Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SIFAT DA’I: TAFSIR QUR’AN SURAT ALI-IMRAN AYAT 159


DAN QUR’AN SURAT THAHA AYAT 43-44
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Ayat
Dakwah Institut Agama Islam (IAI) Persis Bandung

Dosen Pengampu : Dr. H. Ahmad Humaedi, M.Si.

Disusun oleh:
Alwan Alimuddin 21.02.1595.05
Arham Nur Arif 21.02.1595.06
Muhammad Farhan Rahman N 23.02.1738
Rivaldi Bilal Azhari 21.02.1572

INSTITUT AGAMA ISLAM PERSIS BANDUNG


KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
BANDUNG
2023
Daftar Isi

Daftar Isi.................................................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................5
2.1 Tafsir Qur’an Surat Ali-Imran ayat 159...................................................................5
2.2 Tafsir Qur’an Surat Thaha ayat 43-44.....................................................................7
2.3 Sifat Da’i yang terkandung dalam Qur’an Surat Ali-Imran ayat 159 dan Qur’an
Surat Thaha ayat 43-44.........................................................................................................9
BAB III.................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Umat islam memerlukan terhadap petunjuk dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Keduanya merupakan sumber utama atau pedoman kehidupan kaum muslimin.
Namun tak semua umat Islam memahami maksud-maksud dari pesan yang
disampaikan oleh Allah SWT. dan Rasulullah Saw.. Oleh karena itu, perlunya
seseorang yang mampu menjelaskan maksud-maksud yang disampaikan oleh Allah
dan rasul-Nya. Salah satu upaya ini adalah penafsiran atas teks al-Quran dan as-
Sunnah.

Persoalan tafsir merupakan persoalan yang tak pernah habis oleh zaman.
Penggalian makna dari ayat Al-Quran menjadi tujuan para ulama. Karena makna
yang dicari berguna untuk kehidupan umat muslim secara keseluruhan. Ayat-ayat Al-
Quran memiliki banyak tema dan juga pembahasan tak terkecuali pembahasan
tentang komunikasi antar manusia. Salah satu di antaranya, adalah Qur’an Surat Ali-
Imran ayat 159 dan Qur’an Surat Thaha ayat 43-44.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana penjelasan beberapa Imam terdahulu mengenai Qur’an Surat Ali-
Imran ayat 159?
1.2.2 Bagaimana penjelasan beberapa Imam terhadulu mengenai Qur’an Surat
Thaha ayat 43-44?
1.2.3 Apa saja sifat Da’i yang terkandung dalam Qur’an Surat Ali-Imran ayat 159
dan Qur’an Surat Thaha ayat 43-44?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana penjelasan Qur’an Surat Ali-Imran ayat 159
menurut beberapa Imam terdahulu.
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana penjelasan Qur’an Surat Thaha ayat 43-44
menurut beberapa Imam terdahulu.
1.3.3 Untuk mengetahui apa saja sifat Da’i yang terkandung dalam Qur’an Surat
Ali-Imran ayat 159 dan Qur’an Surat Thaha ayat 43-44.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tafsir Qur’an Surat Ali-Imran ayat 159


‫َفِبَم ا َر ْح َم ٍة ِّم َن ِهّٰللا ِلْنَت َلُهْم ۚ َو َلْو ُكْنَت َفًّظا َغ ِلْيَظ اْلَقْلِب اَل ْنَفُّض ْو ا ِم ْن َح ْو ِلَك ۖ َفاْعُف َع ْنُهْم َو اْسَتْغ ِفْر َلُهْم‬

‫َو َش اِو ْر ُهْم ِفى اَاْلْم ِۚر َفِاَذ ا َع َز ْم َت َفَتَو َّك ْل َع َلى ِهّٰللاۗ ِاَّن َهّٰللا ُيِح ُّب اْلُم َتَو ِّك ِلْيَن‬

Artinya: "Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar,
tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
segala urusan (penting). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad,
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
bertawakal."

Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengemukakan bahwa ini merupakan
tuturan Allah SWT. yang ditujukan kepada Rasul-Nya, Muhammad Saw.. Allah akan
memberikan karunia kepadanya dan kepada orang-orang yang beriman. ltu berkat
sikap lemah lembut yang beliau tampilkan terhadap umatnya, sehingga mereka
menjadi para pengikut setia dalam melaksanakan semua perintahnya dan
meninggalkan larangannya. Sungguh Allah SWT. telah menjadikan hati Rasulullah
Saw.. lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, dan bersikap baik dalam
perkataan dan perbuatan. Tidaklah kelembutan itu bisa kamu lakukan terhadap
mereka, melainkan berkat rahmat Allah kepadamu dan kepada mereka.1

Selanjutnya, Imam Ibnu Katsir menukil pendapat dari al-Hasan al-Bashri


terkait potongan ayat Qur’an Surat Ali-Imran ayat 159, itulah akhlak Rasulullah Saw,,
oleh karenanya ia diutus oleh Allah SWT.

1
Ibnu Katsir. Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 Shahih, Sistematis, Lengkap. Terjemahan oleh Engkos
Kosasih, dkk. (Jakarta Timur: Maghfirah Pustaka, 2017), 159.
Firman Allah SWT.

‫َو َلْو ُكْنَت َفًّظا َغ ِلْيَظ اْلَقْلِب اَل ْنَفُّض ْو ا ِم ْن َح ْو ِلَك‬

“Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka


menjauhkan diri dari sekitarmu”.

Kata ‫ َفًّظا َغ ِلْيَظ‬artinya kasar dalam berbicara. Maka makna ayat tersebut adalah:
Jika kamu bersikap kasar dalam ucapan dan keras hati, niscaya mereka akan menjauh
dan pergi meninggalkanmu. Namun, Allah SWT. telah menjadikan mereka berada di
sekelilingmu, dan Dia telah melembutkan perangaimu guna menyatukan hati
mereka.2

Dalam penafsiran ayat ini Imam Ibn Katsir menyantumkan satu hadits yang
diriwayatkan oleh `Abdullah bin `Amru yang artinya: "Sesungguhnya aku pernah
melihat dalam kitab-kitab terdahulu mengenai sifat Rasulullah Saw.. Beliau bukan
seorang yang kasar, tidak berhati keras, tidak bersuara gaduh di pasar, dan tidak
pernah membalas kejelekan dengan kejelekan lagi. Namun, beliau adalah seorang
pemaaf dan suka merelakan."3

Dalam menafsirkan ayat ini, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa perangai


Nabi Muhammad Saw. sangat luhur, tidak bersikap keras, tidak juga berhati kasar,
pemaaf dan bersedia mendengar saran dari orang lain. Itu semua disebabkan karena
rahmat Allah kepadanya, Allah yang telah mendidiknya sehingga semua faktor yang
dapat mempengaruhi kepribadian Nabi disingkirkan oleh Allah Swt.4

2
Ibid.
3
Ibid.
4
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera
Hati, 2002), Cet. Ke-1, Jilid 2, h 256.
2.2 Tafsir Qur’an Surat Thaha ayat 43-44
)44( ‫) َفُقوال َلُه َقْو ال َلِّيًنا َلَع َّلُه َيَتَذَّك ُر َأْو َيْخ َش ى‬43( ‫اْذ َهَبا ِإَلى ِفْر َعْو َن ِإَّنُه َطَغى‬

Artinya: Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melewati
batas. (Thaha: 43) maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Thaha: 44).

Ayat ini berkaitan dengan kisah Nabi Musa as., khususnya yang menguraikan
penugasan Nabi Mûsâ as. dan Harun as. kepada Fir'aun dan Bani Isrâ'il serta uraian
yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas tersebut.

Nilai kelembutan adalah bagian dari keindahan ajaran agama Islam. Islam
mengajarkan kita tentang nilai kelembutan yang senantiasa melahirkan kedamaian
bagi semesta alam, utamanya kelembutan dalam berdakwah.

