BLOK ELEKTIF
EMERGENCY AND DISASTER
Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, bimbingan, petunjuk, dan kekuatan-Nya kepada kita semua, atas selesainya Buku
Modul Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi Kedokteran FKIK Universitas Jambi.
Kemajuan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan dan
teknologi ilmu kedokteran serta tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat yang memiliki
kebutuhan dan tuntutan yang tinggi dibidang pelayanan kesehatan, menuntut tersedianya sumber
daya manusia yang handal dan terampil serta profesional dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Buku Modul ini merupakan aplikasi dari kompetensi-kompetensi yang dijabarkan dari
Standar Kompetensi, yang diuraikan lebih rinci untuk kemudahan dalam mencapai kompetensi-
kompetensi yang telah ditetapkan, agar dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di tanah air
kita. Sebagai sebuah ilmu, bidang ilmu kedokteran komunitas memiliki dinamika yang sangat
besar, hal ini menuntut perubahan sikap dan perilaku yang terus-menerus dan berkesinambungan
dari para pelaku pelayanan kesehatan dalam menjawab perubahan masyarakat akibat berbagai
tantangan global yang terjadi saat ini.
Semoga Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi Kedokteran FKIK Universitas
Jambiini bermanfaat bagi kita semua dan segala upaya yang telah dilakukan ini akan bermanfaat
dalam upaya mencapai tujuan kita bersama yaitu pelayanan kesehatan yang bermutu, efisien,
efektif, adil, dan merata.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami menerima
saudara/i untuk mengikuti Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi Kedokteran FKIK
Universitas Jambi.
Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi Kedokteran Universitas Jambi adalah
pendidikan profesi yang tidak terpisahkan dari Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi
Kedokteran Universitas Jambi yang telah dilalui sebelum mencapai gelar Sarjana Kedokteran.
Setelah mengikuti Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi Kedokteran kami
harapkan saudara/i sudah memperoleh ketrampilan-keteramprilan dalam mengidentifikasi
masalah kesehatan masyarakat, menentukan prioritas masalah dan membuatrencanapemecahan
masalah sesuai dengan prioritas, kemampuan mengelola organisasi dan sumber daya yang ada di
lapangan serta mampu melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat, pemberdayaan dan
pendidikan kesehatan kepada masyarakat untuk perobahan perilaku kesehatan kearah yang lebih
baik.
Akhir kata kami mengucapkan selamat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat - Kedokteran Keluarga Prodi Kedokteran FKIK UNJA
NO BAGIAN
1 ILMU BEDAH
2 ILMU PENYAKIT DALAM
3 ILMU ANAK
4 ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
5 ILMU SYARAF
6 ILMU JANTUNG
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KOMPETENSI SESUAI STANDAR KOMPETENSI DOKTER
INDONESIA (SKDI)
BAB III AKTIVITAS BLOK ELKETIF
BAB IV EVALUASI
BAB I
PENDAHULUAN
A. PESYARATAN AKADEMIK
Mahasiswa yang berhak mengikuti blok elektif program studi kedokteran
Universitas Jambi adalah :
1. Terdaftar sebagai mahasiswa aktif di program studi kedokteran universitas Jambi
(dibuktikan dengan bukti registrasi online di siakad Universitas Jambi dan bukti
tanda lunas SPP semester berjalan).
2. Mahasiswa yang telah mendaftar ulang diwajibkan mengisi Kartu Rencana Studi
(KRS) dengan sejumlah mata kuliah untuk diambil.
C. SANKSI AKADEMIK
1. Setiap mahasiswa wajib mematuhi tata tertib yang berlaku di lingkungan FKIK
UNJA
2. Mahasiswa yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi akademik
3. Jenis pelanggaran akademik antara lain
a. Tidak melakukan registrasi dan pembayaran SPP sesuai kalender akademik
Universitas Jambi
b. Tidak mengerjakan ujian, laporan kasus, tugas jurnal, dan tugas lainnya untuk
mahasiswa lain
c. Plagiarisme
d. Memalsukan tanda tangan atau scanning tanpa izin pejabat di lingkungan FKIK
UNJA
e. Memalsukan nilai ujian
4. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai berat ringannya pelanggaran
yang dilakukan antara lain :
a. Peringatan lisan
b. Peringatan tertulis
c. Larangan mengikuti kegiatan blok elektif dalam kurun waktu tertentu
d. Pembatalan nilai
e. Pencabutan status sebagai mahasiswa
D. LAMA BLOK ELEKTIF
Selama 5 (lima) minggu dengan beban 4 SKS
BAB II KOMPETENSI SESUAI STANDAR KOMPETENSI DOKTER
INDONESIA (SKDI)
B. Daftar Penyakit
Daftar penyakit menjadi acuan bagi institusi pendidikan dokter agar dokter yang
dihasilkan memiliki tingkat kompetensi/kemampuan yang memadai untuk membuat
diagnosis yang tepat memberi penanganan awal atau tuntas dan melakukan rujukan
secara tepat dalam rangka penanganan pasien.Tingkat kemampuan yang harus dicapai
adalah:
a. Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan
mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai
penyakit tersebut, selanjutnya menetukan rujukan yang oaling tepat bagi pasien.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
b. Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menetukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
c. Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan
merujuk. Tingkat kemampuan ini dibagi menjadi 2 tingkat kemampuan yaitu:
1. Kemampuan 3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menetukan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
2. Kemampuan 3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menetukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
d. Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Tingkat kemampuan ini dibagi menjadi
dua tingkat kemampuan, yaitu:
1. Kemampuan 4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
2. Kemampuan 4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internship
dan/atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)
4 Fibrilasi atrial 3A
5 Fibrilasi ventrikular 3B
6 Atrial flutter 3B
OBGYN
1 Distosia 3B
2 Partus lama 3B
IPD
1 Ketoasidosis diabetikum nonketotik 3B
2 Hipoglikemia berat 3B
Bedah
1 Fraktur terbuka, tertutup 3B
2 Fraktur klavikula 3A
3 Dekompresi jarum 4A
4 Perawatan luka 4A
5 Luka Bakar 4A
Anak
1 Tatalaksana dehidrasi berat pada kegawatdaruratan 4A
setelah penatalaksanaan syok
BAB III AKTIVITAS BLOK ELKETIF
A. Integrated Teaching (IT)
Praktikum (IPM/CASE)
KODE MATERI BAGIAN Pengampu
Initial assessment,triase, transfer pasien (pada
1 TIM BLOK
kasus bencana alam dan kasus trauma)
2 Airway management TIM BLOK
3 C spine kontrol dan evaluasi TIM BLOK
Breathing management (thorakosintesis) dan
4 TIM BLOK
evaluasi
circulatory management (pemasangan vena
5 TIM BLOK
sektie)
6 circulatory management (intraosseus) TIM BLOK
circulatory management (terapi cairan pada luka
7 TIM BLOK
bakar) dan evaluasi
circulatory management ( penatalaksanaan syok
8 TIM BLOK
pada trauma hemoragik) dan evaluasi
Disability management (penilaian GCS),
9 TIM BLOK
exposure dan secondary survey
Penatalaksanaan Krisis Hipoglikemik dan
10 TIM BLOK
Hiperglikemik pada Diabetes Melitus
Penatalaksanaan pada gigitan hewan beracun dan
11 TIM BLOK
hewan buas
12 Resusitasi neonatus TIM BLOK
13 Arhytmia Regocnation TIM BLOK
14 Megacode TIM BLOK
15 Penatalaksanaan presentasi bokong TIM BLOK
16 Penatalaksanaan distosia bahu TIM BLOK
17 IPM kegawatdaruratan neurologi TIM BLOK
18 Evaluasi 1 TIM BLOK
19 Evaluasi 2 TIM BLOK
27 Evaluasi 3 TIM BLOK
BAB IV
EVALUASI
PENGERTIAN
Resusitasi ( respirasi artifisialis) adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat,
pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak,
jantung dan alat-alat vital lainnya. (Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002)
TUJUAN RESUSITASI
1. Pernafasan
Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau bahwa
pernafasan tidak adekuat. Lihat gerakan dada naik turun, frekuensi dan dalamnya
pernafasan selama 1 menit. Nafas tersengal-sengal berarti nafas tidak efektif dan perlu
tindakan, misalnya apneu. Jika pernafasan telah efektif yaitu pada bayi normal biasanya
Apabila penilaian denyut jantung menunjukkan bahwa denyut jantung bayi tidak
teratur. Frekuensi denyut jantung harus > 100 per menit. Cara yang termudah dan cepat
adalah dengan menggunakan stetoskop atau meraba denyut tali pusat. Meraba arteria
mempunyai keuntungan karena dapat memantau frekuensi denyut jantung secara terus
Apabila penilaian warna kulit menunjukkan bahwa warna kulit bayi pucat atau bisa sampai
sianosis. Setelah pernafasan dan frekuensi jantung baik, seharusnya kulit menjadi kemerahan.
Jika masih ada sianosis central, oksigen tetap diberikan. Bila terdapat sianosis purifier,
oksigen tidak perlu diberikan, disebabkan karena peredaran darah yang masih lamban, antara
1. Sumbatan jalan napas : akibat lendir / darah / mekonium, atau akibat lidah yang jatuh ke
posterior.
2. Kondisi depresi pernapasan akibat obat-obatan yang diberikan kepada ibu misalnya obat
3. Kerusakan neurologis.
4. Kelainan / kerusakan saluran napas atau kardiovaskular atau susunan saraf pusat, dan /
sirkulasi.
Resusitasi lebih penting diperlukan pada menit-menit pertama kehidupan. Jika terlambat,
progresif.
Di dalam setiap persalinan, penolong harus selalu siap melakukan tindakan resusitasi bayi
baru lahir. Kesiapan untuk bertindak dapat menghindarkan kehilangan waktu yang sangat
berharga bagi upaya pertolongan. Walaupun hanya beberapa menit tidak bernapas, bayi baru
1. Persiapan Keluarga
kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu dan bayinya serta persiapan yang dilakukan oleh
penolong untuk membantu kelancaran persalinan dan melakukan tindakan yang diperlukan.
Persiapan yang diperlukan meliputi ruang bersalin dan tempat resusitasi. Gunakan ruangan
yang hangat dan terang. Tempat resusitasi hendaknya rata, keras, bersih dan kering, misalnya
meja, dipan atau di atas lantai beralas tikar. Kondisi yang rata diperlukan untuk mengatur
posisi kepala bayi. Tempat resusitasi sebaiknya di dekat sumber pemanas (misalnya; lampu
sorot atau bohlam berdaya 60 watt) dan tidak banyak tiupan angin (jendela atau pintu yang
terbuka).
Sebelum menolong persalinan, selain peralatan persalinan, siapkan juga alat-alat resusitasi
- 2 helai kain/handuk
- Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang, handuk
kecil, digulung setinggi 2,5 cm dan mudah disesuaikan untuk mengatur posisi kepala
bayi.
- Alat pengisap lendir DeLee atau bola karet
- Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal
- Stetoskop bayi.
- Jam atau pencatat waktu
LANGKAH-LANGKAH RESUSITASI BBL
2. Atur posisi bayi.. Baringkan bayi terlentang dengan kepala di dekat penolong. Ganjal
bahu agar kepala sedikit ekstensi. Posisi semi ekstensi yaitu hidung dan mulut dalam satu
garis lurus.
3. Isap lendir. Gunakan alat pengisap lendir DeLee atau bola karet.
- Pertama, isap lendir di dalam mulut, kemudian baru isap lendir di hidung.
- Hisap lendir sambil menarik keluar pengisap (bukan pada saat memasukkan).
- Bila menggunakan pengisap lendir DeLee, jangan memasukkan ujung pengisap
terlalu dalam (lebih dari 5 cm ke dalam mulut atau lebih dari 3 cm ke dalam hidung)
karena dapat menyebabkan denyut jantung bayi melambat atau henti napas bayi.
4. Keringkan dan Rangsang taktil.
- Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya dengan sedikit
tekanan. Rangsangan ini dapat memulai pernapasan bayi atau bernapas lebih baik.
- Lakukan rangsangan taktil dengan beberapa cara di bawah ini:
1) Menepuk atau menyentil telapak kaki.
2) Menggosok punggung, perut, dada atau tungkai bayi dengan telapak tangan.
Rangsangan yang kasar, keras atau terus menerus, tidak akan banyak menolong dan
- Ganti kain yang telah basah dengan kain bersih dan kering yang baru (disiapkan).
- Selimuti bayi dengan kain tersebut, jangan tutupi bagian muka dan dada agar
pemantauan pernapasan bayi dapat diteruskan.
- Atur kembali posisi terbaik kepala bayi (sedikit ekstensi).
6. Lakukan penilaian apakah bayi bernapas normal, megap-megap atau tidak bernapas.
- Pernapasan
- Frekuensi jantung
- Warna kulit
Bila bayi bernafas, FJ > 100x/menit PERAWATAN SUPORTIF
B. BREATHING (VTP)
Ventilasi adalah bagian dari tindakan resusitasi untuk memasukkan sejumlah udara ke dalam
paru dengan tekanan positip yang memadai untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa
1. Pasang sungkup, perhatikan lekatan. Sungkup harus menutupi mulut dan hidung bayi.
Ventilasi percobaan (2 kali) Lakukan tiupan udara dengan tekanan 30 cm air. Tiupan awal ini
sangat penting untuk membuka alveloli paru agar bayi bisa mulai bernapas dan sekaligus
a. Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan 20 cm air
dalam 30 detik.
bunyi napas.
C. CIRCULATION
Apabila setelah dilakukan VTP, FJ < 60x/menit VTP dan kompresi dada
Kompresi Dada
- Kompresi dinding dada dapat dilakukan dengan melingkari dinding dada dengan
kedua tangan dan menggunakan ibu jari untuk menekan sternum atau dengan
menahan punggung bayi dengan satu tangan dan menggunakan ujung dari jari
telunjuk dan jari tengah dari tangan yang lain untuk menekan sternum.
- Tehnik penekanan dengan ibu jari lebih banyak dipilih karena kontrol kedalaman
penekanan lebih baik.
- Tekanan diberikan di bagian bawah dari sternum dengan kedalaman ± 1,5 cm dan
dengan frekuensi 90x/menit.
- Dalam 3x penekanan dinding dada dilakukan 1x ventilasi sehingga didapatkan 30x
ventilasi per menit. Perbandingan kompresi dinding dada dengan ventilasi yang
dianjurkan adalah 3 : 1.
- Evaluasi denyut jantung dan warna kulit tiap 30 detik. Bayi yang tidak berespon,
kemungkinan yang terjadi adalah bantuan ventilasinya tidak adekuat, karena itu
adalah penting untuk menilai ventilasi dari bayi secara konstan.
D. DRUG
Bila air ketuban bercampur mekonium, lakukan penilaian bayi bugar atau tidak:
Bila bayi tidak bugar penghisapan mulut dan trachea LANGKAH AWAL
.
Skor
No Langkah/Kegiatan
0 1 2
1. Mempersiapkan alat-alat:
1. alas yang datar, kering dan bersih
2. 2 kain bersih dan kering untuk menutupi tubuh
dan kepala neonatus
3. handuk kecil untuk ganjal bahu;
4. alat penghisap lendir;
5. ambu bag neonatus
6. sungkup neonatus
7. pipa orofaring (goedel)
8. lampu 60 watt dengan jarak 60 cm,
9. stetoskop bayi
Skor: 2: menyiapkan 7-9 item
1: menyiapkan 4-6 item
0: menyiapkan < 4 item, atau selain kriteria di
atas
2 Penolong mencuci tangan
3 Mengenakan sarung tangan steril
4 Letakkan bayi diatas alas yang datar, kering dan
bersih
5 Lakukan penilaian selintas :
1. Apakah bayi cukup bulan?
Ditanyakan pada
2. Apakah air ketuban jernih tak bercampur
mekonium? penolong persalinan
3. Apakah bayi menangis kuat/ bernafas?
4. Apakah tonus otot baik?
Skor : 2: menilai 4 item
1: menilai 2-3 item
0: selain kriteria di atas
6 Jika jawaban ya pada no 5 keringkan, berikan
kehangatan, bersihkan jalan napas, nilai warna kulit
7. Jika jawaban tidak pada no 5 lakukan
penatalaksanaan asfiksia BBL
8. Posisikan kepala bayi pada posisi sedikit ekstensi
dan ganjal bahu bayi dengan handuk yang telah
disiapkan
9 Hisap lendir mulai dari mulut kemudian hidung
dalam waktu ± 6 detik.
10. Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian
tubuh lainnya dengan sedikit tekanan.
11. Lakukan rangsangan taktil yang aman, dengan cara :
Menepuk / menyentil telapak kaki, atau
Menggosok punggung/perut/dada/ekstremitas
12. Ganti kain yang telah basah dengan kain bersih dan
kering yang baru, dan atur kembali kepala bayi
sedikit ekstensi
13. Nilai pernapasan bayi dan denyut jantung dengan
stetoskop dan nilai warna kulit
14. Jika bayi bernafas, FJ > 100x/menit, kemerahan
lakukan PERAWATAN LANJUT
15. Jika pernapasan tetap tersengal atau apnu atau
FJ<100x/menit atau kulit sianosis, segera persiapkan
pernapasan buatan atau ventilasi tekanan positif
16. Perbaiki posisi kepala bayi sedikit ekstensi atau
ganjal bahu
17. Bersihkan sekret terlebih dahulu dan pastikan jalan
napas bersih
18. Pasang pipa orofaring dengan benar
19. Letakkan sungkup di wajah bayi dengan rapat agar
tidak bocor melalui sisi sungkup
20. Berikan tekanan positif melalui ambubag dengan
lembut sambil melihat pengembangan dada bayi
dengan frekuensi 20 x selama 30 detik
21. Nilai denyut jantung, jika FJ<60 x/menit, segera
persiapkan kompresi dada
22. Memanggil dokter lain/perawat/bidan untuk
melanjutkan ventilasi
23 Tempatkan posisi tangan dengan benar (pada
sepertiga bagian tengah sternum, gerakkan jari
sepanjang tepi bawah iga sampai mendapatkan sifoid.
Letakkan ibu jari atau jari-jari lain pada tulang dada,
tepat diatas sifoid dan pada garis yang
menghubungkan kedua puting susu).
24 Lakukan pijatan jantung dengan salah satu teknik :
Teknik ibu jari : Kedua ibu jari menekan tulang dada.
Kedua tangan melingkari dada dan jari-jari tangan
menopang bagian belakang bayi.
Teknik dua jari : Ujung jari tengah dan jari telunjuk
atau jari manis dari satu tangan digunakan untuk
menekan tulang dada.Tangan yang lain digunakan
untuk menopang bagian belakang bayi.
25 Lakukan kompresi dada dengan kedalaman ± 1/3
diameter antero-posterior dada dan lama penekanan
lebih singkat dari pada lama pelepasan dengan 1
siklus ( 2 detik) = tiga kompresi (1½ detik) + satu
ventilasi.( ½ detik).
Lakukan kompresi selama 1 menit atau 30 siklus
26 Lakukan evaluasi denyut jantung, Jika frekuensi
jantung :
a. 60-100 kali/menit, hentikan kompresi dan
lanjutkan ventilasi dengan kecepatan 40-60 kali
pompa/menit.
b. >100 kali/menit, hentikan kompresi dada dan
hentikan ventilasi secara bertahap jika bayi bernapas
spontan.
c. <60 kali/menit, lakukan intubasi, dan berikan
epinefrin intravena 0,1-0,3ml/kgBB.
*
DOE (Defibrilator Ekternal Otomatis)
*
AED (Automatic External Defibrillation)
Walaupun servei awal BHD tidak membutuhkan perlengkapan tindak lanjut,
gunkanlah tindakan pencegahan yang berlaku secara universal dan perlengkapan yang
selalu tersedia seperti peralatan ventilasi kantung-sungkup muka. Setelah melakukan
survei awal maka pertolongan selanjutnya adalah survei ABCD sekunder
I. TUJUAN
II. PENDAHULUAN
Pengelolaan penderita yang terluka parah memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan
yang tepat guna menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangat penting, karena
itu diperlukan penilaian awal (initial assessement) yang mudah dilaksanakan yaitu:
1. Persiapan
2. Triase pada kasus multiple dan mass casualties
3. Primary survey (ABCDE) dan resusitasi
4. Secondary survey
5. Pemantauan dan re-evaluasi
6. Penanganan definitif
Baik primary survey maupun secondary survey dilakukan beruang-kali agar dapat mengenali
penurunan keadaan penderita, dan memberikan terapi bila diperlukan. Urutan kejadian di atas
diterapkan seolah-olah berurutan (sekuensial), namun dalam praktek sehari-hari dapat
berlangsung bersama-sama (simultan). Penerapan secara berurutan ini merupakan suatu cara
tau sistem bagi dokter untuk menilai perkembangan keadaan penderita.
III. PERSIAPAN
Persiapan berlangsung dalam 2 fase yang berbeda. Fase pertama adalah fase pra-rumah sakit
(pre-hospital), dimana seluruh penanganan penderita sebaiknya berlangsung dalam
koordinasi dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah sakit (hospital)
dimana dilakukan persiapan untuk menerima penderita, sehingga dapat dilakukan resusitasi
dalam waktu cepat.
Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas lapangan akan
menguntungkan penderita. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahukan sebelum penderita
mulai diangkut dari tempat kejadian. Pemberitahuan ini memungkinkan rumah sakit
mempersiapkan Tim Trauma sehingga sudah siap saat penderita sampai di rumah sakit. Pada
fase pra-rumah sakit titik berat diberikan pada penjagaan airway, kontrol perdarahan dan
syok, imobilisasi penderita dan segera ke rumah sakit terdekat yang memiliki fasilitas yang
cocok dengan kebutuhan pasien.
Waktu di tempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari. Yang penting juga adalah
mengumpulkan keterangan yang nanti dibutuhkan di rumah sakit, seperti waktu kejadian,
sebab kejadian, dan riwayat penderita. Mekanisme kejadian dapat menerangkan jenis dan
berat perlukaan.
Harus dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba. Sebaiknya ada ruangan/area khusus
resusitasi. Perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube, dsb) sudah dipersiapkan,
dicoba dan dileakkan ditempat yang mudah terjangkau. Cairan kristaloid (misalnya Ringer‟s
Lacatate) yang sudah dihangatkan disiapkan dan diletakkan pada tempat yang mudah dicapai.
Perlengakapan monitoring yang diperlukan sudah dipersiapkan. Suatu sistem pemanggilan
tenaga medik tambahan sudah harus ada, demikian juga tenaga laboratorium dan radiologi.
Bila ada kontak dengan cairan tubuh penderita maka penolong dianjurkan memakaian alat
protektif seperti masker (face mask), proteksi mata (kaca mata goggle), baju kedap air atau
apron (celemek kedap air), sarung tangan (hands coon), dan alas kaki/sepatu
IV. TRIASE
Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia. Terapi didasarkan pada ABC (Airway dengna kontrok vertebra servikal, Breathing,
dan Circulation dengan kontrol perdarahan).
Triase juga berlaku untuk pemilihanpenderita di lapangan dan rumah sakit yang akan dirujuk.
Merupakan tanggung jawab bagi tenaga pra-rumah sakit untuk mengirim ke rumah sakit yang
sesuai dengan kebutuhan pasien.
A. Multiple Casualties
Musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah yang mengancam
jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.
B. Mass Casualties
Musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui kemampuan rumah
sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu adalah penderita dengan
kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga
paling sedikit.
V. PRIMARY SURVEY
Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda vital, dan
mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka parah, terapi diberikan berdasarkan prioritas.
Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan penderita berupa
primary survey yang cepat dan kemudian langsung dilakukan resusitasi, secondary survey
dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan ABC-nya trauma dan berusaha untuk
mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan
berikut:
Selama primary survey keadaan yang mengancam nyawa harus cepat dikenali dan segera
dilakukan resusitasinya pada saat itu juga. Tindakan primary survey di atas adalah dalam
bentuk berurutan (sekuensial), sesuai prioitas dan agar leih jelas; namun dalam praktek hal-
hal di atas sering dilakukan bersamaan (simultan)
Pengenalan Masalah
Saat initial assessment pada airway tindakan awal yang paling penting adalah mengajak
penderita berbicara dan memancing jawaban verbal. Penderita yang mampu berbicara (“the
talking patient”) memberikan jaminan (paling tidak pada saat itu) bahwa airwaynya terbuka.
Suatu respon verbal yang “positif dan sesuai” menunjukan bawa airway penderita terbuka,
ventilasi utuh, dan perfusi otak cukup. Kegagalan untuk merespon dengan baik memberi
kesan suatu gangguan tingkat kesadaran atau airway/ventilasi yang mengalami gangguan.
Apabila penderita dalam keadaan tertelungkup (pronasi) maka usahakan untuk membalik
posisi penderita menjadi terlentang sambil menahan bagian belakang kepala penderita agar
leher penderita stabil dan berada pada posisi in-line dengan tubuh.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, faktur
mandibula atau maksila, faktur laring atau trakhea. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan manuver chin-
lift atau jaw-thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas
bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.
Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari 8
biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan motorik yang tak
bertujuan mengindikasikan perlunya airway definitif.
Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bawah tidak boleh dilakukan
ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis
didasarkan pada riwayat perlukaan; pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat
menyingkirkannya.
Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat
imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara, maka terhadap kepala harus dilakukan
imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai sampai kemungkinan fraktur servikal
dapat disingkirkan.
Proteksi vertebra servikalis (serta spinal cord) merupakan hal penting. Foto servikal dapat
dilakukan setelah keadaan yang mengancam nyawa telah dilakukan resusitasi.
Ingat: Anggaplah ada fraktur servikal pada setiap penderita multi-trauma, terlebih bila ada
gangguan kesadaran atau perlukaan di atas klavikula.
Harus segera dilakukan usaha untuk menjaga jalan nafas dan memasang airway definitif bila
diperlukan. Tidak kalah pentingnya adalah mengenali kemungkinan gangguan airway yang
dapat terjadi kemudian, dan ini hanya dapat dikenali dengan re-evaluasi berulang terhadap
airway.
Tanda-tanda objektif sumbatan airway
1. Lihat (Look)
Apakah penderita mengalami agitasi
atau tampak bingung. Agitasi memberi kesan
adanya hipoksia, dan tampak bingung
memberi kesan adanya hiperkarbia.
Sianosis menunjukkan hipoksemia
yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi
dan dapat dilihat dengan mudah pada kuku-
kuku dan kulit sekitar mulut.
Lihat adanya retraksi dan
penggunaan otot-otot nafas tambahan. Bila
ada merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway
2. Dengar (Listen) adanya suara-suara abnormal. Pernafasan yang berbunyi (suara nafas
tambahan) menunjukan pernafasan yang tersumbat.
Mendengkur (snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor)
mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring.
Suara parau (horseness, dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring
Penderita yang melawan dan berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin mengalami
hipoksia dan sering disalah artikan sebagai kondisi keracunan/mabuk.
3. Rasakan (Feel) lokasi trakhea dengan cepat tentukan apakah trakhea berada di tengah.
Snoring : suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian
atas oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan langsung dengan
cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk
tangan yang digunakan untuk chin-lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke atas, telunjuk
menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah ada benda yang menyangkut di
tenggorokan korban (eg: gigi palsu dll). Pindahkan benda tersebut.
Garrgling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang disebabkan
oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di atas), lalu lakukanlah finger-
sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain untuk
“menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan.
Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema) pada
trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head-tilt and chin-lift atau jaw-
thrust saja
Jika suara napas tidak terdengar
karena ada hambatan total pada jalan
napas, maka dapat dilakukan:
Heimlich
Maneuve
r atau
Chest-
Thrust
Pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang
dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat segera diperbaiki dengan cara
mengangkat dagu (head-tilt and chin-lift maneuver) atau dengan mendorong rahang ke
bawah ake arah depan (jaw-thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan
dengan airway orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharyngeal
airway). Tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau
memperburuk cedera spinal, oleh karena itu leher penderita selama mengerjakan prosedur ini
harus dilakukan immobilisasi segaris (in-line immobilization).
Apabila ditemukan tanda-tanda di atas maka lakukan Head-tilt dan Chin-lift maneuver
Jari-jemari salah satu tangan diletakkan di bawah rahang, yang kemudian secara hati-hati
diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan
ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut. Ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incicivus) bawah, dan dengan dagu
secara bersamaan hati-hati diangkat. Sedangkan tangan
yang lain letakkan di dahi penderita dan menekan kepala
penderita ke bawah
Apabila ditemui tanda-tanda cedera tulang belakang servikal maka lakukan imobilisasi leher
secara manual. Hal ini untuk menghindari adanya cedera lebih lanjut pada tulang belakang
bagian leher pasien. Setelah itu lakukan Jaw-thrust maneuver.
2. Jaw-thrust maneuver
Maneuver mendorong rahang (jaw-thrust) dilakukan dengan cara memegang sudut rahang
bawah (angulus mandibulae) kiri dan kanan, dan mendorong rahang bawah ke depan. Bila
cara ini dilakukan sambil memegang masker dari alat bag-valve, dapat dicapai kerapatan
yang baik dan ventilasi yang adekuat.
3. Orofaringeal Airway
Airway oral disisipkan ke dalam mulut di balik lidah. Teknik yang dipilih adalah dengan
menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan menyisipkan airway tersebut ke
belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah
ke
belaka
ng
yang
justru
akan
meng
hamba
t
airwa
y.
Teknik lain adalah dengan menyisipkan airway oral secara terbalik (upside-down), sehingga
bagian yang cekung mengarah ke kranial, sampai di daerah palatum mole. Pada titik ini , alat
diputar 180 derajat, bagian cekung mengarah ke kaudal, alat diselipkan ke tempatnya di atas
lidah. Cara ini tidak boleh dilakukan pada anak-anak, karena rotasi alat ini dapat mencederai
mulut dan faring.
4. Airway Nasofaringeal
Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan dilewatkan dengan hati-
hati ke orofaring posterior. Pada penderita yang masih memberikan respon airway
nasofaringeal lebih disukai dibandingkan dengan airway orofaringeal karea lebih bisa
diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang muntah. Alat tersebut sebaiknya
dilumasi dengan baik, kemudian disisipkan ke lubang hidung yang tampak tidak tersumbat.
Bila hambatan dirasakan selama pemasangan airway, hentikan dan coba melalui lubang
hidung sisi yang lain.
5. Airway Definitif
Pada airway definitif dilakukan dengan cara memasukkan ke dalam trakhea pipa dengan
balon (cuff) yang dapat dikembangkan. Pipa tersebut dapat dihubungkan dengan sauatu alat
bantu pernafasan yang diperkaya dengan oksigen. Terdapat tiga macam airway definitif:
Pipa orotrakheal
Pipa nasotrakheal
dan airway surgikal (krikotiroidotomi atau tracheostomi)
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat
bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap
komponen ini harus dievaluasi secara cepat
Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk
memastikan masuknya udara dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau
darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada
yang mungkin mengganggu ventilasi
Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothorax;
flail-chest dengan kontusio paru, dan open penumothorax. Keadaan ini harus dikenali pada
saat dilakukan primary survey
Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor mekanik, ada
gangguan ventilasi atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotracheal, baik
oral maupun nasal. Prosedur ini harus dilakukan dengan kontrol terhadap vertebra servikal.
Surgikal airway (cricothyroidotomy) dapat dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak
memungkinkan karena ada kontra indikasi atau masalah teknis
Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang
cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada penderita trauma harus
dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian
diperlukan penilaian cepat status hemodinamika penderita yakni: tingkat kesdaran, warna
kulit, dan nadi.
Lakukan kontrol perdarahan dengan tekanan langsung (direct pressure) atau secara operatif.
Perbaiki volume sirkulasi dengan pemberian cairan kristaloid (RL) yang sudah dihangatkan
2-3 liter secara cepat. Bila tidak ada respon, berikan darah segolongan (type specific). Bila
tidak ada darah segolongan, berikan darah tipe O Rhesus negatif, atau O Rhesus positif titer
terendah.
Jangan berikan vasopresor, steroid atau Bicarbonas Natricus. Bila gagal, jangan berikan infus
RL atau darah terus menerus, lakukan resusitasi operatif untuk hentikan perdarahan
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. Yang dinilai adalah tingkat kesadaran dan reaksi pupil, tanda lateralisasi dan tingkat
cedera spinal.
E. Exposure/Kontrol Lingkungan
Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara menggunting, guna
memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka penting penderita diselimuti agar
penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat, dan
cairan intra vena yang sudah dihangatkan.
CHECKLIST PRIMARY SURVEY PADA ASSESSEMENT AWAL KASUS
TRAUMA
SKOR
NO KRITERIA
0 1 2 3
1. Pastikan kondisi tempat pertolongan aman bagi pasien dan penolong
2. Beritahukan kepada lingkungan kalau anda akan berusaha menolong
3 Cek kesadaran pasien dengan metode AVPU
Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan
berbicara keras di telinga korban ( pada tahap ini jangan sertakan
dengan menggoyang atau menyentuh pasien ), jika tidak merespon
lanjut ke P
Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling
mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal
kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang
dada (sternum) dan juga area diatas mata (supra orbital)
Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien
masih tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan
unresponsive
4 Bebaskanlah korban dari pakaian di daerah dada (buka kancing baju
bagian atas agar dada terlihat)
5 Posisikan diri di sebelah korban, usahakan posisi kaki yang
mendekati kepala sejajar dengan bahu pasien
6 Tentukan laju dan dalamnya pernafasan
7 Cek apakah ada tanda-tanda berikut
Luka-luka atau jejas di daerah supra clavicula ke atas
Pasien mengalami tumbukan di berbagai tempat (misal :
terjatuh dari sepeda motor)
Tanyakan saksi apakah pasien mengalami cedera di bagian
leher
AIRWAY
8 Jika tidak ada tanda-tanda tersebut maka lakukanlah Head Tilt and
Chin Lift, atau
Apabila ditemui tanda-tanda cedera tulang belakang servikal
lakukan:
Imobilisasi leher secara manual atau dengan cervical collar
Lakukan jaw-thrust maneuver
9 Sambil melakukan maneuver di atas, periksa kondisi Airway (jalan
napas) dan Breathing (Pernapasan) pasien dengan cara:
Look : Lihat apakah ada gerakan dada (gerakan bernapas),
apakah gerakan tersebut simetris ? adakah pemakaian otot
pernafasan tambahan? dan tanda-tanda cedera lainnya
Listen : Dengarkan apakah suara nafas normal, dan apakah
ada suara nafas tambahan yang abnormal (Snoring, gargling,
crowing)
Feel: Rasakan dengan pipi pemeriksa apakah ada hawa
napas dari korban ? Raba apakah trakhea berada di tengah?
