Anda di halaman 1dari 91

BAB I Pendahuluan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah

Pembangunan jembatan di Indonesia lagi gencar gencarnya dilakukan oleh


pemerintah untuk mendongkrak perekonomian daerah terdampak. Akan tetapi
pembangunan jembatan yang dilakukan tidak selalu berjalan lancar, banyak
hambatan yang harus di pikirkan matang-matang supaya pembangunan jembatan
yang dibuat tidak menggangu akses yang terkadang tidak bisa kita ganggu dan
jika pembangunan di lakukan secara konvensional itu akan memerlukan waktu
yang lama dan biaya yang tidak sedikit.

Studi terdahulu [Armin,2018] terkait desain prestress girder memungkinkan


didapatkan desain yang optimal tetapi dengan kendala scaffolding, perlu
dilakukan studi terkait desain jembatan dengan metode balance cantilever.

Solusi untuk pembangunan jembatan jika mendapatkan hambatan adalah dengan


menggunakan metode balance kantilever dimana balance kantilever sistem
kerjanya memanfaatkan efek kantilever dan struktur dapat berdiri sendiri,
mendukung beratnya sendiri tanpa bantuan sokongan lain, dapat menghemat
kebutuhan sistem steger atau scaffolding. Atau meskipun pekerjaannya dilakukan
di atas sungai atau jalan tol, pekerjaan jembatan masih tetap bisa di lakukan.

Metode konstruksi jembatan biasanya lebih berfokus kepada struktur atas


(superstruktur) dikarenakan beban lalu lintas yang di dapat paling besar
sedangkan struktur paling bawah hanya mendapatkan beban untuk menyalurkan
ke pondasi.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikemukakan


permasalahan dalam perencanaan jembatan dengan menggunakan metode balance
kantilever, antara lain:

I-1
BAB I Pendahuluan

1. Bagaimana merencanakan struktur bangunan atas yang kuat, cepat dan


ekonomis.

2. Bagaimana merancanakan struktur bangunan atas dimana kita melewati


jalur utama seperti sungai, danau, laut, jalan tol, dimana metode pekerjaan
yang konvensional tidak memungkinkan untuk dilakukan.

1.3 Perumusan Masalah

Rumusan masalah berdasarkan latar belakang yang dibuat yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana menentukan panjang segmentasi jembatan?

2. Bagaimana memeriksa kondisi struktur per tahapan konstruksi


berdasarkan batasan-batasan yang ada di dalam standard code?

3. Bagaimana menentukan precamber agar alinyemen final sesuai dengan desain


perencanaan?

4. Bagaimana mentukan jumlah tendon pada saat konstruksi stage dan pada saat
service?

1.4 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui panjang segmentasi jembatan yang sesuai dengan kaidah


metode balance cantilever.

2. Melakukan pemodelan dan analisis struktur jembatan dengan metode


kontruksi balance cantilever.

3. Menentukan angka precamber agar alinyemen vertical jembatan sesuai


dengan perencanaan setelah kontruksi selesai.

4. Mengetahui jumlah tendon yang dibutuhkan pada saat konstruksi stage


dan pada saat service.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

I-2
BAB I Pendahuluan

1. Mengetahui prilaku struktur pada saat kontruksi dan dapat memastikan


tidak ada struktur yang gagal pada saat kontruksi.

2. Mengetahui prilaku struktur pada saat service dan dapat memastikan


tidak ada struktur yang gagal pada saat service.

3. Memberikan alternatif desain jembatan.

1.6 Ruang Lingkup Pembahasan

Ruang lingkup dan batas masalah yang penulis lakukan dalam penyusunan
penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Analisa dilakukan pada bagian superstructure jembatan

2. Tipe struktur atas jembatan yang dipakai adalah box girder prategang

3. Analisa dilakukan dengan memperhatikan construction stage

4. Penelitian difokuskan pada kebutuhan jumlah strands jembatan

5. Konsep jembaan bersifat full presstres.

1.7 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut :

1. BAB 1 PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang mengulas mengapa penelitian dilakukan
dan apa manfaat dan hasil yang diharapkan,maksud dan tujuan penelitian,
ruang lingkup pembahasan.

2. BAB 1I TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan konsep dasar jembatan prategang berisikan teori

3. BAB 1II METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan diagram alir penelitian atau tahapan kerja yang akan
dilakukan dalam penelitian ini.

4. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

I-3
BAB I Pendahuluan

Bab ini berisikan analisis perhitungan jumlah tendon dengan menggunakan


Microsoft Excel dan software Midas Civil.

5. BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis tentang analisis perhitungan
jumlah tendon dengan menggunakan metode balance kantilever.

I-4
BAB II Tinjauan Pustaka

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Jembatan

Jembatan adalah suatu konstruksi yang berfungsi meneruskan jalan melalui suatu
rintangan yang permukaannya lebih rendah. Rintangan ini dapat berupa jalan lain,
rel kereta api, irigasi, sungai, laut, dan lain-lain. Jembatan merupakan investasi
tertinggi dari semua elemen yang dapat dijumpai pada sistem jalan raya. Setiap
kerusakan pada konstruksi jembatan dapat menyebabkan timbulnya gangguan-
gangguan dalam kelancaran perputaran roda ekonomi dan dapat menimbulkan
kecelakaan bagi manusia.

2.2 Klasifikasi jembatan

Jenis jembatan berdasarkan fungsi, lokasi, bahan konstruksi, dan tipe struktur
sekarang ini telah mengalami perkembangan pesat sesuai dengan perkembangan
jaman dan teknologi, mulai dari konstruksi yang sederhana sampai pada
konstruksi yang mutahir. Berdasarkan fungsinya, jembatan dapat dibedakan
sebagai berikut:

a) Jembatan jalan raya (highway bridge)

b) Jembatan jalan kereta api (railway bridge)

c) Jembatan pejalan kaki atau penyeberangan (pedestarian bridge) Berdasarkan


lokasinya, jembatan dapat dibedakan sebagai berikut :

d) Jembatan diatas sungai, danau, atau laut

e) Jembatan diatas lembah

f) Jembatan diatas jalan yang ada (flyover)

g) Jembatan diatas saluran irigasi/drainase (culvert)

h) Jembatan di dermaga (jetty)

Berdasarkan bahan konstruksinya, jembatan dapat dibedakan sebagai berikut :

a) Jembatan kayu (log bridge)

II-1
BAB II Tinjauan Pustaka

b) Jembatan beton (concrete bridge)

c) Jembatan beton prategang (presstresed concrete bridge)

d) Jembatan baja (steel bridge)

e) Jembatan komposit (composite bridge)

Berdasarkan tipe strukturnya, jembatan dapat dibedakan menjadi beberapa


macam antara lain :

a) Jembatan pelat (slab bridge)

b) Jembatan pelat berongga (voided slab bridge)

c) Jembatan gelagar (girder bridge)

d) Jembatan rangka (truss bridge)

e) Jembatan pelengkung (arch bridge)

f) Jembatan gantung (suspension bridge)

g) Jembatan kabel (cable stayed bridge)

h) Jembatan kantilever (cantilever bridge)

2.3 Pembagian Elemen Struktur Jembatan

Elemen struktur utama penyusun jembatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

2.3.1 Struktur Atas (Superstructures)

Struktur atas jembatan merupakan bagian yang menerima beban langsung yang
meliputi berat sendiri, beban mati, beban mati tambahan, beban lalu lintas
kendaraan, gaya rem, beban pejalan kaki, dan lain-lain Struktur atas jembatan
umumnya terdiri dari:

