Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumber Daya Manusia (SDM)

Persaingan antar perusahaan di era globalisasi semakin tajam, sehingga sumber daya

manusia (SDM) dituntut untuk terus menerus mampu mengembangkan diri secara produktif.

SDM harus menjadi manusia-manusia pembelajar, yaitu pribadi-pribadi yang mau belajar dan

bekerja keras dengan penuh semangat, sehingga potensi insaninya berkembang maksimal.

SDM merupakan satu-satunya sumber daya yang memiliki akal perasaan, keinginan,

keterampilan, pengetahuan, dorongan, daya, dan karya (rasio, rasa dan karsa). Semua potensi

SDM tersebut berpengaruh terhadap upaya organisasi dalam mencapai tujuan. Betapapun

majunya teknologi, perkembangan informasi, tersedianya modal dan memadainya bahan, jika

tanpa SDM sulit bagi organisasi itu untuk mencapai tujuan. Sumber daya manusia harus

diartikan sebagai sumber dari kekuatan yang berasal dari manusia-manusia yang dapat

didayagunakan oleh organisasi. Istilah SDM adalah manusia bersumber daya dan merupakan

kekuatan (power) (Sutrisno, 2009).

Sumber Daya Manusia (SDM) dalam konteks bisnis merupakan orang yang bekerja

dalam suatu organisasi yang sering pula disebut karyawan. SDM merupakan aset paling

berharga dalam perusahaan, tanpa manusia maka sumber daya perusahaan tidak akan dapat

mengahasilkan laba atau menambah nilainya sendiri. Manajemen SDM didasari pada suatu

konsep bahwa setiap karyawan adalah manusia, bukan mesin, dan bukan semata menjadi

sumber daya bisnis (Taufiqurokhman, 2009).

Nawawi dalam Siregar (2009) menjelaskan tiga pengertian dari sumber daya manusia,yakni :

1. Sumber daya manusia adalah manusia yang bekerja di lingkungan suatu organisasi

(sering disebut juga personil, tenaga kerja, pegawai atau karyawan).

1
2. Sumber daya manusia adalah potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam

mewujudkan eksistensinya.

3. Sumber daya manusia adalah potensi dan merupakan aset dan berfungsi sebagai

modal (non material/non finansial) di dalam organisasi, yang diwujudkan menjadi

potensi nyata secara fisik dan non fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi.

Sumber daya dalam organisasi terdiri dari aset tangible, maupun aset intangible

seperti kemampuan, proses organisasi, atribut-artibut organisasi, informasi dan pengetahuan.

Sumber daya manusia (SDM) merupakan sumber pengetahuan, keterampilan, dan

kemampuan yang terakumulasi dalam diri anggota organisasi. SDM merupakan sumber

keunggulan kompetitif yang potensial karena kompetensi yang dimilikinya berupa

intelektualitas, sifat, keterampilan, karakter personal, serta proses intelektual dan kognitif,

tidak dapat ditiru oleh organisasi lain (Mathis, dkk, 2002).

Salah satu yang menjadi faktor kunci dalam reformasi ekonomi adalah SDM (Sumber

Daya Manusia). Menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki

keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global, adalah hal yang penting dan

sangat dibutuhkan saat ini. Dalam kaitan tersebut setidaknya terdapat dua hal penting yang

menyangkut kondisi sumber daya menusia saat ini khususnya di Indonesia, yaitu

ketimpangan antara

jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja serta tingkat pendidikan angkatan

kerja yang ada masih relatif rendah (Aprianto dan Ulfah, 2013).

SDM merupakan sumber keunggulan kompetitif yang potensial karena kompetensi

yang dimilikinya berupa intelektualitas, sifat, keterampilan, karakter personal, serta proses

intelektual dan kognitif, tidak dapat ditiru oleh organisasi lain. Tak ayal dalam lingkup

industri tertentu yang lukratif dan kompetitif akan diwarnai bajak-membajak SDM untuk

memacu keunggulan kompetitif organisasi (Soecipto, 2003).

Untuk merencanakan, mengelola dan mengendalikan sumber daya manusia

dibutuhkan suatu alat manajerial yang disebut Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM).

2
MSDM dapat dipahami sebagai suatu proses dalam organisasi serta dapat pula diartikan

sebagai suatu MSDM kebijakan (policy). Ukuran efektifitas kebijakan MSDM yang dibuat

dalam berbagai bentuknya dapat diukur pada seberapa jauh organisasi mencapai kesatuan

gerak seluruh unit organisasi, seberapa besar komitmen pekerja terhadap pekerjaan dan

organisasinya, sampai sejauh mana organisasi toleran dengan perubahan sehingga mampu

membuat keputusan dengan cepat dan mengambil langkah dengan tepat, serta seberapa tinggi

tingkat kualitas `output' yang di.hasilkan organisasi (Priyono dan Marnis, 2008).

Jadi MSDM dapat juga merupakan kegiatan perencanaan, pengadaan, pengembangan,

pemeliharaan, serta penggunaan SDM untuk mencapai tujuan baik secara individu maupun

organisasi. Walaupun objeknya sama-sama manusia, namun pada hakikatnya ada perbedaan

hakiki antara MSDM dengan manajemen tenaga kerja atau dengan manajemen personalia.

MSDM merupakan bagian dari keorganisasian yang memfokuskan diri pada unsure sdm.

MSDM mempunyai tugas untuk mengelola unsure manusia secara baik agar diperoleh tenaga

kerja yang puas akan pekerjaannya (Sutrisno, 2009).

Sangat pentingnya kontribusi SDM sebagai salah satu fakto pendukung kesuksesan

organisasi sangat disadari oleh para pimpinan puncak organisasi, sehingga organisasi dituntut

untuk melakukan perngembangan berkesinambungan terhadap kuantitas dan kualitas

pengetahuan melalui pelatihan kepada SDM atau merangsang SDM-nya agar “learning by

doing” dalam sebuah semangat termaktud dalam learning organization. Membangun

kemampuan SDM yang didasari oleh kapasitas organisasi untuk mempertahankan pegawai,

merupakan langkah awal dalam penciptaan aset SDM strategis. Penciptaan aset SDM

tergantung pada proses organisasi untuk mencetak SDM yang kompeten dan kemampuan

organisasi untuk merekrut individu-individu terbaik (Mathis, dkk, 2002).

Dikaitkan dengan lima fungsi manajemen, program pengembangan SDM yang

dilaksanakan dengan baik akan memberikan manfaat bagi organisasi antara lain:

1. Dengan perencanaan rekrutmen dan seleksi yang baik dapat memperoleh tenaga

kerja yang produktif.

3
2. Fungsi pengembangan staf membantu individu, kelompok, dan organisasi menjadi

lebih efektif.

3. Program insentif yang besar terbukti dapat membawa dampak positif pada

organisasi.

4. Lingkungan kerja yang aman dan sehat cenderung meningkatkan produktivitas.

5. Hubungan pekerja-manajemen yang efektif membawa hasil yang lebih baik

(Hartoyo, 2008).

Lebih dari itu, untuk terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, perlu pula

didukung oleh nilai-nilai moral dan etika profesi yang tinggi. Untuk terwujudnya pelayanan

kesehatan yang seperti ini, semua tenaga kesehatan dituntut untuk selalu menjunjung tinggi

sumpah dan kode etik profesi. Pelaksanaan perilaku yang dituntut dari tenaga kesehatan

seperti di atas perlu dipantau secara berkala melalui kerjasama dengan berbagai organisasi

profesi (Pusdiklatpeg Depkes RI, 1996).

Untuk terselenggaranya strategi profesionalisme akan dilaksanakan penentuan standar

kompetensi bagi tenaga kesehatan, pelatihan berdasarkan kompetensi, akreditasi dan legislasi

tenaga kesehatan, serta kegiatan peningkatan kualitas lainnya. Program ini bertujuan untuk :

(a) meningkatkan jumlah, mutu dan penyebaran tenaga kesehatan; (b) meningkatkan jumlah,

efektivitas, dan efesiensi penggunaan biaya kesehatan; dan (c) meningkatkan ketersediaan

sarana, prasarana dan dukungan logistik pada sarana pelayanan kesehatan yang semakin

merata, terjangkau dan dimanfaatkan oleh masyarakat (Soecipto, 2003).

2.1.1. Pendidikan

Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses membangun peradaban bangsa. Oleh

karena itu, pendidikan harus selalu bertumpu pada konsep pertumbuhan, pengembangan,

pembaharuan, dan kelangsungannya sehingga penyelenggaraan pendidikan harus dikelola

secara profesional. Mengingat pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam

proses pembangunan peradaban bangsa, maka bidang pendidikan perlu komitmen nasional.

Adanya dukungan pemerintah perlu ditindaklanjuti oleh Kabupaten/Kota dengan

4
memberikan alokasi anggaran pendidikan di daerahnya sesuai dengan amanat konstitusi

(Usman, 2014).

Pendidikan merupakan proses interaksi manusia yang ditandai oleh keseimbangan

antara kedaulatan subjek didik dengan kewajiban pendidikan. Pendidikan merupakan usaha

penyiapan subjek didik untuk menghadapi lingkungan hidup, pendidikan meningkatkan

kulitas hidup pribadi dan masyarakat, pendidikan berlangsung seumur hidup dan pendidikan

merupakan kiat menerapkan prinsip-prinsip pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan

manusia seutuhnya (Herijuliani, dkk, 2001).

Pendidikan di Indonesia diselenggarakan melalui jalur, jenjang dan jenis pendidikan.

Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi

dirinya dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Terdapat tiga

jalur pendidikan yaitu: (a) pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan

berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi;

(b) pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat

dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang; (c) pendidikan informal adalah jalur

pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pendidikan keperawatan di indonesia mengacu kepada UU No. 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional. Jenis pendidikan keperawatan di Indonesia mencakup: (a)

Pendidikan Vokasional yaitu jenis pendidikan diploma sesuai dengan jenjangnya untuk

memiliki keahlian ilmu terapan keperawatan yang diakui oleh pemerintah Republik

Indonesia; (b) Pendidikan Akademik yaitu pendidikan tinggi program sarjana dan pasca

sarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu; (c)

Pendidikan Profesi yaitu pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan

peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus.

Adapun jenjang pendidikan tinggi keperawatan Indonesia dan sebutan Gelarnya: (a)

Pendidikan jenjang Diploma Tiga keperawatan lulusannya mendapat sebutan Ahli Madya

Keperawatan (AMD.Kep); (b) Pendidikan jenjang Ners (Nurse) yaitu (Sarjana+Profesi),

5
lulusannya mendapat sebutan Ners (Nurse), sebutan gelarnya (Ns); (c) Pendidikan jenjang

Magister Keperawatan, Lulusannya mendapat gelar (M.Kep). Pendidikan jenjang Spesialis

Keperawatan, terdiri dari: (a) Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, Lulusannya (Sp.KMB);

(b) Spesialis Keperawatan Maternitas, Lulusannya (Sp.Kep.Mat); (c) Spesialis Keperawatan

Komunitas, Lulusannya (Sp.Kep.Kom); (d) Spesialis Keperawatan Anak, Lulusannya

(Sp.Kep.Anak); (e) Spesialis Keperawatan Jiwa, Lulusannya (Sp.Kep.Jiwa); (f) Pendidikan

jenjang Doktor Keperawatan, Lulusannya (Dr.Kep) (Kemendiknas, 2015).

Dalam UU N0 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dalam Pasal 44 disebutkan

bahwa setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik wajib memilikisurat tanda

regristrasi (STR). STR berlaku selama lima tahun dan dapat diregristrasi ualng. STR

diberikan oleh masing-masing konsil tenaga kesehatan setelah memenuhi persyaratan

(Kemenkes RI, 2017).

Menurut Lestari (2014), kualitas pelayanan kesehatan sangat berkaitan erat dengan

kualitas tenaga perawat, karena sebagian besar tenaga kesehatan Indonesia adalah perawat.

Selain itu tenaga perawat juga mempunyai kedudukan yang penting dalam menghasilkan

kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit, karena pelayanan perawatan yang diberikannya

berdasarkan pendekatan biopsikososial-spiritual, dilaksanakan selama 24 jam secara

berkesinambungan.

Berdasarkan hasil penelitian Mukaromah, dkk (2011) tentang Hubungan Pendidikan

dan Kinerja dengan Kepuasan Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap RSUD Kabupaten

Pamekasan, dengan desain penelitian cross sectional non experimental dan populasi seluruh

perawat di ruang raawat inap dengan besar sampel 75 perawat, dengan pendidikan yang

tinggi akan menghasilkan kinerja yang baik, sebaliknya jika pendidikan yang rendah maka

akan menghasilkan kinerja yang tidak baik. Dari hasil tersebut maka perawat yang

mempunyai tingkat pendidikan DIII keperawatan, diharapkan bisa melanjutkan atau

meneruskan pendidikan yang lebih tinggi agar dapat melaksanakan kinerja dengan lebih baik

6
serta perawat yang mempunyai kinerja baik juga perlu memperdalam pendidikan di bidang

kesehatan.

2.1.2. Keterampilan

Menurut Adi yang dikutip Rusmatias (2000), bahwa keterampilan merupakan hal

yang sangat penting dalam suatu profesi dan menjadi persyaratan bila profesi tersebut ingin

berkembang. Keterampilan dapat didefenisikan sebagai kemampuan atau keahlian atau

kemahiran yang diperoleh dari praktek atau pengetahuan.

Setiap orang memiliki keterampilan yang merupakan suatu talenta dari yang maha

kuasa. Sebagian orang menyadari akan keterampilan yang dimilikinya, akan tetapi sebagian

lagi belum atau tidak menyadari keterampilan bisa saja dengan pikiran, akal dan kreatifitas.

Jika keterampilan itu diasah, tidak menutup kemungkinan bila akan menghasilkan suatu yang

menguntungkan. Menurut Dunette dalam Famella (2015) keterampilan berarti

mengembangkan pengetahuan yang didapatkan melalui training dan pengalaman dengan

melaksanakan beberapa tugas keterampilan tidak hanya dimiliki setiap orang dapat lebih

membantu menghasilkan suatu yang bernilai dengan lebih cepat.

Menurut Stoner yang dikutip oleh Dabukke (2002), membegi keterampilan atas

beberapa jenis:

1. Keterampilan Teknis (Tecnical Skill): kemampuan untuk menggunakan alat-alat,

prosedur dan teknik suatu bidang khusus,

2. Keterampilan Manusiawi (Human Skill): kemampuan untuk bekerja dengan orang lain,

memahami orang lain dan mendorong orang lain, baik sebagai perorangan maupun

kelompok,

3. Keterampilan Konseptual (Conceptual Skill): kemampuan mental untuk

mengkoordinasikan dan memadukan semua kepentingan organisasi.

7
Asuhan keperawatan adalah segala bentuk tindakan atau kegiatan pada praktek

keperawatan yang diberikan kepada klien yang sesuai dengan standar operasional prosedur

(SOP) (Carpenito, 2009).

Pemberi asuhan keperawatan adalah tugas perawat pelaksana (Hidayat, 2011).

Perawat pelaksana bertugas memberikan asuhan keperawatan, membantu penyembuhan,

membantu memecahkan masalah pasien dibawah pengawasan dokter atau kepala ruang

(Pratiwi & Utami, 2010).

Menurut Carpenito (2009) terdapat beberapa tahap dalam melakukan asuhan

keperawatan yaitu : (a) Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Pada

tahap ini semua data dikumpulkan secara sistematis guna menentukan kesehatan klien.

Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan aspek biologis, psikologis,

social maupun spiritual klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mengumpulkan informasi dan

membuat data dasar klien; (b) Diagnosis keperawatan merupakan pernyataan yang

menggambarkan tentang masalah atau status kesehatan klien, baik actual maupun potensial,

yang ditetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data hasil pengkajian. Diagnosis

keperawatan berfungsi untuk mengidentifikasi, memfokuskan dan memecahkan masalah

keperawatan klien secara spesifik; (c) Planning (perencanaan) merupakan suatu petunjuk

tertulis yang menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang dilakukan

terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosis keperawatan. Tahap

perencanaan ini juga memberikan kesempatan kepada perawat, klien, keluarga klien dan

orang terdekat klien untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan guna mengatasi

masalah yang dialami oleh klien; (d) Implementasi merupakan tahap ketika perawat

mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna

membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan; (e) Evaluasi adalah tahap akhir dari

proses keperawatan yang merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil

akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.

8
Implementasi adalah tahap ke empat dalam tahap proses keperawatan dalam

melaksanakan tindakan perawatan sesuai dengan rencana (Hidayat, 2004). Implementasi

adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan ke dalam

bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah

ditetapkan (Asmadi, 2008).

Menurut Asmadi (2008) dalam melakukan implementasi keperawatan terdapat tiga

jenis implementasi keperawatan, yaitu : (a) Independent implementations adalah suatu

tindakan yang dilakukan secara mandiri oleh perawat tanpa petunjuk dari tenaga kesehatan

lainnya. Independent implementations ini bertujuan untuk membantu klien dalam

mengatasi masalahnya sesuai dengan kebutuhan klien itu sendiri, seperti contoh :

membantu klien dalam memenuhi activity daily living (ADL), memberikan perawatan diri,

menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan bersih untuk klien, memberikan

dorongan motivasi, membantu dalam pemenuhan psiko-sosio-spiritual klien, membuat

dokumentasi, dan lain-lain; (b) Interdependent/collaborative implementations adalah

tindakan perawat yang dilakukan berdasarkan kerjasama dengan tim kesehatan yang lain.

Contohnya dalam pemberian obat, harus berkolaborasi dengan dokter dan apoteker untuk

dosis, waktu, jenis obat, ketepatan cara, ketepatan klien, efek samping dan respon klien

setelah diberikan obat; (c) Dependen implementations adalah pelaksanaan rencana

tindakan medis/instruksi dari tenaga medis seperti ahli gizi, psikolog, psikoterapi, dan lain-

lain dalam hal pemberian nutrisi kepada klien sesuai dengan diet yang telah dibuat oleh

ahli gizi dan latihan fisik sesuai dengan anjuran bagian fisioterapi.

Menurut Purwaningsih & Karlina (2010) ada 4 tahap operasional yang harus

diperhatikan oleh perawat dalam melakukan implementasi keperawatan, yaitu sebagai

berikut : (a) Tahap Prainteraksi: Membaca rekam medis klien; Mengeksplorasi perasaan,

analisis kekuatan dan keterbatasan professional pada diri sendiri; Memahami rencana

keperawatan secara baik; Menguasai keterampilan teknis keperawatan; Memahami

rasional ilmiah dari tindakan yang akan dilakukan; Mengetahui sumber daya yang

9
diperlukan; Memahami kode etik dan aspek hukum yang berlaku dalam pelayanan

keperawatan; Memahami standar praktik klinik keperawatan untuk mengukur

keberhasilan; Memahami efek samping dan komplikasi yang mungkin muncul;

Penampilan perawat harus meyakinkan. (b) Tahap Perkenalan : Mengucapkan salam;

Mengorientasikan/memperkenalkan nama; Menanyakan nama, alamat dan umur klien;

Menginformasikan kepada klien tujuan dan tindakan yang akan dilakukan oleh perawat;

Memberitahu kontrak waktu, berapa lama akan dilakukannya tindakan; Memberi

kesempatan kepada klien untuk bertanya tentang tindakan dan bertanya kepada klien

setuju atau tidak pada tindakan yang akan dilakukan. (c) Tahap Kerja : Menjaga privacy

klien; Melakukan tindakan yang sudah direncanakan; Hal-hal yang perlu diperhatikan pada

saat pelaksanaan tindakan adalah energi klien, pencegahan kecelakaan dan komplikasi,

rasa aman, privacy, kondisi klien, respon klien terhadap tindakan yang telah diberikan. (d)

Tahap Terminasi : Beri kesempatan kepada klien untuk mengekspresikan perasaannya

setelah dilakukan tindakan oleh perawat; Berikan feedback yang baik kepada klien dan

puji atas kerjasama klien; Kontrak waktu selanjutnya; Rapikan peralatan dan lingkungan

klien dan lakukan terminasi; Berikan salam sebelum meninggalkan pasien; Lakukan

pendokumentasian.

Berdasarkan hasil penelitian Koro dkk (2010) tentang Faktor yang Berhubungan

dengan Kinerja Perawat di Unit Rawat Inap RSUD Lamaddukelleng Kabupaten Wajo,

dengan desain jenis penelitian observasional analitik dengan rancangan Cross Sectional

Study dan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang berstatus pegawai negeri

sipil di unit rawat inap dengan besar sampel 53 orang, variabel keterampilan ditemukan hasil

penelitian tidak adanya hubungan yang bermakna antara keterampilan terhadap kinerja

perawat sebab persentase responden yang memiliki keterampilan pada kategori cukup dan

kurang terpaut hanya beberapa angka saja atau sangat beda tipis, hal ini menunjukkan sudah

banyak nya perawat yang sudah terampil tetapi masih ditemukan perawat yang tidak

terampil.

10
2.1.3. Pengetahuan

Pengetahuan menurut Notoatmojo (1993), adalah salah satu bentuk dari

perilaku, yaitu dengan mengetahui situasi atau rangsangan dari luar, pengetahuan

adalah segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan suatu hal.

Budi W. Soetjipto dalam Suhartini (2015) Pengetahuan adalah informasi

yang dimiliki seseorang untuk bidang tertentu. Skor atau tes pengetahuan sering

gagal untuk memprediksi kinerja SDM kerena skor tersebut tidak berhasil

mengukur pengetahuan dan keahlian seperti apa yang seharusnya dilakukan dalam

pekerjaan. Tes pengetahuan mengukur kemampuan peserta tes untuk memilih

jawaban yang paling benar, tetapi tidak bisa melihat apakah seseorang dapat

melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

Dirgahayu (2015) yang diambil pada kutiban Wawan (2010) faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan adalah pendidikan, umur,

lingkungan dan sosial budaya. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan status sosial

seseorang maka tingkat pengetahuannya akan semakin tinggi pula. Begitu juga

dengan umur, semakin bertambahnya umur seseorang maka pengetahuannya juga

semakin bertambah

Pengetahuan mempunya (6) enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya, termasuk mengingat kembali (recall).

2. Memahami (comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat

mengintrepetasikan materi tersebutsecara benar

11
3. Aplikasi (application), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya (real)

4. Analisis (analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu stuktur

organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain

5. Sintesis (synthesis), menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk

meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru (kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi

yang ada)

6. Evaluasi (evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Pengetahuan didefinisikan sebagai hasil penginderaan manusia melalui indera

yang dimiliki (telinga, mata, hidung, rasa dan raba). Pemberian informasi akan

meningkatkan pengetahuan seseorang. Pengetahuan dapat menjadikan seseorang

memiliki kesadaran sehingga seseorang akan berperilaku sesuai pengetahuan yang

dimiliki. Perubahan perilaku yang dilandasi pengetahuan, kesadaran dan sikap

yang positif bersifat langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri

bukan paksaan Notoatmodjo dalam Dirgahayu (2015).

Keperawatan digambarkan sebagai profesi yang bekerja dengan penuh kasih

dan caring (Scott, dkk, 2014). Namun, masih cukup banyak jumlah perawat yang

belum kompeten dan bertanggung jawab dalam memberikan asuhan keperawatan.

Pendidikan keperawatan memberikan kesempatan untuk meningkatkan

pengetahuan seseorang mengenai isu-isu etis dan cara mengambil keputusan, serta

12
mendapat bimbingan dalam praktik menjadi seorang perawat (Numminen, Arend

& Kipli, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian Sugiyati (2015) tentang Hubungan

Pengetahuan Perawat dalam Dokumentasi Keperawatan dengan Pelaksanaannya

di Rawat Inap RSI Kendal, dengan desain jenis penelitian observasional analitik

dengan rancangan Cross Sectional Study dan populasi dalam penelitian ini adalah

80 perawat dengan besar sampel 53 orang. Adapun hasilnya bahwa Pengetahuan

perawat dalam dokumentasi baik terlihat dari jawaban tepat responden pada

pernyataan pengkajian 100%, diagnosa 98%, perencanaan keperawatan 97%,

tindakan keperawatan 66%, evaluasi 78%, dan catatan keperawatan 69%. Jawaban

responden yang belum tepat pada pernyataan pengetahuan pada diagnosa 2%,

perencanaan keperawatan 3%, tindakan keperawatan 34%, evaluasi 22% dan

catatan keperawatan 31%. Jadi lebih banyak kurang pengetahuan pada tindakan

keperawatan, catatan keperawatan dan evaluasi. Hal ini bisa di sebabkan oleh

kurangnya informasi / membaca buku keperawatan yang di karenakan sudah sibuk

dengan pekerjaan dan urusan yang lain. Bisa juga dikarenakan kurang pembinaan

bidang keperawatan atau supervisi kepala ruang keperawatan.

Berdasarkan hasil penelitian Koro, dkk (2010) tentang Faktor yang

Berhubungan dengan Kinerja Perawat di Unit Rawat Inap RSUD Lamaddukelleng

Kabupaten Wajo, dengan desain jenis penelitian observasional analitik dengan

rancangan Cross Sectional Study dan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

perawat yang berstatus pegawai negeri sipil di unit rawat inap dengan besar

sampel 53 orang. Adapun hasilnya bahwa jumlah responden yang memiliki

pengetahuan cukup dan kurang tidak terlalu jauh berbeda karena sebagian sudah

13
mengetahui dengan jelas apa tujuan penugasan suatu bidang keahliannya

meskipun lebih banyak dari mereka yang masih belum memahami bidang

keahliannya, hasil ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan

dengan kinerja perawat.

2.2. Perawat

Kusnanto dalam Muntoha (2015), perawat adalah seseorang (seorang

profesional) yang mempunyai kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan

melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan

keperawatan.

Perawat sebagai tenaga kesehatan professional mempunyai kesempatan

paling besar untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya asuhan

keperawatan yang komprehensif meliputi biologi, psikologi, sosial, dan spiritual.

Perawat harus berupaya membantu memenuhi kebutuhan spiritual pasien sebagai

bagian dari kebutuhan pasien secara komprehensif (Hamid dalam Ritianingsih

dkk, 2014).

Tenaga kesehatan yang bekerja di sarana kesehatan pada tahun 2016

adalah 341.536 orang. Tenaga keperawatan merupakan kategori tenaga kesehatan

yang terbanyak yaitu perawat 296.876 orang (29,66%), jumlah tenaga kebidanan

yaitu 163.541 orang. Tenaga kesehatan yaitu tenaga kesehatan tradisional hanya

513 (0,05%) dari jumlah tenaga kesehatan (Profil Kesehatan Indonesia, 2016).

Secara nasional rasio perawat per 100.000 penduduk adalah 114.75.

Puskesmas terdapat 62,04% memilki jumlah perawat lebih dari standar yang

ditetapkan, 7,2% puskesmas dengan jumlah perawat cukup dan 26,2% puskesmas

kekurangan perawat. Total Sumber Daya Manusia Kesehatan di Rumah Sakit

14
586.522, proporsi tenaga kesehatan terbanyak yaitu perawat 33,3%. Terjadinya

ketidaksesuaian (mismatches) pendayagunaan tenaga perawat, merupakan

masalah yang dihadapi dalam perkembangan pelayanan keperawatan, tenaga

tersebut masih lebih banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan, ini terbukti

dengan sumber daya manusia kesehatan di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan

Terluar) yang hanya 41.0003 (13,8%) dibanding dengan nasional 296.876 (Profil

Kesehatan Indonesia, 2016).

Dilihat dari klasifikasi perawat baik dari jenjang pendidikan, dari

keseluruhan jumlah total perawat 296.876 dari 15.263 unit layanan kesehatan di

Indonesia, sebanyak tenaga 77,56% (230.262) merupakan perawat non ners, yang

merupakan perawat lulusan Diploma-III Keperawatan atau lulusan S1

keperawatan tanpa pendidikan profesi, perawat ners merupakan perawat lulusan

S1 keperawatan dengan 1 tahun pendidikan profesi keperawatan sebanyak 10,84%

(32.189) dan 5,17% (15.347) merupakan perawatan lulusan SPK (Sekolah

Pendidikan Keperawatan) setara SLTA. Dalam rangka meningkatkan

profesionalisme perawat (tenaga profesional minimal DIII), upaya peningkatan

pendidikan perawat SPK menjadi DIII Keperawatan telah banyak dilakukan oleh

berbagai sarana kesehatan bekerjasama dengan institusi pendidikan DIII

Keperawatan Program S1 dan S2 Keperawatan sudah berkembang diberbagai

universitas negeri/swasta bahkan program pendidikan keperawatan spesialis

(Profil Kesehatan Indonesia, 2016).

Isu dan masalah terkait perkembangan profesi keperawatan Indonesia

adalah masalah distribusi perawat yang belum merata. Jumlah perawat yang tinggi

namun rasio perawat dibanding jumlah penduduk sebagian besar wilayah

15
Indonesia belum memenuhi target Renstra Kesehatan, selain itu jumlah profesi

perawat ahli dan spessialistik masih relatif kecil (Depkes, 2017).

Setelah diterbitkannya Undang-undang Keperawatan Nomor 38 tahun

2014, kendala yang masih dirasakan adalah dalam pengembangan praktik

keerawatan mandiri. Sebagai organisasi profesi, Persatuan Perawat Nasional

Indonesia (PPNI) sudah merancang dan menagajukan panduan berupa petunjuk

teknis dan petunjuk pelaksanaan untuk menjalankan praktik mandiri bagi perawat.

Proses perizinan dan aturan (legalitas) turunan dari Undang-Undang Nomor 38

Tahun 2014 tentang keperawatan masih dinanti dan diharapkan, agar praktik

mandiri keperawatan yang sah menurut hukum dan profesional bisa berkembang

dan ikut berperan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat (Depkes,

2017).

Dalam rangka pengembangan kompetensi tenaga keperawatan pemerintah

melalui Kementrian Kesehatan setiap tahunnya membuka kesempatan tugas

belajar kepada setiap tenaga kesehatan di institusi pemerintah termasuk perawat

untuk memperoleh pendidikan lanjut dari program perawat ahli, ners, sampai ners

spesialis sesuai kriteria dan syarat ditentukan. Untuk meningkatkan dan

mempertahankan kompetensinya perawat perlu mengikuti berbagai pelatihan,

seminar, dan workshop keperawatan (Depkes, 2017).

Tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan dan asuhan kesehatan

yang berkualitas telah memberikan implikasi agar dibentuknya suatu standar

kompetensi perawat Indonesia. Draft standar kompetensi perawat disusun oleh

organisasi perawat diantaranya Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI),

Asosiasi Institusi Pendidikan Diploma Keperawatan Indonesia (AIPDIKI)

16
bertujuan menjamin masyarakat memperoleh pelayanan/asuhan yang aman dan

berkualitas oleh perawat kompeten. Standar kompetensi perawat yang dimuat

dalam undang-undang keperawatan perlu dikaji secara berkala sesuai

perkembangan keilmuan dan teknologi keperawatan terkini. Perawat yang

memeni standar kompetensi dapat memperoleh Surat Tanda Registrasi sebagai

identitas resmi perawat profesional (Depkes, 2017).

2.3. Mutu

Goetsch dan Davis dalam Hamid (2011), mutu atau kualitas merupakan

suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia, proses dan

lingkungan yang memenuhi harapan. Juruan dalan Sunarso (1997) menyatakan

kualitas merupakan perwujudan atau gambaran-gambaran hasil-hasil yang

mempertemukan kebutuhan-kebutuhan dari pelanggan dalam memberikan

kepuasan. Lebih lanjut menyampaikan bahwa dua hal yang berhubungan dengan

kualitas suatu produk yaitu, produk harus mempunyai keistimewaan dan bebas

defisiensi.

Parasuraman dalam Indriyatni (2011), mengemukakan bahwa kualitas

pelayanan merupakan ukuran penilaian menyeluruh atas tingkat suatu pelayanan

yang baik. Sedangkan Gronroos et al, dalam Suliyanto (2013) mendefenisikan

kualitas pelayanan (service quality) sebagai hasil persepi dari perbandingan antara

harapan pelangganan dengan kinerja aktual pelayanan.

Dengan kata lain ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa

yaitu expected service dan perceived service. Apabila jasa yang diterima atau

yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan maka kualitas jasa dipersepsikan

baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima malampaui harapan pelanggan,

17
maka kulitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Jika kualitas jasa akan

dipersepsikan buruk atau tidak memuaskan. Dengan demikian baik tidaknya

kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyediaan jasa dalam memenuhi

harapan pemakaian secara konsisten.

