Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Rumah merupakan tempat dimana seseorang menghabiskan waktunya lebih banyak
dibandingkan dengan tempat lainnya. Ia adalah tempat dimana seseorang dapat terlepas dari
kesibukan dan urusan yang ada di dunia luar. Umumnya rumah menjadi identitas diri yang
menunjukkan karakter penghuninya. Identitas merupakan salah satu kebutuhan manusia yang
sangat penting sehingga rumah menjadi symbol dari ekspresi diri penghuninya. Oleh karena
itu, antara rumah dengan penghuninya tercipta hubungan yang saling mendukung karena
mereka melihat rumah sebagai symbol atau cerminan dari diri kita sendiri.
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia merupakan insan sosial ekonomi. Sebagai
insan sosial, menusia memandang rumah dalam fungsinya sebagai pemenuhan kebutuhan
sosial budayanya dalam masyarakat. Sedangkan sebagai insan ekonomi fungsi rumah
dipandang sebagai investasi jangka panjang yang akan memperkokoh jaminan kehidupan dan
penghidupannya di masa mendatang.
Dewasa ini, dalam pemilihan sebuah tempat tinggal sering kali seseorang memilih karena
adanya kebutuhan baik berdasarkan jumlah penghuni, fasilitas dalam rumah, kemanan, dan
pertimbangan lain dimana akses terhadap kebutuhan lain menjadi terjangkau. Akan tetapi
adanya keterbatasan baik sosial maupun finansial menjadikan seseorang memilih tempat
tinggal yang sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu, status sosial seseorang sangat
berpengaruh pada cara seseorang memilih tempat tinggal yang sesuai.
Perbedaan status sosial seseorang menyebabkan adanya tingkat kepuasan penghuni
terhadap tempat tinggal yang dipilih tersebut. Umumnya mereka yang berada pada kelas
sosial menengah ke atas cenderung memilih tempat tinggal di kawasan perumahan dan
perkampungan, sedangkan mereka yang berada pada kelas sosial menengah ke bawah
cenderung memilih tempat tinggal di kawasan perkampungan atau tempat kumuh.
1.2. Rumusan Masalah
 Bagaimana peranan status sosial dalam cara-cara masyarakat menata permukiman dan
perumahan?

1.3. Tujuan
 Untuk mengetahui peranan status sosial dalam cara-cara masyarakat menata permukiman
dan perumahan

1.4. Konsep
 Pengertian Status Sosial

Status sosial adalah suatu kedudukan sosial seseorang di masyarakat yang dapat
diperoleh dengan sendirinya (otomatis) melalui usaha ataupun karena pemberian. Interaksi
sosial akan mendorong individu untuk dapat mencapai status sosial yang lebih tinggi. Status
sosial yang lebih tinggi akan berpengaruh pula pada sikap dan rasa penghargaan yang tinggi
dari masyarakat. Oleh karena itu, setiap orang akan berusaha untuk mencapai status sosial yang
lebih tinggi.

Macam-macam status sosial adalah sebagai berikut :

a. Ascribed status
Ascribed status, yaitu status sosial yang diperoleh dengan sendirinya atau otomatis
akan didapatkan karena faktor keturunan. Status yang diperoleh memungkinkan orang
untuk bersikap pasif. Seseorang dapat memiliki status ini tanpa harus berjuang ataupun
melakukan usaha apa pun. Contohnya anak seorang bangsawan akan menjadi
bangsawan pula dan mendapatkan kehormatan dari masyarakat karena status sosial
yang diwariskan dan yang dimiliki oleh orang tuanya.
b. Achieved status
Achieved status, yaitu status yang diperoleh melalui usaha yang disengaja terlebih
dahulu. Untuk memperoleh status ini harus melalui perjuangan yang panjang dengan
memerlukan pengorbanan dan lebih bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari
kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. Hampir
semua status yang dimiliki oleh seseorang di masyarakat harus diperjuangkan terlebih
dahulu dalam meraihnya. Contohnya untuk menjadi sarjana harus melalui perjuangan
terlebih dahulu. Seorang sarjana akan berjuang dengan keras untuk memperoleh gelar
akademisnya. Tingkatan pendidikan dalam masa yang panjang harus dilalui untuk
mencapainya yang juga memerlukan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan biaya.
c. Assigned status
Assigned status, yaitu status yang diberikan oleh masyarakat sebagai tanda
penghargaan atas jasanya. Pada dasarnya status yang diperoleh adalah akibat dari
status yang telah diperolehnya terlebih dahulu. Contohnya seorang pahlawan yang
dihargai oleh masyarakat atas jasa perjuangannya. Untuk menjadi seorang yang
disebut pahlawan tentu ia harus berjuang mencapai statusnya dengan semua
pengorbanan, baik jiwa maupun raga.