1. Trotoar

a) Sandaran dan tiang sandaran

b) Peninggian trotoar (kerb)

c) Lantai trotoar

2. Lantai kendaraan

II-2
BAB II Tinjauan Pustaka

3. Gelagar induk

4. Balok diafragma

5. Ikatan pengaku (ikatan angin dan ikatan melintang)

6. Tumpuan (Bearing)

2.3.2 Struktur Bawah (Substructures)

Struktur bawah jembatan berfungsi untuk memikul seluruh beban struktur atas
dan beban lain yang ditimbulkan oleh tekanan tanah, aliran air dan hanyutan,
tumbukan, gesekan pada tumpuan dan sebagainya. Struktur bawah jembatan
umumnya meliputi:

1. Pangkal Jembatan (Abutmen)

a) Dinding belakang (Back wall)

b) Dinding penahan (Retaining wall)

c) Dinding sayap (Wing wall)

d) Oprit, plat injak (Approach slab)

e) Konsol pendek untuk jacking (Corbel)

f) Tumpuan (Bearing)

2. Pilar Jembatan (Pier)

a) Kepala pilar (Pier head)

b) Pilar (Pier), yang berupa dinding, kolom atau portal

c) Konsol pendek untuk jacking (Corbel)

d) Tumpuan (Bearing)

2.3.3 Pondasi (Foundation)

Pondasi jembatan berfungsi untuk meneruskan seluruh beban jembatan ke


tanah dasar. Jenis pondasi abutmen atau pier jembatan diantaranya :

1. Pondasi setempat (Spread footing)

2. Pondasi sumuran (Caisson)

II-3
BAB II Tinjauan Pustaka

3. Pondasi tiang (Pile foundation)

2.3.4 Perbedaan Beton Bertulang dengan Beton Prategang

Perbedaan antara beton bertulang dengan beton prategang adalah beton


bertulang mengkombinasikan beton dan tulangan baja dengan cara menyatukan
dan membiarkan keduanya bekerja bersama-sama.

Sedangkan beton prategang mengkombinasikan beton berkekuatan tinggi dan baja


(tendon) mutu tinggi dengan cara cara aktif.

Pembuatan beton prategang dicapai suatu cara menarik baja (tendon) dan
menahannya ke beton, jadi beton dalam keadaan tertekan baja (tendon).

Baja adalah bahan yang dikenal dengan kemampuan ketahanannya dan


bersifat liar. Hal itu menyebabkan baja mampu dibuat untuk bekerja dengan
kekuatan tarik yang tinggi oleh prategang.

2.4 Beton

Beton adalah campuran yang diformulasikan berdasarkan berat unsur-


unsur penyusun seperti agregat halus,agregat kasar,air,semen dan dengan atau
tanpa bahan tambahan yang setelah mengeras membentuk masa padat.

2.4.1 Sifat-Sifat Beton Keras

Sifat-sifat beton keras yang penting adalah kekuatan karakteristik,kekuatan


tekan,tegangan dan regangan,susut dan rangkak,reaksi terhadap
temperatur,keawetan dan kekedapan terhadapan air. Dari semua sifat tersebut
yang terpenting adalah kekuatan betob krena merupakan gambaran dari mutu
beton yang ada kaitannya dengan struktur beton.

2.4.2 Kekuatan Tekan

Kuat tekan beton adalah besarnya beban persatuan luas, yang


mengakibatkan benda uji beton hancur bisa dibebani gaya tekan tertentu yang
dihasilkan oleh mesin tekan.

Kuat tekan beton dipengaruhi oleh ;

a) Perbandingan air segmen dan tingkat pemadatannya.

II-4
BAB II Tinjauan Pustaka

b) Jenis segmen dan kualitasnya.

c) Jenis dan lekak-lekuk bidang permukaan agregat.

d) Pada kekuatan normal kekuatan bertambah sesuai umurnya

e) Kecepatan pengerasan beton bertambah dengan bertambahnya suhu.

f) Efesiensi dan perawatan.

2.4.3 Kekuatan Tarik

Kekuatan tarik beton berkisar seper delapan belas kuat desak beton pada
waktu umumnya masih muda dan brkisar seper dua puluh sesudahnya. Kekuatan
tarik biasanya tidak diperhitungkan didalam perencanaan jembatan beton kuat
tarik merupakan bagian penting didalam menahan retak-retak akibat perubahan
kadar air dan suhu.

2.4.4 Kekuatan Geser

Di dalam praktek, kekuatan geser beton selalu diikuti oleh kekuatan desak
dan tarik oleh lenturan bahkan di dalam pengujian tidak mungkin menghilangkan
elemen lentur.

2.4.5 Modulus Elastisitas

Modulus elastisitas merupakan rasio tegangan dengan regangan.


Nilai modulus elastisitas ini digunakan sebagai ukuran ketahanan suatu material
untuk mengalami deformasi elastis ketika gaya diterapkan pada material tersebut,
di mana deformasi adalah perubahan bentuk, posisi, dan dimensi dari suatu
objek. Modulus elastisitas didefiniskan sebagai kemiringan dari kurva tegangan-
regangan pada daerah deformasi elastis. Bahan yang lebih kaku akan
memiliki modulus elastisitas yang lebih tinggi.

2.4.6 Susut

Susut adalah berkurangnya volume elemen beton karena terjadi kehilangan


uap air ketika terjadi penguapan. Faktor – faktor yang mempengaruhi besarnya
susut adalah:

a. Agregat sebagai penahan susut pasta semen

II-5
BAB II Tinjauan Pustaka

b. Faktor air semen (semakin besar fas semakin besar pula efek susut)

c. Ukuran elemen beton (kelajuan dan besarnya susut akan berkurang bila
volume elemen betonnya semakin besar)

d. Kondisi lingkungan

e. Banyaknya penulangan

f. Bahan tambahan

2.4.7 Rangkak

Rangkak adalah penambahan terhadap waktu akibat beton yang bekerja.


Faktor – faktor yang mempengaruhi rangkak adalah:

a. Rangkak dikurangi bila kenaikan kekuatan semakin besar

b. Bila volume pasta semen bekurang maka rangkak berkurang.

c. Agregat

d. Rangkak bertambah bila agregat makin halus)

e. Perawatan

f. Umur

g. Kecepatan rangkak berkurang sejalan dengan umur beton

2.5 Baja Prategang

Baja yang digunakan disebut tendon yaitu beberapa baja yang


dikelompokkan membentuk kabel.

2.5.1 Jenis-Jenis Baja Prategang

Baja pada kontruksi prategang merupakan terjadinya pemendekatan pada


beton dikarenakan pengaruh rangkak dan susut. Kehilangan gaya prategang pada
baja sesaat setelah penegangan pada baja akibat gesekan disepanjang tendon atau
saat pengangkuran ujung (draw-in) akan mempengaruhi gaya prategang pada
beton dengan angka yang cukup signifikan. Baja yang digunakan sebagai tulangan
prategang berbentuk kawat kawat tunggal, strand yang terdiri atas beberapa kawat

II-6
BAB II Tinjauan Pustaka

yang dipuntir berbentuk elemen tunggal dan batang-batang bermutu tinggi. 3 jenis
prategang yang umum digunakan dalam beton prategang adalah :

a. Kawat-kawat relaksasi rendah atau stress-relieved takberlapisan,

b. Strand relaksasi atau stress-relieved strands takberlapisan

c. Baja-baja bermutu tinggi takberlapisan.

