Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

MORBUS HANSEN

Pembimbing:

dr. Irfan Yanuar Hilmi

dr. Digit Galuh Gintana

Disusun Oleh:

Sony Aditya Rizki Sianturi

2017730115

KEPANITRERAAN KLINIK BAGIAN IKAKOM 1

PUSKESMAS LANGENSARI 1

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas ini dapat terselesaikan
dengan baik.
Tugas ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas Laporan Kasus “Morbus
Hansen” pada Stase Ilmu Kedokteran Komunitas I Puskesmas Langensari 1.
Tinjauan pustaka dalam pembuatan tugas ini didapat dari buku-buku dan jurnal
yang membahas mengenai ”Morbus Hansen”, di internet, dan beberapa sumber
lainnya.
Terima kasih kepada dokter pembimbing di Puskesmas Langensari 1 dan
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang
telah membantu dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan. Semoga laporan tinjauan pustaka ini dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Banjar, 27 Mei
2023

Penulis

Universitas Muhammadiyah Jakarta


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................iii
BAB I LAPORAN KASUS...............................................................4
1. Status Pasien..........................................................................................4
2. Anamnesis.............................................................................................4
3. Pemeriksaan Fisik.................................................................................5
4. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................10
5. Diagnosis Banding..............................................................................10
6. Diferential Kerja..................................................................................10
7. Tatalaksana..........................................................................................10
8. Prognosis.............................................................................................11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................12
2.1 MORBUS HANSES...............................................................................12
2.1.1 Definisi.......................................................................................12
2.1.2 Epidemiologi..............................................................................12
2.1.3 Etiologi......................................................................................16
2.1.4 Patogenesis.................................................................................17
2.1.5 Manifestasi Klinis......................................................................20
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang.............................................................27
2.1.7 Tatalaksana................................................................................33
2.1.8 Prognosis....................................................................................41
DARTAR PUSTAKA......................................................................42

Universitas Muhammadiyah Jakarta


BAB I
LAPORAN KASUS

1. Status Pasien
o Identitas Pasien
 Nama : Ny. E
 Tanggal Lahir : 10 – 03 - 1948
 Usia : 75th
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Alamat : SindangMulya 3/10
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Tidak bekerja
 Status perkawinan : Menikah
 No. RM : E.079
 Tanggal pemeriksaan : 19 Mei 2023

2. Anamnesis
1) Keluhan Utama
Muncul bercak putih
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Ny.E , Perempuan, usia 75 tahun datang ke poli umum Puskesmas
Langensari 1 dengan keluhan muncul bercak putih semenjak 2 tahun yang
lalu. Mula-mula bercak muncul disekitar kepala lalu menyebar sampai
punggung, leher, dan dada. pasien tidak merasakan gatal maupun nyeri
pada bercak putih.
Riwayat demam, trauma, bengkak disangkal.
3) Riwayat Tambahan
Hipertensi
4) Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi sejak tahun 2000
4

Universitas Muhammadiyah Jakarta


- Riwayat Conjungtivitis tahun 2020 sembuh dengan pengobatan
- Riwayat diabetes melitus, penyakit asam urat (gout), tuberkulosis
disangkal
5) Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa
- Riwayat Hipertensi, diabetes melitus, tuberkulosis, penyakit asam urat
(gout) dalam keluarga disangkal
6) Riwayat Pengobatan
- Belum pernah berobat untuk keluhan saat ini
7) Riwayat Psikososial dan Lingkungan
Pasien sehari – hari beraktivitas dirumah dan sering sholat di masjid,
sehari – hari pasien makan masakan anaknya seperti ayam, ikan asin,
emping. Riwayat merokok dan konsumsi alkohol disangkal
8) Riwayat Alergi
Tidak ada alergi debu, cuaca, makanan maupun obat – obatan.

3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum Tampak sakit ringan
Kesadaran Compos mentis
Tanda-tanda Vital
Tekanan darah 219/94 mmHg
Denyut nadi 64 x/menit
Frekuensi napas 23 x/menit
Suhu 36,5 °C
Pengukuran Antropometri dan Status Gizi
Berat badan 42,1 kg
Tinggi badan 152 cm
IMT 18,22 (Normal)

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Pemeriksaan Generalisata (Head to Toe)

Kepala Normocephal
Tidak ada kerontokan pada rambut kepala
maupun alis
Mata Konjungtiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Pupil bulat isokor, refleks pupil (+/+)
Hidung Sekret/darah (-)/(-)
Septum deviasi (-)
Pergerakan cuping hidung (-)/(-)
Mulut Bibir sianosis (-)
Bibir kering (-)
Faring & tonsil hiperemis (-)
Lidah kotor (-)
Tremor (-)
Tonsil T1/T1, hiperemis (-)
Thoraks
a) Paru a) Inspeksi: Pergerakan dinding dada
simetris, retraksi -/-
b) Palpasi : Vokal fremitus +/+
c) Perkusi : Sonor +/+
d) Auskultasi : Vesikuler +/+, Ronkhi
-/-, Wheezing -/-

b) Jantung
a) Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
b) Palpasi : Tidak dilakukan
c) Perkusi : Tidak dilakukan
6

Universitas Muhammadiyah Jakarta


d) Auskultasi : Bunyi Jantung I, II
reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen a) Inspeksi : Datar, massa (-)
b) Auskultasi : Bising usus (+)
c) Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-)
d) Perkusi : Timpani seluruh lapang
abdomen
Ekstremitas Superior
a) Kanan : Akral hangat, CRT <2 detik,
sianosis (-), edema (-)
b) Kiri : Akral hangat, CRT <2 detik,
sianosis (-), edema (-)

Inferior
a) Kanan : Akral hangat, CRT <2 detik,
sianosis (-), edema (-), krepitasi genu
(+)
b) Kiri : Akral hangat, CRT <2 detik,
sianosis (-), edema (-)
Pemeriksaan Lokalisata

Universitas Muhammadiyah Jakarta


8

Universitas Muhammadiyah Jakarta


9

Universitas Muhammadiyah Jakarta


4. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, namun disarankan untuk melakukan
pemeriksaan Kerokan Kulit, Biopsi, Elektromiografi, dan pemeriksaan serologi

5. Diagnosis Banding
o Vitiligo + Hipertensi grade II
o Pitiriasis Vesikolor + Hipertensi grade II
o Pitiriasis Alba + Hipertensi grade II

6. Diferential Kerja
o Morbus Hansen + Hipertensi grade II

7. Tatalaksana
a. Medikamentosa
- Amlodipin 5mg 1x1
- Captoril 25mg 2x1
- Diaminodiphenyl sulfone 100mg 1x1
- Klofazomon 3x100mg
b. Non-medikamentosa

Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh


ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya

10

Universitas Muhammadiyah Jakarta


tidak sempuma kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik
dapat diperbaiki. Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan
pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan
dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi
psikologik (kejiwaan)

8. Prognosis
o Ad vitam : dubia ad bonam
o Ad fungsionam : dubia ad malam
o Ad sanationam : dubia ad malam

11

Universitas Muhammadiyah Jakarta


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 MORBUS HANSES


2.1.1 Definisi

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah


Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.(2)
2.1.2 Epidemiologi

Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum


diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung
antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M.
leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.

Masa tunas sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya


beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar
di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia,
diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit tiap-tiap negara
maupun di dalam satu negara sendiri temyata berbeda-beda. Demikian pula
penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai saat
ini belum jelas benar.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman


penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik

12

Universitas Muhammadiyah Jakarta


yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan
adanya reservoir diluar manusia. Penyakit kusta masa kini berbeda dengan kusta
masa dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas
diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuwan untuk
pemecahannya.

Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari sifat-


sifat
M. leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan
adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. leprae jauh
lebih banyak (sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang
mengandung 107, daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar.

Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel


rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat
banyak nengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat
implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur,
anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di
bawah umur 14 tahun didapatkan ± 13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang
sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita di bawah usia 1 tahun penting dilakukan
untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi
terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.

Kusta terdapat di seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin,


daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.
Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial
ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Didapatkan variasi reaksi terhadap
infeksi M. leprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum dan lain-
lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik yang
berbeda.

13

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang
eliminasi kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000 dengan
menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di
Indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).

Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah
menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang
terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal dari
121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007. Di
Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah 21.538
orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 17 .441 orang. Distribusi tidak merata,
yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi
pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0.76.

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti, karena dapat


terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena
penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini
akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan
sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anestetik
disertai paralisis dan atrofi otot.

14

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Morbus Hansen dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena
dibandingkan wanita dengan perbandingan 2 : 1. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur, namun demikian jarang dijumpai pada umur yang sangat muda. Frekuensi
terbanyak adalah pada umur 15- 29 tahun. Terdapat perbedaan baik dalam hal ras
maupun dalam hal geografis. Ras Cina, Eropa, dan Myanmar lebih rentan terhadap
bentuk lepromatosa dibandingkan dengan ras Afrika, India, dan Melanesia.16
Morbus Hansen masih merupakan masalah kesehatan pada 55 negara di dunia, tetapi
sekitar 16 negara terbanyak didunia dimana, Indonesia termasuk urutan ke tiga,
dibawah India dan Brazil. Kapan penyakit ini menjalar ke Indonesia, belum diketahui
dengan pasti. Namun, dalam buku tentang Historische Studie Over MH dikatakan
bahwa penduduk pertama dari Jawa mungkin berasal dari Hindia Muka dan
Belakang, negeri yang terkenal dengan sarang kusta, yang membawa penyakit ke
Pulau Jawa.16 Jawa Timur merupakan propinsi dengan jumlah pasien MH tertinggi
di Indonesia (30%). Menurut laporan Departemen Kesehatan RI (2008), di akhir
tahun 2006 Indonesia masih memiliki 14 provinsi dan 155 kabupaten yang belum
mencapai eliminasi penyakit kusta.

2.1.3 Etiologi
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh
basil Mycobacterium leprae yang bersifat obligat intraselular.

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.


HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai bekarang belum juga dapat
dibiakkan dalam media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 µm x
0,5 µm, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.

M. leprae merupakan mikroorganisme intraselular obligat yang hidup di dalam


sel terutama makrofag dan sel Schwann. Basil ini membutuhkan suhu ~35°C untuk
15

Universitas Muhammadiyah Jakarta


pertumbuhannya, menyukai daerah daerah yang lebih dingin dari bagian tubuh
manusia seperti hidung, testis dan daun telinga.12,13 Penularan MH adalah melalui
pasien yang terinfeksi terutama pasien lepromatosa yang tidak diterapi17,18, pasien
yang dicurigai terinfeksi dan kontak erat dan lama.13,18 M. leprae masuk ke dalam
tubuh melalui hidung dan menyebar ke kulit dan saraf melalui sirkulasi darah.17
Droplet infeksius yang berasal dari sekret nasal dari kasus multibasiler yang aktif
dengan erosi nasal merupakan sumber awal penyebaran penyakit melalui saluran
respiratorius.19 Pernah dilaporkan suatu transmisi yang tidak biasa di India melalui
pengunaan jarum tattoo yang sudah pernah dipakai.13 Faktor sosioekonomi seperti
hygiene yang rendah, sanitasi yang jelek, tempat tinggal yang sempit, dan nutrisi yang
rendah, merupakan faktor resiko dalam terjadinya penularan MH.18 Sebagian besar
pendapat mendukung pandangan tradisional bahwa Mycobacterium leprae menular
dari manusia ke manusia, namun M. leprae menyebabkan penyakit menyerupai MH
pada armadillo, monyet dan tikus.

2.1.4 Patogenesis
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki
mencit, dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam
spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan
spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. leprae yang disuntikan
dan kalau melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan
perkembangbiakan.

Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r,
sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh
kuman terutama di bagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki,
dan ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi
salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi.

Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,


sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat
infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang

16

Universitas Muhammadiyah Jakarta


berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh
yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selularnya daripada intensitasnya infeksinya.

a) Imunitas Alami

Kuman M. leprae yang masuk ke dalam tubuh dan berhasil melewati sistem
pertahanan lapis pertama akan difagosit, kemudian ikut bersama monosit ke dalam
aliran darah. Selama di dalam monosit, kuman tersebut tidak mati dan bahkan mampu
berkembang biak. Keadaan ini disebut troyan horse phenomene, yaitu kuman ikut
menumpang dan berkembang dalam salah satu sel tubuh tanpa dideteksi oleh sistem
imunitas yang ada.9 Pada permukaan monosit-makrofag terdapat Toll-like receptor
(TLR) 2/1 heterodimer yang akan mengenali lipoprotein dari M. leprae yaitu phenolic
glycolipid I (PGL-1) yang terdapat pada dinding kapsul basil MH. Selanjutnya
reseptor ini akan menginduksi terjadinya diferensiasi monosit menjadi makrofag dan
sel dendritik yang akan mempresentasikan antigen M. leprae.4,17 Adanya monosit
tersebut menyebabkan basil MH makin jauh masuk ke dalam tubuh hingga sampai
pada sel targetnya yaitu sel Schwann yang terletak di perineurium saraf tepi dan
bersifat non professional phagocyte. Sel ini tidak bisa mengekspresikan molekul MHC
kelas II dipermukaannya, menyebabkan proses penyajian antigen kepada limfosit T
terganggu sehingga kuman dalam sel Schwann tidak terdeteksi oleh sistem imun. Pada
waktu sel

Schwann yang tua mati dan pecah maka M. leprae akan keluar dan ditangkap
oleh sel fagosit lain. Respon imun selular akan bekerja bila kuman ditangkap oleh sel
fagosit professional khususnya makrofag, setelah melewati fase pencernaan dan
penyajian oleh molekul MHC kelas II sel limfosit Th/CD4 akan mengenalinya dan
dimulailah rangkaian proses respons imun selular.(3)

b) Imunitas Didapat

Proses imunitas spesifik mulai bekerja setelah kuman yang masuk dikenal oleh
sistem imun tubuh. Respon imun selular pada MH ditujukan untuk mengeliminasi
kuman M. leprae yang hidup dan berkembang didalam sel tubuh. Penghancuran M.
leprae dalam makrofag terjadi sebagai hasil kerjasama antar makrofag dan limfosit
T.1(3)
17

Universitas Muhammadiyah Jakarta


c) Imunopatogenesis MH tipe TT

Studi imunofenotipik memperlihatkan suatu perbedaan yang penting antara


subset limfosit yang mengilfiltrasi lesi kulit pada tipe tuberkuloid dibandingkan
lepromatosa. Pada tipe tuberkuloid predominan limfosit CD4+ ( CD4+/CD8+ = 2:1 ),
pada kulit normal CD4+/CD8+ dalam darah = 2:1. Lesi tuberkuloid memiliki profil
pro-inflamasi tipe 1 ( T helper 1[Th1] atau Th-like), terutama pengkodean mRNA
secara berlebih untuk interleukin 2 (IL2), IFN-γ, dan IL-12, namun pengkodean
mRNA sedikit untuk IL-4 atau IL-10.27 Sel CD4+ pada lesi tuberkuloid terlihat
memproduksi IFN-γ. Keberadaan sitokin tipe 1 kemungkinan menghasilkan sel T yang
kuat dan aktivasi makrofag, hasilnya adalah respon SIS yang melokalisir infeksi.4
Pada tipe TT dengan tes Mitsuda positif, terjadi fagositosis M. leprae secara komplit,
makrofag akan berubah menjadi APCs (Antigen presenting cells) yang akan
mengenali semua informasi antigenic bakteri pada permukaannya. Komponen bakteri
ini akan dikenali oleh MHC kelas II, selanjutnya akan menginduksi IL-12 untuk
mengaktivasi sel T naïf. Sel T naïf kemudian akan mengalami maturasi, proliferasi dan
diferensiasi menjadi sel T memori tipe I yaitu Th1 (CD4+) dan Tc1 (CD8+) yang
mensekresikan sitokin seperti (TNF-α, IFN-γ dan IL-2). Selama maturasi, sel T
mengekspresikan cutaneus leucocyte antigen (CLA) pada permukaannya yang berguna
untuk memudahkan sel T memori masuk ke pembuluh darah dan bermigrasi ke kulit.
Akibat adanya IFN-γ dan IL-2, makrofag lain juga akan teraktivasi untuk membunuh
basil MH hingga terbentuk sel epitelioid dan sel Langhans. Bila terdapat MHC kelas I,
APCs yang sama akan

menstimulasi CD8+ limfosit T walaupun tidak banyak terlibat dibandingkan


pada MH tipe LL.(3)

Aktivitas makrofag dan sel T yang sangat kuat dalam menghancurkan basil MH
pada tipe TT akan memberikan hasil yang negatif (BTA negatif) pada pemeriksaan
bakteriologis. Selain itu respons imun selular yang tinggi pada tipe TT ini akan
menyebabkan infeksi M. leprae terlokalisir, sehingga pada MH tipe TT didapatkan
gejala klinis yang lebih ringan berupa lesi makula satu atau beberapa buah dengan
batas yang tegas dan asimetris. Terdapatnya sel-sel epiteloid pada akhir proses
fagositosis oleh makrofag yang kemudian menyatu dan membentuk tuberkel di
jaringan dapat menekan persarafan disekitarnya, terjadi penebalan pada sistem saraf
perifer dan terjadi anestesia, yang merupakan gambaran klinis dari MH tipe TT.

18

Universitas Muhammadiyah Jakarta


d) Imunopatogenesis MH tipe LL

Pada tipe lepromatosa, predominan limfosit CD8+ (CD4+/CD8+=1:2). pada


jaringan lepromatosa mempunyai profil antiinflamasi tipe 2 (Th2 atau Th2-like),
mRNA IL-4 dan mRNA IL-10 dalam jumlah banyak, namun sedikit pengkodean
mRNA terhadap sitokin tipe I. Lebih lanjut sel CD8+ pada lesi lepromatosa
memproduksi IL-4, selain itu sitokin tipe 2 yang ditemukan pada lesi lepromatosa
kemungkinan menyebabkan respon antibodi yang kuat, namun secara bersama-sama
menghambat respon sel T dan makrofag, sehingga melanjutkan perjalanan infeksi.4
Tipe lepromatosa ditandai dengan pembentukan granuloma yang rendah. Produksi
mRNA secara predominan berupa sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10. IL-4 berperan dalam
pengaturan TLR2 pada monosit dan IL-10 akan menekan produksi IL-12. Ini
berhubungan dengan jumlah limfosit CD8+ yang meningkat pada lesi lepromatosa. (3)

Pasien MH tipe LL memiliki tes Mitsuda negatif. Pada tahap awal tipe LL,
makrofag akan memfagosit basil dengan vakuola fagositik atau fagosom dan
bereplikasi. Pada saat yang sama, makrofag akan memproduksi lisosom yang berisi
enzim hidrolitik termasuk fosfolipase. Lisosom akan bergabung dengan fagosom
membentuk fagolisosom (berbusa). Pada saat enzim lisosomal ini mencapai basil akan
terjadi lisis parsial karena adanya defisiensi fungsional dari lisosomal fosfolipase, dan
menyebabkan informasi antigenik yang tidak lengkap.(3)

Sel MH yang sudah terbentuk akan difagosit oleh makrofag Mitsuda negatif lain
yang menghasilkan informasi neoantigenik yang lengkap dan berperan sebagai
NAPCs

(New Antigen Presenting Cells). Pada saat berhubungan dengan MHC kelas II,
proses ini melibatkan imunitas humoral yang berhubungan dengan CD4+ limfosit T
(Th2) dan akan menghasilkan IL-4 dan sitokin lain seperti IL-5, IL-6 dan IL-10. Pada
tipe LL, NAPCs juga berhubungan dengan MHC I dan menstimulasi CD8+ limfosit T
(Tc-s) yang bisa meningkatkan kematian sel MH. Selain itu akan terjadi aktivasi
limfosit B dan terbentuk sel plasma dan antibodi serum anti-M. leprae, IL-1 dan
TNFα. Semua sitokin ini juga dihasilkan pada reaksi MH tipe 2 ( ENL) dan jika
terdapat sirkulating kompleks imun dan adanya leukoklastik vaskulitis maka akan
timbul fenomena Lucio.(3)

19

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Adanya kondisi anergi dimana tidak terdapatnya respons invitro meskipun
secara klinis telah tampak suatu penyakit, tidak adanya respons spesifik dari sel T, dan
gagalnya penderita MH tipe LL untuk menghasilkan IL-2 dan IFNγ sehingga tidak
terbentuk tuberkel, memberikan kondisi terus berkembang biaknya basil MH sehingga
terus menimbulkan peradangan dan memberikan hasil positif (BTA positif) pada
pemeriksaa bakteriologis. Selain itu jumlah kuman yang bertambah banyak dan bisa
menyebar ke seluruh tubuh menyebabkan infeksi tidak lagi terlokalisir seperti halnya
pada MH tipe TT, akan memberikan gambaran klinis yang lebih berat seperti lesi yang
sangat banyak, simetris, dan tidak berbatas tegas. Peradangan yang muncul juga
menyebabkan lesi menjadi lebih eritematosa.

2.1.5 Manifestasi Klinis


Bila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem
imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah
tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. (2)

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit


kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
• TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
• Ti : Tuberkuloid indefinite
• BT : Borderline tuberculoid
• BB : Mid borderline
• BL : Borderline lepromatous
• Li : Lepromatosa indefinite
• LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%,
juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe
20

Universitas Muhammadiyah Jakarta


antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberculoid nya, sedang BL
dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil,
berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TI maupun ke arah LL. (2)
Berdasarkan klasifikasi WHO, klasifikasi kusta dibagi menjadi dua yaitu
multibasilar dan pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar berarti mengandung
banyak kuman adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan
indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit
kuman adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+. Untuk kepentingan
pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan klasifikasi. Yang dimaksud
dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan
kulit, yaitu tipe-tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi Ridley- Jopling.Bila pada tipe-
tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB.
Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apa pun
klasifikasi klinisnya dengan STA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB.
Untuk mengetahui bentuk diagnosis klinis, dimulai dengan inspeksi, palpasi, lalu
dilakukan pemeriksaan yang menggunakan alat sederhana, yaitu: jarum, kapas, tabung
reaksi masing-masing dengan air panas dan air dingin, pensil tinta, dan sebagainya.

21

Universitas Muhammadiyah Jakarta


• Tuberkuloid Polar (TT)
Ini muncul dengan lesi hipopigmentasi atau eritematosa yang besar dengan batas
yang jelas dan tepi yang meninggi. Presentasi plak terbukti bersisik.
• Borderline tuberkuloid (BT)
Pada BT, jumlah lesi lebih banyak dari TT dan biasanya muncul di satu sisi tubuh.

22

Universitas Muhammadiyah Jakarta


• Mid-borderline (BB)
Disebut sebagai "multibasiler", penyakit ini paling mirip dengan kusta BT atau
border-lepromatous dengan munculnya lesi "punched out". Perhatikan, area sentral
sebagian besar bersifat anestesi.
• Borderline Lepromatous (BL)
Lesi adalah makula eritematosa, nodul, atau papula yang tidak menunjukkan pola
penampilan yang jelas pada tubuh. Meskipun bercak kulit normal dapat ditemukan,
penggambaran lesi tidak jelas dan menyebar. Lesi berukuran lebih besar terbukti
memiliki distribusi yang tidak proporsional..
• Lepromatous polar (LL)
Kasus-kasus yang berkembang secara signifikan hadir dengan kerontokan rambut
tubuh bersama dengan pembesaran nodular daun telinga.
• Indeterminate disease (I)
Tampak sebagai makula hipopigmentasi atau eritematosa dengan sedikit atau
anastesi. Basil biasanya tidak ditemukan dalam biopsi ini. Jika lesi menunjukkan tidak
berkembang sepenuhnya, itu harus berkembang menjadi jenis lain dalam spektrum
kusta.

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada tidaknya
dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang dipertegas
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi
23

Universitas Muhammadiyah Jakarta


ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal
bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia
di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang
memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar menentukannya. (2)

Diagnosis kusta didasarkan pada deteksi anestesi hipoestesia atau anastesi pada
lesi yang mungkin berhubungan dengan hipohidrosis dan alopesia. Pasien kusta
tuberkuloid dapat menunjukkan kekeringan pada kulit dan alopesia terbatas pada
wilayah lesi. Sebaliknya, pasien kusta lepromatosa dapat menunjukkan area
kekeringan yang luas, terutama pada kaki, dan pada kasus lanjut dapat menyebabkan
madarosis dan kerontokan rambut di berbagai bagian kulit. Pasien borderline
mengikuti pola yang sama, dengan gambaran yang lebih terbatas pada kusta
borderline-tuberkuloid dan lebih menyebar pada kusta borderline-lepromatosa.
Parestesia merupakan gejala yang sering terjadi pada kasus kusta. Terbakar, mati rasa,
menggelitik, dan lainnya sensasi mungkin hadir dalam lesi atau mengikuti wilayah
yang dipersarafi oleh batang saraf di daerah yang terkena. (1)
Iodine-starch atau alizarin red dapat digunakan untuk menilai fungsi keringat pada
lesi kusta. Setelah pengecatan yodium diikuti oleh pati, atau setelah alizarin merah,
latihan mungkin diperlukan untuk menginduksi keringat. Ketika fungsi saraf otonom
terpengaruh, keringat terganggu atau sama sekali tidak ada dan kulit tetap kering. Pada
kulit normal akan muncul warna kebiruan atau coklat tua (pati yodium) atau ungu
(merah alizarin), sedangkan pada lesi kusta tidak akan ada reaksi (anhidrosis) atau
keringat tidak teratur (hipohidrosis). (1)
Tes termal didasarkan pada kapasitas untuk membedakan antara sensitivitas panas
dan dingin saat menyentuh kulit dengan 2 tabung berisi air panas (±45 °C [113
°F]) atau dingin. Permukaan tabung disentuhkan pada kulit yang lesi dan normal
secara acak, diikuti dengan mencatat jawaban pasien. Profesional harus berhati-hati

24

Universitas Muhammadiyah Jakarta


untuk menghindari menyentuh lesi dan kulit normal secara bersamaan, terutama untuk
lesi yang lebih kecil. (1)
Sensitivitas nyeri didasarkan pada kemampuan membedakan ujung atau pangkal
jarum, karena yang satu menimbulkan rasa sakit sedangkan yang lain tidak. Juga,
secara acak, kulit lesi dan nonlesi harus disentuh dengan ujung atau pangkal jarum,
diikuti dengan mencatat jawabannya. Keterbatasan yang jelas dari metode ini adalah
penggunaan instrumen perforasi, yang dapat menyebabkan ketakutan pada beberapa
pasien, terutama anak-anak. Sensitivitas taktil diuji dengan menggunakan kapas, dan
pasien harus menjawab jika dia merasakan sentuhan ringan dari kapas yang
menyentuh kulit, baik normal maupun lesi.
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsistensi,
ada/tidaknya nyeri spontan dan/atau nyeri tekan. Bagi tipe ke arah lepromatosa
kelainan

saraf biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan
sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Gejala-gejala kerusakan saraf :
• N. ulnaris:
- anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
- clawing kelingking dan jari manis
- atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
• N. medianus:
- anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- tidak mampu aduksi ibu jari
- clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
- ibu jari kontraktur
- atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
• N. radialis:
- anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

25

Universitas Muhammadiyah Jakarta


- tangan gantung (wrist drop)
tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
• N. poplitea lateralis:
- anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
- kaki gantung (foot drop)
- kelemahan otot peroneus
• N. tibialis posterior:
- anestesia telapak kaki
- claw toes
- paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
• N. fasialis:
- cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
- cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir
• N. trigeminus:
- anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
- atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat
paralisis N. orbikularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya
dan akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. lnfiltrasi granuloma ke dalam adneksa
kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat
mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul

26

Universitas Muhammadiyah Jakarta


ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
granuloma pada tubulus seminiferus testis.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis biasanya dibuat secara klinis berdasarkan dua dari tiga temuan
karakteristik, atau dengan menunjukkan BTA pada kerokan kulit, atau berdasarkan
histologi khas kusta. Tanda-tanda karakteristik adalah:

• Anestesi lesi kulit, atau pada distribusi saraf perifer, atau di atas permukaan dorsal
tangan dan kaki.

• Saraf menebal, terutama di tempat predileksi.

• Lesi kulit yang khas.

A. Kerokan Kulit

1. Lokasi Pengambilan

Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat


oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan diambil.
Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk riset atau rutin .
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat,
yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti
yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga
tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas
dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak.
Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan
ditempat yang sama pada pengamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya. (2)

27

Universitas Muhammadiyah Jakarta


2. Pengambilan Kerokan

Lesi dibersihkan dengan eter atau alkohol, dan dijepit dengan kuat di
antara ibu jari dan jari telunjuk untuk membuatnya bebas darah. Sayatan dengan
panjang 5 mm dan kedalaman 3 mm dibuat dengan pisau bedah berbilah kecil
(ukuran 15 bilah Bard Parker); pisau diputar pada sudut kanan terhadap luka, dan
tanpa tekanan jari yang rileks, luka digores beberapa kali dalam satu arah. Cairan dan
pulpa dari dermis, dikumpulkan di satu sisi pisau, dioleskan dengan lembut ke kaca
objek. Sebuah noda berdarah tidak berguna. Apusan kemudian difiksasi di atas api
dan diwarnai. (6)

3. Interpretasi

M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan


bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular) .
Bentuk solid adalah kuman hidup, sedang fragmented dan granular merupakan
bentuk mati. Secara teori penting untuk membedakan antara bentuk solid dan
nonsolid, berarti membedakan antara yang hidup dan yang mati, sebab bentuk yang
hidup itulah yang lebih berbahaya, karena dapat berkembangbiak dan dapat
menularkan ke orang lain. Dalam praktek sukar sekali menentukan solid dan
nonsolid, oleh karena dipengaruhi oleh banyak macam faktor. (2)

lndeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah
solid dan nonsolid.

Syarat perhitungan:

- jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

- IB 1 + tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari
dalam 1000 sampai 10.000 lapangan.

- Mulai dari IB 3 + harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3 + maksimum harus


dicari dalam 100 lapangan.
28

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan

dengan lndeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut RIDLEY. (Buku
merah)

• 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP)

• 1+bila1-10 BTAdalam 100 LP

• 2 + bila 1-10 BTAdalam 10 LP

• 3 + bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

• 4 + bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

• 5 + bila 101-1000BTA rata-rata dalam 1 LP

• 6 + bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak emersi pada


pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata-rata semua lesi yang
dibuat sediaan.

B.Biopsi

Biopsi kulit harus mencakup dermis dan, jika mungkin, subkutis lesi.
Pewarnaan hematoxylin-eosin dilengkapi dengan metode pewarnaan Fite-Faraco atau
metode lain untuk mendeteksi basil tahan asam. Temuan histopatologi dinilai
menurut skala Ridley dan Jopling.26 Respon jaringan pada kusta tak tentu tidak
spesifik. Epidermis normal atau lapisan basal kulit menunjukkan pengurangan
melanin. Infiltrasi dermal perivaskular atau perineural, superfisial dan dalam oleh
beberapa makrofag dan limfosit adalah temuan umum. Kadang-kadang infiltrat
mengelilingi pelengkap kulit dan jarang ada basil di saraf. (1)

Kusta tuberkuloid menunjukkan epidermis yang biasanya normal dan

29

Universitas Muhammadiyah Jakarta


zona bening subepidermal tidak ada. Ada proses granulomatosa dermal noncaseating
yang terutama terdiri dari makrofag teraktivasi (sel epiteloid) dengan sel T CD4+ di
tengah sel epiteloid, sel T CD8+ di mantel yang mengelilingi granuloma, dan sel
raksasa tipe Langhans. Granuloma dapat menghubungi epidermis dan sering tersusun
di sekitar saraf dan pembuluh darah. Keterlibatan saraf perifer, infiltrasi seluler
kelenjar keringat, dan invasi otot arrectores pilorum oleh infiltrat granulomatosa
sering terjadi. Tidak ada basil tahan asam atau bila ada ditemukan lebih sering di
dalam saraf perifer, otot arrectores pilorum, atau bahkan granuloma. (1)

Histopatologi bentuk borderline-tuberkuloid dapat dibedakan dari kusta


tuberkuloid dengan adanya zona grenz subepidermal. Secara umum, tidak ada
granuloma yang terdefinisi dengan baik dengan kumpulan sel epiteloid yang
terorganisir, dan ada pengurangan frekuensi limfosit dan sel Langhans yang langka
dengan basil tahan asam yang langka. (1)

Pada borderline-borderline, terdapat kumpulan sel epiteloid, limfosit terdispersi yang


langka, tidak ada sel raksasa multinuklear Langhans, dan jumlah basil tahan asam
yang meningkat. Kusta borderline-lepromatous menunjukkan zona grenz
subepidermal, agregat makrofag, sel epiteloid sesekali dengan sitoplasma berlimpah,
dan beberapa sel berbusa, dengan sedikit limfosit. Sejumlah besar basil dan beberapa
globi dapat ditemukan. (1)

Pada kusta lepromatosa terdapat epidermis normal hingga gepeng, zona


grenz subepidermal, agregat dan lembaran makrofag berbusa yang bercampur
dengan limfosit CD8+ dan sel plasma di seluruh dermis dan ke dalam lemak
subkutan. Sejumlah besar basil tahan asam dan globi ditemukan dalam makrofag
berbusa (sel Virchow), saraf, otot arrectores pilorum, epitel folikel, dan kelenjar
keringat . (1)

Kusta histoid ditandai dengan atrofi epidermal, zona grenz subepidermal,


dan dermis yang memperlihatkan lembaran-lembaran sel yang sebagian besar
30

Universitas Muhammadiyah Jakarta


berbentuk gelendong dengan piknosis nukleus dan sitoplasma berbusa, bervakuola,
dan tersusun dalam pola storiform. Beberapa sel berbentuk poligonal, makrofag, dan
sel inflamasi hadir. Beberapa kasus mungkin menunjukkan pseudokapsul. Lesi
menyerupai tumor fibrohistiositik. Pewarnaan Fite-Faraco mengungkapkan sejumlah
besar basil tahan asam, sebagian besar sebagai rakit atau globi . Basil dapat
ditemukan di saraf, sel Schwann, kelenjar ekrin, dan di endotel pembuluh darah.
Makrofag dan sel spindel CD68-positif hadir pada kusta histoid.

C. Serologi

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada


tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-
1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan
oleh kuman M. tuberculosis. Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat
membantu diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik
tidak jelas. Di samping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak
didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macammacam pemeriksaan
serologik kusta ialah:

• Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)

• Uji ELISA (Enzyme Linked lmmunosorbent Assay)

• ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)

• ML flow test (Mycobacterium leprae flow test) (2)

D. Electroneuromyografi

31

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Neuropati kusta bermanifestasi sebagai lesi fokal atau multifokal
asimetris, mononeuropati atau mononeuritis multipleks, yang disebabkan oleh
kerusakan langsung saraf oleh M. leprae dan oleh respon imun inflamasi dari
pejamu. Ada neuropati kronis, dengan eksaserbasi akut akibat reaksi pembalikan
atau ENL. Selain lesi fokal, terjepitnya saraf yang membesar juga menjadi
perhatian, yang mungkin memerlukan intervensi bedah untuk dekompresi saraf.
Evaluasi meliputi palpasi saraf, evaluasi nyeri, penilaian sensorik, pengukuran
kekuatan otot dan pemeriksaan otonom. (1)

Electroneuromyography adalah alat yang disempurnakan untuk


penilaian fungsi saraf saat diagnosis, dan untuk tindak lanjut pasien untuk
mendeteksi dan mengkarakterisasi lesi baru, terutama selama reaksi pembalikan
atau ENL, atau untuk mengevaluasi sindrom jebakan dan nyeri neuropatik.
Neuropati kusta dimulai dengan demielinasi sel Schwann yang dapat berkembang
menjadi hilangnya akson. Situs yang sering terkena termasuk siku untuk saraf
ulnaris, terowongan karpal untuk saraf median, kepala fibula untuk saraf fibula, dan
terowongan tarsal untuk saraf tibialis posterior, yang semuanya merupakan area
kunci untuk mengevaluasi neuropati. (1)

Penggunaan ultrasound untuk evaluasi saraf perifer adalah prosedur


yang mapan. Namun, baru-baru ini terlihat lebih banyak digunakan dalam evaluasi
gangguan fungsi saraf pada neuropati kusta. Pemeriksaan klinis pembesaran saraf
mungkin sulit untuk diukur, bahkan untuk ahli kusta yang berpengalaman, dan
tidak ada parameter yang kuat untuk dicatat untuk menindaklanjuti pasien kusta
selama dan setelah terapi multidrug. (1)

Ultrasonografi resolusi tinggi dapat digunakan untuk evaluasi ekogenisitas,


vaskularisasi, dan penebalan saraf, menggunakan parameter dan nilai objektif untuk
beberapa neuropati, termasuk kusta. Selain itu, abses dan jebakan saraf juga dapat
dideteksi secara dini dan dievaluasi.123 Pemanfaatannya untuk evaluasi neuropati

32

Universitas Muhammadiyah Jakarta


kusta masih berkembang, tetapi sangat menjanjikan. Abnormalitas ekogenisitas,
Doppler intraneural, dan area cross-sectional pasca terapi multidrug di atas batas
normal, dengan pengurangan kurang dari 30%, telah dikaitkan dengan hasil yang
buruk. Memburuknya kelainan saraf setelah terapi multidrug ditemukan terlepas
dari klasifikasi kusta atau adanya reaksi

1
2
2.1
2.1.7 Tatalaksana
Pada dasarnya, ada 3 kelompok obat yang digunakan untuk mengobati
kusta: antibiotik, antiinflamasi atau imunosupresan, dan obat analgesik.
Kelompok pertama, antibiotik, memiliki standar pengobatan yang jelas, regimen
obat Terapi Multi Obat WHO, yang mengandung rifampisin dan dapson, dengan
atau tanpa klofazimin, dalam kemasan blister bulanan. Obat anti inflamasi,
biasanya prednison dan thalido mide, diresepkan untuk mengontrol reaksi kusta
dengan mengurangi peradangan, sedangkan analgesik digunakan untuk
mengontrol nyeri neuropatik.(1)

Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberkulosis telah menggunakan


multi drug treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada
tahun 1971. Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang
dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif
sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah
resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat antikusta yang paling banyak
dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di
negara berkembang dengan sosial ekonomi rendah. (2)

MDT digunakan sebagai usaha untuk:

- Mencegah dan mengobati resistensi

- Memperpendek masa pengobatan

33

Universitas Muhammadiyah Jakarta


- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:

- Efek terapeutik obat

- Efek samping obat

- Ketersediaan obat

- Harga obat

- Kemungkinan penerapannya.

1. Dapson atau Diaminodiphenyl sulfone (DDS)

Dapson adalah obat kusta yang sederhana, murah, dan sangat efektif,
digunakan dalam dosis harian 100 mg atau 1 hingga 2 mg/kg.(1) Resistensi hanya
terjadi pada kusta multibasilar, tetapi tidak pada pausibasilar oleh karena SIS
penderita PB tinggi dan pengobatannya relatif singkat. Resistensi terhadap DDS
dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh
M. leprae yang telah resisten, dan manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT,
BT, BB, BL, LL), bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah
masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat
resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi. Resistensi sekunder terjadi
oleh karena: monoterapi DDS dosis terlalu rendah minum obat tidak teratur
minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya pengobatan
terlalu lama, setelah 4-24 tahun. Efek samping DDS antara lain nyeri kepala,
erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom
DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan
methemoglobinemia.(2)

2. Rifampisin

Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi


DDS dengan dosis 10 mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar
kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu

34

Universitas Muhammadiyah Jakarta


diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu atau setiap 2 minggu mengingat
efek sampingnya.

Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik,


gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.(2) Efek samping
termasuk wajah dan leher kemerahan, pruritus dan ruam kulit, kehilangan nafsu
makan, mual, muntah, dan diare, malaise (yang mungkin memerlukan
penghentian obat), purpura, dan epistaksis.(1)

3. Klofazimin (lampren)

Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan
Hoogerzeil. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang
sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat antinflamasi sehingga dapat
dipakai pada penanggulangan ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg-300 mg/ hari
namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Resistensi pertama pada satu
kasus dibuktikan pada tahun 1982. (2)

Efek sampingnya ialah warna merah kecoklatan pada kulit, dan warna
kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang
sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Hal tersebut
disebabkan karena klofazimin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel
sistem retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Pigmentasi bersifat reversibel,
meskipun menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek samping lain yang
hanya terjadi dalam dosis tinggi, yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia,
dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan. (2)

4. Protionamid

Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari, dan untuk Indonesia
obat ini tidak atau jarang dipakai. Distribusi protionamid dalam jaringan tidak
merata, sehingga kadar hambat minimalnya sukar ditentukan.

a. Obat alternatif

35

Universitas Muhammadiyah Jakarta


1. Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap


Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis
tunggal yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium
leprae hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan
saluran cema lainnya, berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia,
nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini
jarang ditemukan dan biasanya tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat.
Penggunaan pada anak, remaja, ibu hamil dan menyusui harus hati-hati, karena
pada hewan muda, kuinolon menyebabkan artropati.

2. Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi


daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin . Dosis standar
harian 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak,
kadangkadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa,
berbagai simtom saluran cema dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan
unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama
kehamilan .

3. Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas


bakterisidal terhadap Myca-bacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada
penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman
hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek 99 sampingnya
adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini
diberikan dengan dosis 2000 mg.

b. Cara pemberian MDT (2)

1. MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif)
adalah:

- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan

- DDS 100 mg setiap hari

36

Universitas Muhammadiyah Jakarta


- Klofazimin: 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg
sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu

Awalnya kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai 36 bulan


dengan syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila bakterioskopis masih positif,
pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negatif. Selama pengobatan
dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis
minimal setiap 3 bulan. Jadi besar kemungkinan pengobatan kusta multibasilar ini
hanya selama 2 sampai 3 tahun. Hal ini adalah waktu yang relatif sangat singkat
dan dengan batasan waktu yang tegas, jika dibandingkan dengan cara sebelumnya
yang memerlukan waktu minimal 10 tahun sampai seumur hidup. Penghentian
pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT
dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis
minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negatif dan
klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau
disebut Release From Control (RFC).

Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian obat
dapat dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.

2. MDT untuk pausibasilar (I , TT, BT, dengan BTA negatif) adalah: (2)

- Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan

- DDS 100 mg setiap hari.

Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti


RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan
dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan
minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak
ada 100 keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka
dinyatakan RFC. Sejak tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksanaan
RFC. Apabila RFT telah tercapai, tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis,
penderita tidak lagi diawasi sampai RFC, walaupun akhir-akhir ini banyak yang
menganjurkan diberlakukan kembali antara lain untuk mengawasi adanya reaksi
dan relaps.

37

Universitas Muhammadiyah Jakarta


Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan,
penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal,
pausibasilar dengan lesi 2-5 buah, dan penderita multibasilar dengan lesi lebih
dari 5 buah.

Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998


telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis dalam
12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah
tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal pengobatan
adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin
100 mg (ROM) dosis tunggal.

Kalau susunan MDT tersebut tidak dapat dilaksanakan karena berbagai


alasan, WHO Expert Committee pada tahun 1998 mempunyai rejimen untuk
situasi khusus.

Penderita MB yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula


dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dal am hal ini rejimen
pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg
setiap hari selama 6 bulan, diteruskan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400
mg atau minosiklin 100 mg setiap hari selama 18 bu Ian.

Bagi penderita MB yang menolak klofazimin, dapat diberikan ofloksasin


400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bu Ian. Alternatif lain ialah
diberikan rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin
100 mg dosis tunggal setiap bulan selama 24 bulan.

c. Pengobatan ENL

Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain
prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison
15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi
dosisnya, tetapi sebaliknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan.
Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai
berhenti sama sekali. Perhatikan kontraindikasi pemakaian kortikosteroid. Dapat
ditambahkan obat analgetik-antipiretik dan sedativa atau bila berat, penderita
dapat menjalani rawatinap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap

38

Universitas Muhammadiyah Jakarta


kortikosteroid, ENL akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan
pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus mendapatkan kortikosteroid terus
menerus.

Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi
harus berhatihati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan
kepada orang hamil atau masa subur. Di Indonesia obat ini sudah tidak didapat.

Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-
reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200- 300 mg
sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan
secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain klofazimin
dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah
satu efek samping yang tidak dikendaki oleh banyak penderita ialah bahwa kulit
menjadi berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tapi masih
bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obatnya dihentikan.

Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama
penanggulangan ENL ini, obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan
tanpa dikurangi dosisnya.

d. Pengobatan Reaksi Reversal.

Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis
akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan
dengan berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya
diberikan prednison 40 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan.

Gambar 1. 5 Pemberian Prednison(2)

Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk


mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi
ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut
harus diistirahatkan. Analgetik dan sedativa kalau diperlukan dapat diberikan.
Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh karena itu tidak pernah
dipakai, begitu juga talidomid tidak efektif terhadap reaksi reversal.

39

Universitas Muhammadiyah Jakarta


e. Pencegahan cacat.

Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT


mempunyai risiko tinggi untuk te~adinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita
dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf
yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.

Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan


berkurangnya kekuatan otot. Penderitalah yang mula-mula menyadari adanya
perubahan sensibilitas atau kekuatan otot. Keluhan berbentuk nyeri saraf atau Iuka
yang tidak sakit, lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan
sensibilitasnya saja. Juga ditemukan keluhan sukarnya melakukan aktivitas sehari-
hari, misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau mengambil benda
kecil , atau

kesukaran berjalan. Semua keluhan tersebut harus diperiksa dengan teliti


dengan anamnesis yang baik tentang bentuk dan lamanya keluhan, sebab
pengobatan dini dapat mengobati, sekurangnya mencegah kerusakan menjadi
berlanjut.

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention of


disabilities (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan
tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin . Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita
diberi petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang
telah terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau
panas, dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan
pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini dimulai dengan memeriksa ada
tidaknya memar, Iuka, atau ulkus. Setelah itu tangan dan kaki direndam, disikat
dan dimi-nyaki agar tidak kering dan pecah.

WHO Expert Committee on Leprosy (1977) membuat klasifikasi cacat bagi


penderita kusta . Pada pertemuan yang ketujuh dibuat amandemen khusus untuk
mata.

40

Universitas Muhammadiyah Jakarta


1. Rehabilitasi

Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara
lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempuma
kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain
ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri,
selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).

2.1.8 Prognosis
Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam hingga dubia ad malam

1. Cenderung ke dubia ad bonam: Diagnosis dini

Tanpa kerusakan saraf pada saat awal diagnosis Pengobatan cepat dan tepat dan
adekuat Melaksanakan kegiatan perawatan diri.

2. Cenderung ke dubia ad malam:

• Tanpa pengobatan, pasien tipe-B akan downgrading ke kutub lepromatosa


dan mempunyai konsekuensi menularkan penyakit dan berisiko mengalami reaksi
tipe-1 yang akan menyebabkan kerusakan saraf

• Komplikasi berhubungan dengan hilangnya sensasi pada anggota tubuh


dan jari-jari, menyebabkan pasien mengabaikan luka atau luka bakar kecil sampai
terjadi infeksi. Luka terutama pada telapak kaki menimbulkan problematic

• Kerusakan saraf dan komplikasinya mungkin menyebabkan terjadinya


cacat, terutama apabila semua alat gerak dan ke dua mata terkena

• Sering terjadi neuritis dan reaksi yang mungkin menyebabkan kerusakan


permanen, walaupun telah diobati dengan steroid

• Tidak melakukan perawatan diri

41

Universitas Muhammadiyah Jakarta


DARTAR PUSTAKA

• Salgado CG, de Brito AC, Salgado UI, Spencer JS. Leprosy. In: Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 9th ed. United States: McGraw-Hill
Education; 2019. p. 2892–924.
• Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. In: Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin. 7th ed. Jakarta: FK UI; 2019. p. 87–102.
• (PDF) Mengenal Morbus Hansen [Internet]. [cited 2022 Jul 4]. Available
from:
https://www.researchgate.net/publication/339617344_Mengenal_Morbus_Ha
ns en
• Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan Y, Siswati SA, Triwahyudi D, et
al. Kusta. In: Panduan Praktis Klinis Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Indonesia (PERDOSKI); 2017. p. 80–7.
• Bhandari J, Awais M, Robbins BA, Gupta V. Leprosy. StatPearls [Internet].
2021 Nov 20 [cited 2022 Jul 4]; Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559307/
• Lockwood DNJ. Leprosy. In: Griffiths CEM, Barker J, Bleiker T, Chalmers R,
Creamer D, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 9th ed. Hoboken: John
Wiley & Sons, Ltd; 2016. p. 28.1-.28.14.

42

Universitas Muhammadiyah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai