MORBUS HANSEN
Pembimbing:
Disusun Oleh:
2017730115
PUSKESMAS LANGENSARI 1
2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Tugas ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas Laporan Kasus “Morbus
Hansen” pada Stase Ilmu Kedokteran Komunitas I Puskesmas Langensari 1.
Tinjauan pustaka dalam pembuatan tugas ini didapat dari buku-buku dan jurnal
yang membahas mengenai ”Morbus Hansen”, di internet, dan beberapa sumber
lainnya.
Terima kasih kepada dokter pembimbing di Puskesmas Langensari 1 dan
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang
telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan. Semoga laporan tinjauan pustaka ini dapat bermanfaat.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Banjar, 27 Mei
2023
Penulis
1. Status Pasien
o Identitas Pasien
Nama : Ny. E
Tanggal Lahir : 10 – 03 - 1948
Usia : 75th
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : SindangMulya 3/10
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status perkawinan : Menikah
No. RM : E.079
Tanggal pemeriksaan : 19 Mei 2023
2. Anamnesis
1) Keluhan Utama
Muncul bercak putih
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Ny.E , Perempuan, usia 75 tahun datang ke poli umum Puskesmas
Langensari 1 dengan keluhan muncul bercak putih semenjak 2 tahun yang
lalu. Mula-mula bercak muncul disekitar kepala lalu menyebar sampai
punggung, leher, dan dada. pasien tidak merasakan gatal maupun nyeri
pada bercak putih.
Riwayat demam, trauma, bengkak disangkal.
3) Riwayat Tambahan
Hipertensi
4) Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi sejak tahun 2000
4
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum Tampak sakit ringan
Kesadaran Compos mentis
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah 219/94 mmHg
Denyut nadi 64 x/menit
Frekuensi napas 23 x/menit
Suhu 36,5 °C
Pengukuran Antropometri dan Status Gizi
Berat badan 42,1 kg
Tinggi badan 152 cm
IMT 18,22 (Normal)
Kepala Normocephal
Tidak ada kerontokan pada rambut kepala
maupun alis
Mata Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Pupil bulat isokor, refleks pupil (+/+)
Hidung Sekret/darah (-)/(-)
Septum deviasi (-)
Pergerakan cuping hidung (-)/(-)
Mulut Bibir sianosis (-)
Bibir kering (-)
Faring & tonsil hiperemis (-)
Lidah kotor (-)
Tremor (-)
Tonsil T1/T1, hiperemis (-)
Thoraks
a) Paru a) Inspeksi: Pergerakan dinding dada
simetris, retraksi -/-
b) Palpasi : Vokal fremitus +/+
c) Perkusi : Sonor +/+
d) Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronkhi
-/-, Wheezing -/-
b) Jantung
a) Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
b) Palpasi : Tidak dilakukan
c) Perkusi : Tidak dilakukan
6
Inferior
a) Kanan : Akral hangat, CRT <2 detik,
sianosis (-), edema (-), krepitasi genu
(+)
b) Kiri : Akral hangat, CRT <2 detik,
sianosis (-), edema (-)
Pemeriksaan Lokalisata
5. Diagnosis Banding
o Vitiligo + Hipertensi grade II
o Pitiriasis Vesikolor + Hipertensi grade II
o Pitiriasis Alba + Hipertensi grade II
6. Diferential Kerja
o Morbus Hansen + Hipertensi grade II
7. Tatalaksana
a. Medikamentosa
- Amlodipin 5mg 1x1
- Captoril 25mg 2x1
- Diaminodiphenyl sulfone 100mg 1x1
- Klofazomon 3x100mg
b. Non-medikamentosa
10
8. Prognosis
o Ad vitam : dubia ad bonam
o Ad fungsionam : dubia ad malam
o Ad sanationam : dubia ad malam
11
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar
di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia,
diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit tiap-tiap negara
maupun di dalam satu negara sendiri temyata berbeda-beda. Demikian pula
penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai saat
ini belum jelas benar.
12
13
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah
menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang
terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari
121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007. Di
Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah 21.538
orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 17 .441 orang. Distribusi tidak merata,
yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi
pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0.76.
14
2.1.3 Etiologi
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraselular.
2.1.4 Patogenesis
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki
mencit, dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam
spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan
spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. leprae yang disuntikan
dan kalau melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan
perkembangbiakan.
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r,
sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh
kuman terutama di bagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki,
dan ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi
salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi.
