Oleh :
Kelompok 5A.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha
Esa atas Asung Kerta Wara Nugraha-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP)” tepat pada waktunya.
Makalah ini bertujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah dari Manajemen Mutu
Penyelenggaraan Makanan (MMPM) pada semester VI ini. Dalam penyusunan makalah ini
kami banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak.
Kami menyadari keterbatasan kemampuan, sehingga makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
dari pembaca. Akhir kata kami mengucapkan banyak Terima Kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) ?
2. Bagaimana sejarah Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) ?
3. Apa saja konsep dari Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) ?
1
4. Apa saja prinsip dari Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) ?
5. Apa saja langkah dari Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Hazard Analysis and Critical Control Points
(HACCP)
2. Untuk mengetahui sejarah dari Hazar Analysis and Critical Control Pointes
(HACCP)
3. Untuk mengetahui konsep dari Hazard Analysis and Critical Control Points
(HACCP)
4. Untuk mengetahui prinsip dari Hazard Analysis and Critical Control Points
(HACCP)
5. Untuk mengetahui langkah-langkah dari Hazard Analysis and Critical Control
Points (HACCP)
2
BAB II
PEMBAHASAN
HACCP adalah suatu alat yang digunakan untuk menilai tingkat bahaya,
memperkirakan kemungkinan risiko dan menetapkan ukuran yang tepat dalam
pengawasan. Ukuran adalah nilai atau ketentuan yang digunakan dalam pengawasan
untuk pencegahan dan pengendalian proses dari suatu produk (Suklan, 1998). HACCP
diterapkan pada seluruh mata rantai proses pengolahan produk pakan (Thaheer, 2005).
Keamanan penting bagi produk pakan karena keamanan sangat dipertimbangkan dalam
hal konsumsi. Produk pakan untuk dapat diproduksi dengan aman, perlu menggunakan
standar-standar keamanan pangan (Badan Standarisasi Nasional, 1998).
HACCP telah diuji coba pada industri pengolah pakan, industri perhotelan, dan
industri penyedia makanan yang beroperasi di jalanan (street food vendors). HACCP
juga telah diuji coba pada rumah tangga di beberapa negara, misalnya, Republik
Dominika, Peru, Pakistan, Malaysia dan Zambia. HACCP menjadi semakin populer di
kalangan industri dan jasa pengolah pakan sebagai penjamin keamanan pangan (food
safety assurance) setelah diadopsi dan diakui secara resmi oleh Badan konsultansi
WHO (Codex Alimentarius Commission, 1991).
3
untuk menjamin keamanan makanan astronotnya guna meminimalkan risiko terjadinya
kejadian luar biasa (KLB) keracunan makanan di luar angkasa (Takenaka, 2005).
Program Zero-defects mencakup 3 hal yaitu pengendalian bahan baku,
pengendalian seluruh proses , pengendalian lingkungan produksinya serta tidak hanya
mengandalkan pemeriksaan pada produk akhir (finished products). Pada tahun 1971,
oleh Pillbury Company konsep HACCP dipresentasikan/dipublikasikan dalam
konferensi Perlindungan Pangan Nasional di Amerika Serikat. FDA (Food and Drug
Administration) di Amerika Serikat, menetapkan dan mensyaratkan sistem HACCP
diterapkan secara wajib (mandatory) pada setiap industri pengolah pangan. Konsep
HACCP mengalami revisi dari berbagai institusi seperti National Advisory Committee
on Microbiological Criteria on Food (NACMCF), US Department of Agriculture
(USDA) dan lain – lain.
Konsep HACCP selanjutnya berkembang dan diimplementasikan pada jasa
Catering dan Domestic kitchen. Pada tahun 1985, sistem HACCP diuji cobakan pada
industri pengolah pangan, industri perhotelan, industri penyedia makanan yang
beroperasi di jalanan (Street food vendors) dan rumah tangga di beberapa negara
misalnya Republik Dominika. Peru, Pakistan, Malaysia dan Zambia. Tahun 1993,
Badan Konsultasi WHO untuk Pelatihan Implementasi Sistem HACCP pada Industri
Pengolah pangan, merekomendasikan agar pemerintah sebagai pembina dan industri
pangan sebagai produsen pangan berupaya menerapkan sistem HACCP terutama di
negara-negara Argentina, Bolivia, China, Indonesia, Yordania, Meksiko, Peru,
Philipina, Thailand dan Tunia.)
Demikian juga negara-negara dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE)
mensyaratkan diterapkannya sistem HACCP pada setiap eksportir produk pangan yang
masuk ke negara-negara MEE. Mulai tgl. 28 Juni 1993, Konsep sistem HACCP
diterima oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) dan diadopsi sebagai petunjuk
pelaksanaan penerapan sistem HACCP atau Guidelines for Application of Hazard
Analysis Critical Control Point System. Dengan adanya pengakuan resmi dari Badan
WHO ini, maka HACCP menjadi makin populer di kalangan industri dan jasa pengolah
pangan sebagai penjaminan keamanan pangan. Pada akhirnya tahun 1998, di Indonesia
mengadopsi HACCP menjadi SNI 01-4852-1998, sistem analisa bahaya dan
pengendalian titik kritis serta pedoman penerapannya.
4
C. Konsep Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP)
5
1. Mencegah penarikan produk pangan yang dihasilkan
2. Mencegah penutupan pabrik
3. Meningkatkan jaminan keamanan produk
4. Pembenahan dan pembersihan pabrik
5. Mencegah kehilangan pembeli/pelanggan atau pasar
6. Meningkatkan kepercayaan konsumen
7. Mencegah pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul karena
masalah keamanan produk.
Secara teoritis ada tujuh prinsip dasar penting dalam penerapan sistem HACCP
pada industri pangan. Ketujuh prinsip dasar penting HACCP yang merupakan dasar
filosofi HACCP tersebut menurut Rauf (2013) adalah :
1. Prinsip 1, Analisa Potensi Bahaya.
Analisis bahaya merupakan prinsip pertama dari tujuh prinsip HACCP
yang tertuang di dalam dua belas langkah penerapan sistem HACCP. Analisis
bahaya dilakukan untuk mengidentifikasi potensi-potensi bahaya termasuk
penyebabnya serta menentukan peluang kejadian atau risiko (risk) dan tingkat
keparahan (severity) pada setiap tahapan proses (Brown, 2000). Analisis potensi
bahaya dilakukan dalam tiga tahap yaitu :
a. Menentukan potensi bahaya dan tindakan pengendalian, merupakan
potensi bahaya dari setiap bahan, baik bahan utama maupun bahan
tambahan sekecil apapun harus dilakukan analisis potensi bahaya
b. Menentukan kelompok bahaya pada bahan baku dan produk, tahap
kedua dalam analisis potensi bahaya adalah penentuan kelompok bahaya
dari bahan baku, produk antara, dan produk akhir, yang dibagi menjadi
6 kelompok bahaya, yaitu bahaya A, B, C, D, E, dan F.
6
c. Menentukan kategori resiko, setelah ditentukan kelompok bahaya dari
bahan baku dan produk, selanjutnya ditentukan kategori resiko dari
setiap bahan baku, bahan antara dan bahan produk. Kategori resiko
terbagi menjadi tujuh, yaitu dari kategori 0 – VI.
7
Keputusan (Decision Tree) (Surono, dkk., 2016). Menurut Rauf bahan baku
tidak dipertimbangkan apakah sebagai CCP atau bukan. Namun setiap bahan
baku perlu diuji apakah membawa bahaya yang kritis sehingga perlu
dipertimbangkan untuk memberi perlakuan CCP pada bahan baku tersebut. Jika
diputuskan bahwa bahan baku tersebut membawa bahaya yang kritis sehingga
perlu ditangani dengan suatu tahap atau proses, maka tahap atau proses yang
mengendalikan bahaya tersebut adalah CCP. Bahan baku tersebut bukan
merupakan CCP, namun membutuhkan CCP.
3. Prinsip 3, menetapkan batas kritis (CL atau Critical Limits) yang harus dicapai
untuk menjamin bahwa CCP berada dalam kendali.
Batas kritis merupakan satu atau lebih toleransi mutlak yang harus
dipenuhi untuk menjamin keamanan pangan dari suatu produk Thaheer (2005).
Cara praktis untuk menentukan batas kritis dari suatu CCP adalah dengan
menggunakan parameter yang lebih cepat terdeteksi. Sebagai contoh, tahap
perebusan untuk menghilangkan bakteri patogen, lebih praktis menggunakan
indikator suhu dan waktu sebagai batas kritis. Dengan asumsi bahwa pada suhu
dan waktu tersebut, bakteri patogen telah dimatikan. Untuk produk berbentuk
padat perlu diperhitungkan waktu pemanasan yang dibutuhkan untuk mencapai
suhu 72°C pada bagian dalam produk, ditambah 15 detik (Dian, 2018). Batas
kritis tidak boleh dikacaukan dengan batas operasi. Dalam suatu pengolahan,
bahan pangan direbus pada suhu 100°C selama 5 menit atau digoreng pada suhu
130°C selama 3 menit. Suhu dan waktu yang digunakan dalam kedua tahap
pengolahan tersebut merupakan batas operasi. Batas kritis kedua proses tersebut
adalah 72°C selama 15 detik. Jika perebusan dilakukan dibawah batas operasi,
misalnya 80°C, 15 menit, maka hal tersebut tidak berpengaruh terhadap
keamanan pangan karena masih berada di atas batas kritis. Namun jika
dilakukan dibawah batas kritis, misalnya 65°C, maka makanan yang dihasilkan
menjadi tidak aman dikonsumsi (Dian, 2018). Tahap atau proses yang
dimasukkan ke dalam batas kritis adalah hanya tahapan yang teridentifikasi
sebagai CCP. Potensi bahaya yang ditampilkan adalah bukan potensi bahaya
yang secara utuh ada pada bahan baku, namun hanya potensi bahaya yang dapat
dikendalikan oleh suatu CCP. Batas kritis bisa berubah, tergantung jenis
makanan, jenis bakteri patogen, dan proses. Suatu bahan yang mudah
mengalami kerusakan karena panas seperti susu, maka batas suhu dan waktu
8
kritisnya bisa diubah, misalnya menggunakan pemanasan suhu yang lebih tinggi
dan waktu dibuat yang lebih singkat. Namun penyesuaian batas kritis harus
melalui penelitian yang mendalam (Dian, 2018). Penentuan indikator batas
kritis bisa diperoleh dari beberapa sumber, yaitu:
a. Pedoman peraturan: pedoman lokal maupun internasional, Codex
Alimentarius, FDA, SNI, dan standar lainnya
b. Tenaga ahli: asosiasi profesi, ahli proses thermal, ahli pangan atau
mikrobiologi, perusahaan pembuat alat pengolahan pangan.
c. Studi penelitian: pengalaman dalam lingkungan industri, dan analisis
laboratorium.
4. Prinsip 4, menerapkan sistem pemantauan (monitoring) dari CCP dengan cara
pengujian dan pengamatan.
Penetapan prosedur pengendalian (monitoring) adalah prinsip HACCP
keempat yang dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan penetapan batas
kritis untuk setiap CCP. Penetapan prosedur pengendalian (monitoring)
dilakukan untuk mencegah keadaan sebuah CCP menjadi tidak terkontrol yang
berakibat pada peningkatan resiko dihasilkannya produk berbahaya,
mengidentifikasi masalah sebelum muncul, menemukan titik sebab suatu
masalah, serta membantu proses verifikasi dan pembuktian kelayakan sistem
HACCP (Sudibyo, 2008).
5. Prinsip 5, menetapkan tindakan perbaikan yang dilaksanakan jika hasil
pemantauan menunjukkan bahwa CCP tertentu tidak terkendali.
Tindakan perbaikan menurut Rauf (2013) adalah prosedur yang
dilakukan saat terjadi suatu penyimpangan dari batas kritis atau proses
berlangsung melewati batas kritis. Terjadinya penyimpangan dari batas kritis
dapat diketahui dari kegiatan monitoring. Tindakan perbaikan harus segera
diambil pada saat batas kritis terlampaui. Tindakan tersebut terencana, sehingga
prosedur perbaikan telah ditetapkan sebelumnya dan terdokumentasi pada
rencana HACCP. Prosedur perbaikan yang akan dilakukan telah dipastikan
bahwa tidak ada dampak bagi keamanan produk. Pilihan tindakan perbaikan
yang diambil jika terjadi penyimpangan adalah:
9
a. Produk diisolasi dan ditahan untuk dilakukan evaluasi keamanan
b. Dilakukan proses ulang
c. Proses dilanjutkan ke tahap berikutnya di mana penyimpangan pada
tahap tersebut dapat segera dikendalikan pada tahap selanjutnya
d. Produk dimusnahkan
6. Prinsip 6, menetapkan prosedur verifikasi yang mencakup dari pengujian
tambahan dan prosedur penyesuaian yang menyatakan bahwa sistem HACCP
berjalan efektif.
Prosedur verifikasi merupakan suatu kegiatan penerapan metode,
prosedur pengujian dan analisis, maupun tindakan evaluasi lainnya sebagai
tambahan pada sistem monitoring (pemantauan) guna mengetahui dan
memastikan tingkat kesesuaiannya terhadap sistem HACCP (Yesua, 2013).
Kalibrasi dilakukan pada peralatan dan instrumen yang digunakan dalam
monitoring atau verifikasi. Hal ini untuk menjamin keakuratan pengukuran. Jika
peralatan pengolahan telah dilengkapi indikator pengukuran, seperti alat
pengukur suhu, maka peralatan tersebut secara periodik dikalibrasi. Pengujian
mikrobiologi dilakukan pada produk akhir untuk memberikan keyakinan yang
tinggi bahwa produk yang dihasilkan aman dikonsumsi. Kegiatan verifikasi
dapat dilakukan setiap tahun satu kali.Verifikasi dapat dilakukan setiap saat,
jika (Dian, 2018):
a. Ada perubahan bahan baku
b. Ada perubahan proses atau kondisi proses
c. Ada kasus atau pengaduan yang merugikan
d. Terjadinya penyimpangan atau deviasi yang berulang
e. Adanya informasi baru tentang potensi bahaya atau tindakan
pengendalian, distribusi atau praktek penanganan konsumen yang baru
7. Prinsip 7, membangun dokumentasi mengenai semua prosedur dan pencatatan
yang tepat untuk prinsip-prinsip ini dan penerapannya, dokumentasi ini untuk
meyakinkan bahwa sistem tetap berkesinambungan dalam jangka panjang.
10
1. Pembentukan tim HACCP
Operasi pangan harus menjamin bahwa pengetahuan dan keahlian
spesifik produk tertentu tersedia untuk pengembangan rencana HACCP yang
efektif. Secara optimal, hal tersebut dapat dicapai dengan pembentukan sebuah
tim dari berbagai disiplin ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak tersedia,
diperlukan konsultasi dari pihak luar. Asapin lingkup dari program HACCP
harus diidentifikasi. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-segmen
mana saja dari rantai pangan tersebut yang terlibat dan penjenjangan secara
umum bahaya-bahaya yang dimaksudkan yaitu meliputi semua jenjang bahaya
atau hanya jenjang tertentu
2. Deskripsi Produk
Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk informasi
mengenai komposisi, struktur fisik/kimia (termasuk Aw, pH, dll), perlakuan-
perlakuan mikrosidal/statis (seperti perlakuan pemanasan, pembekuan,
penggaraman, pengasapan, dll) pengemasan, kondisi penyimpanan dan daya
tahan serta metoda pendistribusiannya.
3. Identifikasi Rencana Penggunaan
Rencana penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-kegunaan yang
diharapkan dari produk oleh produk atau konsumen. Dalam hal-hal tertentu,
kelompok-kelompok populasi yang rentan, seperti yang menerima pangan dari
institusi mungkin perlu dipertimbangkan.
4. Penyusunan Bagan Alir
Bagan alir harus disusun oleh tim HACCP. Dalam diagram alir harus
memuat semua tahapan dalam operasional produksi. Bila HACCP diterapkan
pada suatu operasi tertentu, maka harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan
sesudah operasi tersebut.
5. Konfirmasi Bagan Alir di Lapangan
Tim HACCP sebagai penyusun bagan alir harus mengkonfirmasikan
operasional produksi dengan semua tahapan dan jam operasi serta bilamana
perlu mengadakan perubahan bagan alir.
6. Pencatatan Semua Bahaya Potensial yang Berkaitan Dengan Setia Tahapan,
Pengadaan Suatu Analisis Bahaya dan Menyarankan Berbagai Pengukuran
Untuk Mengendalikan Bahaya-Bahaya yang Teridentifikasi
11
Tim HACCP harus membuat daftar bahaya yang mungkin terdapat pada
tiap tahapan dari produksi utama, pengolahan, manufaktur, dan distribusi
hingga sampai pada titik konsumen saat konsumsi. Tim HACCP harus
mengadakan analisis bahaya untuk mengidentifikasi program HACCP dimana
bahaya yang terdapat secara alami, karena sifatnya mutlak harus ditiadakan atau
dikurangi hingga batas-batas yang dapat diterima, sehingga produksi pangan
tersebut dinyatakan aman.
Dalam mengadakan analisis bahaya, apabila mungkin seyogyanya
dicakup hal-hal sebagai berikut:
a. Kemungkinan timbulnya bahaya dan pengaruh yang merugikan
terhadap kesehatan
b. Evaluasi secara kualitatif atau kuantitatif dari keberadaan bahaya
c. Perkembangbiakan dan daya tahan hidup mikroorganisme-
mikroorganisme tertentu
d. Produksi terus menerus toksin-toksin pangan, unsur –unsur fisika dan
kimia dan
e. Kondisi-kondisi yang memicu keadaan diatas
Tim HACCP harus mempertimbangkan tindakan pengendalian, jika asa
yang dapat dilakukan untuk setiap bahaya. Lebih jauh tindakan pengendalian
disyaratkan untuk mengendalikan bahaya-bahaya tertentu dan lebih jauh satu
hanya dikendalikan oleh tindakan pengawasan tertentu.
7. Penentuan TKK (Titik Kendali Kritis)
Untuk mengendalikan bahaya yang sama mungkin terdapat lebih dari
satu TKK pada saat pengendalian dilakukan. Penentuan dari TKK pada sistem
HACCP dapat dibantu dengan menggunakan pohon keputusan yang
menyatakan pendekatan pemikiran yang logis (masuk akal). Penerapan dari
pohon keputusan harus fleksibel, tergantung apakah operasi tersebut produksi,
penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, distribusi atau lainnya. Pohon
keputusan ini mungkin tidak dapat diterapkan pada setiap situasi. Pendekatan-
pendekatan lain dapat digunakan. Dianjurkan untuk mengadakan pelatihan
dalam penggunaan pohon keputusan.
Jika suatu bahaya telah teridentifikasi pada suatu tahap dimana
pengendalian penting untuk keamanan, dan tanpa tindakan pengendalian pada
tahap tersebut, atau langkah lainnya, amak produk atau proses harus
12
dimodifikasi pada tahap tersebut, atau pada tahap sebelum atau sesudahnya
untuk memasukan suatu tindakan pengendalian.
8. Penentuan Batas-Batas Kritis (Critical Limits) pada Tiap TKK (CCP)
Batas-batas limit harus ditetapkan secara spesifik dan divalidasi apabila
mungkin untuk setiap TKK. Dalam beberapa kasus lebih dari satu batas kritis
akan diuraikan pada suatu tahap khusus. Kriteria yang seringkali digunakan
mencakup pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban,
pH, Aw, keberadaan chlorine, dan parameter-parameter sensori seperti
kenampakan visual dan tekstur.
Batas kritis harus ditentukan untuk setiap PTK. Dalam beberapa kasus
batas kritis kriteria pengukurannya antara lain suhu, waktu, tingkat kelembaban,
pH, Aw dan ketersediaan chlorine dan parameter yang berhubungan dengan
panca indera ( penampakan dan tekstur).
9. Penyusunan Sistem Pemantauan Untuk Setiap TKK (CCP)
Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan terjadwal dari
TKK yang dibandingkan terhadap batas kritisnya. Prosedur pemantauan harus
dapat menemukan keahlian kendali pada TKK. Selanjutnya pemantauan
sejatinya secara ideal memberi informasi yang tepat waktu untuk mengadakan
penyesuaian untuk memastikan pengendalian proses untuk mencegah
pelanggaran dari batas kritis. Dimana mungkin, penyesuaian proses harus
dilaksanakan pada saat hasil pemantauan menunjukan kecenderungan ke arah
kehilangan kendali pada suatu TKK. Penyesuaian seyogyanya dilaksanakan
sebelum terjadi penyimpangan. Data yang diperoleh dari pemantauan harus
dinilai oleh orang yang diberi tugas, berpengetahuan dan berwenang untuk
melaksanakan tindakan perbaikan yang diperlukan. Apabila pemantauan tidak
berkesinambungan, maka jumlah atau frekuensi pemantauan harus cukup untuk
menjamin agar TKK terkendali. Sebagian besar prosedur pemantauan untuk
TKK perlu dilaksanakan secara cepat, karena berhubungan dengan proses yang
berjalan dan tidak tersedia waktu lama untuk melaksanakan pengujian analitis.
Pengukuran fisik dan kimia seringkali lebih disukai daripada pengujian
mikrobiologi, karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan sering menunjukan
pengendalian mikrobiologi dari produk. Semua catatan dan dokumen yang
terkait dengan kegiatan pemantauan TKK harus ditanda tangani oleh orang yang
melakukan pengamatan dan oleh orang yang melakukan pengamatan dan oleh
13
petugas yang bertanggung jawab melakukan peninjauan kembali dalam
perusahaan tersebut.
10. Penetapan Tindakan Perbaikan (corrective action)
Tindakan perbaikan yang spesifik harus dikembangkan untuk setiap
TKK dalam sistem HACCP agar dapat menangani penyimpangan yang terjadi.
Tindakan-tindakan harus memastikan bahwa CCP telah berada dibawah
kendali. Tindakan-tindakan harus mencakup disposisi yang tepat dari produk
yang terpengaruh. Penyimpangan dan prosedur disposisi produk harus
didokumentasikan dalam catatan HACCP.
11. Penetapan Prosedur Verifikasi
Penetapan prosedur verifikasi. Metoda audit dan verifikasi, prosedur dan
pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisa, dapat
dipergunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar.
Frekuensi verifikasi harus cukup untuk menginformasikan bahwa sistem
HACCP bekerja secara efektif. Contoh kegiatan verifikasi mencakup :
a. Peninjauan kembali system HACCP dan catatannya
b. Peninjauan kembali penyimpangan dan disposisi produk
c. Mengkonfirmasi apakah TKK dalam kendali
Apabila memungkinkan, kegiatan validasi harus mencakup tindakan
untuk mengkonfirmasi kemajuan semua elemen-elemen rencana HACCP
12. Penetapan Dokumentasi dan Pencatatan
Pencatatan dan pembukuan yang efisien serta akurat adalah penting
dalam penerapan sistem HACCP. Prosedur harus didokumentasi. Dokumentasi
dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi.
Contoh dokumentasi :
a. Analisi bahaya
b. Penentuan TKK
c. Penentuan Batas Kritis
Contoh pencatatan :
a. Kegiatan pemantauan Titik Kendali Kritis/TKK (CCP)
b. Penyimpangan dan tindakan perbaikan yang terkait
c. Perubahan pada sistem HACCP
d. Contoh lembaran kerja HACCP
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
HACCP adalah suatu alat yang digunakan untuk menilai tingkat bahaya,
memperkirakan kemungkinan risiko dan menetapkan ukuran yang tepat dalam
pengawasan. Pada awal tahun 1960, perusahaan pengolah pangan Pillsbury Company
bekerjasama dengan NASA (The National Aeronaties and Space Administration) dan
US Army’s Research, Development and Engineering Center, meneliti penerapan
HACCP. Dengan tujuan untuk mendapatkan makanan aman bagi Astronot. Konsep
pada awalnya dikembangkan dengan misi menghasilkan produk pangan bebas bakteri
patogen dan bakteri lainnya dikenal dengan nama program Zero-defects.
Penerapan HACCP di Indonesia dimulai pada tahun 1998, dan mengadopsi
HACCP menjadi SNI 01-4852-1998, sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis
serta pedoman penerapannya. Dengan digunakannya HACCP pada sistem manajemen
pengawasan dan pengendalian keamanan pangan di Indonesia diharapkan dapat
mencegah terjadinya bahaya, sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan
guna memenuhi tuntutan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian
mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir diproduksi masal dan
didistribusikan.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa tulisan di atas masih banyak kesalahan dan jauh dari
kata sempurna. Hal ini dikarenakan kurangnya literatur terbaru mengenai topik
bahasan. Penulis akan memperbaiki tulisan ini dengan pedoman pada banyak pihak
serta yang bersifat membangun dari para pembaca. Selain itu, tulisan ini dapat di
kembangkan lagi oleh pembaca dengan menambah literatur terbaru dan terpercaya.
15
DAFTAR PUSTAKA
BSN. (1998). SNI 01-4852-1998. Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis
(HACCP) serta Pedoman Penerapannya. Sni 01-4852-1998, 1.
Daulay, Sere Saghranie & Madya, Widyaiswara. (2000). Hazard Analysis Critical Control
Point (HACCP) dan implementasinya dalam industri pangan. Pusdiklat Industri.
Jakarta.
Suter, I Ketut. 2020. Sejarah Perkembangan HACCP. Program Studi Teknologi Pangan
FakultasTeknologi Pertanian Universitas Udayana.
https://www.scribd.com/presentation/479724433/I-SEJARAH-DAN-
PERKEMBANGAN-HACCP-2020
16