Anda di halaman 1dari 23

Presentasi Kasus

Sindrom Kompartemen
Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang

Diajukan kepada:
dr. Hendryk Kwandang, M.Kes (Pembimbing IGD dan Rawat Inap)
dr. Benediktus Setyo Untoro (Pembimbing Rawat Jalan)

Disusun oleh:
dr. Sergius Stanley Proboseno

RSUD “KANJURUHAN” KEPANJEN


KABUPATEN MALANG
2014
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
SINDROM KOMPARTEMEN

Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal :

Oleh :
Dokter Pembimbing Instalasi Gawat Darurat dan Rawat Inap

dr. Hendryk Kwandang, M.Kes

i
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
SINDROM KOMPARTEMEN

Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal :

Oleh :
Dokter Pembimbing Rawat Jalan

dr. Benediktus Setyo Untoro

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa di surga atas bimbinganNya sehingga


penulis telah berhasil menyelesaikan portofolio laporan kasus yang berjudul
“Sindrom Kompartemen”. Dalam penyelesaian portofolio laporan kasus ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. dr.Hendryk Kwandang, M.Kes selaku dokter pembimbing instalasi gawat
darurat dan rawat inap
2. dr.Benediktus Setyo Untoro selaku dokter pembimbing rawat jalan
3. dr. Antarestawati, dr. Anita Ikawati, dr. Janny Fajar Dita, dan dr.
Romualdus Redy Wibowo selaku dokter jaga dua
4. Serta paramedis yang selalu membimbing dan membantu penulis.
Portofolio laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan
kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan
saran dan kritik yang membangun. Semoga laporan kasus ini dapat menambah
wawasan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Kepanjen, Desember 2014

Penulis

iii
Daftar Isi

HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii
Daftar Isi .............................................................................................................................iv
Bab 1 Pendahuluan ............................................................................................................. 1
Bab 2 Laporan Kasus .......................................................................................................... 2
Bab 3 Tinjauan Pustaka ...................................................................................................... 8
Bab 4 Pembahasan ............................................................................................................ 16
Bab 5 Kesimpulan ............................................................................................................. 17
Daftar Pustaka ................................................................................................................... 18

iv
Bab 1 Pendahuluan

Sindrom kompartemen adalah sebuah kondisi yang mengancam anggota


tubuh dan jiwa yang dapat diamati ketika tekanan perfusi di bawah jaringan yang
tertutup mengalami penurunan. Saat sindrom kompartemen tidak teratasi maka
tubuh akan mengalami nekrosis jaringan dan gangguan fungsi yang permanen,
dan jika semakin berat dapat terjadi gagal ginjal dan kematian.
Sindrom kompartemen dapat terjadi di tangan, lengan bawah, lengan atas,
perut, pantat, dan seluruh ekstremitas bawah. Hampir semua cedera dapat
menyebabkan sindrom ini, termasuk cedera akibat olahraga berat.
Hal yang paling penting bagi seorang dokter adalah untuk selalu waspada
ketika berhadapan dengan keluhan nyeri pada ekstremitas.
Bab 2 Laporan Kasus

2.1. Identitas
Nama : Tn. R
Usia : 28 tahun.
Jenis Kelamin : Laki-laki.
Agama/Suku : Islam/Jawa.
Alamat : Kepanjen.
Tanggal pemeriksaan : 11 Desember 2014.
No. RM : 362787.

