Anda di halaman 1dari 203

MODUL

BLOK ELEKTIF
EMERGENCY AND DISASTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020
SAMBUTAN DEKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI

Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, bimbingan, petunjuk, dan kekuatan-Nya kepada kita semua, atas selesainya Buku
Modul Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi Kedokteran FKIK Universitas Jambi.

Kemajuan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan dan
teknologi ilmu kedokteran serta tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat yang memiliki
kebutuhan dan tuntutan yang tinggi dibidang pelayanan kesehatan, menuntut tersedianya sumber
daya manusia yang handal dan terampil serta profesional dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Buku Modul ini merupakan aplikasi dari kompetensi-kompetensi yang dijabarkan dari
Standar Kompetensi, yang diuraikan lebih rinci untuk kemudahan dalam mencapai kompetensi-
kompetensi yang telah ditetapkan, agar dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di tanah air
kita. Sebagai sebuah ilmu, bidang ilmu kedokteran komunitas memiliki dinamika yang sangat
besar, hal ini menuntut perubahan sikap dan perilaku yang terus-menerus dan berkesinambungan
dari para pelaku pelayanan kesehatan dalam menjawab perubahan masyarakat akibat berbagai
tantangan global yang terjadi saat ini.

Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap semua pihak yang


telah bekerja keras untuk ikut serta menyusun Buku Modul Blok Elektif Emergency And
Disaster Prodi Kedokteran FKIK Universitas Jambi ini. Kami menyadari bahwa Buku Modul ini
masih jauh dari sempurna, karena itu akan selalu disempurnakan secara berkala berdasarkan
masukan dari berbagai pihak maupun dari bukti-bukti empiris.

Semoga Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi Kedokteran FKIK Universitas
Jambiini bermanfaat bagi kita semua dan segala upaya yang telah dilakukan ini akan bermanfaat
dalam upaya mencapai tujuan kita bersama yaitu pelayanan kesehatan yang bermutu, efisien,
efektif, adil, dan merata.
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami menerima
saudara/i untuk mengikuti Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi Kedokteran FKIK
Universitas Jambi.

Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi Kedokteran Universitas Jambi adalah
pendidikan profesi yang tidak terpisahkan dari Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi
Kedokteran Universitas Jambi yang telah dilalui sebelum mencapai gelar Sarjana Kedokteran.

Setelah mengikuti Blok Elektif Emergency And Disaster Prodi Kedokteran kami
harapkan saudara/i sudah memperoleh ketrampilan-keteramprilan dalam mengidentifikasi
masalah kesehatan masyarakat, menentukan prioritas masalah dan membuatrencanapemecahan
masalah sesuai dengan prioritas, kemampuan mengelola organisasi dan sumber daya yang ada di
lapangan serta mampu melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat, pemberdayaan dan
pendidikan kesehatan kepada masyarakat untuk perobahan perilaku kesehatan kearah yang lebih
baik.

Akhir kata kami mengucapkan selamat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat - Kedokteran Keluarga Prodi Kedokteran FKIK UNJA

Jambi, Oktober 2020


Koordinator Blok FKIK UNJA

dr. Miftahurrahmah, SpBA


Koordinator : dr. Miftahurrahmah, SpBA
Asisten Koordinator : dr. Erny Kusdiyah, M.Kes

BAGIAN PENGAJAR DI BLOK ELEKTIF EMERGENCY AND DISASTER

NO BAGIAN
1 ILMU BEDAH
2 ILMU PENYAKIT DALAM
3 ILMU ANAK
4 ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN
5 ILMU SYARAF
6 ILMU JANTUNG
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
BAB II KOMPETENSI SESUAI STANDAR KOMPETENSI DOKTER
INDONESIA (SKDI)
BAB III AKTIVITAS BLOK ELKETIF
BAB IV EVALUASI
BAB I
PENDAHULUAN
A. PESYARATAN AKADEMIK
Mahasiswa yang berhak mengikuti blok elektif program studi kedokteran
Universitas Jambi adalah :
1. Terdaftar sebagai mahasiswa aktif di program studi kedokteran universitas Jambi
(dibuktikan dengan bukti registrasi online di siakad Universitas Jambi dan bukti
tanda lunas SPP semester berjalan).
2. Mahasiswa yang telah mendaftar ulang diwajibkan mengisi Kartu Rencana Studi
(KRS) dengan sejumlah mata kuliah untuk diambil.

B. KETENTUAN IZIN MAHASISWA


1. Dalam masa perkuliahan mahasiswa dapat diberi dispensasi untuk tidak mengikuti
kegiatan pembelajaran sepanjang mahasiswa tersebut dapat menunjukkan bukti yang
dapat dipertanggungjawabkan.
2. Dispensasi diberikan pada mahasiswa :
a) yang mendapat penugasan resmi dari Prodi, Fakultas atau Universitas untuk
mengikuti suatu kegiatan.
b) yang berhalangan dikarenakan masalah pribadi/keluarga (misalnya sakit atau
mendapat musibah atau keperluan lainnya), Khusus untuk musibah karena
meninggal dunia hanya diberikan untuk orang tua/ mertua, kakek nenek kandung,
saudara kandung, istri/suami dan anak. Keperluan lainnya yang dimaksud adalah
masalah pribadi/keluarga selain sakit atau musibah yang telah mendapatkan ijin
dari Program studi.
c) Dispensasi tersebut dibuktikan dengan surat/bukti tertulis yang sah. Bukti
tertulis tersebut diserahkan kepada Staf Akademik atau Tim blok dalam
kurun waktu paling lambat 2x24 jam dari jadwal yang ditinggalkan
3. Dispensasi untuk proses kegiatan pada blok elektif dapat diberikan kepada
mahasiswa maksimum 20% dari total kegiatan terjadwal yang berlangsung
pada blok tersebut.
4. Mahasiswa yang berhalangan mengikuti perkuliahan karena sakit yang
berkepanjangan sehingga melebihi batas maksimum dispensasi atau karena alasan
penting lainnya disarankan untuk mengajukan pengunduran diri dari blok yang
bersangkutan paling lambat satu bulan sebelum akhir semester blok berjalan. Jika
mahasiswa tidak mengajukan pengunduran diri, maka nilai blok akan keluar dengan
huruf mutu E serta diperhitungkan dalam penetapan IP semester berjalan.
5. Mahasiswa yang mendapatkan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) akan
diberikan penugasan dari Tim blok/dosen pengampu kegiatan yang ditinggalkan
sebagai prasyarat berhak ikut ujian. Mahasiswa yang belum menyelesaikan semua
tugas yang telah ditentukan dapat diberikan tanda TL (tidak lengkap) dan secara
otomatis akan berubah menjadi nilai E jika pada hari dan tanggal yang telah
ditentukan sebagai batas waktu terakhir masa penyerahan nilai belum dilengkapi.

C. SANKSI AKADEMIK
1. Setiap mahasiswa wajib mematuhi tata tertib yang berlaku di lingkungan FKIK
UNJA
2. Mahasiswa yang melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi akademik
3. Jenis pelanggaran akademik antara lain
a. Tidak melakukan registrasi dan pembayaran SPP sesuai kalender akademik
Universitas Jambi
b. Tidak mengerjakan ujian, laporan kasus, tugas jurnal, dan tugas lainnya untuk
mahasiswa lain
c. Plagiarisme
d. Memalsukan tanda tangan atau scanning tanpa izin pejabat di lingkungan FKIK
UNJA
e. Memalsukan nilai ujian
4. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai berat ringannya pelanggaran
yang dilakukan antara lain :
a. Peringatan lisan
b. Peringatan tertulis
c. Larangan mengikuti kegiatan blok elektif dalam kurun waktu tertentu
d. Pembatalan nilai
e. Pencabutan status sebagai mahasiswa
D. LAMA BLOK ELEKTIF
Selama 5 (lima) minggu dengan beban 4 SKS
BAB II KOMPETENSI SESUAI STANDAR KOMPETENSI DOKTER
INDONESIA (SKDI)

A. Topik bahasan dalam SKDI


Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) disusun oleh Konsil Kedokteran
Indonesia. SKDI merupakan standar kompetensi minimal yang harus dipenuhi oleh
seorang dokter pada saat menyelesaikan pendidikan kedokterannya. SKDI berisi tujuh
area kompetensi beserta daftar penyakit dan keterampilan klinis yang harus dikuasai.
Tujuh area kompetensi tersebut adalah:
1. Komunikasi Efektif
2. Keterampilan Klinis
3. Landasan Ilmiah Ilmu Kedokteran
4. Pengelolaan Masalah Kesehatan
5. Pengelolaan Informasi
6. Mawas Diri dan Pengembangan Diri
7. Etika, Moral, Medikolegal dan Profesionalisme serta Keselamatan Pasien.

B. Daftar Penyakit
Daftar penyakit menjadi acuan bagi institusi pendidikan dokter agar dokter yang
dihasilkan memiliki tingkat kompetensi/kemampuan yang memadai untuk membuat
diagnosis yang tepat memberi penanganan awal atau tuntas dan melakukan rujukan
secara tepat dalam rangka penanganan pasien.Tingkat kemampuan yang harus dicapai
adalah:
a. Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan
mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai
penyakit tersebut, selanjutnya menetukan rujukan yang oaling tepat bagi pasien.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
b. Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menetukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
c. Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan
merujuk. Tingkat kemampuan ini dibagi menjadi 2 tingkat kemampuan yaitu:
1. Kemampuan 3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menetukan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
2. Kemampuan 3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menetukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
d. Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Tingkat kemampuan ini dibagi menjadi
dua tingkat kemampuan, yaitu:
1. Kemampuan 4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
2. Kemampuan 4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internship
dan/atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)

No Nama Penyakit Tingkat Kemampuan


Syaraf
1 Kejang Demam 4A
2 Status Epileptikus 3B
3 Vertigo dan sakit kepala emergensi 4A
4 TIA 3B
5 Menginitis 3B
6 Encephalitis 3B
Kardiovaskuler
1 Angina pektoris 3B
2 Infark miokard 3B
3 Takikardi: supraventrikular, ventrikular 3B

4 Fibrilasi atrial 3A

5 Fibrilasi ventrikular 3B

6 Atrial flutter 3B

7 Ekstrasistol supraventrikular, ventrikular 3A

8 Elektrokardiografi (EKG): pemasangan dan inter 4A


pretasi hasil EKG sederhana (VES, AMI, VT, AF)

OBGYN
1 Distosia 3B

2 Partus lama 3B

IPD
1 Ketoasidosis diabetikum nonketotik 3B

2 Hipoglikemia berat 3B
Bedah
1 Fraktur terbuka, tertutup 3B
2 Fraktur klavikula 3A
3 Dekompresi jarum 4A
4 Perawatan luka 4A
5 Luka Bakar 4A
Anak
1 Tatalaksana dehidrasi berat pada kegawatdaruratan 4A
setelah penatalaksanaan syok
BAB III AKTIVITAS BLOK ELKETIF
A. Integrated Teaching (IT)

KODE MATERI BAGIAN Pengampu


1 Pengantar Blok Elektif TIM BLOK
2 ATLS (trauma thoraks, trauma abdomen, thermal injury) BEDAH
3 ATLS (pelvis trauma,muskulosceletal trauma) BEDAH
4 Breathing management (thorakosintesis) BEDAH TIM BLOK
Kegawatdaruratan Pada Pediatrik : Tatalaksanana
5 dehidrasis berat pada kegawatdaruratan setelah ANAK
penatalaksaaan syok
6 Penatalaksanaan Resusitasi neonatus ANAK TIM BLOK
Kegawatdaruratan Pada Geriatrik : Ketoasidosis diabetikum
7 IPD
nonketotik dan hypoglikemia berat
Penatalaksanaan pada gigitan hewan beracun dan hewan
8 IPD TIM BLOK
buas
9 ACLS (ECG, Acute Coronary Syndrome (ACS)) JANTUNG
ACLS (Bradicardia, VT/VF, Asystole, PEA, Tachycardia
10 JANTUNG
Algoritm)
11 Pengantar Penatalaksanaan Megacode JANTUNG TIM BLOK
circulatory management (terapi cairan pada luka bakar dan
12 BEDAH TIM BLOK
penatalaksanaan syok pada trauma hemoragik)
Penatalaksanaan partus lama, persalinan bokong, distosia
13 OBGYN TIM BLOK
bahu
Pengantar penatalaksanaan Kegawatdarutan pada
14 NEUROLOGI TIM BLOK
Neurologi : Menginitis, encephalitis dan vertigo
15 Pengantar teori : Trauma pada anak dan child abbuse BEDAH TIM BLOK
Prisip management terjadinya bencana, aspek keselamatan
16 BEDAH
dan Kerjasama interprofesional
Initial assessment,triase, transfer pasien (pada kasus bencana
17 BEDAH TIM BLOK
alam dan kasus trauma)
18 Pengantar teori : Tatalaksana atrium fibrilasi JANTUNG TIM BLOK
Pengantar teori : Disability management (penilaian GCS),
19 BEDAH TIM BLOK
exposure dan secondary survey
Circulatory management (pemasangan infus, pemasangan
20 BEDAH TIM BLOK
vena sektie, intraosseus)
B. Praktikum

Praktikum (IPM/CASE)
KODE MATERI BAGIAN Pengampu
Initial assessment,triase, transfer pasien (pada
1 TIM BLOK
kasus bencana alam dan kasus trauma)
2 Airway management TIM BLOK
3 C spine kontrol dan evaluasi TIM BLOK
Breathing management (thorakosintesis) dan
4 TIM BLOK
evaluasi
circulatory management (pemasangan vena
5 TIM BLOK
sektie)
6 circulatory management (intraosseus) TIM BLOK
circulatory management (terapi cairan pada luka
7 TIM BLOK
bakar) dan evaluasi
circulatory management ( penatalaksanaan syok
8 TIM BLOK
pada trauma hemoragik) dan evaluasi
Disability management (penilaian GCS),
9 TIM BLOK
exposure dan secondary survey
Penatalaksanaan Krisis Hipoglikemik dan
10 TIM BLOK
Hiperglikemik pada Diabetes Melitus
Penatalaksanaan pada gigitan hewan beracun dan
11 TIM BLOK
hewan buas
12 Resusitasi neonatus TIM BLOK
13 Arhytmia Regocnation TIM BLOK
14 Megacode TIM BLOK
15 Penatalaksanaan presentasi bokong TIM BLOK
16 Penatalaksanaan distosia bahu TIM BLOK
17 IPM kegawatdaruratan neurologi TIM BLOK
18 Evaluasi 1 TIM BLOK
19 Evaluasi 2 TIM BLOK
27 Evaluasi 3 TIM BLOK
BAB IV
EVALUASI

A. Syarat mengikuti evaluasi :


1. Ketentuan mahasiswa berhak mengikuti ujian blok elektif ditentukan melalui rapat
evaluasi yang dihadiri oleh tim blok, Tim Assesmen dan Pengelola Program Studi
di lingkungan FKIK
2. Mahasiswa yang berhak mengikuti ujian blok adalah mereka yang telah mengikuti
sekurang-kurangnya 80% dari semua kegiatan perkuliahan, 100% kegiatan kegiatan
praktikum kecuali bagi mahasiswa yang mendapat dispensasi resmi dari prodi dan
atau fakultas.
3. Mahasiswa yang berhak mengikuti ujian OSCE adalah mereka yang telah
mengikuti 100% kegiatan dalam satu semester kecuali bagi mahasiswa yang
mendapat dispensasi resmi dari prodi dan atau fakultas.
B. Evaluasi sumatif untuk menilai pencapaian keterampilan klinik diselenggarakan
setiap akhir semester dengan ujian metode OSCE (Objective Structured Clinical
Examination) yang pelaksanaannya merupakan tanggung jawab Koordinator OSCE.
RESUSITASI PADA BAYI BARU LAHIR

PENGERTIAN

Resusitasi ( respirasi artifisialis) adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang adekuat,

pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak,

jantung dan alat-alat vital lainnya. (Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002)

TUJUAN RESUSITASI

1. Memberikan ventilasi yang adekuat


2. Membatasi kerusakan serebi
3. Pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada
otak, jantung dan alat – alat vital lainnya
4. Untuk memulai atau mempertahankan kehidupan ekstra uteri

TANDA – TANDA RESUSITASI PERLU DILAKUKAN

1. Pernafasan

Apabila penilaian pernafasan menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau bahwa

pernafasan tidak adekuat. Lihat gerakan dada naik turun, frekuensi dan dalamnya

pernafasan selama 1 menit. Nafas tersengal-sengal berarti nafas tidak efektif dan perlu

tindakan, misalnya apneu. Jika pernafasan telah efektif yaitu pada bayi normal biasanya

30 – 50 x/menit dan menangis, kita melangkah ke penilaian selanjutnya.

2. Denyut jantung – frekuensi

Apabila penilaian denyut jantung menunjukkan bahwa denyut jantung bayi tidak

teratur. Frekuensi denyut jantung harus > 100 per menit. Cara yang termudah dan cepat

adalah dengan menggunakan stetoskop atau meraba denyut tali pusat. Meraba arteria

mempunyai keuntungan karena dapat memantau frekuensi denyut jantung secara terus

menerus, dihitung selama 6 detik (hasilnya dikalikan 10 =frekuensi denyut jantung

selama 1 menit) Hasil penilaian ;

- Apabila frekuensi>100x / menit dan bayi bernafas spontan, dilanjutkan dengan


menilai warna kulit.
- Apabila frekuensi < 100x / menit walaupun bayi bernafas spontan menjadi indikasi
untuk dilakukan VTP (Ventilasi Tekanan Positif)
3. Warna Kulit

Apabila penilaian warna kulit menunjukkan bahwa warna kulit bayi pucat atau bisa sampai

sianosis. Setelah pernafasan dan frekuensi jantung baik, seharusnya kulit menjadi kemerahan.

Jika masih ada sianosis central, oksigen tetap diberikan. Bila terdapat sianosis purifier,

oksigen tidak perlu diberikan, disebabkan karena peredaran darah yang masih lamban, antara

lain karena suhu ruang bersalin yang dingin.

KONDISI YANG MEMERLUKAN RESUSITASI

1. Sumbatan jalan napas : akibat lendir / darah / mekonium, atau akibat lidah yang jatuh ke

posterior.

2. Kondisi depresi pernapasan akibat obat-obatan yang diberikan kepada ibu misalnya obat

anestetik, analgetik lokal, narkotik, diazepam, magnesium sulfat, dan sebagainya

3. Kerusakan neurologis.

4. Kelainan / kerusakan saluran napas atau kardiovaskular atau susunan saraf pusat, dan /

atau kelainan-kelainan kongenital yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan /

sirkulasi.

5. Syok hipovolemik misalnya akibat kompresi tali pusat atau perdarahan

Resusitasi lebih penting diperlukan pada menit-menit pertama kehidupan. Jika terlambat,

bisa berpengaruh buruk bagi kualitas hidup individu selanjutnya.

HAL–HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM RESUSITASI

1. Tenaga yang terampil, tim kerja yang baik.

2. Pemahaman tentang fisiologi pernapasan, kardiovaskular, serta proses asfiksia yang

progresif.

3. Kemampuan / alat pengaturan suhu, ventilasi, monitoring.

4. Obat-obatan dan cairan yang diperlukan.


PERSIAPAN RESUSITASI BAYI BARU LAHIR

Di dalam setiap persalinan, penolong harus selalu siap melakukan tindakan resusitasi bayi

baru lahir. Kesiapan untuk bertindak dapat menghindarkan kehilangan waktu yang sangat

berharga bagi upaya pertolongan. Walaupun hanya beberapa menit tidak bernapas, bayi baru

lahir dapat mengalami kerusakan otak yang berat atau meninggal.

1. Persiapan Keluarga

Sebelum menolong persalinan, bicarakan dengan keluarga mengenai kemungkinan-

kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu dan bayinya serta persiapan yang dilakukan oleh

penolong untuk membantu kelancaran persalinan dan melakukan tindakan yang diperlukan.

2. Persiapan Tempat Resusitasi

Persiapan yang diperlukan meliputi ruang bersalin dan tempat resusitasi. Gunakan ruangan

yang hangat dan terang. Tempat resusitasi hendaknya rata, keras, bersih dan kering, misalnya

meja, dipan atau di atas lantai beralas tikar. Kondisi yang rata diperlukan untuk mengatur

posisi kepala bayi. Tempat resusitasi sebaiknya di dekat sumber pemanas (misalnya; lampu

sorot atau bohlam berdaya 60 watt) dan tidak banyak tiupan angin (jendela atau pintu yang

terbuka).

3. Persiapan Alat Resusitasi

Sebelum menolong persalinan, selain peralatan persalinan, siapkan juga alat-alat resusitasi

dalam keadaan siap pakai, yaitu:

- 2 helai kain/handuk
- Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang, handuk
kecil, digulung setinggi 2,5 cm dan mudah disesuaikan untuk mengatur posisi kepala
bayi.
- Alat pengisap lendir DeLee atau bola karet
- Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal
- Stetoskop bayi.
- Jam atau pencatat waktu
LANGKAH-LANGKAH RESUSITASI BBL

Sebelum bayi lahir, harus mengetahui informasi:

- Bayi cukup bulan atau tidak?


- Air ketuban bercampur mekonium atau tidak?
Setelah bayi lahir, lakukan penilaian:
- Bernafas atau menangis?
- Tonus otot baik?
a. Bila hasil penilaian baik, yaitu bayi cukup bulan, air ketuban tidak bercampur mekonium,
bayi menangis, tnus otot baik. Maka lakukan PERAWATAN RUTIN: Beri kehangatan,
Bersihkan jalan nafas, Mengeringkan bayi
b. Bila hasil penilaian tidak baik, maka lakukan
A. AIRWAY (LANGKAH AWAL)
1. Jaga bayi tetap hangat..Selimuti bayi dengan kain, pindahkan bayi ke tempat resusitasi.

2. Atur posisi bayi.. Baringkan bayi terlentang dengan kepala di dekat penolong. Ganjal

bahu agar kepala sedikit ekstensi. Posisi semi ekstensi yaitu hidung dan mulut dalam satu

garis lurus.

3. Isap lendir. Gunakan alat pengisap lendir DeLee atau bola karet.

- Pertama, isap lendir di dalam mulut, kemudian baru isap lendir di hidung.
- Hisap lendir sambil menarik keluar pengisap (bukan pada saat memasukkan).
- Bila menggunakan pengisap lendir DeLee, jangan memasukkan ujung pengisap
terlalu dalam (lebih dari 5 cm ke dalam mulut atau lebih dari 3 cm ke dalam hidung)
karena dapat menyebabkan denyut jantung bayi melambat atau henti napas bayi.
4. Keringkan dan Rangsang taktil.

- Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya dengan sedikit
tekanan. Rangsangan ini dapat memulai pernapasan bayi atau bernapas lebih baik.
- Lakukan rangsangan taktil dengan beberapa cara di bawah ini:
1) Menepuk atau menyentil telapak kaki.

2) Menggosok punggung, perut, dada atau tungkai bayi dengan telapak tangan.

Rangsangan yang kasar, keras atau terus menerus, tidak akan banyak menolong dan

malahan dapat membahayakan bayi.


5. Reposisi.

- Ganti kain yang telah basah dengan kain bersih dan kering yang baru (disiapkan).
- Selimuti bayi dengan kain tersebut, jangan tutupi bagian muka dan dada agar
pemantauan pernapasan bayi dapat diteruskan.
- Atur kembali posisi terbaik kepala bayi (sedikit ekstensi).
6. Lakukan penilaian apakah bayi bernapas normal, megap-megap atau tidak bernapas.

Lakukan evaluasi meliputi:

- Pernapasan
- Frekuensi jantung
- Warna kulit
Bila bayi bernafas, FJ > 100x/menit  PERAWATAN SUPORTIF

B. BREATHING (VTP)

Bila FJ < 100x/menit /APNUE  lakukan VTP (Ventilasi Tekanan Positif)

Ventilasi adalah bagian dari tindakan resusitasi untuk memasukkan sejumlah udara ke dalam

paru dengan tekanan positip yang memadai untuk membuka alveoli paru agar bayi bisa

bernapas spontan dan teratur.

1. Pasang sungkup, perhatikan lekatan. Sungkup harus menutupi mulut dan hidung bayi.

2. Ventilasi 2 kali dengan tekanan 30 cm air, amati gerakan dada bayi.

Ventilasi percobaan (2 kali) Lakukan tiupan udara dengan tekanan 30 cm air. Tiupan awal ini

sangat penting untuk membuka alveloli paru agar bayi bisa mulai bernapas dan sekaligus

menguji apakah jalan napas terbuka atau bebas.

Lihat apakah dada bayi mengembang, Bila tidak mengembang

a. Periksa posisi kepala, pastikan posisinya sudah benar.

b. Periksa pemasangan sungkup dan pastikan tidak terjadi kebocoran.

Bila dada mengembang, lakukan tahap berikutnya

a. Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 kali dengan tekanan 20 cm air

dalam 30 detik.

b. Penilaian apakah bayi menangis atau bernapas spontan dan teratur?


Kecukupan ventilasi dinilai dengan memperhatikan gerakan dinding dada dan auskultasi

bunyi napas.

Bila bayi bernafas, FJ > 100x/menit, kemerahan  lakukan PERAWATAN LANJUT

C. CIRCULATION

Apabila setelah dilakukan VTP, FJ < 60x/menit  VTP dan kompresi dada

Kompresi Dada

- Kompresi dinding dada dapat dilakukan dengan melingkari dinding dada dengan
kedua tangan dan menggunakan ibu jari untuk menekan sternum atau dengan
menahan punggung bayi dengan satu tangan dan menggunakan ujung dari jari
telunjuk dan jari tengah dari tangan yang lain untuk menekan sternum.
- Tehnik penekanan dengan ibu jari lebih banyak dipilih karena kontrol kedalaman
penekanan lebih baik.
- Tekanan diberikan di bagian bawah dari sternum dengan kedalaman ± 1,5 cm dan
dengan frekuensi 90x/menit.
- Dalam 3x penekanan dinding dada dilakukan 1x ventilasi sehingga didapatkan 30x
ventilasi per menit. Perbandingan kompresi dinding dada dengan ventilasi yang
dianjurkan adalah 3 : 1.
- Evaluasi denyut jantung dan warna kulit tiap 30 detik. Bayi yang tidak berespon,
kemungkinan yang terjadi adalah bantuan ventilasinya tidak adekuat, karena itu
adalah penting untuk menilai ventilasi dari bayi secara konstan.
D. DRUG

Bila FJ < 60x/menit, berikan EPINEPRIN

AIR KETUBAN BERCAMPUR MEKONIUM?

Bila tidak terdapat mekonium  LANGKAH AWAL

Bila air ketuban bercampur mekonium, lakukan penilaian bayi bugar atau tidak:

- Usaha nafas baik


- Tonus otot baik
- FJ > 100x/menit
Bila bayi bugar  LANGKAH AWAL

Bila bayi tidak bugar  penghisapan mulut dan trachea  LANGKAH AWAL
.

Bagan Resusitasi Bayi Baru Lahir

CHECKLIST RESUSITASI PADA BAYI BARU LAHIR

Skor
No Langkah/Kegiatan
0 1 2
1. Mempersiapkan alat-alat:
1. alas yang datar, kering dan bersih
2. 2 kain bersih dan kering untuk menutupi tubuh
dan kepala neonatus
3. handuk kecil untuk ganjal bahu;
4. alat penghisap lendir;
5. ambu bag neonatus
6. sungkup neonatus
7. pipa orofaring (goedel)
8. lampu 60 watt dengan jarak 60 cm,
9. stetoskop bayi
Skor: 2: menyiapkan 7-9 item
1: menyiapkan 4-6 item
0: menyiapkan < 4 item, atau selain kriteria di
atas
2 Penolong mencuci tangan
3 Mengenakan sarung tangan steril
4 Letakkan bayi diatas alas yang datar, kering dan
bersih
5 Lakukan penilaian selintas :
1. Apakah bayi cukup bulan?
Ditanyakan pada
2. Apakah air ketuban jernih tak bercampur
mekonium? penolong persalinan
3. Apakah bayi menangis kuat/ bernafas?
4. Apakah tonus otot baik?
Skor : 2: menilai 4 item
1: menilai 2-3 item
0: selain kriteria di atas
6 Jika jawaban ya pada no 5  keringkan, berikan
kehangatan, bersihkan jalan napas, nilai warna kulit
7. Jika jawaban tidak pada no 5  lakukan
penatalaksanaan asfiksia BBL
8. Posisikan kepala bayi pada posisi sedikit ekstensi
dan ganjal bahu bayi dengan handuk yang telah
disiapkan
9 Hisap lendir mulai dari mulut kemudian hidung
dalam waktu ± 6 detik.
10. Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian
tubuh lainnya dengan sedikit tekanan.
11. Lakukan rangsangan taktil yang aman, dengan cara :
Menepuk / menyentil telapak kaki, atau
Menggosok punggung/perut/dada/ekstremitas
12. Ganti kain yang telah basah dengan kain bersih dan
kering yang baru, dan atur kembali kepala bayi
sedikit ekstensi
13. Nilai pernapasan bayi dan denyut jantung dengan
stetoskop dan nilai warna kulit
14. Jika bayi bernafas, FJ > 100x/menit, kemerahan 
lakukan PERAWATAN LANJUT
15. Jika pernapasan tetap tersengal atau apnu atau
FJ<100x/menit atau kulit sianosis, segera persiapkan
pernapasan buatan atau ventilasi tekanan positif
16. Perbaiki posisi kepala bayi sedikit ekstensi atau
ganjal bahu
17. Bersihkan sekret terlebih dahulu dan pastikan jalan
napas bersih
18. Pasang pipa orofaring dengan benar
19. Letakkan sungkup di wajah bayi dengan rapat agar
tidak bocor melalui sisi sungkup
20. Berikan tekanan positif melalui ambubag dengan
lembut sambil melihat pengembangan dada bayi
dengan frekuensi 20 x selama 30 detik
21. Nilai denyut jantung, jika FJ<60 x/menit, segera
persiapkan kompresi dada
22. Memanggil dokter lain/perawat/bidan untuk
melanjutkan ventilasi
23 Tempatkan posisi tangan dengan benar (pada
sepertiga bagian tengah sternum, gerakkan jari
sepanjang tepi bawah iga sampai mendapatkan sifoid.
Letakkan ibu jari atau jari-jari lain pada tulang dada,
tepat diatas sifoid dan pada garis yang
menghubungkan kedua puting susu).
24 Lakukan pijatan jantung dengan salah satu teknik :
Teknik ibu jari : Kedua ibu jari menekan tulang dada.
Kedua tangan melingkari dada dan jari-jari tangan
menopang bagian belakang bayi.
Teknik dua jari : Ujung jari tengah dan jari telunjuk
atau jari manis dari satu tangan digunakan untuk
menekan tulang dada.Tangan yang lain digunakan
untuk menopang bagian belakang bayi.
25 Lakukan kompresi dada dengan kedalaman ± 1/3
diameter antero-posterior dada dan lama penekanan
lebih singkat dari pada lama pelepasan dengan 1
siklus ( 2 detik) = tiga kompresi (1½ detik) + satu
ventilasi.( ½ detik).
Lakukan kompresi selama 1 menit atau 30 siklus
26 Lakukan evaluasi denyut jantung, Jika frekuensi
jantung :
a. 60-100 kali/menit, hentikan kompresi dan
lanjutkan ventilasi dengan kecepatan 40-60 kali
pompa/menit.
b. >100 kali/menit, hentikan kompresi dada dan
hentikan ventilasi secara bertahap jika bayi bernapas
spontan.
c. <60 kali/menit, lakukan intubasi, dan berikan
epinefrin intravena 0,1-0,3ml/kgBB.