10 Bila ada snoring, bersihkan jalan nafas dengan teknik cross-finger
11 Bila ada gargling, bersihkan jalan nafas dengan teknik cross-finger
kemudian lakukan finger-sweep
12 Bila diperlukan lakukan tindakan mempertahankan airway dengan
oropharyngeal airway atau nasopharyngeal airway
BREATHING DAN VENTILASI
13 Berikan oksigen konsentrasi tinggi
14 Hitunglah frekuensi pernapasan dalam 1 menit
(Pernapasan normal adalah 12 -20 kali permenit untuk orang
dewasa)
15 Perkusi thorax untuk menemukan adakah redup atau hipersonor
16 Bila ditemukan tension pneumothorax lakukan needle decompresion
(*)
17 Jika frekuensi nafas normal, pantau terus kondisi pasien dengan
tetap melakukan Look Listen and Feel
18 Jika frekuensi nafas < 12 kali permenit, berikan nafas bantuan
dengan cara mouth to mouth menggunakan face mask
19 Jika pasien mengalami henti nafas berikan nafas buatan dengan bag-
valve-mask atau lakukan intubasi endotrakheal (*)
20 Bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena kontra-
indikasi atau karena masalah teknis, lakukan krikotiroidotomi (*)
CIRCULATION
21 Explorasi untuk menemukan adanya sumber perdarahan yang fatal
22 Jika ada pendarahan yang fatal coba hentikan dengan cara menekan
atau membebat luka (membebat jangan terlalu erat karena dapat
mengakibatkan jaringan yg dibebat mati)
23 Periksalah tanda-tanda shock pada pasien :
Denyut nadi >100 kali per menit
Telapak tangan basah dingin dan pucat
Capilarry Refill Time > 2 detik ( CRT dapat diperiksa
dengan cara menekan ujung kuku pasien dg kuku pemeriksa selama
5 detik, lalu lepaskan, cek berapa lama waktu yg dibutuhkan agar
warna ujung kuku merah lagi)
24 Jika pasien shock, pasang IV line
25 Pada saat memasang kateter IV, ambil sampel darah untuk
kepentingan laboratorium rutin dan permintaan darah
26 Perbaiki volume sirkulasi dengan pemberian cairan kristaloid (RL)
yang sudah dihangatkan 2-3 liter secara cepat
27 Bila tidak ada respon, berikan darah segolongan (type specific).
28 Bila tidak ada darah segolongan, berikan darah tipe O Rhesus
negatif, atau O Rhesus positif titer terendah.
29 Jangan berikan vasopresor, steroid atau bicarbonas natricus
30 Bila gagal, jangan berikan infus RL atau darah terus menerus,
lakukan resusitasi operatif untuk hentikan perdarahan
DISABILITY
31 Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS
32 Nilai pupil untuk besarnya, isokori dan reaksi
EXPOSURE/ENVIRONMENT
33 Buka pakaian penderita tetapi cegah hipotermi
TOTAL
NILAI = (Total/69)
Keterangan
0 = tidak melakukan
1 = melakukan tetapi salah
2 = dapat melakukan tetapi kurang benar
3 = dapat melakukan dengan benar dan sempurna
HORACENTESIS JARUM/NEEDLE DECOMPRESSION
Needle Thoracentesis
Needle Thoracentesis is the introduction of a needle or catheter into the pleural space
to release trapped or accumulated air within the pleural space.
Needle Thoracentesis is used to decompress the pleural cavity and allow the collapsed
lung to re-inflate and also to reduce the pressure on the heart and unaffected lung usually
associated with a tension pneumothorax. A Needle Thoracentesis is to be performed on
rapidly deteriorating patients who have developed a tension pneumothorax. (If this technique
is used and the patient does not have a tension pneumothorax, there is a 10% to 20% risk of
producing a pneumothorax and or causing damage to the lung.)
Contraindications
Needle Thoracentesis (chest decompression) is indicated in the field only in the face of a life-
threatening tension pneumothorax. In that situation, there are essentially no contraindications
since the only alternative is almost certain death.
Causes
Causes of Tension Pneumothorax or Hemopneumothorax include:
1. Blunt force trauma to the chest that ruptures a portion of lung tissue,
2. Fractured rib that punctures the lung tissue,
3. Spontaneous pneumothorax for no apparent reason.
4. Conversion of a simple pneumothorax to a tension pneumothorax by positive pressure
ventilation as with a bag-valve mask device etc.
5. Open pneumothorax that is covered and left unattended developing into a tension
pneumothorax
Complication
1. Creation of pneumothorax where none existed previously
2. Laceration of lung tissue
3. Bleeding from laceration of intercostal blood vessels
4. Severe pain to conscious patient (since this is life-threatening, the procedure must be
continued)
5. Local Hematoma
Equipment
The is a sterile technique. All equipment should be placed within easy access and prepared
prior to beginning the procedure:
1. BSI ( Body substance isolation)
2. 14 Gauge 3 inch over-the-needle catheter
3. Flutter valve or one-way valve if available (can be preassembled). The flutter valve
allows air to escape from the chest, but does not allow air to enter the chest. The flutter
valve can be home-made or purchased commercially.
4. 10 ml Syringe filled with sterile water or saline if available
Technique
Always assess the A-B-C‟s IE: ventilation, oxygenation, perfusion) If patient is conscious,
quickly explain the procedure and the need to perform it.
1. Open airway; stabilize neck if trauma related
2. Apply high flow oxygen via non-rebreather or assist ventilations as necessary with
BVM
3. Position the patient in the supine position
4. Expose the patients chest
5. Locate the second (2nd) intercostalspace mid-clavicularline, or the fifth (5th)
intercostals space mid-axillaryline
6. Prepare the site with aseptic technique using betadinesolution (swab)
7. Insert the needle at the second intercostalspace at the mid-clavicularline, directing the
needle just over the top of the third rib to avoid the intercostalvessels and nerves.
Nerves and Vessels are inferior the ribs.
8. After the pleural space is entered you will hear a pop and see bubbles entering the
syringe
9. Advance the catheter and remove the catheter needle and syringe
10. Secure the catheter to prevent removal and attach one-way valve
11. Once inserted the catheter can be secured by similar taping techniques used for
Intraosseous Infusions using 4X4 sponges or Abdominal pads bunched around the
catheter for protection, and wide tape to secure to the chest
12. Continuous monitoring of the placement must be done
13. Assist ventilations as needed
14. This patient will require on-going assessment during treatment and transport
15. Be prepared to repeat decompression if tension pneumothorax repeats
Contoh Kasus
Seorang pria 25 tahun korban kecelakaan lalu lintas sewaktu mengendarai motor. Dada
korban terasa nyeri dan mengeluh sesak nafas karena dada korban menabrak stang motor.
Anda sebagai dokter IGD memeriksa terdapat jejas di dada kanan korban, tidak ada luka
terbuka, suara nafas menurun di hemithoraks kanan. 15 menit kemudian pasien merasa
semakin sesak dan belum bisa dilakukan rontgen thoraks. Apa yang akan lalukan pada pasien
ini?
TORAKOSINTESIS JARUM
N SKOR
KRITERIA
O 0 1 2 3
1 Persiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan:
Betadine
Kassa steril
Plester
Jarum abocath atau IV cannula catheter ukuran 14 Gauge untuk
dewasa dan 18 Gauge untuk anak
Spuit 10 cc yang sudah diisi NaCl 0,90% 5 cc
Spuit 3 cc
lidocaine
Stetoskop
Gunakan perlengkapan yang steril untuk keamaan anda dan pasien, yaitu:
Handscoon
Face mask
Kacamata pelindung (goggle)
Apron (celemek) yang tahan air
2 Bila memungkinkan posisikan penderita dalam posisi tegak jika fraktur
servikal sudah disingkirkan
5 Auskultasi dada penderita dan pastikan anda menemukan suara paru yang
menghilang (vesikuler menghilang) pada sisi yang sakit.
SUb total
Total
NILAI = (Total/35)x100
PENUNTUN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF PEMERIKSAAN NEUROLOGI
Tanda-tanda meningeal timbul karena tertariknya radiks-radiks saraf tepi yang hipersensitif
karena adanya perangsangan atau peradangan pada selaput otak meninges (meningitis) akibat
infeksi, kimiawi ataupun karsinomatosis.Perangsangan meningeal bisa terjadi juga akibat
perdarahan subarachnoid.
Test-test untuk menguji ada tidaknya tanda meningeal banyak sekali, namun pada
dasarnya adalah variasi test pertama yang dikenalkan oleh Vladimir kering pada tahun
1884.Dokter akhli penyakit dalam dari Rusia ini memperhatikan adanya keterbatasan ekstensi
pasif sendi lutut pada pasien meningitis dalam posisi duduk maupun berbaring.Sampai sekarang
masih sering digunakan untuk tanda meningeal.
Selanjutnya Josep Brudzinski seorang ilmuan Polandia pada tahun 1909 mengenalkan
tanda lain dalam mendeteksi adanya tanda meningeal. Tanda yang diperkenalkan adalah gerakan
fleksi bilateral di sensi lutu dan panggul yang timbul secara reflektorik akibat difleksikannya
kepala pasien ke depan sampai menyentuh dada. Tanda ini dikenal sebagai tanda Brudzinski I.
Sebelumnya Brudzinski juga telah memperkenalkan adanya tanda tungkai kontralateral
sebagai tanda perangsangan meningeal, yaitu gerakan fleksi di sendi panggul dengan tungkai
pada posisi lurus disendi lutut akan membangkitkan secara reflektorik gerakan fleksi sendi lutut
dan panggul kontralateral. Tanda ini dikenal sebagai Tanda Brudzinski II.Urutan I dan II hanya
menunjukkan urutan pemeriksaannya saja, bukan urutan penemuannya.
Selain tanda-tanda yang sudah diseskripsikan di atas masih ada beberapa tanda meningeal
yang lain namun ada satu tanda lagi yang cukup penting yaitu kaku kuduk. Pada pasien
meningitis akan di dapatkan kekakuan atau tahanan pada kuduk nila difleksikan dan
diekstensikan.
Prosedur Pemeriksaaan
Untuk memudahkan pemeriksaan, pada keterampilan medik ini berturut-turut akan
dipelajari tanda-tanda meningeal sebagai berikut :
1. Kaku kuduk (Riginitas Nuchae)
2. Tanda Brudzinski I
3. Tanda Kernig
4. Tanda Lasegue
5. Tanda Brudzinski II
Interpretasi
Kaku kuduk dinyatakan positif jika sewaktu dilakukan gerakan, dagu penderita tidak
dapat menyentuh dua jari yang diletakkan di incisura jugularis, terdapat suatu tahanan
2. Tanda Brudzinski I
Pasien berbaring terlentang
Tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah kepala pasien
Kemudian dilakukan gerakan fleksi pada kepala pasien dengan cepat, gerakan fleksi
ini dilakukan semaksimal mungkin
Interpretasi
Tanda Brudzinksi positif jika sewaktu dilakukan gerakan fleksi kepala pasien timbul
fleksi involunter pada kedua tungkai
3. Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang
Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut dari pasien
Kemudian dilakukan ekstensi pada sendi lutut
Interpretasi
Tanda kernig positif jika waktu dilakukan ekstensi sendi lutut < 135°, timbul rasa
nyeri, sehingga ekstensi sendi lutut tidak bisa maksimal
2
Interpretasi
Tanda Brudzinski II positif jika sewaktu dilakukan gerakan di atas tadi, tungkai yang
kontralateral secara involunter ikut fleksi
Tanda Brudzinski I
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
Mempersiapkan penderita berbaring terlentang di atas tempat
2
tidur
Mempersiapkan tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah
3
kepala pasien
Melakukan gerakan fleksi pada kepala pasien dengan cepat dan
4
gerakan fleksi ini dilakukan semaksimal mungkin
Memperhatikan dan melaporkan ada tidaknya refleks fleksi
5
bilateral pada sendi panggul dan sendi lutut
6 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan Brudzinski I
JUMLAH SKOR
Tanda Kernig
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
Mempersiapkan penderita berbaring terlentang di atas tempat
2
tidur
3 Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut
4 Melakukan ekstensi pada sendi lutut
Memperhatikan dan melaporkan apakah pasien merasa nyeri
5
sehingga ekstensi tidak bisa maksimal atau tidak
6 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan tanda kernig
JUMLAH SKOR
Tanda Lasegue
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
Mempersiapkan penderita berbaring terlentang di
2
atas tempat tidur
Angkat salah satu tungkai hingga terjadi
3
bengkokan (fleksi) pada persendian panggul
Memperhatikan dan melaporkan apakah pasien
4 merasa sakit dan ada tahanan sehingga tungkai
tidak dapat mencapai 70°
Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan
5
tanda kernig
JUMLAH SKOR
Tanda Budzinski II
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
Mempersiapkan penderita berbaring terlentang di
2
atas tempat tidur
Pada salah satu tungkai bawah pasien dilakukan
3 fleksi secara pasif pada sendi panggul dan sendi
lutut
Memperhatikan dan melaporkan ada tidaknya
4
refleks fleksi pada sendi lutut kontralateral
Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan
5
Brudzinski II
JUMLAH SKOR
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 dilakukan, tapi belum sempurna
2 dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa
karena situasi yang tidak memungkinkan (misal tidak diperlukan dalam skenario
yang sedang dilaksanakan)
PENUNTUN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF “DISTOSIA BAHU DAN
PRESENTASE BOKONG”
TUJUAN PRAKTIKUM
POKOK-POKOK MATERI
c. Persiapan resusitasi :
1) Meja datar dan keras
2) Alas kain panjang
3) Pengganjal pungung tebal 3-5 cm
4) Lampu 60 watt
5) Penghisap lendir De lee
6) Kasa DTT
7) Vitamin K 1, 1mg
8) Vaksin Hb uniject
9) Salep mata oxytetrasiklin 1%
10) Sungkup (ambubag)
11) Oksigen dalam tabung
12) Handuk besar
13) Jam dengan jarum detik
B. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN:
1. Melakukan persiapan
a. Peralatan
b. Penjahitan perineum
c. Pertolongan untuk bayi (resusitasi)
2. Memberi salam dan memperkenalkan pada klien/keluarga, menjelaskan diagnosis,
tindakan yang akan dilakukan, resiko dan keuntungan tindakan, akibat bila tindakan
tidak dilakukan, membuat persetujuan tindakan medis/informed consent
2
3. Mendengar dan melihat tanda persalinan Kala II
a. Ibu mempunyai dorongan kuat untuk meneran
b. Ibu merasa adanya tekanan pada anus
c. Perineum menonjol
d. Anus dan vulva membuka
4. Memastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan esensial untuk menolong
persalinan dan penatalaksanaan komplikasi ibu dan bayi baru lahir. Untuk resusitasi
BBL (tempat datar, rata, cukup keras, bersih, kering dan hangat, lampu 60 watt dengan
jarak 60 cm dari tubuh bayi, 3 handuk/kain bersih dan kering, alat penghisap lendir,
tabung atau balon sungkup)
5. Menggelar kain diatas perut ibu dan tempat resusitasi serta ganjal bahu bayi
6. Menyiapkan oksitosin 10 i.u dan alat suntik steril sekali pakai di dalam partus set
7. Pakai celemek plastik dan perlengkapan diri lainnya. Melepaskan dan menyimpan
semua perhiasan yang dipakai, cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir,
kemudian keringkan tangan dengan tisue/handuk pribadi yang bersih dan kering.
8. Memakai sarung tangan DTT pada tangan kanan yang akan digunakan untuk
pemeriksaan dalam
RINGKASAN
3
persalinan letak sungsang. Oleh sebab itu Anda perlu memahami persiapan alat-alat untuk
persalinan sungsang, persetujuan untuk tindakan medik/lembar inform consent dan
mempersiapkan pasien.
TUJUAN PRAKTIKUM
POKOK-POKOK MATERI
2. Fase cepat
a. Mulai lahirnya umbilikus sampai mulut
b. Pada fase ini, kepala janin masuk panggul sehingga terjadi oklusi pembuluh darah
tali pusat antara kepala dengan tulang panggul sehingga sirkulasi uteroplasenta
terganggu
c. Disebut fase cepat oleh karena tahapan ini harus diselesaikan dalam 1-2 kali
kontraksi uterus (sekitar 8 menit)
LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN
5
BEBERAPA FASE MENOLONG KELAHIRAN BAYI
Fase lambat pertama (mulai lahirnya bokong, pusat sampai ujung scapula depan
dibawah sympisis)
2. Sifat penolong adalah pasif, hanya menolong membuka vulva, saat bokong dan kaki lahir
kedua tangan memegang bokong secara Bracht yaitu kedua ibu jari sejajar sumbu
panjang paha janin sedangkan jari-jari yang lain memegang pada pelvis (bila perlu
gunakan duk DTT untuk memegang bokong bayi).
Fase cepat : Lahirnya tali pusat sampai mulut. Saat tali pusat lahir, jari penolong yang
dekat dengan perut bayi mengendorkan tali pusat dan menunggu sampai ujung
scapula terlihat dibawah sympisis.
3. Saat ujung scapula anterior terlihat dibawah sympisis penolong melakukan gerakan
hiperlordosis yaitu punggung janin didekatkan ke perut ibu, bersamaan dengan
gerakan hiperlordosis asisten melakukan kristeler sampai dagu mulut lahir
(memperhatikan posisi tangan janin).
6
Gambar 2.3. Pegangan Bokong Anak pada Persalinan Spontan Bracht
b. Bila saat hiperlordosis terjadi hambatan (satu tangan atau kedua tangan bayi
menjungkit) segera lakukan pertolongan dengan cara manual aid ada 3 tahapan :
Bokong sampai umbilikus lahir secara spontan (pada frank breech)
Persalinan bahu dan lengan dibantu oleh penolong
Persalinan kepala dibantu oleh penolong
d. Persalinan bahu dengan cara Klasik, disebut pula sebagai tehnik Deventer. Melahirkan
lengan belakang dahulu dan kemudian melahirkan lengan depan dibawah simfisis (bila
bahu tersangkut di pintu atas panggul).
7
Prinsip :
Melahirkan lengan belakang lebih dulu (oleh karena ruangan panggul sebelah
belakang/sacrum relatif lebih luas didepan ruang panggul sebelah depan) kemudian
melahirkan lengan depan dibawah arcus pubis. Tetapi bila lengan depan sulit
dilahirkan maka lengan depan diputar menjadi lengan depan yaitu punggung diputar
melewati sympisis, dengan langkah sebagai berikut:
Kedua kaki janin dipegang dengan tangan penolong pada pergelangan kaki,
ditarik ke atas sejauh mungkin sehingga perut janin mendekati perut ibu.
Bersamaan dengan ibu tangan kiri penolong yaitu jari telunjuk dan jari tengah
masuk ke jalan lahir menelusuri bahu, fosa cubiti, kemudian lengan dilahirkan
seolah-olah mengusap muka janin.
Untuk melahirkan bahu lengan depan kaki janin dipegang dengan tangan kanan
ditarik curam ke bawah kearah punggung ibu kemudian dilahirkan.
Bila lengan depan sulit dilahirkan maka harus diputar menjadi lengan belakang
yaitu lengan yang sudah lahir disekam dengan kedua tangan penolong
sedemikian rupa sehingga kedua ibu jari penolong terletak di punggung dan
sejajar dengan sumbu badan janin sedang jari yang lain mencekam dada,
kemudian diputar punggung melewati sympisis sehingga lengan depan menjadi
lengan depan, lalu lengan dilahirkan dengan teknik tersebut diatas.
1. Tangan penolong yang dekat muka janin (tangan yang dekat dengan perut janin)
dimasukkan ke dalam jalan lahir yaitu jari tengah dimasukkan ke dalam mulut janin,
jari telunjuk dan jari manis pada fossa kanina (melakukan fleksi pada kepala janin),
sedangkan jari lain mencekam leher, kemudian badan bayi ditunggangkan pada lengan
bawah.
8
2. Kedua tangan penolong menarik curam ke bawah sambil seorang asisten melakukan
Kristeller ringan. Tenaga tarikan terutama dilakukan oleh tangan penolong yang
mencekam leher janin. Bila oksiput tampak dibawah sympisis kepala janin dielevasi ke
atas dengan suboksiput sebagai hipomoklion sehingga lahir berturut-turut dagu, mulut,
hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar dan akhirnya seluruh kepala.
2. a. Jika bayi menangis kuat dan aktif, lanjutkan ke langkah penanganan bayi baru
lahir normal
b. Jika bayi megap-megap/tidak bernafas dan atau tonus otot bayi tidak baik/bayi
lemas, lakukan langkah awal resusitasi (Lihat Pedoman Resusitasi).
3. Dengan perlindungan tangan kiri, pasang klem di dua tempat pada tali pusat dan
potong tali pusat diantara 2 klem tersebut.
RINGKASAN
Kemampuan Anda untuk melakukan pertolongan persalinan letak sungsang pada kala
II sangat penting, maka Anda perlu lebih memahami langkah-langkah untuk pertolongan
persalinan yang dimulai dari fase lambat pertama yaitu mulai dari lahirnya bokong sampai
umbilikus (scapula). Selanjutnya fase cepat yaitu lahirnya umbilikus sampai mulut yang
harus diselesaikan dalam 1 – 2 kali kontraksi uterus (sekitar 8 menit). Yang terakhir adalah
fase lambat kedua adalah kepala janin masuk panggul. Pada tahapan ini tidak boleh
dilakukan secara tergesa-gesa untuk menghidari dekompresi kepala yang terlampau cepat
yang dapat menyebabkan perdarahan intrakranial.
9
Nilailah kinerja yang diamati dengan menggunakan skala sebagai berikut :
1 : Anda melaksanakan langkah kerja atau kegiatan secara kompeten ketika dilakukan
evaluasi
0 : Anda tidak kompeten dalam melaksanakan langkah kerja atau kegiatan ketika
dilakukan evaluasi
1 Persiapan alat
a. Partus set berisi (2 pasang sarung tangan DTT, 2 klem Kocher, ½
kocher (1). Kasa steril minimal 4 buah, gunting tali pusat, gunting
episiotomi, benang tali pusat, kateter nelaton)
b. Kapas DTT
c. Uterotonika (Oksitosin (2), metergin)
d. Spuit 3 cc
e. Penghisap lendir
f. Bengkok
g. Funandoskop
h. Bahan-bahan yang disusun secara urut (celemek, handuk, alas
bokong, ganti untuk bayi/kain yang hangat, pakaian ganti ibu,
waslap)
i. Tempat sampah (tempat sampah medis, tempat sampah non medis)
j. Tempat pakaian kotor ibu
k. Air DTT (2)
l. Larutan Klorin 0,5 %
m. Peralatan cuci tangan
n. Tempat plasenta
o. Partograf dan alat pencatatan
p. Alat pelindung (alas kaki, kaca mata, masker)
q. Jam yang menggunakan detik
r. Tensimeter dan stetoskop
s. Perlengkapan resusitasi
t. Infus set dan cairan rehidrasi
10
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0
11
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0
12
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0
13
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0
Fase Cepat
(Lahirnya tali pusat sampai mulut)
21 Saat tali pusat lahir jari penolong yang dekat dengan perut bayi
mengendorkan tali pusat dan menunggu sampai ujung scapula terlihat
dibawah sympisis
22 Saat ujung scapula anterior terlihat dibawah sympisis penolong
melakukan gerakan hiperlordosis yaitu punggung janin didekatkan ke
perut ibu, bersamaan dengan gerakan hiperlordosis asisten melakukan
kristeler sampai dagu mulut lahir (memperhatikan posisi tangan janin )
Catatan :
Pada saat hiperlordosis penolong melihat kedua tangan bayi
bersilang di depan dada/kedua tangan bayi sudah sudah lahir maka
lanjutkan dengan persalinan spontan bracht. Bersamaam dengan
gerakan hyperlordosisi asisten melakukan klisteller sampai dagu
mulut lahir.
Bila saat hiperleordosis terjadi hambatan (satu tangan atau kedua
tangan bayi menjungkit) segera lakukan pertolongan dengan cara
manual aid, yang terdiri atas 3 tahapan berikut :
Bokong sampai umbilikus lahir secara spontan (pada frank
breech)
Persalinan bahu dan lengan dibantu oleh penolong
Persalinan kepala dibantu oleh penolong
Pertolongan dapat dilanjutkan dengan cara Lovset/klasik (Deventer)
Prinsip :
Melahirkan lengan belakang lebih dulu (karena ruangan panggul
sebelah belakang/sacrum relatif lebih luas didepan ruang panggul
sebelah depan) dan kemudian melahirkan lengan depan dibawah
arcus pubis. Tetapi bila lengan depan sulit dilahirkan maka lengan
14
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0
24 Pegang bayi dengan hati-hati dan letakkan bayi diatas perut ibu
sambil melakukan penilaian kondisi bayi, lakukan penanganan bayi
baru lahir.
25 Pegang bayi dengan hati-hati dan letakkan bayi diatas perut ibu sambil
melakukan penilaian kondisi bayi, lakukan penilaian selintas. Bayi
Baru Lahir :
a. Apakah baik menangis atau bernafas/tidak megap-megap ?
15
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0
16
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0
Rujuk ibu bila plasenta tidak lahir dalam waktu 15 menit kedua
31 Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta
dengan hati-hati. Bila perlu (terasa ada tekanan) pegang plasenta
dengan kedua tangan dan lakukan putaran searah untuk membantu
pengeluaran plasenta dan mencegah robeknya selaput ketuban
32 Bila selaput ketuban robek, dapat digunakan klem untuk menarik
robekan selaput ketuban tersebut keluar atau masukkan jari telunjuk
dan jari tengah tangan kanan ke dalam vagina untuk melepaskan
selaput ketuban dari mulut rahim.
a. Masase Uterus
Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri
dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian
palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba
keras)
b. Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan Pasca Persalinan
Periksa bagian maternal dan bagian fetal plasenta dengan tangan
kanan untuk memastikan bahwa seluruh kotiledon dan selaput
ketuban sudah lahir lengkap dan masukkan ke dalam kantong
plastik yang tersedia
PERAWATAN KALA IV
33 Memeriksa apakah ada robekan pada introitus vagina dan perineum
yang menimbulkan perdarahan aktif.
(Bila ada robekan yang menimbulkan perdarahan aktif segera lakukan
penjahitan)
34 Periksa kembali kontraksi uterus dan tanda adanya perdarahan
pervaginam pastikan kontraksi uterus baik
35 Membersihkan sarung tangan dari lendir dan darah di dalam larutan
klorin 0,5 % kemudian bilas tangan yang masih mengenakan sarung
tangan dengan air yang sudah didesinfeksi tingkat tinggi
Perawatan Bayi Lanjut
36 Mengikat Tali Pusat :
a. Mengikat tali pusat + 1 cm dari umbilikus dengan simpul mati
b. Mengikat balik tali pusat dengan simpul mati untuk kedua kalinya
c. Melepaskan klem pada tali pusat dan memasukkannya dalam
wadah berisi larutan klorin 0,5%
d. Membungkus kembali bayi
e. Berikan bayi kepada ibu untuk disusui
37 a. Lanjutkan pemantapan terhadap kontraksi uterus, tanda
perdarahan pervaginam dan tanda vital ibu :
17
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0
18
RINGKASAN
Daftar Pustaka
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. 1984.
Obstetri Patologi. Bandung: Elstar Offset.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita. 2008. Gawat Darurat Obstetri Ginekologi & Obstetri
Ginekologi Sosial untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC.
19
PANDUAN PRAKTIKUM DISTOSIA BAHU
1. Pengertian
Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana setelah kepala dilahirkan, bahu anterior
tidak dapat lewat di bawah simfisis pubis. Kondisi ini merupakan kegawatdaruratan obstetri
karena bayi dapat meninggal jika tidak segera dilahirkan.
Distosia bahu adalah tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan setelah
kepala janin dilahirkan. Lahirnya kepala umumnya diikuti dengan lahirnya bahu dalam waktu
sekitar 24 detik, namun jika lebih dari 60 detik tidak terjadi persalinan bahu maka disebut
sebagai distosia bahu (Manuaba, 2007).
2. Patofisiologi
Setelah kelahiran kepala, akan terjadi putaran paksi luar yang menyebabkan kepala
berada pada sumbu normal dengan tulang belakang bahu pada umumnya akan berada pada
sumbu miring (oblique) di bawah ramus pubis. Dorongan pada saat ibu meneran akan
meyebabkan bahu depan (anterior) berada di bawah pubis, bila bahu gagal untuk
mengadakan putaran menyesuaikan dengan sumbu miring dan tetap berada pada posisi
anteroposterior, pada bayi yang besar akan terjadi benturan bahu depan terhadap simfisis
sehingga bahu tidak bisa lahir mengikuti kepala.
3. Etiologi
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu untuk
“melipat” ke dalam panggul (misal : pada makrosomia) disebabkan oleh fase aktif dan
persalinan kala II yang pendek pada multipara sehingga penurunan kepala yang terlalu cepat
menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalui jalan lahir atau kepala telah melalui
20
pintu tengah panggul setelah mengalami pemanjangan kala II sebelah bahu berhasil melipat
masuk ke dalam panggul.
4. Diagnosis
Tanda distosia bahu yang harus diamati/dapat diidentifikasi penolong persalinan
adalah:
1. Kepala bayi telah lahir namun masih erat berada di vulva
2. Kepala bayi telah lahir tetapi tertarik kembali ke dalam vagina (turtle sign)
3. Tidak terjadi putar paksi luar
5. Faktor Predisposisi
Waspadai terjadinya distosia bahu pada persalinan berisiko:
Antepartu Intrapartu
m m
Riwayat distosia bahu sebelumnya Kala I persalinan memanjang
Makrosomia > 4500 gram Secondary arrest
Diabetes melitus Kala II persalinan memanjang
IMT > 30 kg/m2 Augmentasi oksitosin
Induksi persalinan Persalinan pervaginam yang ditolong
CPD dukun
Bayi makrosomia adalah bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4000 gram, atau lebih
dari dua standar deviasi atau di atas 90 persent dari berat badan normal. Pada saat
penapisan ibu bersalin, apabila diidentifikasi parturien dengan tinggi fundus uteri > 40 cm
atau persalinan fase aktif penurunan kepala masih 5/5 maka harus diwaspadai adanya bayi
makrosomia sehingga harus segera dilakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan
dengan kemampuan persalinan perabdominal.
6. Komplikasi
a. Trauma Maternal
Trauma jalan lahir
Perdarahan pasca salin
Infeksi
b. Trauma Perinatal
Trauma persendian : dislokasi persendian bahu, fraktur tulang
humerus, fraktur tulang leher
Trauma medula oblongata : asfiksia, gangguan jantung
Trauma pleksus brakhialis : Erb’s paralisis, paralisis Klumpke
21
7. Alat dan bahan yang dibutuhkan
Alat dan bahan yang dibutuhkan sama dengan Asuhan Persalinan Normal. Namun
memerlukan tambahan sepasang sarung tangan DTT/steril dan set oksigen dengan nasal
kanula untuk bayi.
8. Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum
1) Episiotomi
Episiotomi dilakukan dengan tujuan memperluas jalan lahir sehingga bahu
diharapkan dapat lahir
2) Tekanan ringan pada suprapubic
Dilakukan tekanan ringan pada daerah suprapubik dan secara bersamaan
dilakukan traksi curam bawah pada kepala janin
3) Manuver Mc Robert (1983)
Minta bantuan tenaga kesehatan lain, untuk menolong persalinan dan
resusitasi neonatus bila diperlukan. Bersiaplah juga untuk kemungkinan
perdarahan pascasalin atau robekan perineum setelah tatalaksana.
Lakukan manuver Mc Robert. Dalam posisi ibu berbaring telentang,
mintalah ia untuk menekuk kedua tungkainya dan mendekatkan lututnya
sejauh mungkin ke arah dadanya. Mintalah bantuan 2 orang asisten untuk
menekan fleksi kedua lutut ibu ke arah dada.
Mintalah salah seorang asisten untuk melakukan tekanan secara simultan
ke arah lateral bawah pada daerah suprasimfisis untuk membantu
persalinan bahu.
61
b. Tatalaksana Khusus
1) Jika bahu masih belum dapat dilahirkan, lakukan hal berikut :
a) Manuver Corkscrew Woods (1943)
Buatlah episiotomi untuk memberi ruangan yang cukup
untuk memudahkan manuver internal
Pakailah sarung tangan yang telah didisinfeksi tingkat
tinggi, masukkan tangan ke dalam vagina pada sisi punggung bayi
Lakukan penekanan di sisi posterior pada bahu posterior
untuk mengadduksikan bahu dan mengecilkan diameter bahu
Rotasikan bahu ke diameter oblik untuk membebaskan distosia bahu.
Jika diperlukan, lakukan juga penekanan pada sisi posterior
bahu anterior dan rotasikan bahu ke diameter oblik
Maneuver Wood
Manuver Rubin
62
Penekanan fundus yang dilakukan pada saat yang salah akan
mengakibatkan bahu depan semakin terjepit (Gross dkk., 1987)
e) Posisi Merangkak (Manuver Gaskin’s /All-Fours)
Minta ibu untuk berganti posisi merangkak
Coba ganti kelahiran bayi tersebut dalam posisi ini dengan cara
melakukan tarikan perlahan pada bahu anterior ke arah atas dengan
hati-hati.
Segera setelah lahir bahu anterior, lahirkan bahu posterior dengan
tarikan perlahan ke arah bagian bawah dengan hati-hati.
Gaskin’s/All-Fours Manuvver
63
mengerjakan simfisiotomi, ketiga bayi mati dan terdapat morbiditas
ibu signifikan akibat cedera traktus urinarius.
8. Upaya Pencegahan
Identifikasi dan obati diabetes pada ibu. Tawarkan persalinan elektif dengan
induksi maupun seksio sesarea pada ibu dengan diabetes yang usia
kehamilannya mencapai 38 minggu dan bayinya tumbuh normal.
Selalu bersiap bila sewaktu-waktu terjadi distosia bahu.
Kenali adanya distosia seawal mungkin. Upaya mengejan, menekan suprapubis
atau fundus, dan traksi berpotensi meningkatkan risiko cedera pada janin.
64
STANDART OPERATING PROSEDUR
(SOP)
TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
Pengertian Distosia bahu adalah tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan
setelah kepala janin dilahirkan.
Diagnosis Diagnosis distosia bahu :
Kepala bayi telah lahir namun masih erat berada di vulva
Kepala bayi telah lahir tetapi tertarik kembali ke dalam vagina (turtle
sign)
Tidak terjadi putar paksi luar
Tujuan Melahirkan bahu dan lengan janin
Mencegah komplikasi distosia bahu seperti hipoksia, trauma pleksus
brakhialis
Prosedur Langkah Tindakan Visualisasi
1. Menilai tanda-tanda
distosia bahu
2. Menjelaskan diagnosis,
tindakan yang akan
dilakukan, resiko dan
keuntungan tindakan,
akibat bila tindakan
tidak dilakukan,
membuat persetujuan
tindakan medis/
informed consent
65
TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
3. Meminta pertolongan
kepada orang yang ada
di sekitar ibu (suami
atau keluarga) dan
petugas kesehatan yang
lain.
6. Lakukan episiotomi
secukupnya untuk
mengurangi obstruksi
jaringan lunak dan
memberi ruangan yang
cukup untuk tindakan
pertolongan
7. Lakukan Manuver
McRobert‟s
Posisi ibu berbaring
terlentang, minta ibu
untuk menarik kedua
lututnya sejauh
mungkin ke arah
dadanya. Bila ada
asisten atau keluarga
dapat diminta untuk
66
TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
membantu ibu.
Tarik kepala bayi
dengan hati-hati dan
mantap, serta terus
menerus ke arah
bawah (arah anus)
untuk menggerakkan
bahu anterior di
bawah simfisis pubis.
Keyword :
Hindari tarikan yang
berlebihan pada kepala
karena dapat menimbulkan
trauma pada pleksus
brakhialis
Bersamaan dengan
itu minta asisten
melakukan
penekanan di supra
pubis secara
simultan.
Keyword :
Jangan melakukan
tekanan/dorongan pada
fundud sebab akan
mempengaruhi bahu lebih
jauh dan menyebabkan
ruptura uteri
67
TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
Minta ibu untuk
berganti posisi
merangkak.
Bantu kelahiran bayi
dengan cara
melakukan tarikan
perlahan pada bahu
anterior ke arah atas
secara hati-hati.
Setelah bahu
anterior lahir,
lahirkan bahu
posterior dengan
tarikan perlahan ke
arah bawah.
68
TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
telunjuk untuk
melewati dada dan
kepala bayi, atau
seperti mengusap
muka bayi),
kemudian terik
hingga bahu posterior
dan seluruh lengan
posterior dapat
dilahirkan
Bahu anterior dapat
lahir dengan mudah
setelah bahu dan
lengan posterior
dilahirkan
Bila bahu anterior
sulit dilahirkan, putar
bahu posterior ke
depan (jangan
menarik lengan bayi
tetapi dorong bahu
posterior), dan putar
bahu anterior ke
belakang
(mendorong anterior
bahu depan dengan
jari telunjuk dan jari
tengah operator)
mengikuti arah
punggung bayi
sehingga bahu
anterior dapat
dilahirkan.
69
TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
10.Jika semua tindakan di
atas tetap tidak dapat
melahirkan bahu,
segera lakukan rujukan
sambil terus melakukan
usaha melahirkan bahu
selama di perjalanan
dan memasang oksigen
pada bayi.
70
RINGKASAN
71
terapkanlah keterampilan yang telah Anda dapatkan dan perhatikanlah kewenangan profesi
Anda.
Daftar Pustaka
JNPK-KR. Asuhan Persalinan Normal – Asuhan Esensial Persalinan. Edisi Revisi Cetakan ke-3.
Jakarta: JNPK-KR. 2007.
Manuaba, Ida Bagus Gde. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC. 2007.
Saifuddin, Abdul Bari, dkk. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 2000.
Saifudin, Abdul Bari, dkk. Panduan Praktis Pelayanan Maternal Neonatal. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiriharjo. 2002. Hal: P 43-44
72
73
PANDUAN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF
PENDAHULUAN
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang
menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap
Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa
terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera
karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan
untuk menghambat kematian kemudian, late, karena trauma yang terjadi dalam
beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital (ventilasi
tidak adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi end-organ tidak
memadai), cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
rusaknya pusat regulasi batang otak), atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini
mempunyai pola yang dapat diprediksi (mekanisme cedera, usia, sex, bentuk tubuh,
atau kondisi lingkungan). Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien,
mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan
sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau transfer
kefasilitas sesuai.
Setiap bencana selalu menampilkan bahaya dan kesulitannya masing-masing. Yang
akan dibicarakan berikut ini antara lain adalah petunjuk umum dalam mengelola
korban bencana disamping untuk kegawatan sehari-hari. Mungkin diperlukan
modifikasi oleh pemegang komando bila dianggap diperlukan perubahan.
Bencana adalah setiap keadaan dimana jumlah pasien sakit atau cedera melebihi
kemampuan sistem gawat darurat yang tersedia dalam memberikan perawatan
adekuat secara cepat dalam usaha meminimalkan kecacadan atau kematian (korban
massal), dengan terjadinya gangguan tatanan sosial, sarana, prasarana (Bencana
kompleks bila disertai ancaman keamanan). Bencana mungkin disebabkan oleh ulah
manusia atau alam. Keberhasilan pengelolaan bencana memerlukan perencanaan
sistem pelayanan gawat darurat lokal, regional dan nasional, pemadam kebakaran /
rescue, petugas hukum dan masyarakat. Kesiapan rumah sakit serta kesiapan
pelayanan spesialistik harus disertakan dalam mempersiapkan perencanaan bencana.
Secara nasional kegiatan penanggulangan gawat darurat sehari-hari maupun dalam
bencana diatur dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT S/B)
yang harus diterapkan oleh semua fihak termasuk masyarakat awam, dibagi kedalam
subsistem pra rumah sakit, rumah sakit dan antar rumah sakit.
Proses pengelolaan bencana diatur dalam Sistem Komando Bencana. Kendali
biasanya ditangan Bakornas-PB (Banas) / Satkorlak-PB / Satlak-PB, namun bisa juga
pada penegak hukum seperti pada kasus kriminal / terorisme atau penyanderaan.
Kelompok lain bisa membantu pemegang kendali. Jaringan transportasi dan
komunikasi antar instansi harus sudah dimiliki untuk mendapatkan pengelolaan
bencana yang berhasil.
TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit
(berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk
menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas
atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang
merupakan proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik.
Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat
dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat
berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera,
usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang
mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera
neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita
sebelumnya.
Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan dalam satu
kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih dibanding
amputasi traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat bersamaan juga
dilakukan tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan
menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai
hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana
memaksimalkan jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses
ini berakibat pasien cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis
distabilkan. Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan
bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan
START (Simple Triage And Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana
transportasi saat bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.
Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase untuk
mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
*) tenaga dan fasilitas pusat pelayanan, pasien dengan peluang hidup terbesar dengan
paling sedikit manghabiskan waktu, peralatan dan persediaan, ditindak lebih dulu.
Ketua Tim Medik mengatur Sub Tim Triase dari Tim Tanggap Pertama (First
Responders) untuk secara cepat menilai dan men tag korban. Setelah pemilahan
selesai, Tim Tanggap Pertama melakukan tindakan sesuai kode pada tag. (Umumnya
tim tidak mempunyai tugas hanya sebagai petugas triase, namun juga melakukan
tindakan pasca triase setelah triase selesai).
1. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan.
2. Tim tanggap pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan bahaya,
keamanan dan jumlah korban dan kebutuhan untuk menentukan tingkat respons yang
memadai (Rapid Health Assessment / RHA).
3. Beritahukan koordinator propinsi (Kadinkes Propinsi) untuk mengumumkan
bencana serta mengirim kebutuhan dan dukungan antar instansi sesuai yang
ditentukan oleh beratnya kejadian (dari kesimpulan RHA).
4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu tersedia :
- Petugas Komando Bencana.
- Petugas Komunikasi.
- Petugas Ekstrikasi/Bahaya.
- Petugas Triase Primer.
- Petugas Triase Sekunder.
- Petugas Perawatan.
- Petugas Angkut atau Transportasi.
5. Kenali dan tunjuk area sektor bencana :
- Sektor Komando / Komunikasi Bencana.
- Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
- Sektor Bencana.
- Sektor Ekstrikasi / Bahaya.
- Sektor Triase.
- Sektor Tindakan Primer.
- Sektor Tindakan Sekunder.
- Sektor Transportasi.
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana :
7. Kritik Pasca Musibah.
8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor Tindakan Utama dimana korban
kelompok merah dan kuning yang menunggu transport dikumpulkan untuk lebih
mengefisienkan persedian dan tenaga medis dalam resusitasi-stabilisasi.
TINDAKAN DAN EVAKUASI MEDIK
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai melakukan
triase) mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban berdasar prioritas triase,
dan kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama sesuai kode prioritas.
Kode merah dipindahkan ke Area Tindakan Utama terlebih dahulu.
TRANSPORTASI KORBAN
Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan keberangkatan serta transportasi
yang sesuai. Koordinator Transportasi bekerjasama dengan Koordinator Medik
menentukan rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius sampai kerumah sakit yang
sesuai dalam periode emas hingga tindakan definitif dilaksanakan pada saatnya. Ingat
untuk tidak membebani RS rujukan melebihi kemampuannya. Cegah pasien yang
kurang serius dikirim ke RS utama. (Jangan pindahkan bencana ke RS).
PERIMETER
Perimeter Terluar.
Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan mengatur perimeter
sekitar lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan masuk kedaerah berbahaya.
Perimeter seluas mungkin untuk mencegah yang tidak berkepentingan masuk dan
memudahkan kendaraan gawat darurat masuk dan keluar.
Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua kegiatan
dalam keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan berbahaya
dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa membunuh
penolong atau korban, ia punya wewenang menghentikan atau merubah operasi untuk
mecegah risiko lebih lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan efektif
dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk menyelamatkan
hidup, untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan.
PENILAIAN AWAL.
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasi-
stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai.
Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang
diketakui pada awal proses. Bila tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkah-
langkah survei primer. Kondisi pengancam jiwa diutamakan.
Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing,
circulation and hemorrhage control, disability, exposure/environment).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak
terhambat. Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda
asing dan akibat penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan
nafas hingga intubasi atau krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan kritis
bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea,
perkusi dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding
dada atau adanya defek yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai
pemberian oksigen hingga pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik.
Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan
eksternal. Lihat vena leher apakah terbendung atau kolaps, apakah bunyi jantung
terdengar, pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi. Tindakan pertama atas
hipovolemia adalah memberikan RL secara cepat melalui 2 kateter IV besar secara
perifer di ekstremitas atas. Kontrol perdarahan eksternal dengan penekanan langsung
atau pembedahan, dan tindakan bedah lain sesuai indikasi.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan lakukan pemeriksaan motorik.
Tentukan adakah cedera kepala atau kord spinal serius. Periksa ukuran pupil, reaksi
terhadap cahaya, kesimetrisannya. Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati
gerak ekstremitas spontan dan usaha bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris
dengan refleks cahaya terganggu atau hilang serta adanya hemiparesis memerlukan
tindakan atas herniasi otak dan hipertensi intrakranial yang memerlukan konsultasi
bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia menunjukkan
cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan pemberian
metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila usaha inspirasi
terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera.
Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai
tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan
memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan
pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama
survei primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter
denyut. Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang
pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi
cairan lambung. Katater Foley kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus,
ekimosis skrotum / labia major, prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk
menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi.
Survei Sekunder.
Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase
resusitasi. Pada saat ini kenali semua cedera dengan memeriksa dari kepala hingga
jari kaki. Nilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk
menilai respons atas resusitasi dan untuk mengetahui perburukan. Selanjutnya cari
riwayat, termasuk laporan petugas pra RS, keluarga, atau korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya,
alergi dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir,
kejadian sekitar kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan survei sekunder
mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu
dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis pasien secara umum.
PENUTUP.
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat dalam
pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando Bencana
dan berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat medis baik
dalam keadaan bencana atau sehari-hari. Semua petugas harus waspada dan memiliki
pengetahuan sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-jawabannya dalam
usaha penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua petugas
harus berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan bencana
agar lebih terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.
RUJUKAN.
1. Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life
Support (GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan
Ketiga. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I. 2006.
2. Penanggulangan Kegawatdaruratan sehari-hari & bencana. Departemen Kesehatan
R.I. Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006.
3. Tanggap Darurat Bencana (Safe Community). Departemen Kesehatan R.I. Jakarta :
Departemen Kesehatan, 2006.
4. Prosedur Tetap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana dan Penaanganan
Pengungsi. Departemen Kesehatan R.I. Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan.
Tahun 2002.
5. Advanced Trauma Life Support. Course for Physicians 6th. edition. American
College of Surgeons, 55 East Erie Street, Chicago, IL 60611-2797.
6. Multiple Casualty Insidents. Available at
http://www.vgernet.net/bkand/state/multiple.html.
KEGAWATDARURATAN KOMPLIKASI AKUT PADA DIABETES MELITUS
Komplikasi akut dari Diabetes Melitus dengan kondisi glukosa darah yang
sangat tinggi (krisis hiperglikemi) terbagi menjadi Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan
Status Hiperglikemik Hiperosmolar (SHH). Sedangkan komplikasi akut dari Diabetes
Melitus dengan kadar glukosa yang rendah disebutkan sebagai keadaan hipoglikemi.
Baik komplikasi akut dengan keadaan hiperglikemi ataupun hipoglikemi merupakan
keadaan yang berbahaya dan dapat mengancam nyawa jika tidak tertangani dengan
baik.
A. Diabetes Melitus
1. Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi
ketika pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang
cukup atau dapat juga disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh
untuk merespon kerja insulin secara efektif Peningkatan kadar gula dalam
darah atau hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada
diabetes dan seringkali mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup
serius pada tubuh, terutama pada sel saraf dan pembuluh darah
(WHO,2008).
KRISIS HIPERGLIKEMI
B. Ketoasidosis Diabetik
1. Definisi
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes
yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-
600 mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan
anion gap. KAD terjadi bila terdapat defisiensi insulin yang berat
sehingga tidak saja menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi berat, tapi
juga mengakibatkan peningkatan produksi keton dan asidosis. (Perkeni,
2015)
2. Patofisiologi
Untuk terjadi KAD, harus terdapat defisiensi insulin dan
peningkatan tajam glukagon. Penurunan rasio insulin terhadap glukagon
meningkatkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan pembentukan badan
keton di hepar. Kondisi tersebut juga disertai dengan peningkatan
pengiriman substrat (asam lemak bebas dan asam amino) dari jaringan
lemak dan otot menuju hepar (Dan Longo et al, 2011).
3. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis tentu selalu dilakukan dengan anamnesis
yang detail, pemeriksaan fisik yang teliti, dan dibantu dengan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan. Dari anamnesis dapat ditemukan riwayat
seseorang pengidap diabetes atau bukan dengan keluhan polyuria, polidipsi,
rasa lelah, kram otot, mual muntah, dan nyeri perut. Pada keadaan yang berat
dapat ditemukan keadaan penurunan kesadaran hingga koma.
Kunci diagnosis pada KAD adalah adanya peningkatan total benda keton
di sirkulasi. Gula darah lebih dari 250 mg/dl dianggap sebagai kriteria
diagnosis utama KAD, walaupun terdpaat istilah KAD euglikemik, dengan
demikian setiap pengidap diabetes yang gula darahnya lebih dari 250
mg/dlharus dipikirkan kemungkinan ketosis atau KAD jika disertai keadaan
klinis yang sesuai. Derajat keasaman darah (pH) yang kurang dari 7,35
dianggap sebagai ambang adanya asidosis, hanya saja pada keadaan yang
terkompensasi seringkali pH menunjukkan angka normal. Pada keadaan
seperti itu jika angka HCO3 kurang dari 18 mEq/l ditambah dengan keadaan
klinis yang sesuai, maka sudah cukup untuk menegakkan KAD. Pada awal
masuk rumah sakit seringkali terdapat leukosistosis pada pasien KAD akibat
stress metabolic dan dehidrasi, sehingga jangan terburu-buru memberikan
antibiotic jika jumlah leukosit antara 10.000-15.000 m3.
DIAGNOSIS HHS DKA
4. Tatalaksana
Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi,
hiperglikemia, gangguan elektrolit, komorbiditas, dan monitoring selama
perawatan.
Cairan IV
Cairan IV
Insulin
Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD.
Pemberian insulin intravena kontinyu lebih disukai karena waktu
paruhnya pendek dan mudah dititrasi. Dari beberapa studi prospektif
dengan randomisasi didapatkan bahwa pemberian insulin regular dosis
rendah intravena merupakan cara efektif dan terpilih. Jika dosis insulin
intravena yang diberikan sekitar 0,1-1,15 unit/jam, maka sebenarnya
tidak diperlukan insulin bolus di awal. Dengan pemberian insuin
intravena dosis rendah diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma
dengan kecepatan 50-100mg/dl setiap jam sampai glukosa turun ke
sekitar 200 mg/dl, lalu kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02-0,05
unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah berada sekitar 150-200 mg/dl maka
pemberian infus dekstrose dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia
(Kitabchi, 2009).
Insulin
0.1 U/kgBB
0.15U/kgBB/jam/
bolus IV
IV drip insulin
0.1 U/kgBB/jam IV
drip insulin
KAD SHH
Tabel 3. Regimen terapi dosis insulin koreksional pada pasien rawat inap
(PERKENI, 2015).
Kalium
K+ = 3-5 mEq/L
Bikarbonat
Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi
bikarbonat tidak direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika pH
darah kurang dari 6,9. Hanya saja pada keadaan dengan ganguan
fungsi ginjal yang signifikan seringkali sulit membedakan apakah
asidosisnya karena KAD atau karena gagal ginjalnya. Efek buruk dari
koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya adalah meningkatnya
risiko hypokalemia, menurunnya asupan oksigen jaringan, edema
serebri, dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal (Kitabchi, 2009).
Bikarbonat
Fosfat
Meskipun sering terjadi hipofosfatemia pada KAD, serum
fosfat sering ditemukan dalam keadan normal atau meningkat saat
awal. Kadar fosfat akan menurun dengan pemberian insulin. Dari
beberapa studi tidak ditemukan manfaat yang bermakna pemberian
fosfat pada KAD, bahkan pemberian fosfat yang berlebihan akan
mencetuskan hipokalsemia berat. Pada keadaan konsentrasi serum
fosfat kurang dari 1mg/dl dan disertai dengan disfungsi kardiak,
anemia, atau depresi napas akibat kelemahan otot, maka kondisi fosfat
menjadi pertimbangan penting (Soewondo, 2009).
C. Status Hiperglikemi Hiperosmolar
1. Definisi
Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-
380 mOs/ml), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.
SHH terjadi ketika terdapat defisiensi insulin yang relatif (terhadap kebutuhan
insulin) sehingga menimbulkan dehidrasi dan hiperosmolaritas tanpa disertai
asidosis. (Perkeni, 2015)
2. Epidemiologi
Epidemiologi SHH pada anak dan dewasa telah diketahui belakangan
ini (Zeitler at al., 2011) HHS berjumlah sekitar 5-15% dari seluruh kasus
emergensi hiperglikemi pada diabetes anak-anak maupun dewasa. Pada
dewasa HHS terjadi dengan frekuensi 17,5 kasus per 100.000 penduduk per
tahun. (Venkatraman & Singhi, 2006).
3. Patofisiologi
Kejadian yang menginisiasi pada SHH adalah glucosuric dieresis.
Munculnya kadar glukosa dalam urin memperburuk kapasitas pengenceran
urin oleh ginjal, sehingga menyebabkan kehilangan air yang lebih parah.
Dalam kondisi yang normal, ginjal berperan sebagai katup penfaman untuk
mengeluarkan glukosa yang melewati ambang batas dan mencegah akumulasi
glukosa lebih lanjut. Penurunan volume intravascular atau penyakit ginjal
dapat menurunkan LFG (Laju filtrasi glomerulus) menyebabkan kadar glukosa
meningkat. Pengeluaran lebih banyak air daripada natrium menyebabkan
hiperosmolar. Insulin diprosuksi, namun tidak cukup mampu untuk
menurunkan kadar glukosa, terutama pada kondisi resistansi insulin pada
penderita Diabetes Melitus (Stoner, 2005).
Gambar 3. Patofisiologi Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar (Zeitler at al., 2011)
4. Diagnosis
Pasien dengan SHH, umumnya berusia lanjut, belum diketahui
mempunyai DM, dan pasien DM tipe-2 yang mendapat pengaturan diet dan atau
obat hipoglikemik oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin
rnemperberat masalah, misalnya diuretik.
Keluhan pasien SHH ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki
kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang
jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan
saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma.
5. Tatalaksana
Tujuan dari penatalaksanaan SHH adalah mengobati penyebab yang
mendasari dan secara bertahap dan aman :
- normalisasi osmolalitas
- menggantikan cairan dan elektrolit yang hilang
- normalisasi kadar gula darah
Tujuan lainnya adalah untuk mencegah terjadinya :
- Arterial atau thrombosis vena
-potensi komplikasi lainnya seperti edema cerebral/ central pontine
myelinolysis
- foot ulceration.
Beberapa prinsip dalam penatalaksanaan SHH
- Mengukur atau menghitung osmolalitas (2NA+ + glukosa + urea) secara
berkala untuk memonitor respon pengobatan.
-Gunakan IV NaCl 0,9% sebagai cairan utama untuk mengembalikan volume
sirkulasi dan mengembalikan dehidrasi. Alihkan ke larutan NaCl 0,45%
hanya jika osmolalitas tidak menurun meskipun cairan sudah diberikan.
-Penurunan kadar glukosa darah tidak boleh lebih dari 5 mmol/L/jam. Dosis
rendah insulin (0,05 unit/kg/jam) harus diberikan ketika glukosan darah
tidak menurun dengan pemberian cairan IV tunggal atau segera jika ada
ketonaemia yang signifikan (3β-hydroxy butyrate lebih dari 1mmol/L)
(JBDS,2012).
4. Diagnosis
Kadar glukosa darah di bawah harga normal (70 – 110 mg/dl ) yang
disebabkan karena penggunaan obat anti diabetic oral. Selain itu akibat
kelebihan sekresi hormon insulin, merupakan pencetus timbulnya
hipoglikemi.
Faktor resiko
Hip1o.gliH
kemia berat Kejadian hipoglikemia yang membutuhkan bantuan
i orang lain
Hipoglipkemia simtomatik GDS < 70 mg/dL disertai gejala hipoglikemia
Hipogliokemia asimtomatik GDS < 70 mg/dL tanpa gejala hipoglikemia
Probablge hipoglikemia Gejala klinis hipoglikemia tanpa pemeriksaan GDS
Hipoglilkemia relatif GDS > 70 mg/dL dengan gejala hipoglikemia
6. Komplikasi
Terganggunya fungsi otak
Hipoglikemia berat
1. Jika didapat gejala neuroglikopeni, terapi parenteral diperlukan
berupa pemberian dextrose 20% sebanyak 50 cc atau dextrose 40%
sebanyak 25 cc, diikuti dengan infus D5% atau D10%.
2. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v. Bila kadar
glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang
pemberian dextrose 20%.
8. Prognosis
Prognosis hipoglikemia dinilai dari penyebab, nilai glukosa darah,
dan waktu onset. Apabila bersifat simtomatik dan segera diobati memiliki
prognosis baik (dubia et bonam) dibandingkan dengan asimtomatik tanpa
segera diberikan oral glucose (dubia et malam) (Hamdy, 2013).
KESIMPULAN
Komplikasi akut dari diabetes melitus dengan kondisi glukosa darah
yang sangat tinggi (krisis hiperglikemi) terbagi menjadi Ketoasidosis
Diabetik (KAD) dan Status Hiperglikemik Hiperosmolar (SHH).
Ketoasidosis diabetik disebabkan karena adanya penumpukan keton pada
darah yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pH darah
menjadi asam. Status Hiperglikemik Hiperosmolar yaitu suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi, peningkatan
osmolaritas plasma sangat tinggi.
Sedangkan komplikasi akut dari diabetes melitus dengan kadar
glukosa yang rendah disebutkan sebagai keadaan hipoglikemi, yang
merupakan penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya
gejala-gejala otonom seperti adanya whipple’s triad yaitu terdapat gejala-
gelaja hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah, dan gejala berkurang
dengan pengobatan. Hipoglikemi ditandai dengan adanya penurunan kadar
glukosa darah < 70 mg/dL.
Baik komplikasi akut dengan keadaan hiperglikemi ataupun
hipoglikemi merupakan keadaan yang berbahaya dan dapat mengancam
nyawa jika tidak tertangani dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dan Longo et al. 2011. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 18. USA :
McGraw-Hill Company
Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises in adult
patients with diabetes. Diabetes Care. 2009;32:1335-43
Nelms, Marcia, Kathryn P. Sucher., dan Sara Long. 2007. Nutrition Therapy and
Pathophysiology. Belmont: Thomson Learning Inc.
Sudoyo AW, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Indonesia Jilid III edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI
Silbernagl, Stefan, dan Florian Lang. 2010. Color Atlas of Pathophysiology 2nd Ed.
New York: Thieme.Soemadji, DjokoWahono. 2009.
BukuAjarIlmuPenyakitDalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Venkatraman, R. & Singhi, S.C. 2008. Hyperglicemic Hyperosmolar Nonketotic
Syndrome. Indian Journal of Pediatric, 2008(73):1
Trauma mencakup kepentingan lintas batas bangsa. Banyak negara yang sedang
berkembang sudah memiliki banyak korban trauma dari jalan raya dan industri yang
mengenai kelompok usia muda. Morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan trauma
tersebut dapat dikurangi dengan intervensi medik yang efektif sejak dini.
Kursus Primary Trauma Care ini ditujukan untuk memberikan pengetahuan dasar dan
ketrampilan yang diperlukan untuk identifikasi dan menangani korban trauma yaitu :
1. Penilaian cepat (rapid assessment)
2. Resusitasi
3. Stabilisasi bagian / fungsi tubuh yang cedera.
Kursus ini menekankan pentingnya diagnosa dini dan intervensi cepat pada setiap situasi
yang mengancam jiwa. Materi diberikan melalui ceramah dan praktek skill station yang
sesuai dengan kebutuhan pengelolaan korban trauma. Dokter dan para tenaga kesehatan
dapat menggunakan landasan PTC ini untuk mengembangkan pengetahuan dan
ketrampilan dalam menangani pasien trauma dengan peralatan yang minim, tanpa
teknologi canggih.
Kita mengenal juga adanya kursus pengelolaan trauma yang lain seperti ATLS dari
American College of Surgeons dan EMST dari Australia. Kursus-kursus tersebut
ditujukan untuk tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit dengan peralatan lengkap,
oksigen, komunikasi, transport dan lain-lainnya dimana segala sesuatunya telah dirinci.
Primary Trauma Care tidak dimaksudkan untuk mengganti kursus-kursus tersebut tetapi
memakai prinsip dan penekanan pada penanganan pokok yang sejak dini harus dilakukan
dengan sarana yang minimal.
Tujuan
2. Mampu untuk dengan cepat dan tepat menentukan kebutuhan medik korban trauma
4. Mampu mengorganisir tata laksana medik dasar korban trauma di rumah sakit
1
TRAUMA DALAM PERSPEKTIF
Sebagian besar negara didunia mengalami epidemi trauma tetapi peningkatan jumlah
yang tinggi terjadi di negara yang sedang berkembang. Penambahan jalan raya dan
penggunaan kendaraan bermotor menyebabkan laju jumlah korban dan kematian korban
trauma. Banyak fasilitas kesehatan di perifer tidak mampu menangani banyak korban
sekaligus dari kecelakaan yang melibatkan bis penumpang atau bencana lainnya. Luka
bakar yang berat juga banyak dijumpai didaerah kota maupun diluarnya.
Beberapa perbedaan besar antara negara-negara berpenghasilan tinggi dan yang rendah
mendesakkan adanya kursus Primary Trauma Care ini karena :
Jauhnya jarak yang harus ditempuh korban untuk mencapai rumah sakit dengan
fasilitasi medik yang memadai.
Lamanya waktu yang dibutuhkan korban untuk mencapai rumah sakit
Tidak adanya peralatan canggih dan penyediaan obat-obat yang penting
Tidak adanya tenaga kesehatan terdidik untuk menjalankan alat medik dan
merawatnya.
Tindakan pencegahan trauma sebenarnya adalah sarana yang paling murah dan paling
aman. Namun hal ini tergantung pada faktor :
Budaya
Sumber daya manusia (manpower)
Politik
Anggaran keuangan untuk kesehatan
Pelatihan
Setiap usaha harus dilakukan oleh tim medik trauma untuk mengarah kepada pencegahan
terjadinya trauma. Walaupun hal ini berada diluar lingkup buku ini akan dibicarakan juga
masalah-masalah yang ada di lingkungan saudara dan kemungkinan untuk
pencegahannya.
2
ABCDE DALAM TRAUMA
Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam menetapkan prioritas.
Tujuannya adalah segera mengenali cedera yang mengancam jiwa dengan Survey
Primer, seperti :
Jika ditemukan lebih dari satu orang korban maka pengelolaan dilakukan berdasar
prioritas (triage) Hal ini tergantung pada pengalaman penolong dan fasilitas yang ada.
Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas ?
Jika ada obstruksi maka lakukan :
Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
Suction / hisap (jika alat tersedia)
Guedel airway / nasopharyngeal airway
Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
.
Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil
3
Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas
dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau
sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale
AWAKE =A
RESPONS BICARA (verbal) = V
RESPONS NYERI =P
TAK ADA RESPONS =U
Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang mungkin
ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in-line harus
dikerjakan.
4
PENGELOLAAN JALAN NAFAS
Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan mempertahankannya agar tetap
bebas.
Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan nafasnya bebas.
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan pernafasan.
Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke
belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu intubasi trakhea
tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line.
2. Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau kantung nafas ( self-
invlating)
Waspada adanya benda asing di jalan nafas. Cara membebaskan jalan nafas diuraikan
pada Appendix 1
Jangan memberikan obat sedativa pada pasien seperti ini.
5
PENGELOLAAN NAFAS (VENTILASI )
Tindakan Resusitasi
Diuraikan lebih rinci pada Appendix 5
Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari udara dan darah dengan
memasang drainage toraks segera tanpa menunggu pemeriksaan sinar X.
Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka kerjakan krikotiroidotomi.
Catatan Khusus
Jika dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien menjadi stabil
Jika diduga ada tension pneumotoraks, dekompresi harus segera dilakukan dengan
jarum besar yang ditusukkan menembus rongga pleura sisi yang cedera. Lakukan
pada ruang sela iga kedua (ICS 2) di garis yang melalui tengah klavikula. Pertahankan
posisi jarum hingga pemasangan drain toraks selesai.
Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal, maka kerjakan krikotiroidotomi.
Tentu hal ini juga tergantung pada kemampuan tenaga medis yang ada dan
kelengkapan alat.
6
PENGELOLAAN SIRKULASI
Prioritas ketiga adalah perbaikan sirkulasi agar memadai.
„Syok‟ adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien
trauma keadaan ini paling sering disebabkan oleh hipovolemia.
Jenis-jenis syok :
Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan
tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada
trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa :
Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura.
Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter.
Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter
Kontusioo miokard
Tamponade jantung
Pneumotoraks tension
Luka tembus jantung
Infark miokard
Penilaian tekanan vena jugularis sangat penting dan sebaiknya ECG dapat direkam.
Syok neurogenik : ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat cedera sumsum
tulang belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa diserta
takhikardiaa atau vasokonstriksi.
Syok septik : Jarang ditemukan pada fase awal dari trauma, tetapi sering menjadi
penyebab kematian beberapa minggu sesudah trauma (melalui gagal organ ganda). Paling
sering dijumpai pada korban luka tembus abdomen dan luka bakar.
7
Langkah-langkah resusitasi sirkulasi
Urine
Produksi urine menggambarkan normal atau tidaknya fungsi sirkulasi jumlah seharusnya
adalah > 0.5 ml/kg/jam. Jika pasien tidak sadar dengan syok lama sebaiknya dipasang
kateter urine.
Transfusi darah
Penyediaan darah donor mungkin sukar, disamping besarnya risiko ketidak sesuaian
golongan darah, hepatitis B dan C, HIV / AIDS. Risiko penularan penyakit juga ada
meski donornya adalah keluarga sendiri.
Transfusi harus dipertimbangkan jika sirkulasi pasien tidak stabil meskipun telah
mendapat cukup koloid / kristaloid. Jika golongan darah donor yang sesuai tidak tersedia,
dapat digunakan darah golongan O (sebaiknya pack red cel dan Rhesus negatif.
Transfusi harus diberikan jika Hb dibawah 7g / dl jika pasien masih terus berdarah.
Kehilangan darah adalah penyebab utama dari syok yang diderita pasien trauma
8
Cedera dada
Sumber perdarahan dari dinding dada umumnya adalah arteri. Pemasangan chest tube
/ pipa drain harus sedini mungkin. Hal ini jika di tambah dengan penghisapan berkala,
ditambah analgesia yang efisien, memungkinkan paru berkembang kembali sekaligus
menyumbat sumber perdarahan. Untuk analgesia digunakan ketamin I.V.
Cedera abdomen
Damage control laparatomy harus segera dilakukan sedini mungkin bila resusitasi
cairan tidak dapat mempertahankan tekanan sistolik antara 80-90 mmHg. Pada waktu
DC laparatomy, dilakukan pemasangan kasa besar untuk menekan dan menyumbat
sumber perdarahan dari organ perut (abdominal packing). Insisi pada garis tengah
hendaknya sudah ditutup kembali dalam waktu 30 menit dengan menggunakan
penjepit (towel clamps). Tindakan resusitasi ini hendaknya dikerjakan dengan
anestesia ketamin oleh dokter yang terlatih (atau mungkin oleh perawat untuk rumah
sakit yang lebih kecil). Jelas bahwa teknik ini harus dipelajari lebih dahulu namun
jika dikerjakan cukup baik pasti akan menyelamatkan nyawa.
9
SURVEI SEKUNDER
Bila sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali
mengulangi PRIMARY SURVEY.
Semua prosedur yang dilakukan harus dicatat dengan baik.
Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan
perhatian utama :
Pemeriksaan kepala
Pemeriksaan leher
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan dada
Pasien trauma kepala harus dicurigai juga mengalami trauma tulang leher sampai
terbukti tidak demikian
10
Pemeriksaan rongga perut (abdomen)
Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes gerakan
apapun karena memperberat perdarahan)
Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
Cari luka, memar dan cedera lain
Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)
Pelvis dan tulang panjang
Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak disertai defisit
neurologis fokal
Foto atas daerah yang lain dilakukan secara selektif.
Foto dada dan pelvis mungkin sudah diperlukan sewaktu survei primer
11
TRAUMA DADA
Seperempat dari jumlah kematian trauma terjadi akibat cedera dada. Kematian segera
terjadi jika kerusakan mengenai jantung dan pembuluh darah besar. Kematian pada fase
berikutnya disebabkan karena obstruksi jalan nafas, tamponade jantung atau aspirasi.
Sebagian besar pasien trauma dada dapat dikelola dengan cara-cara sederhana tanpa
pembedahan.
Fraktura iga :
Dapat terjadi pada titik tumbuk dan menyebabkan kerusakan jaringan paru. Pada pasien
tua trauma ringanpun dapat menyebabkan trauma iga. Potongan iga dapat stabil setelah
10 - 14 hari. Penyembuhan yang sempurna dengan callus tercapai setelah 6 minggu.
Flail chest :
Bagian / segmen yang tidak stabil bergerak sendiri dan berlawanan dengan dinding dada
pada saat bernafas. Hal ini menyebabkan distres nafas karena aliran udara didalam paru
menjadi tidak efisien.
Pneumotoraks tension
Keadaan yang berbahaya ini terjadi jika udara masuk kedalam rongga pleura tetapi tidak
dapat keluar lagi sehingga tekanan dalam dada meningkat tinggi dan mediastinum
tergeser. Pasien menjadi sesak dan hipoksia. Trakhea yang terdorong kesisi yang sehat
adalah tanda khas pneumotoraks yang sudah berjalan lanjut.
Needle thoracostomy harus segera dikerjakan sebelum pemasangan drain toraks agar
pasien dapat bernafas dengan baik.
Derajad dan luasnya cedera di bagian dalam tubuh tidak dapat diperkirakan dari
keadaan luka kulitnya.
12
Hemotoraks
Penyulit ini lebih sering terjadi pada luka tembus / tusuk pada dada. Perdarahan yang
banyak menyebabkan pasien jatuh dalam syok hemoragik yang berat. Distres nafas juga
akan terjadi karena paru di sisi hemotoraks akan kolaps akibat tertekan volume darah.
Terapi yang optimal adalah pemasangan pipa / chest tube ukuran besar.
Hemotoraks 500 - 1500 ml yang berhenti setelah pemasangan pipa toraks cukup
dilanjutkan dengan drain saja.
Hemotoraks lebih dari 1500 - 2000 ml atau yang perdarahannya berlanjut lebih dari
200 - 300 ml/jam perlu diperiksa lebih lanjut atau perlu torakotomi.
Kontusio paru
Penyulit ini sering terjadi pada trauma dada dan potensial menyebabkan kematian. Proses,
tanda dan gejala mungkin berjalan pelan dan makin memburuk dalam 24 jam pasca
trauma. Kontusio paru terjadi pada kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi, jatuh
dari tempat yang tinggi dan luka tembak dengan peluru cepat (high velocity).
Tanda dan gejala :
Sesak nafas / dyspnea
Hipoksemia
Tachikardia
Suara nafas berkurang atau tak terdengar di sisi kontusio
Patah tulang iga
Cyanosis
Cedera lain tersebut dibawah ini juga dapat terjadi pada trauma tetapi angka kematiannya
sangat tinggi meskipun dikelola di pusat rujukan / rumah sakit dengan sarana lengkap.
Uraian berikut hanya untuk tujuan pendidikan.
Kontusio miokard
Penyulit ini dapat menyebabkan kematian mendadak pasca trauma. Terjadi pada trauma
tumpul dada yang disertai fraktur sternum atau iga. Diagnosa ditunjang oleh kelainan
ECG dan peningkatan kadar serum enzim jantung pada pemeriksaan serial. Kontusio
miokard ini dapat menyerupai keadaan infark miokard. Perawatan pasien memerlukan
observasi dengan pemantauan ECG.
13
Tamponade perikard
Luka tembus / tusuk jantung adalah penyebab kematian utama pada daerah perkotaan.
Tamponade jarang terjadi akibat trauma tumpul. Terapinya adalah pericardio-centesis
yang dikerjakan segera jika pasien menunjukkan :
Syok
Vena leher menggembung (distended)
Ekstretimas dingin tetapi tidak ada pneumotoraks
Suara jantung lemah / sunyi
Trauma esofagus
Jarang terjadi pada trauma tumpul. Luka tusuk yang merobek esofagus akan
menyebabkan kematian karena mediastinitis. Keluhan pasien berupa nyeri tajam yang
mendadak di epigastrium dan dada yang menjalar ke punggung. Sesak nafas, sianosis dan
syok muncul pada fase yang sudah terlambat.
Cedera diafragma
Terjadi cukup sering pada trauma tumpul dada. Diagnosis sering terlewat, karena itu
cedera diafragma harus dicurigai terjadi pada semua luka tusuk dada yang :
Dibawah ICS 4 anterior.
Didaerah ICS 6 lateral
Didaerah ICS 8 posterior
Lebih sering terjadi pada sisi kiri
Seorang pasien yang terlibat kecelakaan serius harus dianggap cedera abdominal sampai
terbukti lain. Cedera abdominal yang tidak diketahui masih merupakan sebab tersering
dari kematian yang dapat dicegah (preventable death) setelah trauma.
Sekitar 20% dari pasien trauma dengan hemoperitoneum akut tidak menunjukkan tanda
dari rangsang peritoneum pada saat pemeriksaan pertama. Diagnosis baru ditemukan pada
SURVAI PRIMER ULANGAN.
Trauma tumpul menjadi sulit dievaluasi bila pasien tidak sadar. Pasien ini mungkin
memerlukan peritoneal lavage. Laparatomi eksplorasi merupakan prosedur definitif
terbaik untuk menyingkirkan kemungkinan trauma abdominal.
15
Wanita harus dianggap hamil sampai terbukti lain. janin mungkin masih dapat
diselamatkan. Pengobatan terhadap fetus adalah melakukan resusitasi terhadap ibunya.
Seorang ibu yang hamil cukup bulan (at term), biasanya baru dapat diresusitasi setelah
bayinya dilahirkan. Situasi sulit ini harus dinilai pada saat itu.
Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) dapat membantu menemukan adanya darah atau
cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya
alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).
Hamil
Pernah operasi abdominal
Operator tidak berpengalaman
Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan
Patah tulang pelvis sering disertai cedera urologis dan perdarahan masif.
Pemeriksaan rektum penting untuk mengetahui posisi prostat dan adanya darah
atau laserasi rektum atau perineum.
Foto ronsen pelvis ( bila diagnosaklinis sulit ditegakkan).
Resusitasi (ABC)
Transfusi
Imobilisasi dan penilaian untuk operasi
Analgesik
16
TRAUMA KEPALA
Keterlambatan pengelolaan dini pasien trauma kepala sangat buruk akibatnya pada
kesembuhan. Hipoksia dan hipotensi menyebabkan angka kematian dua kali lebih
banyak.
Keadaan-keadaan berikut ini sangat membahayakan jiwa tetapi sulit diatasi di rumah sakit
daerah. Kita harus menangani kasus dengan hati-hati dan disesuaikan dengan
kemampuan, fasilitas dan jumlah korban.
Patologi berikut ini harus cepat di kenali dan dikelola dengan baik:
Perdarahan subdural akut - terjadi akibat robeknya vena yang melintang antara
korteks dan dura. Bekuan darah dalam rongga subdural disertai dengan Kontusio
jaringan otak di bawahnya.
Fraktura basis cranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata
(Racoon eyes) atau memar diatas prosesus mastoid (Battle‟s sign) dan atau kebocoran
cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.
Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan tulang yang
menembus dura dan jaringan otak
17
Kesalahan yang sering terjadi pada waktu evaluasi trauma kepala dan resusitasi adalah:
Stabilisasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi harus segera dilakukan (usahakan
imobilisasi tulang leher). Tanda-tanda fungsi vital dan derajad kesadaran (Glasgow Coma
Score/GCS) harus dicatat berulang-ulang. Lihat Appendix 4.
Ingat:
trauma kepala berat jika GCS 8
trauma kepala sedang jika GCS antara 9 dan 12
trauma kepala ringan jika GCS 13
intubasi dan hiperventilasi agar tercapai hipokapnia sedang (pCO2 33 -35 mmHg)
hingga volume darah di otak menurun dan tekanan intrakranial juga menurun untuk
sementara
obat sedatif dan mungkin disertai obat pelumpuh otot
cairan infus dibatasi, jangan sampai overload, kalau perlu diberikan diuretika.
posisi head up 20
cegah hipertermia
18
TRAUMA SPINAL (TULANG BELAKANG)
Kejadian kerusakan syaraf akibat trauma ganda ternyata lebih sering daripada yang
diperkirakan. Kerusakaan yang sering terjadi adalah pada syaraf jari, plexus brachialis
dan sumsum tulang belakang (medula spinalis).
Pemeriksaan korban trauma tulang belakang harus dilakukan dalam posisi netral (tanpa
melakukan fleksi, ekstensi dan rotasi pada tulang belakang).
Bila terdapat trauma tulang belakang (yang mungkin disertai) kerusakan sumsum tulang
belakang, periksalah :
Tanda klinis yang menyertai kerusakan akibat trauma tulang leher adalah :
Jika tersedia alat sinar X maka foto tulang leher dilakukan pada posisi AP dan posisi
lateral yang menampakkan sendi atlas-axis dan tujuh ruas tulang leher.
Perhatian :
Jangan memindahkan / membawa pasien dengan dugaan trauma tulang leher
pada posisi duduk atau tengkurap
Pastikan dulu pasien dalam kondisi stabil sebelum transportasi.
19
Evaluasi fungsi neurologis
Untuk evaluasi berat dan luasnya cedera, jika pasien sadar tanyakan dengan jelas apa
yang dirasakan dan minta pasien untuk melakukan gerakan agar dapat dievaluasi fungsi
motorik dari ekstremitas atas dan bawah.
Respons motorik
Respons sensorik
Paha anterior L2
Lutut anterior L3
Pergelangan kaki anterolateral L4
Jempol kaki dan jari kedua dorsal L5
Kaki lateral S1
Betis posterior S2
Perineum S2-S5
Jika fungsi motor dan sensor menunjukkan cedera total dari medula spinalis maka
kemungkinan sembuh sangat kecil.
Hilangnya fungsi otonomik pada cedera medula spinalis terjadi dengan cepat tetapi
kembalinya sembuh sangat pelahan
20
TRAUMA EKSTREMITAS (ANGGOTA GERAK)
Pemeriksaan harus meliputi :
Masalah-masalah khusus
Hentikan perdarahan aktif dengan cara menekan langsung pada bagian yang berdarah.
Pemakaian torniket lebih merugikan karena jika terlupa untuk melonggarkan akan
mengakibatkan ischemia yang merusak jaringan.
Fraktur terbuka. Setiap luka yang berada dekat fraktur harus dianggap sebagai
luka-luka yang saling berhubungan. Prinsip pengobatan meliputi :
- menghentikan perdarahan eksternal
- immobilisasi dan mengatasi nyeri
Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada
kompartemen fascia. Tekanan ini mendesak / menekan pembuluh darah dan syaraf
tepi. Perfusi menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau
bahkan nekrosis otot.
Bagian ekstremitas yang teramputasi harus ditutup kasa steril yang dibasahi
NaCl 0,9% kemudian dibungkus dengan kantong plastik steril. Potongan ekstremitas
ini dapat dipertahankan sampai 6 jam tanpa pendinginan, sedang jika didinginkan
dapat bertahan sampai 18 – 20 jam.
Benda asing yang menembus tubuh sampai dalam, harus dibiarkan tetap ditempatnya
sampai dilakukan eksplorasi di kamar bedah
21
Terapi Pendukung untuk cedera ekstremitas : Fasciotomi dini
22
KASUS TRAUMA KHUSUS
Pasien Anak :
Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak, terutama anak laki. Angka
survival trauma berat sangat dipengaruhi oleh kualitas pertolongan pra rumah sakit dan
kecepatan resusitasi.
Penilaian awal (Initial Assessment) pada pasien trauma anak sama seperti trauma dewasa.
Prioritas utama adalah : Airway, Breathing, Circulation , Disability neurologis dan
Exposure (pemeriksaan lengkap dari ujung kepala sampai ujung kaki).
Selama pemeriksaan harus diwaspadai bahaya hipotermi.
Pada anak usia kurang dari 10 tahun, jangan menggunakan ETT dengan cuff (balon)
untuk menghindari pembengkakan subglottis dan ulserasi. Pada bayi dan anak, intubasi
oral lebih mudah dibandingkan intubasi nasal .
23
Takhipnea.
Gelisah
Kesadaran menurun
Produksi urine berkurang.
Hipotensi sering merupakan tanda klinis yang terlambat, ketika syok sudah berat.
Akses vaskuler dilakukan dengan kateter I.V. ukuran besar di dua vena yang terpisah
(v. saphena longus dan v. femoralis). Gunakan vena perifer lebih dahulu, hindari vena
sentral
Akses intraoseus adalah aman dan cukup efektif. Bila tidak tersedia jarum khusus
intraoseus, dapat digunakan jarum spinal ukuran besar. Tempat pemasangan adalah
daerah antero medial tibia dibawah tuberositas tibia. Hindari menusuk daerah epiphyseal
growth plate.
Pemberian cairan ditujukan agar diuresis mencapai 1-2 ml/kg BB pada bayi dan 0,5 – 1
ml/kg BB pada anak/ remaja.
Dimulai dengan bolus NaCl 0,9% 20 ml/kg BB..Bila tidak ada respons, berikan bolus
kedua dengan jumlah yang sama. Bila tetap tidak ada respons, berikan darah dari
golongan yang sama atau PRC golongan O sebanyak 10 ml/kg BB.(sebaiknya Rh (-))
Hipothermi adalah masalah yang besar bagi anak. Kehilangan panas melalui daerah
kepala cukup besar jumlahnya. Luas permukaan tubuh yang relatif lebih besar,
meningkatkan risiko hipotermi. Segera setelah memeriksa sekujur tubuh pasien
pasangkan selimut kembali. Infusi cairan harus dihangatkan.
24
Kehamilan
Prioritas ABCDE bagi pasien hamil yang mengalami trauma adalah sama dengan pasien
yang tidak hamil.
Ada beberapa perubahan anatomi dan fisiologi pada kehamilan yang sangat besar
pengaruhnya pada pengelolaan trauma
Perubahan anatomi
Uterus yang membesar mudah mengalami kerusakan akibat benturan dan tusukan
pada kehamilan 12 minggu fundus uteri berada setinggi symphisis pubis
pada kehamilan 20 minggu fundus uteri berada setinggi umbilicus
pada kehamilan 36 minggu fundus uteri berada setinggi xiphoid
Janin dilindungi oleh ketebalan dinding uterus dan cairan amnion (air ketuban)
Perubahan fisiologi
Kenaikan tidal volume dan respiratory alkalosis
Kenaikan denyut jantung
Kenaikan cardiac output 30%
Penurunan tekanan darah 15%
Pada trimester ke III sering terjadi hipotensi pada waktu berbaring terlentang karena
kompresi (penekanan) aortocaval.
Catatan khusus
Trauma tumpul akan berakibat:
Kontraksi otot rahim dan terjadinya kelahiran prematur
Ruptura uteri partial atau total
Lepasnya placenta sebagian atau total (dapat terjadi sampai dengan 48jam)
Jika ada fraktur pelvis perdarahannya akan sangat banyak
Prioritas pengelolaannya
Evaluasi ABCDE dari ibu
Resusitasi ibu dengan posisi berbaring miring ke kiri (sisi kanan berada diatas) untuk
menghindari kompresi aortocaval
Cari sumber perdarahan vagina dengan pemeriksaan spekulum dan dilatasi cervix
Periksa tinggi fundus uteri, apakah ada nyeri tekan dan pantau detak jantung janin
Resusitasi pada ibu berarti menyelamatkan bayinya. Pada saat jiwa ibu dalam bahaya,
janin dapat dikorbankan untuk menyelamatkan ibu.
Pasien luka bakar dikelola dengan urutan prioritas seperti pasien trauma lainnya.
Penilaian meliputi :
Airway, Breathing (waspada terhisapnya gas panas / asap dan kerusakan jalan
nafas), Circulation (penggantian cairan), Disability (compartement syndrome),
Exposure (persen luas luka bakar)
Penyebab luka bakar perlu diketahui seperti api, air panas, parafin, minyak dsb.Luka
bakar akibat listrik sering lebih parah daripada penampakannya semula. Ingat bahwa
kerusakan kulit dan otot dapat menyebabkan gagal ginjal.
Pengelolaan :
Hentikan proses kebakaran / pemanasan
ABCDE dan tentukan luas luka bakar (rule of 9)
Pasanglah jalur infus yang lancar pada vena besar untuk segera memberikan cairan.
Intubasi naso tracheal atau endotracheal harus dilakukan terutama bila pasien
menunjukkan tanda suara parau yang berat, kesulitan menelan ludah, nafas menjadi cepat
setelah pasien mengalami inhalation injury (cedera inhalasi / asap)
26
TRANSPORTASI PASIEN KRITIS
Transportasi pasien-pasien kritis ini berisiko tinggi sehingga diperlukan komunikasi yang
baik perencanaan dan tenaga-tenaga kesehatan yang sesuai. Pasien harus distabilisasi
lebih dulu sebelum diberangkatkan. Prinsipnya pasien hanya ditransportasi untuk
mendapat fasilitas yang lebih baik dan lebih tingggi di tempat tujuan.
Ingat :
Jika kondisi pasien memburuk lakukan evaluasi ulang dengan survey primer, berikan
terapi yang adekuat untuk kondisi yang mengancam jiwa dan nilailah kembali fungsi
organ yang terganggu dengan lebih teliti.
Be prepared : If anything can go wrong, it will, and at the worst possible time
27
Appendix 1 : Teknik Pengelolaan Jalan Nafas
Teknik Dasar
Pipa Orofarings
Alat ini dimasukkan mulut agar ujungnya berada dibelakang lidah. Pertama alat
dimasukkan dengan lengkungan menghadap ke langit-langit. Setelah masuk separuh
panjangnya, alat diputar 180 derajad hingga lengkungannya sekarang berada
menempel lengkungan lidah. Tujuan : lidah tertahan tidak jatuh ke belakang
menutupi hipofarings.
Alat ini dapat merangsang muntah pada pasien yang sadar / setengah sadar.
Hati-hati memasang alat ini pada anak karena dapat melukai jaringan lunak.
Pipa Nasofarings
Pipa ini dipasang melalui lubang hidung (harus diberi pelicin). Dorong hati-hati
hingga ujung pipa terletak di orofarings. Alat ini lebih dapat diterima oleh pasien
daripada pipa orofarings. (Hati-hati memasang alat ini jika ada fraktura basis cranii
sebab bisa salah arah masuk dasar tengkorak).
Tehnik Lanjutan
Intubasi orotrakhea
Prosedur ini dapat mengakibatkan hiperekstensi leher. Pada pasien cedera tulang leher
diperlukan seorang untuk membantu memegangi kepala agar leher dapat di
pertahankan lurus (imobilisasi pada posisi in-line).
Penekanan krikoid (cara Sellick) diperlukan pada kasus yang diduga lambungnya
penuh. Segera setelah pipa masuk, cuff / balon harus segera ditiup. Kemudian segera
periksa apakah ujung pipa trakhea sudah tepat (diatas carina) dengan mendengarkan
adanya suara nafas yang simetris pada kedua sisi paru.
28
Intubasi Trakhea juga harus dilakukan agar :
Jika usaha intubasi tidak berhasil setelah 30 detik, pasien harus diberi ventilasi oksigen
(100%) dulu sebelum mencoba untuk intubasi lagi.
Ingat : pasien meninggal karena hipoksia bukan karena tidak terpasangnya pipa
endotrakhea
Krikotiroidotomi
Tindakan ini dilalukan jika pasien tidak dapat diintubasi dan tidak dapat diberi ventilasi
melalui mulut. Setelah membran krikotiroid dapat diraba, lakukan irisan pada kulit
hingga menembus membran krikotiroid tersebut. Kemudian irisan dilebarkan dengan
forsep / klem arteria.
Masukkan pipa endotrakeal kecil (4 - 6 mm) atau pipa trakheostomi kecil, lalu lakukan
fiksasi.
29
Appendix 2 : Nilai-nilai Fisiologis pada anak.
Hematocrit 55 7 37 3 35 2.5 40 2 43 - 48
30
Appendix 3 : Parameter Kardiovaskular
31
Appendix 4 : Glasgow Coma Scale
32
Appendix 5: Cardiac Life Support
PERTAMA SEKALI : PASTIKAN KESELAMATAN PASIEN & ANDA SENDIRI
TIDAK
ADA
C. PERIKSA SIRKULASI
LANJUTKAN USAHA
PERNAPASAN 10 X/MENIT
TIDAK
MULAI PIJAT JANTUNG
100x / MENIT PERIKSA ULANG SIRKULASI
5:1 TIAP MENIT
2 PENOLONG BILA TIDAK ADA,
15:2 MULAI PIJAT JANTUNG
(1 PENOLONG) BILA TERSEDIA
BERI OKSIGEN
PANTAU ECG VIA
DEFIBRILATOR
EVALUASI IRAMA
VF/VT NON VF/VT
BILA TERSEDIA (ASISTOLE/EMD)
INTUBASI & PASANG INFUS
DEFIBRILASI 3 X ADRENALIN 1 mg
ATROPIN 3 mg untuk asistole 1 x saja RKP 3 MENIT
sesuai keperluan ADRENALIN 1 mg tiap 3 menit
Jauh sebelum pasien trauma tiba di rumah sakit, peran masing-masing anggota tim
trauma harus sudah jelas dan dimengerti.
Idealnya adalah :
Dokter gawat darurat yang tugas jaga menjadi ketua tim (team leader) atau tenaga
kesehatan lain yang berpengalaman.
Perawat gawat darurat yang tugas jaga
1 sampai 2 orang tenaga kesehatan bantuan lainnya
Ketika pasien datang evaluasi cepat harus segera dilakukan (TRIAGE). Triage ini
menetapkan prioritas penanganan pasien yang disesuaikan dengan keberadaan
Tenaga kesehatan
Sarana kesehatan
34
Appendix 7: Rencana Aktivasi Tim Trauma
Kriteria
Pasien-pasien seperti berikut ini harus dievaluasi dengan lengkap :
Riwayat penyakit:
Jatuh dari ketinggian > 3 meter
kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan > 30 km/jam
Terlempar dari atau terperangkap dalam kendaraan bermotor
Adanya korban lain yang meninggal dalam kecelakaan tersebut
Tabrakan antara mobil dengan pejalan kaki / sepeda / mobil lain atau
penumpang mobil tanpa mengenakan seat belt
Pemeriksaan :
Jalan nafas atau adanya distres nafas
Tekanan darah < 100 mmHg
GCS < 13/15
Lebih dari satu daerah yang terluka
Luka tusuk / tembus
Pengelolaan bencana
Perencanaan pengelolaan medik pada bencana harus dilakukan dengan baik. Bencana
adalah suatu keadaan dimana jumlah dan keberadaan sarana kesehatan di tempat itu tidak
lagi mampu mengatasi / mencukupi kebutuhan korban.
35
PANDUAN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF INTRAOSSEUS
Definisi
Tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan akses vena dengan cara
pembedahan yang dilakukan jika akses vena perifer sulit karena kollaps pembuluh
darah perifer (misalnya karena syok, dehidrasi) atau karena thrombosis vena
perifer setelah penusukan berulang atau diperlukan akses yang lebih besar
daripada vena perifer.1,2 Vena seksi juga dilakukan bila vena punksi sulit
dilakukan misalnya pada orang gemuk, bayi, atau bila semua tempat telah habis
terpakai vena punksi.1
Teknik Operasi1,2
Jika menggunakan selang venocath1,2
1. Pasien dalam posisi terlentang, kalo anak-anak harus dipegang
2. Di disinfeksi atau diberi cairan antiseptik
3. Identifikasi lokasi vena saphen magna pada mata kaki. Vena berlokasi
pada titik 2 cm anterior dan superior dari malleolus medialis.
4. Lidocaine 1% diinfiltrasikan pada kulit pada area seluas 1 inchi sekitar
vena yang diincar.
5. Incisi kulit transverse 1,5-2cm sampai subkutis.
6. Dilakukan diseksi tumpul dengan menggunakan klem pean bengkok.
7. Identifikasi vena saphena magna
8. Vena dibebaskan dengan jaringan sekitarnya dengan klem sampai sekitar 3
cm (vena “telanjang”).
9. Luksir vena dari dasarnya dengan klem, kembali bebaskan dasar sepanjang
3 cm.
10. Masukan klem kebawah vena dan pasang benang silk 3-0 di distal dan
proksimal.
11. Daerah vena yang distal diikat dengan silk 3-0, sisakan benang sampai
panjang.
12. Vena sedikit ditarik, lalu dibuat incisi pada aspek anterior dengan bisturi
no 11.
13. Masukan venocath dengan bantuan pinset 3-5 cm.
14. Aspirasi dari ujung venocath untuk meyakinkan tidak ada tahanan dan
sekaligus menarik agar tidak ada udara dalam venocath.
15. Masukan cairan infus melalui canul di ujung venocath.
16. Jika lancar, ikatkan benang dibagian proksimal untuk memfiksasi
venocath, hati-hati jangan terlalu kuat hingga lumen venocath tertutup.
17. Luka dijahit dengan silk 3-0.
18. Fiksasi venocath dengan plester dibeberapa tempat.
19. Tutup luka dengan hypafix atau dermafilm.
Gambar 1.4. Cutis, subcutis dibuka, diseksi secara tumpul, vena diidentifikasi
sumber : Medicine Article. Vena Section.1
Gambar 1.5. Kontrol proksimal dan distal dengan silk 2-0
sumber : Medicine Article. Vena Section.1
Gambar 1.6. Insersi vecocath setelah vena diinsisi, bag proksimal dan distal diikat
sumber : Medicine Article. Vena Section.1
Pasca Bedah1,2
1. Dilakukan desinfeksi kulit sekali lagi dengan teliti, bila perlu diberi salep
2. antibiotik pada luka insisi
3. Difiksasi dengan bidai/spalk
4. Dilakukan ganti verban setiap hari dengan tindakan asepsis
REFERENCES
1. Herman Asep. Teknik vena section. Artikel kedokteran.[Serial
Online]. 2013. Available from :
http://download.portalgaruda.org/bedah/minor
2. Teknik Melakukan Vena Section.[Serial Online]. Available from:
http://www.repositoryusu.ac.id
3. Snell RS. Anatomi klinis berdasarkan sistem. Sugiharto L,
penerjemah; Hartanto H, et al, editor. Jakarta: EGC, 2011
4. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Ed.6.
Sugiharto L, penerjemah; Hartanto H, et al, editor. Jakarta: EGC, 2006
5. Ellis H. Clinical anatomy a revision and applied anatomy for clinical
student. Ed 11. British: Blackwell publish, 2006
6. Marieb EN, Hoehn K. Human anatomy & physiology. Ed 9. United
states of America: Pearson, 2011
7. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology.
Ed.13. Hoboken: John Wiley & Sons, 2012
PENUNTUN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF
“LUKA BAKAR”
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi
Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
Paparan api
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian
terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk
terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan
cedera tambahan berupa cedera kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka
bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya
antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau
peralatan masak.
Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu
kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat
kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka
umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat.
Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas
dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas
menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap
bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke
saluran napas distal di paru.
Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan nafas
akibat edema.
Aliran listrik (Electricity)
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka
bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan membakar
pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
Chemical/Zat kimia (asam atau basa) : kontak dengan zat kimia
Radiasi
Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.
Trauma karena flame, scald, dan contact menyebabkan kerusakan seluler karena transfer energi
yang memicu terjadinya nekrosis koagulatif. Trauma karena zat kimia dan listrik menyebabkan
kerusakan langsung pada membran sel selain karena transfer panas.
Trauma inhalasi dapat dinilai dari airway yang diperlukan kewaspadaan adanya obstruksi yang
mengancam jalan napas pada trauma panas karena tanda-tanda terjadinya obstruksi napas pada saat
awal tidak selalu jelas.
Indikasi klinis adanya trauma inhalasi:
o Luka bakar yang mengenai wajah dan/atau leher
o Alis mata dan bulu hidung hangus
o Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut pada orofaring
o Sputum yang mengandung karbon/arang
o Suara serak
o Riwayat gangguan mengunyah dan/atau terkurung dalam api
o Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan
o Kadar karboksihemoglobin >10% setelah berada di tempat kebakaran
Bila ditemukan salah satu dari keadaan di atas, sangat mungkin terjadi trauma inhalasi yang
memerlukan penanganan dan terapi definitif, termasuk pembebasan jalan napas
Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas
yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di
dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti
keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan
dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah
yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.
Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama
Gangguan yang terjadi karena trauma termal adalah sebagai berikut:
a) Gangguan lokal
Cedera pada kulit (cutaneous injury) terbagi tiga zona:
1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat
pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis
beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di daerah ini
terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit,
sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan
permeabilitas kapilar dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24
jam pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa
banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan,
zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona kedua
bahkan zona pertama.
b) Gangguan sistemik
Dengan mediator inflamasi yang dihasilkan tubuh secara masif, terjadi vasokonstriksi
dan juga vasodilatasi pada berbagai daerah pada tubuh, dan juga peningkatan
permeabilitas kapiler. Dengan demikian:
- Tekanan hidrostatik pada kulit yang terbakar ↓ drastis
- Tekanan interstitial pada kulit yang tidak terbakar ↑ sedikit
- Tekanan onkotik plasma ↓
- Tekanan onkotik interstisial ↑
- Edema lokal yang berat pada regio luka bakar
- Edema general
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi, adekuasi
resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang
ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang
terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar
juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman
luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I, II,
atau III:
Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk dapat
melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat
sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan
nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.
Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel vital
yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal,
kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih
“sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar berupa
gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan
permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak
ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga
cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.
Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan yang lebih
dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar regenerasi sel
spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit.
Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan
kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh
lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan
bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk
anak.
Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada
anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan pada anak. Apabila
tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan
„Rumus 9‟ dan disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan
lengan persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan
turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.
PEMBAGIAN LUKA BAKAR
1. Luka bakar berat (major burn)
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka
bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi
Resusitasi Nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini dan
pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-
gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60%
karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan
pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan MODS.
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada luka bakar pasien.
Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit manusia yang berasal dari tubuh
manusia lain yang telah diproses maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien
(autograft). Daerah tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft adalah paha,
bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara autograft dapat dilakukan secara split
thickness skin graft atau full thickness skin graft. Bedanya dari teknik – teknik tersebut adalah
lapisan-lapisan kulit yang diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor
tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang – lubang pada kulit donor
(seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin.
Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari lokasi luka yang
akan dilakukan grafting, usia pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit
donor sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin „dermatome‟
ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau Goulian. Sebelum dilakukan pengambilan
donor diberikan juga vasokonstriktor (larutan epinefrin) dan juga anestesi.
Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan dari eksisi luka
bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah dilakukan eksisi, sehingga
pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya, pengendalian perdarahan sangat diperlukan.
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor dengan jaringan
yang mau dilakukan grafting adalah:
- Kulit donor setipis mungkin
- Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan grafting), hal ini
dapat dilakukan dengan cara :
o Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)
o Drainase yang baik
o Gunakan kasa adsorben
INDIKASI RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR
Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk dirawat inap bila:
1. Luka bakar derajat III > 5%
2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki, genitalia,
perineum, kulit di atas sendi utama) risiko signifikan untuk masalah kosmetik dan
kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor lainnya, atau
adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS
PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak
daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan
penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar antara lain
gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan kontraktur.
KOMPLIKASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction Syndrome
(MODS),dan Sepsis
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus
klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dll.
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi)
yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh
beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami
eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan
berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ
Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ
Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka
bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya
menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri
mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury, inflamation,
inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti
hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine
tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
- Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO 2 < 32
mmHg)
- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000 sel/mm3) atau dijumpai
> 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakteremia),
maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS
merupakan akhir dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada
pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat
dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari
spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.