Anda di halaman 1dari 14

IJMA DAN PEMBAHASANNYA

MAKALAH

Ditulis untuk memenuhi Sebagian persyaratan mata kuliah

Ushul Fiqih

Dosen pengampu:

Dr.Thomas Febrian,M.A

Disusun oleh:

1. Arlan satria wahyumi (2216030159)


2. Fadillah zalianti (2216030174)
3. Muhammad alfi akbar (221603189)

PROGRAM STUDI USHUL FIQIH (D) FAKULTAS


EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
1444 H/ 2023 M

KATA PENGANTAR
Kepada Para Pembaca yang Terhormat,Dalam kesempatan ini, dengan
rendah hati dan penuh rasa syukur, kami menghadirkan makalah ini yang
membahas tentang konsep Ijma dalam tradisi hukum Islam. Ijma, atau konsensus,
adalah salah satu prinsip penting dalam penentuan hukum Islam yang telah
menjadi landasan bagi pengambilan keputusan di dalam masyarakat Muslim
selama berabad-abad.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih
mendalam tentang Ijma dan menggali signifikansi serta implikasinya dalam
konteks hukum Islam. Kami berusaha untuk memberikan penjelasan yang jelas
dan komprehensif mengenai konsep ini, serta menggambarkan bagaimana Ijma
menjadi sumber otoritatif dalam pembentukan hukum dan pengambilan keputusan
dalam masyarakat Muslim.
Kami sadar bahwa makalah ini mungkin tidak sempurna, dan kami
mengharapkan masukan konstruktif dari pembaca untuk meningkatkan
kualitasnya. Semoga makalah ini dapat memberikan pemahaman yang bermanfaat
dan menginspirasi diskusi yang lebih luas mengenai Ijma dan perannya dalam
hukum Islam.
Akhir kata, kami berharap bahwa makalah ini dapat memberikan
kontribusi yang berarti bagi pembaca yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang
konsep Ijma dalam konteks hukum Islam. Semoga kita semua dapat terus
menggali kekayaan dan kebijaksanaan dari warisan intelektual Islam yang luar
biasa.

Padang,17 Juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB 1......................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
C. Tujuan Penulisan...........................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................6
PEMBAHASAN.....................................................................................................6
A. Pengertian Ijma.............................................................................................6
B. Macam-Macam Ijma’....................................................................................7
C. Kehujjahan Ijma’ Menurut Pandangan Para Ulama................................9
D. Kedudukan Ijma’ Sebagai Dasar Hukum Islam......................................10
E. Syarat-syarat atau Rukun Ijma.................................................................11
BAB III..................................................................................................................13
KESIMPULAN....................................................................................................13
A. Kesimpulan..................................................................................................13
B. Saran.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................14

BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Latar belakang Ijma (kesepakatan para ulama) dalam Islam dapat
ditelusuri kembali ke masa awal pengembangan hukum Islam setelah
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Ketika itu, umat Muslim menghadapi
berbagai situasi dan masalah baru yang tidak secara langsung diatur dalam
Al-Quran atau hadis.
Perkembangan konsep Ijma sebagai sumber hukum dimulai pada abad
kedua Hijriah, ketika para ulama mulai mengakui pentingnya kesepakatan
para sahabat dan generasi awal Muslim dalam menetapkan hukum.
Mereka melihat kesepakatan ini sebagai indikasi kehendak Allah dan
panduan untuk memecahkan masalah hukum yang belum tercakup secara
langsung dalam sumber-sumber utama.
Dalam pembahasannya, para ulama Islam mengembangkan prinsip-prinsip
dan kriteria untuk menentukan otoritas dan keabsahan Ijma. Mereka
membahas masalah seperti kelayakan para ulama untuk berpartisipasi
dalam kesepakatan, metode untuk mencapai kesepakatan, dan batasan-
batasan ruang lingkup Ijma.Pembahasan tentang Ijma juga mencakup
perselisihan pendapat tentang berbagai masalah terkait. Terdapat
perbedaan pendapatdalam hal-hal seperti bagaimana menentukan
konsensus ulama, apakah Ijma hanya berlaku dalam hal-hal yang belum
diatur atau juga dapat digunakan untuk menafsirkan hukum yang telah ada,
dan bagaimana mengatasi perbedaan pendapat jika terjadi perkembangan
baru dalam pemahaman hukum Islam.
Pada akhirnya, pembahasan Ijma terus berkembang seiring dengan
perkembangan ilmu ushul fiqh dan penelitian hukum Islam. Ulama,
sarjana hukum Islam, dan ahli agama secara luas membahas konsep dan
implikasi Ijma dalam konteks zaman mereka untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam dan aplikatif terhadap hukum Islam.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dapat diajukan terkait dengan Ijma
(kesepakatan para ulama) dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Apa definisi Ijma dalam konteks hukum Islam?
2. Bagaimana otoritas Ijma diakui sebagai sumber hukum dalam Islam?
3. Bagaimana proses terbentuknya Ijma dan bagaimana para ulama
mencapai kesepakatan?
4. Apa kriteria dan kelayakan ulama untuk berpartisipasi dalam Ijma?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan tentang Ijma (kesepakatan para ulama) dalam Islam
dapat bervariasi tergantung pada konteksnya. Beberapa tujuan umum dalam
penulisan tentang Ijma adalah:
1. Pemahaman yang Mendalam: Penulisan tentang Ijma bertujuan untuk
memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep Ijma dalam
hukum Islam
2. Pemberian Informasi: Penulisan tentang Ijma bertujuan untuk memberikan
informasi yang akurat dan terpercaya tentang Ijma kepada pembaca
3. Analisis dan Evaluasi: Penulisan tentang Ijma dapat bertujuan untuk
menganalisis dan mengevaluasi argumen yang mendukung atau
menentang otoritas Ijma sebagai sumber hukum
4. Konteks Historis: Penulisan tentang Ijma dapat bertujuan untuk
menyajikan konteks historis tentang perkembangan dan pembahasan Ijma
sepanjang sejarah Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijma
Secara bahasa, "ijma" dalam bahasa Arab berarti "kesepakatan" atau
"persetujuan". Istilah ini digunakan dalam konteks hukum Islam untuk merujuk
pada kesepakatan kolektif ulama dalam memutuskan suatu masalah hukum yang
belum diatur secara tegas dalam Al-Quran dan hadis.
Dalam istilah hukum Islam, Ijma adalah sebuah konsep yang mengacu
pada kesepakatan para ulama yang berkompeten dalam memutuskan hukum atau
masalah agama. Ijma dianggap sebagai sumber hukum yang diakui dalam tradisi
hukum Islam.
Pengertian Ijma secara istilah adalah kesepakatan ulama yang
mencerminkan pandangan kolektif mereka terhadap suatu masalah hukum yang
belum memiliki rujukan langsung dalam Al-Quran dan hadis. Ijma dianggap
memiliki otoritas hukum yang setara dengan Al-Quran dan hadis, dan diakui
sebagai sumber hukum yang penting dalam menentukan keputusan hukum dalam
Islam.
Dalam konteks hukum Islam, pengertian Ijma secara istilah merujuk pada
kesepakatan ulama yang memiliki keilmuan yang mendalam, pemahaman yang
akurat terhadap Al-Quran dan hadis, serta penggunaan metode interpretasi hukum
yang tepat dalam mencapai kesepakatan hukum.
Secara mendalam, Ijma merupakan konsep dalam hukum Islam yang
mengacu pada kesepakatan kolektif para ulama yang kompeten dalam
memutuskan suatu hukum atau masalah yang belum diatur secara tegas dalam Al-
Quran dan hadis. Ijma memiliki peran penting dalam menyediakan landasan
hukum bagi situasi-situasi di mana tidak ada rujukan langsung dari sumber-
sumber utama Islam.
Pengertian Ijma dapat dipahami dalam beberapa aspek yang lebih
mendalam:
1. Aspek Otoritas:
Ijma dianggap sebagai otoritas hukum dalam Islam karena kesepakatan ulama
yang berkompeten dianggap mencerminkan kehendak Allah dalam memutuskan
masalah hukum. Kesepakatan ini dianggap sebagai hasil dari upaya kolaboratif
ulama yang didasarkan pada pengetahuan mendalam, pemahaman agama yang
benar, dan penggunaan metode interpretasi hukum yang tepat.
2. Aspek Keilmuan:
Ijma melibatkan ulama yang memiliki keilmuan yang mendalam tentang
AlQuran, hadis, dan prinsip-prinsip hukum Islam. Mereka mempelajari teks-teks
sumber hukum, menggunakan metode interpretasi yang tepat, dan berdiskusi
secara kritis untuk mencapai kesepakatan. Keilmuan yang kuat menjadi faktor
kunci dalam kelayakan ulama untuk berpartisipasi dalam Ijma.
3. Aspek Kontekstualitas:
Ijma mengakui perlunya mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan
perubahan zaman dalam pengambilan keputusan hukum. Ulama dalam proses
Ijma menggabungkan pemahaman teks-teks sumber hukum dengan konteks aktual
untuk memperoleh pemahaman yang relevan dan berlaku untuk masalah yang
dihadapi umat Muslim saat ini.
4.Aspek Batasan dan Ruang Lingkup:
Terdapat perdebatan dan perbedaan pendapat mengenai batasan dan ruang
lingkup Ijma. Beberapa pendapat menyatakan bahwa Ijma hanya berlaku dalam
hal-hal yang belum diatur dalam sumber-sumber utama hukum Islam, sementara
yang lain berpendapat bahwa Ijma juga dapat digunakan untuk menafsirkan dan
memperluas pemahaman terhadap hukum yang telah ada.
5. Aspek Implementasi:
Ijma memiliki implikasi praktis dalam kehidupan umat Muslim dan dalam
sistem hukum Islam. Keputusan-keputusan yang didasarkan pada Ijma dapat
digunakan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan, seperti peradilan, keuangan,
keluarga, dan muamalah. Implementasi Ijma dapat dilakukan melalui pengakuan
oleh negara dan diterapkan dalam sistem hukum yang berbasis Islam.
B. Macam-Macam Ijma’
Terdapat beberapa macam-macam Ijma' dalam hukum Islam. Berikut ini
adalah beberapa contoh:
1. Ijma' Sahabi (Kesepakatan Para Sahabat):
Merujuk pada kesepakatan para Sahabat Nabi Muhammad SAW. Para Sahabat
merupakan generasi awal umat Islam yang memiliki pemahaman langsung tentang
ajaran Islam dari Nabi Muhammad SAW. Ijma' Sahabi dianggap memiliki otoritas
tertinggi dalam hukum Islam karena kedekatan mereka dengan Nabi dan
pengetahuan mereka tentang konteks asli Al-Quran dan hadis.
2. Ijma' Tabi'in (Kesepakatan Para Tabi'in):
Merujuk pada kesepakatan para Tabi'in, yaitu generasi Muslim yang mengikuti
para Sahabat. Mereka memperoleh pengetahuan tentang Islam dari Sahabat dan
memiliki pemahaman yang mendalam tentang ajaran Islam. Ijma' Tabi'in juga
dianggap memiliki otoritas yang tinggi dalam hukum Islam.
3. Ijma' Ulama Kontemporer:
Merujuk pada kesepakatan ulama kontemporer, yaitu para ulama yang hidup dan
aktif dalam zaman sekarang. Ijma' Ulama Kontemporer mencerminkan pandangan
dan kesepakatan ulama yang berkompeten dalam memutuskan masalah hukum
yang muncul dalam konteks zaman sekarang. 4. Ijma' Madzhab (Kesepakatan
dalam Madzhab):
Merujuk pada kesepakatan ulama dalam suatu madzhab (persekolahan hukum
Islam tertentu), seperti Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i, atau
Madzhab Hanbali. Ijma' Madzhab mencerminkan pandangan ulama yang
mengikuti suatu madzhab tentang hukum-hukum tertentu.
5. Ijma' Lokal (Kesepakatan dalam Konteks Lokal):
Merujuk pada kesepakatan ulama dalam suatu wilayah atau komunitas tertentu.
Ijma' Lokal mencerminkan pandangan dan kesepakatan ulama dalam menentukan
hukum-hukum yang berlaku dalam konteks sosial, budaya, dan lingkungan
tertentu.