Nilai = total skor/47 x 100


Skor :
2 jika melakukan semua tahapan dengan sempurna dan sesuai
urutan 1 jika melakukan sebagian tahapan dan atau tidak sesuai
urutan
0 jika tidak melakukan/melakukan dengan salah
PENUNTUN PRAKTIKUM CARDIOVASKULAR

SURVEI AWAL BANTUAN HIDUP DASAR (BHD) dan SURVEI SEKUNDER


BANTUAN HIDUP LANJUTAN (BHJL)

A. SURVEI AWAL BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)


Periksa Tindakan
Airway (jalan nafas) Buka jalan nafas dengan teknik non-
Apakah jalan nafas dalam keadaan invassif (angkat kepala-tarik dagu atau
terbuka? dorong rahang tanpa meluruskan
kepala bila diduga terdapat trauma)
Breathing (pernafasan) Lihat, denngar dan rasakan apakah
Apakah pasien bernafas dan apakah terdapat pernafasan yang memadai.
respirasinya memadai? Beri 2 nafas bantuan. Beri nafas selama 1
detik. Tiap nafas harus membuat dada
naik/mengembang. Jangan lakukan
ventilasi (dengan kecepatan) yang terlalu
cepat atau (volume) yang terlalu banyak
Circulation (sirkulasi) Periksa denyut karotis sedikitnya selama
Apakah terdapat denyut nadi? 5 detik tetapi tidak lebih dari 10 detik.
Lakukan RJP berkualitas tinggi hingga
DEO/AED tiba. (RJP dengan
perbandingan 30 kompresi dan 2
ventilasi)
Defibrillation (defibrilasi)  Berikan kejut listrik sesuai dengan
Bila tidak ada denyut nadi, periksa irama indikasi
jantung yang dapat dikejutkan denngan  Tiap kejut listrik harus segera diikuti
defibrilator manual atau menggunakan dengan RJP, dimulai dengan
AED kompresi dada

*
DOE (Defibrilator Ekternal Otomatis)
*
AED (Automatic External Defibrillation)
Walaupun servei awal BHD tidak membutuhkan perlengkapan tindak lanjut,
gunkanlah tindakan pencegahan yang berlaku secara universal dan perlengkapan yang
selalu tersedia seperti peralatan ventilasi kantung-sungkup muka. Setelah melakukan
survei awal maka pertolongan selanjutnya adalah survei ABCD sekunder

B. SURVEI SEKUNDER BANTUAN HIDUP LANJUTAN (BHJL)

Periksa Tindakan yang tepat


Airway (jalan nafas)  Kelola supaya jalan nafas tetap
 Apakah jalan nafas jelas? terbuka dengan aman pada pasien
 Apakah terdapat indikasi yang tidak sadar dengan mengangkat
dibutuhkannya alat bantu jalan nafas kepala-tarik dagu, jalan nafas
tingkat lanjut? orofaring (OPA) atau alat bantu jalan
nafas nasofaring (NPA)
 Gunakan alat bantu jalan nafas
tingkat lanjut bila dibutuhkan
(contoh LMA, combitube, intubasi
endotrakea)
Breathing (pernafasan)  Berikan oksigen tambahan
 Apakah oksigenisasi dan ventilasi  Periksa kecukupan oksigen dan
memadai? ventilasi dengan kriteria :
 Apakah terdapat indikasi A. Kriteria klinis (dada
dibutuhkannya alat bantu jalan nafas naik/mengembang)
tingkat lanjut? B. Saturasi oksigen
 Apakaah penepatan peralatan alat C. Kapnometri atau kapnografi
bantu jalan nafas sudah tepat? Keuntungan dari penempatan alat bantu
 Apakah pipa sudah terpasang dan jalan nafas tingkat lanjut terletak pada
penempatannya sering diperiksa penghindaran efek yang tidak
ulang? dikehendaki dari interupsi kompresi dada.
 Apakah CO2 yang dikeluarkan dan Bila ventilasi kantung nafas-sungkup
saturasi oksihemoglobin dipantau? muka memadai, pemasangan alat banyu
jalan nafas tingkat lanjut dapat ditunda
hingga pasien tidak dapat memberikan
respon terhadap RJP awal dan defibrilasi
atau hingga kembalinya sirkulasi spontan.
Bila alat bantu jalan nafas tingkat lanjut
digunakan:
 Pastikan integritasi yang tepat
antara RJP dan ventilasi
 Pastikan penempatan alat bantu
jalan nafas tingkat lanjut yang tepat
dengan:
- pemeriksaan fisik
- pengukuran CO2 yang dikeluarkan
- penggunaan detektor esofagus
 Fiksasi peralatan untuk
menghindarkan lepasnya peralatan
 Teruskan pengukuran CO2 yang
dikeluarkan
Circulation (sirkulasi)  Dapat jalut IV/IO
 Bagaimana irama jantung awal?  Tempelkan sadapan EKG dan
 Bagaimana irama jantung saat ini? panatau apakah terdapat aritmia atau
 Apakah anda telah membuat akses irama henti jantung (contohnya : VT
bagi pemberian obat dan cairan? tanpa denyut, VF, asistol dan PEA)
 Apakah pasien membutuhkan  Berikan obat-obatan yang sesuai
volume (cairan) untuk resusitasi? untuk mengatur irama (contohnya:
 Apakah dibutuhkan obat-obatan amiodaron, lidokain, atropin,
untuk irama jantung atau tekanan magnesium) dan tekanan darah
darah? (contohnya: epinefrin, vasipresin,
dan dopamin)
 Berikan cairan IV/IO bila
dibutuhkan
Differential Diagnosis (diagnosis  Cari, temukan dan tangani
diferensial) penyebab yang reversibel (yaitu
 Mengapa pasien ini mengalami henti perawatan definitif)
jantung?
 Mengapa pasien ini masih tetap 6H ( Hipovolumia, Hypoxia, Hydrogen
dalam keadaan henti jantung? ion acidosis, Hypo/Hyperkalemia,
 Dapatkah kita mengidentifikasi Hypoglicemia, Hypothermia)
penyebab yang reversible/dapat 5T (Toxin, Tamponade cardiac, Tension
kembali lagi dari henti jantung ini? pneumothorax, Thrombosis
corona/pulmonary,
Trauma/Hypovolumia)
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
Scanned by TapScanner
PENUNTUN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF
AIRWAY, BRAETHING, CIRCULATION AND DISABILITY MANAGEMENT
A. PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI PADA ASSESSEMENT AWAL KASUS TRAUMA

I. TUJUAN

Mahasiswa diharapkan mampu menerapkan prinsip penanganan penderita trauma khususnya


melakukan primary survey dan resusitasinya.

II. PENDAHULUAN

Pengelolaan penderita yang terluka parah memerlukan penilaian yang cepat dan pengelolaan
yang tepat guna menghindari kematian. Pada penderita trauma, waktu sangat penting, karena
itu diperlukan penilaian awal (initial assessement) yang mudah dilaksanakan yaitu:
1. Persiapan
2. Triase pada kasus multiple dan mass casualties
3. Primary survey (ABCDE) dan resusitasi
4. Secondary survey
5. Pemantauan dan re-evaluasi
6. Penanganan definitif

Baik primary survey maupun secondary survey dilakukan beruang-kali agar dapat mengenali
penurunan keadaan penderita, dan memberikan terapi bila diperlukan. Urutan kejadian di atas
diterapkan seolah-olah berurutan (sekuensial), namun dalam praktek sehari-hari dapat
berlangsung bersama-sama (simultan). Penerapan secara berurutan ini merupakan suatu cara
tau sistem bagi dokter untuk menilai perkembangan keadaan penderita.

III. PERSIAPAN

Persiapan berlangsung dalam 2 fase yang berbeda. Fase pertama adalah fase pra-rumah sakit
(pre-hospital), dimana seluruh penanganan penderita sebaiknya berlangsung dalam
koordinasi dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah sakit (hospital)
dimana dilakukan persiapan untuk menerima penderita, sehingga dapat dilakukan resusitasi
dalam waktu cepat.

A. Fase Pra-Rumah Sakit

Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas lapangan akan
menguntungkan penderita. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahukan sebelum penderita
mulai diangkut dari tempat kejadian. Pemberitahuan ini memungkinkan rumah sakit
mempersiapkan Tim Trauma sehingga sudah siap saat penderita sampai di rumah sakit. Pada
fase pra-rumah sakit titik berat diberikan pada penjagaan airway, kontrol perdarahan dan
syok, imobilisasi penderita dan segera ke rumah sakit terdekat yang memiliki fasilitas yang
cocok dengan kebutuhan pasien.
Waktu di tempat kejadian (scene time) yang lama harus dihindari. Yang penting juga adalah
mengumpulkan keterangan yang nanti dibutuhkan di rumah sakit, seperti waktu kejadian,
sebab kejadian, dan riwayat penderita. Mekanisme kejadian dapat menerangkan jenis dan
berat perlukaan.

B. Fase Rumah Sakit

Harus dilakukan perencanaan sebelum penderita tiba. Sebaiknya ada ruangan/area khusus
resusitasi. Perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube, dsb) sudah dipersiapkan,
dicoba dan dileakkan ditempat yang mudah terjangkau. Cairan kristaloid (misalnya Ringer‟s
Lacatate) yang sudah dihangatkan disiapkan dan diletakkan pada tempat yang mudah dicapai.
Perlengakapan monitoring yang diperlukan sudah dipersiapkan. Suatu sistem pemanggilan
tenaga medik tambahan sudah harus ada, demikian juga tenaga laboratorium dan radiologi.
Bila ada kontak dengan cairan tubuh penderita maka penolong dianjurkan memakaian alat
protektif seperti masker (face mask), proteksi mata (kaca mata goggle), baju kedap air atau
apron (celemek kedap air), sarung tangan (hands coon), dan alas kaki/sepatu

IV. TRIASE

Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang
tersedia. Terapi didasarkan pada ABC (Airway dengna kontrok vertebra servikal, Breathing,
dan Circulation dengan kontrol perdarahan).

Triase juga berlaku untuk pemilihanpenderita di lapangan dan rumah sakit yang akan dirujuk.
Merupakan tanggung jawab bagi tenaga pra-rumah sakit untuk mengirim ke rumah sakit yang
sesuai dengan kebutuhan pasien.

Dua jenis keadaan triase yaitu:

A. Multiple Casualties
Musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan tidak melampaui
kemampuan rumah sakit. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah yang mengancam
jiwa dan multi trauma akan dilayani terlebih dahulu.

B. Mass Casualties
Musibah masal dengan jumlah penderita dan beratnya luka melampaui kemampuan rumah
sakit. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu adalah penderita dengan
kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga
paling sedikit.

V. PRIMARY SURVEY
Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda vital, dan
mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka parah, terapi diberikan berdasarkan prioritas.
Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien. Pengelolaan penderita berupa
primary survey yang cepat dan kemudian langsung dilakukan resusitasi, secondary survey
dan akhirnya terapi definitif. Proses ini merupakan ABC-nya trauma dan berusaha untuk
mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu, dengan berpatokan pada urutan
berikut:

A. Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spine control)


B. Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C. Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrhage control)
D. Disability: status neurologis
E. Exposure/environmental control: buka baju penderita tetapi cegah hipotermia.

Selama primary survey keadaan yang mengancam nyawa harus cepat dikenali dan segera
dilakukan resusitasinya pada saat itu juga. Tindakan primary survey di atas adalah dalam
bentuk berurutan (sekuensial), sesuai prioitas dan agar leih jelas; namun dalam praktek hal-
hal di atas sering dilakukan bersamaan (simultan)

A. Airway dengan kontrol servikal (cervical spine control)

Pengenalan Masalah

Saat initial assessment pada airway tindakan awal yang paling penting adalah mengajak
penderita berbicara dan memancing jawaban verbal. Penderita yang mampu berbicara (“the
talking patient”) memberikan jaminan (paling tidak pada saat itu) bahwa airwaynya terbuka.
Suatu respon verbal yang “positif dan sesuai” menunjukan bawa airway penderita terbuka,
ventilasi utuh, dan perfusi otak cukup. Kegagalan untuk merespon dengan baik memberi
kesan suatu gangguan tingkat kesadaran atau airway/ventilasi yang mengalami gangguan.

Apabila penderita dalam keadaan tertelungkup (pronasi) maka usahakan untuk membalik
posisi penderita menjadi terlentang sambil menahan bagian belakang kepala penderita agar
leher penderita stabil dan berada pada posisi in-line dengan tubuh.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, faktur
mandibula atau maksila, faktur laring atau trakhea. Usaha untuk membebaskan airway harus
melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan melakukan manuver chin-
lift atau jaw-thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas
bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.

Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari 8
biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan motorik yang tak
bertujuan mengindikasikan perlunya airway definitif.

Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan bawah tidak boleh dilakukan
ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis
didasarkan pada riwayat perlukaan; pemeriksaan neurologis tidak sepenuhnya dapat
menyingkirkannya.

Dalam keadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Bila alat
imobilisasi ini harus dibuka untuk sementara, maka terhadap kepala harus dilakukan
imobilisasi manual. Alat imobilisasi ini harus dipakai sampai kemungkinan fraktur servikal
dapat disingkirkan.

Proteksi vertebra servikalis (serta spinal cord) merupakan hal penting. Foto servikal dapat
dilakukan setelah keadaan yang mengancam nyawa telah dilakukan resusitasi.

Ingat: Anggaplah ada fraktur servikal pada setiap penderita multi-trauma, terlebih bila ada
gangguan kesadaran atau perlukaan di atas klavikula.

Harus segera dilakukan usaha untuk menjaga jalan nafas dan memasang airway definitif bila
diperlukan. Tidak kalah pentingnya adalah mengenali kemungkinan gangguan airway yang
dapat terjadi kemudian, dan ini hanya dapat dikenali dengan re-evaluasi berulang terhadap
airway.
Tanda-tanda objektif sumbatan airway

1. Lihat (Look)
 Apakah penderita mengalami agitasi
atau tampak bingung. Agitasi memberi kesan
adanya hipoksia, dan tampak bingung
memberi kesan adanya hiperkarbia.
 Sianosis menunjukkan hipoksemia
yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi
dan dapat dilihat dengan mudah pada kuku-
kuku dan kulit sekitar mulut.
 Lihat adanya retraksi dan
penggunaan otot-otot nafas tambahan. Bila
ada merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway

2. Dengar (Listen) adanya suara-suara abnormal. Pernafasan yang berbunyi (suara nafas
tambahan) menunjukan pernafasan yang tersumbat.
 Mendengkur (snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor)
mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring.
 Suara parau (horseness, dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring
 Penderita yang melawan dan berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin mengalami
hipoksia dan sering disalah artikan sebagai kondisi keracunan/mabuk.

3. Rasakan (Feel) lokasi trakhea dengan cepat tentukan apakah trakhea berada di tengah.

Membersihkan airway dari benda asing

Jenis-jenis suara nafas tambahan karena hambatan sebagian jalan nafas :

Snoring : suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian
atas oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan langsung dengan
cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk
tangan yang digunakan untuk chin-lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke atas, telunjuk
menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah ada benda yang menyangkut di
tenggorokan korban (eg: gigi palsu dll). Pindahkan benda tersebut.

Garrgling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang disebabkan
oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di atas), lalu lakukanlah finger-
sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain untuk
“menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan.

Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema) pada
trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head-tilt and chin-lift atau jaw-
thrust saja
Jika suara napas tidak terdengar
karena ada hambatan total pada jalan
napas, maka dapat dilakukan:

Heimlich
Maneuve
r atau
Chest-
Thrust

Teknik-teknik mempertahankan airway

Pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang
dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat segera diperbaiki dengan cara
mengangkat dagu (head-tilt and chin-lift maneuver) atau dengan mendorong rahang ke
bawah ake arah depan (jaw-thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan
dengan airway orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharyngeal
airway). Tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau
memperburuk cedera spinal, oleh karena itu leher penderita selama mengerjakan prosedur ini
harus dilakukan immobilisasi segaris (in-line immobilization).

Cek apakah ada tanda-tanda berikut :


 Luka-luka dari bagian bawah bahu ke atas (supra clavicula)
 Pasien mengalami tumbukan di berbagai tempat (misal : terjatuh dari sepeda motor)
 Berdasarkan saksi pasien mengalami cedera di tulang belakang bagian leher

Tanda-tanda tersebut adalah tanda-tanda kemungkinan terjadinya cedera pada tulang


belakang bagian leher (cervical), cedera pada bagian ini sangat berbahaya.

Apabila ditemukan tanda-tanda di atas maka lakukan Head-tilt dan Chin-lift maneuver

1. Head-tilt and Chin-lift Maneuver

Jari-jemari salah satu tangan diletakkan di bawah rahang, yang kemudian secara hati-hati
diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan
ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut. Ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incicivus) bawah, dan dengan dagu
secara bersamaan hati-hati diangkat. Sedangkan tangan
yang lain letakkan di dahi penderita dan menekan kepala
penderita ke bawah

Maneuver chin-lift tidak boleh menyebabkan


hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban
trauma karena tidak membahayakan penderita dengan
kemungkinan patah ruas tulang leher, dan tidak juga
beresiko mengubah patah tulang tanpa cedera spinal
menjadi patah tulah dengan cedera spinal.

Apabila ditemui tanda-tanda cedera tulang belakang servikal maka lakukan imobilisasi leher
secara manual. Hal ini untuk menghindari adanya cedera lebih lanjut pada tulang belakang
bagian leher pasien. Setelah itu lakukan Jaw-thrust maneuver.

2. Jaw-thrust maneuver

Maneuver mendorong rahang (jaw-thrust) dilakukan dengan cara memegang sudut rahang
bawah (angulus mandibulae) kiri dan kanan, dan mendorong rahang bawah ke depan. Bila
cara ini dilakukan sambil memegang masker dari alat bag-valve, dapat dicapai kerapatan
yang baik dan ventilasi yang adekuat.

3. Orofaringeal Airway

Airway oral disisipkan ke dalam mulut di balik lidah. Teknik yang dipilih adalah dengan
menggunakan spatula lidah untuk menekan lidah dan menyisipkan airway tersebut ke
belakang. Alat ini tidak boleh mendorong lidah
ke
belaka
ng
yang
justru
akan
meng
hamba
t
airwa
y.

Teknik lain adalah dengan menyisipkan airway oral secara terbalik (upside-down), sehingga
bagian yang cekung mengarah ke kranial, sampai di daerah palatum mole. Pada titik ini , alat
diputar 180 derajat, bagian cekung mengarah ke kaudal, alat diselipkan ke tempatnya di atas
lidah. Cara ini tidak boleh dilakukan pada anak-anak, karena rotasi alat ini dapat mencederai
mulut dan faring.

4. Airway Nasofaringeal

Airway nasofaringeal disisipkan pada salah satu lubang hidung dan dilewatkan dengan hati-
hati ke orofaring posterior. Pada penderita yang masih memberikan respon airway
nasofaringeal lebih disukai dibandingkan dengan airway orofaringeal karea lebih bisa
diterima dan lebih kecil kemungkinannya merangsang muntah. Alat tersebut sebaiknya
dilumasi dengan baik, kemudian disisipkan ke lubang hidung yang tampak tidak tersumbat.
Bila hambatan dirasakan selama pemasangan airway, hentikan dan coba melalui lubang
hidung sisi yang lain.

5. Airway Definitif

Pada airway definitif dilakukan dengan cara memasukkan ke dalam trakhea pipa dengan
balon (cuff) yang dapat dikembangkan. Pipa tersebut dapat dihubungkan dengan sauatu alat
bantu pernafasan yang diperkaya dengan oksigen. Terdapat tiga macam airway definitif:
 Pipa orotrakheal
 Pipa nasotrakheal
 dan airway surgikal (krikotiroidotomi atau tracheostomi)

B. Breathing dan Ventilasi

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat
bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap
komponen ini harus dievaluasi secara cepat

Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk
memastikan masuknya udara dalam paru. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau
darah dalam rongga pleura. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada
yang mungkin mengganggu ventilasi

Perlukaan yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothorax;
flail-chest dengan kontusio paru, dan open penumothorax. Keadaan ini harus dikenali pada
saat dilakukan primary survey

Kontrol jalan nafas pada penderita yang airway terganggu karena faktor mekanik, ada
gangguan ventilasi atau ada gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotracheal, baik
oral maupun nasal. Prosedur ini harus dilakukan dengan kontrol terhadap vertebra servikal.
Surgikal airway (cricothyroidotomy) dapat dilakukan bila intubasi endotrakheal tidak
memungkinkan karena ada kontra indikasi atau masalah teknis

C. Circulation dengan kontrol perdarahan

Perdarahan merupakan sebab utama kematian yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang
cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada penderita trauma harus
dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian
diperlukan penilaian cepat status hemodinamika penderita yakni: tingkat kesdaran, warna
kulit, dan nadi.

Lakukan kontrol perdarahan dengan tekanan langsung (direct pressure) atau secara operatif.

Perbaiki volume sirkulasi dengan pemberian cairan kristaloid (RL) yang sudah dihangatkan
2-3 liter secara cepat. Bila tidak ada respon, berikan darah segolongan (type specific). Bila
tidak ada darah segolongan, berikan darah tipe O Rhesus negatif, atau O Rhesus positif titer
terendah.

Jangan berikan vasopresor, steroid atau Bicarbonas Natricus. Bila gagal, jangan berikan infus
RL atau darah terus menerus, lakukan resusitasi operatif untuk hentikan perdarahan

D. Disability (Neurologic evaluation)

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. Yang dinilai adalah tingkat kesadaran dan reaksi pupil, tanda lateralisasi dan tingkat
cedera spinal.

Nilai kesadaran dengan GCS:


 Eye opening: spontan (4), terhadap suara (3), terhadap nyeri (2), tidak ada (1)
 Verbal:orientasi baik (5), bicara kacau/bingung (4), kata-kata tidak teratur (3),
mengerang (2), tidak bersuara (1)
 Movement: bergerak mengikuti perintah (6), melokalisir nyeri (5), menghindari nyeri
(4), fleksi abnormal (3), extensi abnormal (2), tidak bergerak (1)

E. Exposure/Kontrol Lingkungan

Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya, sering dengan cara menggunting, guna
memeriksa dan evaluasi penderita. Setelah pakaian dibuka penting penderita diselimuti agar
penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat, dan
cairan intra vena yang sudah dihangatkan.
CHECKLIST PRIMARY SURVEY PADA ASSESSEMENT AWAL KASUS
TRAUMA

SKOR
NO KRITERIA
0 1 2 3
1. Pastikan kondisi tempat pertolongan aman bagi pasien dan penolong
2. Beritahukan kepada lingkungan kalau anda akan berusaha menolong
3 Cek kesadaran pasien dengan metode AVPU
 Alert : Korban sadar jika tidak sadar lanjut ke poin V
 Verbal : Cobalah memanggil-manggil korban dengan
berbicara keras di telinga korban ( pada tahap ini jangan sertakan
dengan menggoyang atau menyentuh pasien ), jika tidak merespon
lanjut ke P
 Pain : Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling
mudah adalah menekan bagian putih dari kuku tangan (di pangkal
kuku), selain itu dapat juga dengan menekan bagian tengah tulang
dada (sternum) dan juga area diatas mata (supra orbital)
 Unresponsive : Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien
masih tidak bereaksi maka pasien berada dalam keadaan
unresponsive
4 Bebaskanlah korban dari pakaian di daerah dada (buka kancing baju
bagian atas agar dada terlihat)
5 Posisikan diri di sebelah korban, usahakan posisi kaki yang
mendekati kepala sejajar dengan bahu pasien
6 Tentukan laju dan dalamnya pernafasan
7 Cek apakah ada tanda-tanda berikut
 Luka-luka atau jejas di daerah supra clavicula ke atas
 Pasien mengalami tumbukan di berbagai tempat (misal :
terjatuh dari sepeda motor)
 Tanyakan saksi apakah pasien mengalami cedera di bagian
leher
AIRWAY
8 Jika tidak ada tanda-tanda tersebut maka lakukanlah Head Tilt and
Chin Lift, atau
Apabila ditemui tanda-tanda cedera tulang belakang servikal
lakukan:
 Imobilisasi leher secara manual atau dengan cervical collar
 Lakukan jaw-thrust maneuver
9 Sambil melakukan maneuver di atas, periksa kondisi Airway (jalan
napas) dan Breathing (Pernapasan) pasien dengan cara:
 Look : Lihat apakah ada gerakan dada (gerakan bernapas),
apakah gerakan tersebut simetris ? adakah pemakaian otot
pernafasan tambahan? dan tanda-tanda cedera lainnya
 Listen : Dengarkan apakah suara nafas normal, dan apakah
ada suara nafas tambahan yang abnormal (Snoring, gargling,
crowing)
 Feel: Rasakan dengan pipi pemeriksa apakah ada hawa
napas dari korban ? Raba apakah trakhea berada di tengah?
10 Bila ada snoring, bersihkan jalan nafas dengan teknik cross-finger
11 Bila ada gargling, bersihkan jalan nafas dengan teknik cross-finger
kemudian lakukan finger-sweep
12 Bila diperlukan lakukan tindakan mempertahankan airway dengan
oropharyngeal airway atau nasopharyngeal airway
BREATHING DAN VENTILASI
13 Berikan oksigen konsentrasi tinggi
14 Hitunglah frekuensi pernapasan dalam 1 menit
(Pernapasan normal adalah 12 -20 kali permenit untuk orang
dewasa)
15 Perkusi thorax untuk menemukan adakah redup atau hipersonor
16 Bila ditemukan tension pneumothorax lakukan needle decompresion
(*)
17 Jika frekuensi nafas normal, pantau terus kondisi pasien dengan
tetap melakukan Look Listen and Feel
18 Jika frekuensi nafas < 12 kali permenit, berikan nafas bantuan
dengan cara mouth to mouth menggunakan face mask
19 Jika pasien mengalami henti nafas berikan nafas buatan dengan bag-
valve-mask atau lakukan intubasi endotrakheal (*)
20 Bila intubasi endotrakheal tidak memungkinkan karena kontra-
indikasi atau karena masalah teknis, lakukan krikotiroidotomi (*)
CIRCULATION
21 Explorasi untuk menemukan adanya sumber perdarahan yang fatal
22 Jika ada pendarahan yang fatal coba hentikan dengan cara menekan
atau membebat luka (membebat jangan terlalu erat karena dapat
mengakibatkan jaringan yg dibebat mati)
23 Periksalah tanda-tanda shock pada pasien :
 Denyut nadi >100 kali per menit
 Telapak tangan basah dingin dan pucat
 Capilarry Refill Time > 2 detik ( CRT dapat diperiksa
dengan cara menekan ujung kuku pasien dg kuku pemeriksa selama
5 detik, lalu lepaskan, cek berapa lama waktu yg dibutuhkan agar
warna ujung kuku merah lagi)
24 Jika pasien shock, pasang IV line
25 Pada saat memasang kateter IV, ambil sampel darah untuk
kepentingan laboratorium rutin dan permintaan darah
26 Perbaiki volume sirkulasi dengan pemberian cairan kristaloid (RL)
yang sudah dihangatkan 2-3 liter secara cepat
27 Bila tidak ada respon, berikan darah segolongan (type specific).
28 Bila tidak ada darah segolongan, berikan darah tipe O Rhesus
negatif, atau O Rhesus positif titer terendah.
29 Jangan berikan vasopresor, steroid atau bicarbonas natricus
30 Bila gagal, jangan berikan infus RL atau darah terus menerus,
lakukan resusitasi operatif untuk hentikan perdarahan
DISABILITY
31 Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS
32 Nilai pupil untuk besarnya, isokori dan reaksi
EXPOSURE/ENVIRONMENT
33 Buka pakaian penderita tetapi cegah hipotermi
TOTAL
NILAI = (Total/69)

Keterangan
0 = tidak melakukan
1 = melakukan tetapi salah
2 = dapat melakukan tetapi kurang benar
3 = dapat melakukan dengan benar dan sempurna
HORACENTESIS JARUM/NEEDLE DECOMPRESSION

Needle Thoracentesis
Needle Thoracentesis is the introduction of a needle or catheter into the pleural space
to release trapped or accumulated air within the pleural space.
Needle Thoracentesis is used to decompress the pleural cavity and allow the collapsed
lung to re-inflate and also to reduce the pressure on the heart and unaffected lung usually
associated with a tension pneumothorax. A Needle Thoracentesis is to be performed on
rapidly deteriorating patients who have developed a tension pneumothorax. (If this technique
is used and the patient does not have a tension pneumothorax, there is a 10% to 20% risk of
producing a pneumothorax and or causing damage to the lung.)

Location of Needle Thoracentesis


Indications
 Tension Pneumothorax
 Tension Hemopneumothorax

Contraindications
Needle Thoracentesis (chest decompression) is indicated in the field only in the face of a life-
threatening tension pneumothorax. In that situation, there are essentially no contraindications
since the only alternative is almost certain death.
Causes
Causes of Tension Pneumothorax or Hemopneumothorax include:
1. Blunt force trauma to the chest that ruptures a portion of lung tissue,
2. Fractured rib that punctures the lung tissue,
3. Spontaneous pneumothorax for no apparent reason.
4. Conversion of a simple pneumothorax to a tension pneumothorax by positive pressure
ventilation as with a bag-valve mask device etc.
5. Open pneumothorax that is covered and left unattended developing into a tension
pneumothorax

Complication
1. Creation of pneumothorax where none existed previously
2. Laceration of lung tissue
3. Bleeding from laceration of intercostal blood vessels
4. Severe pain to conscious patient (since this is life-threatening, the procedure must be
continued)
5. Local Hematoma

Equipment
The is a sterile technique. All equipment should be placed within easy access and prepared
prior to beginning the procedure:
1. BSI ( Body substance isolation)
2. 14 Gauge 3 inch over-the-needle catheter
3. Flutter valve or one-way valve if available (can be preassembled). The flutter valve
allows air to escape from the chest, but does not allow air to enter the chest. The flutter
valve can be home-made or purchased commercially.
4. 10 ml Syringe filled with sterile water or saline if available

Technique
Always assess the A-B-C‟s IE: ventilation, oxygenation, perfusion) If patient is conscious,
quickly explain the procedure and the need to perform it.
1. Open airway; stabilize neck if trauma related
2. Apply high flow oxygen via non-rebreather or assist ventilations as necessary with
BVM
3. Position the patient in the supine position
4. Expose the patients chest
5. Locate the second (2nd) intercostalspace mid-clavicularline, or the fifth (5th)
intercostals space mid-axillaryline
6. Prepare the site with aseptic technique using betadinesolution (swab)
7. Insert the needle at the second intercostalspace at the mid-clavicularline, directing the
needle just over the top of the third rib to avoid the intercostalvessels and nerves.
Nerves and Vessels are inferior the ribs.
8. After the pleural space is entered you will hear a pop and see bubbles entering the
syringe
9. Advance the catheter and remove the catheter needle and syringe
10. Secure the catheter to prevent removal and attach one-way valve
11. Once inserted the catheter can be secured by similar taping techniques used for
Intraosseous Infusions using 4X4 sponges or Abdominal pads bunched around the
catheter for protection, and wide tape to secure to the chest
12. Continuous monitoring of the placement must be done
13. Assist ventilations as needed
14. This patient will require on-going assessment during treatment and transport
15. Be prepared to repeat decompression if tension pneumothorax repeats

Contoh Kasus
Seorang pria 25 tahun korban kecelakaan lalu lintas sewaktu mengendarai motor. Dada
korban terasa nyeri dan mengeluh sesak nafas karena dada korban menabrak stang motor.
Anda sebagai dokter IGD memeriksa terdapat jejas di dada kanan korban, tidak ada luka
terbuka, suara nafas menurun di hemithoraks kanan. 15 menit kemudian pasien merasa
semakin sesak dan belum bisa dilakukan rontgen thoraks. Apa yang akan lalukan pada pasien
ini?

TORAKOSINTESIS JARUM

N SKOR
KRITERIA
O 0 1 2 3
1 Persiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan:
 Betadine
 Kassa steril
 Plester
 Jarum abocath atau IV cannula catheter ukuran 14 Gauge untuk
dewasa dan 18 Gauge untuk anak
 Spuit 10 cc yang sudah diisi NaCl 0,90% 5 cc
 Spuit 3 cc
 lidocaine
 Stetoskop

Gunakan perlengkapan yang steril untuk keamaan anda dan pasien, yaitu:
 Handscoon
 Face mask
 Kacamata pelindung (goggle)
 Apron (celemek) yang tahan air
2 Bila memungkinkan posisikan penderita dalam posisi tegak jika fraktur
servikal sudah disingkirkan

3 Posisikan diri anda berada di sisi dada yang cedera

4 Pastikan penderita mengalami kesulitan dalam bernafas dan segera


berikan oksigen dengan aliran tinggi 10-15 liter masker non rebreathing.

5 Auskultasi dada penderita dan pastikan anda menemukan suara paru yang
menghilang (vesikuler menghilang) pada sisi yang sakit.

(SEMPURNA BILA MAHASISWA MELAKUKAN AUSKULTASI


SECARA ZIG ZAG DI SELURUH LAPANGAN PARU)
6 Perkusi dada penderita dan pastikan anda menemukan daerah yang
hipersonor pada sisi yang sakit.

(SEMPURNA BILA MAHASISWA MELAKUKAN PERKUSI


SECARA ZIG ZAG DI SELURUH LAPANGAN PARU)
7 Identifikasi sela iga II, di linea midklavikula di sisi tension
pneumothoraks

8 Lakukan asepsis dan antisepsis dada menggunakan betadine dan kassa


steril

(SEMPURNA BILA MAHASISWA MELAKUKAN ASEPSIS


ANTISEPSIS DENGAN LEGEARTIS YAITU SECARA
SIRKULER DARI DALAM KE LUAR)
9 Jika penderita sadar atau keadaan mengijinkan lakukan anestesi lokal
menggunakan lidocaine dalam spuit 3 cc sub kutan pada daerah yang
akan dilakukan punksi

10 Pasang abbocath pada spuit 10 cc yang sudah diisi dengan 5 cc NaCl


0.9%

11 Insersi jarum abbocath ke kulit secara langsung membentuk sudut 90


derajat tepat di tepi atas iga ketiga pada sela iga kedua (SIC II)

12 Tusuk hingga menembus pleura parietal, ditandai dengan adanya


gelembung-gelembung udara pada spuit yg telah diisi 5 cc NaCl

13 Setelah keadaan tension pneumotoraks teratasi, angkat jarum abbocath


dan spuit dari kateter plastik serta pertahankan posisi kateter plastik
dengan plester

( “TANDA TENSION TERATASI ?” - YAITU SUDAH TIDAK ADA


LAGI GELEMBUNG UDARA DI DALAM SPUIT DAN SESAK
PENDERITA MEMBAIK)
14 Siapkan pasien untuk dilakukan pemasangan chest-tube

15 Setelah chest-tube terpasang, angkat kateter plastik dari tempat punksi


kemudian bersihkan luka bekas tusukan abbocath dengan betadine dan
tutup dengan kassa steril

SUb total

Total

NILAI = (Total/35)x100
PENUNTUN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF PEMERIKSAAN NEUROLOGI

PEMERIKSAAN TANDA MENINGEAL

Tanda-tanda meningeal timbul karena tertariknya radiks-radiks saraf tepi yang hipersensitif
karena adanya perangsangan atau peradangan pada selaput otak meninges (meningitis) akibat
infeksi, kimiawi ataupun karsinomatosis.Perangsangan meningeal bisa terjadi juga akibat
perdarahan subarachnoid.
Test-test untuk menguji ada tidaknya tanda meningeal banyak sekali, namun pada
dasarnya adalah variasi test pertama yang dikenalkan oleh Vladimir kering pada tahun
1884.Dokter akhli penyakit dalam dari Rusia ini memperhatikan adanya keterbatasan ekstensi
pasif sendi lutut pada pasien meningitis dalam posisi duduk maupun berbaring.Sampai sekarang
masih sering digunakan untuk tanda meningeal.
Selanjutnya Josep Brudzinski seorang ilmuan Polandia pada tahun 1909 mengenalkan
tanda lain dalam mendeteksi adanya tanda meningeal. Tanda yang diperkenalkan adalah gerakan
fleksi bilateral di sensi lutu dan panggul yang timbul secara reflektorik akibat difleksikannya
kepala pasien ke depan sampai menyentuh dada. Tanda ini dikenal sebagai tanda Brudzinski I.
Sebelumnya Brudzinski juga telah memperkenalkan adanya tanda tungkai kontralateral
sebagai tanda perangsangan meningeal, yaitu gerakan fleksi di sendi panggul dengan tungkai
pada posisi lurus disendi lutut akan membangkitkan secara reflektorik gerakan fleksi sendi lutut
dan panggul kontralateral. Tanda ini dikenal sebagai Tanda Brudzinski II.Urutan I dan II hanya
menunjukkan urutan pemeriksaannya saja, bukan urutan penemuannya.
Selain tanda-tanda yang sudah diseskripsikan di atas masih ada beberapa tanda meningeal
yang lain namun ada satu tanda lagi yang cukup penting yaitu kaku kuduk. Pada pasien
meningitis akan di dapatkan kekakuan atau tahanan pada kuduk nila difleksikan dan
diekstensikan.

