Anda di halaman 1dari 47

Laporan Kepaniteraan Umum Gizi Institusi

“Analisis Penerapan HACCP pada Pembuatan Rendang”

Nama/NIM:

Zulfahmi Syahid (1707026073)


Varadila Mustika Rani (1707026029)
Hani Eka Apriliya (1707026013)
Diajeng Hemas Devi Irawan (1707026068)
Faiqotur Rokhmah (1707026094)
Lu’lu’ Hanifatush Sholihah (1707026017)
Risna Nida Framesty (1707026009)
Evilia Reza Kirana (1707026058)
Desta Ellen Rizki Nur C. (1707026076)
Fauza Amanda Sabilla (1707026069)
Alifia Putri Arianti (1707026062)
Desi Lestari (1707026065)

PROGRAM STUDI GIZI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya kepada kita semua. Tak lupa pula sholawat serta salam tetap tercurahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarganya dan para sahabatnya
dan serta para pengikutnya sampai pada hari kiamat nantinya dan tentunya kita
nantikan syafaatnya kelak.

Alhamdulillah, kami telah menyelesaikan laporan kepaniteraan umum


(PANUM) gizi institusi yang merupakan salah satu persyarataan untuk dapat
mengikuti Praktik Kerja Gizi (PKG) Dalam laporan ini kami membahas studi
kasus pada gizi institusi yang telah diberikan kepada kelompok kami yaitu
tentang penerapan HACCP. Kami menyadari bahwa laporan yang telah kami buat
ini masih banyak terdapat kekurangan dan keterbatasan. Dorongan keluarga,
bimbingan dosen, teman-teman dan berbagai pihak yang membantu kami
sehingga tulisan ini dapat terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami
menghaturkan hormat dan rasa terimakasih kepada:

1. Seluruh Dosen Gizi FPK UIN Walisongo, yang telah memberikan studi kasus
pada kami dan memberikan arahan selama proses kenapiteraan umum (PANUM)
berlangsung.
2. Teman-teman yang terlibat langsung dalam membantu menyelesaikan laporan
ini.
3. Kami juga berterima kasih kepada dosen pembimbing kelompok kami yakni
Ibu Zana Fitriana Octavia, S.Gz., M.Gizi

Tentunya kami berharap laporan yang telah kami susun dapat bermanfaat bagi
kita semua. Apabila di dalam laporan ini terdapat kesalahan, kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran dari dosen maupun teman-teman kami
harapkan dapat menjadikan laporan-laporan kedepannya menjadi lebih baik.
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyelenggaraan makanan adalah suatu rangkaian kerja yang didalamnya
mencakup tenaga manusia, material, dana, peralatan dan berbagai sumber daya
lainnya. Penyelenggaraan makanan ini bertujuan untuk mendapatkan kualitas
serta cita rasa makanan yang disajikan dapat memuaskan konsumen serta dapat
menekan biaya penyelenggaraan makanan pada tarif yang wajar tanpa
mengurangi kualitas pelayanannya (Rotua dan Siregar,2015). Menurut Aritonang
(2014), penyelenggaraan makanan adalah suatu rangkaian kegiatan yang dimulai
dari proses perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan kepada
konsumen. Tujuan dari penyelenggaraan makanan ini adalah untuk mencapai
status kesehatan yang optimal melalui pemberian diet yang tepat yang
didalamnya juga terdapat pencatatan,pelaporan serta evaluasi. Penyelenggaran
makanan bukan berbicara tentang merencanakan menu,mengolah,menyimpan dan
menyajikan bahan makanan, tetapi mencakup juga hal yang lebih kompleks
seperti fasilitas yang memadai, peraturan perundang-undangan,anggaran,
ketenagaan, peralatan, hygiene-sanitasi dan lain sebagainya. Penyelenggaraan
makanan dalam jumlah besar (massal) memiliki beberapa klasifikasi berdasarkan
jenis institusinya. Salah satu contoh penyelenggaraan makanan dalam jumlah
besar (massal) yakni yang terdapat pada pelayanan kesehatan seperti rumah sakit,
puskesmas, ataupun klinik perawatan. Berdasarkan aspek manajemen
penyelenggaraan makanan, rumah sakit menjadi sistem penyelenggaraan
makanan yang paling kompleks (Hardinsyah & Supariasa,2016).

Sistem penyelenggaraan makanan harus memperhatikan berbagai macam


aspek termasuk pula hygiene dan sanitasi makanan. Hal itu menjadi sangat
penting karena berhubungan dengan kualitas makanan yang disajikan kepada
konsumen. Selama proses penyelenggaraan makanan yang dimulai dari
penerimaan bahan makanan, penyimpanan, penyiapan, pemasakan, pengemasan,
pemorsian dan pendistribusian kepada konsumen terdapat potensi bahan makanan
mengalami kontaminasi sehingga makanan menjadi berbahaya jika dikonsumsi.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem yang dapat menjamin keamanan pangan
yang disajikan kepada konsumen. Sistem yang dapat diterapkan dalam upaya
menjaga keamanan pangan yakni HACCP. HACCP (Hazard Analysis and
Critical Control Points) adalah suatu sistem pendekatan ilmiah,rasioanl dan
sistematik untuk mengidentifikasi,menilai, dan mengendalikan bahaya. Sistem ini
bertujuan untuk mencegah bahaya (fisik,kimia,biologis) agar tidak
mengontaminasi makanan dan mengurangi resiko terjadinya bahaya dengan
melakukan pengendalian pada setiap titik kritis dalam proses produksi makanan.
Oleh karena itu, penerapan HACCP dalam penyelenggaraan makanan dapat
dilakukan sebagai upaya untuk menjamin bahwa makanan yang akan
didistribusikan kepada konsumen tetap aman untuk dikonsumsi
(Suroyo,dkk,2016).
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

1.2.1.1 Mengetahui definisi dan fungsi Hazard Analysis Critical


Control Point (HACCP)

1.2.1.2 Mengetahui penerapan Hazard Analysis Critical Control


Point (HACCP)

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Mengetahui spesifikasi setiap bahan yang digunakan dalam


pembuatan rendang

1.2.2.2 Mengetahui bahaya dan resiko yang terjadi pada bahan


pangan, cara pengolahan dan lingkungan

1.2.2.3 Mengetahui cara mencegah bahaya yang mungkin dapat


terjadi pada bahan pangan, proses pengolahan, dan faktor
lingkungan

1.2.2.4 Mengetahui CCP pada bahan pangan dan proses pengolahan.

1.2.2.5 Menerapkan HACCP.

1.3 Manfaat

1.3.1 Bagi mahasiswa, penyelesaian kasus ini dapat dijadikan


pembelajaran untuk mengetahui tentang Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP) khususnya pada menu rendang

1.3.2 Bagi dosen, penyelesaian kasus ini dapat digunakan sebagai bahan
ajar tambahan dalam proses belajar mengajar
1.3.3 Bagi masyarakat, penyelesaian kasus ini dapat dijadikan acuan dan
informasi tambahan dalam mengolah menu rendang

1.3.4 Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, penyelesaian kasus ini dapat


menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian tentang
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) menu rendang
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1HACCP

2.1.1 Pengertian
Analisis bahaya dan pengendalian titik kritis (Hazard Analysis
Critical Control Point) HACCP didefinisikan sebagai suatu
pendekatan ilmiah, rasional, dan sistematik untuk mengidentifikasi,
menilai dan mengendalikan bahaya. HACCP ini merupakan 10
sistem jaminan keamanan pangan dalam industri makananan yang
sudah dikenal dan berlaku secara Internasional (Surono, dkk., 2016).
Konsep HACCP merupakan penggabaungan dari prinsip
mikrobiologis makanan, pengawasan mutu, dan penilaian resiko
untuk mencapai tingkat keamanan setinggi mungkin. Meskipun
bergitu, penerapan HACCP tidak berarti menghentikan
pertumbuhan bakteri hingga ke titik nol, melainkan
meminimalkannya ke tingkat yang dapat dianggap aman. Sistem ini
menilai kendali atas mutu bahan mentah, sistem pengolahan,
lingkungan tempat proses dilangsungkan, orang-orang yang terlibat
dalam proses, dan sistem penyimpanan serta distribusi (Arisman,
2009).
HACCP terdiri dari 12 langkah dimana 7 prinsip HACCP
tercakup di dalamnya. Berikut adalh langkah-langkah penyusunan
dan penerapan HACCP menurut (Dewanti, 2013) :
1. Menyusun tim HACCP
2. Deskripsikan Produk
3. Identifikasi penggunaan yang dituju
4. Menyusun diagram alir
5. Verifikasi diagram alir
6. Daftarkan semua bahaya potensial, lakukan analisis bahaya,
tentukan tindakan pengendalian
7. Tentukan CCP
8. Tetapkan Batas kritis untuk setiap CCP
9. Tetapkan sistem pemantauan untuk setiap CCP
10. Tetapkan tindakan koreksi untuk penyimpangan yang mungkin
terjadi
11. Tetapkan prosedur verifikasi
12. Tetapkan penyimpanan catatan dan dokumentasi

2.1.2 Prinsip
Secara teoritis ada tujuh prinsip dasar penting dalam penerapan
sistem HACCP pada industri pangan. Ketujuh prinsip dasar penting
HACCP yang merupakan dasar filosofi HACCP tersebut menurut
Rauf (2013) adalah :
1. Analisis Potensi Bahaya Analisis bahaya
Analisis bahaya merupakan prinsip pertama dari tujuh
prinsip HACCP yang tertuang di dalam dua belas langkah
penerapan sistem HACCP. Analisis bahaya dilakukan untuk
mengidentifikasi potensi-potensi bahaya termasuk penyebabnya
serta menentukan peluang kejadian atau resiko (risk) dan tingkat
keparahan (severity) pada setiap tahapan proses (Brown, 2000).

Analisis potensi bahaya


Jenis Bahaya Contoh

Biologi Bakteri, virus, kapang, protozoa dan


serangga
Kimia Toksin alami (sianida), allergen,
pestisida, mikotoksin
Fisik Kerikil, logam, kaca, rambut

Sumber: Rauf (2013)


Analisis potensi bahaya dilakukan dalam tiga tahap yaitu :
a. Menetukan potensi bahaya dan tindakan pengendalian,
merupakan potensi bahaya dari setiap bahan, baik bahan utama
maupun bahan tambahan sekecil apapun harus dilakukan
analisis potensi bahaya
b. Menentukan kelompok bahaya pada bahan baku dan produk,
tahap kedua dalam analisis potensi bahaya adalah penentuan
kelompok bahaya dari bahan baku, produk antara, dan produk
akhir, yang dibagi menjadi 6 kelompok bahaya, yaitu bahaya A,
B, C, D, E, dan F.

Kelompok bahaya pada bahan baku dan produk


Kelompok Karakteristik Bahaya
Bahaya

Bahaya A Kelompok produk khusus yang terdiri dari


produk nonsteril yang ditunjukkan untuk
konsumen berisiko tinggi seperti bayi, ibu
hamil, ibu menyusui, orang sakit, dan lansia.
Bahaya B Produk mengandung bahan yang sensitif
terhadap bahaya biologis, kimia, dan fisik.
Bahaya C Di dalam produksi tidak terdapat tahap yang
dapat membunuh mikroorganisme berbahaya
atau mencegah/menghilangkan bahaya kimia
atau fisik.
Bahaya D Produk yang kemungkinan mengalami
pencemaran kembali setelah pengolahan
sebelum pengemasan.
Bahaya E Kemungkinan dapat terjadi kontaminasi
kembali selama distribusi, penjualan atau
penanganan oleh konsumen, sehingga
produk menjadi berbahaya bila dikonsumsi.
Bahaya F Tidak ada proses pemanasan setelah
pengemasan yang dapat menghilangkan
bahya biologis atau tidak ada cara konsumen
untuk mendeteksi, menghilangkan bahaya
kimia atau fisik.

Sumber: Rauf (2013)


c. Menentukan kategori resiko, setelah ditentukan kelompok
bahaya dari bahan baku dan produk, selanjutnya ditentukan
kategori resiko dari setiap bahan baku, bahan antara dan bahan
produk. Kategori resiko terbagi menjadi tujuh, yaitu dari
kategori 0 – VI.

Kategori resiko dari bahan baku dan produk


Kategori Keterangan

0 Tidak mengandung bahaya A-F


I Mengandung 1 bahaya B-F
II Mengandung 2 bahaya B-F
III Mengandung 3 bahaya B-F
IV Mengandung 4 bahaya B-F
V Mengandung 4 bahaya B-F
VI Mengandung bahaya A, dengan atau tanpa
bahaya B-F

Sumber: Rauf (2013)


2. Titik Kendali Kritis
CCP (Critical Control Point) dapat didefinisikan sebagai
titik, atau tahapan atau prosedur dalam pengolahan makanan
yang dapat dikendalikan sehingga bahaya dapat dicegah atau
diturunkan pada tingkat yang dianggap aman. Untuk
menetapkan apakah suatu tahapan proses dapat dikategorikan
sebagai titik kritis atau bukan, maka digunakan Bagan Logika
atau Pohon Keputusan (Decision Tree) (Surono, dkk., 2016).
Menurut Rauf bahan baku tidak dipertimbangkan apakah
sebagai CCP atau bukan. Namun setiap bahan baku perlu diuji
apakah membawa bahaya yang kritis sehingga perlu
dipertimbangkan untuk memberi perlakuan CCP pada bahan
baku tersebut. Jika diputuskan bahwa bahan baku tersebut
membawa bahaya yang kritis sehingga perlu ditangani dengan
suatu tahap atau proses, maka tahap atau proses yang
mengendalikan bahaya tersebut adalah CCP. Bahan baku
tersebut bukan merupakan CCP, namun membutuhkan CCP.
3. Batas Kritis
Batas kritis merupakan satu atau lebih toleransi mutlak
yang harus dipenuhi untuk menjamin keamanan pangan dari
suatu produk (Thaheer, 2005). Cara praktis untuk menentukan
batas kritis dari suatu CCP adalah dengan menggunakan
parameter yang lebih cepat terdeteksi. Sebagai contoh, tahap
perebusan untuk menghilangkan bakteri pathogen, lebih praktis
menggunakan indikator suhu dan waktu sebagai batas kritis.
Dengan asumsi bahwa pada suhu dan waktu tersebut, bakteri
pathogen telah dimatikan. Untuk produk berbentuk padat perlu
diperhitungkan waktu pemanasan yang dibutuhkan untuk
mencapai suhu 72°C pada bagian dalam produk, ditambah 15
detik (Dian, 2018).
Batas kritis tidak boleh dikacaukan dengan batas operasi.
Dalam suatu pengolahan, bahan pangan direbus pada suhu
100°C selama 5 menit atau digoreng pada suhu 130°C selama 3
menit. Suhu dan waktu yang digunakan dalam kedua tahap
pengolahan tersebut merupakan batas operasi. Batas kritis kedua
proses tersebut adalah 72°C selama 15 detik. Jika perebusan
dilakukan dibawah batas operasi, misalnya 80°C, 15 menit,
maka hal tersebut tidak berpengaruh terhadap keamanan pangan
karena masih berada di atas batas kritis. Namun jika dilakukan
dibawah batas kritis, misalnya 65°C, maka makanan yang
dihasilkan menjadi tidak aman dikonsumsi (Dian, 2018).

Pohon keputusam CCP


Tahap atau proses yang dimasukkan ke dalam batas kritis
adalah hanya tahapan yang teridentinfikasi sebagai CCP. Potensi
bahaya yang ditampilkan adalah bukan potensi bahaya yang
secara utuh ada pada bahan baku, namun hanya potensi bahaya
yang dapat dikendalikan oleh suatu CCP. Batas kritis bisa
berubah, tergantung jenis makanan, jenis bakteri pathogen, dan
proses. Suatu bahan yang mudah mengalami kerusakan karena
panas seperti susu, maka batas suhu dan waktu kritisnya bisa
dirubah, misalnya menggunakan pemanasan suhu yang lebih
tinggi dan waktu dibuat yang lebih singkat. Namun penyesuaian
batas kritis harus melalui penelitian yang mendalam (Dian,
2018).
Penentuan indikator batas kritis bisa diperoleh dari beberapa
sumber, yaitu:
a. Pedoman peraturan: pedoman lokal maupun internasional,
Codex Alimentarius, FDA, SNI, dan standar lainnya
b. Tenaga ahli: asosiasi profesi, ahli proses thermal, ahli pangan
atau mikrobiologi, perusahaan pembuat alat pengolahan pangan.
c. Studi penelitian: pengalaman dalam lingkungan industri, dan
analisis laboratorium.

4. Monitoring / Pengawasan
Penetapan prosedur pengendalian (monitoring) adalah
prinsip HACCP keempat yang dilakukan setelah terlebih dahulu
dilakukan penetapan batas kritis untuk setiap CCP. Penetapan
prosedur pengendalian (monitoring) dilakukan untuk mencegah
keadaan sebuah CCP menjadi tidak terkontrol yang berakibat
pada peningkatan resiko dihasilkannya produk berbahaya,
mengidentifikasi masalah sebelum muncul, menemukan titik
sebab suatu masalah, serta membantu proses verifikasi dan
pembuktian kelayakan sistem HACCP (Sudibyo, 2008).

5. Tindakan Perbaikan
Tindakan perbaikan menurut Rauf (2013) adalah prosedur
yang dilakukan saat terjadi suatu penyimpangan dari batas kritis
atau proses berlangsung melewati batas kritis. Terjadinya
penyimpangan dari batas kritis dapat diketahui dari kegiatan
monitoring. Tindakan perbaikan harus segera diambil pada saat
batas kritis terlampaui. Tindakan tersebut terencana, sehingga
prosedur perbaikan telah ditetapkan sebelumnya dan
terdokumentasi pada rencana HACCP. Prosedur perbaikan yang
akan dilakukan telah dipastikan bahwa tidak ada dampak bagi
keamanan produk. Pilihan tindakan perbaikan yang diambil jika
terjadi penyimpangan adalah:
a. Produk diisolasi dan ditahan untuk dilakukan evaluasi
keamanan
b. Dilakukan proses ulang
c. Proses dilanjutkan ke tahap berikutnya di mana penyimpangan
pada tahap tersebut dapat segera dikendalikan pada tahap
selanjutnya
d. Produk dimusnahkan

6. Prosedur Verifikasi
Prosedur verifikasi merupakan suatu kegiatan penerapan
metode, prosedur pengujian dan analisis, maupun tindakan
evaluasi lainnya sebagai tambahan pada sistem monitoring
(pemantauan) guna mengetahui dan memastikan tingkat
kesesuaiannya terhadap sistem HACCP (Yesua, 2013).
Kalibrasi dilakukan pada peralatan dan instrumen yang
digunakan dalam monitoring atau verifikasi. Hal ini untuk
menjamin keakuratan pengukuran. Jika peralatan pengolahan
telah dilengkapi indikator pengukuran, seperti alat pengukur
suhu, maka peralatan tersebut secara periodik dikalibrasi.
Pengujian mikrobiologi dilakukan pada produk akhir untuk
memberikan keyakinan yang tinggi bahwa produk yang
dihasilkan aman dikonsumsi. Kegiatan verifikasi dapat
dilakukan setiap tahun satu kali. Verifikasi dapat dilakukan
setiap saat, jika (Dian, 2018):
a. Ada perubahan bahan baku
b. Ada perubahan proses atau kondisi proses
c. Ada kasus atau pengaduan yang merugikan
d. Terjadinya penyimpangan atau deviasi yang berulang
e. Adanya informasi baru tentang potensi bahaya atau tindakan
pengendalian, distribusi atau praktek penangan konsumen
yang baru

7. Pemeliharaan Catatan / Penyimpanan Dokumen


Menurut Thaheer (2005) prosedur dokumentasi dan
penyimpanan dokumen memiliki beberapa tujuan, yaitu :
a. Bukti keamanan produk berkaitan dengan prosedur dan proses
yang ada
b. Jaminan pemenuhan terhadap peraturan
c. Kemudahan pelacakan / penelusuran dan peninjauan catatan
d. Dokumentasi data pengukuran menuju catatan permanen
mengenai keamanan produk pangan
e. Sumber tinjauan data yang diperlukan pada proses audit
HACCP
f. Rekaman / catatan haccp dapat lebih terpusat pada isu
keamanan pangan sehingga mempercepat proses identifikasi
masalah
g. Membantu mengidentifikasi lot ingredient, bahan pengemas,
dan produk akhir apabila timbul masalah keamanan pangan yang
memerlukan prosedur penarikan produk dari pasaran sesegera
mungkin

2.1.3 Tujuan
Tujuan dan sasaran HACCP adalah memperkecil
kemungkinan adanya kontaminasi mikroba patogen dan
memperkecil potensi mereka untuk tumbuh dan berkembang. Secara
individu setiap produk dan sistem pengolahannya dalam industri
pangan harus mempertimbangkan rencana pengembangan HACCP.
Setiap produk dalam industri pangan yang dihasilkannya akan
mempunyai konsep rencana penerapan HACCP masing-masing
disesuaikan dengan sistem produksinya.
1. Bagi industri pengolahan pangan,

Sistem HACCP sebagai sistem penjamin keamanan pangan


mempunyai kegunaan dalam hal, yaitu:

a. Mencegah penarikan produk pangan yang dihasilkan

b. Mencegah penutupan pabrik

c. Meningkatkan jaminan keamanan produk

d. Pembenahan dan pembersihan pabrik

e. Mencegah kehilangan pembeli/pelanggan atau pasar

f. Meningkatkan kepercayaan konsumen dan mencegah


pemborosan biaya atau kerugian yang mungkin timbul karena
masalah keamanan produk.

2. Dalam proses penyelenggaraan makanan di Rumah Sakit

HACCP dapat mengurangi resiko terjadinya bahaya


sehingga makanan yang dikonsumsi pasien terjaga kebersihan
dan keamanannya.

2.1.4 Penerapan

Penerapan prinsip-prinsip HACCP terdiri dari tugas-tugas


berikut sebagaimana terlihat pada tahap-tahap penerapan HACCP:

1. Pembentukan tim HACCP

Operasi pangan harus menjamin bahwa pengetahuan


dan keahlian spesifik produk tertentu tersedia untuk
pengembangan rencana HACCP yang efektif. Secara optimal,
hal tersebut dapat dicapai dengan pembentukan sebuah tim
dari berbagai disiplin ilmu. Apabila beberapa keahlian tidak
tersedia, diperlukan konsultan dari pihak luar. Adapun lingkup
dari program HACCP harus diidentifikasi. Lingkup tersebut
harus menggambarkan segmen-segmen mana saja dari rantai
pangan tersebut yang terlibat dan penjenjangan secara umum
bahaya-bahaya yang dimaksudkan (yaitu meliputi semua
jenjang bahaya atau hanya jenjang tertentu).

2. Deskripsi produk

Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk


informasi mengenai komposisi, struktur fisika/kimia
(termasuk Aw, pH, dll.), perlakuan-perlakuan mikrosidal/statis
(seperti perlakuan pemanasan, pembekuan, penggaraman,
pengasapan, dll.), pengemasan, kondisi penyimpanan dan daya
tahan serta metoda pendistribusiannya.

3. Identifikasi rencana penggunaan

Rencana penggunaan harus didasarkan pada kegunaan-


kegunaan yang diharapkan dari produk oleh pengguna produk
atau konsumen. Dalam hal-hal tertentu, kelompok-kelompok
populasi yang rentan, seperti yang menerima pangan dari
institusi, mungkin perlu dipertimbangkan.

4. Penyusunan bagan alir

Bagan alir harus disusun oleh tim HACCP. Dalam


diagram alir harus memuat segala tahapan dalam operasional
produksi. Apabila HACCP diterapkan pada suatu operasi
tertentu, maka harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan
sesudah operasi tersebut
5. Konfirmasi Bagan Alir di Lapangan

Tim HACCP, sebagai penyusun bagan alir harus


mengkonfirmasikan operasional produksi dengan semua
tahapan dan jam operasi serta bilamana perlu mengadakan
perubahan bagan alir.

6. Pencatatan Semua Bahaya Potensial yang Berkaitan Dengan


Analisa Bahaya, Penentuan Tindakan Pengendalian

Tim HACCP harus membuat daftar bahaya yang


mungkin terdapat pada tiap tahapan dari produksi utama,
pengolahan, manufaktur, dan distribusi hingga sampai pada
titik konsumen saat konsumsi serta harus mengadakan analisis
bahaya untuk mengidentifikasi program HACCP dimana
bahaya yang terdapat secara alami, karena sifatnya mutlak
harus ditiadakan atau dikurangi hingga batas-batas yang dapat
diterima, sehingga produksi pangan tersebut dinyatakan aman.

7. Penentuan CCP

Untuk mengendalikan bahaya yang sama mungkin


terdapat lebih dari satu CCP pada saat pengendalian
dilakukan. Penentuan dari CCP pada sistem HACCP dapat
dibantu dengan menggunakan pohon keputusan.

8. Penentuan batas-batas kritis (critical limits) pada tiap CCP

Batas-batas limit harus ditetapkan secara spesifik


dan divalidasi apabila mungkin untuk setiap CCP. Kriteria
yang sering digunakan mencakup pengukuran-pengukuran
terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban, pH, Aw,
keberadaan chlorine, dan parameter-parameter sensori seperti
kenampakan visual dan tekstur.

9. Penyusunan sistem permantuan untuk setiap CCP

Pemantauan merupakan pengukuran atau


pengamatan terjadwal dari CCP yang dibandingkan terhadap
batas kritisnya. Prosedur pemantauan harus dapat menemukan
kehilangan kendali pada CCP.

10. Penetapan tindakan perbaikan

Tindakan perbaikan yang spesifik harus


dikembangkan untuk setiap CCP dalam sistem HACCP agar
dapat menangani penyimpangan yang terjadi.

11. Penetapan prosedur verifikasi

Penetapan prosedur verifikasi. Metoda audit dan


verifikasi, prosedur dan pengujian, termasuk pengambilan
contoh secara acak dan analisa, dapat dipergunakan untuk
menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar.
Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan
bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif.

12. Penetapan dokumentasi dan pencatatan

Pencatatan dan pembuktian yang efisien serta


akurat adalah penting dalam penerapan sistem HACCP.
Prosedur harus didokumentasikan. Dokumentasi dan
pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya
operasi.

II.2Tinjauan Bahan Makanan (Rendang)

Rendang merupakan salah satu makanan khas dari minangkabau


yang cukup terkenal di berbagai daerah Indonesia bahkan dunia. Rendang
adalah salah satu masakan tradisional Minangkabau yang menggunakan
daging dan santan kelapa sebagai bahan utama dengan kandungan bumbu
yang kaya akan rempah-rempah. Selain bahan dasar daging, rendang
menggunakan santan kelapa dan campuran dari berbagai bumbu khas
yang dihaluskan diantaranya cabe, serai, lengkuas, kunyit, jahe, bawang
putih, bawang merah. Keunikan rendang adalah penggunaan bumbu-
bumbu alami, yang bersifat antiseptik dan membunuh bakteri patogen
sehingga bersifat sebagai bahan pengawet alami. Bawang putih, bawang
merah, jahe dan lengkuas diketahui memiliki aktivitas antimikroba yang
kuat (Wikipedia, 2019). Masakan dengan cita rasa pedas ini sangat
digemari oleh seluruh kalangan masyarakat, tua, muda maupun dari
berbagai suku (Erwin,2013).

Bahan-Bahan rendang

Daging Sapi
1. Daging sapi

Daging sapi yang digunakan adalah daging bagian rump atau tunjang
atau bagian punggung belakang sapi seperti cube roll atau top side. Hal
ini dikarenakan daging-daging tersebut tidak banyak mengandung lemak
baik lemak luar atau bagian jaringan lemak yang berada di dalam daging.
Sehingga, ketika dimasak dengan suhu tinggi dalam waktu yang lama
daging tersebut tidak akan hancur (sutomo, 2012). Istilah randang dalam
dunia kuliner juga bisa dikategorikan dengan metode memasak
dengan cairan atau Moist Heat Cooking Method. Dimana salah satu
metode memasak nya ialah dengan cara Stew. Metode memasak “Stew”
ialah proses memasak dengan memotong bagian daging dengan
potongan dadu atau chunk, yang kemudian dimasak dengan
menggunakan liquid atau cairan yang berasal dari kaldu ataupun sauce
dengan api yang kecil dan waktu yang lama (Gisslen, 2015). Hal tersebut
sama dengan cara pembuatan rendang. Hanya saja cairan yang
digunakan berasal dari santan dan waktu pemasakan yang bisa lebih
lama. Maka dari itu bagian daging yang cocok untuk pembuatan
rendang sesuai dengan kriteria daging yang digunakan untuk metode
memasak stew.
2. Santan Kelapa

Bahan berikutnya yang merupakan bahan utama dalam pembuatan


bumbu rendang ialah santan kelapa. Santan kelapa ini dihasilkan dari jenis
kepala tua yang diperas dengan menggunakan alat tradisional jika dibuat
secara tradisional. Santan kelapa memberikan cita rasa yang gurih dan
lezat. Secara nutrisi santan kelapa bebas laktosa dan bisa dijadikan
alternative pengganti susu sapi bagi mereka yang vegan. Namun dari
beberapa sumber juga disebutkan bahwa santan lebih banyak mengandung
lemak jenuh jika dibandingkan kandungan yang terdapat pada susu sapi
(Lewin, 2016).

3. Bumbu Rempah

Selain kedua bahan utama tadi, aspek yang paling penting dalam
membuat rendang adalah bumbu dan rempah-rempah lokal yang
memperkaya cita rasa. Ada beberapa versi resep yang didalamnya
menjelaskan mengenai bumbu-bumbu yang digunakan dalam memasak
rendang. Masing-masing daerah di Sumatra barat memiliki perbedaan
bumbu dan rempah. Namun demikian, beberapa bumbu dan rempah yang
pada umumya sering dijumpai dalam pembuatan rencang adalah antara
lain; cabai merah, daun kunyit, daun jeruk purut, serai, salam, lengkuas,
kayu manis, asam kandis dan gelugur, jintan, ketumbar, dan pala. Dengan
banyaknya bumbu dan rempah yang dipakai dalam pembuatan rendang,
menjadikan rendang dapat mewakili citarasa kuliner nusantara dalam
kancah internasional.
III. HASIL PENERAPAN HACCP

III.1 Analisis Masalah


III.2 Penetapan Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis
III.2.1 Deskripsi Produk Pangan

SPESIFIKASI PARAMETER
Nama produk Rendang
Komposisi Daging sapi, santan, cabai merah,
daun jeruk purut, kunyit,
lengkuas,kayu manis,ketumbar,
jintan, asam kandis,asam gelugur,
kemiri, pala, bawang merah,
bawang putih,jahe, santan
Pengemasan - Plastik untuk makanan
- Kertas pembungkus nasi
Masa Kadaluarsa - 2 hari
- 7 hari (apabila dipanaskan
kembali)
Tempat Produk Dijual Rumah Makan Padang
Penggunaan Produk Langsung dikonsumsi
Kondisi Penyimpanan Disajikan di etalase menggunakan
mangkuk
Distribusi Pendistribusian dari dapur ke
tempat penyajian/etalase
menggunakan mangkuk

III.2.2 Identifikasi Penggunaan Produk


Produk Rendang daging
Penyajian Setelah diolah langsung dapat
dikonsumsi
Konsumen Anak-anak hingga dewasa
III.2.3 Bagan Alir Proses Produksi

1. Penyusunan Diagram Alir Proses Pengolahan Rendang

1 kg daging sapi 20 butr bawang merah, 10


Kelapa butir bawang putih, 1
sendok cabai ,15 gram
kunyit, 25 gram lengkuas, 5
Pemotongan Daging Penyiapan
gram jahe, asam, ketumbar,
selama 30 mnt (pemarutan,
5 buah kemiri, I sendok teh
penambahan
jintan, 3 gram pala, garam
air, pemerasan
Pencucian Daging
selama 10 menit
Pencucian Bumbu

20 liter santan
Pemasakan daging 1kg dengan Bumbu dihaluskan/
1500ml air selama dan pengggilingan selama
masukkan bumbu yang sudah 20 menit
ditumis, dan masukkan santan
setelah bumbu meresap dalam
Bumbu ditumis
daging tambahkan santan
dengan ditambahkan
dimasak dalam waktu 2 jam bumbu serai, daun
dengan suhu 90℃ jeruk, daun kunyit

Pemasakan (daging yang


sudah dibumbuhi
dicampur dengan santan)
dimasak selama 1 jam
dengan suhu 90℃

Penyimpanan daging
rendang yang sudah Penyajian selama Rendang
dimasak di pisah urang dari 3 jam dikonsumsi
dengan kuah dengan dengan suhu >60℃
suhu ruang 27-30℃
Konfirmasi Diagram Alir Proses Pengolahan Rendang

1 kg daging sapi 20 butr bawang merah, 10


Kelapa butir bawang putih, 1
sendok cabai ,15 gram
kunyit, 25 gram lengkuas, 5
Pemotongan Daging Penyiapan
gram jahe, asam, ketumbar,
selama 30 mnt (pemarutan,
5 buah kemiri, I sendok teh
penambahan
jintan, 3 gram pala, garam
air, pemerasan
Pencucian Daging
selama 10 menit
Pencucian Bumbu

20 liter santan
Pemasakan daging 1kg
Bumbu dihaluskan/
dengan 1500ml air selama pengggilingan selama
dan masukkan bumbu yang 20 menit
sudah ditumis, dan
masukkan santan setelah
bumbu meresap dalam Bumbu ditumis
daging tambahkan santan dengan ditambahkan
bumbu serai, daun
dimasak dalam waktu 2 jam
jeruk, daun kunyit
dengan suhu 90℃

Pemasakan (daging yang


sudah dibumbuhi
dicampur dengan santan)
dimasak selama 1 jam
dengan suhu 90℃

Penyimpanan daging
rendang yang sudah Penyajian selama Rendang
dimasak di pisah urang dari 3 jam dikonsumsi
dengan kuah dengan dengan suhu >60℃
suhu <5℃ selama 24
jam
3.2.4.1 Identifikasi bahaya dan analisis resiko bahaya setiap tahap proses
pembuatan

3.2.4.1.1 Analisa resiko

Istilah resiko dalam HACCP adalah peluang kemungkinan suatu bahaya


akan terjadi. Resiko keamanan pangan dibagi menjadi beberapa kategori tinggi,
sedang, rendah.

Produk Kategori Resiko Tinggi (1000)

I Produk yang mengandung ikan, telur, sayur,


serealia dan bahan susu yang perlu di
refrigasi.

II Daging segar, ikan mentah, dan produk


olahan susu

III Produk olahan dengan nilai pH 4,6 atau


lebih yang disterilisasi dalam wadah yang
ditutup

Produk Kategori Resiko Sedang (100)

I Produk kering atau beku yang mengandung


ikan, daging, telur, sayuran atau serealia
yang berkomposisi atau penggantinya dan
produk lain yang tidak termasuk dalam
regulasi higine pangan

II Sandwich dan kue pie daging untuk


konsumsi segar

III Produk berbasis lemak misal coklat,


margarin, spreads, mayones, dan dressing

Produk Kategori Resiko Rendah (10)


I Produk asam (nilai pH kurang dari 4,6)
seperti acar, buah-buahan, konsentrat buah,
sari buah dan minuman asam.

II Sayur mentah yang tidak diolah dan tidak


dikemas.

III Selai, marinade dan conserfres

IV Produk berkonveksionari berbasis gula

V Produk minyak

Pengelompokan yang perlu dipertimbangkan berdasarkan tingkat keakutan.

- Tingkat keakutan bahaya tinggi: bahaya yang mengancam jiwa manusia (1000).
- Tingkat keakutan bahaya sedang: bahaya yang mempunyai potensi mengancam
jiwa manusia (100).
- Tingkat keakutan bahaya rendah : bahaya yang mengakibatkan pangan tidak
layak konsumsi (10).1

Dalam penentuan signifikansi diperlukan ke dua indikator tersebut untuk


menentukan tingkat signifikansinya. Penentuan perhitungannya yaitu hasil perkalian
antara tingkat resiko dengan tingkat keakutan. Pembagian kategori signifikansi
terbagi menjadi 3 yaitu:

- 100-1.000 signifikansi rendah


- 10.000 signifikansi sedang
- 100.000-1.000.000 signifikansi tinggi

Tabel Identifikasi Bahaya


1
Nama Kategori Signifikansi
No Keakutan Jumlah
Bahan Resiko Bahaya

1. Daging sapi Tinggi Sedang 100.000 Tinggi


(1000) (100)

2. Jahe Rendah Rendah 100 Rendah


(10) (10)

3. Lengkiuas Rendah Rendah 100 Rendah


(10) (10)

4. Bawang Rendah Rendah 100 Rendah


merah (10) (10)

5. Bawang Rendah Rendah 100 Rendah


putih (10) (10)

6. Jintan Rendah Rendah 100 Rendah


(10) (10)

7 Asam Rendah rendah 100 rendah


kandis

7. Daun jeruk Rendah Rendah 100 Rendah


nipis (10) (10)

8. Daun Rendah Rendah 100 Rendah


bawang (10) (10)

9. Kemiri Rendah Rendah 100 Rendah


(10) (10)

10. Ketumbar Rendah Rendah 100 Rendah


(10) (10)

11. Garam Rendah Rendah 100 Rendah


(10) (10)

12. Gula Rendah Rendah 100 Rendah


(10) (10)

13. Kaleng Tinggi Sedang 100.000 Tinggi


(1000) (100)

14. Serai Rendah Rendah 100 Rendah


(10) (10)
3.2.4.1.2 Identifikasi Bahaya dan Cara Pencegahan pada Bahan

Tabel identifikasi bahaya dan cara pencegahan pada bahan


Analisa bahaya & Tindakan Pengendalian
Tahap
Identifikasi Potensi
Pengolahan Tindakan Pengendalian
Bahaya
Penerimaan Bahan Mentah
Daging sapi Biologi: mikroba 1.Ukur suhu internal
patogen produk pada lokasi yang
berbeda dengan
(Salomenlla,
menggunakan
S.Aureus, Clostridium
termometer yang sudah
Botulinum,
dikalibrasi
E. coli)
2.Suhu chillroom diatur
Fisik : tulang
dan diperiksa secaraa
Kimia : formalin
rutin dengan
menggunakan
thermometer yang telah
dikalibrasi.
2 Daun jeruk Fisik: debu dan 1. Pemeriksaan secara
goresan pada kulit visual terhadap bahan
Kimia : pestisida yang diterima.
Biologi : serangga 2. Melakukan pencucian
sebelum digunakan
Ketumbar Fisik: rusak (pecah) 1. Pemeriksaan secara
Biologi: berkapang visual terhadap bahan
yang diterima.
3. Membersihkan dari
kotoran dan dilakukan
penyimpanan diruang
kering
Jintan Fisik: rusak (pecah) 1. Pemeriksaan secara
Biologi: berkapang visual terhadap bahan
yang diterima.
2. Membersihkan dari
kotoran dan dilakukan
penyimpanan diruang
kering

Serai Fisik: rusak (pecah) 1. Pemeriksaan secara


Biologi: berkapang visual terhadap bahan yang
diterima.
Tabel Identifikasi Bahaya dan Cara
Pencegahan Pada Proses
Tahap Analisa Bahaya & Tindakan Pengendalian
Pengolahan Identifikasi Bahaya Tindakan pencegahan

Penerimaan Biologi: mikroba 1.Ukur suhu internal


Daging sapi patogen produk pada lokasi yang
berbeda dengan
(Salomenlla, s.
menggunakan
aureus,
termometer yang sudah
Clostridium
dikalibrasi
Botulinum,
2.Suhu chillroom diatur
E. coli)
dan diperiksa secara
rutin dengan
menggunakan
termometer yang telah
dikalibrasi.
Penerimaan Biologi: kapang, 1.Pastikan dalam
Bahan bumbu bakteri dalam bahan, penerimaan bumbu tidak
serangga dalam kondisi cacat
Fisik: debu, kotoran 2.Dilakukan penyimpanan
di tempat kering dan
tidak lembab
Pencucian Biologi: E. Coli 1.Memastikan air yang
peralatan Fisik: kotoran digunakan bersih dan
Kimia : cemaran aman
sabun 2.Membersihkan sampai
bersih tanpa meninggal
residu sabun
Pencucian Biologi: E. Coli 1. Memastikan air yang
bahan Fisik: kotoran digunakan bersih dan
Kimia : cemaran aman
pestisida 2. Menggunakan air yang
sudah difiltrasi
Penyimpanan Biologi: serangga, 1. Tempat penyimpanan
bumbu bakteri patogen, bumbu dalam kondisi
kapang ruang harus kering dan
Fisik: rusak atau ada tidak lembab
cacat, debu
Mixing Fisik: Rambu 1. Memakai penutup
Kimia: Residu kepala.
Sabun/alat 2. Pengecekan kondisi
pembersih kebersihan alat
1.2.4.1.4 Identifikasi
1.2.4.1.5 Bahaya dan Cara Pencegahan pada Lingkungan

Analisa bahaya & Tindakan Pengendalian


Tahap
Identifikasi Tindakan
Pengolahan
Bahaya Pengendalian

Pekerja Fisik: rambut, 1. Pekerja


asesoris menggunakan APD
Biologi: infeksi 2. Pekerja dalam
penyakit keadaan sehat
Kimia : parfum 3. Menjaga kebersihan
Peralatan Kimia: cemaran 1. Tidak menggunakan
logam (karat) alat yang berkarat
1.2.4.2 Biologi: bakteri 2. Peralatan dalam
Penetapan
Fisik : cacat, debu kondisi baik
CCP
Ruangan Fisik: debu Menjaga higine dan
pada
Biologi: sanitasi ruangan
Staphylococcus
Suhu Biologi : E.coli, Melakukan
Salmonella, pengontrolan suhu
Staphylococcus ruang.
Proses’

Input /tahap Bahaya P1 P2 P3 P4 CCP /


proses Bukan

Penerimaan B: S. Y Y CCP
daging sapi Aureus
,
Clostridiu
m
Botulinum,
E coli

Pemotongan F : debu, Y T T Bukan


daging sapi rambut, ccp
bulu

Pemerasan F : debu Y T T Bukan


santan rambut CCP

Pembuatan F : debu, Y Y CCP


bumbu rambut,
krikil
B:
1.2.4.3 Diagram Penetapan CCP pada proses
P1. Apakah terdapat bahaya pada
tahap/proses ini?

YA TIDA Modifikasi
K produk

Apakah pengendalian perlu


YA
untuk keamanan pangan ?

TIDA BUKAN
K CCP

P2. Apakah ada tindakan pencegahan untuk


mengendalikan bahaya tersebut?

TIDA YA CCP
K

P3. Apakah proses ini dirancang kusus untuk


menghilangkan atau mengurangi bahaya sampai aman?

TIDA YA
K

P4. Apakah bahaya dapat meningkat sampai batas


tidak aman?

TIDA YA P5. Apakahn proses selanjutnya


K dapat mengurangi atau
menghilangkan bahaya?

BUKAN
CCP
TIDAK YA

BUKAN CCP
CCP
1.2.4.4 Pertanyaan Penerapan CCP untuk bahan baku

Apakah terdapat bahaya dalam


bahan baku ini? (Q1) TIDAK

YA

BUKAN CCP

Apakah proses atau konsumen


akan menghilangkan bahaya
tersebut? (Q2)

TIDAK YA

CCP Apakah ada risiko kontaminasi


silang terhadap fasilitas atau
produk lain yang tidak dapat
dikendalikan? (Q3)

YA TIDAK
1.2.4.5 Tabel Penerapan HACCP

Tahap Bahaya Batas Pemantauan


Proses Kritis
Apa Dimana Bagaimana Kapan Siapa
Penerimaan Kimia : Plastik Plastik pasar Mengecek Saat Penjamah Mem
bahan baku senyawa yang jenis plastik membeli makanan yang
kimia digunak yang bahan kema
plastik an jenis dipakai baku aman
yang plastik penjual dan m
dipakai PP, sebagai yang
sebagai HDPE, wadah pang
wadah LDPE, bahan baku
dan PET
atau
terdapat
logo
serta
tulisan
aman
untuk
makana
n tulisan
aman
untuk
makanan
Penyiapan Fisik : debu Bebas dari Keadaan Dapur Pengecekan Setiap Penjamah Penja
bahan baku dan tanah benda bahan kembali bahan menyiapk makanan menc
yang asing baku baku yang an bahan baku
menempel (debu,tana yang sudah baku digun
pada bahan h) sudah disiapkan mem
baku,kotoran disiapkan
debu dari
langit-langit

Proses Kimia : Bebas dari Keadaan Dapur Pengecekan Setiap Penjamah Penjam
penyiapan alat- cairan bahan kimia alat-alat alat-alat masak menyiapka makanan memb
alat yang pencuci yang untuk yang akan n alat-alat alat ya
dipakai piring terdapat memasak dipakai memasak
pada cairan
pencuci
piring
Proses Biologi : Suhu saat Suhu pada Dapur Mengukur suhu Setiap Penjamah Penjam
pemasakan patogen memasak saat saat proses memasak makanan menga
yang tahan minimal memasak memasak rendang minim
terhadap 90°C suhu ti
panas memp
memp
pemas
Fisik : - Sanitasi Keadaan Dapur Mengecek Setiap Penjamah Penjam
debu,serpiha dapur yang rendang kebersihan memasak makanan memb
n batu baik pada saat dapur,dan alat rendah mengg
- Bebas dari dimasak masak cobek
benda asing keropo
(serpihan
batu,debu)
Penyimpanan Fisik : debu -Sanitasi Keadaan Etalase Mengecek Setiap Penjamah Penjam
dan distribusi etalase dan wadah dan dan rumah kebersihan penyimpan makanan memb
rumah tempat makan etalase dan an rendang dan ru
makan baik penyimpan rumah makan, di etalase mengg
- Bebas dari an mengecek ada tut
benda asing wadah yang
(debu) dipakai

Biologi : -Bebas Keadaan Etalase Mengukur suhu Setiap Penjamah Penjam


lalat sebagai dari rendang saat penyimpan makanan saat pe
perantara lalat saat penyimpanan an rendang dietala
kontaminasi penyimpan dan mengecek di etalase mengg
dan
bakteri,pertu an wadah yang ada tut
mbuhan bakteri
dipakai
bakteri -Suhu
penyimpan
an
>60°C

Kimia : Plastik atau Wadah Tempat Mengecek jenis Setiap Penjamah Penjam
senyawa kertas yang plastik/kertpenjual plastik/kertas membeli makanan mengg
kimia digunakan as yang plastik yang dipakai plastik/kert plastik
plastik/kerta cocok untuk dipakai as pembu
s makanan untuk
panas, jenis kemasan
plastik PP rendang
atau
terdapat
logo
serta tulisan
aman untuk
makanan
III. PEMBAHASAN

Rendang merupakan makanan khas yang berasal dari Padang, Sumatera Barat.
Makanan ini tidak hanya terkenal di kota kelahirannya saja, melainkan juga sudah
menjadi salah satu makanan popular bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan asal
katanya, rendang berasal dari ‘randang’ yang dalam Bahasa Padang berarti ‘pelan’.
Hal ini merujuk pada proses pembuatan rendang yang memerlukan waktu yang lama.
Rendang pada umumnya terbuat dari daging sapi yang dimasak dengan santan dan
ditambahkan berbagai macam bumbu. Dalam perkembangannya, rendang tidak lagi
hanya menggunakan daging sapi, tetapi juga dapat menggunakan daging ayam,
daging kambing, udang, ikan, telur bahkan dapat menggunakan sayuran seperti
kentang. Penamaan masakan rendang pun mengacu pada bahan utamanya, seperti
rendang daging, rendang ayam, rendang ikan, rendang telur, dan rendang kentang
(Sutomo,2012). Rendang pada umumnya terbuat dari daging,santan,cabai merah,daun
jeruk purut,serai, lengkuas,kayu manis,jintan,ketumbar,asam kandis,asam
gelugur,kemiri,pala,bawang merah,bawang putih,dan jahe. Selama proses pengolahan
rendang tentunya tidak terlepas dari resiko makanan tersebut terkontaminasi oleh
faktor luar seperti cemaran fisik,biologi maupun kimia. Hal itu tidak terlepas dari
penggunaan bahan makanan dalam jumlah banyak serta proses pengolahan yang
memakan waktu lama sehingga lebih beresiko terkena kontaminasi dari luar.

Studi kasus yang kami terima adalah tentang kasus keracunan makanan yang
terjadi di salah pabrik pengolahan makanan di Jawa Timur. Hal yang dilakukan
untuk menganalisis kasus keracunan ini adalah menggunakan prinsip penerapan
HACCP. Analisis kasus keracunan ini akan diidentifikai dengan melihat melihat titik
kendali kritis (CCP) selama proses pengolahan rendang. Pada pengolahan rendang
titik kendali kritis terdapat pada bahan baku dan juga proses pengolahannya. Bahan
baku pengolahan rendang terdiri atas daging, santan, dan juga bumbu. Daging yang
diperoleh dari pasar kemungkinan bisa tercemar oleh cemaran fisik berupa debu dan
kayu. Hal itu karena proses pemotongan daging yang dilakukan menggunakan alas
kayu dan penjualan daging di lakukan di tempat terbuka. Namun hal ini bisa
dihilangkan dengan cara mencuci daging dengan bersih sebelum diolah, sehingga
bukan menjadi titik kendali kritis. Selain itu, kemungkinan daging juga mengalami
cemaran biologis berupa masuknya bakteri ke dalam daging karena penjualan
dilakukan di tempat terbuka sehingga memungkinkan lalat sebagai pembawa bakteri
hinggap di daging serta daging yang tidak disimpan di dalam suhu rendah. Namun hal
ini juga tidak menjadi titik kendali kritis karena daging akan dimasak dalam waktu
lama dan suhu tinggi sehingga bakteri di dalamnya akan mati. Bahan baku
selanjutnya, yakni santan. Kemungkinan cemaran yang terjadi pada santan adalah
cemaran fisik dan biologi sama seperti pada daging. Cemaran biologi bisa
dihilangkan dengan proses pemanasan saat pengolah rendang. Cemaran fisik pada
santan mungkin saja terjadi jika tidak ada penyaringan kembali sebelum santan diolah
sehingga memungkinkan serabut kelapa, batok kelapa, debu,rambut masih tertinggal
di dalam santan tersebut. Hal yang dapat dilakukan untuk menghilangkan bahaya ini
adalah dengan menyaring kembali santan sebelum diolah dan para pekerja
menggunakan penutup kepala selama proses pengolahan rendang. Bahan berikutnya,
yaitu bumbu. Bumbu, juga rentan tercemar oleh cemaran fisik dan biologi. Cemaran
biologi dapat dihilangkan dengan proses pemasakan yang dilakukan, sehingga tidak
menjadi titik kendali kritis. Cemaran fisik, bisa menjadi titik kendali kritis karena
tidak menutup kemungkinan pada proses penghalusan bumbu, terdapat debu,tanah
yang menempel pada bumbu, dan juga rambut. Solusi untuk menangani masalah ini
adalah dengan mencuci bumbu dengan bersih sebelum diolah dan para pekerja
menggunakan penutup kepala selama proses pengolahannya.

Proses pengolahan rendang terdapat terdapat beberapa Critical Control Point


(CCP) yang harus diperhatikan. Pertama adalah proses penerimaan bahan baku dari
pasar. Bahaya yang signifikan adalah senyawa kimia yang berasal dari plastic sebagai
wadah yang digunakan dalam membungkus daging. Batas kritis dalam proses ini
adalah menggunakan jenis plastik PP, HDPE, LDPE, dan PET atau terdapat logo
serta tulisan aman untuk makanan. Oleh karena itu, solusi yang dapat diberikan
adalah memilih pemasok daging yang dapat menjamin kemasan yang digunakan itu
aman untuk digunakan sesuai dengan batas kritis yang telah ditetapkan. Proses
selanjutnya yang menjadi Critical Control Point (CCP) adalah penyiapan bahan
baku. Bahaya yang signifikan untuk proses ini adalah bahaya fisik berupa debu dan
kotoran yang masih menempel pada bahan baku. Batas kritis dari proses ini adalah
semua bahan baku yang digunakan telah bersih dari segala macam cemaran fisik
tersebut. Solusi yang dapat dilakukan adalah mencuci kembali bahan baku sebelum
diolah serta para pekerja rutin untuk membersihkan tempat pengolahan
rendang.Critical Control Point (CCP) selanjutnya yaitu proses penyiapan alat-alat
yang digunakan untuk memasak. Bahaya yang signifikan adalah bahaya kimia yang
berasal dari cairan pencuci piring yang digunakan. Oleh karena itu proses pencucian
alat yang digunakan harus benar-benar bersih untuk mengatasi bahaya kimia ini.

Critical Control Point (CCP) selanjutnya yaitu proses pemasakan. Proses


pemasakan ini terdapat dua bahaya yang mungkin menjadi sumber kontaminasi
yaitu bahaya fisik dan biologi. Bahaya fisik berasal dari debu, atau serpihan
batu/kayu yang berasal dari ulekan dan cobek yang digunakan. Solusinya dalam
mengatasi masalah ini adalah dengan rajin membersihkan ulekan dan cobek yang
digunakan atau menggantinya dengan blender yang relatif lebih aman serta
penjamah makanan rajin membersihkan dapur dan menggunakan APD saat
mengolah masakan. Bahaya biologi adalah berasal dari bakteri patogen yang tahan
panas. Solusinya adalah dengan memasak/mengolah rendang dengan menggunakan
suhu minimal 900 C agar bakteri patogen tersebut dapat mati sehingga rendang
aman untuk dikonsumsi.
Critical Control Point (CCP) yang terakhir yaitu penyimpanan dan
distribusi. Bahaya yang signifikan pada proses ini adalah bahaya fisik,biologis dan
kimia. Bahaya fisik berasal dari debu yang mungkin saja terdapat pada wadah
rendang yang tidak menggunakan penutup maupun etalase yang belum
dibersihkan. Solusinya yaitu dengan menyimpan rendang dengan menggunakan
penutup dan rajin membersihkan etalasenya. Bahaya biologis berasal dari lalat
sebagai perantara bakteri. Bahaya ini bisa muncul apabila etalase penyimpanan
rendang tidak ditutupi dengan tirai atau pembatas lainnya yang dapat mencegah
masuknya lalat untuk mengkontaminasi rendang tersebut. Oleh karena itu, penting
bagi rumah makan untuk selalu menyiapkan tirai/pembatas untuk mencegah
masuknya lalat sebagai pembawa bakteri patogen ini. Bahaya terakhir yaitu bahaya
kimia. Bahaya ini berasal dari penggunaan plastik untuk membungkus rendang.
Pemilik rumah makan harus memastikan bahwa plastik yang digunakan adalah
plastik yang aman untuk menjadi wadah bagi makanan.
IV. Kesimpulan dan Saran

IV.1 Kesimpulan

Studi kasus tentang keracunan makanan yang terjadi di salah satu pabrik
pengolahan makanan di Jawa Timur akibat mengonsumsi rendang dapat diidentifikasi
menggunakan penerapan dari HACCP. Identifikasinya bisa dilakukan dengan melihat
Critical Control Point (CCP) dalam proses pembuatan rendang tersebut. Sebelum
menetapkan Critical Control Point (CCP) dilakukan identifikasi bahaya pada menu
rendang dan hasilnya produk tersebut memiliki resiko terhadap bahaya fisik,kimia
maupun biologis. Setelah itu, analisis lebih lanjut dilakukan untuk menetapkan CCP
pada bahan baku maupun proses pengolahannya untuk membuat pengendalian
pencegahan bahaya agar produk aman untuk dikonsumsi. Tahapan-tahapan CCP
dalam pembuatan rendang ini yaitu penerimaan bahan baku (daging,santan,bumbu),
penyiapan bahan baku (daging,santan,bumbu), proses penyiapan alat-alat yang
dipakai, prose pemasakan, proses penyimpanan dan distribusi.

IV.2 Saran

Belajar dari kasus keracunan makanan ini, kita menjadi sadar bahwa
penerapan HACCP dalam proses pengolahan makanan menjadi sangat penting. Hal
ini karena HACCP adalah suatu sistem yang menjamin bahwa makanan yang
dikonsumsi itu aman. Oleh karena itu, produsen makanan harus bisa menerapkan
sistem HACCP agar makanan yang dihasilkan tetap aman hingga ke konsumen.
Daftar Pustaka

Arisman. 2009. Keracunan Makanan. Jakarta: EGC


Aritonang, Irianton. 2014. Penyelenggaraan Makanan. Jakarta : PT Leutika
Nouvalitera
Brown, A. 2000. Understanding food: Principles and Preparation. USA: wadsworth.
Dewanti, Ratih. 2013. HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) Pendekatan
Sistematik Pengendalian Keamanan Pangan. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Dian, I. 2018. Analisis Bahaya dan Titik Kritis (HACCP)Pada ayam Bumbu Bali Di
Aerofood ACS Balikpapan. 150309282894_2018, 1-42.
Erwin, Lilly T. 2013. Aneka Olahan Rendang. Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama.
Gisslen, Wayne. 2015. Professional Cooking 9th Edition. USA. Wiley & Sons.

Rauf, R. 2013. Sanitasi Pangan & HACCP. Yogyakarta: Graha Ilmu.


Rotua, Manuntun & Rohanta Siregar. (2015). Manajemen Sistem. Penyelenggaraan.
Makanan Institusi Dasar. Jakarta: Penerbit Buku. Kedokteran EGC.

Sudibyo, A. 2008. Penyiapan Kelayakan Persyaratan Dasar Dan Penyusunan Rencana


HACCP (Hazard Analysis and Critial Control Point) Untu Produsi Mie Kering
Pada PT. Kuala Pangan di Citeurep, Bogor.
Surono, dkk. 2016. Pengantar Keamanan Pangan Untuk Industri Pangan.
Yogyakarta: Deepublish.
Sutomo, Budi. 2012. Rendang (Juara Masak Terlezat Sedunia Veri CNN GO).
Jakarta:Kawan Pustaka.

Taheer, H. 2005. Sistem Manjemen HACCP. Jakarta: Bumi Aksara.


Wikipedia. 2019.https://min.wikipedia.org/wiki/Randang. Diakses tanggal 25 Juli
2020

Yesua. (2013). Kajian Aplikasi HACCP Pada Proses Produksi Ayam Goreng Di
Salah Satu Restoran Cepat Saji Di Kota Bogor.

Anda mungkin juga menyukai