Pada masyarakat terdapat jenjang (stratifikasi sosial) yang merupakan penggolongan


seseorang sesuai dengan status sosialnya. Penggolongan tersebut apabila didasari oleh kriteria
ekonomi disebut kelas sosial. Kelas sosial ini terbagi atas kelas sosial atas, menengah, dan
bawah. Pada umumnya istilah kelas sosial lebih menunjukkan pada kelompok kelas sosial atas.
Mereka merupakan golongan orang-orang yang kaya dan bergengsi. Mereka bangga dengan
status sosial yang disandangnya. Semakin tinggi kelas sosialnya, maka akan semakin tinggi
pula prestise (gengsi) yang dimilikinya. Oleh karena itu, mereka membentuk ciri tertentu agar
tampak berbeda dengan kelas sosial yang lain. Ciri-ciri tersebut merupakan kebanggaan bagi
pemiliknya. Ciri-ciri atau tanda tertentu yang dapat menunjukkan kelas sosial disebut simbol
status.

Beberapa simbol status masyarakat kelas atas, yaitu:

a) Tempat tinggal
Kelas sosial atas biasanya tinggal di perumahan elite yang mewah dan memiliki
prestise tinggi. Orang yang tinggal di perumahan mewah menunjukkan bahwa ia
adalah kelompok orang kaya. Perumahan yang mewah dengan semua fasilitasnya
akan memberikan kebanggaan bagi pemiliknya. Dengan melihat tempat
tinggalnya, orang sudah dapat menilai kelas sosial seseorang.
b) Kekayaan
Kekayaan menjadi unsur utama yang sering ditonjolkan seperti mobil mewah,
perhiasan, dan sebagainya. Kekayaan menjadi bagian terpenting dalam kelompok
sosial karena dianggap sebagai simbol kesuksesan. Mobil mewah seperti merk
jaguar sangat langka di Indonesia karena harganya yang mahal dan jumlahnya
yang terbatas. Mobil ini memberi kebanggaan tersendiri bagi orang yang memiliki
dan memakainya.
c) Penghasilan
Pada umumnya kelas sosial atas memiliki penghasilan yang tinggi. Mereka pada
umumnya para eksekutif yang bekerja dalam bidang pekerjaan tertentu dan
menjadi orang yang sukses. Ada hubungan yang erat antara penghasilan dengan
jenis pekerjaan. Kelompok sosial atas mempunyai pekerjaan yang elite dengan
penghasilan yang tinggi.
d) Pakaian
Pakaian yang digunakan oleh kelompok sosial atas adalah pakaian yang bagus
dan mahal. Mereka bangga mengenakan pakaian produksi luar negeri seperti baju
buatan Italia, parfum dari Prancis, dan sebagainya.
e) Kegemaran
Kegemaran atau hobi kelompok sosial atas adalah kegiatan-kegiatan yang
memerlukan biaya yang besar, seperti shopping ke luar negeri, olahraga golf, dan
sebagainya. Setiap orang mempunyai jenis kegemaran tertentu. Ada kegiatan
tertentu yang dapat dilakukan oleh orang umum, tetapi juga menjadi status simbol
kelas sosial atas, misalnya memancing. Memancing merupakan kegemaran dari
setiap orang tanpa batas kelas sosial. Tetapi memancing menjadi hobby elit ketika
dilakukan oleh golongan kelas sosial atas. Mereka memancing Blue Marlyn di
laut lepas dengan menggunakan kapal pesiar mewah.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hubungan Antara Status Sosial Dan Penataan Perumahan


Sikap dan pandangan seseorang dalam memilih kriteria hunian tergantung pada status
sosial mereka sendiri, dimana seringkali masyarakat dengan ekonomi tertentu akan memilih jenis
hunian dan lokasi sesuai kemampuan finansial mereka. Masyarakat dengan rendah akan
memiliki pilihan yang terbatas. Kepuasan mereka akan hunianpun masih dibawah standar,
sedangkan lokasinya berada pada permukiman kumuh yang lingkungannya kadang pula rawan
akan tindakan kejahatan seperti penyergapan, pencurian dan pertengkaran antar keluarga dan
tetangga.

Masyarakat dengan penghasilan standar akan berbeda pula dalam memilih jenis hunian.
Mereka memiliki tingkat beraneka pula, yakni yang disebut sebagai homogenitas dan
hiterogenitas. Ketika sebuah perumahan pada lingkungan yang kecil, misalnya pada perumahan,
blok, dan lingkungan sekitarnya memiliki status sosial yang sama maka mereka dapat dikatakan
homogenitas. Hubungan bertetangga akan tercipta bukan tergantung dari pribadi individu, tetapi
ia diciptakan oleh lingkungan yang homogen itu sendiri. Sedangkan hiterogenitas, yaitu
percampuran antara berbagai status sosial dalam lingkungan perumahan.

Rumah pada hakekatnya merupakan kebutuhan dasar (basic needs) manusia selain
sandang dan pangan, juga pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu maka dalam upaya
penyediaan perumahan lengkap dengan sarana dan prasarana permukimannya, semestinya tidak
sekedar untuk mencapai target secara kuantitatif semata-mata, melainkan harus dibarengi pula
dengan pencapaian sasaran secara kualitatif. Hal ini dikarena berkaitan langsung dengan hasrat
dan martabat manusia selaku pemakai. Artinya bahwa pemenuhan kebutuhan akan perumahan
dan permukiman yang layak, dapat meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat. Bahkan di dalam masyarakat Indonesia perumahan merupakan pencerminan dan
pengejawatahan dari diri pribadi manusia, baik secara perorangan maupun dalam satu kesatuan
dan kebersamaan dalam lingkungan alamnya.
Mengingat arti pentingnya penyediaan perumahan dan permukiman yang layak bagi
masyarakat, kita haruslah memperhatikan beberapa aspek. Salah satu aspek yang cukup
berpengaruh pada penyediaan perumahan dan permukiman yang lebih bersifat internal adalah
aspek sosial – budaya masyarakat. Dengan adanya kemajuan teknologi dan proses modernisasi,
serta peningkatan kesejahteraan, maka sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya akan
berubah pula. Rumah memang tidak sekedar sebagai tempat berteduh dan melindungi diri
penghuninya dari kondisi alam dan bahaya dari luar, namun sudah berkembang sebagai sarana
yang dapat menunjukan jati diri dan pribadi penghuninya.

Di dalam masyarakat Indonesia, ada ungkapan bahwa ‘rumah’ merupakan kulit ketiga
dari manusia, dimana yang menjadi kulit kedua adalah pakaian/busana, sedangkan kulit pertama
adalah kulit tubuh manusia itu sendiri. Ungkapan lain menyebutkan bahwa ‘rumahmu adalah
wajahmu dan jiwamu’. Bahkan Y.B. Mangunwijaya, yakni salah seorang arsitek, budayawan
melalui bukunya yang berjudul: ‘Vastu Citra’, menulis bahwa ternyata bangunan punya citra
sendiri-sendiri dalam perwatakan mental dan jiwa seperti apa yang dimiliki oleh pembuatnya.
Semakin kita berkembang dalam pembangunan, maka semakin mendesak pula kita harus
memperhatikan segi citra itu. Demikian juga halnya dalam dunia seni pembangunan rumah,
jangan sampai bangsa kita dicap punya keaslian dan keterampilan juga punya duit dan sarana,
tetapi jiwanya ‘kosong dan ngawur’. Itu tampak dari penampilannya, dari citranya. Sebab ‘citra’
penting dalam tata pergaulan, baik secara pribadi maupun secara nasional dalam tata pergaulan
antar bangsa.

Dewasa ini motivasi penyediaan rumah oleh sebagian masyarakat ‘papan atas’ dikota-
kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya serta kota besar lainnya, yang membangun kawasan
pemukiman elit dan cenderung mengisolasi diri dari lingkungan permukiman masyarakat umum.
Sebagai penyebab munculnya fenomena tersebut, telah disimak oleh Mary Gail Snyder melalui
bukunya yang berjudul ‘Fortress America’ terhadap pola permukiman berbenteng menyerupai
klan-klan pada abad pertengahan di Amerika.

Adapun motivasinya, adalah antara lain ‘Aspek Prestise’, yang menganggap sebagai
media ‘Image’ (citra) untuk menaikan status sosialnya. Yang kedua adalah menyangkut ‘Aspek
Komoditi’ dimana nilai ekonomi menjadi dasar pertimbangan sekaligus menjadikannya sebagai
barang investasi. Selanjutnya ada juga yang menganggapnya sebagai ‘Aspek keterpaksaan’,
yakni untuk meningkatkan rasa aman terhadap kerawanan kriminalitas yang akhir-akhir ini
marak terjadi di kota-kota besar termasuk di Indonesia. Sedangkan dipihak lain dibalik tembok
kemegahan permukiman elit tersebut, disana masih bertebaran kantong-kantong permukiman
kumuh bagaikan bercak-bercak yang bertebaran tidak teratur dan semrawut, yang pada umumnya
merupakan ‘milik tidak sah’ dari kelompok masyarakat ‘papan bawah’ atau bias disebut sebagai
kelompok masyarakat miskin di kota yang cenderung tersingkirkan. Bagi mereka, untuk
memiliki rumah yang legal dan layak di kota adalah merupakan suatu perjuangan amat berat atau
bahkan mungkin tidak pernah terpikirkan oleh mereka sama sekali.

Untuk menyikapi hal tersebut, maka salah satu cara yang telah dilakukan oleh pemerintah
adalah menyediakan perumahan yang layak bagi mereka berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 1990
tentang Peremajaan Permukiman Kumuh diatas Tanah Negara serta berbagai peraturan
perundang-undangan Ikutan lainnya yang bersifat lebih teknis. Itu semua dilakukan oleh
pemerintah dalam kerangka proses pemberdayaan masyarakat miskin di perkotaan. Dan dalam
konteks tersebut, jadilah rumah dipandang sebagai alat atau media untuk pemberdayaan
masyarakat (Housing as Instrument For Human Development).

Dari fenomena tersebut diatas semakin memperjelas bahwa ‘citra rumah’ dapat
merefleksikan kepribadian dari penghuninya. Dalam hal ini, tuntutan masyarakat akan terus
berkembang sesuai dengan tuntutan pribadi seseorang untuk memasyarakatkan dirinya di dalam
lingkungannya. Tentu saja masing-masing dapat menentukan citra dan seleranya sendiri-sendiri
dengan tuntutan yang berbeda-beda. Hal tersebut karena dilandasi oleh strata-strata yang ada di
dalam masyarakat sangat bervariasi dan majemuk. Dengan kata lain bahwa faktor citra dan selera
akan selalu berubah dengan kemajuan dan perkembangan jaman (trend), yang ditandai dengan
kecenderungan perubahan pola perumahan sesuai dengan selera dan gaya hidup masyarakat pada
suatu masa tertentu.

2.2. Peranan Kasta di Bali Dalam Mempengaruhi Penataan Perumahan

Rumah tinggal di Bali dibedakan berdasarkan tingkatan-tingkatan kasta, status sosial dan
peranannya di masyarakat yang merupakan faktor-faktor tingkat perwujudan rumah tempat
tinggal utama, madia, dan sederhana. Pengelompokan rumah tinggal ke dalam tingkatan utama
ditinjau dari luas pekarangan, susunan ruang, tipe bangunan, fungsi, bentuk, dan bahan
penyelesaiannya.

 Geria
Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam
generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan.
Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi
seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan
memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-
upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan bersifat upacara
besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi
nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana,
biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama
depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya
menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan
tempat tinggalnya disebut dengan “Geria”
Geria merupakan rumah tinggal untuk kasta Brahmana yang pada umumnya
menempati bagian utama dari suatu pola lingkungan. Sesuai dengan peranan Brahmana
selaku pengemban bidang spritual, maka bentuk dan pola ruang Geria sebagai rumah
tinggal Brahmana disesuai dengan keperluan-keperluan aktifitasnya.
 Puri
Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam
pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta
ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat
ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih
merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan
kasta ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan
ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut
dengan “Puri”.
Rumah tinggal untuk kasta Kesatria yang memegang pemerintahan disebut Puri
yang umumnya menempati bagian "kaja kangin" di sudut perempatan agung di pusat
desa. Penghuni Puri berperan sebagai pelaksana pemerintahan dan Puri merupakan pusat
pemerintahan. Dengan demikian, Puri dibangun sesuai dengan keperluan ruang, pola dan
suasana ruang yang menunjang kewibawaan pemerintah. Umumnya Puri dibangun
dengan tata zoning yang berpola "Sanga Mandala".
 Jero
Masyarakat yang berasal dari keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit
utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang
ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena
melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini
menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti.
Dimana untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan “Jero”.
Jero merupakan rumah tinggal untuk kasta Kesatria yang tidak memegang
pemerintahan secara langsung. Pola ruang, tata zoning, serta bangunannya umumnya
lebih sederhana dari Puri. Sesuai fungsinya, pola ruang Jero dirancang dengan konsep Tri
Angga : Pamerajan sebagai Parahyangan, Jeroan sebagai area rumah tinggal, dan Jabaan
sebagai area pelayanan umum atau halaman depan.
 Umah
Kasta Wesia dan Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun
memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari
kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta
yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa - Brahmana, Ksatria dan Ksatria
(yang dianggap Waisya). Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih
menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta
Sudra akan menggunakan nama seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman dan Ketut. Dan
dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan “Umah”
Rumah tinggal dari kasta Wesia dan Sudra atau mereka yang bukan dari kasta
Brahmana atau Kesatria disebut Umah. Lokasi Umah dalam perumahan di suatu desa
dapat menempati sisi-sisi utara, selatan, timur atau barat dari jalan desa. Pusat-pusat
orientasi adalah pempatan agung, pusat desa atau bale banjar di pusat-pusat sub
lingkungan. Unit-unit Umah dalam perumahan berorientasi ke natah sebagai halaman
pusat aktifitas rumah tangga. Umah di dalam perumahan tradisional merupakan susunan
massa-massa bangunan di dalam suatu pekarangan yang dikelilingi tembok penyengker
batas pekarangan dengan kori sebagai pintu masuk ke pekarangan.
 Kubu
Rumah tempat tinggal di luar pusat pemukiman, di ladang, di perkebunan atau
tempat-tempat kehidupan lainnya disebut Kubu atau Pekubon. Lokasi Kubu tersebar
tanpa dipolakan sebagai suatu lingkungan pemukiman, menempati unit-unit perkebunan
atau ladang yang berjauhan tanpa penyediaan sarana utilitas. Penghuni rumah tinggal
Pakubon atau Kubu adalah petani atau nelayan yang berpendapatan sedang atau rendah
dengan kehidupan yang sederhana.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Jadi, dalam setiap penataan perumahan, status sosial sangat mempengaruhinya. Status sosial
adalah suatu kedudukan sosial seseorang di masyarakat yang dapat diperoleh dengan sendirinya
(otomatis) melalui usaha ataupun karena pemberian. Oleh karenanya status sosial berpengaruh
terhadap penataan rumah. Rumah itu dianggap sebagai sebuah image dari pribadi maupun
keluarga tersebut. Semakin tinggi status sosial seseorang dalam masyarakat, maka semakin
tinggi citra rumah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Umar Yahya, dkk. “Pengaruh Kelas Sosial Penghuni Dalam Pemilihan Tempat
Tinggal Terhadap Tingkap Kepuasan” Dalam Jurnal Penelitian
Permukiman Teknik Arsitektur UIN MALIKI Malang

https://www.siswapedia.com/status-sosial/. Di Akses Tahun : 2013

https://www.google.com/amp/s/abalessy.wordpress.com/2010/10/19/fungsi-rumah-dalam-status-sosial-
masyarakat-sekitar/amp/. Di Akses Tahun : 2010

http://klicksambara.blogspot.com/2010/10/jenis-rumah-tinggal-di-bali-berdasarkan.html?m=1 Di
Akses Tahun : 2010
ANTROPOLOGI ARSITEKTUR
PERANAN STATUS SOSIAL DALAM PENATAAN RUMAH DI
BALI

Dosen pengampu :
Dr. Dra. Ni Made Wiasti, M. Hum

Oleh :
Putu Eka Febyanti
1701571005

PROGRAM STUDI ANTROPLOGI


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019

Anda mungkin juga menyukai