Nabi Mûsâ as. adalah pilihan Allah yang ditugaskan-Nya menjadi Nabi dan
Rasul, Allah memerintahkan beliau: Wahai Mûsâ pergilah engkau beserta saudaramu
Hârûn yang engkau mohonkan untuk menjadi pembantumu dengan membawa serta
ayat-ayat-Ku, yakni mukjizat-mukjizat yang telah engkau saksikan sendiri baik
tongkat yang dapat beralih menjadi ular dan tanganmu yang putih bercahaya serta
bukti-bukti lainnya, juga membawa serta ayat- ayat-Ku dan pegang teguhlah
dengannya dan janganlah kamu berdua lalai, jemu, melemah dan terlena dalam
mengingat-Ku; Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun penguasa tirani itu dengan
berbekal mukjizat-mukjizat yang telah Ku-anugerahkan kepadamu, karena
sesungguhnya ia telah melampaui batas dalam kedurhakaan.
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
yakni ajaklah ia beriman kepada Allah dan serulah ia kepada kebenaran dengan cara
yang tidak mengundang antipati atau amarahnya, mudah-mudahan, yakni agar supaya
ia ingat akan kebesaran Allah dan kelemahan makhluk, sehingga ia terus menerus
kagum kepada Allah dan taat secara penuh kepada-Nya atau paling tidak ia terus
menerus takut kepada-Nya akibat kedurhakaannya kepada Allah.5

Ayat ini mengandung pelajaran yang penting, yaitu sekalipun Fir'aun adalah
orang yang sangat membangkang dan sangat takabur, sedangkan Musa adalah
makhluk pilihan Allah saat itu, Musa tetap diperintahkan agar dalam menyampaikan
risalah-Nya kepada Fir'aun memakai bahasa dan tutur kata yang lemah lembut dan
sopan santun.

Bertendensi pada kisah perjalanan Nabi Musa as yang diperintahkan oleh


Allah SWT untuk memberikan pengajaran yang baik kepada Fir’aun. Langkah
tersebut adalah bagian dari ikhtiar yang harus dilakukan oleh Nabi Musa as untuk
mengajak Fir’aun ke jalan yang benar. Maka, turunlah ayat ini sebagai metode yang
dapat digunakan Nabi Musa as dalam menyampaikan dakwahnya.

Ayat ini menjelaskan tentang pentingnya memilih metode yang tepat dalam
menyampaikan dakwah Islam, yakni dengan retorika atau perkataan yang lembut.
Kelembutan dalam berdakwah yang melekat pada setiap ungkapan akan melahirkan
kebaikan bagi pendengar, karena pada dasarnya setiap manusia senang terhadap
kebaikan.

5
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati,
2002), Cet. Ke-1, Jilid 8, h 305.
2.3 Sifat Da’i yang terkandung dalam Qur’an Surat Ali-Imran ayat 159 dan
Qur’an Surat Thaha ayat 43-44
Dari penafsiran ayat di atas dapat dijelaskan bahwa ada beberapa sifat Nabi
Muhammad Saw. yang patut diteladani oleh seorang dā‘i yaitu: sifat lemah lembut,
pemaaf, mempunyai tekad yang kuat dan tawakkal. Setelah mempunyai sifat-sifat
tersebut, seorang dā‘i yang seharusnya meminta ampun terhadap kesalahan mad‘ū
dan melakukan musyawarah terhadap segala sesuatu yang dihadapi bersama mad‘ū.
Berikut dijelaskan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh seorang dā‘i yaitu:

a. Lemah lembut

Al-Qurtubi menjelaskan makna lemah lembut adalah kata-kata yang tidak


kasar, “sesuatu yang lembut akan melembutkan dan ringan untuk dilakukan”.
Dalam berdakwah dā‘i harus lemah lembut agar lebih dapat menyentuh hati
sehingga lebih dapat menarik mad‘ū menerima dakwahnya. Lemah lembut adalah
sikap seseorang dalam menyikapi sesuatu dengan santai dan tidak tergopoh-gopoh
sehingga sesuatu itu menjadi mudah. Lemah lembut dapat diwujudkan dalam
perkataan atau perbuatan seseorang Ketika berinteraksi dengan sesama manusia.
Tidak berkata kasar saat marah, dan membalas kekasaran orang lain dengan
perbuatan yang baik. Sifat lemah lembut tidak hanya bisa dilakukan terhadap orang
yang berbuat baik kepada kita, namun juga kepada orang yang berbuat tidak baik
dan kasar kepada kita.