2.5.2 Reaksasi Baja

Relaksasi baja adalah kehilangan prategang apabila kawat-kawat atau


strand mengalami regangan yang pada dasarnya konstan. Relaksasi baja
tergantung pada tingkat tegangan pada baja dan bertambah secara konsisten ketika
tegangan pada baja bertambah. Pada suatu sistem prategang sering kali terjadi
kehilangan prategang akibat relaksasi baja. Jika baja prategang ditarik hingga
mencapai perpanjangan yang konstan dan dijaga tetap pada selang waktu tertentu
maka terlihat gaya prategang pada baja tersebut akan berkurang perlahan,
besarnya kehilangan tergantung suhu dan waktu. Baja terbagi menjadi dua jenis,
berdasarkan nilai relaksasinya, yaitu baja prategang relaksasi normal dan baja
prategang relaksasi rendah. Baja prategang relaksasi rendah umumnya sering
digunakan untuk pemakaian jangka panjang. Faktor-faktor yang mempengaruhi
relaksasi baja adalah sebagai berikut :

a. Pengaruh Suhu Suhu juga berpengaruh terhadap relaksasi baja. Perubahan


temperatur yang besar dapat mempengaruhi sifat-sifat mekanis baja, tetapi
perubahan yang tidak signifikan kurang dari 10 o C tidak banyak
berpengaruh pada sifat-sifat tersebut. Penambahan temperatur biasanya
dapat mengurangi kekuatan, modulus elastisitas dan relaksasi baja.
Pengurangan temperatur akan berakibat kebalikannya serta mengakibatkan
berkurangnya daktilitas baja

b. Kelelahan Kelelahan adalah ketahanan material baja terhadap perubahan


dan pengulangan tegangan. Tegangan yang berulang ini terjadi akibat
bekerjanya beban hidup pada struktur. Ketahanan baja terhadap kelelahan

II-7
BAB II Tinjauan Pustaka

dinyatakan dengan kurva yang menghubungkan batasan tegangan dan


jumlah pengulangan hingga keruntuhan.

c. Korosi Pengaruh korosi pada baja prategang lebih berbahaya daripada baja
nonprategang. Hal ini disebabkan karena korosi dapat mengurangi luas
penampang baja. Pada baja prategang pengurangan penampang lebih
berbahaya, karena tegangan yang bekerja lebih tinggi daripada baja
nonprategang

2.6 Tegangan Izin Beton & Baja Prategang Menurut SNI & ACI

2.6.1 Tegangan Izin Pada Beton Prategang

Tegangan izin pada beton prategang Perhitungan tegangan pada beton


prategang harus memperhitungkan hal-hal sbb. :

a. Kondisi pada saat transfer gaya prategang awal dengan beban terbatas
( dead load dan beban konstruksi ).

b. Kehilangan gaya prategang. Untuk perhitungan awal kehilangan gaya


prategang ini biasanya ditentukan 25 % untuk sistem pratarik ( pre-tension
) dan 20 % untuk sistem pascatarik ( post-tension ).

c. Pada kondisi servis dengan gaya prategang efektif ( sudah diperhitungkan


kehilangan gaya prategangnya ) dan beban maksimum ( beban mati, beban
hidup dan pengaruh- pengaruh lain ).

d. Perlu diperhitungkan pengaruh-pengaruh lain yang mempengaruhi struktur


beton prategang seperti adanya pengaruh sekunder pada struktur statis tak
tentu, pengaruh P delta pada gedung bertingkat tinggi, serta perilaku
struktur dari awal sampai waktu yang ditentukan.

Sebelum mempelajari lebih lanjut perlu mengetahui dahulu definisi dan


notasi penting yang akan digunakan, yaitu sebagai berikut :

 fpy = kuat leleh tendon prategang yang ditetapkan, (psi)

 fy = kuat leleh tulangan nonprategang yang ditetapkan, (psi)

 fpu = kuat tarik tendon prategang yang ditetapkan, (psi)

II-8
BAB II Tinjauan Pustaka

 f’c = kuat tekan beton yang ditetapkan, (psi)

 f’ci = kuat tekan beton pada saat prategang awal, (psi)

2.6.2 Tegangan yang di-ijinkan pada Tendon Prategang ( Sesuai ACI dan
SNI )

Tegangan tarik pada tendon tidak boleh melebihi :

a. Akibat gaya penarikan ( jacking ) : Tegangan tarik pada tendon tidak boleh
melebihi 0,94 fpy dan harus lebih kecil dari : − 0,80 f pu − Nilai
maksimum yang direkomendasikan oleh produsen tendon

b. Segera setelah transfer gaya prategang: Tegangan tarik pada tendon tidak
boleh melebihi 0,82 fpy dan tidak boleh lebih besar dari : 0,74 fpu.

c. Pada beton prategang dengan sistem pasca tarik, pada daerah angkur dan
sambungan segera setelah penyaluran gaya prategang, tegangan tarik pada
tendon tidak boleh melebihi 0,70 fpu.

Dimana : fpy = tegangan leleh baja prategang ( tendon ).

fpu = tegangan ultimate baja prategang ( tendon )

2.6.3 Tegangan Izin Pada Baja Prategang

Tegangan tarik di tendon prategang tidak boleh melebihi berikut ini :

a. Akibat gaya dongkrak pada tendon tetapi tidak boleh lebih besar daripada
yang terkecil di antara 0,80 fpu dan nilai maksimum yang di sarankan oleh
pembuat jangkar atau tendon
prategang...........................................................................................0,94 fpy

b. Segera setelah transfer prategang tapi tidak lebih besar dari 0,74 fpu
.................................................................................................0,82fpy

c. Tendon pascatarik, pada saat pengangkeran dan perangkaian, segera


setelah pengangkeran tendon...............................................................0,70
fpu

II-9
BAB II Tinjauan Pustaka

2.7 Sistem Beton Prategang & Pengangkeran

2.7.1 Sistem Pascatarik

Beton dicetak terlebih dahulu dengan sebelumnya sudah diletakkan


saluran untuk kabel baja dimasukkan ke dalam beton. Saluran ini disebut dengan
duct.

 Tahap 1 : Penyiapan duct melengkung dan cetakan (framework), kemudian


beton dicor

 Tahap 2 : Setelah beton cukup umur dan kuat menahan gaya prategang,
kemudian kabel baja dimasukkan ke dalam duct/saluran melengkung yang
sudah disediakan. Selanjutnya dilaukan penarikkan dengan menggunakan
jack 14 hydraulic. Penarikkan ini dilaukan pada salah satu sisi, sedangkan
pada sisi satunya dilakukan pengangkuran mati. Setelah diangkur,
kemudian pada ujung saluran dilakukan grouting

 Tahap 3 : Setelah pengangkura, balokbeton akan menjadi tertekan, maka


beton mengalami transfer gaya. Karena saluran tendon melengkung, maka
balok beton akan melegkung ke atas

2.7.2 Sistem Pratarik

Metode baja prategang diberi gaya prategang dulu sebelum di cor, oleh
karena itu disebut pretension method.

 Tahap 1 : Tendon pracetak ditarik atau diberi gaya prategang kemudian di


angker pada suatu abutment tetap

 Tahap 2 : Beton dicor pada cetakan dan landasan yang sudah disediakan
sedemikian sehingga melingkupi tendon yang sudah diberi gaya prategang
dan dibiarkan mengering.