Prosedur Pemeriksaaan
Untuk memudahkan pemeriksaan, pada keterampilan medik ini berturut-turut akan
dipelajari tanda-tanda meningeal sebagai berikut :
1. Kaku kuduk (Riginitas Nuchae)
2. Tanda Brudzinski I
3. Tanda Kernig
4. Tanda Lasegue
5. Tanda Brudzinski II

1. Kaku kuduk (Riginitas Nuchae)


Porsedur
 Penderita berbaring terlentang di atas tempat tidur
 Secara pasif kepala penderita dilakukan fleksi dan ekstensi

Interpretasi
 Kaku kuduk dinyatakan positif jika sewaktu dilakukan gerakan, dagu penderita tidak
dapat menyentuh dua jari yang diletakkan di incisura jugularis, terdapat suatu tahanan
2. Tanda Brudzinski I
 Pasien berbaring terlentang
 Tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah kepala pasien
 Kemudian dilakukan gerakan fleksi pada kepala pasien dengan cepat, gerakan fleksi
ini dilakukan semaksimal mungkin

Interpretasi
 Tanda Brudzinksi positif jika sewaktu dilakukan gerakan fleksi kepala pasien timbul
fleksi involunter pada kedua tungkai

Gambar. Tanda Brudzinski I

3. Tanda Kernig
 Pasien berbaring terlentang
 Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut dari pasien
 Kemudian dilakukan ekstensi pada sendi lutut

Interpretasi
 Tanda kernig positif jika waktu dilakukan ekstensi sendi lutut < 135°, timbul rasa
nyeri, sehingga ekstensi sendi lutut tidak bisa maksimal
2

Gambar. Tanda Kernig


4. Tanda Lesegue
 Pasien berbaring telentang
 Pemeriksa mengangkat salah satu tungkai hingga terjadi bengkokan (fleksi pada
persendian panggul
Interpretasi
 Tanda lasegue (+) jika timbul rasa sakit dan tahanan sebelum tungkai mencapai sudut
70°, normalnya tungkai dapat mencapai 70° tanpa rasa sakit dan tahanan, kecuali pada
usia lanjut hanya dapat mencapai 60°

Gambar. Tanda Laseque


5. Tanda Brudzinski II
 Pasien berbaring terlentang
 Tungkai bawah pasien dilakukan fleksi secara pasif pada sendi panggul dan sendi lutut
(seperti Tanda Kernig)

Interpretasi
 Tanda Brudzinski II positif jika sewaktu dilakukan gerakan di atas tadi, tungkai yang
kontralateral secara involunter ikut fleksi

Gambara. Tanda Brudzinski II


a. REFERNSI
1. MackrethB.Glasgowcomascaletrainingexercise.Matanuska-Susitna
BoroughDeptofPublicSafety.Availablefrom:URL:
www.chems.alaska.gov/EMS/documents/GCS_Activity_2003.
Accessed22ndMarch,2005.
2. Childrenn‟sComaScale(ModifiedGlasgowcomaScale,AdelaideComaScale).
Algorithm.Availableat:www.child-
neuro.org.uk/content/publish/algorithms/article_211.shtml-
51k.Accessed22ndMarch,2013.
3. MardjonoM,SidhartaP.Neurologiklinisdasar.6th ed.Jakarta:Dian Rakyat.1997;183-5
4. Lumbantobing S, Neurologi Klinik, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2007.
5. Mahar Marjono, Neurologi Klinis Dasar, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 2008.

Kaku kuduk (riginitas Nuchae)


Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
Mempersiapkan penderita berbaring terlentang di atas tempat
2
tidur
Secara pasif memfleksikan dan mengekstensikan kepala
3
penderita
Merasakan dan melaporkan ada tidaknya tahanan pada
4
leher/kuduk
5 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan kaku kuduk
JUMLAH SKOR

Tanda Brudzinski I
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
Mempersiapkan penderita berbaring terlentang di atas tempat
2
tidur
Mempersiapkan tangan kiri pemeriksa diletakkan di bawah
3
kepala pasien
Melakukan gerakan fleksi pada kepala pasien dengan cepat dan
4
gerakan fleksi ini dilakukan semaksimal mungkin
Memperhatikan dan melaporkan ada tidaknya refleks fleksi
5
bilateral pada sendi panggul dan sendi lutut
6 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan Brudzinski I
JUMLAH SKOR

Tanda Kernig
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
Mempersiapkan penderita berbaring terlentang di atas tempat
2
tidur
3 Pemeriksa melakukan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut
4 Melakukan ekstensi pada sendi lutut
Memperhatikan dan melaporkan apakah pasien merasa nyeri
5
sehingga ekstensi tidak bisa maksimal atau tidak
6 Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan tanda kernig
JUMLAH SKOR

Tanda Lasegue
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
Mempersiapkan penderita berbaring terlentang di
2
atas tempat tidur
Angkat salah satu tungkai hingga terjadi
3
bengkokan (fleksi) pada persendian panggul
Memperhatikan dan melaporkan apakah pasien
4 merasa sakit dan ada tahanan sehingga tungkai
tidak dapat mencapai 70°
Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan
5
tanda kernig
JUMLAH SKOR

Tanda Budzinski II
Skor
No Aspek Yang Dinilai
0 1 2
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan
Mempersiapkan penderita berbaring terlentang di
2
atas tempat tidur
Pada salah satu tungkai bawah pasien dilakukan
3 fleksi secara pasif pada sendi panggul dan sendi
lutut
Memperhatikan dan melaporkan ada tidaknya
4
refleks fleksi pada sendi lutut kontralateral
Membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan
5
Brudzinski II
JUMLAH SKOR
Penjelasan :
0 Tidak dilakukan mahasiswa
1 dilakukan, tapi belum sempurna
2 dilakukan dengan sempurna, atau bila aspek tersebut tidak dilakukan mahasiswa
karena situasi yang tidak memungkinkan (misal tidak diperlukan dalam skenario
yang sedang dilaksanakan)
PENUNTUN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF “DISTOSIA BAHU DAN
PRESENTASE BOKONG”

Persiapan Pertolongan Persalinan Letak Sungsang

TUJUAN PRAKTIKUM

Setelah mengikuti pembelajaran praktik laboratorium ini, Anda diharapkan mampu


melakukan persiapan pertolongan letak sungsang. Secara khusus, setelah melakukan praktik
laboratorium, Anda diharapkan dapat melakukan persiapan pertolongan letak sungsang
sebagai berikut :
 Persiapan alat-alat untuk persalinan sungsang
 Persetujuan untuk tindakan medik/lembar inform consent
 Persiapan pasien

POKOK-POKOK MATERI

 Persiapan alat-alat untuk persalinan sungsang


 Persetujuan untuk tindakan medik/lembar inform consent
 Persiapan pasien

ALAT DAN BAHAN

Sebelum melakukan tindakan pertolongan persalinan sungsang, Anda harus


menyiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan :
1. Form inform consent
2. Persiapan alat (disusun secara sistematis)
a. Pertolongan Persalinan
1) Partus set berisi (2 pasang sarung tangan DTT, 2 klem Kocher, ½ kocher (1).
Kasa steril minimal 4 buah, gunting tali pusat, gunting episiotomi, benang
tali pusat, kateter nelaton
2) Kapas DTT
3) Uterotonika (Oksitosin, 2), metergin
4) Spuit 3 cc
5) Penghisap lendir
6) Bengkok
7) Funandoskop
8) Bahan-bahan yang disusun secara urut (celemek, handuk, alas bokong,
baju bayi/kain yang hangat, pakaian ganti ibu, waslap)
9) Tempat sampah (tempat sampah medis dan non medis)
10) Tempat pakaian kotor ibu
11) Air DTT (2)
1
12) Larutan Klorin 0,5 %
13) Peralatan cuci tangan
14) Tempat plasenta
15) Partograf dan alat pencatatan
16) Alat pelindung (alas kaki, kaca mata, masker)
17) Jam yang menggunakan detik
18) Tensimeter dan stetoskop
19) Perlengkapan resusitasi
20) Infus set dan cairan rehidrasi

b. Alat untuk penjahitan


1) Bak instrumen yang berisi : nald voeder, pinset anatomi dan pinset cirurgi,
jarum jahit (bundar dan segitiga) sarung tangan, DTT, duk steril).
2) Spuit 5 cc
3) Benang jahit
4) Lampu untuk penerangan
5) Lidocain (analgetik)

c. Persiapan resusitasi :
1) Meja datar dan keras
2) Alas kain panjang
3) Pengganjal pungung tebal 3-5 cm
4) Lampu 60 watt
5) Penghisap lendir De lee
6) Kasa DTT
7) Vitamin K 1, 1mg
8) Vaksin Hb uniject
9) Salep mata oxytetrasiklin 1%
10) Sungkup (ambubag)
11) Oksigen dalam tabung
12) Handuk besar
13) Jam dengan jarum detik

B. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN:

1. Melakukan persiapan
a. Peralatan
b. Penjahitan perineum
c. Pertolongan untuk bayi (resusitasi)
2. Memberi salam dan memperkenalkan pada klien/keluarga, menjelaskan diagnosis,
tindakan yang akan dilakukan, resiko dan keuntungan tindakan, akibat bila tindakan
tidak dilakukan, membuat persetujuan tindakan medis/informed consent

2
3. Mendengar dan melihat tanda persalinan Kala II
a. Ibu mempunyai dorongan kuat untuk meneran
b. Ibu merasa adanya tekanan pada anus
c. Perineum menonjol
d. Anus dan vulva membuka
4. Memastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan esensial untuk menolong
persalinan dan penatalaksanaan komplikasi ibu dan bayi baru lahir. Untuk resusitasi
BBL (tempat datar, rata, cukup keras, bersih, kering dan hangat, lampu 60 watt dengan
jarak 60 cm dari tubuh bayi, 3 handuk/kain bersih dan kering, alat penghisap lendir,
tabung atau balon sungkup)
5. Menggelar kain diatas perut ibu dan tempat resusitasi serta ganjal bahu bayi
6. Menyiapkan oksitosin 10 i.u dan alat suntik steril sekali pakai di dalam partus set
7. Pakai celemek plastik dan perlengkapan diri lainnya. Melepaskan dan menyimpan
semua perhiasan yang dipakai, cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir,
kemudian keringkan tangan dengan tisue/handuk pribadi yang bersih dan kering.

8. Memakai sarung tangan DTT pada tangan kanan yang akan digunakan untuk
pemeriksaan dalam

RINGKASAN

Kemampuan Anda untuk mempersiapkan pertolongan persalinan letak sungsang


sangat penting bagi terselenggaranya pertolongan dengan baik dan benar. Hal ini berkaitan
dengan penatalaksanaan untuk mengatasi kegawat daruratan maternal neonatal dalam

3
persalinan letak sungsang. Oleh sebab itu Anda perlu memahami persiapan alat-alat untuk
persalinan sungsang, persetujuan untuk tindakan medik/lembar inform consent dan
mempersiapkan pasien.

Melaksanakan Pertolongan Persalinan Letak Sungsang

TUJUAN PRAKTIKUM

Setelah mengikuti pembelajaran praktik laboratorium ini, Anda diharapkan mampu


melakukan pertolongan persalinan letak sungsang Setelah melakukan praktik laboratorium
ini, Anda diharapkan dapat melakukan penatalaksanaan pertolongan persalinan letak
sungsang (kala II).

POKOK-POKOK MATERI

1. Fase lambat pertama


a. Mulai dari lahirnya bokong sampai umbilikus (scapula)
b. Disebut fase lambat karena tahapan ini tidak perlu ditangani secara tergesa-gesa
mengingat tidak ada bahaya pada ibu dan anak yang mungkin terjadi

2. Fase cepat
a. Mulai lahirnya umbilikus sampai mulut
b. Pada fase ini, kepala janin masuk panggul sehingga terjadi oklusi pembuluh darah
tali pusat antara kepala dengan tulang panggul sehingga sirkulasi uteroplasenta
terganggu
c. Disebut fase cepat oleh karena tahapan ini harus diselesaikan dalam 1-2 kali
kontraksi uterus (sekitar 8 menit)

3. Fase lambat kedua


a. Mulai lahirnya mulut sampai seluruh kepala
b. Fase ini disebut fase lambat karena tahapan ini tidak boleh dilakukan secara
tergesa-gesa untuk menghidari dekompresi kepala yang terlampau cepat yang
dapat menyebabkan perdarahan intrakranial

LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN

1. Membersihkan vulva dan perineum, menyekanya dengan hati-hati dari depan ke


belakang dengan menggunakan kapas atau kasa yang dibasahi air DTT.
a. Jika introitus vagina, perineum atau anus terkontaminasi tinja, bersihkan dari
arah depan ke belakang
b. Buang kapas/kasa pembersih (yang terkontaminasi) dalam wadah yang tersedia
4
c. Ganti sarung tangan jika terkontaminasi (dekontaminasi), lepaskan dan rendam
dalam larutan klorin 0.5%)
2. Melakukan pemeriksaan dalam, pastikan pembukaan sudah lengkap dan selaput
ketuban belum pecah maka lakukan amniotomi
3. Dekontaminasi sarung tangan dengan cara mencelupkan tangan yang masih memakai
sarung tangan ke dalam larutan klorin 0.5%, kemudian lepaskan dan rendam keadaan
terbalik selama 10 menit, kemudian cuci tangan
4. Periksa denyut jantung (DJJ) setelah kontraksi untuk memastikan bahwa DJJ dalam
batas normal (120 -160 x /menit)
a. Mengambil tindakan yang sesuai jika DJJ tidak normal
b. Mendokumentasikan hasil pemeriksaan dalam, DJJ, dan semua hasil penilaian
serta asuhan lainnya pada partograf
5. Memberitahu ibu pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik. Yang perlu
dilakukan selanjutnya adalah :
a. Mengatur ibu dengan posisi litotomi
b. meminta ibu untuk meneran saat ada his
c. Lanjutkan pemantauan kondisi kenyamanan ibu dan janin (ikuti pedoman
panatalaksanaan fase aktif) dan dokumentasikan semua temuan yang ada
d. Jelaskan pada anggota keluarga tentang bagaimana peran mereka untuk
membantu proses persalinan
6. Ajarkan teknik Kristeller kepada pendamping persalinan (keluarga)
7. Laksanakan bimbingan meneran saat ibu merasa ada dorongan yang kuat untuk
meneran :
a. Mendukung usaha ibu untuk meneran
b. Memberi ibu kesempatan istirahat disaat tidak ada his (diantara his)
c. Memberi ibu kesempatan minum saat istirahat
d. Anjurkan keluarga memberi dukungan dan semangat untuk ibu
e. Berikan cukup asupan cairan peroral (minum)
f. Menilai DJJ setiap kontraksi selesai
g. Segera rujuk jika bayi belum atau tidak akan segera lahir setelah 120 menit (2
jam) meneran (primigravida ) atau 60’ (1 jam) meneran (multigravida)
8. Saat bokong janin terlihat pada vulva dengan diameter 5-6 jam :
a. Memasang handuk bersih untuk mengeringkan janin pada perut ibu
b. Mengambil kain bersih, melipat 1/3 bagian dan meletakkan dibawah bokong ibu
c. Membuka tutup partus set
d. Memakai sarung tangan DTT pada kedua tangan

Teknik Pertolongan Dengan Cara Spontan Bracht :


1. Saat bokong sudah membuka pintu (krowning) dan perineum menipis :
a. Menyuntikkan oksitosin/sintosinon 5 unit secara IM
b. Dilanjutkan dengan episiotomi (bila perlu)

5
BEBERAPA FASE MENOLONG KELAHIRAN BAYI

Fase lambat pertama (mulai lahirnya bokong, pusat sampai ujung scapula depan
dibawah sympisis)

2. Sifat penolong adalah pasif, hanya menolong membuka vulva, saat bokong dan kaki lahir
kedua tangan memegang bokong secara Bracht yaitu kedua ibu jari sejajar sumbu
panjang paha janin sedangkan jari-jari yang lain memegang pada pelvis (bila perlu
gunakan duk DTT untuk memegang bokong bayi).

Gambar 2.1 : Gambar 2.2 :


Pegangan “Femuro Pelvic” pada pertolongan Pegangan panggul anak
persalinan sungsang pervaginam pada persalinan spontan Bracht
Sumber:http://dokumen.tips/documents/gambar-mekanisme-an-persalinan-sungsang.html

Fase cepat : Lahirnya tali pusat sampai mulut. Saat tali pusat lahir, jari penolong yang
dekat dengan perut bayi mengendorkan tali pusat dan menunggu sampai ujung
scapula terlihat dibawah sympisis.

3. Saat ujung scapula anterior terlihat dibawah sympisis penolong melakukan gerakan
hiperlordosis yaitu punggung janin didekatkan ke perut ibu, bersamaan dengan
gerakan hiperlordosis asisten melakukan kristeler sampai dagu mulut lahir
(memperhatikan posisi tangan janin).

Hal-hal yang perlu diperhatikan :


a. Pertolongan persalinan bahu dan lengan, pada saat hiperlordosis penolong melihat
kedua tangan bayi bersilang di depan dada/kedua tangan bayi sudah sudah lahir maka
lanjutkan dengan persalinan spontan bracht. Bersamaam dengan gerakan
hyperlordosis asisten melakukan klisteller sampai dagu mulut lahir.

6
Gambar 2.3. Pegangan Bokong Anak pada Persalinan Spontan Bracht

b. Bila saat hiperlordosis terjadi hambatan (satu tangan atau kedua tangan bayi
menjungkit) segera lakukan pertolongan dengan cara manual aid ada 3 tahapan :
 Bokong sampai umbilikus lahir secara spontan (pada frank breech)
 Persalinan bahu dan lengan dibantu oleh penolong
 Persalinan kepala dibantu oleh penolong

c. Persalinan bahu dengan cara LOVSET


Memutar badan janin setengah lingkaran (1800) searah dan berlawanan arah jarum
jam sambil melakukan traksi curam kebawah sehingga bahu yang semula dibelakang
akan lahir didepan (dibawah simfisis)

Tubuh janin dipegang


dengan pegangan
femuropelvik.
Dilakukan pemutaran 1800
sambil melakukan traksi
curam kebawah sehingga
bahu belakang menjadi
bahu depan dibawah
Gambar 2.4. arcus pubis dan dapat
Persalinan Bahu Dengan Lovset dilahirkan

d. Persalinan bahu dengan cara Klasik, disebut pula sebagai tehnik Deventer. Melahirkan
lengan belakang dahulu dan kemudian melahirkan lengan depan dibawah simfisis (bila
bahu tersangkut di pintu atas panggul).

7
Prinsip :
Melahirkan lengan belakang lebih dulu (oleh karena ruangan panggul sebelah
belakang/sacrum relatif lebih luas didepan ruang panggul sebelah depan) kemudian
melahirkan lengan depan dibawah arcus pubis. Tetapi bila lengan depan sulit
dilahirkan maka lengan depan diputar menjadi lengan depan yaitu punggung diputar
melewati sympisis, dengan langkah sebagai berikut:
 Kedua kaki janin dipegang dengan tangan penolong pada pergelangan kaki,
ditarik ke atas sejauh mungkin sehingga perut janin mendekati perut ibu.
 Bersamaan dengan ibu tangan kiri penolong yaitu jari telunjuk dan jari tengah
masuk ke jalan lahir menelusuri bahu, fosa cubiti, kemudian lengan dilahirkan
seolah-olah mengusap muka janin.
 Untuk melahirkan bahu lengan depan kaki janin dipegang dengan tangan kanan
ditarik curam ke bawah kearah punggung ibu kemudian dilahirkan.
 Bila lengan depan sulit dilahirkan maka harus diputar menjadi lengan belakang
yaitu lengan yang sudah lahir disekam dengan kedua tangan penolong
sedemikian rupa sehingga kedua ibu jari penolong terletak di punggung dan
sejajar dengan sumbu badan janin sedang jari yang lain mencekam dada,
kemudian diputar punggung melewati sympisis sehingga lengan depan menjadi
lengan depan, lalu lengan dilahirkan dengan teknik tersebut diatas.

Gambar 2.5. Gambar 2.6.


Melahirkan lengan belakang pada Melahirkan lengan depan pada tehnik
tehnik melahirkan bahu cara klasik melahirkan bahu cara klasik

Pertolongan Melahirkan Kepala dengan Cara Maureceau

1. Tangan penolong yang dekat muka janin (tangan yang dekat dengan perut janin)
dimasukkan ke dalam jalan lahir yaitu jari tengah dimasukkan ke dalam mulut janin,
jari telunjuk dan jari manis pada fossa kanina (melakukan fleksi pada kepala janin),
sedangkan jari lain mencekam leher, kemudian badan bayi ditunggangkan pada lengan
bawah.

8
2. Kedua tangan penolong menarik curam ke bawah sambil seorang asisten melakukan
Kristeller ringan. Tenaga tarikan terutama dilakukan oleh tangan penolong yang
mencekam leher janin. Bila oksiput tampak dibawah sympisis kepala janin dielevasi ke
atas dengan suboksiput sebagai hipomoklion sehingga lahir berturut-turut dagu, mulut,
hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar dan akhirnya seluruh kepala.

Penanganan Bayi Baru Lahir


1. Pegang bayi dengan hati-hati dan letakkan bayi diatas perut ibu sambil melakukan
penilaian kondisi bayi, lakukan penilaian selintas Bayi Baru Lahir :
a. Apakah baik menangis atau bernafas/tidak megap-megap ?
b. Apakah tonus otot bayi bayi baik/bayi bergerak aktif ?

2. a. Jika bayi menangis kuat dan aktif, lanjutkan ke langkah penanganan bayi baru
lahir normal
b. Jika bayi megap-megap/tidak bernafas dan atau tonus otot bayi tidak baik/bayi
lemas, lakukan langkah awal resusitasi (Lihat Pedoman Resusitasi).

3. Dengan perlindungan tangan kiri, pasang klem di dua tempat pada tali pusat dan
potong tali pusat diantara 2 klem tersebut.

RINGKASAN

Kemampuan Anda untuk melakukan pertolongan persalinan letak sungsang pada kala
II sangat penting, maka Anda perlu lebih memahami langkah-langkah untuk pertolongan
persalinan yang dimulai dari fase lambat pertama yaitu mulai dari lahirnya bokong sampai
umbilikus (scapula). Selanjutnya fase cepat yaitu lahirnya umbilikus sampai mulut yang
harus diselesaikan dalam 1 – 2 kali kontraksi uterus (sekitar 8 menit). Yang terakhir adalah
fase lambat kedua adalah kepala janin masuk panggul. Pada tahapan ini tidak boleh
dilakukan secara tergesa-gesa untuk menghidari dekompresi kepala yang terlampau cepat
yang dapat menyebabkan perdarahan intrakranial.

a. Memindahkan klem tali pusat sekitar 5-10 cm dari vulva


b. Meletakkan tangan kiri diatas simfisis menahan bagian bawah uterus, sementara
tangan kanan memegang tali pusat menggunakan klem atau kain kasa dengan jarak 5-
10 cm dari vulva
c. Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan kanan sementara tangan
kiri meneran uterus dengan hati-hati kearah dorsokranial.

9
Nilailah kinerja yang diamati dengan menggunakan skala sebagai berikut :
1 : Anda melaksanakan langkah kerja atau kegiatan secara kompeten ketika dilakukan
evaluasi
0 : Anda tidak kompeten dalam melaksanakan langkah kerja atau kegiatan ketika
dilakukan evaluasi

NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0

1 Persiapan alat
a. Partus set berisi (2 pasang sarung tangan DTT, 2 klem Kocher, ½
kocher (1). Kasa steril minimal 4 buah, gunting tali pusat, gunting
episiotomi, benang tali pusat, kateter nelaton)
b. Kapas DTT
c. Uterotonika (Oksitosin (2), metergin)
d. Spuit 3 cc
e. Penghisap lendir
f. Bengkok
g. Funandoskop
h. Bahan-bahan yang disusun secara urut (celemek, handuk, alas
bokong, ganti untuk bayi/kain yang hangat, pakaian ganti ibu,
waslap)
i. Tempat sampah (tempat sampah medis, tempat sampah non medis)
j. Tempat pakaian kotor ibu
k. Air DTT (2)
l. Larutan Klorin 0,5 %
m. Peralatan cuci tangan
n. Tempat plasenta
o. Partograf dan alat pencatatan
p. Alat pelindung (alas kaki, kaca mata, masker)
q. Jam yang menggunakan detik
r. Tensimeter dan stetoskop
s. Perlengkapan resusitasi
t. Infus set dan cairan rehidrasi

2 Alat untuk penjahitan

10
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0

a. Bak instrumen berisi : nald voeder, pinset anatomi dan pinset


cirurgi, jarum jahit (bundar dan segitiga), sarung tangan, DTT, duk
steril).
b. Spuit 5 cc
c. Benang jahit
d. Lampu untuk penerangan
e. Lidocain (analgetik)
3 Persiapan resusitasi
a. Meja datar dan keras
b. Alas kain panjang
c. Pengganjal pungung tebal 3-5 cm
d. Lampu 60 watt
e. Penghisap lendir De lee
f. Kasa DTT
g. Vitamin K 1, 1mg
h. Vaksin Hb uniject
i. Salep mata oxytetrasiklin 1%
j. Sungkup (ambubag)
k. Oksigen dalam tabung
l. Handuk besar
m. Jam dengan jarum detik

4 Memberi salam dan memperkenalkan pada klien/keluarga,


menjelskan diagnosis, tindakan yang akan dilakukan, resiko dan
keuntungan tindakan, akibat bila tindakan tidak dilakukan, membuat
persetujuan tindakan medis/informed consent
5 a. Mendengar dan melihat tanda persalinan Kala II
b. Ibu mempunyai dorongan kuat untuk meneran
c. Ibu merasa adanya tekanan pada anus
d. Perineum menonjol
e. Anus dan vulva membuka
6 Memastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan esensial
untuk menolong persalinan dan penatalaksanaan komplikasi ibu dan
bayi baru lahir. Untuk resusitasi BBL (tempat datar, rata, cukup keras,
bersih, kering dan hangat, lampu 60 watt dengan jarak 60 cm dari tubuh
bayi, 3 handuk/kain berskih dan kering, alat penghisap lendir,
tabung atau balon sungkup)
7 a. Menggelar kain diatas perut ibu dan tempat resusitasi serta ganjal
bahu bayi
b. Menyiapkan oksitosin 10 i.u dan alat suntik steril sekali pakai di

11
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0

dalam partus set


8 Pakai celemek plastik dan perlengkapan diri lainnya. Melepaskan dan
menyimpan semua perhiasan yang dipakai, cuci tangan dengan sabun
dan air bersih mengalir kemudian keringkan tangan dengan
tisue/handuk pribaddi yang bersih dan kering
9 Memakai sarung tangan DTT pada tangan kanan yang akan digunakan
untuk pemeriksaan dalam
10 Mengambil alat suntik sekali pakai dengan tangan yang bersarung
tangan, isi dengan oksitosin dan letakkan kembali ke dalam wadah
partus set (pastikan tidak terjadi kontaminasi pada alat suntik)
11 Membersihkan vulva dan perineum, menyekanya dengan hati-hati dari
depan ke belakang dengan menggunakan kapas atau kasa yang dibasahi
air DTT
a. Jika introitus vagina, perineum atau ansu terkontaminasi tinja,
bersihkan dengan seksama dari arah depan ke belakang
b. Buang kapas/kasa pembersih ( terkontaminasi) dalam wadah yang
tersedia
c. Ganti sarung tangan jika terkontaminasi (dekontaminasi, lepaskan
dan rendam dalam larutan klorin 0.5%)
12 Melakukan pemeriksaan dalam, pastikan pembukaan sudah lengkap
dan selaput ketuban belum pecah dan pembukaan sudah lengkap
maka lakukan amniotomi.
13 Dekontaminasi sarung tangan dengancara mencelupkan tangan yang
masih memakai sarung tangan ke dalam larutan klorin 0.5%, kemudian
lepaskan dan rendam keadaan terbalik dalam larutan clorin 0.5%
selama 10 menit. Cuci kedua tangan setelah sarung tangan dilepaskan.
14 Periksa denyut jantung (DJJ) setelah kontraksi/saat relaksasi uterus
untuk memastikan bahwa DJJ dalam batas normal (120 – 160 x / menit)
a. Mengambil tindakan yang sesuai jika DJJ tidak normal
b. Mendokumentasikan hasil pemeriksaan dalam, DJJ, dan semua
hasil penilaian serta asuhan lainnya pada partograf

15 Memberitahu ibu pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik


dan selanjutnya :

a. Mengatur ibu dengan posisi litotomi


b. meminta ibu untuk meneran saat ada his bila ia sudah merasa
ingin meneran
c. Lanjutkan pemantauan kondisi kenyamanan ibu dan janin (ikuti

12
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0

pedoman panatalksanaan fase aktif) dan dokumentasikan semua


temuan yang ada.
d. Jelaskan pada anggota keluarga tentang bagaimana peran mereka
untuk membantu proses persalinan.
16 Ajarkan teknik Kristeller kepada pendamping persalinan (keluarga)
17 Laksanakan bimbingan meneran saat ibu merasa ada dorongan yang
kuat untuk meneran Memimpin ibu untuk meneran pada saat ibu timbul
His, menyesuaikan pimpinan meneran dengan kecepatan lahirnya
kepala.
a. Mendukung usaha ibu untuk meneran
b. Memberi ibu kesempatan istirahat disaat tidak ada his (diantara
his)
c. Memberi ibu kesempatan minum saat istirahat
d. Anjurkan keluarga memberi dukungan dan semangat untuk ibu
e. Berikan cukup asupan cairan peroral (minum)
f. Menilai DJJ setiapp kontraksi selesai
g. Segera rujuk jika bayi belum atau tidak akan segera lahir setealah
120‟ (2 jam) meneran (primigravida) atau 60‟ (1jam) meneran
(multigravida)

18 Saat bokong janin terlihat pada vulva dengan diameter 5 – 6 jam :


a. Memasang handuk bersih untuk mengeringkan janin pada perut
ibu.
b. Mengambil kain bersih, melipat 1/3 bagian dan meletakkan
dibawah bokong ibu
c. Membuka tutup partus set
d. Memakai sarung tangan DTT pada kedua tangan
Tehnik Spontan Bracht
19 Saat bokong sudah membuka pintu (krowning) dan perineum menipis:
a. Menyuntikkan oksitosin /sintosinon 5 unit secara IM dan
b. Dilanjutkan dengan episiotomi (bila perlu)
MENOLONG
KELAHIRAN BAYI
(LAHIRNYA
BOKONG)
Fase Lambat Pertama
(Mulai lahirnya bokong, pusat sampai ujung scapula depan dibawah sympisis)
20 Sifat penolong adalah pasif, hanya menolong membuka vulva, saat
bokong dan kaki lahir kedua tangan memegang bokong secara Brach
yaitu kedua ibu jari sejajar sumbu panjang paha janin sedangkan jari –
jari yang lain memegang pada pelvis ( bila perlu gunakan duk DTT
untuk memegang bokong bayi)

13
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0

Fase Cepat
(Lahirnya tali pusat sampai mulut)
21 Saat tali pusat lahir jari penolong yang dekat dengan perut bayi
mengendorkan tali pusat dan menunggu sampai ujung scapula terlihat
dibawah sympisis
22 Saat ujung scapula anterior terlihat dibawah sympisis penolong
melakukan gerakan hiperlordosis yaitu punggung janin didekatkan ke
perut ibu, bersamaan dengan gerakan hiperlordosis asisten melakukan
kristeler sampai dagu mulut lahir (memperhatikan posisi tangan janin )
Catatan :
 Pada saat hiperlordosis penolong melihat kedua tangan bayi
bersilang di depan dada/kedua tangan bayi sudah sudah lahir maka
lanjutkan dengan persalinan spontan bracht. Bersamaam dengan
gerakan hyperlordosisi asisten melakukan klisteller sampai dagu
mulut lahir.
 Bila saat hiperleordosis terjadi hambatan (satu tangan atau kedua
tangan bayi menjungkit) segera lakukan pertolongan dengan cara
manual aid, yang terdiri atas 3 tahapan berikut :
 Bokong sampai umbilikus lahir secara spontan (pada frank
breech)
 Persalinan bahu dan lengan dibantu oleh penolong
 Persalinan kepala dibantu oleh penolong
Pertolongan dapat dilanjutkan dengan cara Lovset/klasik (Deventer)

Tehnik Persalinan bahu dengan cara LOVSET.