b. Pemaaf

Kata maaf merupakan adopsi dari kata bahasa Arab yaitu al-‘afw, yang terdiri
dari tiga partikel, ‘ain, fa’ dan huruf mu‘tall. Menurut Ibn Faris kata al-‘afw ada dua
makna, yaitu meninggalkan (tark al-syai’) dan mencari atau menuntut sesuatu
(thalab). Dari kata al-‘afwu juga muncul al-af‘iyah yang berarti pembelaan atau
penjagaan Allah terhadap hamba-Nya. Makna kata tersebut dapat dipahami bahwa
memaafkan adalah meninggalkan atau melupakan kesalahan yang seharusnya tidak
bisa dimaafkan karena besarnya kesalahan itu.

Oleh karena itu, bisa dimaklumi beratnya hati seseorang untuk bisa memaafkan
orang lain yang sudah berbuat salah kepadanya. Meninggalkan atau melupakan
semua kesalahan orang lain tersebut bermakna sudah memaafkan, dan ini hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai jiwa yang besar dan bijaksana.
Sifat memaafkan ini pernah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. dalam perang
Uhud. Karena para sahabat yang ditugaskan di atas gunung Uhud membuat
kesalahan, maka pasukan kaum muslimin mengalami kekalahan.6

c. Tekad

Tekad bukanlah sebuah hadiah atau pemberian tetapi tekad adalah sebuah
keputusan yang harus dipilih. Ketika seseorang mempunyai tekad maka ia harus
berani mengambil keputusan yang penuh rintangan. Seorang Dā‘i perlu
menumbuhkan tekad yang kuat dalam membawa mad‘ū ke arah yang lebih baik.
Tidak mudah bagi dā‘i merubah keyakinan, prinsip, watak dan perilaku seseorang
yang sudah terlanjur jauh dari ajaran Islam. Dā‘i tidak boleh membiarkan orang-
orang muslim semacam itu berada dalam kesesatannya. Dalam kondisi ini seorang
dā‘i perlu kerja keras dan perlu membulatkan tekad untuk mengembalikan mad’u
tersebut ke jalan yang benar.

6
Fauziah, Mira. "Sifat-Sifat Da'i Dalam Al-Qur'an (Kajian Surah Ali'Imran Ayat 159)." Jurnal
Ilmiah Al-Mu ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi Perspektif 17.1 (2020): 126-
135.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam berdakwah tentu saja setiap Da’i memiliki sifat yang berbeda-beda,
namun Allah SWT. sudah memberikan contoh dan anjuran mengenai sifat serta
metode yang harus dimiliki oleh para Da’i sebagaimana yang tercantum dalam
Qur’an Surat Ali-Imran ayat 159 dan Qur’an Surat Thaha ayat 43-44 bahwa selaku
Da’i kita tidak boleh pandang bulu ketika berdakwah, hendaklah kita menggunakan
bahasa yang lemah lembut nan santun agar dapat diterima oleh semua orang.
Karena yang demikian itu dapat membuat efektivitas kita dalam berdakwah
dan berhadapan langsung dengan mad’u.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khalidi, Shalah `Abdul Fattah. Mudah Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2: Shahih,
Sistematis, Lengkap. Jakarta Timur: Maghfirah Pustaka, 2017.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.


Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Fauziah, Mira. "Sifat-Sifat Da'i Dalam Al-Qur'an (Kajian Surah Ali'Imran Ayat
159)." Jurnal Ilmiah Al-Mu ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi
Perspektif 17.1 (2020): 126-135.

Anda mungkin juga menyukai