16
a) Imunitas Alami
Kuman M. leprae yang masuk ke dalam tubuh dan berhasil melewati sistem
pertahanan lapis pertama akan difagosit, kemudian ikut bersama monosit ke dalam
aliran darah. Selama di dalam monosit, kuman tersebut tidak mati dan bahkan mampu
berkembang biak. Keadaan ini disebut troyan horse phenomene, yaitu kuman ikut
menumpang dan berkembang dalam salah satu sel tubuh tanpa dideteksi oleh sistem
imunitas yang ada.9 Pada permukaan monosit-makrofag terdapat Toll-like receptor
(TLR) 2/1 heterodimer yang akan mengenali lipoprotein dari M. leprae yaitu phenolic
glycolipid I (PGL-1) yang terdapat pada dinding kapsul basil MH. Selanjutnya
reseptor ini akan menginduksi terjadinya diferensiasi monosit menjadi makrofag dan
sel dendritik yang akan mempresentasikan antigen M. leprae.4,17 Adanya monosit
tersebut menyebabkan basil MH makin jauh masuk ke dalam tubuh hingga sampai
pada sel targetnya yaitu sel Schwann yang terletak di perineurium saraf tepi dan
bersifat non professional phagocyte. Sel ini tidak bisa mengekspresikan molekul MHC
kelas II dipermukaannya, menyebabkan proses penyajian antigen kepada limfosit T
terganggu sehingga kuman dalam sel Schwann tidak terdeteksi oleh sistem imun. Pada
waktu sel
Schwann yang tua mati dan pecah maka M. leprae akan keluar dan ditangkap
oleh sel fagosit lain. Respon imun selular akan bekerja bila kuman ditangkap oleh sel
fagosit professional khususnya makrofag, setelah melewati fase pencernaan dan
penyajian oleh molekul MHC kelas II sel limfosit Th/CD4 akan mengenalinya dan
dimulailah rangkaian proses respons imun selular.(3)
b) Imunitas Didapat
Proses imunitas spesifik mulai bekerja setelah kuman yang masuk dikenal oleh
sistem imun tubuh. Respon imun selular pada MH ditujukan untuk mengeliminasi
kuman M. leprae yang hidup dan berkembang didalam sel tubuh. Penghancuran M.
leprae dalam makrofag terjadi sebagai hasil kerjasama antar makrofag dan limfosit
T.1(3)
17
Aktivitas makrofag dan sel T yang sangat kuat dalam menghancurkan basil MH
pada tipe TT akan memberikan hasil yang negatif (BTA negatif) pada pemeriksaan
bakteriologis. Selain itu respons imun selular yang tinggi pada tipe TT ini akan
menyebabkan infeksi M. leprae terlokalisir, sehingga pada MH tipe TT didapatkan
gejala klinis yang lebih ringan berupa lesi makula satu atau beberapa buah dengan
batas yang tegas dan asimetris. Terdapatnya sel-sel epiteloid pada akhir proses
fagositosis oleh makrofag yang kemudian menyatu dan membentuk tuberkel di
jaringan dapat menekan persarafan disekitarnya, terjadi penebalan pada sistem saraf
perifer dan terjadi anestesia, yang merupakan gambaran klinis dari MH tipe TT.
18
Pasien MH tipe LL memiliki tes Mitsuda negatif. Pada tahap awal tipe LL,
makrofag akan memfagosit basil dengan vakuola fagositik atau fagosom dan
bereplikasi. Pada saat yang sama, makrofag akan memproduksi lisosom yang berisi
enzim hidrolitik termasuk fosfolipase. Lisosom akan bergabung dengan fagosom
membentuk fagolisosom (berbusa). Pada saat enzim lisosomal ini mencapai basil akan
terjadi lisis parsial karena adanya defisiensi fungsional dari lisosomal fosfolipase, dan
menyebabkan informasi antigenik yang tidak lengkap.(3)
Sel MH yang sudah terbentuk akan difagosit oleh makrofag Mitsuda negatif lain
yang menghasilkan informasi neoantigenik yang lengkap dan berperan sebagai
NAPCs
(New Antigen Presenting Cells). Pada saat berhubungan dengan MHC kelas II,
proses ini melibatkan imunitas humoral yang berhubungan dengan CD4+ limfosit T
(Th2) dan akan menghasilkan IL-4 dan sitokin lain seperti IL-5, IL-6 dan IL-10. Pada
tipe LL, NAPCs juga berhubungan dengan MHC I dan menstimulasi CD8+ limfosit T
(Tc-s) yang bisa meningkatkan kematian sel MH. Selain itu akan terjadi aktivasi
limfosit B dan terbentuk sel plasma dan antibodi serum anti-M. leprae, IL-1 dan
TNFα. Semua sitokin ini juga dihasilkan pada reaksi MH tipe 2 ( ENL) dan jika
terdapat sirkulating kompleks imun dan adanya leukoklastik vaskulitis maka akan
timbul fenomena Lucio.(3)
19
21
22
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada tidaknya
dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang dipertegas
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi
23
Diagnosis kusta didasarkan pada deteksi anestesi hipoestesia atau anastesi pada
lesi yang mungkin berhubungan dengan hipohidrosis dan alopesia. Pasien kusta
tuberkuloid dapat menunjukkan kekeringan pada kulit dan alopesia terbatas pada
wilayah lesi. Sebaliknya, pasien kusta lepromatosa dapat menunjukkan area
kekeringan yang luas, terutama pada kaki, dan pada kasus lanjut dapat menyebabkan
madarosis dan kerontokan rambut di berbagai bagian kulit. Pasien borderline
mengikuti pola yang sama, dengan gambaran yang lebih terbatas pada kusta
borderline-tuberkuloid dan lebih menyebar pada kusta borderline-lepromatosa.