Memutar badan janin setengah lingkaran (1800) searah dan
berlawanan arah jarum jam sambil melakukan traksi curam kebawah
sehingga bahu yang semula dibelakang akan lahir didepan (dibawah
simfisis).
Tehnik Persalinan bahu dengan cara KLASIK/DEVENTER
Persalinan bahu dengan cara Klasik ,disebut pula sebagai tehnik
Deventer. Melahirkan lengan belakang dahulu dan kemudian
melahirkan lengan depan dibawah simfisis. Dipilih bila bahu
tersangkut di pintu atas panggul.

Prinsip :
Melahirkan lengan belakang lebih dulu (karena ruangan panggul
sebelah belakang/sacrum relatif lebih luas didepan ruang panggul
sebelah depan) dan kemudian melahirkan lengan depan dibawah
arcus pubis. Tetapi bila lengan depan sulit dilahirkan maka lengan

14
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0

depan diputar menjadi lengan depan yaitu punggung diputar melewati


sympisis. Langkahnya sebagai berikut :
a. Kedua kaki janin dipegang dengan tangan penolong pada
pergelangan kaki, ditarik ke atas sejauh mungkin sehingga perut
janin mendekati perut ibu.
b. Bersamaan dengan ibu tangan kiri penolong yaitu jari telunjuk dan
jari tengah masuk ke jalan lahir menelusuri bahu, fosa cubiti,
kemudian lengan dilahirkan seolah – olah mengusap muka janin.
c. Untuk melahirkan bahu lengan depan kaki janin dipegang dengan
tangan kanan ditarik curam ke bawah kearah punggung ibu
kemudian dilahirkan.
d. Bila lengan depan sulit dilahirkan maka harus diputar menjadi
lengan belakang yaitu lengan yang sudah lahir disekam dengan
kedua tangan penolong sedemikian rupa sehingga kedua ibu jari
penolong terletak di punggung dan sejajar dengan sumbu badan
janin sedang jari yang lain mencekam dada, kemudian diputar
punggung melewati sympisis sehingga lengan depan menjadi
lengan depan lalu lengan dilahirkan dengan teknik tersebut diatas

Teknik Melahirkan Kepala Secara Maureceau


23 a. Tangan penolong yang dekat muka janin (tangan yang dekat dengan
perut janin) dimasukkan ke dalam jalan lahir yaitu jari tengah
dimasukkan ke dalam mulut janin, jari telunjuk dan jari manis pada
fossa kanina( melakukan fleksi pada kepala janin), sedangkan jari
lain mencekam leher, kemudian badan bayi ditunggangkan pada
lengan bawah
b. Kedua tangan penolong menarik curam ke bawah sambil seorang
asisten melakukan Kristeller ringan. Tenaga tarikan terutama
dilakukan oleh tangan penolong yang mencekam leher janin. Bila
oksiput tampak dibawah sympisis kepala janin dielevasi ke atas
dengan suboksiput sebagai hipomoklin sehingga lahir berturut –
turut dagu, mulut, hidung, mata, dahi, ubun – ubun besar dan
akhirnya seluruh kepala

24 Pegang bayi dengan hati-hati dan letakkan bayi diatas perut ibu
sambil melakukan penilaian kondisi bayi, lakukan penanganan bayi
baru lahir.
25 Pegang bayi dengan hati-hati dan letakkan bayi diatas perut ibu sambil
melakukan penilaian kondisi bayi, lakukan penilaian selintas. Bayi
Baru Lahir :
a. Apakah baik menangis atau bernafas/tidak megap-megap ?

15
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0

b. Apakah tonus otot bayi bayi baik/bayi bergerak aktif ?


26 a. Jika bayi menangis kuat dan aktif, lanjutkan ke langkah
penanganan bayi baru lahir normal
b. Jika bayi megap-megap/tidak bernafas dan atau tonus otot bayi
tidak baik/bayi lemas, lakukan langkah awal resusitasi
(Lihat Pedoman Resusitasi)
27 Dengan perlindungan tangan kiri, pasang klem di dua tempat pada tali
pusat dan potong tali pusat diantara 2 klem tersebut
28 Penatalaksanaan Aktif Persalinan Kala III
Menyuntikkan Oksitosin :
a. Letakkan kain bersih dan kering pada perut ibu.
b. Memeriksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal
c. Memberitahu ibu akan disuntik
d. Menyuntikkan oksitosin 10 unit secara IM pada bagian luar paha
kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu untuk
memastikan bahwa ujung jarum tidak mengenai pembuluh darah.
29 Penegangan Tali pusat terkendali (PTT)
a. Memindahkan klem tali pusat sekitar 5-10 cm dari vulva
b. Meletakkan tangan kiri diatas simfisis menahan bagian bawah
uterus, sementara tangan kanan memegang tali pusat menggunakan
klem atau kain kasa dengan jarak 5-10 cm dari vulva
c. Saat uterus kontraksi, menegangkan tali pusat dengan tangan
kanan sementara tangan kiri meneran uterus dengan hati-hati
kearah dorsokranial
30 Bila uterus tidak segera kontraksi, minta ibu/keluarga
untuk melakukan stimulasi puting susu.
Mengeluarkan Placenta :
a. Jika dengan penegangan tali pusat terkendali bertambah panjang
dan terasa adanya pelepasan plasenta, minta ibu untuk meneran
sedikit sementara tangan kanan menarik tali pusat kearah bawah
kemudian keatas dengan kurve jalan lahir hingga plasenta tampak
pada vulva
b. Bila tali pusat bertambah panjang tetapi plasenta belum lahir,
pindahkan kembali klem hingga berjarak sekitar 5-10 cm dari vulva
c. Bila plasenta belum lepas setelah mencoba dalam waktu 15 menit
 Suntik ulang 10 unit oksitosin IM
 Periksa kandung kemih, bila penuh lakukan kateterisasi
 Beritahu keluarga untuk persiapan merujuk
 Ulangi lagi langkah no. 17 selama 15 menit

16
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0

 Rujuk ibu bila plasenta tidak lahir dalam waktu 15 menit kedua
31 Setelah plasenta tampak pada vulva, teruskan melahirkan plasenta
dengan hati-hati. Bila perlu (terasa ada tekanan) pegang plasenta
dengan kedua tangan dan lakukan putaran searah untuk membantu
pengeluaran plasenta dan mencegah robeknya selaput ketuban
32 Bila selaput ketuban robek, dapat digunakan klem untuk menarik
robekan selaput ketuban tersebut keluar atau masukkan jari telunjuk
dan jari tengah tangan kanan ke dalam vagina untuk melepaskan
selaput ketuban dari mulut rahim.
a. Masase Uterus
Segera setelah plasenta lahir, melakukan masase pada fundus uteri
dengan menggosok fundus secara sirkuler menggunakan bagian
palmar 4 jari tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus teraba
keras)
b. Memeriksa kemungkinan adanya perdarahan Pasca Persalinan
Periksa bagian maternal dan bagian fetal plasenta dengan tangan
kanan untuk memastikan bahwa seluruh kotiledon dan selaput
ketuban sudah lahir lengkap dan masukkan ke dalam kantong
plastik yang tersedia

PERAWATAN KALA IV
33 Memeriksa apakah ada robekan pada introitus vagina dan perineum
yang menimbulkan perdarahan aktif.
(Bila ada robekan yang menimbulkan perdarahan aktif segera lakukan
penjahitan)
34 Periksa kembali kontraksi uterus dan tanda adanya perdarahan
pervaginam pastikan kontraksi uterus baik
35 Membersihkan sarung tangan dari lendir dan darah di dalam larutan
klorin 0,5 % kemudian bilas tangan yang masih mengenakan sarung
tangan dengan air yang sudah didesinfeksi tingkat tinggi
Perawatan Bayi Lanjut
36 Mengikat Tali Pusat :
a. Mengikat tali pusat + 1 cm dari umbilikus dengan simpul mati
b. Mengikat balik tali pusat dengan simpul mati untuk kedua kalinya
c. Melepaskan klem pada tali pusat dan memasukkannya dalam
wadah berisi larutan klorin 0,5%
d. Membungkus kembali bayi
e. Berikan bayi kepada ibu untuk disusui
37 a. Lanjutkan pemantapan terhadap kontraksi uterus, tanda
perdarahan pervaginam dan tanda vital ibu :

17
NO LANGKAH KEGIATAN 1NILAI0

 2 – 3 kali dalam 10 menit pertama


 Setiap 15 menit pada 1 jam pertama
 Setiap 20 – 30 menit pada jam kedua
b. Bila kontraksi baik dan mengajarkan untuk melakukan masase
uterus apabila kontraksi uterus tidak baik
38 Mengajarkan ibu/keluarga untuk memeriksa/merasakan uterus yang
memiliki kontraksi baik dan mengajarkan untuk melakukan masase
uterus apabila kontraksi uterus tidak baik
39 Melakukan evaluasi :
a. Mengevaluasi jumlah perdarahan yang terjadi
b. Memeriksa tekanan darah dan nadi ibu
Kebersihan dan Keamanan :
40 a. Merendam semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin 0,5
%
b. Membuang bahan – bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah
yang disediakan
c. Membersihkan ibu dari sisa air ketuban, lendir dan darah dan
mengganti pakaiannya dengan pakaian bersih/kering.
d. Memastikan ibu merasa nyaman dan memberitahu keluarga untuk
membantu apabila ibu ingin minum
e. Dekontaminsi tempat persalinan dengan larutan klorin 0,5%
41 Membersihkan sarung tangan di dalam larutan klorin 0,5 %,
melepaskan sarung tangan dalam keadaan terbalik dan meredamnya
dalam larutan klorin 0,5 %
42 Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir
43 Melakukan dokumentasi dan melengkapi partograf

18
RINGKASAN

Kemampuan Anda untuk melakukan penatalaksanaan pada kala III merupakan


management aktif untuk membantu lahirnya placenta, apakah bisa lahir secara spontan
ataukan harus dilakukan pertolongan lebih lanjut. Setelah placenta lahir, maka Anda juga
melakukan penatalaksanaan kala IV untuk melihat kondisi perdarahan aktif dengan
melakukan pemantauan pada kontraksi uterus. Dan dilanjutkan dengan melakukan
kebersihan dan keamanan untuk ibu.

Daftar Pustaka

Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. 1984.
Obstetri Patologi. Bandung: Elstar Offset.

Manuaba, Ida Ayu Chandranita. 2008. Gawat Darurat Obstetri Ginekologi & Obstetri
Ginekologi Sosial untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC.

Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.

19
PANDUAN PRAKTIKUM DISTOSIA BAHU

Pengantar materi Distosia Bahu

Setelah menyelesaikan materi praktikum topik ini Anda diharapkan mampu


menyebutkan :
1. Pengertian distosia bahu
2. Patofisiologi distosia bahu
3. Etiologi distosia bahu
4. Diagnosis distosia bahu
5. Faktor predisposisi distosia bahu
6. Komplikasi distosia bahu
7. Tatalaksana distosia bahu
8. Pencegahan distosia bahu

Sebelum Anda melakukan Praktikum, terlebih dahulu pelajarilah materi praktikum,


agar dapat membantu Anda memahami keterampilan yang akan Anda lakukan.

1. Pengertian
Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana setelah kepala dilahirkan, bahu anterior
tidak dapat lewat di bawah simfisis pubis. Kondisi ini merupakan kegawatdaruratan obstetri
karena bayi dapat meninggal jika tidak segera dilahirkan.
Distosia bahu adalah tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan setelah
kepala janin dilahirkan. Lahirnya kepala umumnya diikuti dengan lahirnya bahu dalam waktu
sekitar 24 detik, namun jika lebih dari 60 detik tidak terjadi persalinan bahu maka disebut
sebagai distosia bahu (Manuaba, 2007).

2. Patofisiologi
Setelah kelahiran kepala, akan terjadi putaran paksi luar yang menyebabkan kepala
berada pada sumbu normal dengan tulang belakang bahu pada umumnya akan berada pada
sumbu miring (oblique) di bawah ramus pubis. Dorongan pada saat ibu meneran akan
meyebabkan bahu depan (anterior) berada di bawah pubis, bila bahu gagal untuk
mengadakan putaran menyesuaikan dengan sumbu miring dan tetap berada pada posisi
anteroposterior, pada bayi yang besar akan terjadi benturan bahu depan terhadap simfisis
sehingga bahu tidak bisa lahir mengikuti kepala.

3. Etiologi
Distosia bahu terutama disebabkan oleh deformitas panggul, kegagalan bahu untuk
“melipat” ke dalam panggul (misal : pada makrosomia) disebabkan oleh fase aktif dan
persalinan kala II yang pendek pada multipara sehingga penurunan kepala yang terlalu cepat
menyebabkan bahu tidak melipat pada saat melalui jalan lahir atau kepala telah melalui

20
pintu tengah panggul setelah mengalami pemanjangan kala II sebelah bahu berhasil melipat
masuk ke dalam panggul.

4. Diagnosis
Tanda distosia bahu yang harus diamati/dapat diidentifikasi penolong persalinan
adalah:
1. Kepala bayi telah lahir namun masih erat berada di vulva
2. Kepala bayi telah lahir tetapi tertarik kembali ke dalam vagina (turtle sign)
3. Tidak terjadi putar paksi luar

5. Faktor Predisposisi
Waspadai terjadinya distosia bahu pada persalinan berisiko:

Antepartu Intrapartu
m m
 Riwayat distosia bahu sebelumnya  Kala I persalinan memanjang
 Makrosomia > 4500 gram  Secondary arrest
 Diabetes melitus  Kala II persalinan memanjang
 IMT > 30 kg/m2  Augmentasi oksitosin
 Induksi persalinan  Persalinan pervaginam yang ditolong
 CPD dukun

Bayi makrosomia adalah bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4000 gram, atau lebih
dari dua standar deviasi atau di atas 90 persent dari berat badan normal. Pada saat
penapisan ibu bersalin, apabila diidentifikasi parturien dengan tinggi fundus uteri > 40 cm
atau persalinan fase aktif penurunan kepala masih 5/5 maka harus diwaspadai adanya bayi
makrosomia sehingga harus segera dilakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan
dengan kemampuan persalinan perabdominal.

6. Komplikasi
a. Trauma Maternal
 Trauma jalan lahir
 Perdarahan pasca salin
 Infeksi

b. Trauma Perinatal
 Trauma persendian : dislokasi persendian bahu, fraktur tulang
humerus, fraktur tulang leher
 Trauma medula oblongata : asfiksia, gangguan jantung
 Trauma pleksus brakhialis : Erb’s paralisis, paralisis Klumpke

21
7. Alat dan bahan yang dibutuhkan
Alat dan bahan yang dibutuhkan sama dengan Asuhan Persalinan Normal. Namun
memerlukan tambahan sepasang sarung tangan DTT/steril dan set oksigen dengan nasal
kanula untuk bayi.

8. Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum
1) Episiotomi
Episiotomi dilakukan dengan tujuan memperluas jalan lahir sehingga bahu
diharapkan dapat lahir
2) Tekanan ringan pada suprapubic
Dilakukan tekanan ringan pada daerah suprapubik dan secara bersamaan
dilakukan traksi curam bawah pada kepala janin
3) Manuver Mc Robert (1983)
 Minta bantuan tenaga kesehatan lain, untuk menolong persalinan dan
resusitasi neonatus bila diperlukan. Bersiaplah juga untuk kemungkinan
perdarahan pascasalin atau robekan perineum setelah tatalaksana.
 Lakukan manuver Mc Robert. Dalam posisi ibu berbaring telentang,
mintalah ia untuk menekuk kedua tungkainya dan mendekatkan lututnya
sejauh mungkin ke arah dadanya. Mintalah bantuan 2 orang asisten untuk
menekan fleksi kedua lutut ibu ke arah dada.
 Mintalah salah seorang asisten untuk melakukan tekanan secara simultan
ke arah lateral bawah pada daerah suprasimfisis untuk membantu
persalinan bahu.

 Dengan memakai sarung tangan yang telah didisinfeksi tingkat tinggi,


lakukan tarikan yang mantap dan terus menerus ke arah aksial (searah
tulang punggung janin) pada kepala janin untuk menggerakkan bahu depan
di bawah simfisis pubis.

Perhatian! Langkah tatalaksana distosia bahu selanjutnya harus dilakukan


oleh penolong yang terlatih

61
b. Tatalaksana Khusus
1) Jika bahu masih belum dapat dilahirkan, lakukan hal berikut :
a) Manuver Corkscrew Woods (1943)
 Buatlah episiotomi untuk memberi ruangan yang cukup
untuk memudahkan manuver internal
 Pakailah sarung tangan yang telah didisinfeksi tingkat
tinggi, masukkan tangan ke dalam vagina pada sisi punggung bayi
 Lakukan penekanan di sisi posterior pada bahu posterior
untuk mengadduksikan bahu dan mengecilkan diameter bahu
 Rotasikan bahu ke diameter oblik untuk membebaskan distosia bahu.
 Jika diperlukan, lakukan juga penekanan pada sisi posterior
bahu anterior dan rotasikan bahu ke diameter oblik

Maneuver Wood

 Jika bahu masih belum dapat dilahirkan setelah dilakukan tindakan


di atas, lakukan teknik pelahiran bahu belakang.
b) Teknik Pelahiran Bahu Belakang :
 Masukkan tangan ke dalam vagina.
 Raih humerus dari lengan posterior, kemudian sembari
menjaga lengan tetap fleksi pada siku, pindahka lengan ke arah dada.
Raih pergelangan tangan bayi dan tarik lurus ke arah vagina. Manuver
ini akan memberikan ruangan untuk bahu anterior agar dapat
melewati bawah simfisis pubis.
 Jika semua tindakan di atas tetap tidak dapat melahirkan bahu,
terdapat manuver-manuver lain yang dapat dilakukan seperti berikut.
c) Manuver Rubin (1964)
 Pertama dengan menggoyang-goyang kedua bahu janin dari satu sisi
ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada abdomen.
 Bila tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih bahu yang
paling mudah di akses, kemudian mendorongnya ke permukaan
anterior bahu. Hal ini biasanya akan menyebabkan abduksi kedua
bahu kemudian akan menghasilkan diameter antar-bahu dan
pergeseran bahu depan dari belakang simfisis pubis.

Manuver Rubin

d) Manuver Hibbard (1982)


 Menekan dagu dan leher janin ke arah rectum ibu dan seorang
asisten menekan kuat fundus saat bahu depan dibebaskan.

62
Penekanan fundus yang dilakukan pada saat yang salah akan
mengakibatkan bahu depan semakin terjepit (Gross dkk., 1987)
e) Posisi Merangkak (Manuver Gaskin’s /All-Fours)
 Minta ibu untuk berganti posisi merangkak
 Coba ganti kelahiran bayi tersebut dalam posisi ini dengan cara
melakukan tarikan perlahan pada bahu anterior ke arah atas dengan
hati-hati.
 Segera setelah lahir bahu anterior, lahirkan bahu posterior dengan
tarikan perlahan ke arah bagian bawah dengan hati-hati.

Gaskin’s/All-Fours Manuvver

f) Manuver Zavanelli (Sandberg, 1985)


 Mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau posterior bila
kepala janin telah berputar dari posisi tersebut
 Memfleksikan kepala dan secara perlahan mendorongnya masuk
kembali ke vagina yang diikuti dengan pelahiran secara sesar.
 Memberikan terbutaline 250 mg subkutan untuk menghasilkan
relaksasi uterus.
g) Fraktur Klavikula
 Mematahkan klavikula dengan cara menekan klavikula anterior
terhadap ramus pubis dapat dilakukan untuk membebaskan bahu
yang terjepit.
h) Kleidotomi
 Kleidotomi yaitu memotong klavikula dengan gunting atau benda
tajam lain, biasanya dilakukan pada janin mati (Schram, 1983)
i) Simfisiotomi
 Simfisotomi yaitu mematahkan simfisis pubis untuk mempermudah
persalinan juga dapat diterapkan dengan sukses (Hartfield, 1986).
Namun Goodwin dkk. melaporkan bahwa tiga kasus yang

63
mengerjakan simfisiotomi, ketiga bayi mati dan terdapat morbiditas
ibu signifikan akibat cedera traktus urinarius.

c. Langkah- langkah Penatalaksanaan Distosia Bahu (Asuhan Persalinan Normal, 2008)


1) Melakukan episiotomy
2) Melakukan manuver McRobert dengan tekanan supra pubik.
Biasanya dengan manuver tersebut janin dengan distosia bahu sudah dapat dilahirkan.
Namun jika bahu tidak lahir direkomendasikan manuver Corkscrew Woods, teknik
pelahiran bahu belakang dan melahirkan dengan posisi merangkak.

d. Langkah- langkah Penatalaksanaan Distosia Bahu. The American College of Obstetrician


merekomendasikan langkah-langkah berikut ini untuk penatalaksanaan distosia bahu
dengan urut-urutan yang tergantung pada pengalaman dan pilihan masing-masing
operator:
1) Panggil bantuan (mobilisasi asisten, anestesiolog, dan dokter anak). Pada saat ini
dilakukan upaya untuk melakukan traksi ringan. Kosongkan kandung kemih bila
penuh.
2) Lakukan episiotomy luas (mediolateral) untuk memperluas ruangan posterior
3) Penekanan suprapubik dilakukan pada saat awal oleh banyak dokter karena
alasan kemudahannya. Hanya dibutuhkan satu asisten untuk melakukan
penekanan suprapubik sementara traksi ke bawah dilakukan pada kepala janin.
4) Manuver Mc Robert memerlukan dua asisten, tiap asisten memegangi satu
tungkai dan memfleksikan paha ibu ke arah abdomen.

Manuver-manuver di atas biasanya dapat mengatasi sebagian besar kasus distosia


bahu. Namun, bila manuver ini gagal, langkah-langkah berikut dapat dicoba :
1) Manuver Corkscrew Woods
2) Pelahiran lengan belakang dapat dicoba, tapi jika lengan belakang dalam posisi
ekstensi sempurna, hal ini biasanya sulit dilakukan.
3) Teknik-teknik lain sebaiknya dilakukan bila manuver-manuver lain telah gagal,
yang termasuk teknik ini adalah fraktur klavikula dan manuver Zavanelli.

8. Upaya Pencegahan
 Identifikasi dan obati diabetes pada ibu. Tawarkan persalinan elektif dengan
induksi maupun seksio sesarea pada ibu dengan diabetes yang usia
kehamilannya mencapai 38 minggu dan bayinya tumbuh normal.
 Selalu bersiap bila sewaktu-waktu terjadi distosia bahu.
 Kenali adanya distosia seawal mungkin. Upaya mengejan, menekan suprapubis
atau fundus, dan traksi berpotensi meningkatkan risiko cedera pada janin.

64
STANDART OPERATING PROSEDUR
(SOP)

Jenis Keterampilan : TATALAKSANA DISTOSIA BAHU

TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
Pengertian Distosia bahu adalah tersangkutnya bahu janin dan tidak dapat dilahirkan
setelah kepala janin dilahirkan.
Diagnosis Diagnosis distosia bahu :
 Kepala bayi telah lahir namun masih erat berada di vulva
 Kepala bayi telah lahir tetapi tertarik kembali ke dalam vagina (turtle
sign)
 Tidak terjadi putar paksi luar
Tujuan  Melahirkan bahu dan lengan janin
 Mencegah komplikasi distosia bahu seperti hipoksia, trauma pleksus
brakhialis
Prosedur Langkah Tindakan Visualisasi
1. Menilai tanda-tanda
distosia bahu

2. Menjelaskan diagnosis,
tindakan yang akan
dilakukan, resiko dan
keuntungan tindakan,
akibat bila tindakan
tidak dilakukan,
membuat persetujuan
tindakan medis/
informed consent

65
TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
3. Meminta pertolongan
kepada orang yang ada
di sekitar ibu (suami
atau keluarga) dan
petugas kesehatan yang
lain.

4. Atur posisi ibu


sehingga bokong ibu
berada di tepi tempat
tidur

5. Bersihkan mulut dan


hidung bayi dari
lendir/cairan amnion
dengan kasa lipat atau
penghisap bola karet

6. Lakukan episiotomi
secukupnya untuk
mengurangi obstruksi
jaringan lunak dan
memberi ruangan yang
cukup untuk tindakan
pertolongan

7. Lakukan Manuver
McRobert‟s
 Posisi ibu berbaring
terlentang, minta ibu
untuk menarik kedua
lututnya sejauh
mungkin ke arah
dadanya. Bila ada
asisten atau keluarga
dapat diminta untuk

66
TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
membantu ibu.
 Tarik kepala bayi
dengan hati-hati dan
mantap, serta terus
menerus ke arah
bawah (arah anus)
untuk menggerakkan
bahu anterior di
bawah simfisis pubis.

Keyword :
Hindari tarikan yang
berlebihan pada kepala
karena dapat menimbulkan
trauma pada pleksus
brakhialis

 Bersamaan dengan
itu minta asisten
melakukan
penekanan di supra
pubis secara
simultan.

Keyword :
Jangan melakukan
tekanan/dorongan pada
fundud sebab akan
mempengaruhi bahu lebih
jauh dan menyebabkan
ruptura uteri

8. Bila bahu masih tetap


tidak lahir setelah
melakukan manuver Mc
Robert‟s, lakukan lah
Manuver Gaskin‟s

67
TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
 Minta ibu untuk
berganti posisi
merangkak.
 Bantu kelahiran bayi
dengan cara
melakukan tarikan
perlahan pada bahu
anterior ke arah atas
secara hati-hati.
 Setelah bahu
anterior lahir,
lahirkan bahu
posterior dengan
tarikan perlahan ke
arah bawah.

9. Bila bahu masih belum


dapat dilahirkan,
lakukan Teknik
Pelahiran Bahu
Belakang:
 Ganti sarung tangan
DTT dengan cepat
 Masukkan satu
tangan ke dalam
vagina mengikuti
lengkung sakrum
sampai jari penolong
mencapai fosa
antecubiti bahu
posterior
 Dengan tekanan jari
tengah, lipat lengan
ke arah sternum
 Setelah terjadi fleksi
tangan, keluarkan
lengan dari vagina
(menggunakan jari

68
TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
telunjuk untuk
melewati dada dan
kepala bayi, atau
seperti mengusap
muka bayi),
kemudian terik
hingga bahu posterior
dan seluruh lengan
posterior dapat
dilahirkan
 Bahu anterior dapat
lahir dengan mudah
setelah bahu dan
lengan posterior
dilahirkan
 Bila bahu anterior
sulit dilahirkan, putar
bahu posterior ke
depan (jangan
menarik lengan bayi
tetapi dorong bahu
posterior), dan putar
bahu anterior ke
belakang
(mendorong anterior
bahu depan dengan
jari telunjuk dan jari
tengah operator)
mengikuti arah
punggung bayi
sehingga bahu
anterior dapat
dilahirkan.

69
TATALAKSANA DISTOSIA
BAHU
No. Dokumen : No. Revisi
PROTAP Tanggal Ditetapkan Ditetapkan oleh
: :
10.Jika semua tindakan di
atas tetap tidak dapat
melahirkan bahu,
segera lakukan rujukan
sambil terus melakukan
usaha melahirkan bahu
selama di perjalanan
dan memasang oksigen
pada bayi.

70
RINGKASAN

Anda telah menyelesaikan keterampilan pertolongan persalinan dengan Distosia Bahu


ini dengan baik. Semoga Anda telah memiliki kompetensi tentang penatalaksanaan Distosia
Bahu dengan baik dan termotivasi secara optimal untuk mengembangkan kemampuan Anda
dalam memberi asuhan kegawatdaruratan maternal masa persalinan. Ingatlah selalu bahwa
kesalahan ataupun kelambatan Anda dalam menentukan penatalaksanaan terhadap kasus,
dapat meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas maternal.
Sebagai seorang bidan tugas yang Anda lakukan merupakan tugas yang sangat mulia,

71
terapkanlah keterampilan yang telah Anda dapatkan dan perhatikanlah kewenangan profesi
Anda.

Daftar Pustaka

JNPK-KR. Asuhan Persalinan Normal – Asuhan Esensial Persalinan. Edisi Revisi Cetakan ke-3.
Jakarta: JNPK-KR. 2007.

JNPK-KR. Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar. Jakarta: JNPK-KR. 2008.

Manuaba, Ida Bagus Gde. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC. 2007.

Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka. 2008

Saifuddin, Abdul Bari, dkk. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. 2000.

Saifudin, Abdul Bari, dkk. Panduan Praktis Pelayanan Maternal Neonatal. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawiriharjo. 2002. Hal: P 43-44

72
73
PANDUAN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF

MANAJEMEN - PENANGANAN KORBAN BENCANA TINDAKAN PADA


PASIEN GAWAT-DARURAT

PENDAHULUAN
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang
menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap
Darurat ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa
terjadi dalam beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera
karena trauma, immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan
untuk menghambat kematian kemudian, late, karena trauma yang terjadi dalam
beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital (ventilasi
tidak adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi end-organ tidak
memadai), cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat dan / atau
rusaknya pusat regulasi batang otak), atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini
mempunyai pola yang dapat diprediksi (mekanisme cedera, usia, sex, bentuk tubuh,
atau kondisi lingkungan). Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien,
mengidentifikasi cedera / kelainan pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan
sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan efisiensi tindakan definitif atau transfer
kefasilitas sesuai.
Setiap bencana selalu menampilkan bahaya dan kesulitannya masing-masing. Yang
akan dibicarakan berikut ini antara lain adalah petunjuk umum dalam mengelola
korban bencana disamping untuk kegawatan sehari-hari. Mungkin diperlukan
modifikasi oleh pemegang komando bila dianggap diperlukan perubahan.
Bencana adalah setiap keadaan dimana jumlah pasien sakit atau cedera melebihi
kemampuan sistem gawat darurat yang tersedia dalam memberikan perawatan
adekuat secara cepat dalam usaha meminimalkan kecacadan atau kematian (korban
massal), dengan terjadinya gangguan tatanan sosial, sarana, prasarana (Bencana
kompleks bila disertai ancaman keamanan). Bencana mungkin disebabkan oleh ulah
manusia atau alam. Keberhasilan pengelolaan bencana memerlukan perencanaan
sistem pelayanan gawat darurat lokal, regional dan nasional, pemadam kebakaran /
rescue, petugas hukum dan masyarakat. Kesiapan rumah sakit serta kesiapan
pelayanan spesialistik harus disertakan dalam mempersiapkan perencanaan bencana.
Secara nasional kegiatan penanggulangan gawat darurat sehari-hari maupun dalam
bencana diatur dalam Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT S/B)
yang harus diterapkan oleh semua fihak termasuk masyarakat awam, dibagi kedalam
subsistem pra rumah sakit, rumah sakit dan antar rumah sakit.
Proses pengelolaan bencana diatur dalam Sistem Komando Bencana. Kendali
biasanya ditangan Bakornas-PB (Banas) / Satkorlak-PB / Satlak-PB, namun bisa juga
pada penegak hukum seperti pada kasus kriminal / terorisme atau penyanderaan.
Kelompok lain bisa membantu pemegang kendali. Jaringan transportasi dan
komunikasi antar instansi harus sudah dimiliki untuk mendapatkan pengelolaan
bencana yang berhasil.

Tingkat respons atas bencana.


Akan menentukan petugas dan sarana apa yang diperlukan ditempat kejadian :
Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang dapat dikelola oleh petugas sistim gawat
darurat dan penyelamat lokal tanpa memerlukan bantuan dari luar organisasi.
Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi atau sangat membebani petugas sistim
gawat darurat dan penyelamat lokal hingga membutuhkan pendukung sejenis serta
koordinasi antar instansi. Khas dengan banyaknya jumlah korban.
Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi kemampuan sumber sistim gawat
darurat dan penyelamat baik lokal atau regional. Korban yang tersebar pada banyak
lokasi sering terjadi. Diperlukan koordinasi luas antar instansi.

TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit
(berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk
menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas
atau penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang
merupakan proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik.
Proses triase inisial harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat
dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat
berubah. Bila kondisi memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera,
usia, dan keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang
mengharuskan peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera
neurologis berat, tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita
sebelumnya.
Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan dalam satu
kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih dibanding
amputasi traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat bersamaan juga
dilakukan tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan
menstabilkan pasien berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai
hingga berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana
memaksimalkan jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses
ini berakibat pasien cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis
distabilkan. Triase dalam keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan
bisa secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan
START (Simple Triage And Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana
transportasi saat bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.

Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase untuk
mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.

Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.


Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat
serta tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas,
cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau
perdarahan berat, luka bakar berat).
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang
kurang berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat.
Pasien mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera
abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa
shok, cedera kepala atau tulang belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan
stabilisasi segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan
penilaian ulang berkala (cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas,
cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas
Keempat (Biru) : kelompok korban dengan cedera atau penyaki kritis dan berpotensi
fatal yang berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan Prioritas Kelima
(Putih)yaitu kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan
pindahkan kekelompok sesuai.

Triase Sistim METTAG.


Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan tindakan atas korban. Resusitasi
ditempat.

Triase Sistem Penuntun Lapangan START.


Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan status
mental (RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk
memastikan kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan
transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini
memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko
besar akan kematian segera atau apakah tidak memerlukan transport segera.
Resusitasi diambulans.

Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.


Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa digunakan
sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di ambulans atau di Area
Tindakan Utama sesuai keadaan.

PENILAIAN DITEMPAT DAN PRIORITAS TRIASE


Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi kemampuan pusat
pelayanan, pasien dengan masalah mengancam jiwa dan cedera sistem berganda
ditindak lebih dulu. Bila jumlah korban serta parahnya cedera melebihi kemampuan
*) dst dibawah algoritma

Algoritma Sistem START :

Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed


(Tunda) ; Hijau = Minor.
Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning.
Disini tidak ada resusitasi dan C-spine control.
Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah kepasien berikut setelah tagging.
Pada sistem ini tag tidak diisi, kecuali jam dan tanggal. Diisi petugas berikutnya.