AnamnesaAutoanamnesa (11 Desember 2014) pk: 08:30 di Ruang Tindakan,


IGD
1. Keluhan Utama.
Kaki kiri tidak bisa merasakan apapun dan berwarna hitam.
2. Riwayat Penyakit Sekarang.
Pasien terjatuh dari tebing sedalam 40 m dan mengalami patah tulang
tungkai kiri bawah dan tungkai kanan atas pada 2 minggu yang lalu. Pasien
kemudian berobat ke sangkal putung dan dibebat pada bagian yang patah.
Tungkai kanan atas membaik menurut pasien. Namun tungkai kiri bawah
terasa nyeri, kesemutan, dan berwarna pucat sejak 1 minggu yang lalu.
Setelahnya kaki tidak bisa merasakan apa pun dan nampak mulai
menghitam.
3. Riwayat Penyakit Dahulu.
Pasien tidak pernah menderita keluhan seperti ini dan tidak pernah dirawat
di rumah sakit sebelumnya.
4. Riwayat Keluarga.
Tidak ditemukan riwayat keluarga dengan keluhan yang sama.
5. Riwayat Pengobatan.

2
Pasien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya untuk penyakit ini.

2.2. Pemeriksaan Fisik (11-12-2014 di Ruang Tindakan, IGD)


1. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, compos mentis, GCS 456.
2. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 130/90 mmHg.
b. Laju denyut jantung : 88 x/menit reguler.
c. Laju pernapasan : 19 x/menit.
d. Suhu aksiler : 36,5OC.
3. Kepala
a. Bentuk : normosefal, benjolan massa (-) UUB cekung (-).
b. Ukuran : mesosefal.
c. Rambut : tebal,hitam.
d. Wajah : simetris, bundar, rash (-), sianosis (-), edema (-).
e. Mata
konjungtiva : anemis (-).
sklera : ikterik (-).
palpebra : edema (-).
reflek cahaya : (+/+).
pupil : isokor, (+/+), 2mm/2mm..
telinga : bentuk normal, posisi normal, sekret (-).
f. Hidung : sekret (-) jernih, pernafasan cuping hidung(-),
perdarahan (-), hiperemi (-).
g. Mulut : mukosa bibir basah, mucosa sianosis (-), lidah
kotor (-). Tampak mulut terbuka, didapatkan
tonjolan pada sendi temporomandibular sinistra,
keras, fix, diameter: 2 cm.
4. Leher
a. Inspeksi : massa (-/-).
b. Palpasi : pembesaran kelenjar limfa regional (-/-).

3
5. Thoraks
a. Inspeksi. : bentuk dada kesan normal dan simetris; retraksi
dinding dada (-), tidak didapatkan deformitas.
b. Jantung:
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
 Palpasi : ictus cordis teraba di MCL (S) ICS V(S).
 Perkusi : batas jantung normal.
 Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, ekstrasistol (-), gallop (-),
murmur (-).
c. Paru:
 Inspeksi : gerak nafas simetris pada kedua sisi dinding
dada, retraksi (-), RR 30 kali/menit, teratur, simetris.
 Palpasi : pergerakan dinding dada saat bernafas simetris.
 Perkusi : sonor sonor
sonor sonor
sonor sonor
 Auskultasi : vesikuler di seluruh lapang paru.
- - - -
Rh - - Wh - -
- - - -

6. Abdomen
a. Inspeksi : datar, kulit abdomen : jaringan parut (-).
b. Auskultasi : bising usus (+), normal.
c. Perkusi : timpani, shifting dullnes (-).
d. Palpasi : H/L tidak teraba.

4
7. Ekstremitas

Pemeriksaan Atas Bawah


Ekstremitas Kanan Kiri Kanan Kiri

Akral Hangat kering Hangat kering Hangat kering Nampak hitam.


Kulit mengelupas
dari pedis hingga
sedikit di atas lutut.
Sensorik (-),
motorik (-)

Anemis – – – ?

Ikterik – – – ?

Edema – – - +

Sianosis - - - ?

Ptechiae – – – –

Capillary Refill <2 detik <2 detik <2 detik ?


