien tersebut tidak hamil.
· Hari ke-6 hingga ke-13 dari siklus menstruasi (fase proliferasi).
• Pascapersalinan.

- Minilap : di dalam waktu 2 hari atau setelah 6 minggu atau 12 minggu.

- Laparoskopi : tidak tepat untuk klien-klien pasca persalinan.

• Pasca keguguran.

- Triwulan pertama: dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bukti


infeksi pelvik (minilap atau laparoskopi).

- Triwulan kedua: dalam waktu 7 hari sepanjang tidak ada bukti infeksi
pelvik (minilap saja).

i. Pelaksanaan Pelayanan Metode Operatif Wanita (MOW)

Persiapan Klien

a. Konseling

1. Konseling merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan kontap. Tu-
juannya ialah untuk membantu calon akseptor kontap memperoleh informasi
lebih lanjut mengenai kontap, dan pengertian yang lebih baik mengenai
dirinya, keinginannya, sikapnya, kekhawatirannya, dan sebagainya, dalam us-
ahanya untuk memahami, dan mengatasi permasalahan yang sedang di-
hadapinya. Kegiatan konseling dengan demikian merupakan kegiatan penye-
lenggaraan suatu bentuk percakapan yang dilaksanakan berdasrkan per-
syaratan tertentu. Hal ini berarti setiap tenaga konselor perlu mengikuti pen-
didikan konseling yang diadakan khusus untuk keperluan kontap ini. Oleh
karena pelayanan konseling merupakan bagian dari pelayanan kontap secara
menyeluruh, maka pelayanan konseling kontap harus diprogramkan dengan
baik. Hal ini berarti bahwa pelayanan konseling kontap tidak berhenti pada
pratindakan kontap itu saja, tetapi dapat berlanjut pada saat tindakan itu
sendiri dan sesudah tindakan kontap tersebut dilaksankan.
2. Secara khusus dapat dikatakan bahwa tujuan konseling pratindakan kontap
bertujuan untuk:
a. Membantu suami istri untuk memilih salah satu cara kontrasepsi yang
paling baik dan digunkan mereka dalam kurun reproduksinya.
b. Mengenal dan menghilangkan keragu-raguan atau kesalah pahaman
mengenai kontap itu sendiri.
c. Menjamin bahwa pilihan untuk memilih kontap sebagai kontrasepsi bagi
dirinya adalah benar-benar sukarela tanpa paksaan.
d. Memberikan informasi mengenai tata cara pelaksanaan kontap itu
sendiri, termasuk pengisian permohonan dan persetujuan untuk dilak-
sankan kontap pada dirinya, prosedur operasinya, dan follow upnya.
3. Selama tindakan, tujuan konseling ialah untuk:
a. Meningkatkan keyakinan dan membantu menenangkan calon akseptor
untuk mempermudah pelaksanaan kontap.
b. Menenangkan pasangan dan anggota keluarga lain yang ikut mengantar
atau menemani calon akseptor.
4. Sesudah tindakan, maka tujuan konseling ialah untuk:
a. Mengenal dan menghilangkan kesalahpahaman yang dikaitkan dengan tindakan
kontap yang diperolehnya.
b. Membantu meningkatkan keyakinan dan penerimaan akseptor akan pelayanan kon-
tap yang diperolehnya.
b.Syarat-Syarat

1. Syarat-syarat untuk menjadi akseptor kontap meliputi syarat sukarela, syarat baha-
gia, dan syarat medic.
2. Syarat sukarela meliputi:
a. Bahwa pada saat ini selain kontap masih ada kontrasepsi lainnya yang dapat digu-
nakan untuk menjarangkan kehamilan, tetapi mereka tetap memilih kontap untuk
menciptakan keluarga kecil.
b. Telah dijelaskan bahwa kontap merupakan tindakan bedah dan setiap tindakan be-
dah selalu ada risikonya, walaupun dalam hal ini kecil, tetapi mereka yakin akan
kemampuan dokter yang melaksanakannya dan faktor risiko dianggap oleh mereka
hanya faktor kebetulan saja.
c. Bahwa kontap adalah kontrasepsi permanen dan tidak dapat dipulihkan kembali,
oleh karena itu mereka sulit untuk mempunyai keturunan lagi, tetapi mereka den-
gan sadar memang tidak ingin untuk menambah jumlah anak lagi untuk selamanya.
d. Bahwa mereka telah diberi kesempatan untuk mempertimbangkan maksud pilihan
kontrasepsinya, tetapi tetap memilih kontap ini sebagai kontrasepsi bagi mereka.
3. Setelah keempat syarat sukarela tersebut dipenuhi belum berarti mereka dapat
segera dilakukan kontap. Nilai ukur untuk dikatakan bahwa keluarga tersebut
adalah keluarga bahagia pun harus dipenuhi pula. Nilai ukur ini dapat diketahui
saat konseling dengan wawancara tertentu, antara lain diketahui bahwa suami istri
ini terikat dalam perkawinan yang sah, harmonis, dan telah mempunyai sekurang-
kurangnya 2 orang anak hidup, dengan umur anak terkecil 2 tahun dan umur istri
sekurang-kurangnya 25 tahun. Ditetapkannya umur anak terkecil disebabkan angka
kematian anak di Indonesia masih tinggi , dan ditetapkannya umur istri disebabkan
pada beberapa daerah tertentu angka perceraian juga masih tinggi.
4. Setelah syarat bahagia ini dipenuhi, syarat medic kemudian dipertimbangkan, ter-
masuk pemeriksaan fisik, ginekologik dan laboratorik.
Persiapan Medik

a. Ruang Operasi
Ruang operasi harus tertutup dengan pintu yang dapat dikunci dan harus jauh
dari daerah sibuk. Untuk itu diperlukan:

 penerangan yang cukup,


· lantai semen atau keramik yang mudah dibersihkan,
· bebas debu dan serangga, dan
· alat pengatur suhu ruangan (sedapat mungkin). Apabila sarana tersebut tidak terse-
dia, sebaiknya ruangan tersebut mempunyai ventilasi yang baik.
Tempat pelayanan harus mempunyai/ada air bersih yang mengalir, tempat
cuci tangan dekat dengan ruang operasi dan ruangan ganti pakaian sehingga
petugas ruangan bedah tidak melalui ruangan lain (yang sibuk) untuk mencapai
ruang operasi.

Tersedia pula tempat atau kantong plastik yang dapat ditutup rapat dan
bebas dari kebocoran untuk pembuangan limbah.

Suasana Ruang Operasi


Jumlah mikroorganisme akan cenderung meningkat pada tempat/ruang operasi de-
ngan bertambahnya jumlah petugas dan kegiatan yang dilakukannya di dalam
ruang tersebut. Untuk mengurangi kejadian tersebut maka:

· Minimalkan jumlah petugas dan kegiatan setama operasi berlangsung.


· Kunci ruang bedah agar petugas yang tidak berkepentingan tidak keluar masuk ru-
angan dan suhu ruangan bedah tetap terjaga.
· Pisahkan peralatan yang tercemar dengan yang masih steril.
· Klien diatur agar tidak menyentuh instrumen steril yang tersedia atau tersimpan
pada saat masuk dan keluar ruang bedah.
b. Persiapan Klien
Walaupun kulit sekitar vagina dan vagina tidak dapat disterilkan pencucian
dengan larutan antiseptik pada daerah yang akan dilakukan sayatan (termasuk
vagina dan serviks) sudah jauh mengurangi kandungan mikroorganisme sehingga
risiko infeksi dapat dikurangi.

 Klien dianjurkan mandi sebelum mengunjungi tempat pelayanan. Bila tidak sem-
pat, minta klien untuk membersihkan bagian abdomen/perut bawah, pubis dan
vagina dengan sabun dan air.
 Bila menutupi daerah operasi, rambut pubis cukup digunting (bukan/tidak
dicukur). Pencukuran hanya dilakukan apabila sangat menutupi daerah operasi dan
waktu pencukuran adalah sesaat sebelum operasi dilaksanakan.
 Bila menggunakan elevator atau manipulator rahim, sebaiknya dilakukan pen-
gusapan larutan antiseptik (misal Povidon lodin) pada serviks dan vagina (terutama
klien masa interval).
 Setelah pengolesan Betadin/Povidon Iodin pada kulit, tunggu 1 - 2 menit agar
jodium bebas yang dilepaskan dapat membunuh mikroorganisme dengan baik.
c. Kelengkapan untuk Klien dan Petugas Ruang Operasi
Karena ruang bedah dirancang bebas dari berbagai pencemaran, klien dan petugas
ruang bedah harus dipersiapkan sebaik mungkin.

 Klien menggunakan pakaian operasi. Bila tidak tersedia, kain penutup yang bersih
dapat dipergunakan untuk klien.
 Operator dan petugas kamar operasi harus dalam keadaan siap (mencuci tangan,
berpakaian operasi, memakai sarung tangan, topi, dan masker) saat berada di ruang
operasi.
 Masker harus menutupi mulut dan hidung, bila basah/lembab harus diganti.
 Topi harus menutupi rambut.
 Sepatu luar harus dilepas, ganti dengan sepatu atau sandal yang tertutup yang
khusus dipergunakan untuk ruang operasi.
d. Pencegahan Infeksi
Sebelum pembedahan

Operator dan petugas mencuci tangan dengan menggunakan larutan antiseptik,


serta mengenakan pakaian operasi dan sarung tangan steril.

· Gunakan larutan antiseptik untuk membersihkan vagina dan serviks.


· Usapkan larutan antiseptik pada daerah operasi, mulai dari tengah kemudian me-
luas ke daerah Mar dengan gerakan memutar hingga bagian tepi dinding perut. Un-
tuk klien pasca persalinan bersihkan daerah pusat/umbilikus dengan baik. Tunggu
1 - 2 menit agar jodium bebas yang dilepaskan dapat membunuh mikroorganisme
dengan baik.
Selama pembedahan

· Batasi jumlah kegiatan dan petugas di dalam ruang operasi.


· Pergunakan instrumen, sarung tangan dan kain penutup yang steril/DTT.
· Kerjakan dengan keterampilan dan teknik yang tinggi untuk menghindarkan trau-
ma dan komplikasi (perdarahan).
· Gunakan teknik "pass" yang aman untuk menghindari luka tusuk instrumen.
Setelah pembedahan

· Sementara menggunakan sarung tangan operator dan/atau petugas ruang operasi


harus membuang limbah ke dalam wadah atau kantong yang tertutup rapat dan be-
bas dari kebocoran.
· Lakukan tindakan dekontaminasi pada instrumen atau peralatan yang akan diper-
gunakan sebelum dilakukan pencucian, dekontaminasi dengan larutan klorin 0,5%.
· Lakukan dekontaminasi pada meja operasi, lampu, meja instrumen atau benda lain
yang mungkin terkontaminasi/tercemar selama operasi dengan mengusapkan laru-
tan klorin 0,5%.
· Lakukan pencucian dan penatalaksanaan instrumen/peralatan seperti biasa.
· Cuci tangan setelah melepas sarung tangan.
e. Premedikasi dan Anestesi
Pada umumnya pemberian premedikasi untuk tubektomi tidak dibutuhkan
malahan sedapat mungkin dihindarkan.Bila klien tampak cemas, cari penyebab
kecemasan tersebut, dan lakukan konseling tambahan agar klien menjadi tenang.
Bila tak dapat ditemukan penyebabnya, berikan 5 - 10 mg Diazepam secara oral,
30 - 45 menit sebelum operasi dilakukan.