*) tenaga dan fasilitas pusat pelayanan, pasien dengan peluang hidup terbesar dengan
paling sedikit manghabiskan waktu, peralatan dan persediaan, ditindak lebih dulu.
Ketua Tim Medik mengatur Sub Tim Triase dari Tim Tanggap Pertama (First
Responders) untuk secara cepat menilai dan men tag korban. Setelah pemilahan
selesai, Tim Tanggap Pertama melakukan tindakan sesuai kode pada tag. (Umumnya
tim tidak mempunyai tugas hanya sebagai petugas triase, namun juga melakukan
tindakan pasca triase setelah triase selesai).
1. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan.
2. Tim tanggap pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan bahaya,
keamanan dan jumlah korban dan kebutuhan untuk menentukan tingkat respons yang
memadai (Rapid Health Assessment / RHA).
3. Beritahukan koordinator propinsi (Kadinkes Propinsi) untuk mengumumkan
bencana serta mengirim kebutuhan dan dukungan antar instansi sesuai yang
ditentukan oleh beratnya kejadian (dari kesimpulan RHA).
4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu tersedia :
- Petugas Komando Bencana.
- Petugas Komunikasi.
- Petugas Ekstrikasi/Bahaya.
- Petugas Triase Primer.
- Petugas Triase Sekunder.
- Petugas Perawatan.
- Petugas Angkut atau Transportasi.
5. Kenali dan tunjuk area sektor bencana :
- Sektor Komando / Komunikasi Bencana.
- Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
- Sektor Bencana.
- Sektor Ekstrikasi / Bahaya.
- Sektor Triase.
- Sektor Tindakan Primer.
- Sektor Tindakan Sekunder.
- Sektor Transportasi.
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana :
7. Kritik Pasca Musibah.
8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor Tindakan Utama dimana korban
kelompok merah dan kuning yang menunggu transport dikumpulkan untuk lebih
mengefisienkan persedian dan tenaga medis dalam resusitasi-stabilisasi.
TINDAKAN DAN EVAKUASI MEDIK
Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai melakukan
triase) mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban berdasar prioritas triase,
dan kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama sesuai kode prioritas.
Kode merah dipindahkan ke Area Tindakan Utama terlebih dahulu.

TRANSPORTASI KORBAN
Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan keberangkatan serta transportasi
yang sesuai. Koordinator Transportasi bekerjasama dengan Koordinator Medik
menentukan rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius sampai kerumah sakit yang
sesuai dalam periode emas hingga tindakan definitif dilaksanakan pada saatnya. Ingat
untuk tidak membebani RS rujukan melebihi kemampuannya. Cegah pasien yang
kurang serius dikirim ke RS utama. (Jangan pindahkan bencana ke RS).

PERIMETER
Perimeter Terluar.
Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan mengatur perimeter
sekitar lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan masuk kedaerah berbahaya.
Perimeter seluas mungkin untuk mencegah yang tidak berkepentingan masuk dan
memudahkan kendaraan gawat darurat masuk dan keluar.

Jalur untuk Transport Korban


Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan perimeter sekitar lokasi
bencana yang disebut Zona Panas. Ditentukan jalur yang dinyatakan aman untuk
memindahkan korban ke perimeter kedua atau zona dimana berada Area Tindakan
Utama. Tidak seorangpun diizinkan melewati perimeter Zona Panas untuk mencegah
salah menempatkan atau memindahkan pasien secara tidak aman tanpa izin. Faktor
lain yang mempengaruhi kemantapan Zona Panas antaranya lontaran material, api,
jalur listrik, bangunan atau kendaraan yang tidak stabil atau berbahaya.

Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua kegiatan
dalam keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan berbahaya
dll. Bila petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa membunuh
penolong atau korban, ia punya wewenang menghentikan atau merubah operasi untuk
mecegah risiko lebih lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan efektif
dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk menyelamatkan
hidup, untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan.

PENILAIAN AWAL.
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasi-
stabilisasi, survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai.
Diagnostik absolut tidak dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang
diketakui pada awal proses. Bila tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkah-
langkah survei primer. Kondisi pengancam jiwa diutamakan.

Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing,
circulation and hemorrhage control, disability, exposure/environment).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak
terhambat. Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda
asing dan akibat penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan
nafas hingga intubasi atau krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan kritis
bisa tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea,
perkusi dada yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding
dada atau adanya defek yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai
pemberian oksigen hingga pemasangan torakostomi pipa dan ventilasi mekanik.
Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan
eksternal. Lihat vena leher apakah terbendung atau kolaps, apakah bunyi jantung
terdengar, pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi. Tindakan pertama atas
hipovolemia adalah memberikan RL secara cepat melalui 2 kateter IV besar secara
perifer di ekstremitas atas. Kontrol perdarahan eksternal dengan penekanan langsung
atau pembedahan, dan tindakan bedah lain sesuai indikasi.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan lakukan pemeriksaan motorik.
Tentukan adakah cedera kepala atau kord spinal serius. Periksa ukuran pupil, reaksi
terhadap cahaya, kesimetrisannya. Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati
gerak ekstremitas spontan dan usaha bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris
dengan refleks cahaya terganggu atau hilang serta adanya hemiparesis memerlukan
tindakan atas herniasi otak dan hipertensi intrakranial yang memerlukan konsultasi
bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia menunjukkan
cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan pemberian
metilprednisolon bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila usaha inspirasi
terganggu atau diduga lesi tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera.
Buka seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai
tindakan pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan
memberikan infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan
pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama
survei primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter
denyut. Monitor memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang
pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi
cairan lambung. Katater Foley kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus,
ekimosis skrotum / labia major, prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk
menyingkirkan cedera urethral sebelum kateterisasi.

RESUSITASI DAN PENILAIAN KOMPREHENSIF


Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan melakukan intervensi,
lanjutkan sampai kondisi pasien stabil, tindakan diagnosis sudah lengkap, dan
prosedur resusitatif serta tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk
kedalamnya monitoring tanda vital, merawat jalan nafas serta bantuan pernafasan dan
oksigenasi bila perlu, serta memberikan resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam 24 jam untuk
mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta
keluaran urin. Berikan darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan
yang tidak terkontrol dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik
capai resusitasi adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran
urin normal 0,5-1 cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi end-organ. Parameter
(kadar laktat darah, defisit basa pada gas darah arteri) bisa membantu.

Survei Sekunder.
Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase
resusitasi. Pada saat ini kenali semua cedera dengan memeriksa dari kepala hingga
jari kaki. Nilai lagi tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk
menilai respons atas resusitasi dan untuk mengetahui perburukan. Selanjutnya cari
riwayat, termasuk laporan petugas pra RS, keluarga, atau korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya,
alergi dan medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir,
kejadian sekitar kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan survei sekunder
mengetahui mekanisme cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu
dingin (cold injury), dan kondisi fisiologis pasien secara umum.

Pemeriksaan Fisik Berurutan.


Diktum “jari atau pipa dalam setiap lubang“ mengarahkan pemeriksaan. Periksa
setiap bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi.
Periksa lengkap dari kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya.

PEMERIKSAAN PENCITRAAN DAN LABORATORIUM.


Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun penilaian
awal. Saat serta urutan pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh mengganggu
survei primer dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat membawa
pasien keruang radiologi.

Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal.


Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20 menit. Gas
darah arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial digantikan
oleh oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat kedatangan, dengan
pengertian bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht mungkin tidak tampak hingga
mobilisasi otogen cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining urin untuk
penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab penurunan
kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit serum,
parameter koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium umum lainnya
kurang berguna saat 1-2 jam pertama dibanding setelah stabilisasi dan resusitasi.

PENUTUP.
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat dalam
pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando Bencana
dan berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat medis baik
dalam keadaan bencana atau sehari-hari. Semua petugas harus waspada dan memiliki
pengetahuan sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-jawabannya dalam
usaha penyelamatan pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua petugas
harus berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan bencana
agar lebih terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.

RUJUKAN.
1. Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life
Support (GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan
Ketiga. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I. 2006.
2. Penanggulangan Kegawatdaruratan sehari-hari & bencana. Departemen Kesehatan
R.I. Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006.
3. Tanggap Darurat Bencana (Safe Community). Departemen Kesehatan R.I. Jakarta :
Departemen Kesehatan, 2006.
4. Prosedur Tetap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana dan Penaanganan
Pengungsi. Departemen Kesehatan R.I. Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan.
Tahun 2002.
5. Advanced Trauma Life Support. Course for Physicians 6th. edition. American
College of Surgeons, 55 East Erie Street, Chicago, IL 60611-2797.
6. Multiple Casualty Insidents. Available at
http://www.vgernet.net/bkand/state/multiple.html.
KEGAWATDARURATAN KOMPLIKASI AKUT PADA DIABETES MELITUS

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2013), diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.

Diperkirakan masih banyak (sekitar 50%) penyandang diabetes yang belum


terdiagnosis di Indonesia. Selain itu hanya dua pertiga saja dari yang terdiagnosis
yang menjalani pengobatan, baik non farmakologis maupun farmakologis. Dari yang
menjalani pengobatan tersebut hanya sepertiganya saja yang terkendali dengan baik.

Diabetes merupakan penyakit yang sangat berpotensi terhadap terjadinya


berbagai komplikasi berat. Ada tiga komplikasi utama diabetes akut yang
berhubungan dengan ketidakseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka pendek
yaitu, Ketoasidosis Diabetik (KAD), Status Hiperglikemik Hiperosmolar (SHH), dan
hipoglikemia. Ketiga komplikasi merupakan kondisi gawatdarurat yang memerlukan
penanganan dengan segera.

Komplikasi akut dari Diabetes Melitus dengan kondisi glukosa darah yang
sangat tinggi (krisis hiperglikemi) terbagi menjadi Ketoasidosis Diabetik (KAD) dan
Status Hiperglikemik Hiperosmolar (SHH). Sedangkan komplikasi akut dari Diabetes
Melitus dengan kadar glukosa yang rendah disebutkan sebagai keadaan hipoglikemi.
Baik komplikasi akut dengan keadaan hiperglikemi ataupun hipoglikemi merupakan
keadaan yang berbahaya dan dapat mengancam nyawa jika tidak tertangani dengan
baik.
A. Diabetes Melitus
1. Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang terjadi
ketika pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang
cukup atau dapat juga disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh
untuk merespon kerja insulin secara efektif Peningkatan kadar gula dalam
darah atau hiperglikemia merupakan gejala umum yang terjadi pada
diabetes dan seringkali mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang cukup
serius pada tubuh, terutama pada sel saraf dan pembuluh darah
(WHO,2008).

2. Regulasi Fisiologis Keseimbangan Glukosa


Insulin dan glukagon adalah dua hormon utama yang berperan
dalam regulasi glukosa dalam darah. Insulin berperan penting dalam
metabolisme karbohidrat, protein dan lipid. Insulin menurunkan kadar
glukosa, asam amino, dan asam lemak dalam darah dengan cara
meningkatkan ambilan seluler dan konversi menjadi bentuk cadangan
energi seperti glikogen, protein, dan trigliserid (Sheerwood L, 2016)
a. Efek insulin terhadap karbohidrat
Produk akhir pemecahan karbohidrat adalah molekul glukosa.
Intake karbohidrat akan menaikan cepat kadar glukosa dalam darah.
Insulin yang disekresikan akan menurunkan kadar gula dalam darah
melalui 4 mekanisme utama :
 Insulin memfasilitasi transportasi glukosa kedalam sel
 Memacu proses glikogenesis
 Menghambat proses glikogenolisis
 Menghambat proses glukoneogenesis
b. Efek insulin terhadap lemak
 Meningkatkan ambilan asam lemak kedalam sel adiposa
 Meningkatkan reseptor GLUT4 di sel adiposa. Setelah
simpanan glikogen di liver cukup (5-6%), sisa glukosa dalam
hepar akan dialokasikan untuk pembentukan asam lemak.
Glukosa terlebih dahulu dirubah menjadi piruvat oleh piruvat
kinase, selanjutnya berturut-turut akan diubah menjadi asetil
KoA dan malonil KoA. Malonil KoA adalah molekul utama
untuk tahap awal pembentukan asam lemak.
c. Efek insulin terhadap protein
 Insulin membantu meningkatkan ambilan asam amino menuju
jaringan otot dan jaringan-jaringan lain
 Menstimulasi sel untuk menghasilkan protein
 Menghambat degradasi protein.
(Sheerwood L, 2016 ; Hall J, 2011)

KRISIS HIPERGLIKEMI

B. Ketoasidosis Diabetik
1. Definisi
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes
yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-
600 mg/dl), disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.
Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan
anion gap. KAD terjadi bila terdapat defisiensi insulin yang berat
sehingga tidak saja menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi berat, tapi
juga mengakibatkan peningkatan produksi keton dan asidosis. (Perkeni,
2015)

2. Patofisiologi
Untuk terjadi KAD, harus terdapat defisiensi insulin dan
peningkatan tajam glukagon. Penurunan rasio insulin terhadap glukagon
meningkatkan glukoneogenesis, glikogenolisis, dan pembentukan badan
keton di hepar. Kondisi tersebut juga disertai dengan peningkatan
pengiriman substrat (asam lemak bebas dan asam amino) dari jaringan
lemak dan otot menuju hepar (Dan Longo et al, 2011).

Ketosis dihasilkan dari peningkatan asam lemak bebas yang


lepaskan dari sel adiposit sehingga menyebabkan pergerseran menuju
dominan pembentukan badan keton di hepar. Penurunan kadar insulin
dengan kombinasi peningkatan katekolamin dan hormon pertumbuhan,
meningkatkan lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas. Dalam kondisi
normal, asam lemak bebas ini akan dirubah menjadi trigliserid atau VLDL
di liver. Namun demikian, pada kondisi KAD, hiperglukagonemia
merubah metabolisme hepatik menjadi lebih kearah pembentukan badan
keton melalui aktivasi enzim carnitine palmitoyl transferase I (CPT1).
(Mumme L, 2015)

Enzim CPT1 ini penting dalam meregulasi transpor asam lemak


menuju mitokondria sel hepar untuk dioksidasi. Hasil oksidasi asam
lemak di mitokondria sel hepar adalah asetil-KoA. Karena insulin
mengalami defisiensi, asetil-KoA akan mengalami konsdensasi menjadi
asam asetoasetat. Asam asetoasetat ini selanjutnya akan memasuki
sirkulasi dan dapat digunaakn oleh sel-sel perifer (kecuali otak) untuk
bahan metabolism dengan cara mengubahnya kembali menjadi asetil-KoA
(Mumme L, 2015). Namun disaat yang sama, terjadi efek paradoks yakni
penurunan insulin akan menyebabkan penurunan penggunaan asam
aseoasetat oleh sel-sel perifer. Akibatnya kadarnya dalam darah
meningkat tajam (Gambar 1).

Gambar 1. Peningkatan tajam asam asetoasetat dalam darah setelah


pengambilan pankreas (tubuh tidak memproduksi insulin) (Hall J, 2011)

Asam asetoasetat yang terlalu banyak dalam darah sebagian akan


dikonversi menjadi betahidroksibutirat dan aseton. Ketiganya ini disebut
dengan badan keton. Keton dapat digunakan sebagai sumber energi
alternatif sel-sel yang tidak memiliki mitokondria maupun sel otak
(Harvey, 2010), namun sekali lagi dalam keadaan defisiensi insulin,
penggunaan keton oleh jaringan perifer menurun sementara pembentukan
meningkat. Ketidak seimbangan ini menyebabkan ketosis.
Ketosis akan menyebabkan asidosis metabolik karena kadar asam
keton yang terlalu banyak melampui kapatias bikarbonat dalam darah.
Pada tahap ketosis ini, asam beta-hidroksibutirat dan asetoasetat
dieliminasi tubuh melalui ginjal bersama dengan natrium dan kalium serta
meninggalkan hidrogen tetap dalam sirkulasi sehingga konsentrasinya
meningkat dan terjadi asidosis (Harvey, 2010).

Gambar 2. Mekanisme ketoasidosis secara skematis

3. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis tentu selalu dilakukan dengan anamnesis
yang detail, pemeriksaan fisik yang teliti, dan dibantu dengan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan. Dari anamnesis dapat ditemukan riwayat
seseorang pengidap diabetes atau bukan dengan keluhan polyuria, polidipsi,
rasa lelah, kram otot, mual muntah, dan nyeri perut. Pada keadaan yang berat
dapat ditemukan keadaan penurunan kesadaran hingga koma.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas


kussmaul jika terjadi asisdosis berat, takikardi, hipotensi atau syok, flushing,
penurunan berat badan, dan tentunya adalah tanda dari masing-masing
penyakit penyerta.

Trias biokimiawi pada KAD adalah hiperglikemia, ketonemia dan atau


ketonuria, serta asidosis metabolic dengan berbagai derajat. Pada awal
evaluasi tentu kebutuhan pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan keadaan
klinis, umumnya dibutuhkan pemeriksaan dasar gula darah, elektrolit, analisis
gas darah, keton darah dan urin, osmolalitas serum, darah perifer lengkap
dengan hitung jenis, anion gap, EKG, dan foto polos dada.

Kunci diagnosis pada KAD adalah adanya peningkatan total benda keton
di sirkulasi. Gula darah lebih dari 250 mg/dl dianggap sebagai kriteria
diagnosis utama KAD, walaupun terdpaat istilah KAD euglikemik, dengan
demikian setiap pengidap diabetes yang gula darahnya lebih dari 250
mg/dlharus dipikirkan kemungkinan ketosis atau KAD jika disertai keadaan
klinis yang sesuai. Derajat keasaman darah (pH) yang kurang dari 7,35
dianggap sebagai ambang adanya asidosis, hanya saja pada keadaan yang
terkompensasi seringkali pH menunjukkan angka normal. Pada keadaan
seperti itu jika angka HCO3 kurang dari 18 mEq/l ditambah dengan keadaan
klinis yang sesuai, maka sudah cukup untuk menegakkan KAD. Pada awal
masuk rumah sakit seringkali terdapat leukosistosis pada pasien KAD akibat
stress metabolic dan dehidrasi, sehingga jangan terburu-buru memberikan
antibiotic jika jumlah leukosit antara 10.000-15.000 m3.
DIAGNOSIS HHS DKA

Tabel 1. Kriteria diagnosis KAD dan SHH (Kitabchi,2009)

4. Tatalaksana
Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi terhadap dehidrasi,
hiperglikemia, gangguan elektrolit, komorbiditas, dan monitoring selama
perawatan.

Cairan IV

Cairan IV

Tentukan status hidrasi

Hipovolemi Berat Hipovolemi Syok Kardiogenik


RIngan

Berikan 0.9% Evaluasi serum Monitor


NaCl (1.0 L/jam) Na+ hemodinamik

Serum Na+ Serum Na- rendah


normal
0.45% NaCl (250- 0.9% NaCl
500 ml/jam) (250-
tergantung status 500ml/jam)
hidrasi tergantung

Serum glukosa mencapai 200


mg/dL (KAD) atau 300 mg/dL
(SHH) ganti menjadi 5%
dextrose dengan 0.45% NaCl
150-250 ml/jam

Insulin
Insulin merupakan farmakoterapi kausatif utama KAD.
Pemberian insulin intravena kontinyu lebih disukai karena waktu
paruhnya pendek dan mudah dititrasi. Dari beberapa studi prospektif
dengan randomisasi didapatkan bahwa pemberian insulin regular dosis
rendah intravena merupakan cara efektif dan terpilih. Jika dosis insulin
intravena yang diberikan sekitar 0,1-1,15 unit/jam, maka sebenarnya
tidak diperlukan insulin bolus di awal. Dengan pemberian insuin
intravena dosis rendah diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma
dengan kecepatan 50-100mg/dl setiap jam sampai glukosa turun ke
sekitar 200 mg/dl, lalu kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02-0,05
unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah berada sekitar 150-200 mg/dl maka
pemberian infus dekstrose dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia
(Kitabchi, 2009).

Transisi ke insulin ke subkutan


Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberian insulin
intravena dosis rendah, maka langkah selanjutnya adalah memastikan
bahwa KAD sudah memasuki fase resolusi dengan kriteria gula darah
kurang dari 200 mg/dl dan dua dari keadaan berikut ; serum bikarbonat
lebih atau sama dengan 15 mEq/l, pH vena >7,3, dan anion gap hitung
kurang atau sama dengan 12 mEq/l.
Agar tidak terjadi hiperglikemia atau KAD berulang maka
sebaiknya penghentian insulin intravena dilakuakan 2 jam setelah
suntikan subkutan pertama. Asupan nutrisi merupakan pertimbangan
penting saat transisi ke subkutan, jika pasien masih puasa karena
sesuatu hal atau asupan masih sangat kurang maka lebih baik insulin
intravena diteruskan.
Jika pasien sudah terkontrol regimen insulin tertentu sebelum
mengalami KAD, maka pemberian insulin dapat diberikan ke regimen
awal dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan insulin pada keadaan
terkahir. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan insulin, maka
pemberian injeksi subkutan terbagi lebih dianjurkan. Jika kebutuhan
insulin masih tinggi maka regimen basal bolus akan lebih menyerupai
insulin fisiologis dengan risiko hipoglikemia lebih rendah.

Insulin

Rute IV (KAD dan SHH)

0.1 U/kgBB
0.15U/kgBB/jam/
bolus IV
IV drip insulin

0.1 U/kgBB/jam IV
drip insulin

Jika glukosa serum tidak


turun 10% dalam 1 jam
pertama, berikan 0.14 U/kg
bolua IV, lanjutkan dengan
Rx sebelumnya

KAD SHH

Jika serum glukosa Jika serum glukosa


mencapai 200 mg/dL, mencapai 300 mg/dL,
kurangi infus insulin kurangi infus insulin
menjadi 0.02-0.05 menjadi 0.02-0.05
U/kg/jam IV, atau U/kg/jam IV. Jaga
berikan rapid acting serum glukosa
insulin 0.1 U/kg SC diantara 200-300
tiap 2 jam. Jaga serum mg/dL sampai pasien
glukosa diantara 150- sadar
200 mg/dL sampai
resolusi KAD
Periksa elektrolit, pH darah, kreatinin dan glukosa tiap 2-4
jam sampai stabil. Setelah resolusi KAD atau SHH dan
pasien dapat makan, berikan multidosis SC insulin
regimen.
Untuk transfer dari IV ke SC, lanjutkan infus insulin
IV selama 1-2 jam setelah insulin SC mencapai level
insulin plasma yang adekuat.

Alur pemberian insulin pada pasien dengan ketoasidosis


diabetik dan sindroma hyperosmolar hiperglikemik juga dijelaskan
dalam konsensus PERKENI (2015) dengan bagan sebagai berikut :
Tabel 2. Skema penatalaksanaan ketoasidosis diabetic dan sindroma
hyperosmolar hiperglikemik (PERKENI, 2015)

Bila GD stabil 200-300 mg/dL selama 12 jam dan pasien dapat


makan, dapat dimulai pemberian insulin IV kontinyu 1-2 U/jam disertai
dengan insulin koreksional (PERKENI, 2015).

Tabel 3. Regimen terapi dosis insulin koreksional pada pasien rawat inap
(PERKENI, 2015).

Insulin IV kontinyu dihentikan setelah hasil keton darah negatif.


Kemudian dilanjutkan dengan pemberian insulin fixed dose basal bolus,
disesuaikan dengan kebutuhan sebelumnya (PERKENI, 2015).

Tabel 4. Contoh perhitungan perubahan dosis insulin dari pemberian infus


intravena ke subkutan. (PERKENI, 2015).
Kalium
Sejatinya pasien KAD akan mengalami hiperkalemia melalui
mekanisme asidemia, defisiensi insulin, dan hipertonisitas. Jika saat
masuk kalium pasien normal atau rendah, maka sesungguhnya terdapat
defisiensi kalium yang berat di tubuh pasien sehingga butuh pemberian
kalium yang adekuat karena terapi insulin akan menurunkan kalium
lebih lanjut. Monitoring jantung perlu dilakukan pada keadaan tersebut
agar tidak terjadi aritmia. Untuk mencegah hypokalemia maka
pemberian kalium sudah dimulai saat kadar kalium di sekitar batas atas
nilai normal (Kitabchi, 2009).

Kalium

Fungsi Ginjal adekuat


(urine output
50ml/jam)

K+ < 3 mEq/L K+ >5 mEq/L

K+ = 3-5 mEq/L

Berikan 20-30 mEq K+ tiap


liter cairan IV untuk menjaga
K+ serum antara 4-5 mEq/L

Bikarbonat
Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi
bikarbonat tidak direkomendasikan diberikan rutin, kecuali jika pH
darah kurang dari 6,9. Hanya saja pada keadaan dengan ganguan
fungsi ginjal yang signifikan seringkali sulit membedakan apakah
asidosisnya karena KAD atau karena gagal ginjalnya. Efek buruk dari
koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya adalah meningkatnya
risiko hypokalemia, menurunnya asupan oksigen jaringan, edema
serebri, dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal (Kitabchi, 2009).

Bikarbonat

pH ≥ 6.9 pH < 6.9

Tidak 100 mmol


HCO3 dlm 400 ml
H2O + 20
mEq KCL
infus
selama 2
jam

Ulangi tiap 2 jam


sampai pH ≥ 7.
Monitor serum K+
tiap 2 jam

Fosfat
Meskipun sering terjadi hipofosfatemia pada KAD, serum
fosfat sering ditemukan dalam keadan normal atau meningkat saat
awal. Kadar fosfat akan menurun dengan pemberian insulin. Dari
beberapa studi tidak ditemukan manfaat yang bermakna pemberian
fosfat pada KAD, bahkan pemberian fosfat yang berlebihan akan
mencetuskan hipokalsemia berat. Pada keadaan konsentrasi serum
fosfat kurang dari 1mg/dl dan disertai dengan disfungsi kardiak,
anemia, atau depresi napas akibat kelemahan otot, maka kondisi fosfat
menjadi pertimbangan penting (Soewondo, 2009).
C. Status Hiperglikemi Hiperosmolar
1. Definisi
Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl),
tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-
380 mOs/ml), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.
SHH terjadi ketika terdapat defisiensi insulin yang relatif (terhadap kebutuhan
insulin) sehingga menimbulkan dehidrasi dan hiperosmolaritas tanpa disertai
asidosis. (Perkeni, 2015)

2. Epidemiologi
Epidemiologi SHH pada anak dan dewasa telah diketahui belakangan
ini (Zeitler at al., 2011) HHS berjumlah sekitar 5-15% dari seluruh kasus
emergensi hiperglikemi pada diabetes anak-anak maupun dewasa. Pada
dewasa HHS terjadi dengan frekuensi 17,5 kasus per 100.000 penduduk per
tahun. (Venkatraman & Singhi, 2006).

3. Patofisiologi
Kejadian yang menginisiasi pada SHH adalah glucosuric dieresis.
Munculnya kadar glukosa dalam urin memperburuk kapasitas pengenceran
urin oleh ginjal, sehingga menyebabkan kehilangan air yang lebih parah.
Dalam kondisi yang normal, ginjal berperan sebagai katup penfaman untuk
mengeluarkan glukosa yang melewati ambang batas dan mencegah akumulasi
glukosa lebih lanjut. Penurunan volume intravascular atau penyakit ginjal
dapat menurunkan LFG (Laju filtrasi glomerulus) menyebabkan kadar glukosa
meningkat. Pengeluaran lebih banyak air daripada natrium menyebabkan
hiperosmolar. Insulin diprosuksi, namun tidak cukup mampu untuk
menurunkan kadar glukosa, terutama pada kondisi resistansi insulin pada
penderita Diabetes Melitus (Stoner, 2005).
Gambar 3. Patofisiologi Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar (Zeitler at al., 2011)

Defisiensi insulin relatif pada penderita DM dapat menyebabkan


penurunan penggunaan glukosa, peningkatan glukoneogenesis dan
peningkatan pemecahan glikogen menjadi glukosa melalui proses
glikogenolisis. Glikogenolisis juga dipengaruhi secara tidak langsung oleh
stress fisiologis melalui peningkatan hormon glukagon, epinefrin, hormon
pertumbuhan, dan kortisol. Keadaan ini selanjutnya akan menyebabkan
hiperglikemia (peningkatan kadar glukosa darah). Hiperglikemi menyebabkan
munculnya glukosa dalam urin (glucosuria) dan peningkatan osmolalitas
intravaskular. Glucosuria selanjutnya menyebabkan kehilangan air dan
elektrolit dalam jumlah yang cukup sehingga menyebabkan gmunculnya
gejala dehidrasi yang selanjutkan akan mempengaruhi fungsi ginjal. Kondisi
dehidrasi dan peningkatan osmolalitas intravaskular akan menimbulkan
kondisi hiperosmolar. Hal ini menyebabkan munculnya sindrom hiperglikemi
hiperosmolar (Zeitler at al., 2011).

4. Diagnosis
Pasien dengan SHH, umumnya berusia lanjut, belum diketahui
mempunyai DM, dan pasien DM tipe-2 yang mendapat pengaturan diet dan atau
obat hipoglikemik oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang semakin
rnemperberat masalah, misalnya diuretik.

Keluhan pasien SHH ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki
kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang
jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan
saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti


turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas
yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat cula ditemukan
peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula
dijumpai distensi abdomen yang membaik setelah rehidrasi yang adekuat.

Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai


koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung
dengan csmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum
mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan
pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun mioklonik.
Dapatjuga terjadi hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit
cairan (Soewondo, 2009).
Secara klinis SHH akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil
laboratorium seperti konsentrasi glukosa darah, keton dan analisis gas darah
belum ada hasilnya. Berikut di bawah ini adalah beberapa gejala dan tanda
sebagai pegangan (Soewondo, 2009).:
- Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun,
semakin muda semakin berkurang, dan pada anak belum pernah
ditemukan.
- Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM atau DM tanpa
insulin.
- Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% pasien mengidap
penyakit ginjal atau kardiovaskular; pernah ditemukan penyakit
akromegali, tirotoksikosis, dan penyakit Cushing.
- Sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain tiazid, furosemid,
manitol, digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin,
simetidin dan haloperidol (neuroleptik).
- Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardiovaskular,
aritmia, pendarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis,
koma hepatik dan operasi.

5. Tatalaksana
 Tujuan dari penatalaksanaan SHH adalah mengobati penyebab yang
mendasari dan secara bertahap dan aman :
- normalisasi osmolalitas
- menggantikan cairan dan elektrolit yang hilang
- normalisasi kadar gula darah
 Tujuan lainnya adalah untuk mencegah terjadinya :
- Arterial atau thrombosis vena
-potensi komplikasi lainnya seperti edema cerebral/ central pontine
myelinolysis
- foot ulceration.
 Beberapa prinsip dalam penatalaksanaan SHH
- Mengukur atau menghitung osmolalitas (2NA+ + glukosa + urea) secara
berkala untuk memonitor respon pengobatan.
-Gunakan IV NaCl 0,9% sebagai cairan utama untuk mengembalikan volume
sirkulasi dan mengembalikan dehidrasi. Alihkan ke larutan NaCl 0,45%
hanya jika osmolalitas tidak menurun meskipun cairan sudah diberikan.
-Penurunan kadar glukosa darah tidak boleh lebih dari 5 mmol/L/jam. Dosis
rendah insulin (0,05 unit/kg/jam) harus diberikan ketika glukosan darah
tidak menurun dengan pemberian cairan IV tunggal atau segera jika ada
ketonaemia yang signifikan (3β-hydroxy butyrate lebih dari 1mmol/L)
(JBDS,2012).

Alur tatalaksana pada SHH


 1 jam pertama : Manajemen segera setelah diagnosis (0 hingga 60 menit)
T=0 saat itu juga cairan intravena harus segera diberikan.
- Segera berikan NaCl 0,9% sebanyak 1 liter Selama 1 jam
 Pertimbangkan pemberian yang lebih agresif jika tekanan
sistolik< 90 mmHg
 Perhatikan pada pasien lansia, rehidrasi yang terlalu cepat
dapat memicu gagal jantung
- Hanya berikan infus insulin (0,05 unit/kg/jam) jika terdapat
ketonemia yang signifikan (3β-hydroxy butyrate lebih dari
1mmol/L) atau ketonuria 2+ atau lebih (seperti pada kasus mixed
DKA dan SHH)
 60 menit hingga 6 jam
Tujuan : untuk mencapai penurunan osmolalitas secara bertahap (3-8
mosmol/kg/hr)
- Dengan menggunakan 0,9% saline normal yang diberikan sebanyak
0,5-1 L/jam bergantung pada penilaian klinis dari dehidrasi atau
resiko pemicu terjadinya gagal jantung serta keseimbangan cairan
(ditargetkan mencapai balance cairan (+) 2-3 L dalam 6 jam.
- Jika kadar glukosa menurun kurang dari 5 mmol/L per jam hitung
balance cairan (JBDS,2012)
D. Hipoglikemia
1. Definisi
Hipoglikemi adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan
atau tanpa adanya gejala-gejala otonom seperti adanya whipple’s triad yaitu
terdapat gejala-gelaja hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah, dan
gejala berkurang dengan pengobatan. Hipoglikemi ditandai dengan adanya
penurunan kadar glukosa darah < 70 mg/dL. Keadaan hipoglikemia yang
berat dan berlangsung lama mengakibatkan keadaan yang fatal. Ditandai
dengan keadaan pusing, penurunan kesadaran, hingga kejang (PERKENI,
2015).
2. Epidemiologi
Dalam The Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) yang
dilaksanakan pada pasien diabetes tipe I, kejadian hipoglikemia berat tercatat
pada 60 pasien per tahun pada kelompok yang mendapat terapi insulin
intensif dibanding dengan 20 pasien per tahun pada pasien yang mendapat
terapi konvensiaonal. Pada hipoglikemia ringan tidak boleh diabaikan karena
potensial dapat diikuti kejadian hipoglikemia yang lebih berat (Sudoyo,
2006).
3. Patofisiologi
Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh
berlebihan. Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang
terjadi setelah melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia
juga dapat disebabkan antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan
tertundanya pelepasan insulin dari tubuh. Selain itu, hipoglikemia dapat
terjadi karena malproduksi insulin dari pankreas ketika terdapat tumor
pankreas. Setelah hipoglikemia terjadi, efek yang paling banyak terjadi
adalah naiknya nafsu makan dan stimulasi masif dari saraf simpatik yang
menyebabkan takikardi, berkeringat, dan tremor (Silbernagl dan Lang, 2010).
Ketika terjadi hipoglikemia tubuh sebenarnya akan terjadi mekanisme
homeostasis dengan menstimulasi lepasnya hormon glukagon yang berfungsi
untuk menghambat penyerapan, penyimpanan, dan peningkatan glukosa yang
ada di dalam darah. Glukagon akan membuat glukosa tersedia bagi tubuh dan
dapat meningkatkan proses glikogen dan glukoneogenesis. Akan tetapi,
glukagon tidak memengaruhi penyerapan dan metabolisme glukosa di dalam
sel (Carrol, 2007).
Gambar 4. Mekanisme regulasi glukosa pada tubuh manusia (Cryer, 2011).