Time

8. Status neurologis
GCS : 456
Pupil : 2mm / 2mm
RC :+ + Motorik : 5 5
RK :+ - 5 0
MS : (-) KK : (-)

2.3. Resume
Tn. R/ Laki-laki/ 28 tahun
Anamnesis
Keluhan utama: Kaki kiri tidak bisa merasakan apapun dan berwarna hitam.
 Pasien terjatuh dari tebing sedalam 40 m dan mengalami patah tulang

5
tungkai kiri bawah dan tungkai kanan atas pada 2 minggu yang lalu.
 Pasien kemudian berobat ke sangkal putung dan dibidai pada bagian yang
patah.
 Tungkai kanan atas membaik menurut pasien. Namun tungkai kiri bawah
terasa nyeri, kesemutan, dan berwarna pucat sejak 1 minggu yang lalu.
Setelahnya kaki tidak bisa merasakan apa pun dan nampak mulai
menghitam.
Pemeriksaan fisik
 Pasien tampak sakit sedang, compos mentis, GCS: 456.
 Tanda vital : Tekanan darah : 130/90 mmHg.
Denyut jantung : 88 x/menit reguler.
Pernapasan : 19 x/menit.
Suhu aksiler : 36,5O C.
 Kepala : tidak ditemukan kelainan.
 Leher : tidak ditemukan kelainan.
 Thoraks : tidak ditemukan kelainan.
 Abdomen : tidak ditemukan kelainan.
 Ekstrimitas : Kiri: Nampak hitam. Kulit mengelupas dari pedis hingga
sedikit di atas lutut. Sensorik (-), motorik (-). Oedem (+).
 Status neurologis : normal, tidak ditemukan MS dan kaku kuduk.

2.4. Diagnosis
a. Diagnosis Kerja:
Closed fracture R. Cruris (S) & R. Femur (D).
Sindrom kompartemen R. Cruris (S).
b. Rencana diagnosis:
-
2.5. Rencana Terapi
a. Bebaskan ekstremitas dari bidai.
b. Rawat luka.

6
c. Rencana amputasi ekstremitas kiri sebatas lutut.

2.6. Rencana Edukasi


a. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita dan rencana
terapi yang akan dilakukan.
b. Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien.
c. Menjelaskan kemungkinan perkembangan penyakit.
d. Mengikuti terapi dengan baik sesuai petunjuk dokter.

7
Bab 3 Tinjauan Pustaka

2.1 Sindrom Kompartemen


2.1.1. Definisi
Sindrom kompartemen merupakan suatu peningkatan tekanan dalam suatu
kompartemen sehingga mengakibatkan penekanan terhadap saraf, pembuluh darah
dan otot di dalam kompartemen osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali
terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan
pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan.

2.1.2 Anatomi
Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang,
interosseus membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, saraf dan
pembuluh darah. Otot mempunyai perlindungan khusus yaitu fascia, dimana
fascia ini melindungi semua serabut otot dalam satu kelompok.
Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak
yaitu terletak di lengan atas (kompartemen anterior dan posterior), di lengan
bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, dan posterior). Di anggota gerak
bawah, terdapat tiga kompartemen di tungkai atas (kompartemen anterior, medial,
dan kompartemen posterior), empat kompartemen di tungkai bawah
(kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, posterior profundus).
Sindrom kompartemen yang paling sering terjadi di daerah tungkai bawah dan
lengan atas.
Setiap kompartemen pada tungkai bawah memiliki satu nervus mayor.
Kompartemen anterior memiliki nervus peroneus profundus, kompartemen lateral
memiliki nervus peroneus superfisial, kompartemen posterior profunda memiliki
nervus tibialis posterior dan kompartemen posterior superfisial memiliki nervus
suralis. Ketika tekanan kompartemen meningkat, suplai vaskuler ke nervus akan
terpengaruh menyebabkan timbulnya parestesia.

