Anda di halaman 1dari 11

Nama : Angelos Gogo Siregar

NPM : 01659220123

Dosen : Dr. Ir. Andreas Tedy


Mulyono, S.H., M.H

TUGAS SOSIOLOGI HUKUM “PERUBAHAN SOSIAL”

1. Secara umum, masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan


sosial. Sebutkan & Jelaskan secara singkat 2 (dua) contoh
perubahan sosial (1 sosial problem & 1 societal problem) yang
terjadi di Indonesia pada periode tahun 2000 sampai dengan
sekarang!

Jawab:

a. Contoh kasus Social Problem (Kasus Kampung Ambon)

Warga Tolak Posko Antinarkoba Jakarta1


Selintas Kampung Ambon seperti perkampungan warga perantauan di
Jakarta lainnya. Padat dan sedikit homogen dari sisi etnis. Sejumlah
pemuda berwajah khas timur Indonesia berlalu-lalang dari gang ke
gang. Puluhan ekor anjing turut meramaikan 3 jalan utama di Jl Safir,
Mirah dan Kristal. "Kita tinggal di sini sejak puluhan tahun lalu," kata
Wakil Ketua RW 7 Kedaung, Cengkareng, Jakarta Barat, Jimmy
Pasania, Senin (2/3/2009). Menurut Pasania, Kampung Ambon mulai
ramai saat perkampungan Ambon di sekitar di Kwitang, Jakpus,
digerus petugas. Para perantau asal Ambol memilih minggir ke daerah
Kedaung, di tepi sungai Cengkareng Drain. "Kami semua patuh
hukum. Tidak benar ada pandangan di kampung ini sarang narkoba,"
sangkal Pasania saat dimintai tanggapan tentang kampungnya.

Namun, pandangan miring warga luar terhadap kampungnya


sangat terasa sepanjang Cengkareng Drain. Saat mencari alamat

1
Ari Saputra, Warga Tolak Posko Anti Narkoba, https://www.detik.com/ ,diakses pada tanggal 6 Maret 2023
pada pukul 21.11 WIB
tersebut di ujung jalan Daan Mogot, sejumlah pengojek yang ditanya
langsung berubah air muka. Mereka terlihat serius dan sedikit takut.
Kemudian memberi petunjuk arah dengan sekenanya. Konon, di
Kampung Ambon siapa saja bebas bertransaksi narkoba. Peredaran
barang haram tersebut berjalan rapi karena disusun oleh semua warga
masyarakat dan semuanya saling melengkapi. Dari tukang ojek,
petugas keamanan, ibu-ibu, pemuda, dan si pengedar sendiri. Saking
rapinya, razia narkoba di lokasi ini harus dilakukan sampai level Polda
dan Mabes Polri. Kalau hanya setingkat Polsek atau Polres, polisi
memilih putar balik daripada digebuki warga yang meneriaki maling.
"Ini memang target utama kami. Sarang narkoba," ucap Sekretaris
Badan Narkotika Kotamadya (BNK) Jakarta Barat, Suhardin.
Mendirikan posko antinarkoba di sarang penjahat membutuhkan
tenaga ekstra. BNK perlu mengajak polisi, satpol PP, TNI dan aparat
birokrasi di lapangan. Total jenderal, jumlah petugas yang diturunkan
mencapai ratusan. Petugas menggunakan 5 truk untuk memobilasi
kekuatan. Juga kendaraan dinas lapangan yang jumlahnya berderat
memanjang sekitar 100 meter di pinggiran kali Cengkareng Drain.
"Kami tidak ingin kecolongan. Ini harus dibangun untuk meminimalisir
peredaran narkoba," sergah Suhardin.

Penjelasan:
Berdasarkan dari berita tersebut, dapat dilihat bahwa dengan adanya
peristiwa tersebut maka dapat dilihat bahwa peran hukum disini
sangat sulit dapat terlaksana dengan baik karena dari kasus tersebut
masyarakat tidak menghendaki akan hukum yang berlaku dan
narkoba menjadi salah satu usaha dagang terbesar bagi mereka.
Sehingga dengan peristiwa ini tentunya menimbulkan polemik dimana
terjadi social problem dari segi yuridis juga dimana sebagaimana telah
diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan hal ini
tentunya menimbulkan kontradiktif antara tujuan hukum dan nilai-
nilai yang berlaku di masyarakat yang dalam kasus ini adalah
masyarakat kampung Ambon. Sehingga, penegakan hukum hingga
saat ini belum dapat dijalankan secara maksimal.

b. Contoh Kasus Societal Problem (Kasus Koperasi Indo Surya)

Menyoal Vonis Lepas IndoSurya2

Jakarta - Polemik terjadi di masyarakat setelah terdakwa dalam kasus


koperasi simpan pinjam (KSP) Indosurya divonis lepas (onslag) oleh
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. Polemik terjadi menyoal putusan
lepas yang dianggap janggal tersebut.
Sebenarnya jika ditelusuri lebih lanjut, putusan (vonis) hakim tidak
berdiri sendiri. Dalam sistem peradilan pidana vonis hakim akan sangat
tergantung pada dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU)
beserta pembuktian yang dihadirkan di persidangan.

Putusan lepas PN Jakarta Barat ini bisa dilihat dari dua perspektif;
pertama, perspektif substansi hukum; kedua, berkaitan dengan rasa
keadilan dan kemanfaatan pada sebuah putusan hakim. Pertanyaan
kritisnya bukan sekadar menilai bahwa putusan PN Jakarta Barat
terkait dengan vonis lepas KSP Indosurya adalah janggal, namun lebih
lanjut yang perlu digali mengapa ada ruang bagi hakim untuk
memberikan vonis lepas tersebut.

Sulit bagi majelis hakim untuk memutus lepas jika dakwaan dan
tuntutan JPU sempurna dan didukung oleh pembuktian yang
menguatkan. Jika menelaah kasus pidana KSP Indosurya di PN Jakarta
Barat, ada hal menarik terkait substansi hukum yang dapat
mengantarkan kesimpulan pada pemahaman mengapa vonis lepas
yang kini dipersoalkanterjadi.

2
Rio Christiawan, Menyoal Vonis Lepas Indosurya, https://news.detik.com/kolom/d-6578727/menyoal-vonis-
lepas-indosurya, diakses pada tanggal 6 Maret 2023 pada pukul 21.58 WIB
Jika mengamati dakwaan dan tuntutan JPU yang menggunakan Pasal
46 ayat 1 UU RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU RI
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP, maka tampak bahwa kejanggalan justru terletak pada dakwaan
dan tuntutan yang dibuat oleh JPU itu sendiri.

Badan hukum KSP Indosurya adalah koperasi simpan pinjam, dengan


demikian KSP Indosurya tidaklah tunduk pada UU RI Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Dengan demikian secara substansi tampaklah jika
dakwaan dan tuntutan yang dibuat JPU tersebut kurang cermat
dengan mendakwa KSP Indosurya dengan UU Perbankan padahal jelas
bahwa KSP Indosurya berbadan hukum koperasi.

Upaya

Akibat dari penerapan UU Perbankan pada kasus KSP Indosurya


tersebut adalah majelis hakim berpendapat bahwa UU Perbankan tidak
dapat diterapkan dan meskipun perbuatan yang didakwakan JPU
terbukti, maka perbuatan tersebut tidak diklasifikasikan pada
perbuatan pidana. Perbuatan terdakwa diklasifikasikan pada ranah
perdata.

Secara hukum, dengan bentuk badan hukum KSP Indosurya adalah


koperasi, maka sesuai Pasal 44 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Koperasi (UU Koperasi), maka koperasi memang berhak
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dalam
kegiatan investasi.

Pengumpulan dana dari masyarakat beserta pengembaliannya dengan


jumlah (termasuk bunga) yang diperjanjikan dipandang sebagai
perbuatan perdata yang jika terjadi gagal bayar, maka diselesaikan
melalui Pengadilan Niaga (guna penyelesaian piutang anggota KSP
Indosurya yang belum terbayar). Artinya jika kini kejaksaan
mengajukan upaya hukum dengan mempertahankan konstruksi
dakwaan dan tuntutan yang dipergunakan pada persidangan di PN
Jakarta Barat, maka akan terdapat banyak celah hukum yang
melemahkan upaya hukum yang dilakukan kejaksaan.

Saat ini banyak pejabat publik, seperti misalnya Menteri Koordinator


Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) yang memberi atensi
khusus pada vonis lepas KSP Indosurya. Maka seandainya pun upaya
hukum yang dilakukan kejaksaan berhasil, hal ini bukanlah karena
argumentasi hukum yang solidamun, lebih pada adanya political
pressure dan majelis hakim yang mengadili akan memilih putusan
populis meskipun berdasarkan tuntutan yang 'kurang cermat'.

Dalam kasus KSP Indosurya yang saat ini mendapat sorotan publik dan
atensi para pihak, mungkin saja majelis hakim yang memeriksa
perkara ini menggunakan pendekatan keadilan dan kemanfaatan serta
mengabaikan esensi hukum (kepastian hukum dari upaya hukum
berdasarkan tuntutan yang kurang cermat dari JPU).

Gustav Radburch (1960), seorang ahli peradilan menjelaskan bahwa


putusan hakim akan mendasarkan pada keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum, meskipun ketiganya seperti pendulum yang tidak
mungkin dipenuhi oleh majelis hakim secara bersamaan. Dalam hal ini
jika JPU mengajukan upaya hukum atas tuntutan yang mendasarkan
pada UU Perbankan, jika hakim agung pada Mahkamah Agung (MA)
menggunakan pendekatan keadilan pada korban dan kemanfaatan,
maka kemungkinan upaya hukum kasasi akan diterima.

Sebaliknya jika hakim agung pada MA menggunakan pendekatan


kepastian hukum, maka kemungkinan vonis PN Jakarta Barat akan
ditegaskan dalam upaya hukum kasasi yang dilakukan JPU.
Alternatif

Seandainya upaya hukum kasasi yang dilakukan oleh JPU dengan


berdasarkan UU Perbankan gagal dan Putusan Kasasi pada MA
akhirnya menguatkan vonis PN Jakarta Barat, maka upaya yang dapat
dilakukan untuk mengejar keadilan adalah kembali membuat laporan
pidana baru terhadap KSP Indosurya. Meskipun, laporan pidana yang
baru akan memakan waktu yang tidak singkat serta perlu dibuat
secara cermat agar nantinya tidak dinyatakan nebis in idem yakni
seorang terdakwa tidak boleh diadili dua kali untuk tindak pidana
(perbuatan) yang sama.

Perspektif yang harus dibangun jika para korban membuat laporan


baru adalah adanya dugaan penipuan yakni ketika adanya janji atau
tindakan dari KSP Indosurya sehingga membuat para korban
berinvestasi padahal janji tersebut diketahui nyata-nyata tidak benar
adanya. Sehingga hal ini akan berbeda dengan tuntutan sebelumnya
yang mengkualifikasi aktivitas KSP Indosurya illegal berdasarkan UU
Perbankan.

Jika perkara ini difokuskan pada adanya janji atau tindakan yang
nyata-nyata diketahui tidak benar adanya serta KSP Indosurya
menerima manfaat dari janji atau tindakan tersebut, maka selain
adanya argumentasi yang kuat untuk menghindari nebis in idem,
perkara ini juga cukup pemenuhan unsur pada tindak pidana
penipuan, penggelapan serta tindak pidana pencucian uang.

Dengan demikian mengacu pada konstruksi hukum di atas ,maka


proses hukum terhadap tindak pidana yang baru dapat mulai untuk
dilakukan. Hal ini mengingat proses hukum yang memakan waktu yang
panjang hingga adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Proses hukum untuk tindak pidana baru perlu dilakukan selain


sebagai double cover jika upaya hukum yang dilakukan kejaksaan
kandas atau hukuman tidak mencerminkan rasa keadilan pada
masyarakat korban khususnya. Dalam hal ini tujuan proses hukum
yang dilakukan oleh para korban selain mengembalikan dana
investasinya, pelaku investasi ilegal dapat dihukum maksimal sehingga
terdapat efek jera pada pelaku atau calon pelaku agar tidak terulang
kembali investasi ilegal yang merugikan masyarakat.

Penjelasan:
Bahwa dengan penjelasan tersebut maka dapat dilihat lobang hukum
yang ada dimana hal ini tentunya menimbulkan efek di masyarakat
mengenai penerapan hukum dari subjek hukum yang tentunya makin
banyak di Indonesia karena subjek hukum koperasi tidak mengenal
mengenai konsep debitur dan kreditur dan juga konsep dari koperasi
yang memakai asas gotong royong sehingga ironisnya banyak
masyarakat yang mengalami kerugian akan hal tersebut karena belum
diatur dalam penerapan hukum positifnya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa masyarakat menjadi korban akan ketidaktahuannya akan
perbuatan yang telah dilakukannya dimana Negara tidak bisa
menjamin akan perlindungan hukum yang akan dicapai.

2. Secara khusus, sebutkan dan jelaskan secara singkat bentuk


perubahan sosial yang relevan dengan topik/judul tesis saudara: (i)
interpretasi; (ii) penambahan/pengurangan rumusan norma
hukum; (iii) penafian; (iv) perubahan semangat/orientasi/strategi;
dan/atau (v) penciptaan hukum baru.

Jawab:
(i) Interpretasi
Bahwa dari segi interpretasinya, dapat dilihat bahwa UU No. 32
tahun 2009 juga terlihat lebih sempurna dibandingkan UU
sebelumnya, karena menambahkan poin tentang perlindungan,
rencana perlindungan, pengelompokkan limbah, dan melibatkan
kearifan lokal. Poin-poin tersebut sangat penting, dan tidak ada
pada UU sebelumnya. Hal tersebut juga tercermin dalam
penegakan hukumnya dimana telah dijelaskan pada UU No. 23
Tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009. Pada UU No. 23 poin
PENYIDIKAN dimuat pada BAB VIII dan pada UU No. 32 dimuat
pada BAB XIV dengan penambahan menjadi PENYIDIKAN DAN
PEMBUKTIAN.
Namun, UU PPLH tidak memberi batasan (kategori) tindak
pidana yang digolongkan sebagai pelanggaran yakni yang
melanggar sanksi administrasi dan juga tidak melihat dari
pembentukan sanksi pidana berdasarkan KUHP mengenai
bagaimana tolak ukur sanksi dan unsur-unsur yang
mengklasifikasikan bahwa perbuatan tersebut merupakan
kejahatan sehingga proses penyidikan antara kewenangan PPNS
dan POLRI menjadi rancu dan belum jelas.

(ii) Penambahan/pengurangan rumusan norma hukum


Bahwa sebagaimana diatur dalam bagian 6 Ketentuan Umum
dalam UUPPLH (32 Tahun 2009) yang mengantu asas ultimum
remedium yang berbunyi: “Penegakan hukum pidana dalam
Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman
minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti,
pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan
penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana
korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap
memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan
penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir
setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap
tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya
berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu
pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah,
emisi, dan gangguan.”
(iii) Penafian
Bahwa dengan pelaksanaan penegakan hukumnya justru
menimbulkan ambiguitas dimana berdasarkan pasal 100 ayat 2
yang berbunyi: “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif
yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran
dilakukan lebih dari satu kali.” Berkaca dari peraturan
tersebut maka dapat dikatakan bahwa implementasi hukum
formiil/penegakan hukumnya akan menimbulkan
ketidakpastian hukum dimana peran dari PPNS Lingkungan
Hidup sebagaimana punya kewenangan untuk memberikan
sanksi akan condong mengalami “benturan” karena tidak
memberi gambaran secara jelas antara peran dari PPNS untuk
penegakan sanksi administrasi karena hanya berdasarkan
kategori saja yang tentunya hal tersebut perlu untuk diperinci
secara lebih jelas sehingga hal tersebut tidak menimbulkan
bentroknya penegakan hukum antara PPNS dengan Polisi untuk
menyelidik dan menyidiki suatu perbuatan.
Hal tersebut menimbulkan ketidakharmonisan dimana
penerapan asas dan norma dari sanksi administratif dan pidana
secara tersirat menganut 2 (dua) asas secara bersamaan yakni
penerapan sanksinya ada yang menganut asas primum remedium
dan juga ultimum remedium. Artinya penerapan sanksi
berasaskan ultimum remedium hanya kepada ketiga bentuk
pelanggaran tersebut. Hal tersebut berdasarkan dalam pasal 78
UUPPLH yang berbunyi: “Sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan
dan pidana.” Hal tersebut menegaskan bahwa jika terkena
sanksi administratif maka tidak membebaskan juga dari sanksi
pidana.

(iv) Perubahan Semangat/Orientasi/Strategi


Bahwa dengan ketidakjelasan dari perbedaan antara
pelanggaran dan kejahatan secara materiil, maka tentunya
dalam prakteknya terjadi kesimapngsiuran dalam hal penegakan
hukumnya. Banyaknya perkara yang SP3 di kepolisian,
penyidikan yang kurang tepat dan kendala-kendala lainnya
tentu menjadi perhatian sehingga harus ada perubahan terkait
UUPPLH yang tentunya juga merubah PP nya terkait
kewenangan dan TUPOKSI dari PPNS selaku penyidik juga.
Koordinasi antara penegak hukum yakni PPNS dan POLRI
menjadi hal yang penting agar menciptakan harmonisnya
peraturan perundang-undangan.

(v) Penciptaan Hukum Baru


Bahwa dengan tesis yang penulis buat, tentunya besar harapan
dimana ketentuan UUPPLH ini memperbarui dari segi materiil
dan formiil UUPLH. Dari segi materiilnya, maka diinginka
perubahan dimana tindak pelanggaran dan/atau kejahatan
lebih jelas diatur dan implementasi dalam asas ultimum
remedium diberlakukan dengan tepat yakni pemberlakuan atas
asas ini tidak hanya ke perbuatan-perbuatan tertentu
sebagaimana dijelaskan dalam pasal 100 UUPPLH dan
Ketentuam Umum nomor 6, melainkan juga kepada setiap
perbuatan yang melanggar administrasi dimana jika tidak
dilaksanakan sanksinya, maka upaya hukum pidana dapat
turun langsung guna mencapai tujuan hukum.
Tidak hanya mengenai segi materiil, maka dalam segi formiil
dalam penegakan hukumnya maka penulis melihat bahwa harus
ada perubahan tidak hanya untuk Undang-Undangnya
melainkan juga dalam PP sebagai “roda” yang menjalankan
Undang Undang yang dalam hal ini ialah UUPPLH. Ketentuan
dalam PP harus menjelaskan TUPOKSI dari PPNS dan juga
koordinasi peran dari PPNS dengan POLRI selaku penegak
hukum agar tidak menjadi masalah antara kedua institusi
tersebut guna terciptanya harmonisasi hukum.

Anda mungkin juga menyukai