Parestesia merupakan gejala yang sering terjadi pada kasus kusta. Terbakar, mati rasa,
menggelitik, dan lainnya sensasi mungkin hadir dalam lesi atau mengikuti wilayah
yang dipersarafi oleh batang saraf di daerah yang terkena. (1)
Iodine-starch atau alizarin red dapat digunakan untuk menilai fungsi keringat pada
lesi kusta. Setelah pengecatan yodium diikuti oleh pati, atau setelah alizarin merah,
latihan mungkin diperlukan untuk menginduksi keringat. Ketika fungsi saraf otonom
terpengaruh, keringat terganggu atau sama sekali tidak ada dan kulit tetap kering. Pada
kulit normal akan muncul warna kebiruan atau coklat tua (pati yodium) atau ungu
(merah alizarin), sedangkan pada lesi kusta tidak akan ada reaksi (anhidrosis) atau
keringat tidak teratur (hipohidrosis). (1)
Tes termal didasarkan pada kapasitas untuk membedakan antara sensitivitas panas
dan dingin saat menyentuh kulit dengan 2 tabung berisi air panas (±45 °C [113
°F]) atau dingin. Permukaan tabung disentuhkan pada kulit yang lesi dan normal
secara acak, diikuti dengan mencatat jawaban pasien. Profesional harus berhati-hati
24
saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan
sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Gejala-gejala kerusakan saraf :
• N. ulnaris:
- anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
- clawing kelingking dan jari manis
- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
• N. medianus:
- anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- tidak mampu aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- ibu jari kontraktur
- atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
• N. radialis:
- anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
25
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat
paralisis N. orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya
dan akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. lnfiltrasi granuloma ke dalam adneksa
kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat
mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul
26
Diagnosis biasanya dibuat secara klinis berdasarkan dua dari tiga temuan
karakteristik, atau dengan menunjukkan BTA pada kerokan kulit, atau berdasarkan
histologi khas kusta. Tanda-tanda karakteristik adalah:
• Anestesi lesi kulit, atau pada distribusi saraf perifer, atau di atas permukaan dorsal
tangan dan kaki.
A. Kerokan Kulit
1. Lokasi Pengambilan
27
Lesi dibersihkan dengan eter atau alkohol, dan dijepit dengan kuat di
antara ibu jari dan jari telunjuk untuk membuatnya bebas darah. Sayatan dengan
panjang 5 mm dan kedalaman 3 mm dibuat dengan pisau bedah berbilah kecil
(ukuran 15 bilah Bard Parker); pisau diputar pada sudut kanan terhadap luka, dan
tanpa tekanan jari yang rileks, luka digores beberapa kali dalam satu arah. Cairan dan
pulpa dari dermis, dikumpulkan di satu sisi pisau, dioleskan dengan lembut ke kaca
objek. Sebuah noda berdarah tidak berguna. Apusan kemudian difiksasi di atas api
dan diwarnai. (6)
3. Interpretasi
lndeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah
solid dan nonsolid.
Syarat perhitungan:
- IB 1 + tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari
dalam 1000 sampai 10.000 lapangan.
dengan lndeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut RIDLEY. (Buku
merah)
B.Biopsi
Biopsi kulit harus mencakup dermis dan, jika mungkin, subkutis lesi.
Pewarnaan hematoxylin-eosin dilengkapi dengan metode pewarnaan Fite-Faraco atau
metode lain untuk mendeteksi basil tahan asam. Temuan histopatologi dinilai
menurut skala Ridley dan Jopling.26 Respon jaringan pada kusta tak tentu tidak
spesifik. Epidermis normal atau lapisan basal kulit menunjukkan pengurangan
melanin. Infiltrasi dermal perivaskular atau perineural, superfisial dan dalam oleh
beberapa makrofag dan limfosit adalah temuan umum. Kadang-kadang infiltrat
mengelilingi pelengkap kulit dan jarang ada basil di saraf. (1)
29
C. Serologi
D. Electroneuromyografi
31
32
1
2
2.1
2.1.7 Tatalaksana
Pada dasarnya, ada 3 kelompok obat yang digunakan untuk mengobati
kusta: antibiotik, antiinflamasi atau imunosupresan, dan obat analgesik.
Kelompok pertama, antibiotik, memiliki standar pengobatan yang jelas, regimen
obat Terapi Multi Obat WHO, yang mengandung rifampisin dan dapson, dengan
atau tanpa klofazimin, dalam kemasan blister bulanan. Obat anti inflamasi,
biasanya prednison dan thalido mide, diresepkan untuk mengontrol reaksi kusta
dengan mengurangi peradangan, sedangkan analgesik digunakan untuk
mengontrol nyeri neuropatik.(1)
33
- Ketersediaan obat
- Harga obat
- Kemungkinan penerapannya.
Dapson adalah obat kusta yang sederhana, murah, dan sangat efektif,
digunakan dalam dosis harian 100 mg atau 1 hingga 2 mg/kg.(1) Resistensi hanya
terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar oleh karena SIS
penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat. Resistensi terhadap DDS
dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh
M. leprae yang telah resisten, dan manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT,
BT, BB, BL, LL), bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah
masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat
resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi. Resistensi sekunder terjadi
oleh karena: monoterapi DDS dosis terlalu rendah minum obat tidak teratur
minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya pengobatan
terlalu lama, setelah 4-24 tahun. Efek samping DDS antara lain nyeri kepala,
erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom
DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan
methemoglobinemia.(2)
2. Rifampisin
34
3. Klofazimin (lampren)
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang
sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat antinflamasi sehingga dapat
dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg-300 mg/ hari
namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu
kasus dibuktikan pada tahun 1982. (2)
Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna
kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang
sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut
disebabkan karena klofazimin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel
sistem retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Pigmentasi bersifat reversibel,
meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek samping lain yang
hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia,
dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. (2)
4. Protionamid
Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk Indonesia
obat ini tidak atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak
merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.
a. Obat alternatif
35
2. Minosiklin
3. Klaritromisin
1. MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif)
adalah:
36
Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian obat
dapat dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.
2. MDT untuk pausibasilar (I , TT, BT, dengan BTA negatif) adalah: (2)
37
c. Pengobatan ENL
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain
prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison
15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi
dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan.
Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai
berhenti sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikosteroid. Dapat
ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedativa atau bila berat, penderita
dapat menjalani rawatinap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap
38
Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi
harus berhatihati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan
kepada orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini sudah tidak didapat.
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-
reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200- 300 mg
sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan
secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin
dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah
satu efek samping yang tidak dikendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit
menjadi berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tapi masih
bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obatnya dihentikan.
Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama
penanggulangan ENL ini, obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan
tanpa dikurangi dosisnya.
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis
akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan
dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya
diberikan prednison 40 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan.
39
40
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara
lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempuma
kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain
ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri,
selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).
2.1.8 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Tanpa kerusakan saraf pada saat awal diagnosis Pengobatan cepat dan tepat dan
adekuat Melaksanakan kegiatan perawatan diri.
41
• Salgado CG, de Brito AC, Salgado UI, Spencer JS. Leprosy. In: Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 9th ed. United States: McGraw-Hill
Education; 2019. p. 2892–924.
• Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. In: Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin. 7th ed. Jakarta: FK UI; 2019. p. 87–102.
• (PDF) Mengenal Morbus Hansen [Internet]. [cited 2022 Jul 4]. Available
from:
https://www.researchgate.net/publication/339617344_Mengenal_Morbus_Ha
ns en
• Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan Y, Siswati SA, Triwahyudi D, et
al. Kusta. In: Panduan Praktis Klinis Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Indonesia (PERDOSKI); 2017. p. 80–7.
• Bhandari J, Awais M, Robbins BA, Gupta V. Leprosy. StatPearls [Internet].
2021 Nov 20 [cited 2022 Jul 4]; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559307/
• Lockwood DNJ. Leprosy. In: Griffiths CEM, Barker J, Bleiker T, Chalmers R,
Creamer D, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 9th ed. Hoboken: John
Wiley & Sons, Ltd; 2016. p. 28.1-.28.14.
42