Selain itu, mekanisme tubuh untuk mengompensasi adalah dengan


meningkatkan epinefrin, sehingga prekursor glukoneogenik dapat
dimobilisasi dari sel otot dan sel lemak untuk produksi glukosa tambahan.
Tubuh melakukan pertahanan terhadap turunnya glukosa darah dengan
menaikkan asupan karbohidrat secara besar-besaran. Mekanisme pertahanan
ini akan menimbukan gejala neurogenik seperti palpitasi, termor, adrenergik,
kolinergik, dan berkeringat. Ketika hipoglikemia menjadi semakin parah
maka mungkin juga dapat terjadi kebingungan, kejang, dan hilang kesadaran
(Cryer, 2011).

Hipoglikemia berat didefinisikan sebagai hipoglikemia yang tidak


dapat di tangani oleh mekanisme homeostasis tubuh. Pada kondisi ini orang
yang terkena hipoglikemia berat dapat kehilangan kesadaran atau merasa
kebingungan. Walaupun penderita hipoglikemia berat akan terlihat sadar, tapi
penderita akan terlihat lethargik (kelelahan) dan emosional. Hal ini
disebabkan karena glukagon tidak dapat mengompensasi adanya insulin yang
berlebihan. Sehingga terkadang ketika seseorang mengalami hipoglikemia
berat dibutuhkan penyuntikkan glukagon. Penyuntikkan glukagon ini dapat
diberikan dengan orang terdekat yang dilatih atau tenaga medis terlatih
(Nelms et al, 2007).

4. Diagnosis

Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa


darah rendah tetapi menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak,
tidak semua pasien diabetes mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada
pemeriksaan kadar glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran yang
terjadi pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan
disebabkan oleh hipoglikemia.

Diagnosis hipoglikemia dapat ditegakan bila kadar glukosa <70mg/dl


atau bahkan <60mg/dl. Walaupun demikian berbagai studi fisiologis
menunjukan bahwa gangguan fungsi otak sudah dapat terjadi pada kadar
glukosa darah 55 mg/dl (3 mmol/L). Lebih lanjut diketahui bahwa kadar
glukosa darah 55mg/dl (3 mmol/L) yang terjadi berulang kali dapat merusak
mekanisme proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat. Oleh
sebab itu, dalam konteks terapi diabetes, diagnosis hipoglikemia ditegakkan
bila kadar glukosa plasma kurang dari sama dengan 63 mg/dl (3,5 mmol/L)
(Soemandji, 2009).

Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea


dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat
telah habis.

 Hipoglikemia karena penggunaan obat

Kadar glukosa darah di bawah harga normal (70 – 110 mg/dl ) yang
disebabkan karena penggunaan obat anti diabetic oral. Selain itu akibat
kelebihan sekresi hormon insulin, merupakan pencetus timbulnya
hipoglikemi.
Faktor resiko

1. Dosis yang digunakan terlalu besar.


2. Pemakaian yang tidak teratur .
3. Tidak ada pengecekan atau kontrol selama pengobatan.

Patofisiologi ( Obat  Hipoglikemi )

Obat sulfonilurea dapat merangsang sekresi insulin dari granul –


granul sel β pankreas, melalui ATP-sensitive K channel sehingga kanal Ca
depolarisasi yang mengakibatkan insulinnya keluar. Namun apabila faktor
resiko penggunaan obat ( dosis berlebih, pemakaian tidak teratur, dan tidak
ada control dari dokter ) dapat menyebabkan ambilan glukosa juga berlebih,
sehingga gula darah menjadi turun dan menyebabkan hipoglikemi.
5. Tanda dan Gejala
A
Tanda Gejala
m
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, Pucat, takikardia,
e
gelisah, paresthesia, palpitasi, widened pulse
r
Tremulousness pressure
i
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, Corticol-blindness,
c
pusing, confusion, perubahan hipotermia, kejang,
a
sikap, gangguan kognitif, koma
n
pandangan kabur, diplopia

Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia 2005 mengklasifikasikan


hipoglikemia ke dalam ke dalam 5 kategori yaitu:

Hip1o.gliH
kemia berat Kejadian hipoglikemia yang membutuhkan bantuan
i orang lain
Hipoglipkemia simtomatik GDS < 70 mg/dL disertai gejala hipoglikemia
Hipogliokemia asimtomatik GDS < 70 mg/dL tanpa gejala hipoglikemia
Probablge hipoglikemia Gejala klinis hipoglikemia tanpa pemeriksaan GDS
Hipoglilkemia relatif GDS > 70 mg/dL dengan gejala hipoglikemia

6. Komplikasi
Terganggunya fungsi otak

Glukosa merupakan bahan metabolik dasar dari otak. Apabila terjadi


gangguan asupan glukosa dalam sirkulasi dapat menyebabkan disfungsi
sistem saraf pusat, gangguan kognisi, koma bahkan sampai kematian.
7. Tatalaksana
Tujuan pengobatan pada prinsipnya untuk mengembalikan kadar glukosa
darah kembali normal, sesegera mungkin.
Rentang Batas Kadar Glukosa Darah (GD) Normal
Pada subjek yang tidak menderita diabetes
Kadar GD bangun pagi (berpuasa) 70 – 99 mg/dl
Setelah makan 70 – 140 mg/dl
Kadar GD subjek penderita diabetes
Sebelum makan 70 – 130 mg/dl
1-2 jam setelah mulai makan <180 mg/dl
Rentang Kadar Glukosa Serum Yang Normal (Manaf, 2014)
 Hipoglikemia ringan
1. Pemberian makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana). Dapat
diberikan glukosa 15-20 gram (2-3 sendok makan) yang dilarutkan
dalam air
2. Bila tidak membaik dalam 15 menit, ulangi pemberian
3. Jika gula darah kadarnya sudah mencapai normal, pasien diminta
untuk mengkonsumsi makanan untuk mencegah berulangnya
hipoglikemia.

 Hipoglikemia berat
1. Jika didapat gejala neuroglikopeni, terapi parenteral diperlukan
berupa pemberian dextrose 20% sebanyak 50 cc atau dextrose 40%
sebanyak 25 cc, diikuti dengan infus D5% atau D10%.
2. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v. Bila kadar
glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang
pemberian dextrose 20%.

8. Prognosis
Prognosis hipoglikemia dinilai dari penyebab, nilai glukosa darah,
dan waktu onset. Apabila bersifat simtomatik dan segera diobati memiliki
prognosis baik (dubia et bonam) dibandingkan dengan asimtomatik tanpa
segera diberikan oral glucose (dubia et malam) (Hamdy, 2013).

KESIMPULAN
Komplikasi akut dari diabetes melitus dengan kondisi glukosa darah
yang sangat tinggi (krisis hiperglikemi) terbagi menjadi Ketoasidosis
Diabetik (KAD) dan Status Hiperglikemik Hiperosmolar (SHH).
Ketoasidosis diabetik disebabkan karena adanya penumpukan keton pada
darah yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pH darah
menjadi asam. Status Hiperglikemik Hiperosmolar yaitu suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi, peningkatan
osmolaritas plasma sangat tinggi.
Sedangkan komplikasi akut dari diabetes melitus dengan kadar
glukosa yang rendah disebutkan sebagai keadaan hipoglikemi, yang
merupakan penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa adanya
gejala-gejala otonom seperti adanya whipple’s triad yaitu terdapat gejala-
gelaja hipoglikemia, kadar glukosa darah yang rendah, dan gejala berkurang
dengan pengobatan. Hipoglikemi ditandai dengan adanya penurunan kadar
glukosa darah < 70 mg/dL.
Baik komplikasi akut dengan keadaan hiperglikemi ataupun
hipoglikemi merupakan keadaan yang berbahaya dan dapat mengancam
nyawa jika tidak tertangani dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia. Defining and reporting


hypoglycemia in diabetes. Diabetes Care 2005; 28: 1245 – 9

Carrol, Robert G. 2007. Elsevier’s Integrated Physiology. Philadelphia: Mosby


Elsevier.

Cryer, Philip E. 2011. Hypoglicemia During Therapy of Diabetes. Tersedia di


<http://diabetesmanager.pbworks.com/w/page/17680209/Hypoglycemia%20Du
ring%20Therapy%20of%20Diabetes%20>

Dan Longo et al. 2011. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 18. USA :
McGraw-Hill Company

Joint British Diabetes Societies. 2012. The management of the hyperosmolar


hyperglicaemic state (HHS) in adults with diabetes. London : NHS

Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises in adult
patients with diabetes. Diabetes Care. 2009;32:1335-43

Manaf, A et al.2014. Buku Ilmu Ajar Penyakit Dalam. Edisi VI.Jakarta:Interna


Publishing. Hal 2355-2358

Mumme L. 2015. Diabetic Ketoacidosis: Pathophysiology and Treatment. The Kabod


2(1):3. http://digitalcommons.liberty.edu/kabod/vol2/iss1/3

Nelms, Marcia, Kathryn P. Sucher., dan Sara Long. 2007. Nutrition Therapy and
Pathophysiology. Belmont: Thomson Learning Inc.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengendalian dan


Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, Jakarta: PB. PERKENI.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada


Padien Diabetes Mellitus. Jakarta: PB. PERKENI.

Soewondo, P et al.2009. Buku Ilmu Ajar Penyakit Dalam. Edisi IV.Jakarta:Interna


Publishing. Hal 2375-2385

Sudoyo AW, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Indonesia Jilid III edisi IV. Jakarta. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI

Silbernagl, Stefan, dan Florian Lang. 2010. Color Atlas of Pathophysiology 2nd Ed.
New York: Thieme.Soemadji, DjokoWahono. 2009.
BukuAjarIlmuPenyakitDalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Venkatraman, R. & Singhi, S.C. 2008. Hyperglicemic Hyperosmolar Nonketotic
Syndrome. Indian Journal of Pediatric, 2008(73):1

WHO. (2008). Global Prevalence of Diabetes. Diakses dari :


http://www.who.int/diabetes/facts/en/diabcare0504.pdf

Zeiter, P., Haqq, A., Rosenbloom, A. & Glaser, N. 2011. Hyperglicemic


Hyperosmolar Syndrome in Children: Pathophysiological consideration and
Suggested Guidelines for Treatment. The Journal of Pediatric 2011(4):1
PANDUAN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF

1. Cervical spine kontrol dan evaluasi (ABC/ATLS)


2. circulatory management (pemasangan vena sektie)
3. circulatory management (intraosseous)
4. circulatory management (terapi cairan pada luka bakar) dan evaluasi
PENDAHULUAN

Trauma mencakup kepentingan lintas batas bangsa. Banyak negara yang sedang
berkembang sudah memiliki banyak korban trauma dari jalan raya dan industri yang
mengenai kelompok usia muda. Morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan trauma
tersebut dapat dikurangi dengan intervensi medik yang efektif sejak dini.

Kursus Primary Trauma Care ini ditujukan untuk memberikan pengetahuan dasar dan
ketrampilan yang diperlukan untuk identifikasi dan menangani korban trauma yaitu :
1. Penilaian cepat (rapid assessment)
2. Resusitasi
3. Stabilisasi bagian / fungsi tubuh yang cedera.

Kursus ini menekankan pentingnya diagnosa dini dan intervensi cepat pada setiap situasi
yang mengancam jiwa. Materi diberikan melalui ceramah dan praktek skill station yang
sesuai dengan kebutuhan pengelolaan korban trauma. Dokter dan para tenaga kesehatan
dapat menggunakan landasan PTC ini untuk mengembangkan pengetahuan dan
ketrampilan dalam menangani pasien trauma dengan peralatan yang minim, tanpa
teknologi canggih.

Kita mengenal juga adanya kursus pengelolaan trauma yang lain seperti ATLS dari
American College of Surgeons dan EMST dari Australia. Kursus-kursus tersebut
ditujukan untuk tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit dengan peralatan lengkap,
oksigen, komunikasi, transport dan lain-lainnya dimana segala sesuatunya telah dirinci.
Primary Trauma Care tidak dimaksudkan untuk mengganti kursus-kursus tersebut tetapi
memakai prinsip dan penekanan pada penanganan pokok yang sejak dini harus dilakukan
dengan sarana yang minimal.

Tujuan

Setelah mengikuti kursus ini peserta akan :

1. Memahami urutan prioritas pengelolaan korban trauma

2. Mampu untuk dengan cepat dan tepat menentukan kebutuhan medik korban trauma

3. Mampu untuk resusitasi dan stabilisasi korban trauma

4. Mampu mengorganisir tata laksana medik dasar korban trauma di rumah sakit

1
TRAUMA DALAM PERSPEKTIF

Sebagian besar negara didunia mengalami epidemi trauma tetapi peningkatan jumlah
yang tinggi terjadi di negara yang sedang berkembang. Penambahan jalan raya dan
penggunaan kendaraan bermotor menyebabkan laju jumlah korban dan kematian korban
trauma. Banyak fasilitas kesehatan di perifer tidak mampu menangani banyak korban
sekaligus dari kecelakaan yang melibatkan bis penumpang atau bencana lainnya. Luka
bakar yang berat juga banyak dijumpai didaerah kota maupun diluarnya.

Beberapa perbedaan besar antara negara-negara berpenghasilan tinggi dan yang rendah
mendesakkan adanya kursus Primary Trauma Care ini karena :

 Jauhnya jarak yang harus ditempuh korban untuk mencapai rumah sakit dengan
fasilitasi medik yang memadai.
 Lamanya waktu yang dibutuhkan korban untuk mencapai rumah sakit
 Tidak adanya peralatan canggih dan penyediaan obat-obat yang penting
 Tidak adanya tenaga kesehatan terdidik untuk menjalankan alat medik dan
merawatnya.

Tindakan pencegahan trauma sebenarnya adalah sarana yang paling murah dan paling
aman. Namun hal ini tergantung pada faktor :

 Budaya
 Sumber daya manusia (manpower)
 Politik
 Anggaran keuangan untuk kesehatan
 Pelatihan

Setiap usaha harus dilakukan oleh tim medik trauma untuk mengarah kepada pencegahan
terjadinya trauma. Walaupun hal ini berada diluar lingkup buku ini akan dibicarakan juga
masalah-masalah yang ada di lingkungan saudara dan kemungkinan untuk
pencegahannya.

2
ABCDE DALAM TRAUMA

Pengelolaan trauma ganda yang berat memerlukan kejelasan dalam menetapkan prioritas.
Tujuannya adalah segera mengenali cedera yang mengancam jiwa dengan Survey
Primer, seperti :

 Obstruksi jalan nafas


 Cedera dada dengan kesukaran bernafas
 Perdarahan berat eksternal dan internal
 Cedera abdomen

Jika ditemukan lebih dari satu orang korban maka pengelolaan dilakukan berdasar
prioritas (triage) Hal ini tergantung pada pengalaman penolong dan fasilitas yang ada.

Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut


survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit.
Terapi dikerjakan serentak jika korban mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistim
yang cedera :

Airway

Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas ?
Jika ada obstruksi maka lakukan :

 Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
 Suction / hisap (jika alat tersedia)
 Guedel airway / nasopharyngeal airway
 Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral

Breathing

Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :

 Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)


 Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
 Pernafasan buatan

Berikan oksigen jika ada

.
Penilaian ulang ABC harus dilakukan lagi jika kondisi pasien tidak stabil

3
Sirkulasi

Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas
dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :

 Hentikan perdarahan eksternal


 Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
 Berikan infus cairan

Disability

Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau
sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale

AWAKE =A
RESPONS BICARA (verbal) = V
RESPONS NYERI =P
TAK ADA RESPONS =U

Cara ini cukup jelas dan cepat.

Eksposure

Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang mungkin
ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in-line harus
dikerjakan.

4
PENGELOLAAN JALAN NAFAS

Prioritas pertama adalah membebaskan jalan nafas dan mempertahankannya agar tetap
bebas.

1. Bicara kepada pasien

Pasien yang dapat menjawab dengan jelas adalah tanda bahwa jalan nafasnya bebas.
Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan jalan nafas buatan dan bantuan pernafasan.
Penyebab obstruksi pada pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke
belakang. Jika ada cedera kepala, leher atau dada maka pada waktu intubasi trakhea
tulang leher (cervical spine) harus dilindungi dengan imobilisasi in-line.

2. Berikan oksigen dengan sungkup muka (masker) atau kantung nafas ( self-
invlating)

3. Menilai jalan nafas

Tanda obstruksi jalan nafas antara lain :


 Suara berkumur
 Suara nafas abnormal (stridor, dsb)
 Pasien gelisah karena hipoksia
 Bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks
 Sianosis

Waspada adanya benda asing di jalan nafas. Cara membebaskan jalan nafas diuraikan
pada Appendix 1
Jangan memberikan obat sedativa pada pasien seperti ini.

4. Menjaga stabilitas tulang leher

5. Pertimbangkan untuk memasang jalan nafas buatan

Indikasi tindakan ini adalah :


 Obstruksi jalan nafas yang sukar diatasi
 Luka tembus leher dengan hematoma yang membesar
 Apnea
 Hipoksia
 Trauma kepala berat
 Trauma dada
 Trauma wajah / maxillo-facial

Obstruksi jalan nafas harus segera diatasi

5
PENGELOLAAN NAFAS (VENTILASI )

Prioritas kedua adalah memberikan ventilasi yang adekuat.

 Inspeksi / lihat frekwensi nafas (LOOK)


Adakah hal-hal berikut :
. Sianosis
. Luka tembus dada
. Flail chest
. Sucking wounds
. Gerakan otot nafas tambahan

 Palpasi / raba (FEEL)


. Pergeseran letak trakhea
. Patah tulang iga
. Emfisema kulit
. Dengan perkusi mencari hemotoraks dan atau pneumotoraks

 Auskultasi / dengar (LISTEN)


. Suara nafas, detak jantung, bising usus
. Suara nafas menurun pada pneumotoraks
. Suara nafas tambahan / abnormal

 Tindakan Resusitasi 
Diuraikan lebih rinci pada Appendix 5
Jika ada distres nafas maka rongga pleura harus dikosongkan dari udara dan darah dengan
memasang drainage toraks segera tanpa menunggu pemeriksaan sinar X.
Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka kerjakan krikotiroidotomi.

Catatan Khusus
 Jika dimungkinkan, berikan oksigen hingga pasien menjadi stabil
 Jika diduga ada tension pneumotoraks, dekompresi harus segera dilakukan dengan
jarum besar yang ditusukkan menembus rongga pleura sisi yang cedera. Lakukan
pada ruang sela iga kedua (ICS 2) di garis yang melalui tengah klavikula. Pertahankan
posisi jarum hingga pemasangan drain toraks selesai.
 Jika intubasi trakhea dicoba satu atau dua kali gagal, maka kerjakan krikotiroidotomi.
Tentu hal ini juga tergantung pada kemampuan tenaga medis yang ada dan
kelengkapan alat.

Jangan terlalu lama mencoba intubasi tanpa memberikan ventilasi

6
PENGELOLAAN SIRKULASI
Prioritas ketiga adalah perbaikan sirkulasi agar memadai.

„Syok‟ adalah keadaan berkurangnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Pada pasien
trauma keadaan ini paling sering disebabkan oleh hipovolemia.

Diagnosa syok didasarkan tanda-tanda klinis :


Hipotensi, takhikardia, takhipnea, hipothermi, pucat, ekstremitas dingin, melambatnya
pengisian kapiler (capillary refill) dan penurunan produksi urine. (lihat Appendix-3)

Jenis-jenis syok :

Syok hemoragik (hipovolemik): disebabkan kehilangan akut dari darah atau cairan
tubuh. Jumlah darah yang hilang akibat trauma sulit diukur dengan tepat bahkan pada
trauma tumpul sering diperkirakan terlalu rendah. Ingat bahwa :

 Sejumlah besar darah dapat terkumpul dalam rongga perut dan pleura.
 Perdarahan patah tulang paha (femur shaft) dapat mencapai 2 (dua) liter.
 Perdarahan patah tulang panggul (pelvis) dapat melebihi 2 liter

Syok kardiogenik : disebabkan berkurangnya fungsi jantung, antara lain akibat :

 Kontusioo miokard
 Tamponade jantung
 Pneumotoraks tension
 Luka tembus jantung
 Infark miokard

Penilaian tekanan vena jugularis sangat penting dan sebaiknya ECG dapat direkam.

Syok neurogenik : ditimbulkan oleh hilangnya tonus simpatis akibat cedera sumsum
tulang belakang (spinal cord). Gambaran klasik adalah hipotensi tanpa diserta
takhikardiaa atau vasokonstriksi.

Syok septik : Jarang ditemukan pada fase awal dari trauma, tetapi sering menjadi
penyebab kematian beberapa minggu sesudah trauma (melalui gagal organ ganda). Paling
sering dijumpai pada korban luka tembus abdomen dan luka bakar.

Hipovolemia adalah keadaan darurat mengancam jiwa


Yang harus dikenali dan diatasi secara agresif

7
Langkah-langkah resusitasi sirkulasi

Tujuan akhirnya adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan.


Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan merupakan
prioritas
1. Jalur intravena yang baik dan lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula besar
(14 - 16 G). Dalam keadaan khusus mungkin perlu vena sectie
2. Cairan infus (NaCL 0,9%) harus dihangatkan sampai suhu tubuh karena hipotermia
dapat menyababkan gangguan pembekuan darah.
3. Hindari cairan yang mengandung glukose.
4. Ambil sampel darah secukupnya untuk pemeriksaan dan uji silang golongan darah.

Urine
Produksi urine menggambarkan normal atau tidaknya fungsi sirkulasi jumlah seharusnya
adalah > 0.5 ml/kg/jam. Jika pasien tidak sadar dengan syok lama sebaiknya dipasang
kateter urine.

Transfusi darah
Penyediaan darah donor mungkin sukar, disamping besarnya risiko ketidak sesuaian
golongan darah, hepatitis B dan C, HIV / AIDS. Risiko penularan penyakit juga ada
meski donornya adalah keluarga sendiri.
Transfusi harus dipertimbangkan jika sirkulasi pasien tidak stabil meskipun telah
mendapat cukup koloid / kristaloid. Jika golongan darah donor yang sesuai tidak tersedia,
dapat digunakan darah golongan O (sebaiknya pack red cel dan Rhesus negatif.
Transfusi harus diberikan jika Hb dibawah 7g / dl jika pasien masih terus berdarah.

Prioritas pertama : hentikan perdarahan


 Cedera pada anggota gerak :
Torniket tidak berguna. Disamping itu torniket menyebabkan sindroma reperfusi dan
menambah berat kerusakan primer. Alternatif yang disebut “bebat tekan” itu sering
disalah mengerti. Perdarahan hebat karena luka tusuk dan luka amputasi dapat
dihentikan dengan pemasangan kasa padat subfascial ditambah tekanan manual pada
arteri disebelah proksimal ditambah bebat kompresif (tekan merata) diseluruh bagian
anggota gerak tersebut.

Kehilangan darah adalah penyebab utama dari syok yang diderita pasien trauma

8
 Cedera dada
Sumber perdarahan dari dinding dada umumnya adalah arteri. Pemasangan chest tube
/ pipa drain harus sedini mungkin. Hal ini jika di tambah dengan penghisapan berkala,
ditambah analgesia yang efisien, memungkinkan paru berkembang kembali sekaligus
menyumbat sumber perdarahan. Untuk analgesia digunakan ketamin I.V.
 Cedera abdomen
Damage control laparatomy harus segera dilakukan sedini mungkin bila resusitasi
cairan tidak dapat mempertahankan tekanan sistolik antara 80-90 mmHg. Pada waktu
DC laparatomy, dilakukan pemasangan kasa besar untuk menekan dan menyumbat
sumber perdarahan dari organ perut (abdominal packing). Insisi pada garis tengah
hendaknya sudah ditutup kembali dalam waktu 30 menit dengan menggunakan
penjepit (towel clamps). Tindakan resusitasi ini hendaknya dikerjakan dengan
anestesia ketamin oleh dokter yang terlatih (atau mungkin oleh perawat untuk rumah
sakit yang lebih kecil). Jelas bahwa teknik ini harus dipelajari lebih dahulu namun
jika dikerjakan cukup baik pasti akan menyelamatkan nyawa.

Prioritas kedua: Penggantian cairan, penghangatan, analgesia dengan ketamin.

 Infus cairan pengganti harus dihangatkan karena proses pembekuan darah


berlangsung paling baik pada suuh 38,5 C. Hemostasis sukar berlangsung baik pada
suhu dibawah 35 C. Hipotermia pada pasien trauma sering terjadi jika evakuasi pra
rumah sakit berlangsung terlalu lama (bahkan juga di cuaca tropis). Pasien mudah
menjadi dingin tetapi sukar untuk dihangatkan kembali, karena itu pencegahan
hipotermia sangat penting. Cairan oral maupun intravena harus dipanaskan 40-42 C.
Cairan pada suku ruangan sama dengan pendinginan.
 Resusitasi cairan hipotensif : Pada kasus-kasus dimana penghentian perdarahan tidak
definitive atau tidak meyakinkan volume diberikan dengan menjaga tekanan sistolik
antara 80 - 90 mmHg selama evakuasi.
 Cairan koloid keluar, cairan elektrolit masuk ! Hasil penelitian terbaru dengan
kelompok kontrol menemukan sedikit efek negatif dari penggunaan koloid
dibandingkan elektrolit untuk resusitasi cairan.
 Resusitasi cairan lewat mulut (per-oral) cukup aman dan efisien jika pasien masih
memiliki gag reflex dan tidak ada cedera perut. Cairan yang diminum harus rendah
gula dan garam. Cairan yang pekat akan menyebabkan penarikan osmotik dari
mukosa usus sehingga timbullah efek negatif. Diluted cereal porridges yang
menggunakan bahan dasar lokal/setempat sangat dianjurkan.
 Analgesia untuk pasien trauma dapat menggunakan ketamin dosis berulang 0,2
mg/kg. Obat ini mempunyai efek inotropik positif dan tidak mengurangi gag reflex,
sehingga sesuai untuk evakuasi pasien trauma berat.

Jagalah keamanan diri penolong.


Tenaga kesehatan yang terluka akan juga jadi pasien

9
SURVEI SEKUNDER

Survei Sekunder hanya dilakukan bila ABC pasien sudah stabil

Bila sewaktu survei sekunder kondisi pasien memburuk maka kita harus kembali
mengulangi PRIMARY SURVEY.
Semua prosedur yang dilakukan harus dicatat dengan baik.
Pemeriksaan dari kepala sampai ke jari kaki (head-to-toe examination) dilakukan dengan
perhatian utama :

Pemeriksaan kepala

 Kelainan kulit kepala dan bola mata


 Telinga bagian luar dan membrana timpani
 Cedera jaringan lunak periorbital

Pemeriksaan leher

 Luka tembus leher


 Emfisema subkutan
 Deviasi trachea
 Vena leher yang mengembang

Pemeriksaan neurologis

 Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Scale (GCS)


 Penilaian fungsi medula spinalis dengan aktivitas motorik
 Penilaian rasa raba / sensasi dan refleks

Pemeriksaan dada

 Clavicula dan semua tulang iga


 Suara napas dan jantung
 Pemantauan ECG (bila tersedia)

Pasien trauma kepala harus dicurigai juga mengalami trauma tulang leher sampai
terbukti tidak demikian

10
Pemeriksaan rongga perut (abdomen)

 Luka tembus abdomen memerlukan eksplorasi bedah


 Pasanglah pipa nasogastrik pada pasien trauma tumpul abdomen kecuali bila ada
trauma wajah
 Periksa dubur (rectal toucher)
 Pasang kateter kandung seni jika tidak ada darah di meatus externus

Pelvis dan ekstremitas

 Cari adanya fraktura (pada kecurigaan fraktur pelvis jangan melakukan tes gerakan
apapun karena memperberat perdarahan)
 Cari denyut nadi-nadi perifer pada daerah trauma
 Cari luka, memar dan cedera lain

Pemeriksaan sinar-X (bila memungkinkan) untuk :

 Dada dan tulang leher (semua 7 ruas tulang leher harus nampak)
 Pelvis dan tulang panjang
 Tulang kepala untuk melihat adanya fraktura bila trauma kepala tidak disertai defisit
neurologis fokal
Foto atas daerah yang lain dilakukan secara selektif.
Foto dada dan pelvis mungkin sudah diperlukan sewaktu survei primer

11
TRAUMA DADA

Seperempat dari jumlah kematian trauma terjadi akibat cedera dada. Kematian segera
terjadi jika kerusakan mengenai jantung dan pembuluh darah besar. Kematian pada fase
berikutnya disebabkan karena obstruksi jalan nafas, tamponade jantung atau aspirasi.

Sebagian besar pasien trauma dada dapat dikelola dengan cara-cara sederhana tanpa
pembedahan.

Distres nafas (sesak) dapat disebabkan oleh :


 Fraktura iga / flail chest
 Pneumotoraks
 Pneumotoraks “tension”
 Hemotoraks
 Kontusioo paru
 Penumotoraks terbuka
 Aspirasi

Syok akibat perdarahan dapat terjadi karena hemotoraks atau hemomediastinum

Fraktura iga :
Dapat terjadi pada titik tumbuk dan menyebabkan kerusakan jaringan paru. Pada pasien
tua trauma ringanpun dapat menyebabkan trauma iga. Potongan iga dapat stabil setelah
10 - 14 hari. Penyembuhan yang sempurna dengan callus tercapai setelah 6 minggu.

Flail chest :
Bagian / segmen yang tidak stabil bergerak sendiri dan berlawanan dengan dinding dada
pada saat bernafas. Hal ini menyebabkan distres nafas karena aliran udara didalam paru
menjadi tidak efisien.

Pneumotoraks tension
Keadaan yang berbahaya ini terjadi jika udara masuk kedalam rongga pleura tetapi tidak
dapat keluar lagi sehingga tekanan dalam dada meningkat tinggi dan mediastinum
tergeser. Pasien menjadi sesak dan hipoksia. Trakhea yang terdorong kesisi yang sehat
adalah tanda khas pneumotoraks yang sudah berjalan lanjut.
Needle thoracostomy harus segera dikerjakan sebelum pemasangan drain toraks agar
pasien dapat bernafas dengan baik.

Derajad dan luasnya cedera di bagian dalam tubuh tidak dapat diperkirakan dari
keadaan luka kulitnya.

12
Hemotoraks
Penyulit ini lebih sering terjadi pada luka tembus / tusuk pada dada. Perdarahan yang
banyak menyebabkan pasien jatuh dalam syok hemoragik yang berat. Distres nafas juga
akan terjadi karena paru di sisi hemotoraks akan kolaps akibat tertekan volume darah.
Terapi yang optimal adalah pemasangan pipa / chest tube ukuran besar.
 Hemotoraks 500 - 1500 ml yang berhenti setelah pemasangan pipa toraks cukup
dilanjutkan dengan drain saja.
 Hemotoraks lebih dari 1500 - 2000 ml atau yang perdarahannya berlanjut lebih dari
200 - 300 ml/jam perlu diperiksa lebih lanjut atau perlu torakotomi.

Kontusio paru
Penyulit ini sering terjadi pada trauma dada dan potensial menyebabkan kematian. Proses,
tanda dan gejala mungkin berjalan pelan dan makin memburuk dalam 24 jam pasca
trauma. Kontusio paru terjadi pada kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi, jatuh
dari tempat yang tinggi dan luka tembak dengan peluru cepat (high velocity).
Tanda dan gejala :
 Sesak nafas / dyspnea
 Hipoksemia
 Tachikardia
 Suara nafas berkurang atau tak terdengar di sisi kontusio
 Patah tulang iga
 Cyanosis

Luka dada terbuka atau luka yang menghisap udara (sucking)


Perlukaan pada dinding dada ini menyebabkan paru kolaps karena terpapar pada tekanan
udara luar. Selanjutnya mediastinum akan terdorong ke sisi yang sehat. Keadaan ini harus
segera ditolong karena cepat menyebabkan kematian. Gunakan selembar plastik yang
diplester pada tiga sisinya untuk menutup luka terbuka tersebut sebagai katup penahan
udara masuk.
Lakukan hal ini sampai korban tiba di rumah sakit. Selanjutnya dilakukan pemasangan
pipa toraks, intubasi trakhea dan pernafasan buatan tekanan positif.

Cedera lain tersebut dibawah ini juga dapat terjadi pada trauma tetapi angka kematiannya
sangat tinggi meskipun dikelola di pusat rujukan / rumah sakit dengan sarana lengkap.
Uraian berikut hanya untuk tujuan pendidikan.