Pembagian Ijma' menurut mujtahid (seorang ahli hukum Islam yang


mampu melakukan ijtihad) dapat dibedakan menjadi beberapa kategori
berdasarkan tingkat otoritas dan kelayakan para ulama yang terlibat. Berikut
adalah pembagian Ijma' menurut mujtahid: 1. Ijma' Mutawatir:
Ijma' Mutawatir adalah kesepakatan yang disepakati oleh para ulama dalam
jumlah yang sangat besar sehingga hampir tidak mungkin terjadi kesalahan atau
kesalahan pemahaman. Ijma' jenis ini memiliki otoritas yang sangat kuat dalam
hukum Islam dan dianggap sebagai dalil yang pasti dan meyakinkan.
2. Ijma' Ahl al-Madzhab:
Ijma' Ahl al-Madzhab merujuk pada kesepakatan para ulama dalam satu
madzhab hukum Islam tertentu, seperti Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, atau
Hanbali. Ijma' ini memiliki otoritas yang diakui dalam lingkup madzhab tersebut
dan menjadi sumber hukum yang penting dalam praktik hukum dalam madzhab
tersebut.
3. Ijma' al-Ulama al-Mutaqaddimin:
Ijma' al-Ulama al-Mutaqaddimin merujuk pada kesepakatan para ulama
terkemuka dari masa lampau. Ijma' jenis ini mencakup kesepakatan-kesepakatan
yang telah dicapai oleh para ulama terkemuka dalam sejarah Islam, seperti Imam
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Ijma' ini
memiliki otoritas yang dihormati dan dianggap sebagai panduan dalam memahami
dan menerapkan hukum Islam. 4. Ijma' al-Ulama al-Mu'asirin:
Ijma' al-Ulama al-Mu'asirin merujuk pada kesepakatan para ulama kontemporer
atau ulama masa sekarang. Ijma' jenis ini mencakup kesepakatan-kesepakatan
yang dicapai oleh para ulama yang aktif dan berkompeten dalam konteks zaman
sekarang. Meskipun memiliki otoritas yang dihormati, Ijma' ini bisa bervariasi
tergantung pada konteks sosial, budaya, dan perubahan zaman.

C. Kehujjahan Ijma’ Menurut Pandangan Para Ulama


Kehujjahan Ijma' (kesepakatan ulama) dalam hukum Islam telah menjadi
subjek perdebatan di antara para ulama sepanjang sejarah. Berikut adalah
pandangan beberapa ulama terkemuka tentang kehujjahan Ijma':
1. Imam Al-Shafi'i:
Imam Al-Shafi'i berpendapat bahwa Ijma' merupakan sumber hukum
yang sah setelah Al-Quran dan hadis. Baginya, Ijma' merupakan bukti
konkrit dari kesepakatan para ulama yang dianggap sebagai
kesepakatan umat Muslim secara kolektif. Imam Al-Shafi'i
menegaskan bahwa Ijma' adalah dalil hukum yang tidak dapat
ditinggalkan.
2. Imam Ahmad bin Hanbal:
Imam Ahmad bin Hanbal juga memandang Ijma' sebagai sumber
hukum yang sah dan mengikat. Baginya, kesepakatan para ulama
memiliki otoritas yang setara dengan Al-Quran dan hadis, asalkan
Ijma' didasarkan pada pengetahuan yang benar dan pemahaman
yang akurat tentang ajaran Islam.
3. Imam Malik:
Imam Malik menganggap Ijma' sebagai dalil hukum yang kuat,
tetapi tidak setara dengan Al-Quran dan hadis. Baginya, Ijma'
memiliki kedudukan yang penting dalam menentukan hukum
dalam keadaan di mana tidak ada rujukan langsung dari Al-Quran
atau hadis yang relevan. Namun, Imam Malik juga berpendapat
bahwa Ijma' dapat ditinggalkan jika bertentangan dengan dalil yang
lebih kuat.
4. Imam Abu Hanifah:
Imam Abu Hanifah memiliki pandangan yang lebih hati-hati
terhadap Ijma'. Baginya, Ijma' bukanlah sumber hukum yang
otonom dan mutlak. Ia mengakui pentingnya Ijma' dalam
menentukan hukum, tetapi tetap memberikan keutamaan pada
AlQuran dan hadis. Menurut Imam Abu Hanifah, Ijma' dapat
dipertimbangkan sebagai bukti tambahan, tetapi tidak boleh
menggantikan ketetapan langsung dari sumber-sumber utama
Islam.

Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam hal kehujjahan Ijma', umat


Islam secara umum menghormati Ijma' sebagai sumber hukum yang penting. Para
ulama telah melakukan ijtihad (upaya interpretasi hukum) dan berusaha mencapai
kesepakatan dalam masalah-masalah hukum yang belum diatur secara tegas dalam
Al-Quran dan hadis. Dalam praktiknya, Ijma' diakui sebagai otoritas hukum yang
berlaku, namun implementasinya dapat bervariasi tergantung pada pemahaman
dan interpretasi ulama yang berbeda.

D. Kedudukan Ijma’ Sebagai Dasar Hukum Islam


Ijma' memiliki kedudukan yang penting sebagai salah satu dasar hukum
Islam. Meskipun tidak setara dengan Al-Quran dan hadis dalam hal keabsahan dan
otoritas, Ijma' diakui sebagai sumber hukum yang memiliki nilai dan kekuatan
hukum yang signifikan. Berikut adalah beberapa poin mengenai kedudukan Ijma'
sebagai dasar hukum Islam:
a. Pelengkap Al-Quran dan Hadis: Ijma' dianggap sebagai pelengkap Al-Quran dan
hadis. Ketika tidak ada ketetapan yang jelas dalam Al-Quran atau hadis mengenai
suatu masalah, Ijma' dapat memberikan panduan dan penjelasan lebih lanjut dalam
menentukan hukum Islam.
b. Ijma' sebagai Consensus Umat Muslim: Ijma' mencerminkan kesepakatan kolektif
ulama dalam menafsirkan dan menerapkan ajaran Islam. Hal ini memberikan
kekuatan dan otoritas kepada Ijma' sebagai representasi dari kesepakatan umat
Muslim secara luas dalam memahami hukum Islam.
c. Konsistensi dan Kontinuitas: Ijma' juga berfungsi untuk menjaga konsistensi dan
kontinuitas dalam pengembangan hukum Islam. Dengan mengacu pada
kesepakatan ulama dari masa lampau hingga masa kini, Ijma' membantu menjaga
kesinambungan dan kesatuan dalam aplikasi hukum Islam sepanjang sejarah.
d. Ijma' sebagai Penjaga Konsensus Umat: Ijma' berperan penting dalam menjaga
kesatuan dan konsensus umat Muslim. Ketika terjadi perbedaan pendapat di antara
ulama, Ijma' dapat menjadi landasan untuk mencapai kesepakatan dan
menghindari perpecahan dalam masalah-masalah hukum.
e. Kehujjahan dan Kepastian Hukum: Ijma' memberikan kepastian hukum dalam
situasi di mana tidak ada rujukan langsung dari Al-Quran atau hadis. Dengan
adanya kesepakatan ulama, Ijma' memberikan kekuatan hukum yang dapat
dipercaya dalam menentukan keputusan hukum.