8
Tabel 2.1 Letak dan Isi Kompartemen
Letak Kompartemen Isi
Lengan Anterior M. Biceps brachii, M. Coracobrachialis, M.
Atas Brachialis;
A. Brachialis;
N. Musculocutaneus
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.
Musculocutaneus, N. Medius, M. Ulnaris, A.
Brachialis, V. Basilica
Posterior M. Triceps brachii;
A. Profunda brachii, A. Collateralis ulnaris;
N. Radialis
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.
Radialis dan N. Ulnaris
Lengan Anterior M. Pronator teres, M. Flexor carpi radialis, M.
Bawah Palmaris longus, M. Flexor carpi ulnaris, M.
Flexor digitorum superficialis, M. Flexor
pollicis longus, M. Flexor digitorum profundus,
M. Pronator quadratus;
A. Ulnaris, A. Radialis;
N. Medianus
Lateral M. Brachioradialis, m. Flexor carpi radialis
longus;
A. Radialis, a. Brachialis;
N. Radialis
Posterior M. Extensor carpi radialis brevis, M. Extensor
digitorum, M. Extensor digiti minimi, M.
Extensor carpi ulnaris, M. Anconeus, M.
Supinator, M. Abductor pollicis longus, M.

9
Extensor pollicis brevis, M. Extensor pollicis
longus, M. Extensor indicis;
Arteriae interoseus anterior dan posterior;
Ramus profundus nervi radialis
Tungkai Anterior M. Sartorius, M. Iliacus, M. Psoas, M.
Atas Pectineus, M. Quadriceps femoris;
A. Femoralis;
N. femoralis
Medial M. Gracilis, M. Adductor longus, M. Adductor
brevis, M. Adductor magnus, M. Obturatorius
externus;
A. profunda femoris, A. Obturatoria;
N. obturatorius
Posterior M. Biceps femoris, M. Semitendinosus, M.
Semimembranosus, M. Adductor magnus;
Cabang-cabang a. Profunda femoris
Tungkai Anterior M. Tibialis anterior, M. Extensor digitorum
Bawah longus, M. Peroneus tertius, M. Extensor
hallucis longus, M. Extensor digitorum brevis;
A. Tibialis anterior;
N. Peroneus profundus
Lateral M. Peroneus longus, M. Peroneus brevis;
Cabang-cabang dari a. Peronea;
N. peroneus superficialis
Posterior M. Gastrocnemius, M. Plantaris, M. Soleus;
Superfisial A. Tibialis posterior;
N. Tibialis
Posterior M. Popliteus, M. Flexor digitorum longus, M.
Profundus Flexor hallucis longus, M. Tibialis posterior;
A. Tibialis posterior;

10
N. Tibialis

2.1.3 Patofisiologi
Fasia merupakan sebuah jaringan yang tidak elastis dan tidak dapat
meregang, sehingga pembengkakan pada fasia dapat meningkatkan tekanan intra-
kompartemen dan menyebabkan penekanan pada pembuluh darah, otot dan saraf.
Pembengkakan tersebut dapat diakibatkan oleh fraktur yang kompleks ataupun
cedera jaringan akibat trauma dan operasi. A ktifitas fisik yang dilakukan secara
rutin juga dapat menyebabkan pembengkakan pada fasia, namun umumnya hanya
berlangsung selama aktifitas.
Patofisiologi sindrom kompartemen mengarah pada suatu ischemic injury.
Dimana struktur intra-kompartemen memiliki batasan tekanan yang dapat
ditoleransi. Apabila cairan bertambah dalam suatu ruang yang tetap, maupun
penurunan volume kompartemen dengan komponen yang tetap, akan
mengakibatkan pada peningkatan tekanan dalam kompartemen tersebut.
Perfusi pada jaringan ditentukan oleh Tekanan Perfusi Kapiler atau
Capillary Perfusion Pressure (CPP) dikurangi tekanan interstitial. Metabolisme
sel yang normal memerlukan tekanan oksigen 5-7 mmHg. Hal ini dapat
berlangsung baik dengan CPP rata-rata 25 mmHg dan tekanan interstitial 4-6
mmHg. Apabila tekanan intra-kompartemen meningkat, akan mengakibatkan
peningkatan tekanan perfusi sebagai respon fisiologis serta memicu mekanisme
autoregulasi yang mengkibatkan ‘cascade of injury’.
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom
yaitu, antara lain:
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen.
b. Theori of critical closing pressure.
Hal ini disebabkan oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan
mural arteriol yang tinggi. Tekanan trans mural secara signifikan berbeda
(tekanan arteriol-tekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi
aliran darah. Bila tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka

11
tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan
tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan
menutup.
c. Tipisnya dinding vena.
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi
tekanan vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir
secara kontinyu dari kapiler, maka tekanan vena akan meningkat lagi melebihi
tekanan jaringan, sehingga drainase vena terbentuk kembali.
Sedangkan respon otot terhadap iskemia yaitu dilepaskannya histamine like
substances mengakibatkan dilatasi kapiler dan peningkatan permeabilitas endotel.
Ini berperan penting pada transudasi plasma dengan endapan sel darah merah ke
intramuskular dan menurunkan mikrosirkulasi.

2.1.4 Manifestasi klinik


Secara klasik ada 5 P yang terkumpul dalam sindrom kompartemen, yaitu
Pain, Paresthesia, Pallor, Paralysis, Pulselessness.
1. Pain (Nyeri ): nyeri hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting, terutama jika
munculnya nyeri tak sebanding dengan keadaan klnik (pada anak-anak
tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari
biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang
spesifik dan sering. Manifestasinya berupa nyeri berat, konstan, dan
terlokalisasi.
2. Parestesia: rasa kesemutan.
3. Pallor (pucat): akibat menurunnya perfusi ke daerah tersebut.
4. Pulselessness: berkurangnya atau hilangnya denyut nadi.
5. Paralisis: merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom
kompartemen.. Pemeriksaan dengan uji sensasi raba dengan jarum dan
peniti ) pada saraf kulit.

12
2.1.5 Diagnosis
Pada anamnesis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri hebat setelah
kecelakaan atau patah tulang, ada dua yang dapat dijadikan dasar untuk
mendiagnosis sindrom kompartemen yaitu nyeri dan parestesia.
Pada pemeriksaan fisik kita harus mencari tanda-tanda fisik tertentu yang
terkait dengan sindrom kompartemen, diawali dengan rasa nyeri dan rasa terbakar,
penurunan kekuatan dan akhirnya kelumpuhan ekstremitas. Pada bagian distal
didapatkan pallor (pucat) dan pulselessness (denyut nadi melemah) akibat
menurunnya perfusi ke jaringan tersebut. Menindak lanjuti pemeriksaan fisik
penting untuk mengetahui perkembangan gejala yang terjadi, antara lain nyeri
pada saat istirahat atau saat bergerak dan nyeri saat bergerak ke arah tertentu,
terutama saat peregangan otot pasif dapat meningkatkan kecurigaan kita dan
merupakan awal indikator klinis dari sindrom kompartemen. Nyeri tersebut
biasanya tidak dapat teratasi dengan pemberian analgesik termasuk morfin.
Kemudian bandingkan daerah yang terkena dan daerah yang tidak terkena.

2.1.6 Tatalaksana
Tujuan terapi adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu
mengembalikan aliran darah local. Penanganan sindrom kompartemen meliputi :
1. Terapi medikamentosa/non-operatif.
Pemilihan terapi secara medikamentosa digunakan apabila masih menduga
suatu sindrom kompartemen, yaitu:
a. Menempatkan ekstremitas yang terkena setinggi jantung, untuk
mempertahankan ketinggian kompartemen yang minimal, elevasi dihindari
karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia.
b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan
pembalut konstriksi dilepas.
c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat
perkembangan sindrom kompartemen.
d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.

13
e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakaian manitol dapat
mengurangi tekanan kompartemen.

