Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR
DI INSTALASI BEDAH SENTRAL (IBS)
RSUD WONOSARI

DISUSUN OLEH:
Siti Latifah, S.Kep
P1905035

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMDIYAH KLATEN
2019
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi

Fraktur adalah gangguan komplet atau tidak komplet pada kontinuitas


struktur tulang dan di definisikan sesuai dengan jenis dan keluasannya yang
disebabkan karena hantaman langsung, kekuatan yang meremukan, gerakan yang
memuntir yang mendadak, atau bahkan kontraksi otot yang ekstrem yang
menyebabkan edoma jaringan lunak, hemoragi ke otot dan sendi, dislokasi sendi,
ruptur tendon, gangguan syaraf, dan kerusakan pembuluh darah (Susan C.
Smeltzer, 2016;h.250)
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang
yang umumnya disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung (Joyce M.
Black, 2014; h.643)
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan dengan
pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur (Kholid Rosyidi,
2014; h.70)
Jadi, kesimpulan bahwa fraktur adalah suatu cedera yang mengenai tulang
yang disebabkan oleh trauma benda keras, baik trauma langsung maupun tidak
langsung.

B. Etiologi
Menurut Kholid Rosyidi (2013) penyebab fraktur adalah
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan
fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring .
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan . Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam
jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi , kekuatan dapat berupa
puntiran , penekukan , penekukan dan penekanan , kombinsi dari ketiganya dan
penarikan

C. Manifestasi Klinis
Menurut (Susan C Smltzer, 2016; h.251) manifestasi klinis fraktur adalah
nyeri, kehilangan fungsi tulang, deformitas atau kelainan bentuk, pemendekan
ekstremitas pada area cedera. Adapun gejala umum fraktur menurut (Reeves, 2011
dalam Lukman, 2011;h.30-31), antara lain :
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi
2. Setelah terjadi fraktur bagian – bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah bukannya tetap seperti normalnya.
3. Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas maupun dibawah tempat fraktur
4. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna local kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
pendarahan yang mengikuti fraktur

D. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya fraktur menurut Suddarth Brunner (2013) :
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma baik
itu karena trauma langsung misalnya : tulang kaki terbentur bamper mobil, atau
tidak langsung misalnya : seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga.
Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya patah tulang patella dan
olecranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat patah dan
kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel
– sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa – sisa sel mati dimulai,
ditempat patah terbentuk florin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala – jala
untuk melekatkan sel – sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk
tulang baru imatur yang disebut caflus.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan arah ke
ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah
total dapat menyebabkan anoksia yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot.
Kondisi klinis fraktur menimbulkan keluhan berupa nyeri, hambatan
mobilitas fisik. Intervensi medis dilakukan untuk menyatukan tulang kembali
dengan tindakan pembedahan ORIF (Open reduction Internal Fixation) yang
menyebabkan keluhan nyeri pasca bedah, resiko tinggi infeksi, hambatan mobilitas
dan pemenuhan informasi (Arif Muttaqin, 2011/ h.430)
E. Pathway
Trauma langsung dan tidak langsung

Fraktur

Terputusnya Rencana Kerusakan


hubungan Operasi jaringan lunak
lunak
Respon psikologis

Ketidakmampuan Terapi Bedah Kerusakan saraf Kerusakan


melakukan Fiksasi interna spasme otot vaskuler
pergerakan (ORIF)
Ansietas
Nyeri Pembekakan
Hambatan lokal
mobilitas Ketidaktahuan Pasca bedah
fisik teknik
mobilisasi
Resiko
Port de entree sindrom
kompsrtemen

Resiko tinggi
infeksi

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjung untuk pasien fraktur :
1. Pemeriksaan foto radiologi
Untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur / orif
2. Scan tulang, tomografi, ct scan / mri (magnetic resonance imaging)
3. Anteriogram
Dilakukan jika dicurigai terjadinya kerusakan vaskuler
4. Pemeriksaan darah lengkap
Hematokrit mungkin meningkat atau menurun. Peningkatan jumlah leukosit adalah
proses stress normal setelah trauma dan juga dapat diketahui resiko terjadinya infeksi
yang dilihat dari pemeriksaan leukosit
5. Kreatinin
Trauma otot yang dapat meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple
atau cedera hati.

G. Komplikasi
Komplikasi fraktur yang sering terjadi pada pasien post ORIF meliputi infeksi,
kehilangan dan kekakuan jangkauan gerak, kerusakan otot, kerusakan arteri dan
kelumpuhan, deformitas, sindrom kompartemen, perdarahandan syok
1. Kerusakan artei
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
sianosis bagian distal, hematoma yang melebar dan dingin pada ekstremitas yang
disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi dan pembedahan (Kholid Rosyidi, 2013;h.45)
2. Kompartemen sindrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup diotot
yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan
aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot.
3. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak apabila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopaedic infeksi dimulai pada kulit dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka tetapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat (ORIF) (Kholid Rosyidi, 2013; h.48)
4. Syok
Syok yang terjdi pada pasien biasanya adalah syok hipovolemik, sedangkan syok
nerogenik jarang terjdi. Tanda – tanda syok secara klasik adalah pucat, kulit dingin
dan basah, pernafaasan cepat, sianosis pada bibir, nadi cepat dan lemah, penurunan
tekanan darah, dan urin menjadi pekat (Abdul Majid, 2011;h.110)