 Tahap 3 : Setelah beton mongering dan cukup umur kuat menerima gaya
prategang, tendon dipotong dan dilepas, sehingga gaya prategang di
transfer ke beton

II-10
BAB II Tinjauan Pustaka

2.7.3 Penyuntikan (Grouting) Tendon Pascatarik

Untuk memberikan proteksi permanen pada baja pasca tarik dan untuk
mengembangkan lekatan antara baja prategang dan beton disekitarnya, saluran
prategang harus di isi bahan suntikan semen yang sesuai dalam proses
penyuntikan dibawah tekanan.

2.8 Metode Pelaksanaan Kontruksi Jembatan

Dalam periode saat ini konstruksi jembatan terus mengalami rekayasa


metoda dalam rangka menyesuaikan target bentang dan tipe konstruksi yang
bervariant,berikut adalah metode metode yang banyak di gunakan di dunia
konstruksi :

2.8.1 Metode Jembatan Beton

Secara Umum metode pelaksanaan jembatan beton dibedakan menjadi Cast


insitu dan Precast segmental. Cast insitu merupakan metode pelaksanaan
jembatan dimana dilakukan pengecoran di lokasi pembangunan sedangkan
Precast segmental merupakan metode pelaksanaan dimana beton di datangkan
dari luar berupa Precast yang sudah siap untuk dilakukan instalasi.

1. Metode Cast insitu terdiri dari :

a) Movable Scaffolding System

b) Increamental Launching Method

c) Balanced Cantilever dengan Form Traveller

d) Cable Stayed dengan Form Traveller

2. Metode Precast segmental terdiri dari :

a) Balance cantilever Erection With Launching Gantry

b) Balance cantilever Erection With Lifting Frames

c) Span by Span Erection With Launching Gantry

d) Balance cantilever With Cranes

e) Precast Beam

II-11
BAB II Tinjauan Pustaka

2.8.2 Metode Jembatan Balance Cantilever

Metode jembatan balance cantilever adalah metode pembangunan


jembatan dimana dengan memanfaatkan efek kantilever maka struktur dapat
berdiri sendiri,mendukung berat sendirinya tanpa bantuan sokongan lain
(perancah/scaffolding).

II-12
BAB III Metodologi Penelitian

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Diagram Alir Perencanaan

Prosedur perencanaan penyesuaian desain tendon sebagai berikut :

Gambar 3.1 Flowchart Penelitian

III-1
BAB III Metodologi Penelitian

3.2 Studi Pustaka

Studi pustaka mencakup dasar teori akan digunakan sebagai pedoman penyusunan
tugas akhir ini. Sumber yang digunakan berupa jurnal ilmiah, buku, media cetap
maupun elektronik dengan tidak mengabaikan peraturan SNI.

3.3 Pengumpulan Data

1. Data yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai literatur yang


dimuat oleh jurnal jurnal lama.

2. Gambar Form traveler diambil dari PT.Delta Systech Indonesia.

3. Material

a. Beton

• Mutu Beton : K600

• Berat jenis : 2500 kg/m3

b. Strands

• Jenis Stands 0,6 inch

• Uncoated stress-relieved seven wire strand.

• Grade-270 - ASTM A416.

• Nominal diameter : 15,24 mm

• Luas Penampang : 140,00 mm

• Modulus elastisitas : 1970000 kg/cm2

3.4 Segmentasi

a. Posisi Kabel Tendon

Posisi kabel tendon harus diatur sedemikian rupa sehingga tegangan tarik dan
tegangan tekan yang terjadi tidak melebihi tegangan izin yang diatur pada
peraturan SNI. Pada saat pendesainan jembatan dengan metode balance kantilever
harus di sesuaikan tendonnya antara pada saat tahap konstruksi dan tahap kondisi
layan menyesuaikan dengan tegangan letur yang terjadi.

III-2
BAB IV Analisa dan Pembahasan
b. Dimensi Segmentasi

Dalam proses desain jembatan dengan menggunakan metode balance kantilever


disyaratkan struktur jembatan pada saat proses kontruksi harus dalam keadaan
seimbang antara mid span dan side span dengan mendesain dimensi penampang
dan panjang segmen sedemikian rupa agar memiliki berat yang sama sehingga
tidak terjadi momen punter di pier.

3.5 Pembebanan Struktur Atas

Setiap komponen jembatan mempunyai fungsi yang berbeda – beda, dimana


setiap komponen menahan beban yang terjadi pada konstruksi tersebut.
Pembebanan jembatan ditentukan berdasarkan fungsi dari jembatan tersebut
apakah hanya sekedar pejalan kaki atau kendaraan serta beban - beban lain yang
di atur dalam SNI 1725 : 2016 tentang standar pembebanan jembatan.

Untuk pembebanan pada saat pendesainan balance kantilever menggunakan


beban pengecoran dan beban alat, dan untuk pembebanan pada saat kondisi layan
digunakan beban sendiri beton , beban parapet, beban aspal, beban lalu lintas.

3.6 Analisa Struktur

Analisis struktur dilakukan dengan bantuan Software Microsoft Excel dan


Software Midas Civil.

3.7 Kontrol Tegangan Izin dan Momen Service

Kontrol tegangan tarik dan tekan harus dibawah tegangan izin yang sesuai dengan
SNI 1725-2016
Untuk momen service harus dibandingkan dengan kapasitas momen jembatan apakah jembatan
tersebut kuat menahan momen service.

IV-1
BAB IV Analisa dan Pembahasan

BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1 Studi Pustaka

Jembatan untuk tugas akhir ini merupakan jembatan yang dibangun menggunakan

metode Balance Cantilever Method (BCM) dan kontruksi segmen box girdernya

dilakukan secara cast in situ dengan menggunakan alat Form traveler

4.1.1. Peraturan

 SNI -1725-2016 : Pembebanan untuk jembatan.


 SNI T-12-2004 : Perencanaan Struktur Beton untuk Jembatan.
4.1.2. Material

Material properties struktur dijabarkan sebagai berikut.

1) Beton

a) Span : fc’ 50 Mpa, Modulus Elastisitas : 33167.5 Mpa


b) Pier : fc’ 30 Mpa
2) Prestress

a) Strand – High Strength, Low Relaxation (ASTM A416 Grade


270)

Diameter 0,6’ (15,2 mm)


Area 140 mm2
Ultimate Strength Fs’=1860 Mpa
Yield Strength Fpy=1670 Mpa
Modulus of Elasticity Es=195000 Mpa

Table 4.1 Spesifikasi material Strand


3) Duct
Type Duct 19 Strand 0,6’
Diameter 100 mm
Table 4.2 Spesifikasi Duct

IV-2
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.1.3. Stress Limit

Berdasarkan RSNI T-12-2004,tegangan izin pada kondisi transfer gaya prategang disyaratkan
sebagai berikut:

Saat pekerjaan konstruksi (stressing),mutu beton saat stressing direncanakan sudah


mencapai fci = 28 Mpa.