2. Terapi pembedahan/operatif.
Terapi operatif untuk sindrom kompartemen apabila tekanan
intrakompartemen lebih dari 30 mmHg, memerlukan tindakan yang cepat dan
segera dilakukan fasciotomi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan
memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya kurang dari 30 mmHg, tungkai
dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya,
kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang
dilanjutkan hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau kalau
tekanan kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan. Keberhasilan
dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Ada dua teknik dalam
fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda. Insisi ganda pada tungkai
bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan
insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri
dan vena peroneal. Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti membuka ke
empat kompartemen, kalau perlu dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka
harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis otot, dapat dilakukan debridemen,
kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan), atau dilakukan
pencangkokan kulit.
Adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan
fasciotomi. Kerusakan nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi
intrakompartemen.

2.1.7 Komplikasi
Tekanan yang tidak dapat teratasi dapat mengakibatkan terjadinya nekrosis
jaringan. Bila tidak teratasi, maka dapat menimbulkan rhabdomyolis dan gagal
ginjal. Sindrom kompartemen dapat mengalami komplikasi antara lain :
1. Kerusakan saraf yang permanen.
2. Infeksi.

14
3. Deformitas kosmetik akibat fasciotomi.
4. Kehilangan anggota tubuh .
5. Kematian.

2.1.8 Prognosis
Prognosis pada kasus sindrom kompartemen bisa menjadi baik atau
bertambah buruk, tergantung seberapa cepat penanganan kompartemen sindrom
dilaksanakan dan pada ada tidaknya komplikasi.

15
Bab 4 Pembahasan

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Closed fracture R. Cruris (S) & R.
Femur (D) serta sindrom kompartemen R. Cruris (S). Penegakan diagnosa ini
didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dari hasil anamnesis, ditemukan bahwa pasien mengeluh kakinya tidak
bisa merasakan apapun sejak 1 minggu yang lalu. Pasien tidak pernah menderita
keluhan seperti ini dan tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Tidak
ditemukan riwayat keluarga dengan keluhan yang sama.
Dari hasil pemeriksaan fisik, ditemukan ekstremitas kiri nampak hitam.
Kulit mengelupas dari pedis hingga sedikit di atas lutut. Sensasi raba (-). Oedem
(+).
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah :
a. Bebaskan ekstremitas dari bidai.
Mengurangi tekanan pada ekstremitas yang terkena.
b. Rawat luka.
Membersihkan luka pada tungkai pasien.

c. Rencana amputasi ekstremitas kiri sebatas lutut.


Bab 5 Kesimpulan

Sindrom kompartemen adalah sebuah kondisi yang mengancam anggota


tubuh dan jiwa yang dapat diamati ketika tekanan perfusi di bawah jaringan yang
tertutup mengalami penurunan. Saat sindrom kompartemen tidak teratasi maka
tubuh akan mengalami nekrosis jaringan dan gangguan fungsi yang permanen,
dan jika semakin berat dapat terjadi gagal ginjal dan kematian.
Penegakan diagnosis dilakukan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang teliti serta kontrol teratur pada luka. Terapi meliputi medikamentosa dan
pembedahan.
Pada pasien ini, ditemukan bahwa pasien menderita sindrom kompartemen
R. Cruris (S), sehingga pada pasien ini dilakukan pembebasan bidai. Rawat luka
untuk mencegah infeksi. Rencana amputasi untuk menyelamatkan ekstremitas
yang tersisa.
Daftar Pustaka
Apley, A Grahm. Solomo, Louis. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur system Apley.
Edisi ketujuh. 1995. Jakarta: Widya Medika.
Paula, Richard. 2009. Compartment Syndrome in Emergency Medicine. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/828456-overview [Access on
July, 16th 2011]
Sjamsuhidajat, R., Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi kedua. 2005.
Jakarta : EGC.
Snell, Richard S.Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi keenam.
2006. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai