I. KONSEP PENYAKIT
A. Definisi Eliminasi
Eliminasi merupakan suatu proses pengeluaran zat-zat sisa yang
tidak diperlukan oleh tubuh. Eliminasi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
eliminasi urine dan eliminasi fekal. Eliminasi urine berkaitan dengan sistem
perkemihan, sedangkan eliminasi fekal erat kaitannya dengan saluran
pencernaan.
Menurut Tarwoto & Wartonah (2015), menyatakan bahwa eliminasi
merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh baik yang
melalui ginjal berupa urin maupun melalui gastrointestinal yang berupa
fekal.
B. Etiologi Eliminasi
1. Gangguan Eliminasi Urin
a. Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan
sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi
meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan,
akibatnya output urine lebih banyak.
b. Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan
tonus otot. Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung
kemih yang baik untuk tonus sfingter internal dan eksternal.
c. Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur
urethra
d. Infeksi
e. Kehamilan
f. Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
g. Trauma sumsum tulang belakang
h. Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,
urethra.
i. Umur
j. Penggunaan obat-obatan.
C. Patofisiologi / pathway
Pengendalian kandung kemih dan sfingter diperlukan agar terjadi
pengeluaran urine secara kontinu. Pengendalian memerlukan kegiatan
otot normal diluar kesadaran dan yang di dalam kesadaran yang
dikoordinasi oleh refleks urethrovesica urinaria. Bila terjadi pengisian
kandung kemih, tekanan didalam kandung kemih meningkat. Otot
detrusor (lapisan yang tiga dari dinding kandung kemih) memberikan
respon dengan relaksasi agar memperbesar volume daya tampung. Bila titik
daya tampung telah dicapai, biasanya 150 sampai 200 ml urin daya
rentang reseptor yang terletak pada dinding kandung kemih mendapat
rangsang. Stimulus ditransmisi lewat serabut refleks eferen ke
lengkungan pusat refleks untuk mikturisi. Impuls kemudian disalurkan
melalui serabut eferen dari lengkungan refleks ke kandung kemih,
menyebabkan kontraksi otot detrusor.
Sfingter internal yang dalam keadaan normal menutup, serentak
bersama-sama membuka dan urin masuk ke uretra posterior. Relaksasi
sfingter eksternal dan otot perincal mengikuti dan isi kandung kemih
keluar. Pelaksanaan kegiatan refleks bisa mengalami interupsi dan
berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls inhibitori dari
pusat kortek yang berdampak kontraksi diluar kesadaran dari sfingter
eksternal. Bila salah satu bagian dari fungsi yang komplek ini rusak,
bisa terjadi inkontinensia urin.
Pathway
D. Manifestasi Klinik/ Tanda dan Gejala
Gangguan Eliminasi urin
a. Retensi Urin
• Ketidak nyamanan daerah pubis.
• Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
• Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
• Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
• Ketidaksanggupan untuk berkemih
b. Inkontinensia urin
• Pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di WC
• Pasien sering mengompol
Gangguan Eliminasi Fekal
a. Konstipasi
• Menurunnya frekuensi BAB
• Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
• Nyeri rektum
b. Impaction/impaksi
• Tidak BAB
• Anoreksia
• Kembung/kram
c. Diare
d. Inkontinanesia Fekal
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pielogram Intravena/ Intravenous Pyelography (IVP)
2. Computerized Axial .
3. Ultra Sonografi (USG)
4. Prosedur Invasif
a. Sistoscopy
b. Biopsi Ginjal
c. Angiography (arteriogram)
5. Sitoure Terogram Pengosongan (volding cystoureterogram) :
pengisian kandung kemih dengan zat kontras melalui kateter.
6. Arteriogram Ginjal
.
F. Penatalaksanaan Medis
1. Pengumpulan urine untuk bahan pemeriksaan. Mengingat tujuan
pemeriksaan berbeda-beda, maka pengambilan sampel urine juga
dibeda-bedakan sesuai dengan tujuannya.
2. Menolong untuk buang air kecil dengan menggunakan urinal.
Menolong BAK dengan menggunakan urinal merupakan tindakan
keperawatan dengan membantu pasien yang tidak mampu BAK
sendiri dikamar kecil dengan menggunakan alat penampung dengan
tujuan menampung urine dan mengetahui kelainan urine berupa warna
dan jumlah urine yang dikeluarkan pasien.
3. Melakukan kateterisasi. Kateterisasi kandung kemih adalah
dimasukkannya kateter melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk
mengeluarkan air seni atau urine.
Objektif :
1) Distensi kandung kemih → Normalnya
ketika kandung kemih penuh tubuh
merespon untuk berkemih
2) Berkemih tidak tuntas (Hesitancy)
3) Volume residu urin meningkat
• Gejala minor
Sebjektif: tidak tersedia
Daftar Pustaka
1) Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia. Jakarta Selatan. DPP PPNI
2) Tim pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan
Indonesia. Jakarta Selatan. DPP PPNI
3) Tim pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan
Indonesia. Jakarta Selatan. DPP PPNI