1. Tegangan tekan
Post tension member : 0.6fci= 16,8 Mpa

2. Tegangan tarik

Post tension member : 0.25 = 1,3 Mpa

Berdasarkan RSNI T-12-2004 ,tegangan izin pada kondisi layan gaya prategang
disyaratkan sebagai berikut:

1. Tegangan tekan
Post tension member : 0.45 fc=-22.5 Mpa

2. Tegangan tarik0.5^Fc= 3.54 Mpa


4.1.4. Pembebanan

Beban yang digunakan dalam pemodelan untuk analisis tahapan konstruksi maupun
analisis service:

1. Beban Mati (Dead Load)


Perhitungan dead load dilakukan secara otomatis melalui model struktur yang
berdasarkan area penampang dan material sesua spesifikasi input. Dalam
perhitungan self weight,digunakan berat jenis beton bertulang 2.5 ton/m3

2. Beban mati tambahan (Super Imposed Dead Load)


SIDL yang diperhitungkan dalam analisis model yaitu beban aspal ,beban
Parapet,beban trotoar.

3. Beban prestress (prestress load)


Efek primary dan secondary dari prestress diperhitungkan,kehilangan jangka
pendek dan jangka panjang juga diperhitungkan di dalam model.

IV-3
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4. Susut dan rangkak (creep and shrinkage)


Susut dan rangkak diperhitungkan dalam model berdasarkan rekomendasi
CEB-FIP 1990. Susut rangkak dalam beton prategang dimodelkan dengan
perhitungan lebih dari 10.000 hari dengan kelembapan rata rata 70%.

5. Beban form traveler (FT Load)


Berat form traveler yang digunakan yaitu sebesar 65 ton

6. Beban beton bawah (Wet Concrete load)


Berat dari beton basah sesuai dengan berat masing-masing segmen.

7. Beban Lalu Lintas (Live Load)


Beban Lalu lintas di aktifkan setelah tahapan kontruksi selesai.

8. Beban Pejalan Kaki (Live Load)


Beban Pejalan kaki di aktifkan setelah tahapan kontruksi selesai.

4.1.5. Parameter Kehilangan Gaya Prategang

Parameter ini menentukan kehilangan gaya yang terjadi saat setelah stressing
maupun saat kondisi service nantinya.

Parameter Value Unit


Friksi 0.2 1/(rad)
Wobble 0.005 (rad)/m
Slip draw in 6 Mm
Tabel 4.3 Parameter Kehilangan Gaya Tendon

4.1.6. Program komputer

Software yang digunakan untuk analisa struktur global adalah Midas v.2019.
Program ini digunakan untuk analisa linear maupun non linear,analisa static dan
dinamik untuk berbagai type struktur. Fasilitas khusus tersedia untuk pemodelan
prestressing pada jembatan post-tensioned, dengan mempertimbangkan tahap
demi tahap konstruksi.

IV-4
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.2 Pemodelan Struktur

4.2.1. Struktur General

Jembatan untuk tugas akhir ini merupakan struktur jembatan box girder yang
memiliki Panjang 216 meter dengan lebar 12.5 meter. Struktur ini terdiri dari 3
span

1. End Span P2 – P3 Panjang 55.8 meter

2. Mid Span P3– P4 Panjang 99 meter

3. End Span P4 – P5 Panjang 55.8 meter

12.5 m

216 m

Gambar 4.1General Struktur jembatan (top view)

P2 P3 P4 P5

55.8 m 99 m 55.8 m

Gambar 4.2 General Struktur jembatan (long view)

12.5 m
2.5 m 6.5 m

Gambar 4.3 Gambar Penampang Box Girder (tinggi terkecil)

IV-5
BAB IV Analisa dan Pembahasan

6m

6.5
m

12.5 m

Gambar 4.4 Gambar Penampang Box Girder (tinggi terbesar)

Tinggi pier pada P3 dan P4 adalah 9.4 meter dengan lebar top 12.5 meter dan bottom 6.5 meter
( diposisi pier table ).

Tinggi terbesar box girder yaitu 6 meter dan tinggi terkecil pada box girder adalah
2.5 meter (di posisi Closure – key segment ).

Struktur dimodelkan sebagai element dan nodal. Sistem pemodelannya adalah sebagai berikut :

Gambar 4.5 Noda 1 & Elemen Struktur

4.2.2. Support

Support pada pier P3 dan P4 dimodelkan sebagai support rigid (jepit) yaitu tidak terjadi
pergerakan lateral maupun rotasi.

Support pada P2 dan P5 terdiri dari 2 support dengan detail pergerakan bebas sebagai berikut
:

1. Support memungkinkan terjadi pergerakan longitudinal dan rotasi aras sumbu y

IV-6
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Rol Jepit jepit Rol

Gambar 4.6 Gambar Model Support

4.3 Cross Section

Berikut ini ditampilkan Section jembatan :

Gambar 4.7 Gambar Section Segmen 1

Gambar 4.8 Gambar Section Segmen 2

IV-7
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.9 Gambar Section Segmen 3

Gambar 4.10 Gambar Section segmen 4

Gambar 4.11 Gambar Section Segmen 5

IV-8
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.12 Gambar Section Segmen 6

Gambar 4.13 Gambar Section Segmen 7

Gambar 4.14 Gambar Section Segmen 8

IV-9
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.15 Gambar Section Segmen 9

Gambar 4.16 Gambar Section Segmen 10

Gambar 4.17 Gambar Section Segmen Closure

IV-10
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.4 Tendon

4.4.1. Layout Tendon

Layout tendon terbagi dalam 3 kelompok yaitu :

1. Cantilever tendon

Tendon yang dipasang saat kondisi balance Cantilever mulai dari Piertable
hingga segmen terakhir.

Gambar 4.18 Permodelan tendon balance Cantilever

Deskripsi Label Strand


Tendon Cantilever P3 & P4 T1 8 x 19 Strand 0.6’
Tendon Cantilever P3 & P4 T2 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon Cantilever P3 & P4 T3 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon Cantilever P3 & P4 T4 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon Cantilever P3 & P4 T5 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon Cantilever P3 & P4 T6 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon Cantilever P3 & P4 T7 4 x 19 Strand 0.6’

IV-11
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tendon Cantilever P3 & P4 T8 4 x 19 Strand 0.6’


Tendon Cantilever P3 & P4 T9 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon Cantilever P3 & P4 T10 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon Cantilever P3 & P4 T11 4 x 19 Strand 0.6’
Total 48 Tendon
Tabel 4.4 Tabel Tendon Cantilever

2. End Span Tendon

Tendon yang dipasang saat pekerjaan End Span

Gambar 4.19 Permodelan Tendon End Span

Deskripsi Label Tendon


Tendon End Span P3 & P4 T12 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon End Span P3 & P4 T13 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon End Span P3 & P4 SB1 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon End Span P3 & P4 SB2 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon End Span P3 & P4 SB3 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon End Span P3 & P4 SB4 4 x 19 Strand 0.6’
Total 24 Tendon
Tabel 4.5 Tabel Tendon End Span

3. Mid Closure Tendon

Tendon yang dipasang pada saat pekerjaan mid closure

Gambar 4.20 Pemodelan Tendon Mid Span

Deskripsi Label Tendon


Tendon Mid Span MB1 4 x 19 Strand 0.6’

IV-12
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tendon Mid Span MB2 4 x 19 Strand 0.6’


Tendon Mid Span MB3 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon Mid Span MB4 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon Mid Span MB5 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon Mid Span MB6 4 x 19 Strand 0.6’
Tendon Mid Span MB7 4 x 19 Strand 0.6’
Total 28 Tendon
Tabel 4.6 Tabel Tendon Mid Span

Deskripsi Label
Cantilever Tendon 48 Tendon
End Span Closure Tendon 24 Tendon
Mid Span Closure Tendon 28 Tendon
Total 100 Tendon
Tabel 4.7 Tabel Jumlah Kelompok Tendon

Gambar 4.21 Gambar Pemodelan Semua Tendon

0.6’-19s

0.6’-19s
0.6’-19s 0.6’-19s

Gambar 4.22 Gambar Skematik Tendon

4.4.2. Gaya Stressing

Sebagaimana yang sudah dikemukakan subbab, material, Strand yang digunakan


berdiameter 0.6’

 Breaking Strength of strand = 260.6 kN

 Ultimate Strength = 1860 Mpa

IV-13
BAB IV Analisa dan Pembahasan

 Jacking Force = 75%UTS = 1395 Mpa

Gaya dan arah penarikan tendon dapat dilihat pada tabel berikut:

Tendon Stress Arah Side Span (Mpa) Stress Arah Mid Span (Mpa)
T1 1395 1395
T2 1395 1395
T3 1395 1395
T4 1395 1395
T5 1395 1395
T6 1395 1395
T7 1395 1395
T8 1395 1395
T9 1395 1395
T10 1395 1395
T11 1395 1395
Tabel 4.8 Tabel Gaya Tendon Cantilever

Tendon Stress Arah Side Span Stress Arah Mid Span


T12 1395 1395
T13 1395 1395
SB1 1395 1395
SB2 1395 1395
SB3 1395 1395
SB4 1395 1395
Tabel 4.9 Tabel Gaya Tendon Side Span Closure

Tendon Stress Stress


MB1 1395 1395
MB2 1395 1395
MB3 1395 1395
MB4 1395 1395
MB5 1395 1395
MB6 1395 1395
MB7 1395 1395
Tabel 4.10 Tabel Gaya Tendon Mid Span Closure

IV-14
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.5 Pembebanan

4.5.1. Form traveler dan Wet Concrete ( FT& WC )

Pada tahapan konstruksi, tepatnya setelah stressing dari setiap segmen balance Cantilever,
dilakukan Launching form traveler dan dilanjutkan Concreting Segmen selanjutnya. Hal ini
dimodelkan dalam bentuk beban FT (Form traveler load) dan WC (Wet Concrete Load).
Beban FT yang digunakan sebesar 65 Ton, sedangkan untuk WC disesuaikan dengan
volume segmen concreting.

FT4
FT4
P4
FT4
FT4
P3

Gambar 4.23 Gambar Zona beban FT & WC pada Construction Stage

Pembebanan FT dan WC dibagi dalam 4 zona dari lokasi beban tersebut. Dalam contoh
gambar di atas, struktur balance Cantilever sudah pada segmen 3 dan sedang persiapan
pekerjaan Concreting Segmen 4, maka beban pada case ini diberi nama : FT4 P3 & FT4 P4.
Begitu juga untuk beban WC, pada case ini diberi nama : WC4 Berikut ini terlampir table
perhitungan pembebanan WC pada masing-masing Segmen.

Segmen Length (m) P (ton) m arah y (ton.m)


S1 3.5 102 176
S2 3.5 93.5 161
S3 4 97.2 191
S4 4 94.4 186
S5 4.5 103.3 228
S6 4.5 100.7 223
S7 4.5 98.6 219
S8 4.5 97 216
S9 4.5 96 214
S10 4.5 95 213

IV-15
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Closure 3 63 95
Tabel 4.11 Beban WC pada P3 (Arah Mid Span)

Segmen Length (m) P (ton) m arah y (ton.m)


S1 3.5 102 176
S2 3.5 93.5 161
S3 4 97.2 191
S4 4 94.4 186
S5 4.5 103.3 228
S6 4.5 100.7 223
S7 4.5 98.6 219
S8 4.5 97 216
S9 4.5 96 214
S10 4.5 95 213
Closure 3 63 95
Tabel 4.12 Beban WC pada P3 (Arah Side Span)

Segmen Length (m) P (ton) m arah y (ton.m)


S1 3.5 102 176
S2 3.5 93.5 161
S3 4 97.2 191
S4 4 94.4 186
S5 4.5 103.3 228
S6 4.5 100.7 223
S7 4.5 98.6 219
S8 4.5 97 216
S9 4.5 96 214
S10 4.5 95 213
Closure 3 63 95
Tabel 4.13 Beban WC pada P4 (Arah Mid Span)

Segmen Length (m) P (ton) m arah y (ton.m)


S1 3.5 102 176
S2 3.5 93.5 161
S3 4 97.2 191
S4 4 94.4 186
S5 4.5 103.3 228
S6 4.5 100.7 223
S7 4.5 98.6 219

IV-16
BAB IV Analisa dan Pembahasan

S8 4.5 97 216
S9 4.5 96 214
S10 4.5 95 213
Closure 3 63 95
Tabel 4.14 Beban WC pada P4 (Arah Side Span)

4.5.2. Super Imposed Dead Load (SIDL)

Beban SIDL pada permodelan ini tediri dari sebagai berikut :

 Beban Asphalt : 0.8 ton/m

Gambar 4.24 Beban SIDL pada box girder

 Beban Trotoar : 2 x 1.4 ton/m

Gambar 4.25 Beban SIDL pada box girder

IV-17
BAB IV Analisa dan Pembahasan

 Beban Parapet : 2 x 0.7 ton/m

Gambar 4.26 Beban SIDL pada box girder

4.5.3. Live Load ( LL )

Beban LL pada pemodelan ini terdiri dari sebagai berikut :

 Beban Garis Terpusat ( BGT )

Berada di 3 titik lokasi ( Side Span p3 , Main Span, Side Span P4 ) Dengan masing –

masing beban Terpusat ( 40 ton )( 40 ton )(40 ton )

IV-18
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.27 Beban BGT pada box girder

 Beban Terbagi Rata ( BTR )

Berada di 3 lokasi ( Side Span p3, Main Span, Side Span P4)

Dengan masing – masing beban merata ( 6.5 ton/m )( 5.7 ton/m )(6.5 ton/m )

Gambar 4.28 Beban BTR pada box girder (Side Span P3)

IV-19
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.29 Beban BTR pada box girder (Mid Span)

Gambar 4.30 Beban BTR pada box girder (Side Span P4)

4.5.4. Beban Kombinasi ( Saat Service / konstruksi )

Untuk beban Kombinasi Terlampir sebagai berikut :

IV-20
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.31 Beban Kombinasi LL1

Gambar 4.32 Beban Kombinasi LL2

IV-21
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.33 Beban Kombinasi LL3

Gambar 4.34 Beban Kombinasi LL4

IV-22
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.35 Beban Kombinasi LL5

Gambar 4.36 Beban Kombinasi LL6

IV-23
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.37 Beban Kombinasi LL7

Gambar 4.38 Beban Kombinasi LLENV

IV-24
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.39 Beban Kombinasi PM1

Gambar 4.40 Beban Kombinasi PM2

IV-25
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.41 Beban Kombinasi PM3

Gambar 4.42 Beban Kombinasi SLS1

IV-26
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.43 Beban Kombinasi SLS2

Gambar 4.44 Beban Kombinasi SLS3

IV-27
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.45 Beban Kombinasi SLS4

Gambar 4.46 Beban Kombinasi SLSELV

IV-28
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.6 Analisis Tahapan Kontruksi

4.6.1. Schedule General

Pada permodelan ini, schedule tahapan konstruksi secara general adalah sebagai berikut :

Schedule Hari Sketsa Timeline


Pier P3 30
Pier
Table P3 30
Segmen 1 7
Segmen 2 7
Segmen 3 7
Segmen 4 7
Segmen 5 7
Segmen 6 7
Segmen 7 7
Segmen 8 7
Segmen 9 7
Segmen
7
10
Closure
End Span 7
End Span 30

Pier P4 30
Pier
Table P4 30
Segmen 1 7
Segmen 2 7
Segmen 3 7
Segmen 4 7
Segmen 5 7
Segmen 6 7
Segmen 7 7
Segmen 8 7
Segmen 9 7
Segmen
10 7
Closure 7

IV-29
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Mid Span
Closure
Mid Span 7
End Span 30
Pekerjaan Kontruksi P3 direncanakan leading 14 hari dari pekerjaan onstruksi P4. Selisih
waktu ini dimodelkan dalam bentuk time load pada analisa tahapan konstruksi.

4.6.2. Ilustrasi Form traveler Pada Tahapan Kontruksi

Gambar 4.47 FT Launching untuk Concreting Segmen 1

Gambar 4.48 FT Launching untuk Concreting Segmen 2

IV-30
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.49 FT Launching untuk Concreting Segmen 3

Gambar 4.50 FT Launching untuk Concreting Segmen 4

Gambar 4.51 FT Launching untuk Concreting Segmen 5

Gambar 4.52 FT Launching untuk Concreting Segmen 6

IV-30
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.53 FT Launching untuk Concreting Segmen 7

Gambar 4.54 FT Launching untuk Concreting Segmen 8

Gambar 4.55 FT Launching untuk Concreting Segmen 9

Gambar 4.56 FT Launching untuk Concreting Segmen 10

Gambar 4.57 FT Launching untuk concreting mid Closure & Closure di side span P4

IV-31
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.58 FT Launching untuk concreting di side span P4

Gambar 4.59 Pekerjaan di side span P3( Shoring )

Gambar 4.60 Pekerjaan di side span P3 ( Shoring )

4.6.3. Ilustrasi WetConcrete Pada Tahapan Kontruksi

Sesuai dengan tahapan kontruksi, berikut ini ilustrasi dari beban Wet Concrete;

Gambar 4.61 Wet Concrete Stage 1 : Concreting Segmen 1

IV-32
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.62 Wet Concrete Stage 2 : Concreting Segmen 2

Gambar 4.63 Wet Concrete Stage 3 : Concreting Segmen 3

Gambar 4.64 Wet Concrete Stage 4 : Concreting Segmen 4

IV-33
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.65 Wet Concrete Stage 5 : Concreting Segmen 5

Gambar 4.66 Wet Concrete Stage 6 : Concreting Segmen 6

Gambar 4.67 Wet Concrete Stage 7 : Concreting Segmen 7

Gambar 4.68 Wet Concrete Stage 8 : Concreting Segmen 8

Gambar 4.69 Wet Concrete Stage 9 : Concreting Segmen 9

IV-34
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.70 Wet Concrete Stage 10 : Concreting Segmen 10

Gambar 4.71 Wet Concrete Stage 11 : Concreting Segmen Closure di Mid Span

Gambar 4.72 Wet Concrete Stage 12 : Concreting Segmen Closure di Side Span P4

Gambar 4.73 Wet Concrete Stage 13 : Concreting Segmen Closure di Side Span P3

IV-35
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.74 Untuk Side Span P3 dan P4 Menggunakan Metode Shoring

4.7 Output Stress Pada Tahapan Kontruksi

4.7.1. Sign Convention Output Midas

Berikut ini perjanjian arah untuk gaya dalam pada elemen permodelan midas:

 Panah mewakili arah positif (+) dari gaya elemen.

Gambar 4.75 Sign Convention Beam Midas Perjanjian tanda tegangan pada selat

beton adalah sebagai berikut :

 (-) : Tekan

 (+) : Tarik

IV-36
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.2. Stress Diagram Stage 1 : Kondisi Awal Piertable

Gambar 4.76 Stress Diagram Stage 1 : Kondisi Awal Piertable

4.7.3. Stress Diagram Stage 1 : Stressing Piertable

Gambar 4.77 Stress Diagram Stage 1 : Stressing Piertable

IV-37
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.4. Stress Diagram Stage 1 : Launching FT untuk Kontruksi Segmen 1

Gambar 4.78 Stress Diagram Stage 1 : Launching FT Untuk Kontruksi Segmen 1

4.7.5. Stress Diagram Stage 1 : Concreting Segmen 1

Gambar 4.79 Stress Diagram Stage 1 : Concreting Segmen 1

IV-38
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.6. Stress Diagram Stage 2 : Stressing Segmen 1

Gambar 4.80 Stress Diagram Stage 2 : Stressing Segmen 1

4.7.7. Stress Diagram Stage 2 : Launching FT Untuk Kontruksi Segmen 2

Gambar 4.81 Stress Diagram Stage2 : Launcing FT Untuk Konstruksi Segmen 2

IV-39
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.8. Stress Diagram Stage 2 : Concreting Segmen 2

Gambar 4.82 Stress Diagram Stage 2 : Concreting Segmen 2

4.7.9. Stress Diagram Stage 3 : Stressing Segmen 2

Gambar 4.83 Stress Diagram Stage 3 : Stressing Segmen 2

IV-40
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.10. Stress Diagram Stage 3 : Launching FT Untuk Kontruksi Segmen 3

Gambar 4.84 Stress Diagram Stage 3 : Launcing FT Untuk Konstruksi Segmen 3

4.7.11. Stress Diagram Stage 3 : Concreting Segmen 3

Gambar 4.85 Stress Diagram Stage 3 : Concreting Segmen 3

IV-41
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.12. Stress Diagram Stage 4 : Stressing Segmen 3

Gambar 4.86 Stress Diagram Stage 4 : Stressing Segmen 3

4.7.13. Stress Diagram Stage 4 : Launching FT Untuk Kontruksi Segmen 4

Gambar 4.87 Stress Diagram Stage 4 : Launching FT Untuk Konstruksi Segmen 4

IV-42
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.14. Stress Diagram Stage 4 : Concreting Segmen 4

Gambar 4.88 Stress Diagram Stage 4 : Concreting Segmen 4

4.7.15. Stress Diagram Stage 5 : Stressing Segmen 4

Gambar 4.89 Stress Diagram Stage 5 : Stressing Segmen 4

IV-43
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.16. Stress Diagram Stage 5 : Launching FT Untuk Kontruksi Segmen 5

Gambar 4.90 Stress Diagram Stage 5 : Launching FT Untuk Konsruksi Segmen 5

4.7.17. Stress Diagram Stage 5 : Concreting Segmen 5

Gambar 4.91 Stress Diagram Stage 5 : Concreting Segmen 5

IV-44
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.18. Stress Diagram Stage 6 : Stressing Segmen 5

Gambar 4.92 Stress Diagram Stage 6 : Stressing Segmen 5

4.7.19. Stress Diagram Stage 6 : Launching FT Untuk Kontruksi Segmen 6

Gambar 4.93 Stress Diagram Stage 6 : Launching FT Untuk Konstruksi Segmen 6

IV-45
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.20. Stress Diagram Stage 6 : Concreting Segmen 6

Gambar 4.94 Stress Diagram Stage 6 : Concreting Segmen 6

4.7.21. Stress Diagram Stage 7 : Stressing Segmen 6

Gambar 4.95 Stress Diagram Stage 7 : Stressing Segmen 6

IV-46
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.22. Stress Diagram Stage 7 : Launching FT Untuk Kontruksi Segmen 7

Gambar 4.96 Stress Diagram Stage 7 : Launching FT Untuk Konstruksi Segmen 7

4.7.23. Stress Diagram Stage 7 : Concreting Segmen 7

Gambar 4.97 Stress Diagram Stage 7 : Concreting Segmen 7

IV-47
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.24. Stress Diagram Stage 8 : Stressing Segmen 7

Gambar 4.98 Stress Diagram Stage 8 : Stressing Segmen 7

4.7.25. Stress Diagram Stage 8 : Launching FT Untuk Kontruksi Segmen 8

Gambar 4.99 Stress Diagram Stage 8 : Launching FT Untuk Konstruksi Segmen 8

IV-48
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.26. Stress Diagram Stage 8 : Concreting Segmen 8

Gambar 4.100 Stress Diagram Stage 8 :Concreting Segmen 8

4.7.27. Stress Diagram Stage 9 : Stressing Segmen 8

Gambar 4.101 Stress Diagram Stage 9 : Stressing Segmen 8

IV-49
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.28. Stress Diagram Stage 9 : Launching FT Untuk Konstruksi Segmen 9

Gambar 4.102 Stress Diagram Stage 9 : Launching FT Untuk Konstruksi Segmen 9

4.7.29. Stress Diagram Stage 9 : Concreting Segmen 9

IV-50
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.103 Stress Diagram Stage 9 : Concreting Segmen 9

4.7.30. Stress Diagram Stage 10 : Stressing Segmen 9

Gambar 4.104 Stress Diagram Stage 10: Stressing Segmen 9

4.7.31. Stress Diagram Stage 10 :Launching FT Untuk Konstruksi Segmen 10

IV-51
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Gambar 4.105 Stress Diagram Stage 10: Launching FT Untuk Konstruksi segmen 10

4.7.32. Stress Diagram Stage 10 : Concreting Segmen 10

Gambar 4.106 Stress Diagram Stage 10: Concreting Segmen 10

IV-52
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.33. Stress Diagram Stage 11

Gambar 4.107 Stress Diagram Stage 11 Untuk Stage 11 ini tahapan

pekerjaannya sebagai berikut :

 Hari ke -1 : Stressing Segmen 10

 Hari ke - 2 : FT di P4 Maju ke Closure & Side Span p4

 Hari ke - 2 : FT di P3 Mundur 2 Segmen

 Hari ke – 4 : Concreting Segmen Mid closure

IV-53
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.34. Stress Diagram Stage 12

Gambar 4.108 Stress Diagram Stage 12 Untuk Stage 12 ini tahapan

pekerjaannya sebagai berikut :

 Hari ke -1 : Stressing tendon top & bottom di Mid Span

 Hari ke -4 : Concreting Closure di Side Span P4

IV-54
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.35. Stress Diagram Stage 13

Gambar 4.109 Stress Diagram Stage 13 Untuk Stage 13 ini tahapan

pekerjaannya sebagai berikut :

 Hari ke -1 : Stressing tendon top & bottom di Segmen Side Span P4

 Hari ke -2 : FT maju ke segmen Closure P3

 Hari ke – 4 : Concreting Segmen Closure di side span P3

IV-55
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.7.36. Stress Diagram Stage 14 : Stressing tendon top & bottom di side span P4

Gambar 4.110 Stress Diagram Stage 14:Stressing Tendon di Side Span P4

4.7.37. Stress Diagram Stage 15 : Creep & Shrinkage for 10000 days

Gambar 4.111 Stress Diagram Stage 15:Creep& Shrinkage for 10000 days

IV-56
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.8 Output Precamber

Analisa pada struktur pada model menghasilkan tabel defleksi camber pada setiap tahapan
konstruki. Precamber pada struktur di tetapkan untuk meng-counter pergerakan defleksi
tersebut.

Pada chamber vertical ditetapkan:

 Positif (+) : Ke Atas

 Negatif (-) : Ke Bawah

Tabel 4.15 Chamber Vertical – Part 1

IV-57
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tabel 4.16 Chamber Vertical – Part 2

IV-58
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tabel 4.17 Chamber Vertical – Part 3

IV-59
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tabel 4.18 Chamber Vertical – Part 4

IV-60
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tabel 4.19 Chamber Vertical – Part 5

IV-61
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tabel 4.20 Chamber Vertical – Part 5

IV-62
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tabel 4.21 Precamber Vertical – Part 1

IV-63
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tabel 4.22 Precamber Vertical – Part 2

IV-64
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tabel 4.23 Precamber Vertical – Part 3

IV-65
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tabel 4.24 Precamber Vertical – Part 4

IV-66
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tabel 4.25 Precamber Vertical – Part 5

IV-67
BAB IV Analisa dan Pembahasan

Tabel 4.26 Precamber Vertical – Part 6

4.9 Momen Service

Momen service dihitung berdasarkan keseluruhan jembatan tersebut pada saat jembatan sudah
digunakan.

Perhitungan momen tahap service menggunakan beban kombinasi pembebanan pada Gambar
4.29 – Gambar 4.44.

Adapun Stress Diagram yang terjadi akibat beban service

IV-68
BAB IV Analisa dan Pembahasan

4.9.1. Stress Diagram Stage : Akibat Beban Service

Gambar 4.112 Stress Diagram Stage :Akiban Beban service

IV-69
BAB V Kesimpulan dan Saran

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian terhadap Analisa Construction Engineering Jembatan


Continuos 3 Span Berdasarkan Metode Balance cantilever sebagai berikut :

1. Telah dilakukan analisa meliputi tahapan konstruksi dan masa konstruksi dan
masa layan yang meliputi pengecekan tegangan dan defleksi.

2. tegangan yang terjadi selama tahapan konstruksi sudah diperiksa dan masih
dibawah dari batas tegangan tarik maupun tekan.

3. tegangan yang terjadi pada saat layan sudah diperiksa dan masih dibawah dari
batas tegangan tarik maupun tekan.

4. Analisa tahapan konstruksi sudah memperhitungkan Creep & Shrinkage


sampai 10000 days.

5. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisa perhitungan, dapat disimpulkan


bahwa Analisa Construction Engineering Jembatan Continuos 3 Span
Berdasarkan Metode Balance cantileverini telah memenuhi kriteria desain
yang berlaku selama masa konstruksi dan masa layan.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan terhadap Analisa Construction Engineering Jembatan Continuos 3
Span Berdasarkan Metode Balance cantilever sebagai berikut :

1. Pengaturan jumlah strandspada tendon baik tendon atas maupun tendon


bawah akan mempengaruhi tegangan yang terjadi pada bagian serat atas
beton dan serat bawah beton sehingga harus lebih teliti untuk menentukan
jumlah tendon.

2. Pemilihan metode konstruksi sangatlah menentukan berjalannya proyek


dengan baik serta sangat menentukan jumlah tendon dan waktu pelaksanaan.

V-1
BAB V Kesimpulan dan Saran

3. Diharapkan kedepannya untuk menambahkan metode stage untuk konstruksi


pier dan juga pondasi bawah nya.

V-2
BAB V Kesimpulan dan Saran

V-3

Anda mungkin juga menyukai