Selanjutnya Elhaitammy dalam Indriyatni (2011), mengemukakan tentang

pengertian pelayanan jasa yang unggul (service excellence) : yaitu suatu sikap

atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan. Sasaran dan

manfaat dari service excellence secara garis besar terdapat empat unsur pokok

yaitu: kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan. Keempat unsur pokok

tersebut merupakan suatu kesatuan pelayanan yang terintegrasi, artinya pelayanan

atau jasa menjadi tidak sempurna bila ada salah satu dari unsur tersebut diabaikan.

Untuk mencapai hasil yang unggul, setiap karyawan harus memiliki keterampilan

tersebut, diantaranya berpenampilan baik serta bersikap ramah, memperlihatkan

gairah kerja dan selalu siap melayani, tenang dalam bekerja, tidak tinggi hati

karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaan dengan baik, maupun

kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat

dan yang penting adalah mampu menangani keluhan pelanggan secara baik.

Menurut Parasuraman, dkk dalam Suliyatni (2011), di dalam mengevaluasi

jasa yang bersifat intangibles, pelanggan umumnya menggunakan beberapa

atribut sebagai berikut:

1. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai

dan sarana komunikasi.

2. Keandalan (reliability),yakni kemampuan memberikan pelayanan yang

dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.

18
3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan dari para staf dan

karyawan untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan

dengan tanggapan.

4. Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan kemampuan kesopanan dan

sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau

keragu-raguan.

5. Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi

yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan pelanggan.

Lebih kanjut oleh Kotler dalam Suhartono dkk (2014) disebutkan tentang

kelima determinan kulitas jasa tersebut yaitu:

1. Kehandalan, yaitu kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan

dengan tepat waktu.

2. Responsif, yaitu kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan

jasa dengan cepat.

3. Keyakinan, yaitu pengetahuan dan kesopanan karyawan dan kemampuan

mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan.

4. Empati, yaitu menunjuk pada syarat untuk peduli, memberi perhatian

pribadi kepada pelanggan.\

5. Berujud, yaitu menunjuk pada fasilitas fisik, peralatan, personil dan media

komunikasi

6. Metode dan Teknik Pengukuran Kualitas.

Pada dasarnya kulitas itu diukur dengan berbagai macam metode dan

teknik. Kotler dalam Suhartono dkk (2014) mengidentifikasi 4 metode

19
untuk mengukur kualitas, yaitu sistem keluhan dan saran, ghost shopping,

lost customer analisys dan survey kepuasan pelanggan.

2.3.1. Mutu Perawat

Mutu pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional

yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan

kiat keperawatan, yang mencakup biopsikososial dan spiritual yang unit dan m

Komprehensif serta ditunjukkan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik

sakit maupun sehat yang meliputi peningkatan derajat kesehatan/ pencegahan

penyakit, pengobatan, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (Profil

Kesehatan Indonesia, 2016).

Pelayanan keperawatan yang dibebankan berupa bantuan karena adanya

kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya

kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara mandiri terutama kepada

klien yang bedrest total. Dengan demikian keperawatan sebagai satu profesi

dilandasi ilmu pengetahuan menggunakan berbagai metode pendekatan antara lain

proses keperawatan sebagai salah satu metode pemberian asuhan keperawatan

kepada klien. Disamping itu melalui penerapan proses keperawatan klien yang

pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya

pelayanan keperawatan (Depkes, 1994).

Menurut Aziz (2014), perawat dapat dikatakan profesional jika dia mampu

menerapkan ilmu dan kiat-kiat yang didapatkannya melalui suatu pendidikan

tinggi yang berkelanjutan. Meski demikian kondisi keperawatan di Indonesia saat

ini masih belum dapat dikatakan seorang yang profesional. Ada beberapa fakta

yang merujuk ke arah tersebut antara lain :

20
a. perawat cenderung menjadi pembantu seorang medis dibandingkan

dengan suatu profesi yang berdiri sendiri, hal ini terlihat ketika perawat

dinas di rumah sakit kebingungan untuk melakukan tindakan sebelum

dokter memberikan instruksi tindakan, padahal jika perawat itu percaya

diri untuk melakukan asuhan keperawatan secara baik, hal tersebut tidak

akan terjadi.

b. kurangnya minat dari perawat itu sendiri untuk mengembangkan ilmu dan

pengetahuannya. Keadaan ini disokong pula oleh lembaga-lembaga

pendidikan keperawatan yang ternyata tidak banyak memberikan

dukungan terhadap perkembangan keperawatan.

Dampak dari rendahnya kuantitas dan kualitas di institusi pendidikan

bidang keperawatan menyebabkan kinerja perawat dan rumah sakit secara

keseluruhan juga menjadi rendah, karena kinerja tenaga keperawatan di rumah

sakit merupakan hasil kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan tenaga

perawat terhadap pasien yang menjalani rawat jalan maupun rawat inap di rumah

sakit. Tingkat kinerja perawat dalam melayani pasien merupakan faktor yang

sangat menentukan terhadap penilaian kinerja rumah sakit secara keseluruhan.

(Lestari, 2014).

Pelayanan keperawatan di rumah sakit akan bermutu apabila faktor yang

terkait dengan pekerjaan keperawatan rumah sakit mampu memberikan kepuasan

kerja perawat pelksana antara lain: (a)dihatgai oleh pemimpin dan pasien, (b)

pembagian otoritas yang jelas diantara sejawat dengan pimpinan perawat, (c)

kondisi kerja yang baik, (d) gaji tinggi, (f) kesempatan mengembangkan karir

yang meningkatkan kemampuan perawat profesional untuk mengembangkan

21
harga diri mereka melalui aktualisasi diri, (g) dukungan administratif yang

mencakup pengaturan staf adekuat dan pilihan waktu dinas (shiff), (h) peningkatan

komunikasi dan saling percaya antara manger perawat dengan perawat pelaksana,

(i) pimpinan perawat harus membuat strategi manajemen untuk mendukung

perawat baru dan melibatkannya dalam pembuatan keputusan, (j) pimpinan

perawat membuat suatu iklim di mana disiplin diterapkan dengan adil dan sama.

Peningkatan mutu rumah sakit melalui sistem manajeman kerja yang baik

merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan apabila pengelola rumah sakit

tetap eksis dan mendapatkan pasien yang memadai serta pemasukan yang cukup

untuk mengelola operasional rumah sakit secara keseluruhan. Untuk lebih

memberdayakan upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan rumah sakit

hendaknya diintegrasikan dan dikoordinasikan secara sukarela oleh seluruh

pegawai. Pada hakekatnya kegiatan menjaga mutu merupakan suatu bentuk

kegiatan manajemen pertisipasi yang melibatkan seluruh pegawai dalam upaya

menjaga mutu pelayanan rumah sakit berdasarkan atas motivasi pengembangan,

motivasi profesi, motivasi sosial, motivasi ekonomi dan adanya persaingan global

(Jacobalis, 2000).

2.4 Kinerja Perawat

Kata kinerja (performance) dalam konteks tugas, sama dengan prestasi

kerja. Para pakar banyak memberikan defenisi tentang kinerja secara umum, dan

di bawah ini disajikan beberapa diantaranya:

1. Kinerja adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari fungsi-

fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu

(Bernardin dan Russel, 1993).

22
2. Kinerja keberhasilan seseorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan

(As’ad, 1991).

3. Kinerja adalah pekerjaan yang merupakan gabungan dari karakteristik

pribadi dan pengorgani seseorang (Kurb, 1986).

4. Kinerja adalah apa yang dapat dikerjakan sesuai dengan tugas dan

fungsinya (Gilbert, 1977).

Kinerja keperawatan atau praktik keperawatann mengambarkan aktivitas

yang diberikan kepada klien melalui pelaksanaan asuhan keperawan untuk

mencapai tujuan layanan kesehatan sesuai dengan tugas dan wewenang perawat

dengan memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak penggunaan

kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operational (UU No.36 tahun

2009). Pabundu dan Mangkunegara dalam Loah dan Lendy (2015) menyatakan

Kinerja sebagai hasil fungsi pekerjaan/kegiatan seseorang atau kelompok dalam

suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan

organisasi dalam periode waktu tertentu.Sedangkan Kinerja (prestasi kerja) adalah

hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam

melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya.

Kinerja (performance) menjadi isu dunia saat ini. Hal tersebut terjadi

sebagai konsekuensi tuntutan masyarakat terhadap kebutuhan akan pelayanan

prima atau pelayanan yang bermutu tinggi. Mutu tidak terpisahkan dari standar,

karena kinerja diukur berdasarkan standar. Melalui kinerja klinis perawat

diharapkan dapat menunjukkan kontribusi profesionalnya secara nyata dalam

meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan kebidanan yang berdampak

terhadap pelayanan kesehatan terhadap secara umum pada organisasi tempatnya

23
bekerja dan dampak akhir bermuara pada kualitas hidup dan kesejahteraan

masyarakat. Untuk mengukur kinerja perawat pada tatanan klinis, digunakan

“indikator kinerja klinis” sebagai langkah untuk mewujudkan komitmennya guna

dapat menilai tingkat kemampuan individu dalam tim kerja. Dengan demikian,

diharapkan kesadaran akan tumbuh, mau dan mampu mengidentifikasi kualitas

kinerja masing-masing, untuk dimonitor, diperbaiki serta ditingkatkan secara terus

menerus. Model pengembangan dan manajemen kinerja klinis (SPMKK) bagi

perawat, dimulai dari elemen terkecil dalam organisasi yaitu pada tingkat “First

Line Manager”, karena produktifitas (jasa) berada langsung ditangan individu-

individu dalam kerja tim (Depkes, 1998). Masalah-masalah kinerja yang dihadapi

perawat di rumah sakit adalah sistem atau prosedur yng tidak jelas, keterbatasan

fasilitas, kesalahan staf itu sendiri, kurang pengetahuan dan keterampilan,

kemampuan yang kurang dalam pemeliharaan peralatan (Ahmad, S. Ruky, 2001).

Pattiasina (2013) menyatakan bahwa kinerja adalah tingkat pencapaian

hasil atas pelaksanaan tugas tertentu. Kompetensi sumber daya manusia memiliki

pengaruh yang cukup kuat dan merupakan faktor yang penting terhadap

peningkatan kinerja karyawan. Berdasarkan uji korelasi diperoleh hasil bahwa

kompetensi sumber daya manusia memiliki hubungan yang erat dengan kinerja

karyawan, dari hasil uji regresi ternyata kompetensi sumber daya manusia

memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Kinerja karyawan dapat

ditingkatkan apabila kompetensi sumber daya manusia yang ada dalam suatu

perusahaan dapat ditingkatkan. Dalam hal ini kinerja dapat ditingkatkan dengan

adanya perhatian terhadap setiap indikator kompetensi sumber daya manusia.

24
Menurut Teori Attribusi atau Expectancy Theory dikemukakan oleh

Heider (1985) pendekatan atrribusi mengenai kinerja dirumuskan sebagai berikut:

K= M x A

Keterangan :

K= kinerja, M= motivasi, A= kemampuan (Ability)

Konsep ini akhirnya menjadi sangat populer dan seringkali diikuti oeleh

para ahli-ahli lain, menurut teori ini kinerja adalah interaksi antara motivasi

dengan kemampuan dasar. Dengan demikian orang yang tinggi motivasinya tetapi

memiliki kemampuan yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah, begitu

pula orang yang mempunyai kemampuan dasar tinggi tetapi rendah motivasinya.

Motivasi merupakan faktor penting dalam mendorong setiap pegawai untuk

bekerja secara produktif sehingga berdampak pada kinerja pegawai (Siagian,

2002).

Menurut teori motivasi atribusi yang dikembangangkan oleh Gray yang

dikutip oleh Winardi (2002), bahwa ada kaitan antara motivasi, kemampuan dan

kinerja yang menyatakan: kinerja pekerjaan merupakan hasil dari banyak faktor

yang sebagian tidak diketahui oleh para manajer, dan bahkan ada beberapa faktor,

diantara faktor-faktor tersebut yang tidak dipahami oleh pegawai atau staf.

Terdapat adanya kesetujuan pandangan bahwa kedua variabel yang paling penting

dalam hal menerangkan kinerja adalah:

1. Motivasi pegawai atau staf

2. Kemampuan kerja

Kaitan antara variabel-variabel tersebut diperlihatkan melalui persamaan berikut:

Kinerja = motivasi x kemampuan (Winardi, 2002).

25
Faktor-faktor penentu bawahan dapat bersifat internak (kemampuan kerja)

dan eksternal (pekerjaan dan lingkungan kerja). Agar relatif akurat, disarankan

agar atasan menggunakan tiga untuk membedakan keduanya:

1. Consensus (membandingkan kinerja seseorang dengan kinerja rekan

sekerjanya yang memiliki tugas dn tanggungjawab sejenis).

2. Consistency (membandingkan kinerja seorang bawahan pada suatu periode

tertentu dengan periode yang lain).

Menurut Siagian (2002), atasan akan mempersepsikan kinerja bawahannya

dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal apabila ia menemukan tingkat consensus

yang tinggi (bawahan tersebut memiliki kinerja serupa dengan kinerja rekan-rekan

kerjanya yang memiliki tugas dan tanggungjawab sejenis), tingkat distinctiveness

yang tinggi (kinerja bawahan tersebut tidak sama untuk satu tugas dengan tugas

yang lain), dan tingkat consistency yang rendah (kinerja bawahan tersebut tidak

sama pada suatu periode tertentu dengan periode yang lain).

Menurut As’ad (1998), penilaian kinerja adalah proses menilai hasil karya

personel dalam suatu organisasi melalui instrumen penilaian kinerja. Pada

hakikatnya, penilaian kinerja merupakan suatu evaluasi terhadap penampilan kerja

personel dengan membandingkannya dengan standar baku penampilan. Adapun

model-model penilaian kinerja antara lain:

1. Penilaian sendiri (self assement)

Adalah model penilaian dengan menggunakan teori kontrol dan interaksi

simbolik. Kedua teori ini mendorong dan memberikan kerangka pemikiran

bagi pemahaman fungsi penilaian. Menurut teori ini, individu harus

menyelesaikan tiga tugas untuk mencapai tujuan mereka yaitu: (1)

26
menetapkan standar untuk perilaku mereka, (2) mendeteksi perbedaan antara

perilaku mereka dan standarnya (umpan balik), (3) berprilaku yang sesuai dan

layak untuk mengurangi perbedaan ini.

2. Penilaian 3600

Pengembangan trakhir dari tehnik penilaian sendiri adalah penilaian 360 0

degree assesment. Tehnik ini akan memberikan data yang lebih baik dan dapat

dipercaya karena dilakukan penilaian silang oleh bawahan, mitra, dan atasan

langsung.

3. Penilaian berdasarkan efektivitas

Penilaian berdasarkan efektivitas (effectiveness based evaluation) dengan

menggunakan sasaran organisasi sebagai indikasi penilaian kinerja. Metode

penilaian ini biasanya dilakukan oleh organisasi-organisasi besar yang

memperkerjakan banyak personel dan menggunakan sistem pengelolaan

organisasi berdasarkan sasaran (Manajemen Berdasarkan Objek = MBO).

Pada penelitian Suhartini (2015) yang meneliti tentang Pengaruh

Keterampilan Kerja, Pengalaman Kerja, dan Sikap Kerja Terhadap Kinerja

Karyawan Pada Perusahaan Rokok Gagak Hitam Kabupaten Bondowoso bahwa

pengetahuan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan

Keterampilan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan

Kemampuan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Oleh

sebab itu pengetahuan, keterampilan dan kemampuan haruslah ditingkatkan dan

dipertahankan untuk mendorong karyawan mencapai kinerjanya lebih baik, yang

pada akhirnya akan menyumbang kenaikan kinerja perusahaan.

27
Kinerja perawat behubungan dengan tingkat kepuasan pasien. Kepuasan

pasien tergantung pada kualitas pelayanan perawat. Pelayanan adalah semua

upaya yang dilakukan perawat sebagai profesi atau profesional untuk memenuhi

keinginan pasien dengan jasa yang diberikan. Suatu pelayanan dapat dikatakan

baik, ditentukan berdasarkan kenyataan apakah jasa yang diberikan oleh perawat

bisa memenuhi kebutuhan pasien, dengan menggunakan persepsi pasien tentang

pelayanan yang diterima (memuaskan atau mengecewakan) (Hafid, 2014).

Ada tiga factor yang mempengaruhi kinerja perawat, yaitu: pengetahuan,

keterampilan dan sikap. variabel pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara

bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai,

pembentuk sikap dengan kinerja pegawai, dalam arti jika terjadi peningkatan

indikator-indikator pembentuk sikap, maka kinerja pegawai juga akan cenderung

meningkat.

1. Pengetahuan. Ada hubungan yang searah antara indikator-indikator

pembentuk pengetahuan dengan kinerja pegawai, dalam arti jika terjadi

peningkatan indikator-indikator pembentuk pengetahuan, maka kinerja

pegawai juga cenderung meningkat

2. Keterampilan. Jika terjadi peningkatan indikator-indikator pembentuk

keterampilan, maka kinerja pegawai cenderung meningkat

3. Sikap. Terdapat hubungan yang searah antara indikator-indikator pembentuk

sikap dengan kinerja pegawai, dalam arti jika terjadi peningkatan indikator-

indikator pembentuk sikap, maka kinerja pegawai juga akan cenderung

meningkat (Fadhil, 2016).

2.4.1. Motivasi

28
Istilah motivasi berasal dari bahasa latin “movere” yang berarti “to move”

atau menggerakkan. Kata dasar motivasi adalah “motive” yang berarti dorongan,

sebab atau alasan seseorang melakukan sesuatu. Nawawi (1998) mendefenisikan

motivasi sebagai suatu kondisi yang mendorong atau menjadi sebab seseorang

mengerjakan suatu pekerjaan yang ditujukan kepada sasaran. Motivasi berkaitan

dengan tingkat usaha yang dilakukan seseorang untuk mengejar suatu tujuan;

motivasi berkaitan erat dengan kepuasan pegawai dan kinerja. Sementara itu,

Muchlas (1998) mendefenisikan motivasi sebagai kemampuan untuk berjuang ke

tingkat yang lebih tinggi menuju terjadinya tujuan organisasi, dengan syarat tidak

mengabaikan kemampuannya untuk memperoleh kepuasan dalam pemenuhan

kebutuhan pribadi.

Wexley dan Yukl dalam Sutrisno (2016) memberikan batasan mengenai

motivasi sebagai the process by which behavior is energized and directed.

Motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif atau dapat pula diartikan

sebagai hal atau menjadi motif. Jadi motivasi adalah sesuatu yang menimbulkan

semangat atau dorongan kerja. Motivasi adalah pemberian daya penggerak yang

menciptakan kegairahan kerja seseorang agar mereka mau bekerjasama, bekerja

efektif, dan terintegrasi dengan segala daya upayanya untuk mencapai kepuasan.

Dari defenisi motivasi yang disampaikan para ahli diatas terdapat tiga

faktor pokok yaitu: motivasi menjadi kekuatan pendorong bagi seseorang untuk

berprilaku tertentu; adanya orientasi individu pada tujuan tertentu dan adanya

kebutuhan pribadi. Jadi motivasi merupakan dorongan bagi seseorang berprilaku

tertentu untuk mencapai keinginannya sehingga tercapai kesesuaian antara

kebutuhan pribadi dengan tujuan organisasi.

29
Pengelompokan teori motivasi dilakukan para ahli untuk mempermudah

mempelajarinya. Handoko (1995) membagi teori motivasi ke dalam tiga

kelompok yaitu: teori petunjuk, teori isi dan teori proses. Berbeda dengan

Handoko, pengelompokan teori motivasi menurut Nawawi (1998) dibagi menjadi

dua, yaitu teori isi (content theory) yang berfokus pada “apa” yang mendorong

manusia melakukan kegiatan tertentu dan teori proses (process theory) yang

berfokus pada “bagaimana” mendorong manusia agar berbuat sesuatu termasuk

dalam bekerja di sebuah organisasi. Teori isi (content theory) terdiri dari teori

kebutuhan (need) dari Abraham Maslow, teori prestasi (achievment) dari David

Mc Clelland. Teori proses motivasi terdiri dari teori penguatan (reinforcement

theory), teori harapan (expectancy theory) dan teori tujuan sebagai motivasi.

Kedua pendekatan di atas sama pentingnya bagi organisasi untuk menimbulkan

perasaan senang dan puas dalam melakukan pekerjaan agar memberikan

kontribusi terbaik dalam mencapai tujuan organisasi.

Bila motivasi sumber daya manusia meningkat, maka komitmen sumber

daya manusia juga meningkat. Bila motivasi sumber daya manusia meningkat,

maka kinerja sumber daya manusia juga meningkat (Prihantoro, 2012). Jadi

motivasi berperan penting dalam peningkatan kinerja sumber daya manusia.

Semangat kerja adalah melakukan pekerjaan secara lebih, sehingga

pekerjaan akan dapat diharapkan lebih cepat dan lebih baik. Sedangkan kegairan

kerja adalah kesenangan yang mendalam terhadap pekerjaan yang dilakukan yang

dapat mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap semangat kerja. Oleh

karena itulah antara semangat kerja dan kegairahan kerja sulit untuk dipisahkan.

30
Setiap organisasi selalu berusaha untuk dapat meningkatkan semangat dan

kegairahan semaksimal mungkin, dalam batas-batas kemampuan organisasi

tersebut. Niti Semito (1993) memberikan beberapa cara bagaimana meningkatkan

semangat kerja, baik yang bersifat material maupun non material yaitu: (a) gaji

yang cukup, (b) memperhatikan kebutuhan rohani, (c) sekali-kali perlu

menciptakan suasana santai, (d) harga diri perlu mendapatkan perhatian, (e)

tempatkan pegawai pada posisi yang tepat, (f) berikan kesempatan pada mereka

untuk maju, (g) perasaan aman menghadapi masyarakat depan perlu diperhatikan,

(h) usahakan para pegawai mempunyai loyalitas, (i) sekali-kali pegawai perlu

diajak berunding, (j) pemberian insentif yang terarah dan (k) fasilitas yang

menyenangkan.

2.4.2. Kemampuan

Kompetensi atau kemampuan didefinisikan oleh Mitrani dalam Subaedi

(2010) adalah sebagai suatu sifat dasar seseorang yang dengan sendirinya

berkaitan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan secara efektif atau sangat berhasil

(and underlying charactheristic: of an individual which is casually related to

effective or superior performance in job), Ketidaksamaan dalam kompetensi-

kompetensi inilah yang membedakan seseorang pelaku unggul dari perilaku yang

berprestasi rata-rata. Untuk mencapai kinerja sekedar cukup atau rata-rata,

diperlukan kompetensi batas (threshold competemcies) atau kompetensi essensial.

Komptensi batas atau kompetensi istimewa untuk suatu pekerjaan tertentu

merupaka pola atau pedoman dalam pemilihan karyawan (personel selection),

Perencanaan pengalihan tugas (succestion planing), peniliaian kinerja

(performance appaisal), dan pengembangan.

31
Kemampuan (Ability), adalah kapasitas seorang individu untuk

mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Indikator kemampuan

meliputi : kemampuan mengelola bisnis, mengambil keputusan, memimpin,

mengendalikan, berinovasi, situasi dan perubahan lingkungan bisnis (Subaedi,

2010).

Sutrisno (2009) mendefenisikan kemampuan/kompetensi adalah suatu

kemampuan yang dilandasi oleh keterampilan dan pengetahuan yang didukung

oleh sikap kerja srta penerapannya dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan di

tempat kerja yang mengacu pada persyaratan kerja yang ditetapkan. Pengertian

kompetensi dalam organisasi public maupun private sangat diperlukan terutama

untuk menjawab tuntutan organisasi, dimana adanya perubahan yang sangat cepat,

perkembangan masalah yang sangat kompleks dan dinamis serta ketidakpastian

masa depan dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Secara umum manusia di dalam melaksanakan pekerjaan dan juga

mengikuti pendidikan akan dipengaruhi oleh tiga domain kemampuan manusia,

yaitu domain kognitif, domain afektif, serta domain psikomotor. Domain kognitif

ialah kemampuan berprilaku, doain afektif biasa disebut dengan kemampuan

bersikap, sedangkan domain psikomotor erat hubungannya dengan kemampuan

melakukan sesuatu atau terampil dalam melakukan gerakan, menggunakan alat

dan lain sebagainya (www.ut.ac.id.2004).