Tujuan Anestesi pada Tubektomi

 Menghindarkan nyeri dan rasa tidak nyaman.


 Mengurangi kecemasan dan ketegangan.
Bila teknik pemberian anestesi tepat, sudah memadai bagi operator untuk
melakukan tindakan bedah, baik minilaparotomi maupun laparoskopi.Karena
tubektomi diarahkan untuk rawat jalan anestesi yang dibutuhkan bergantung pada
pengalaman operator, apakah cukup lokal atau perlu tambahan analgesia.

Anestesi lokal yang menggunakan Lidokain 1% dianggap lebih aman


dibandingkan dengan anestesi umum atau konduksi (spinal/epidural) terutama bila
dilaksanakan/diperlakukan sebagai klien rawat jalan. Penggunaan anestesi umum
mungkin akan meningkatkan komplikasi respiratory depression (misalnya aspirasi
atau henti jantung) akibat kesalahan pemberian bahan anestesi, teknik yang tidak
tepat, pemantauan yang kurang baik, dan gagal melakukan intubasi. Juga fasilitas
mungkin tidak lengkap untuk menangani komplikasi akibat anestesi umum.

Pada penggunaan anestesi lokal atau anestesi lokal yang dimodifikasi,


dianjurkan:
 Agar pemberian anestesi sebaiknya dilakukan oleh operator atau asistennya.
 Klien dan penanganan efek samping perlu mendapat pemantauan.
 Dosis sebaiknya diberikan dalam unit/kg untuk menghindari pemberian yang
berlebihan dan klien ditangani secara individual.
 Peralatan dan obat darurat harus tersedia.
Obat Regimen

Dosis Umum Dosis Maksimum

Unit/kg Kline 40-50 kg


Atropin 0,01 mg 0,4 mg 0,6 mg

Diazepam 0,10 5 mg 10 mg

Alternatif :

Midazolam (Versed®) 0,05 mg 2,5 mg 3 mg

Meperidin (Pethidin®) 1 mg 50 mg 75 mg

Alternatif :

Ketamine (ketalar) 0,5 mg 25 mg -

Bila klien membutuhkan tambahan


obat agar lebih nyaman : Meperidin
2,5 mg -

Lidokain

1% Sampai 5 5 ml 1% Lidokain
cc/tuba (Xylocaine®, lingo caine®)
 Analgesik untuk setiap tuba 5 ml 0,5
Bupi vakain (Marcaine®)
lidokain gel 2%.

Lidokain (Xylocaine®,
Lignocaine®) 1% 20 cc
(maksimal 300 mg),
Bupivakain (Marcaine®)
0,5% 20 cc (maksimum 125
 Analgesik lokal Maks.300
mg)
mg/ 20cc

Tabel Obat Anestesi untuk MOW (Buku Panduan Praktis Pelayanan


Kontrasepsi, 2011)

Semua pemberian intravena sebaiknya menggunakan set infus dan cairan


seperti dekstrose, garam fisiologik atau ringer laktat. Obat sebaiknya diberikan
perlahan-lahan (di atas 2 menit ). Hams diingat bahwa midazolam empat kali lebih
kuat daripada diazepam.

Perhatikan kondisi berikut pada pemberian anestesi lokal.

· Semua petugas yang terlibat dalam kegiatan tubektomi harus mengetahui dan
menguasai penggunaan obat-obat anestesi.
· Obat untuk keadaan darurat, demikian pula peralatan lainnya, harus sudah terse-
dia sebelum melakukan tindakan bedah dan petugas yang ada harus mengetahui
cara penggunaannya.
· Sebaiknya tersedia dokter spesialis anestesi atau perawat/penata anestesi ketika
menggunakan anestesi umum.
j. Teknik Operasi
Tindakan yang dilakukan sebagai tindakan pendahuluan untuk mencapai
tuba falloppii terdiri atas pembedahan transabdominal seperti laparotomi,
minilaparotomi, laparoskopi, dan pembedahan transvaginal seperti kolpotomi
posterior, kuldoskopi, serta pembedahan transservikal (trans-uterin), seperti
penutupan lumen tuba histeroskopik.

Untuk menutup lumen dalam tuba, dapat dilakukan pemotongan tuba dengan
berbagai macam tindakan operatif, seperti cara Pomeroy, cara Irving, cara Uchida,
cara Kroener, cara Aldridge. Pada cara Madlener, tuba tidak dipotong. Disamping
cara-cara tersebut, penutupan tuba dapat pula dilakukan dengan jalan kauterisasi
tuba, penutupan tuba dengan clips, Falope ring, Yoon ring, dan lain-lain.

Pada umumnya, dikenal 2 tipe yang sering digunakan dalam pelayanan


tubektomi yaitu minilaparotomi dan laparoskopi.Teknik ini menggunakan anestesi
lokal dan bila dilakukan secara benar, kedua teknik tersebut tidak banyak
menimbulkan komplikasi.

Laparotomi
Tindakan ini tidak dilakukan lagi sebagai tindakan khusus guna
tubektomi. Disini pentupan tuba dijalankan sebagai tindakan tambahan apabila
wanita yang bersangkutan perlu dibedah untuk keperluan lain. Misalnya, pada
wanita yang perlu dilakukan seksio sesaria, kadang-kadang tuba kanan dan kiri
ditutup apabila tidak diinginkan bahwa ia hamil lagi.

Laparotomi Postpartum
Laprotomi ini dilakukan satu hari postpartum.Keuntungannya ialah
bahwa waktu perwatan nifas sekaligus dapat digunakan untuk perawatan pasca
operasi dan oleh karena uterus masih besar, cukup dilakukan sayatan kecil dekat
fundus uteri untuk mencapai tuba kanan dan kiri. Sayatan dilakukan dengan
sayatan semi lunar (bulan sabit) di garis tengah distal dari pusat dengan panjang
kurang lebih 3 cm dan penutupan tuba biasanya diselenggarakan dengan cara
Pomeroy.

Minilaparotomi
Metode ini merupakan penyederhanaan laparotomi terdahulu, hanya
diperlukan sayatan kecil (sekitar 3 cm) baik pada daerah perut bawah (suprapubik)
maupun subumbilikal (pada lingkar pusat bawah).Tindakan ini dapat dilakukan
terhadap banyak klien, relatif murah, dan dapat dilakukan oleh dokter yang diberi
latihan khusus.Operasi ini aman dan efektif.

Baik untuk masa interval maupun pasca persalinan, pengambilan tuba


dilakukan melalui sayatan kecil.Setelah tuba didapat, kemudian dikeluarkan,
diikat, dan dipotong sebagian.Setelah itu, dinding perut ditutup kembali, luka
sayatan ditutup dengan kasa yang kering dan steril dan apabila tidak ditemukan
masalah yang berarti, klien dapat dipulangkan setelah 2 - 4 jam.

Laparotomi mini dilakukan dalam masa interval.Sayatan dibuat di garis


tengah di atas simfisis sepanjang 3 cm sampai menembus peritoneum.Untuk
mencapai tuba dimasukkan alat khusus (elevator uterus) ke dalam kavum
uteri.Dengan bantuan alat ini uterus bilamana dalam retrofleksi dijadikan letak
antefleksi dahulu dan kemudian didorong kea rah lubang sayatan. Kemudian,
dilakukan penutupan tuba dengan salah satu cara.

Laparoskopi
Prosedur ini memerlukan tenaga Spesialis Kebidanan dan Penyakit
Kandungan yang telah dilatih secara khusus agar pelaksanaannya aman dan
efektif.Teknik ini dapat dilakukan pada 6 - 8 minggu pasca persalinan atau setelah
abortus (tanpa komplikasi).Laparoskopi sebaiknya dipergunakan pada jumlah klien
yang cukup banyak karena peralatan laparoskopi dan biaya pemeliharaannya cukup
mahal.Seperti halnya minilaparotomi, laparoskopi dapat digunakan dengan anestesi
lokal dan diperlakukan sebagai klien rawat jalan setelah pelayanan.Laparoskopi
juga cocok untuk klien yang kritis karena tidak banyak menimbulkan rasa tidak
enak serta parut lukanya minimal.Peralatan ini juga dapat dipakai untuk
diagnostik.Peralatan ini memerlukan perawatan yang cukup rumit dan sebaiknya
ada tenaga ahli anestesi pada saat tindakan laparoskopi berlangsung.

Mula-mula dipasang cunam serviks pada bibir depan porsio uteri,


dengan maksud supaya kelak dapat menggerakkan uterus jika hal itu diperlukan
pada waktu laparoskopi. Setelah dilakukan persiapan seperlunya, dibuat sayatan
kulit di bawah pusat sepanjang kurang lebih 1 cm. kemudian, ditempat luka
tersebut dilakukan pungsi sampai rongga peritoneum dengan jarum khusus (jarum
Veres), dan melalui jarum itu dibuat pneumoperitoneum dengan memasukkan CO 2
sebanyak 1 sampai 3 liter dengan kecepatan kira-kira 1 liter per menit. Setelah
pneumoperitoneum dirasa cukup, jarum Veres dikeluarkan dan sebagai gantinya
dimasukkan troikar (dengan tabungnya).Sesudah itu, troika diangkat dan
dimasukkan laparoskop melalui tabung.Untuk memudahkan penglihatan uterus dan
adneks, penderita diletakkan dalam posisi trendelenburg dan uterus digerakkan
melalui melalui cunam serviks pada porsio uteri. Kemudian, dengan cunam yang
masuk dalam rongga peritoneum bersama-sama dengan laparoskop, tuba dijepit
dan dilakukan penutupan tuba dengan kauterisasi, atau dengan memasang pada
tuba cincin Yoon atau cincin Falope atau clip Hulka. Berhubung dengan
kemungkinan komplikasi yang lebih besar pada kauterisasi, sekarang lebih banyak
digunakan cara-cara yang lain.

Kuldoskopi
Wanita ditempatkan pada posisi menungging (posisi genupektoral) dan
setelah spekulum dimasukkan dan bibir belakang serviks uteri dijepit dan uterus
ditarik ke luar dan agak ke atas, tampak kavum Douglasi mekar di antara
ligamentum sakro-uterinum kanan dan kiri sebagai tanda bahwa tidak ada
perlekatan.Dilakukan pungsi dengan jarum Touhy di belakang uterus, dan melalui
jarum tersebut udara masuk dan usus-usus terdorong ke rongga perut.Setelah jarum
diangkat, lubang diperbesar, sehingga dapt dimasukkan kuldoskop. Melalui
kuldoskop dilakukan pengamatan adneksa dan dengan cunam khusus tuba dijepit
dan ditarik ke luar untuk dilakukan penutupannya dengan cara Pomeroy, cara
Kroener, Kauterisasi, atau pemasangan cincin Falope.

Cara Penutupan Tuba

Cara Madlener
Bagian tengah dari tuba diangkat dengan cunam Pean, sehingga terbentuk
suatu lipatan terbuka.Kemudian, dasar dari lipatan tersebut dijepit dengan cunam
kuat-kuat, dan selanjutnya dasar itu diikat dengan benang yang tidak dapat diserap.
Pada cara ini tidak dilakukan pemotongan tuba. Sekarang cara Madlener tidak
dilakukan lagi oleh karena angka kegagalannya relatif tinggi, yaitu 1% sampai 3%.

Cara Pomeroy
Cara Pomeroy banyak dilakukan.Cara ini dilakukan dengan mengangkat
bagian tengah dari tuba sehingga membentuk suatu lipatan terbuka, kemudian
bagian dasarnya diikat dengan benang yang dapat diserap, tuba di atas dasar itu
dipotong. Setelah benang pengikat diserap, maka ujung-ujung tuba akhirnya
terpisah satu sama lain. Angka kegagalannya berkisar antara 0-0,4%.

Cara Irving
Pada cara ini tuba dipotong antara dua ikatan benang yang dapat diserap;
ujung proksimal dari tuba ditanamkan ke dalam miometrium, sedangkan ujung
distal ditanamkan ke dalam ligamentum latum.

Cara Aldridge
Peritoneum dari ligamentum latum dibuka dan kemudian tuba bagian distal
bersama-sama dengan fimbriae ditanam ke dalam ligamentum latum.

Cara Uchida
Pada cara ini tuba ditarik ke luar abdomen melalui suatu insisi kecil
(minilaparotomi) di atas simfisis pubis. Kemudian di daerah ampulla tuba
dilakukan suntikan dengan larutan adrenalin dalam air garam di bawah serosa
tuba.Akibat suntikan ini, menosalping di daerah tersebut mengembung.Lalu, dibuat
sayatan kecil di daerah yang kembung tersebut.Serosa dibebaskan dari tuba
sepanjang kira-kira 4-5 cm; tuba dicari dan setelah ditemukan dijepit, diikat, lalu
digunting.Ujung tuba yang proksimalakan tertanam dengan sendirinya di bawah
serosa, sedangkan ujung tuba yang distal dibiarkan berada di luar serosa.Luka
sayatan dijahit secara kantong tembakau. Angka kegagalan cara ini adalah nol.

Cara Kroener
Bagian fimbriae dari tuba dikeluarkan dari lubang operasi.Suatu ikatan
dengan benang sutera dibuat melalui bagian mesosalping di bawah fimbriae.
Jahitan ini diikat dua kali, satu mengelilingi tuba dan yang lain mengelilingi tuba
sebelah proksimal dari jahitan sebelumnya. Seluruh fimbriae dipotong.Setelah
pasti tidak ada perdarahan, maka tuba dikembalikan ke dalam rongga perut.
Teknik ini banyak digunakan. Keuntungan cara ini antara lain sangat
kecilnya kemungkinan kesalahan mengikat ligamentum rotundum. Angka
kegagalannya 0,19%.

Instrumen untuk Minilaparotomi dan Laparoskopi


Kit minilaparotomi juga dipergunakan untuk laparoskopi, sedangkan
laparoskopi sendiri terdiri dari laparoskop, sistem pencahayaan, gas insuflasi,
jarum khusus, dan trokar. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk laparoskopi
adalah:
· Persediaan suku cadang harus ada setiap saat.
· Terdapat tenaga khusus untuk perbaikan dan pemeliharaan.
· Larutan Cidex® atau formaldehid 8% untuk DTT atau sterilisasi.
· DTT memerlukan waktu 20 menit untuk membuat laparoskop menjadi layak pakai.

Peralatan Resusitasi dan Tindakan Darurat

Sedapat mungkin harus tersedia:


· Ambu bag.
· Tangki oksigen dengan pengatur aliran, selang oksigen dan masker oksigen.
· Mesin penghisap lendir dengan selang dan tabung penampung. Pipa udara untuk
hidung (dua ukuran).
· Pipa udara untuk mulut (dua ukuran).
· Infus set dan cairan infus.
· Peralatan untuk tindakan bedah akut.
Semua peralatan di atas harus dalam keadaan slap pakai, masih berfungsi
balk, dan dalam keadaan steril. Petugas harus mahir mempergunakannya serta
meneliti kelengkapan peralatan tersebut sebelum tindakan berlangsung
(laringoskopi dan pipa endotrakeal harus diaplikasikan oleh tenaga yang terlatih).

Bila memang perlu dilakukan anestesi umum, hal ini harus dilakukan oleh
spesialis anestesiologi, gunakan pipa endotrakeal, tersedianya alat-alat anestesi,
ventilator, dan perlengkapan untuk tindakan gawat darurat (termasuk obat-
obatannya).

k. Prosedur Klinik Metode Operatif Wanita (MOW)


Prosedur Tubektomi Laparoskopi
Langkah 1. Menginstruksikan teknisi untuk menempatkan klien dalam posisi kepala
ke bawah (Trendelenberg) dengan sudut 60°.
Langkah 2. Dengan hati-hati, ambil bagian pinggir umbilikal inferior dengan
menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan anda yang tidak dominan dan
angkat dinding abdomen menjauhi usus.
Langkah 3. Dengan menggunakan ujung mata pisau bedah (skalpel), buat sayatan
kecil, sekitar 1,5 cm, pada kulit di sepanjang pinggiran margin inferior.
Langkah 4. Mengambil batang jarum verres dan insersikan melalui sayatan tersebut
pada sudut 45° menuju pelvis. Dua bagian merupakan bagian lepas yang
berbeda akan terasa pada saat fasia terpenetrasi dan peritonium dengan
gas CO2 dialirkan.
Langkah 5. Menghubungkan selang insuflator pada stop cock jarum verres. Minta
teknisi untuk menyambungkan ujung yang lain ke unit insuflator.
Langkah 6. Memeriksa apakah abdomen telah dimasuki dengan benar dengan
menggunakan alat ukur tekanan pada unit insuflator untuk memeriksa
tekanan negatif intraabdomen (cara lain, tempatkan setetes obat anestesi
pada bukaan Luer-Lok jarum verres dan perhatikan perembesannya ketika
dinding abdomen diangkat secara manual).
Langkah 7. Menggunakan tombol aliran tinggi dari unit insuflator untuk memasukkan
gas CO2 pada kecepatan 1 liter per menit.
Langkah 8. Mulailah insuflasi pada abdomen.
Langkah 9. Mengetuk-ngetuk abdomen bagian bawah dan dengarkan apakah terdapat
suara seperti drum yang mengindikasikan terbentuknya pneumo-
peritoneum dengan sempurna.
Langkah 10. Melepas jarum verres setelah memasukkan 1,5-2,0 liter CO 2 atau setelah
abdomen bagian bawah mencapai ukuran seperti hamil 20 minggu.
Langkah 11. Meminta perawat untuk mengisi cincin fallopii (fallope ring).
Akses Abdomen
Langkah 1. Memeriksa katup terompet (trumpet valve) dan sealkaret dari lengan
trokar untuk memastikan bahwa alat tersebut hampa udara.
Langkah 2. Memperluas sayatan awal hingga mencapai lebar sekitar 2 cm.
Langkah 3. Merakit unit trokar dengan memasukkan trokar ke dalam lengan trokar.
Langkah 4. Mengambil dinding andomen anterior yang langsung berada di bawah
umbilicus dan akngkat.
Langkah 5. Menahan trokar yang telah dirakit pada tangan yang dominan, pastikan
bahwa thenar eminence berada di ujung atas trokar.
Langkah 6. Memiringkan pegangan trokar menuju kepala dengan sudut 60-70°
dengan mengarahkan ujung trokar ke sebuah titik khayalan di tempat
kantung douglas berada. Aplikasikan gaya ke bawah dan memelintir untuk
membalik fasia dan peritoneum. Hentikan setelah peritoneum terasa lepas.
Langkah 7. Menarik trokar sedikit dan majukan lengan trokar 1-2 cm ke dalam rongga
abdomen. Lepas trokar tanpa melepas lengan trokar.
Langkah 8. Menghubungkan selang insuflator ke stop cocktrokar dan buka. Masukkan
udara sesuai dengan kebutuhan.
Langkah 9. Menghubungkan kabel cahaya fiber opticke laprokator dan minta teknisi
untuk menyalakan sumber cahaya.
Langkah 10. Tahan mekanisme katup terompet (trumpet) trokar di antara jari tengah
dan thenar eminencedari tangan yang tidak dominan dengan posisi telapak
tangan menghadap ke bawah.
Langkah 11. Tahan bagian hand griplaprokator dengan menggunakan ibu jari, jari
tengah dan jari manis dari tangan yang dominan. Biarkan jari telunjuk
bebas.
Langkah 12. Masukkan ujung laprokator ke dalam lengan trokar. Buka katup terompet
dan masukkan laprokator perlahan-lahan secara dilihat langsung. Lakukan
manuver unit laprokator-trokar menuju rongga pelvis.
Langkah 13. Periksa dan identifikasi struktur rongga pelvis. Angkat uterus dengan
menekan handel kanula rubin ke bawah. Putar handle dengan gerakan
"lock and key" untuk membuka tuba dan ovarium.
Oklusi Tuba
Langkah 1. Memastikan lokasi dan lakukan konfirmasi saluran tuba fallopii dengan
melacak saluran tuba dari kornu sampai ujung fimbria.
Langkah 2. Membuka ujung-ujung forsep secara penuh dengan menekan trigger
operating slide (pemicu/pelatuk) menjauhi hand grip.
Langkah 3. Tempatkan ujung posterior di bawah aspek inferior tuba sekitar 3 cm dari
kornu. Perlahan-lahan tarik ujung forsep dengan menarik trigger operating
slide (pemicu/pelatuk) menuju hand grip. Gerakkan laprokator ke depan
selama penarikan ujung forsep untuk mengurangi risiko laserasi atau
cedera pada tuba. Lanjutkan penarikan sampai tegangan pegas terasa.
Langkah 4. Dengan menggunakan telunjuk, periksa bahwa adaptor cincin (ring)
berada dalam posisi #1 tanpa melepas pandangan dari teropong la-
prokator. Berikan tekanan tambahan operating slide untuk mengatasi
tegangan pegas dan untuk melepas cincin fallopii (falope ring). Perlahan-
lahan, dorong operating slide untuk membuka ujung-ujung forsep dan
lepas saluran tuba fallopii yang tclah disumbat tersebut.
Langkah 5. Memeriksa apakah penyumbatan 2 cm di atas cincin fallopii/Falope Ring
dan periksa apakah terdapat perdarahan aktif atau tidak. Tarik ujung-ujung
forsep seluruhnya sebelum pemeriksaan dilakukan.
Langkah 6. Menentukan lokasi dan konfirmasi keadaan saluran tuba berikutnya.
Manipulasi kanula rubin jika diperlukan.
Langkah 7. Menempatkan dua adaptor cincin (ring adaptor) di posisi #2. Ulangi
langkah 2-5 untuk menyumbat saluran tuba.
Langkah 8. Memeriksa rongga pelvis untuk melihat adanya perdarahan dan cedera
organ lain.
Langkah 9. Melepas laprokator dari rongga perut dan matikan sumber cahaya
eksternal. Biarkan katup terompet (trumpet valve) trokar terbuka untuk
mengempiskan abdomen. Lepas trokar, goyangkan sesuai dengan
kebutuhan untuk membantu omentum jatuh. Kembalikan posisi meja
operasi dari posisi Trendelenberg ke posisi horisontal
Langkah 10. Menutup sayatan dengan jahitan tunggal, sederhana dengan menggunakan
catgut kromik. Beri antiseptik dan balut luka tersebut.
Hal-hal yang harus Dilakukan Pascabedah
Langkah 1. Meminta perawat untuk melepas kanula rubin dan vulsellum, jika telah
digunakan, dan tempatkan dalam larutan klorin 0,5% untuk dekon-
taminasi.
Langkah 2. Memastikan bahwa klien dipindahkan dengan aman ke ruang pascabedah
(pemulihan).
Langkah 3. Memastikan bahwa jarum ditangani dengan seharusnya. Jika jarum akan
digunakan kembali, pastikan bahwa perawat mengisi spuit (dengan jarum
masih terpasang) dengan larutan klorin 0,5% dan rendam spuit dan jarum
tersebut selama 10 menit. Jika jarum dan spuit akan dibuang, pastikan
bahwa perawat telah membilasnya dengan larutan klorin tiga kali dan
menyimpannya di wadah yang tahan bocor atau tusukan jarum. Cara lain
adalah dengan membuang jarum dan spuit dalam wadah yang tidak dapat
tertusuk oleh jarum. Tempatkan semua instrumen dalam larutan klorin
0,5% untuk dekontaminasi dan rendam selama 10 menit.
Langkah 4. Jika mata pisau skalpel akan dibuang maka ambil skalpel dari larutan
klorin. Kemudian, lepas mata pisau dengan menggunakan forsep dan
simpan dalam wadah yang tidak dapat ditembus benda tajam. Buang
bahan-bahan limbah dengan cara menempatkannya dalam wadah tahan
bocor atau kantung plastik.
Langkah 5. Merendam sebentar sarung tangan yang masih melekat pada tangan dalam
larutan klorin 0,5%. Lepas sarung tangan dalam keadaan terbalik. Jika
sarung tangan akan dibuang, tempatkan dalam wadah tahan bocor atau
kantung plastik. Jika sarung tangan akan digunakan kembali, rendam
dalam klorin selama 10 menit.
Langkah 6. Mencuci tangan dengan seksama menggunakan sabun dan air lalu
keringkan dengan handuk bersih/ biarkan kering oleh udara.
Langkah 7. Memastikan bahwa klien dimonitor pada interval yang teratur dan tanda-
tanda vital diukur.
Langkah 8. Menentukan kapan klien siap untuk pulang (setidaknya 1-2 jam setelah
pemberian obat-obatan IV).

l. Perawatan Pascabedah dan Pengamatan Lanjut

Setiap 15 menit dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan nadi. Bila telah
diperbolehkan minum, sebaiknya klien diberi cairan yang mengandung gula (fanta
atau coca cola, sari buah atau gula-gula) untuk membantu meningkatkan kadar
glukosa darah: Lakukan roinberg sign (klien disuruh berdiri dengan mata tertutup),
bila penderita tampak stabil, suruh mengenakan pakaian dan tentukan pemulihan
kesadaran. Apabila semua berjalan baik, klien dapat dipulangkan.

Pesan Kepada Klien Sebelum Pulang


· Istirahat dan jaga tempat sayatan operasi agar tidak basah minimal selama 2
hari. Lakukan pekerjaan secara bertahap (sesuai dengan perkembangan pemu-
lihan). Umumnya klien akan merasa baik setelah 7 hari.
· Dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas seksual selama 1 minggu dan apa-
bila setelah itu masih merasa kurang nyaman, tunda kegiatan tersebut.
· Jangan mengangkat benda yang berat atau menekan daerah operasi sekurang-
kurangnya selama 1 minggu.
· Bila terdapat gejala-gejala tersebut di bawah ini, segera memeriksakan diri ke
klinik:
— Panas/demam di atas 38°C.
— Pusing dan rasa terputar/bergoyang.
— Nyeri perut menetap atau meningkat.
— Keluar cairan atau darah dari/melalui luka sayatan.
· Untuk mengurangi nyeri, pergunakan analgesik (ibuprofen) setiap 4 - 6 jam.
Jangan pergunakan aspirin karena dapat meningkatkan perdarahan.
· Segera kunjungi klinik bila klien merasakan tanda-tanda kehamilan. Hamil sete-
lah tubektomi, sangat jarang, tetapi bila terjadi, hal ini merupakan hal yang
serius karena kemungkinan besar kehamilan tersebut terjadi pada tuba. Lebih
baik dibuatkan catatan untuk klien atau pasangannya tentang hal-hal apa yang
harus diperhatikannya setelah tubektomi.
Kontrol ulang dilakukan setelah seminggu pascatubektomi dan kontrol
lanjutan dilakukan seminggu kemudian.Pemeriksaan meliputi daerah operasi,
tanda-tanda komplikasi atau hal-hal lain yang dikeluhkan oleh klien.Bila
digunakan benang sutra, pada saat kontrol pertama benang tersebut dicabut.