E. Syarat-syarat atau Rukun Ijma


Syarat-syarat atau rukun-rukun Ijma' (kesepakatan ulama) dalam hukum
Islam dapat berbeda menurut pendapat para ulama. Namun, berikut ini adalah
beberapa syarat atau rukun yang umumnya disepakati oleh para ulama:
1. Kelayakan dan Kompetensi Ulama: Ijma' harus melibatkan ulama yang memiliki
kelayakan dan kompetensi dalam bidang ilmu agama Islam. Para ulama harus
memiliki pemahaman yang mendalam tentang Al-Quran, hadis, dan ilmu-ilmu
terkait serta memiliki keahlian dalam metode ijtihad (upaya interpretasi hukum).
2. Kesepakatan Mayoritas: Ijma' didasarkan pada kesepakatan mayoritas ulama yang
terlibat dalam memutuskan suatu masalah. Mayoritas ulama yang berkualifikasi
harus mencapai kesepakatan yang bulat dalam hal tersebut.
3. Pertimbangan Dalil: Ijma' harus didasarkan pada pertimbangan dalil-dalil agama
yang relevan, seperti Al-Quran dan hadis, serta prinsip-prinsip umum dalam
Islam. Para ulama harus mempertimbangkan dan merujuk kepada dalil-dalil yang
relevan dalam mencapai kesepakatan.
4. Mencakup Aspek yang Luas: Ijma' harus mencakup aspek-aspek yang luas dalam
hukum Islam. Ijma' dapat diterapkan dalam masalah-masalah teologi, hukum
keluarga, ekonomi, etika, dan sebagainya. Namun, terdapat perbedaan pendapat
mengenai apakah Ijma' berlaku untuk semua masalah hukum atau hanya pada
beberapa masalah tertentu.
5. Keberlangsungan dan Konsistensi: Ijma' harus konsisten dengan ajaran Islam yang
telah diterima sebelumnya dan harus berlanjut secara kontinu seiring perubahan
zaman. Kesepakatan yang mencerminkan kesatuan dan konsistensi dalam
memahami hukum Islam diharapkan untuk terus berlanjut sepanjang masa.

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Ijma' adalah salah satu sumber hukum Islam yang penting dan dihormati.
Meskipun masih ada perdebatan tentang kehujjahan dan ruang lingkupnya, Ijma'
mencerminkan kesepakatan ulama dan memberikan kerangka kerja dalam
menentukan hukum Islam. Namun, penggunaan Ijma' harus dilakukan dengan
pemahaman yang akurat dan melalui konsultasi dengan ulama dan pakar hukum
Islam yang terpercaya.
Ijma' mencerminkan kesepakatan ulama yang berkualifikasi dan kompeten
dalam menafsirkan dan menerapkan ajaran Islam. Keberadaan Ijma' mencerminkan
konsensus umat Muslim secara luas atau kesepakatan ulama dalam suatu madzhab
hukum Islam tertentu.
Kehujjahan Ijma' masih menjadi perdebatan di antara para ulama. Beberapa
ulama menganggap Ijma' sebagai sumber hukum yang mutlak dan tidak dapat
ditinggalkan, sementara yang lain menganggapnya sebagai bukti tambahan yang
dapat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan hukum.

B. Saran
Demikian makalah yang penulis sampaikan, semoga dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membanaun
demi makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Syatibi, Izz al-Din. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Beirut: Dar al-Kutub


al-'Ilmiyyah, 2003.
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ahmad. I'lam al-Muwaqqi'in 'an Rabb al-'Alamin.
Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2001.
Al-Khallaf, 'Abd al-Wahhab. Al-'Aqidah al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Kutub
al-'Ilmiyyah, 2005.
Al-Kasani, Abu Bakr ibn Mas'ud. Bada'i al-Sana'i fi Tartib al-Shara'i. Beirut:
Dar Ihya' al-Turath al-'Arabi, 2004.
Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 2003.
Al-Qaradawi, Yusuf. Al-Halal wal Haram fil Islam. Beirut: Dar al-Qalam, 2001.
Al-Nawawi, Yahya ibn Sharaf. Al-Majmu' Syarh al-Muhadhdhab. Beirut:
Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2002.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Kathir,
2009.

Anda mungkin juga menyukai