Kemampuan analisis dan kemampuan kognitif merupakan cara terbaik

untuk meningkatkan hasil kerja. Namun demikian, dalam mencapai kesuksesan

kerja atau belajar tidak hanya dipengaruhi oleh cognitive intelligence saja,

melainkan juga dipengaruhi oleh emotional intelligence (EQ). EQ sama

32
pentingnya dengan kombinasi kemampuan teknis dan analisis untuk menghasilkan

kinerja optimal. Menurut Goleman, semakin tinggi jabatan seseorang dalam suatu

organisasi, semakin krusial peran EQ.

Pendekatan Goleman sebagaimana dikutip Henderson (1983) dan sangat

erat kaitannya dengan kemampuan individu memproses informasi yang diterima,

yaitu bahwa (a) struktur kognitif sangat ditentukan oleh pola perilaku (gaya)

berpikir, (b) perkembangan mental merupakan hasil interaksi antara individu

dengan lingkungannya, dan (c) perkembangan mental seseorang bergerak secara

progresif melalui tahapan yang merupakan suatu garis kontinum yang bergerak

secara hirarkis dimana setiap tahapannya mewakili cara berpikir yang berbeda.

Human Development Index (HDI) telah mengalami perubahan, pekerja

profesional yang sukses adalah mereka yang harus memiliki kapasitas empat

kekuatan dasar manusia, yaitu: kekuatan moral-spiritual (SQ), kecerdasan

intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kekuatan fisik (PQ). Sehingga

dalam bekerja seseorang harus dapat bekerja dengan: kerja mawas, kerja cerdas,

kerja keras dan kerja tuntas.

2.5. Rawat Inap

Pelayanan Rawat Inap adalah pelayanan pasien untuk observasi, diagnosis,

pengobatan, rehabilitasi medik dan atau upaya pelayanan kesehatan lainnya

dengan menginap di rumah sakit (Kemenkes RI, 2003)

2.5.1. Ruang Pasien Rawat Inap

Ruang untuk pasien yang memerlukan asuhan dan pelayanan keperawatan

dan pengobatan secara berkesinambungan lebih dari 24 jam. Untuk tiap-tiap

rumah sakit akan mempunyai ruang perawatan dengan nama sendiri-sendiri sesuai

33
dengan tingkat pelayanan dan fasilitas yang diberikan oleh pihak rumah sakit

kepada pasiennya (Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit Ruang Rawat Inap,

2012).

2.5.2. Alur Pasien Rawat Inap

Adapun alur pasien rawat inap adalah sebagai berikut:

(a) Pasien masuk ruang rawat inap: 1. Pasien masuk ruang rawat inap dari

IGD/COT/Rawat jalan melalui admisi; 2. Pasien mendapatkan Nomor Rekam

Medis; 3. Serah terima & orientasi di pos perawat (Nurse Station); 4. Pasien ganti

pakaian; 5. Pasien selanjutnya dirawat lebih lanjut di ruang rawat inap.

(b) Pasien meninggalkan ruang rawat inap: 1. Pasien pulang ke rumah setelah

sehat, atau 2. Pasien meninggal dikirim ke kamar janazah (Pedoman Teknis

Bangunan Rumah Sakit Ruang Rawat Inap, 2012).

2.5.3. Lokasi Rawat Inap

Adapun lokasi rawat inap adalah sebagai berikut:

(a) Bangunan rawat inap harus terletak pada lokasi yang tenang, aman dan

nyaman, tetapi tetap memiliki kemudahan aksesibiltas atau pencapaian dari

sarana penunjang rawat inap;

(b) Bangunan rawat inap terletak jauh dari tempat-tempat pembuangan kotoran,

dan bising dari mesin/generator (Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit

Ruang Rawat Inap, 2012).

2.5.4. Tarif Rawat Inap

Adapun tarif rawat inap adalah sebagai berikut: (a) Kelas rawat inap di

rumah sakit ditetapkan sekurang-kurangnya sebagai berikut: Kelas III, Kelas II,

Kelas I. (b) Direksi diberikan wewenang untuk menambah kelas rawat inap

34
sesuai dengan kebutuhan (c) Jumlah tempat tidur dikelas III disesuaikan dengan

kebutuhan dan sekurang -kurangnya 25% dari jumlah tempat tidur yang tersedia.

(d) Standar fasilitas masing-masing kelas perawatan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditetapkan oleh Direksi Rumah Sakit, dengan mengacu kepada standar

fasilitas yang ada (Kemenkes RI, 2003).

2.6. Kerangka Konsep

SUMBER DAYA KINERJA TENAGA


MANUSIA KEPERAWATAN

- Pendidikan - Motivasi
- Keterampilan - kemampuan
- Pengetahuan

Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat diberikan penjelasan sebagai

berikut: perubahan kualitas sumber daya manusia dari aspek pendidikan,

pelatihan, maupun pengetahuan yang mempengaruhi kinerja tenaga keperawatan

di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan yang dilihat dari aspek motivasi

serta kemampuan.

2.7. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan penelitian dan tujuan penelitian, maka hipotesis

penelitian ini adalah hubungan mutu daya manusia bidang keperawatan

(pendidikan, keterampilan dan pengetahuan) dengan kinerja (motivasi dan

kemampuan) perawat di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan.

BAB III

METODE PENELITIAN

35
3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survey yang bersifat analitik untuk

menjelaskan hubungan mutu sumber daya manusia terhadap keinerja tenaga

keperawatan di Rumah Sakit Pertamina. Menurut Notoatmojo (2002) analitic

study adalah penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan suatu hubungan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi

Lokasi penelitian ini dilakukan di RS Pertamina Brandan dengan alasan

bahwa

3.2.2 Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.2. Populasi

3.3.3. Sampel

3.4. Metode Pengumpulan Data

Data primer dihimpun melalui wawancara langsung dengan responden

berpedoman kepada kuisioner penelitian, disamping itu peneliti juga melakukan

observasi langsung menanyakan juga kepada atsan. Data sekunder diperoleh dari

laporan kegiatan serta registrasi RS Pertamina yang berkaitan serta menunjang

untuk mencapai tujuan penelitian.

3.5. Defenisi Operasional

1. Sumber daya manusia adalah tenaga keperawatan yang bekerja di RS Pertamina

untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien sesuai dengan pendidikan,

keterampilan serta pengetahuan yang dimilikinya.

36
2. Pendidikan adalah pendidikan yang di peroleh perawat secara teratur,

sistematis, bertingkat dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat.

3. Keterampilan adalah kemampuan yang dimiliki perawat tentang pekerjaannya

dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

4. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh perawat tentang

pekerjaan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.

5. Kinerja adalah penampilan hasil karya perawat maupun kelompok kerja, baik

kualitas maupun kuantitas dalam suatu organisasi, tidak terbatas pada personel

yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada

keseluruhan jajaran personel yang ada di dalam organisasi.

6. Motivasi adalah fakto-faktor atau kekuatan pendorong perawat untuk

melaksanakan pekerjan yang ditujukan pada sasaran.

7. kemampuan adalah melaksanakan setiap tugas dalam memberikan pelayanan

keperawatan kepada pasien sehingga dapat selesai pada waktu yang di tetapkan.

3.7. Aspek Pengukuran

Variabel dalam sumber daya manusia diukur melalui 5 pertanyaan untuk

masing-masing variabel pendidikan, keterampilan serta pengetahuan, demikian

juga dengan kinerja perawat diukur dari aspek motivasi (5 pertanyaan dan

kemampuan (5 pertanyaan).

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Sumber Daya Manusia dan Kinerja Tenaga

Keperawatan

SDM Bobot Nilai 1 Variabel Bobot Nilai 1 Variabel


(1 Indikator) (5 Indikator)
Baik Kurang baik Baik Kurang Baik
Pendidikan 2 1 8-10 4-5
Keterampilan 2 1 6-10 3-5
Pengetahuan 2 1 10 5

37
Kinerja Bobot Nilai 1 Variabel (1 Bobot Nilai 1 Variabel (5
Indikator) Indikator)
Baik Kurang baik Baik Kurang Baik
Motivasi 2 1 10 5
Kemampuan 2 1 10 5

3.8. Teknik Analisis Data

Proses yang digunakan untuk melakukan pengolahan data dengan teknik

analisis statistik menggunakan uji regresi berganda pada taraf α = 5%, untuk

melihat hubungan mutu sumber daya manusia terhadap kinerja tenaga

keperawatan di RS Pertamina.

38

Anda mungkin juga menyukai