Kegagalan
Tubektomi sangat efektif tetapi kemungkinan terjadinya kehamilan tetap
ada, baik dalam rahim maupun di luar rahim/ektopik sehingga petugas klinik
terdekat harus mengetahui gejala-gejala kehamilan tersebut, baik yang di dalam
maupun yang di luar rahim.Selanjutnya membawa klien tersebut ke klinik/dokter
untuk membuat diagnosis pasti. Bila ternyata terjadi kehamilan ektopik, harus
dilakukan tindakan segera, untuk mengatasinya

Penatalaksanaan Komplikasi Pascabedah


Kejadian fatal yang berkaitan dengan tubektomi sangat jarang terutama
bila komplikasi dikenali sejak dini. Komplikasi tersebut dapat berupa:
· Perdarahan dari dinding perut atau mesosalping.
· Cedera dalam rongga perut:
— Perforasi rahim.
— Usus tersayat.
— Kandung kemih tersayat.
 Infeksi luka atau jaringan panggul
Pada laparoskopi juga dapat terjadi komplikasi yang sama dengan
minilaparotomi. Komplikasi lain yang bersifat khusus (akibat prosedur
laparoskopi) adalah emfisema subkutan, emboli gas, dan henti jantung atau paru.
Perdarahan dari pembuluh darah besar, mungkin raja terjadi akibat tusukan jarum
insuflasi, malahan dapat juga mengenai organ lainnya dalam perut.

Komplikasi Penanganan

Infeksi luka. Apabila terlihat infeksi luka, obati denganantibiotik.


Bila terdapat abses, lakukan drainase dan obati seperti
yang terindikasi.

Demam pasca operasi (> 38° C). Obati infeksi berdasarkan apa yang ditemukan.

Luka pada kandung kemih, intestinal Mengacu ke tingkat asuhan yang tepat. Apabila
(jarang terjadi). kandung kemih atau usus luka dan diketahui sewaktu
operasi, lakukan reparasi primer. Apabila ditemukan
pasca operasi, dirujuk ke rumah sakit yang tepat bila
perlu.

Hematoma (subkutan). Gunakan packs yang hangat dan lembab di tempat


tersebut. Amati; hal ini biasanya akan berhenti dengan
berjalannya waktu tetapi dapat membutuhkan drainase
bila ekstensif.

Emboli gas yang diakibatkan Ajukan ke tingkat asuhan yang tepat dan mulailah
laparoskopi (sangat jarang terjadi). resusitasi intensif, termasuk:

cairan intravena, resusitasi kardio pulmonar, dan


tindakan penunjang kehidupan lainnya.

Rasa sakit pada lokasi pembedahan. Pastikan adanya infeksi atau abses dan obati
berdasarkan apa yang ditemukan.

Perdarahan superficial(tepi-tepi kulit Mengontrol perdarahan dan obati berdasarkan apa yang
yang atau subkutan) ditemukan.

Tabel 2.7Penanganan atas komplikasi yang mungkin terjadi pada MOW


(Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, 2011)

Informasi Umum
a. Nyeri bahu selama 12-24 jam setelah laparaskopi relatif lazim dialami karena
gas CO2 atau udara di bawah diafragma, sekunder terhadap pneumoperi-
toneum.
b. Tubektomi efektif setelah operasi
c. Periode menstruasi akan berlanjut seperti biasa
d. Tubektomi tidak memberikan perlindungan atas IMS, termasuk virus AIDS.
Apabila pasangannya berisiko, pasangan tersebut sebaiknya mempergunakan
kondom bahkan setelah tubektomi
(Saifuddin, 2013).

1.5.3.2 Metode Kontrasepsi Pria (MOP)


1) Pengertian
Adalah prosedur klinik untuk menghentikan kapasitas reproduksi pria dengan
jalan melakukan oklui vasa deferensia sehingga alur transportasi sperma
terhambat dan proses fertilisasi tidak terjadi (Manuaba, 2012).
2) Keuntungan :
 sangat efektif dan permanen
 tidak ada efek samping jangka panjang
 aman bagi hampir semua pria
 tidak mempengaruhi kemampuan seksual
 pembedahan sederhana dapat dilakukan dengan anastesi lokal
3) Kerugian
 tidak melindungi dari HIV/AIDS
 efektif setelah 20 ejakulasi atau 3 bulan
(Manuaba,2012)

F. WAKTU MEMULAI KB
G. METODE PEMILIHAN ALAT KONTRASEPSI
Dalam menetukan pilihan penggunakan alat kontrasepsi calon akseptor dapat
memperhatikan prinsip berikut ini: MESRA
Murah
Artinya memang lebih murah bila dibandingkan dengan alat kontrasepsi lainnya apalagi
berjangka panjang.
Efektif
Artinya angka kegagalan untuk kehamilan kecil kurang lebih 1/1000 akseptor.
Sederhana
Artinya peralatan yang digunakan harus sederhana.
Resiko Rendah
Artinya angka kematian akibat tindakan ini hampir tidak ada.
Aman
Artinya tidak memberika gejala efek samping kasus komplikasi hematoma sedikit.

Anda mungkin juga menyukai