Kontusio miokard
Penyulit ini dapat menyebabkan kematian mendadak pasca trauma. Terjadi pada trauma
tumpul dada yang disertai fraktur sternum atau iga. Diagnosa ditunjang oleh kelainan
ECG dan peningkatan kadar serum enzim jantung pada pemeriksaan serial. Kontusio
miokard ini dapat menyerupai keadaan infark miokard. Perawatan pasien memerlukan
observasi dengan pemantauan ECG.

Waspadalah, Kontusioo paru perlahan-lahan menyebabkan fungsi nafas memburuk.

13
Tamponade perikard
Luka tembus / tusuk jantung adalah penyebab kematian utama pada daerah perkotaan.
Tamponade jarang terjadi akibat trauma tumpul. Terapinya adalah pericardio-centesis
yang dikerjakan segera jika pasien menunjukkan :
 Syok
 Vena leher menggembung (distended)
 Ekstretimas dingin tetapi tidak ada pneumotoraks
 Suara jantung lemah / sunyi

Cedera pada pembuluh darah besar


Cedera pada vena atau arteria pulmonalis sering fatal dan merupakan penyebab utama
kematian korban di tempat kejadian.

Ruptura trakhea atau bronkhus utama


Angka kematian akibat penyulit ini adalah 50 %. Ruptura bronkhi 80% terjadi 2,5 cm di
sekitar carina.Tanda-tanda :
 Batuk darah / hemoptysis
 Sesak nafas
 Emfisema subkutan dan mediastinum
 Sianosis

Trauma esofagus
Jarang terjadi pada trauma tumpul. Luka tusuk yang merobek esofagus akan
menyebabkan kematian karena mediastinitis. Keluhan pasien berupa nyeri tajam yang
mendadak di epigastrium dan dada yang menjalar ke punggung. Sesak nafas, sianosis dan
syok muncul pada fase yang sudah terlambat.

Cedera diafragma
Terjadi cukup sering pada trauma tumpul dada. Diagnosis sering terlewat, karena itu
cedera diafragma harus dicurigai terjadi pada semua luka tusuk dada yang :
 Dibawah ICS 4 anterior.
 Didaerah ICS 6 lateral
 Didaerah ICS 8 posterior
 Lebih sering terjadi pada sisi kiri

Ruptura aorta thoracalis


Penyulit ini dapat terjadi akibat gaya deselerasi yang besar seperti pada tabrakan mobil
kecepatan tinggi atau jatuh dari tempat yang tinggi. Angka kematian yang tinggi dapat
dimengerti karena cardiac output dewasa adalah 5 liter/menit dan jantung memompa 5
liter/menit

Waspadailah tamponade perikard pada luka tusuk dada


14
TRAUMA ABDOMINAL
Pada trauma ganda, abdomen merupakan bagian yang tersering mengalami cedera. Organ
yang tersering cedera pada trauma tembus adalah hepar/hati dan pada trauma tumpul
adalah lien/limpa.

Evaluasi awal terhadap pasien trauma abdominal harus menyertakan A (airway


and C-spine), B (breathing), C (Circulation), dan D (disability dan penilaian
neurologis) dan E (exposure).

Seorang pasien yang terlibat kecelakaan serius harus dianggap cedera abdominal sampai
terbukti lain. Cedera abdominal yang tidak diketahui masih merupakan sebab tersering
dari kematian yang dapat dicegah (preventable death) setelah trauma.

Ada dua jenis dari trauma abdominal :


I. Trauma penetrasi dimana penting dilakukan konsultasi bedah sbb.:
A. Luka tembak
B. Luka tusuk

II. Trauma non-penetrasi sbb.:


A. Kompresi
B. Hancur (crash)
C. Sabuk pengaman (seat belt)
D. Cedera akselerasi / deselerasi.

Sekitar 20% dari pasien trauma dengan hemoperitoneum akut tidak menunjukkan tanda
dari rangsang peritoneum pada saat pemeriksaan pertama. Diagnosis baru ditemukan pada
SURVAI PRIMER ULANGAN.

Trauma tumpul menjadi sulit dievaluasi bila pasien tidak sadar. Pasien ini mungkin
memerlukan peritoneal lavage. Laparatomi eksplorasi merupakan prosedur definitif
terbaik untuk menyingkirkan kemungkinan trauma abdominal.

Pemeriksaan fisik abdomen yang lengkap termasuk pemeriksaan rektum, menilai:

I. Tonus sfinkter anus


II. Integritas dinding rektum
III. Darah dalam rektum
IV. Posisi prostat.

Jangan lupa memeriksa apakah ada darah di meatus uretra eksterna.

Pemasangan kateter buli-buli adalah penting.( hati-hati pada cedera pelvis)

15
Wanita harus dianggap hamil sampai terbukti lain. janin mungkin masih dapat
diselamatkan. Pengobatan terhadap fetus adalah melakukan resusitasi terhadap ibunya.
Seorang ibu yang hamil cukup bulan (at term), biasanya baru dapat diresusitasi setelah
bayinya dilahirkan. Situasi sulit ini harus dinilai pada saat itu.

Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) dapat membantu menemukan adanya darah atau
cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat amat membantu. Tetapi DPL ini hanya
alat diagnostik. Bila ada keraguan, kerjakan laparatomi (gold standard).

Indikasi untuk melakukan DPL sbb.:

 Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya


 Trauma pada bagian bawah dari dada
 Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas
 Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak)
 Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang)
 Patah tulang pelvis

Kontra indikasi relatif melakukan DPL sbb.:

 Hamil
 Pernah operasi abdominal
 Operator tidak berpengalaman
 Bila hasilnya tidak akan merubah penata-laksanaan

Problem spesifik lain pada trauma abdominal :

Patah tulang pelvis sering disertai cedera urologis dan perdarahan masif.
 Pemeriksaan rektum penting untuk mengetahui posisi prostat dan adanya darah
atau laserasi rektum atau perineum.
 Foto ronsen pelvis ( bila diagnosaklinis sulit ditegakkan).

Penata-laksanaan patah tulang pelvis termasuk :

 Resusitasi (ABC)
 Transfusi
 Imobilisasi dan penilaian untuk operasi
 Analgesik

Patah tulang pelvis sering menyebabkan perdarahan masif

16
TRAUMA KEPALA

Keterlambatan pengelolaan dini pasien trauma kepala sangat buruk akibatnya pada
kesembuhan. Hipoksia dan hipotensi menyebabkan angka kematian dua kali lebih
banyak.
Keadaan-keadaan berikut ini sangat membahayakan jiwa tetapi sulit diatasi di rumah sakit
daerah. Kita harus menangani kasus dengan hati-hati dan disesuaikan dengan
kemampuan, fasilitas dan jumlah korban.

Patologi berikut ini harus cepat di kenali dan dikelola dengan baik:

 Perdarahan ekstradural (epidural) akut - dengan tanda klasik sebagai berikut:


 hilangnya kesadaran (menurun dengan cepat) setelah suatu masa bebas (lucid
interval)
 perdarahan arteria meningea media dengan peningkatan cepat dari tekanan
intrakranial
 timbulnya kelumpuhan (hemiparesis) pada sisi yang berlawanan dengan sisi
trauma
 timbulnya pupil yang fixed (tidak ada reaksi cahaya) pada sisi yang sama dengan
tempat trauma.

 Perdarahan subdural akut - terjadi akibat robeknya vena yang melintang antara
korteks dan dura. Bekuan darah dalam rongga subdural disertai dengan Kontusio
jaringan otak di bawahnya.

Kedua keadaan tersebut diatas memerlukan pembedahan dan harus diupayakan


dekompresi dengan burr-hole.

Keadaan di bawah ini memerlukan pengelolaan medik konservatif, karena pembedahan


tidak akan membawa hasil lebih baik.

 Fraktura basis cranii - ditandai adanya memar biru hitam pada kelopak mata
(Racoon eyes) atau memar diatas prosesus mastoid (Battle‟s sign) dan atau kebocoran
cairan serebrospinalis yang menetes dari telinga atau hidung.

 Comotio cerebri - ditandai dengan gangguan kesadaran temporer

 Fraktura depresi tulang tengkorak - dimana mungkin ada pecahan tulang yang
menembus dura dan jaringan otak

 Hematoma intracerebral - dapat disebabkan oleh kerusakan akut atau progresif


akibat contusio.

17
Kesalahan yang sering terjadi pada waktu evaluasi trauma kepala dan resusitasi adalah:

 kegagalan melakukan ABC dan menetapkan prioritas pengelolaan


 kegagalan menemukan patologi lain disamping trauma kepala
 kegagalan menilai keadaan neurologis awal
 kegagalan evaluasi ulang kondisi pasien yang memburuk.

Pengelolaan trauma kepala

Stabilisasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi harus segera dilakukan (usahakan
imobilisasi tulang leher). Tanda-tanda fungsi vital dan derajad kesadaran (Glasgow Coma
Score/GCS) harus dicatat berulang-ulang. Lihat Appendix 4.

Ingat:
 trauma kepala berat jika GCS  8
 trauma kepala sedang jika GCS antara 9 dan 12
 trauma kepala ringan jika GCS  13

Keadaan dapat memburuk akibat perdarahan

 pupil dilatasi atau anisokor menandakan peningkatan tekanan intrakranial


 trauma kepala tidak pernah menyebabkan hipotensi pada pasien dewasa
 obat sedatif harus dihindari karena selain memperburuk derajat kesadaran juga
menyebabkan hiperkarbia (nafas lambat dengan retensi CO2)
 peningkatan tekanan intrakranial yang fatal ditandai respons Cushing yang spesifik
yaitu : bradikardia, hipertensi dan nafas lambat
Keadaan ini sudah sangat lambat dan prognosisnya jelek

Pengelolaan medik dasar untuk trauma kepala berat meliputi:

 intubasi dan hiperventilasi agar tercapai hipokapnia sedang (pCO2 33 -35 mmHg)
hingga volume darah di otak menurun dan tekanan intrakranial juga menurun untuk
sementara
 obat sedatif dan mungkin disertai obat pelumpuh otot
 cairan infus dibatasi, jangan sampai overload, kalau perlu diberikan diuretika.
 posisi head up 20
 cegah hipertermia

18
TRAUMA SPINAL (TULANG BELAKANG)
Kejadian kerusakan syaraf akibat trauma ganda ternyata lebih sering daripada yang
diperkirakan. Kerusakaan yang sering terjadi adalah pada syaraf jari, plexus brachialis
dan sumsum tulang belakang (medula spinalis).

Prioritas pengelolaan selalu mengikuti Primary Survey serta urutan ABCDE :


 A-Airway, membebaskan jalan nafas dengan melindungi tulang leher (cervical spine)
 B-Breathing, bantuan pernafasan
 C-Circulation, bantuan untuk sirkulasi dan pemantauan tekanan darah
 D-Disability, pemantauan kesadaran dan kerusakan syaraf pusat
 E-Exposure, melepas baju pasien untuk memeriksa secara lengkap semua kerusakan
pada tubuh dan ekstremitas.

Pemeriksaan korban trauma tulang belakang harus dilakukan dalam posisi netral (tanpa
melakukan fleksi, ekstensi dan rotasi pada tulang belakang).

 Pasien hanya boleh dibalik atau dimiringkan dengan cara “log-rolling”


Harus dilakukan imobilisasi sebaik-baiknya dengan cara in-line immobilization,
memasang stiff cervical collar dan bantal pasir di kiri kanan kepala.
 Transportasi korban dilakukan dalam posisi netral

Bila terdapat trauma tulang belakang (yang mungkin disertai) kerusakan sumsum tulang
belakang, periksalah :

 Apakah ada nyeri tekan.


 Deformitas dan tanda “step-off” posterior
 Pembengkakan

Tanda klinis yang menyertai kerusakan akibat trauma tulang leher adalah :

 Kesukaran bernafas (pola nafas diafragma, pola nafas paradoksal)


 Kelumpuhan otot dan hilangnya refleks (periksa sfinkter ani)
 Hipotensi dengan bradikardia.

Jika tersedia alat sinar X maka foto tulang leher dilakukan pada posisi AP dan posisi
lateral yang menampakkan sendi atlas-axis dan tujuh ruas tulang leher.

Perhatian :
 Jangan memindahkan / membawa pasien dengan dugaan trauma tulang leher
pada posisi duduk atau tengkurap
 Pastikan dulu pasien dalam kondisi stabil sebelum transportasi.

19
Evaluasi fungsi neurologis

Untuk evaluasi berat dan luasnya cedera, jika pasien sadar tanyakan dengan jelas apa
yang dirasakan dan minta pasien untuk melakukan gerakan agar dapat dievaluasi fungsi
motorik dari ekstremitas atas dan bawah.

Respons motorik

 Diafragma berfungsi normal C3, C4, C5


 Mengangkat bahu C4
 Fleksi siku (biceps) C5
 Ekstensi pergelangan tangan C6
 Ekstensi siku C7
 Fleksi pergelangan tangan C7
 Abduksi jari tangan C8
 Membusungkan dada T1-T12
 Fleksi panggul L2
 Ekstensi lutut L3-L4
 Fleksi dorsal pergelangan kaki L5-S 1
 Fleksi plantar pergelangan kaki S1-S2

Respons sensorik

 Paha anterior L2
 Lutut anterior L3
 Pergelangan kaki anterolateral L4
 Jempol kaki dan jari kedua dorsal L5
 Kaki lateral S1
 Betis posterior S2
 Perineum S2-S5

Jika fungsi motor dan sensor menunjukkan cedera total dari medula spinalis maka
kemungkinan sembuh sangat kecil.

Hilangnya fungsi otonomik pada cedera medula spinalis terjadi dengan cepat tetapi
kembalinya sembuh sangat pelahan

20
TRAUMA EKSTREMITAS (ANGGOTA GERAK)
Pemeriksaan harus meliputi :

 warna dan suhu kulit


 perabaan nadi distal
 tempat-tempat yang berdarah
 deformitas ekstremitas
 gerakan ekstremitas secara aktif dan pasif
 gerakan ekstremitas yang tak wajar dan adanya krepitasi
 derajat nyeri bagian yang cedera

Pengelolaan cedera ekstremitas harus ditujukan pada :

 memelihara aliran darah ke jaringan perifer


 mencegah infeksi dan nekrosis kulit
 mencegah kerusakan pada syaraf perifer

Masalah-masalah khusus

 Hentikan perdarahan aktif dengan cara menekan langsung pada bagian yang berdarah.
Pemakaian torniket lebih merugikan karena jika terlupa untuk melonggarkan akan
mengakibatkan ischemia yang merusak jaringan.
 Fraktur terbuka. Setiap luka yang berada dekat fraktur harus dianggap sebagai
luka-luka yang saling berhubungan. Prinsip pengobatan meliputi :
- menghentikan perdarahan eksternal
- immobilisasi dan mengatasi nyeri
 Sindroma kompartemen disebabkan oleh kenaikan tekanan internal pada
kompartemen fascia. Tekanan ini mendesak / menekan pembuluh darah dan syaraf
tepi. Perfusi menjadi kurang, serat syaraf rusak dan akhirnya terjadi iskemia atau
bahkan nekrosis otot.
 Bagian ekstremitas yang teramputasi harus ditutup kasa steril yang dibasahi
NaCl 0,9% kemudian dibungkus dengan kantong plastik steril. Potongan ekstremitas
ini dapat dipertahankan sampai 6 jam tanpa pendinginan, sedang jika didinginkan
dapat bertahan sampai 18 – 20 jam.

Benda asing yang menembus tubuh sampai dalam, harus dibiarkan tetap ditempatnya
sampai dilakukan eksplorasi di kamar bedah

21
Terapi Pendukung untuk cedera ekstremitas : Fasciotomi dini

Akibat dari sindroma kompartemen sering diabaikan:

 Kerusakan jaringan akibat hipoksemia: Sindroma kompartemen dengan


peningkatan tekanan intramuskuler (IM) dan kolaps aliran darah lokal sering
terjadi pada cedera dengan hematoma otot, cedera remuk (crushed), fraktur atau
amputasi. Bila tekanan perfusi (tekanan darah sistolik) rendah, sedikit saja
kenaikan tekanan IM dapat menyebabkan hipoperfusi lokal. Pada pasien
normotermik, shunting aliran darah mulai terjadi pada tekanan sistolik sekitar 80
mmHg. Sedang pada pasien hipotermik shunting terjadi pada tekanan darah lebih
tinggi.
 Kerusakan akibat reperfusi adalah lebih buruk : Jika hipoksemia lokal (tekanan IM
tinggi, tekanan darah rendah) berlangsung lebih dari 2 jam, reperfusi dapat
menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang ekstensif. Pada kasus-kasus
ekstremitas dengan syok berkepanjangan, kerusakan akibat reperfusi sering lebih
buruk dibanding cedera primernya. Karena itu dekompresi harus dikerjakan lebih
awal, terutama kompartemen di lengan atas dan tungkai bagian bawah.

Jika sumber perdarahan dapat dikuasai, kami menganjurkan fasciotomi untuk


kompartemen lengan atas dan tungkai bawah dikerjakan di lokasi kejadian jika
waktu untuk evakuasi mencapai 4 jam atau lebih.
Fasciotomi harus dapat dikerjakan oleh setiap dokter atau perawat terlatih dengan
anestesia ketamine.

22
KASUS TRAUMA KHUSUS
Pasien Anak :

Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak, terutama anak laki. Angka
survival trauma berat sangat dipengaruhi oleh kualitas pertolongan pra rumah sakit dan
kecepatan resusitasi.

Penilaian awal (Initial Assessment) pada pasien trauma anak sama seperti trauma dewasa.
Prioritas utama adalah : Airway, Breathing, Circulation , Disability neurologis dan
Exposure (pemeriksaan lengkap dari ujung kepala sampai ujung kaki).
Selama pemeriksaan harus diwaspadai bahaya hipotermi.

Masalah khusus pada resusitasi dan intubasi anak :


 Ukuran kepala, lubang hidung dan lidah yang relatif besar.
 Bayi kecil cenderung bernafas melalui hidung ( nose breather)
 Sudut rahang bawah lebih besar, letak larynx lebih tinggi serta epiglottis yang lebih
besar dan berbentuk U.
 Cricoid adalah bagian tersempit dari larynx yang menentukan ukuran ETT. Pada
orang dewasa, bagian tersempit adalah pita suara.
 Panjang trakea bayi aterm adalah 4 cm dan diameter ETT yang sesuai adalah 2,5 - 3
mm (panjang trakea dewasa sekitar 12 cm).
 Distensi lambung sering terjadi setelah resusitasi dan perlu dekompresi dengan
pemasangan NGT (Naso-Gastric Tube).

Pada anak usia kurang dari 10 tahun, jangan menggunakan ETT dengan cuff (balon)
untuk menghindari pembengkakan subglottis dan ulserasi. Pada bayi dan anak, intubasi
oral lebih mudah dibandingkan intubasi nasal .

Syok pada anak :


Perabaan denyut nadi anak mudah dilakukan pada daerah pelipatan paha (groin) untuk
arteria femoralis dan pada daerah fossa antecubiti untuk arteria brachialis. Jika denyut
nadi tidak teraba maka resusitasi harus segera dimulai.

Tanda-tanda syok pada anak :


 Takhikardiaa.
 Denyut nadi perifer lemah atau tidak teraba.
 Pengisian kapiler (capillary refill ) > 2 detik

Prinsip pengelolaan pasien anak sama dengan orang dewasa

23
 Takhipnea.
 Gelisah
 Kesadaran menurun
 Produksi urine berkurang.

Hipotensi sering merupakan tanda klinis yang terlambat, ketika syok sudah berat.

Akses vaskuler dilakukan dengan kateter I.V. ukuran besar di dua vena yang terpisah
(v. saphena longus dan v. femoralis). Gunakan vena perifer lebih dahulu, hindari vena
sentral

Akses intraoseus adalah aman dan cukup efektif. Bila tidak tersedia jarum khusus
intraoseus, dapat digunakan jarum spinal ukuran besar. Tempat pemasangan adalah
daerah antero medial tibia dibawah tuberositas tibia. Hindari menusuk daerah epiphyseal
growth plate.

Pemberian cairan ditujukan agar diuresis mencapai 1-2 ml/kg BB pada bayi dan 0,5 – 1
ml/kg BB pada anak/ remaja.
Dimulai dengan bolus NaCl 0,9% 20 ml/kg BB..Bila tidak ada respons, berikan bolus
kedua dengan jumlah yang sama. Bila tetap tidak ada respons, berikan darah dari
golongan yang sama atau PRC golongan O sebanyak 10 ml/kg BB.(sebaiknya Rh (-))

Hipothermi adalah masalah yang besar bagi anak. Kehilangan panas melalui daerah
kepala cukup besar jumlahnya. Luas permukaan tubuh yang relatif lebih besar,
meningkatkan risiko hipotermi. Segera setelah memeriksa sekujur tubuh pasien
pasangkan selimut kembali. Infusi cairan harus dihangatkan.

Anak harus dijaga tetap hangat dan dekat dengan keluarga.

24
Kehamilan

Prioritas ABCDE bagi pasien hamil yang mengalami trauma adalah sama dengan pasien
yang tidak hamil.

Ada beberapa perubahan anatomi dan fisiologi pada kehamilan yang sangat besar
pengaruhnya pada pengelolaan trauma

Perubahan anatomi
 Uterus yang membesar mudah mengalami kerusakan akibat benturan dan tusukan
 pada kehamilan 12 minggu fundus uteri berada setinggi symphisis pubis
 pada kehamilan 20 minggu fundus uteri berada setinggi umbilicus
 pada kehamilan 36 minggu fundus uteri berada setinggi xiphoid
 Janin dilindungi oleh ketebalan dinding uterus dan cairan amnion (air ketuban)

Perubahan fisiologi
 Kenaikan tidal volume dan respiratory alkalosis
 Kenaikan denyut jantung
 Kenaikan cardiac output 30%
 Penurunan tekanan darah 15%
 Pada trimester ke III sering terjadi hipotensi pada waktu berbaring terlentang karena
kompresi (penekanan) aortocaval.

Catatan khusus
 Trauma tumpul akan berakibat:
 Kontraksi otot rahim dan terjadinya kelahiran prematur
 Ruptura uteri partial atau total
 Lepasnya placenta sebagian atau total (dapat terjadi sampai dengan 48jam)
 Jika ada fraktur pelvis perdarahannya akan sangat banyak

Prioritas pengelolaannya
 Evaluasi ABCDE dari ibu
 Resusitasi ibu dengan posisi berbaring miring ke kiri (sisi kanan berada diatas) untuk
menghindari kompresi aortocaval
 Cari sumber perdarahan vagina dengan pemeriksaan spekulum dan dilatasi cervix
 Periksa tinggi fundus uteri, apakah ada nyeri tekan dan pantau detak jantung janin

Resusitasi pada ibu berarti menyelamatkan bayinya. Pada saat jiwa ibu dalam bahaya,
janin dapat dikorbankan untuk menyelamatkan ibu.

Resusitasi pasien hamil yang mengalami trauma harus menghindari kompresi


aortocaval. Gunakan posisi left lateral tilt (sisi kanan diatas)
25
Luka bakar

Pasien luka bakar dikelola dengan urutan prioritas seperti pasien trauma lainnya.
Penilaian meliputi :
Airway, Breathing (waspada terhisapnya gas panas / asap dan kerusakan jalan
nafas), Circulation (penggantian cairan), Disability (compartement syndrome),
Exposure (persen luas luka bakar)

Penyebab luka bakar perlu diketahui seperti api, air panas, parafin, minyak dsb.Luka
bakar akibat listrik sering lebih parah daripada penampakannya semula. Ingat bahwa
kerusakan kulit dan otot dapat menyebabkan gagal ginjal.

Pengelolaan :
 Hentikan proses kebakaran / pemanasan
 ABCDE dan tentukan luas luka bakar (rule of 9)
 Pasanglah jalur infus yang lancar pada vena besar untuk segera memberikan cairan.

Hal-hal khusus pasien luka bakar


Hal-hal berikut adalah petunjuk adanya kemungkinan cedera jalan nafas dan gangguan
pernafasan :
 Luka bakar sekeliling mulut
 Luka bakar pada wajah atau adanya rambut / rambut hidung / alis yang terbakar
 Suara serak dan batuk
 Adanya edema glottis
 Luka bakar yang dalam dan melingkar leher atau dada

Intubasi naso tracheal atau endotracheal harus dilakukan terutama bila pasien
menunjukkan tanda suara parau yang berat, kesulitan menelan ludah, nafas menjadi cepat
setelah pasien mengalami inhalation injury (cedera inhalasi / asap)

Kebutuhan cairan elektrolit minimal 2 - 4 cc / kg BB / % luas luka bakar / 24 jam


diperlukan untuk menjaga volume sirkulasi yang adekuat dan produksi urine cukup.
Jumlah tersebut diatas diberikan dengan cara :
 50 % diberikan dalam 8 jam pertama pasca luka bakar
 50 % sisanya diberikan dalam 24 jam agar tercapai urine 0.5 - 1.0 ml / kg / jam

Berikan juga terapi berikut:


 Analgesia
 Kateter urine jika luas luaka bakar lebih dari 20 %
 Pipa nasogastrik
 Pencegahan tetanus.

Manifestasi klinik cedera inhalasi mungkin belum muncul dalam 24 jam

26
TRANSPORTASI PASIEN KRITIS
Transportasi pasien-pasien kritis ini berisiko tinggi sehingga diperlukan komunikasi yang
baik perencanaan dan tenaga-tenaga kesehatan yang sesuai. Pasien harus distabilisasi
lebih dulu sebelum diberangkatkan. Prinsipnya pasien hanya ditransportasi untuk
mendapat fasilitas yang lebih baik dan lebih tingggi di tempat tujuan.

Perencanaan dan persiapan meliputi :


 Menentukan jenis transportasi (mobil, perahu, pesawat terbang)
 Menentukan tenaga keshatan yang mendampingi pasien
 Menentukan peralatan dan persediaan obat yang diperlukan selama perjalanan baik
kebutuhan rutin maupun darurat
 Menentukan kemungkinan penyulit
 Menentukan pemantauan pasien selama transportasi

Komunikasi yang efektif sangat penting untuk menghubungkan :


 Rumah sakit tujuan
 Penyelenggara transportasi
 Petugas pendamping pasien
 Pasien dan keluarganya

Untuk stabilisasi yang efektif diperlukan :


 Resusitasi yang cepat
 Menghentikan perdarahan dan menjaga sirkulasi
 Imobilisasi fraktur
 Analgesia

Ingat :
Jika kondisi pasien memburuk lakukan evaluasi ulang dengan survey primer, berikan
terapi yang adekuat untuk kondisi yang mengancam jiwa dan nilailah kembali fungsi
organ yang terganggu dengan lebih teliti.

Be prepared : If anything can go wrong, it will, and at the worst possible time

27
Appendix 1 : Teknik Pengelolaan Jalan Nafas
Teknik Dasar

 Chin Lift dan Jaw Thrust


Chin lift : Letakkan dua jari dibawah tulang dagu, kemudian hati-hati angkat keatas
hingga rahang bawah terangkat ke depan. Selama tindakan ini, perhatikan leher
jangan sampai menengadah berlebihan (hiper - ekstensi)
Jaw Thrust : doronglah sudut rahang bawah (angulus mandibulae) ke depan hingga
rahang bawah terdorong ke depan. Ingat bahwa kedua tindakan tersebut diatas bukan
jalan nafas definitif sehingga penyumbatan (obstruksi) ulang dapat terjadi.

 Pipa Orofarings
Alat ini dimasukkan mulut agar ujungnya berada dibelakang lidah. Pertama alat
dimasukkan dengan lengkungan menghadap ke langit-langit. Setelah masuk separuh
panjangnya, alat diputar 180 derajad hingga lengkungannya sekarang berada
menempel lengkungan lidah. Tujuan : lidah tertahan tidak jatuh ke belakang
menutupi hipofarings.
Alat ini dapat merangsang muntah pada pasien yang sadar / setengah sadar.
Hati-hati memasang alat ini pada anak karena dapat melukai jaringan lunak.

 Pipa Nasofarings
Pipa ini dipasang melalui lubang hidung (harus diberi pelicin). Dorong hati-hati
hingga ujung pipa terletak di orofarings. Alat ini lebih dapat diterima oleh pasien
daripada pipa orofarings. (Hati-hati memasang alat ini jika ada fraktura basis cranii
sebab bisa salah arah masuk dasar tengkorak).

Tehnik Lanjutan

 Intubasi orotrakhea
Prosedur ini dapat mengakibatkan hiperekstensi leher. Pada pasien cedera tulang leher
diperlukan seorang untuk membantu memegangi kepala agar leher dapat di
pertahankan lurus (imobilisasi pada posisi in-line).
Penekanan krikoid (cara Sellick) diperlukan pada kasus yang diduga lambungnya
penuh. Segera setelah pipa masuk, cuff / balon harus segera ditiup. Kemudian segera
periksa apakah ujung pipa trakhea sudah tepat (diatas carina) dengan mendengarkan
adanya suara nafas yang simetris pada kedua sisi paru.

Ingat : pasien trauma muka dan leher


sangat mudah mengalami sumbatan jalan nafas

28
Intubasi Trakhea juga harus dilakukan agar :

 Jalan nafas terjamin bebas dan terlindung dari aspirasi.


 Dapat diberikan oksigen kadar tinggi (tidak tercapai dengan cara masker / sungkup).
 Ventilasi lebih baik dan mencegah hiperkarbia.

Jika usaha intubasi tidak berhasil setelah 30 detik, pasien harus diberi ventilasi oksigen
(100%) dulu sebelum mencoba untuk intubasi lagi.

Ingat : pasien meninggal karena hipoksia bukan karena tidak terpasangnya pipa
endotrakhea

 Krikotiroidotomi

Tindakan ini dilalukan jika pasien tidak dapat diintubasi dan tidak dapat diberi ventilasi
melalui mulut. Setelah membran krikotiroid dapat diraba, lakukan irisan pada kulit
hingga menembus membran krikotiroid tersebut. Kemudian irisan dilebarkan dengan
forsep / klem arteria.
Masukkan pipa endotrakeal kecil (4 - 6 mm) atau pipa trakheostomi kecil, lalu lakukan
fiksasi.

29
Appendix 2 : Nilai-nilai Fisiologis pada anak.

Variabel Neonatus 6 Bulan 12 Bulan 5 Tahun Dewasa

Laju nafas RR/mnt 50  10 30  5 24  6 23  5 12  3

Tidal Volume (ml) 21 45 78 270 575

Minute Vent (L/min) 1.05 1.35 1.78 5.5 6.4

Hematocrit 55  7 37  3 35  2.5 40  2 43 - 48

Arterial pH 7.3 – 7.4 7.35 – 7.45 7.35 – 7.45

Usia Denyut Jantung Tekanan Darah Sistolik


(per menit) (mmHg)

0 – 1 tahun 100-160 60-90

1 tahun 100-170 70-90

2 tahun 90-150 80-100

6 tahun 70-120 85-110

10 tahun 70-110 90-110

14 tahun 60-100 90-110

Dewasa 60-100 90-120

Sistem Respirasi, Ukuran ETT dan Penempatannya.

Umur Berat Laju Nafas Ukuran ETT ETT


(Kg) ETT pada bibir (cm) pada hidung(cm)

Neonatus 1.0-3.0 40-50 3.0 5.5-8.5 7-10.5


Neonatus 3.5 40-50 3.5 9 11
3 Bulan 6.0 30-50 3.5 10 12
1 Tahun 10 20-30 4.0 11 14
2 Tahun 12 20-30 4.5 12 15
3 Tahun 14 20-30 4.5 13 16
4 Tahun 16 15-25 5.0 14 17
6 Tahun 20 15-25 5.5 15 19
8 Tahun 24 10-20 6.0 16 20
10 Tahun 30 10-20 6.5 17 21
12 Tahun 38 10-20 7.0 18 22

30
Appendix 3 : Parameter Kardiovaskular

Kehilangan Denyut Tekanan Capill Nafas Urine Kesadaran


Darah jantung darah refill ml/jam

< 750 ml <100 normal normal normal >30 normal

750-1500 ml >100 systolic lambat 20-30 20-30 menurun


normal

1500-2000 ml > 120 turun lambat 30-40 5-15 gelisah/


bingung

> 2000 ml >140 turun lambat > 40 < 10 gelisah

31
Appendix 4 : Glasgow Coma Scale

Fungsi Respons Skor

MATA (4) Buka spontan 4


Buka diperintah 3
Buka dengan rangsang nyeri 2
Tidak ada respons 1

BICARA (5) Normal 5


Bingung 4
Kata-kata kacau 3
Suara tak menentu 2
Diam 1

Motorik (6) Dapat diperintah 6


Dapat menunjuk tempat nyeri 5
Fleksi normal terhadap nyeri 4
Fleksi abnormal terhadap nyeri 3
Ekstensi terhadap nyeri 2
Tak ada respons 1

32
Appendix 5: Cardiac Life Support
PERTAMA SEKALI : PASTIKAN KESELAMATAN PASIEN & ANDA SENDIRI

PERIKSA RESPON PASIEN ADA PERIKSA DAN


ATASI CEDERA
TIDAK
A. BUKA JALAN NAPAS
(JAW THRUST BILA? C-SPINE)

B. PERIKSA PERNAPASAN ADA POSISI RECOVERY

TIDAK

BERI DUA NAPAS


YANG EFEKTIF

ADA
C. PERIKSA SIRKULASI
LANJUTKAN USAHA
PERNAPASAN 10 X/MENIT
TIDAK
MULAI PIJAT JANTUNG
100x / MENIT PERIKSA ULANG SIRKULASI
5:1 TIAP MENIT
2 PENOLONG BILA TIDAK ADA,
15:2 MULAI PIJAT JANTUNG
(1 PENOLONG) BILA TERSEDIA
BERI OKSIGEN
PANTAU ECG VIA
DEFIBRILATOR
EVALUASI IRAMA
VF/VT NON VF/VT
BILA TERSEDIA (ASISTOLE/EMD)
INTUBASI & PASANG INFUS
DEFIBRILASI 3 X ADRENALIN 1 mg
ATROPIN 3 mg untuk asistole 1 x saja RKP 3 MENIT
sesuai keperluan ADRENALIN 1 mg tiap 3 menit

ATASI PENYEBAB REVERSIBEL


RKP 1 MENIT HIPOKSIA NILAI ULANG
HIPOVOLEMIA
HIPOTERMIA
NILAI ULANG HIPER/HIPO KALEMIA
TENSION PNEUMOTHORAX
TAMPONADE JANTUNG
TOXIC (OBAT) 33
Appendix 6 : Respons Trauma

Jauh sebelum pasien trauma tiba di rumah sakit, peran masing-masing anggota tim
trauma harus sudah jelas dan dimengerti.

Anggota tim trauma (tergantung adanya dokter)

Idealnya adalah :

 Dokter gawat darurat yang tugas jaga menjadi ketua tim (team leader) atau tenaga
kesehatan lain yang berpengalaman.
 Perawat gawat darurat yang tugas jaga
 1 sampai 2 orang tenaga kesehatan bantuan lainnya

Ketika pasien datang evaluasi cepat harus segera dilakukan (TRIAGE). Triage ini
menetapkan prioritas penanganan pasien yang disesuaikan dengan keberadaan
 Tenaga kesehatan
 Sarana kesehatan

PERAN ANGGOTA TIM TRAUMA

KETUA TIM (DOKTER) (PERAWAT )

1. Koordinasi ABC 1. Membantu koordinasi resusitasi


2. Anamnesa pasien / keluarga 2. Menjadi penghubung dengan keluarga
3. Pemeriksaan sinar X (jika ada) pasien
4. Survey Sekunder 3. Memeriksa kelengkapan data :
5. Mempertimbangkan pencegahan titanus - Alergi
dan pemberian antibiotika - obat-obat yang dipakai
6. Memeriksa ulang pasien berkala - riwayat penyakit sebelumnya
7. Menyiapkan transportasi pasien - makan minum terakhir
8. Melengkapi rekam medik - kejadian trauma
4. Memberitahu staf perawatan di ruangan
lain.

34
Appendix 7: Rencana Aktivasi Tim Trauma

Kriteria
Pasien-pasien seperti berikut ini harus dievaluasi dengan lengkap :

Riwayat penyakit:
 Jatuh dari ketinggian > 3 meter
 kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan > 30 km/jam
 Terlempar dari atau terperangkap dalam kendaraan bermotor
 Adanya korban lain yang meninggal dalam kecelakaan tersebut
 Tabrakan antara mobil dengan pejalan kaki / sepeda / mobil lain atau
penumpang mobil tanpa mengenakan seat belt

Pemeriksaan :
Jalan nafas atau adanya distres nafas
 Tekanan darah < 100 mmHg
 GCS < 13/15
 Lebih dari satu daerah yang terluka
 Luka tusuk / tembus

Pengelolaan bencana
Perencanaan pengelolaan medik pada bencana harus dilakukan dengan baik. Bencana
adalah suatu keadaan dimana jumlah dan keberadaan sarana kesehatan di tempat itu tidak
lagi mampu mengatasi / mencukupi kebutuhan korban.

Rencana pengelolaan bencana harus meliputi :


1. Pelatihan dengan berbagai skenario-skenario bencana
2. Protap pengelolaan bencana :
a. Pengelolaan di tempat kejadian
b. Cara identifikasi petugas pokok
c. Triage trauma
3. Protap pengiriman tim medik dari rumah sakit
4. Kesepakatan untuk pihak mana yang akan menangani / ikut berperan dalam bencana :
a. Ambulans
b. Polisi, tentara
c. Otoritas / kepala pemerintahan setempat / nasional / internasional
5. Protap prioritas evakuasi
6. Fasilitas evakuasi
7. Protap transportasi : jalan darat, jalan laut, terbang (heli, pesawat lain)
8. Protap / strategi komunikasi

35
PANDUAN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF INTRAOSSEUS

Akses Cairan via Intra Osseus


1. Intraosseus
Melakukan pemasangan infus vena perifer pada pasien kritis mungkin akan
mengalami kesulitan dan memakan waktu yang lama. Kesulitan terjadi karena
ketebalan jaringan subkutan apa lagi pada anak yang bertubuh gemuk, pembuluh
darah kolaps yang terjadi pada dehidrasi berat, shock atau henti jantung. Pemberian
obat melalui endotrachal tube mungkin tidak terabsorbsi dengan cepat selama kondisi
cardiorespiratory arrest. Dalam situasi seperti ini seringkali vena sentral adalah
pilihan utama, tetapi untuk melaukan akses vena sentral membutuhkan seorang
perawat ataupun dokter level advance, yang tidak selalu ada ditempat pada situasi
emergency selain itu memakan waktu lama dan menggangu aktivitas RJP terutama
bila yang hendak diakses adalah vena jugularis internal ataupun subclavia.
Di luar negeri penggunaan metoda ini sebenarnya sudah mulai dikemukakan dalam
jurnal medis tahun 1922, kemudian tahun 1940 beberapa penelitian dan studi kasus
mengemukakan cara ini dapat digunakan untuk memberikan transfusi, cairan dan
obat-obatan. Metode ini banyak digunakan terutama pada Perang Dunia II. Tetapi
sejak ditemukannya IV cath berbahan plastik, maka akses vena perifer dianggap jauh
lebih mudah, sehingga sampai tahun 1977 metode ini tidak pernah dibicarakan lagi.
Pada pertengahan ‟80 an dan ‟90 an review dan penelitian dilakukan kembali terhadap
metode IO karena ternyata petugas medis banyak mengalami kesulitan bahkan gagal
untuk mengakses vena perifer dan banyak nyawa yang tidak terselamatkan.
Berdasarkan data penelitian pemasangan infus intravena perifer membutuhkan waktu
tercepat (rata-rata 3 menit). Akan tetapi angka kesuksesan pemasangan infus
intravena perifer hanya 17%, dibandingkan dengan metode intraosseous angka
keberhasilannya 83%, metode venous cutdown (vena seksi) angka keberhasilan 81%,
dan 77% untuk akses vena central. Waktu yang dibutuhkan untuk
memasang intraosseous line 4,7 menit bahkan kurang bila dilakukan oleh paramedis
terlatih dan berpengalaman (waktu tercepat 1 menit), bandingkan dengan vena central
yang 8,4 menit dan 12,7 menit pada vena seksi. Penelitian pemasangan infus
intraoseous menunjukkan bahwa infus intraoseous aman dan efektif. Tindakan
ini dapat dilakukan juga pada pasien lebih besar yang dilakukan resusitasi dimana
akses vaskuler tidak bisa dilakukan.
IO hanya boleh dipasang tidak lebih dari 24 jam mengingat komplikasi yang dapat
ditimbulkan tetapi paling tidak dapat menjadi alternatif sampai akses vena perifer
ataupun sentral didapat.
a. Tinjauan Anatomi
Kanal medula tulang mempunya hubungan langsung dengan sistem pleksus vaskular
(pada ektremitas) sedangkan tulang sternum memiliki hubungan langsung dengan
azigus dan vena mammae internal. Anatomi dari tulang yang lazim menjadi target
pemasangan IO hampir sama.
Gambar 1 : Anatomi tulang

(Sumber : Blacka, 2010)

Gambar 2 : Anatomi intraosseus

(Sumber : Blacka, 2010)


b. Indikasi
Intraosseus diperlukan segera untuk resusitasi jika akses vaskuler tidak bisa dilakukan
atau terlambat bila dilakukan. Prosedur ini sangat bermanfaat pada kondisi pasien
anak yang mengalami henti jantung. Kondisi lain yang membutuhkan tindakan ini
antara lain : shock, trauma, dehidrasi berat, status epileptikus, atau berbagai kondisi
yang membutuhkan pemberian cairan, obat-obatan, atau tranfusi yang sifatnya segera.
c. Kontra Indikasi
Pada lokasi pemasangan intraosseous tidak boleh mengalami selulitis, abses dan luka
bakar. Fraktur tulang ipsilateral akan meningkatkan resiko ekstravasasi yang
mendorong terjadinya kompartemen sindrom dan nonunion pada fraktur tulang.
Kontra indikasi relatif pada kegagalan pemasangan intraosseous pada tulang yang
sama.
d. Alat-alat yang Dibutuhkan
Alat-alat yang diperlukan untuk pemasangan intraosseus antara lain :
1) Larutan povidone iodine
2) Anesthesia lokal
3) Lidocaine 1%
4) Jarum intraosseous
5) Syringe 5-10 ml
6) Infus set dan normal saline
7) Plester
8) Imobilisasi. e.
Persiapan Pasien
Berbagai persiapan pasien yang harus diperhatikan sebelum pemasangan intraosseus
antara lain :
1) Jelaskan ke pasien/keluarga pasien tentang resiko dan keuntungan teknik ini.
2) Informed Consent.
3) Tentukan lokasi dengan palpasi.
4) Bersihkan kulit dengan povidone iodine.
5) Infiltrasi lokal anesthesi ke dalam kulit, jaringan subkutan dan jaringan
periosteum diatas tulang yang akan ditusuk.
f. Lokasi Pemasangan
1) Tibia Proximal
Tibia proximal lokasi yang paling sering digunakan pada pasien anak.
Gambar 3 : Lokasi pemasangan intraosseus pada tibia proximal
(Sumber : Blacka, 2010)
Titik yang ditunjukkan oleh gambar di atas merupakan titik masuknya jarum
intraosseus.
2) Tibia Distal
Tibia distal disarankan untuk intraosseous pada pasien dewasa.
Gambar 4 : Lokasi pemasangan intraosseus pada tibia distal
(Sumber : Blacka, 2010)
Titik yang ditunjukkan oleh gambar di atas merupakan titik masuknya jarum
intraosseus.
3) Humerus Proximal
Humerus proximal merupakan lokasi alternative untuk intraoseous akses.

Gambar 5 : Lokasi pemasangan intraosseus pada humerus proximal

(Sumber : Blacka, 2010)


g. Teknik Pemasangan
Teknik pemasangan intraosseus adalah sebagai berikut :
1) Periksa kelengkapan dan fungsi alat,
2) Tentukan lokasi dan imobilisasi dengan tangan yang tidak dominan.

Gambar 6 : Stabilisasi extremitas


(Sumber : Blacka, 2010)
3) Pegang jarum intraosseous dengan tangan yang dominan.
4) Masukkan jarum dengan cara tegak lurus atau sedikit angulasi 10o - 15o dari
panjang tulang.
Gambar 7 : Posisi jarum 90 derajat saat dimasukkan

(Sumber : Blacka, 2010)

5) Arah jarum selalu menjauhi growth plate untuk menghindari cidera.


6) Setelah menembus kulit dan jaringan subkutan, jarum akan kontak dengan tulang.
Untuk menembus koteks tulang jarum dimasukkan dengan cara memutar.

Gambar 8 : Posisi jarum yang tepat pada saat penusukan


(Sumber : Blacka, 2010)
7) Setelah jarum masuk intraosseous hentikan untuk mencegah over penetrasi.
8) Keluarkan stylet.
Gambar 9 : Cara mengeluarkan stylet

(Sumber : Blacka, 2010)


9) Aspirasi darah (mungkin tidak berhasil pada situasi resusitasi henti jantung)
untuk meyakinkan lokasi jarum sudah benar.
Gambar 10 : Teknik aspirasi
(Sumber : Blacka, 2010)
10) Hubungkan dengan cairan infus yang sudah disiapkan

Gambar 11 : Jarum dihubungkan dengan cairan infus dengan tekanan

(Sumber : Blacka, 2010)


11) Imobilisasi dan balut jarum dengan kasa steril.
Teknik Vena Section

Definisi
Tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan akses vena dengan cara
pembedahan yang dilakukan jika akses vena perifer sulit karena kollaps pembuluh
darah perifer (misalnya karena syok, dehidrasi) atau karena thrombosis vena
perifer setelah penusukan berulang atau diperlukan akses yang lebih besar
daripada vena perifer.1,2 Vena seksi juga dilakukan bila vena punksi sulit
dilakukan misalnya pada orang gemuk, bayi, atau bila semua tempat telah habis
terpakai vena punksi.1

Kegunaan dan fungsi1


1. Sebagai akses intra vena
2. Tranfusi
3. Infus
4. Nutrisi parenteral
5. Terapi parenteral
6. Kepentingan diagnostik

Posisi anatomi untuk melakukan vena section


1. Vena Saphena Magna
Vena saphena magna merupakan lanjutan dari ujung medial arcus
venosus dorsalis pedis dan berjalan ke atas tepat di depan malleolus medialis.
Kemudian vena berjalan ke atas bersama-sama dengan nervus saphenus, di
dalam fascia superficialis pada sisi medial tungkai bawah. Vena ini berjalan di
belakang lutut dan melengkung ke depan di sekitar sisi medial tungkai atas.
Vena ini menembus fascia profunda di bagian bawah hiatus saphenus untuk
bermuara ke vena femoralis kira-kira 4 cm di bawah dan lateral terhadap
tubercuium pubicum. Vena saphena magna mempunyai banyak katup dan
berhubungan dengan vena saphena parva rnelalui satu atau dua cabang yang
berjalan di belakang lutut. Sejumlah venae perforantes menghubungkan vena
saphena magna dengan vena-vena profunda sepanjang sisi medial betis.3,4

Venae yang Bermuara ke Vena Saphena Magna.


Vena saphena magna menerima sejumlah cabang vena subcutan, dan
ujungnya di dekat hiatus saphenus di dalam fascia profunda,vena saphena
magna menerima tiga cabang vena : 3,4
a) Vena circumflexa ilium superficialis.
b) Vena epigastrica superficialis.
c) Vena pudenda extelna superficialis.
Vena-vena ini diikuti oleh ketiga cabang arteria femoralis yang
terdapat di regio ini. Sebuah vena tambahan dikenal sebagai vena saphena
accessoria, biasanya bergabung dengan vena utama kira-kira di
pertengahan tungkai atas atau lebih ke atas pada hiatus saphenus. 3,4

Gambar 1.1. Lokalisasi vena saphena magna pada ekstremitas inferior.


sumber : Clinical Anatomy. 11th .2006.4
Gambar 1.2. Vena-vena superficialis ekstremitas inferior dextra. Terdapat pula vena perforates
yang berkatup dalam “pompa vena”.
sumber : Anatomi klinis berdasarkan sistem. 2012. 3
2. Vena Basilica
Vena basilica berasal dari pinggir medial arcus venosus dorsale manus
dan membelok di sekitar pinggir medial lengan bawah; kemudian vena ini
naik di dalam fascia superficialis pada permukaan posterior lengan bawah.
Tepat di bawah siku, pembuluh miring ke depan untuk mencapai fossa cubiti.
Kemudian vena berjalan ke atas di sisi medial musculus biceps brachii,
menembus fascia profunda dekat pertengahan lengan atas untuk bermuara ke
venae commitantes arteria brachialis unfuk membentuk vena axillaries. Vena
basilica menerima darah dari vena mediana cubiti dan beberapa aliran vena
lainnya dari permukaan medial dan posterior extremitas superior.3,4,5,6

Gambar 1.3. Vena superficialis lengan bawah.


sumber : Anatomi klinis berdasarkan sistem. 2012. 3
Alat-alat
Alat dan bahan yang perlu disediakan sama dengan tindakan bedah minor lainnya,
tambahannya adalah venocath (selang kateter vena) atau abbocath (needle vein
catheter) yang ukurannya disesuaikan dengan ukuran vena. 1,2

Teknik Operasi1,2
Jika menggunakan selang venocath1,2
1. Pasien dalam posisi terlentang, kalo anak-anak harus dipegang
2. Di disinfeksi atau diberi cairan antiseptik
3. Identifikasi lokasi vena saphen magna pada mata kaki. Vena berlokasi
pada titik 2 cm anterior dan superior dari malleolus medialis.
4. Lidocaine 1% diinfiltrasikan pada kulit pada area seluas 1 inchi sekitar
vena yang diincar.
5. Incisi kulit transverse 1,5-2cm sampai subkutis.
6. Dilakukan diseksi tumpul dengan menggunakan klem pean bengkok.
7. Identifikasi vena saphena magna
8. Vena dibebaskan dengan jaringan sekitarnya dengan klem sampai sekitar 3
cm (vena “telanjang”).
9. Luksir vena dari dasarnya dengan klem, kembali bebaskan dasar sepanjang
3 cm.
10. Masukan klem kebawah vena dan pasang benang silk 3-0 di distal dan
proksimal.
11. Daerah vena yang distal diikat dengan silk 3-0, sisakan benang sampai
panjang.
12. Vena sedikit ditarik, lalu dibuat incisi pada aspek anterior dengan bisturi
no 11.
13. Masukan venocath dengan bantuan pinset 3-5 cm.
14. Aspirasi dari ujung venocath untuk meyakinkan tidak ada tahanan dan
sekaligus menarik agar tidak ada udara dalam venocath.
15. Masukan cairan infus melalui canul di ujung venocath.
16. Jika lancar, ikatkan benang dibagian proksimal untuk memfiksasi
venocath, hati-hati jangan terlalu kuat hingga lumen venocath tertutup.
17. Luka dijahit dengan silk 3-0.
18. Fiksasi venocath dengan plester dibeberapa tempat.
19. Tutup luka dengan hypafix atau dermafilm.

Jika menggunakan Abbocath (needle venocath) 1,2


1. Setelah tindakan ke 11, angkat tepi insisi inferior dengan pinset.
2. Tusukan abbocath ke kulit 0.5 – 1 cm inferior tepi insisi (jangan sampai
vena tertusuk) sampai ujungnya keluar dan terlihat diatas vena.
3. Angkat benang bagian atas, identifikasi kembali vena dan tusukan
abbocath sampai masuk lumen.
4. Tarik ujung jarum agar tidak melukai dinding vena, sambil venocath
didorong.
5. Perhatikan aliran vena pada abbocath
6. Pasang selang infuse, yakinkan cairan dapat mengalir dengan lancar.
7. Ikat benang di bag proksimal, hati-hati jangan terlalu kencang agar lumen
abbocath tidak tertutup.
8. Jahit luka insisi.
9. Fiksasi abbocat dengan jahitan ke kulit di ujung canulnya.
10. Balut luka dengan dermafilm atau kassa dan hypafix.
11. Harap diperhatikan bahwa jika abbocath melekuk apalagi terlipat maka
lumennya akan menyempit bahkan tertutup. Hati-hati selama melakukan
manuver-manuver agar abbocat tidak melekuk/bengkok.

Gambar 1.4. Cutis, subcutis dibuka, diseksi secara tumpul, vena diidentifikasi
sumber : Medicine Article. Vena Section.1
Gambar 1.5. Kontrol proksimal dan distal dengan silk 2-0
sumber : Medicine Article. Vena Section.1

Gambar 1.6. Insersi vecocath setelah vena diinsisi, bag proksimal dan distal diikat
sumber : Medicine Article. Vena Section.1

Gambar 1.7. Insersi Abbocath setelah menusuk kulit dahulu


sumber : Medicine Article. Vena Section.1
Komplikasi1,2
1. Tromboflebitis dapat mulai dalam 24 jam
2. Robekan syaraf dan atau arteri
3. Hematome
4. Selulitis

Pasca Bedah1,2
1. Dilakukan desinfeksi kulit sekali lagi dengan teliti, bila perlu diberi salep
2. antibiotik pada luka insisi
3. Difiksasi dengan bidai/spalk
4. Dilakukan ganti verban setiap hari dengan tindakan asepsis
REFERENCES
1. Herman Asep. Teknik vena section. Artikel kedokteran.[Serial
Online]. 2013. Available from :
http://download.portalgaruda.org/bedah/minor
2. Teknik Melakukan Vena Section.[Serial Online]. Available from:
http://www.repositoryusu.ac.id
3. Snell RS. Anatomi klinis berdasarkan sistem. Sugiharto L,
penerjemah; Hartanto H, et al, editor. Jakarta: EGC, 2011
4. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Ed.6.
Sugiharto L, penerjemah; Hartanto H, et al, editor. Jakarta: EGC, 2006
5. Ellis H. Clinical anatomy a revision and applied anatomy for clinical
student. Ed 11. British: Blackwell publish, 2006
6. Marieb EN, Hoehn K. Human anatomy & physiology. Ed 9. United
states of America: Pearson, 2011
7. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology.
Ed.13. Hoboken: John Wiley & Sons, 2012
PENUNTUN PRAKTIKUM BLOK ELEKTIF
“LUKA BAKAR”
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan
sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi
Secara garis besar, penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
 Paparan api
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian
terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk
terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan
cedera tambahan berupa cedera kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka
bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak. Contohnya
antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau
peralatan masak.
 Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan semakin lama waktu
kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat
kecelakaan dapat dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka
umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat.
Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas
dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
 Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator mobil. Uap panas
menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap
bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke
saluran napas distal di paru.
 Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan oklusi jalan nafas
akibat edema.
 Aliran listrik (Electricity)
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh. Umumnya luka
bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang menyebabkan percikan api dan membakar
pakaian dapat menyebabkan luka bakar tambahan.
 Chemical/Zat kimia (asam atau basa) : kontak dengan zat kimia
 Radiasi
 Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.
Trauma karena flame, scald, dan contact menyebabkan kerusakan seluler karena transfer energi
yang memicu terjadinya nekrosis koagulatif. Trauma karena zat kimia dan listrik menyebabkan
kerusakan langsung pada membran sel selain karena transfer panas.

Trauma inhalasi dapat dinilai dari airway yang diperlukan kewaspadaan adanya obstruksi yang
mengancam jalan napas pada trauma panas karena tanda-tanda terjadinya obstruksi napas pada saat
awal tidak selalu jelas.
Indikasi klinis adanya trauma inhalasi:
o Luka bakar yang mengenai wajah dan/atau leher
o Alis mata dan bulu hidung hangus
o Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut pada orofaring
o Sputum yang mengandung karbon/arang
o Suara serak
o Riwayat gangguan mengunyah dan/atau terkurung dalam api
o Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan
o Kadar karboksihemoglobin >10% setelah berada di tempat kebakaran
Bila ditemukan salah satu dari keadaan di atas, sangat mungkin terjadi trauma inhalasi yang
memerlukan penanganan dan terapi definitif, termasuk pembebasan jalan napas

Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas
yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di
dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti
keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan
dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah
yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.
Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama
Gangguan yang terjadi karena trauma termal adalah sebagai berikut:
a) Gangguan lokal
Cedera pada kulit (cutaneous injury) terbagi tiga zona:
1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat
pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan ini mengalami nekrosis
beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi. Di daerah ini
terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit,
sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan
permeabilitas kapilar dan respon inflamasi lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24
jam pasca cedera dan mungkin berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi tanpa
banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan,
zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona kedua
bahkan zona pertama.
b) Gangguan sistemik
Dengan mediator inflamasi yang dihasilkan tubuh secara masif, terjadi vasokonstriksi
dan juga vasodilatasi pada berbagai daerah pada tubuh, dan juga peningkatan
permeabilitas kapiler. Dengan demikian:
- Tekanan hidrostatik pada kulit yang terbakar ↓ drastis
- Tekanan interstitial pada kulit yang tidak terbakar ↑ sedikit
- Tekanan onkotik plasma ↓
- Tekanan onkotik interstisial ↑
- Edema lokal yang berat pada regio luka bakar
- Edema general

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi, adekuasi
resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang
ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman adalah yang
terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar
juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman
luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka bakar derajat I, II,
atau III:
 Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan untuk dapat
melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat
sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan
nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.

 Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat epitel vital
yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal,
kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih
“sehat” tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar berupa
gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan
permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak
ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga
cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.
 Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau jaringan yang lebih
dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar regenerasi sel
spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit.
Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan
kulit yang memiliki persarafan sudah tidak intak.

BERAT DAN LUAS LUKA BAKAR


Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan pasien
sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan
mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46 oC. Luasnya kerusakan
akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak. Luka bakar menyebabkan koagulasi
jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga
meningkat, terjadi kehilangan cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan
pembentukan mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok,
tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka bakar juga
menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya meningkat,
dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen
terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka bakar,
yaitu:
 Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas telapak tangan
individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien
dengan derajat luka II atau III.
 Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan „rumus 9‟, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, pinggang dan
bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki
kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia.
Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan kepala anak jauh
lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan
bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk
anak.
 Metode Lund dan Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh di kepala pada
anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas permukaan pada anak. Apabila
tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan
„Rumus 9‟ dan disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan
lengan persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap tungkai dan
turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.
PEMBAGIAN LUKA BAKAR
1. Luka bakar berat (major burn)
a. Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di atas usia 50 tahun
b. Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada butir pertama
c. Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d. Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa memperhitungkan luas luka
bakar
e. Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g. Pasien-pasien dengan resiko tinggi

2. Luka bakar sedang (moderate burn)


a. Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar derajat III kurang
dari 10 %
b. Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau dewasa > 40 tahun,
dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
c. Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa yang tidak mengenai
muka, tangan, kaki, dan perineum
3. Luka bakar ringan
a. Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b. Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c. Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai muka, tangan, kaki,
dan perineum

PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR


Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang
terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut
rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan
menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya
volume cairan intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan
akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar
derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi tubuh masih bisa
mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang
khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun
dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah
delapan jam. Pada kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi
kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring yang
ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas, takipnea,
stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan mengikat
hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi mengikat oksigen. Tanda
keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat
terjadi koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta
penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya
diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang
baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena
daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh
ini membawa sistem pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka
bakar, selain berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran
napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial ini biasanya
sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang berasal dari kulit
sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif,
Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease dari toksin lain yang
berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat
dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur
keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah terlepas dengan
nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan keropeng yang kering dengan
perubahan jaringan di tepi keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka
bakar yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis
pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga
jaringan yang didarahinya nanti.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan kuman dan terlihat
invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka bakar
septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil Gram negatif
lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan
fokus infeksi di usus. Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang
menyebar di darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan
meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang
masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal
rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri,
gatal, kaku dan secara estetik jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri
akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau
hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut, peristalsis usus
menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase mobilisasi, peristalsis dapat
menurun karena kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan
terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala
tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein
menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi dan infeksi.
Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga memerluka kalori tambahan. Tenaga yang
diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh
karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Dengan
demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut penyakit luka bakar. Bila
luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai wajah sehingga rusak berat,
penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi prognosis luka bakar ditentukan
oleh luasnya luka bakar.

PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR


Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah mempertahankan
jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi
endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya
jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah
terjadi edema luka bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada pasien
luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak dapat
dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar
menimbulkan kecurigaan adanya jejas „tersembunyi‟. Oleh karena itu, setelah
mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menata laksana jejas
lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat
untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat
penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan radiologik pada
tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi adanya
kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari luasnya
area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah
mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas dari eskar yang
mengkonstriksi.
Tindakan penyelamatan segera pada luka bakar
A. Airway
Diperlukan kewaspadaan adanya obstruksi yang mengancam jalan napas pada trauma panas
karena tanda-tanda terjadinya obstruksi napas pada saat awal tidak selalu jelas.
Indikasi klinis adanya trauma inhalasi:
o Luka bakar yang mengenai wajah dan/atau leher
o Alis mata dan bulu hidung hangus
o Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut pada orofaring
o Sputum yang mengandung karbon/arang
o Suara serak
o Riwayat gangguan mengunyah dan/atau terkurung dalam api
o Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan
o Kadar karboksihemoglobin >10% setelah berada di tempat kebakaran
Bila ditemukan salah satu dari keadaan di atas, sangat mungkin terjadi trauma inhalasi yang
memerlukan penanganan dan terapi definitif, termasuk pembebasan jalan napas
B. Menghentikan proses trauma bakar
- Segera tanggalkan pakaian untuk menghentikan proses trauma bakar.
- Bubuk kimia kering dibersihkan dengan cara menyapu dengan hati-hati.
- Permukaan tubuh yang terkena dicuci air bersih, lalu penderita diselimuti.

C. Pemberian cairan intravena


Setiap penderita luka bakar >20% memerlukan cairan infus. Sebaiknya infus dipasang pada
daerah yang tidak terkena luka bakar.
Tatalaksana Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di
seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap
organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan eliminasi cairan bebas
yang tidak diperlukan, optimalisasi status volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin
survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi dan hipermetabolik
dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai macam cairan seperti kristaloid,
hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang
tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik
dalam persiapan menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada beberapa cara untuk
menghitung kebutuhan cairan ini:
 Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
 Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya diberikan dalam 16 jam
berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.

Resusitasi Nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini dan
pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-
gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60%
karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan demikian diharapkan
pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya SIRS dan MODS.

Perawatan luka bakar


Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan morfin dalam dosis
kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan „maintenance‟ 5-20 mg/70 kg setiap 4
jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2 mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan
pemberian methadone (5-10 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik
yang bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri walau dengan
pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan benzodiazepine sebagai tambahan.

Terapi pembedahan pada luka bakar


1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris (debridement) yang
dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari
tindakan ini adalah:
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan dibuangnya jaringan
nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama dan segera
dilanjutkan proses fibroplasia. Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini
akan menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya iskemi pada
jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan dari luka tersebut. Dengan
semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga waktu yang diperlukan untuk
penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi – komplikasi luka
bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas jaringan nekrosis yang melepaskan “burn toxic”
(lipid protein complex) yang menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses angiogenesis yang
terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini mengakibatkan banyaknya darah keluar saat
dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi
mikro – organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar yang
melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian cairan melalui infus.
Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar derajat II dalam dan derajat III.
Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga “skin grafting” (dianjurkan “split thickness
skin grafting”). Tindakan ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang
luas. Kriteria penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih dari 3 minggu.
- Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
- Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
- Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh posterior. Eksisi dini
terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka lapis demi lapis
sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah (endpoint). Adapun alat-alat yang
digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau Goulian atau Humbly yang digunakan pada luka
bakar dengan luas permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun mesin yang dapat
memotong jaringan kulit perlapis (dermatom) digunakan untuk luka bakar yang luas. Permukaan
kulit yang dilakukan tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh.
Untuk memperkecil perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum
dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah yang dieksisi. Setelah
dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan “skin graft”. Keuntungan dari teknik ini adalah
didapatnya fungsi optimal dari kulit dan keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari teknik
adalah perdarahan dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai lapisan fascia.
Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan penuh (full thickness) yang sangat
luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat yang digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel,
mesin pemotong “electrocautery”. Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
- Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak, endpoint yang
lebih mudah ditentukan
- Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada saraf-saraf
superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari eksisi

2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari metode ini adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada luka bakar pasien.
Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit manusia yang berasal dari tubuh
manusia lain yang telah diproses maupun berasal dari permukaan tubuh lain dari pasien
(autograft). Daerah tubuh yang biasa digunakan sebagai daerah donor autograft adalah paha,
bokong dan perut. Teknik mendapatkan kulit pasien secara autograft dapat dilakukan secara split
thickness skin graft atau full thickness skin graft. Bedanya dari teknik – teknik tersebut adalah
lapisan-lapisan kulit yang diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan penggunaan kulit donor
tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan dibuat lubang – lubang pada kulit donor
(seperti jaring-jaring dengan perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin.
Metode ini disebut mess grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari lokasi luka yang
akan dilakukan grafting, usia pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya pengambilan kulit
donor sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat dilakukan dengan mesin „dermatome‟
ataupun dengan manual dengan pisau Humbly atau Goulian. Sebelum dilakukan pengambilan
donor diberikan juga vasokonstriktor (larutan epinefrin) dan juga anestesi.
Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan dari eksisi luka
bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah dilakukan eksisi, sehingga
pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya, pengendalian perdarahan sangat diperlukan.
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor dengan jaringan
yang mau dilakukan grafting adalah:
- Kulit donor setipis mungkin
- Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan grafting), hal ini
dapat dilakukan dengan cara :
o Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)
o Drainase yang baik
o Gunakan kasa adsorben
INDIKASI RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR
Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk dirawat inap bila:
1. Luka bakar derajat III > 5%
2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan, kaki, genitalia,
perineum, kulit di atas sendi utama)  risiko signifikan untuk masalah kosmetik dan
kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma mayor lainnya, atau
adanya kondisi medik signifikan yang telah ada sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi

Penilaian Penderita Luka Bakar


A. Anamnesis
Selidiki cedera penyerta dari terjadinya trauma. Luka bakar yang terjadi pada ruangan tertutup.
Hendaknya mencakup riwayat singkat penyakit sekarang dan riwayat alergi.
B. Luas luka bakar
Cara praktis yang digunakan untuk menentukan luas luka bakar adalah Rule of Nines.
C. Kedalaman luka bakar
Dinilai apakah derajat I, II, atau III dan penatalaksanaan akan menyesuaikan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan MODS

PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan luasnya
permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak
daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan kecepatan
penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada luka bakar antara lain
gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan kontraktur.
KOMPLIKASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ Dysfunction Syndrome
(MODS),dan Sepsis
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai stimulus
klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dll.
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi (proinflamasi)
yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh
beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami
eksagregasi) dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan
berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system Organ
Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ
Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada pasien luka
bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya
menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri
mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury, inflamation,
inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti
hasil konsensus American College of Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine
tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
- Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
- Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
- Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah (PaCO 2 < 32
mmHg)
- Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000 sel/mm3) atau dijumpai
> 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakteremia),
maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS
merupakan akhir dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada
pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang berkesinambungan sehingga dapat
dimengerti bahwa MODS menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari
spektrum keadaan yang berawal dari SIRS.

Anda mungkin juga menyukai