5. Perdarahan
Penatalaksanaan perdarahan yaitu pasien diberikan posisi terlentang dengan posisi
tungkai kaki membentuk sudut 20 ͦ dari tempat tidur. Sementara lutut harus
dijagatetep lurus. Lakukan penekanan dengan kasa steril dan balutan yang kuat dan
tinggikan pada posisi ketinggian jantung (Abdul Majid, 2011 ; h.111)

H. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


1. Penatalaksanaan Medis
a. Reposisi terbuka dan fiksasi interna
ORIF (Open reduction Internal Fixation) akan mengimobilisasikan fraktur
dengan melakukan pembedahan dengan memasukan paku, sekrup atau pin
kedalam tempat fraktur untuk memfiksasi bagian – bagian tulang yang fraktur
secara bersamaan. Keuntungan cara ini adalah reposisi anatomis, mobilisasi dini
tanpa fiksasi luar (Soelarto, 2008 ; h.464)
Indikasi ORIF meliputi fraktur yang tidak bisa sembuh, fraktur yang tidak
bisa direposisi tapi sulit dipertahankan, fraktur yang berdasarkan pengalaman
memberi hasil yang lebih baik dengan operasi (Soelarto, 2008 ; h.464)
b. Reduksi / Reposisi fraktur
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semuala secara optimum. Menurut (Brunner, 2001 dalam Kholid Rosyidi, 2013,
h.41) reduksi fraktur dapat juga diartikan mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasfanatomis.
c. Retensi / Imobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimum. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus di
imobilisasi atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
d. Rehabilitasi
Menghindari atropidan kontrakur dengan fisioterapis. Segala upaya
diarahkan pada penyembuha tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi
harus dipertahankan sesuai kebutuhan

2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan fraktur tertutup post ORIF
a. Informasikan pasien mengenai metode pengontrolan edema dan nyeri yang tepat
b. Ajarkan latihan untuk mempertahankan kesehatan otot yang tidak terganggu dan
memperkuat otot yang diperlukan untuk berpindah tempat dan untuk
menggunakan alat bantu.
c. Ajarkan pasien tentang cara menggunakan alat bantu dengan aman.
d. Bantu pasien memodifikasi lingkungan rumah sesuai kebutuhan dan mencari
bantuan personal jika diperlukan.
e. Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien mengenai perawatan diri, informasi
medikasi, pemantauan kemungkinan komplikasi, dan perlu adanya supervise
layanan kesehatan yang berkelanjutan.

I. Pengkajian Keperawatan
Riwayat Keperawatan
1. Tingkat aktivitas sehari-hari
meliputi : Pola aktivitas sehari-hari, Jenis, frekuensi dan lamanya latihan
fisik
2. Kemampuan melakukan ADL (Mandi, Keramas, Oral Care,
meliputi : Berpakaian, Makan, Toileting)
3. Tingkat kelelahan
meliputi : Aktivitas yang membuat lelah, Riwayat sesak napas
4. Gangguan pergerakan
meliputi : Penyebab gangguan pergerakan, Tanda dan gejala, Efek dari
gangguan pergerakan
5. Pemeriksaan fisik
meliputi : Tingkat kesadaran, Pemeriksaan kekuatan otot, Postur/bentuk
tubuh (Skoliosis, Kiposis, Lordosis, Cara berjalan), Ekstremitas
(Kelemahan, Gangguan sensorik, Tonus otot, Atropi), Tremor, Gerakan tak
terkendali, Kekuatan otot, Kemampuan jalan, Kemampuan duduk,
Kemampuan berdiri, Nyeri sendi, Kekakuan sendi)

6. Kemampuan dan keterbatasan gerak


Hal-hal yang perlu dikaji antara lain :
1) Bagaimana penyakit klien mempengaruhi kemampuan klien untuk
bergerak
2) Adanya hambatan dalam bergerak ( terpasang infus, gips )
3) Keseimbangan dan koordinasi klien
4) Adanya hipotensi ortostatik
5) Kenyamanan klien
Menurut (Hidayat, 2014) pengkajian yang penting dalam gangguan aktivitas sebagai
berikut :
1. Biodata pasien
2. Riwayat Kesehatan termasuk pola istirahat/tidur, pola aktivitas/latihan.
Pola aktivitas atau latihan dapat dinilai dengan tabel berikut :
Aktivitas 0 1 2 3 4
Makan dan minum
Mandi
Eliminasi
(BAK&BAB)
Berpakaian
Mobilisasi di
tempat tidur

Pindah
Ambulasi

Keterangan :
0 : mandiri
1 : alat bantu
2 : dibantu orang lain
3 : dibantu orang lain dan alat
4 : tergantung total

J. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


a. Hambatan mobiltas fisik b.d imobilisasi
b. Risiko kerusakan integritas kulit b.d immobilisasi fisik
c. Defisit perawatan diri b.d kelemahan
d. Nyeri akut b.d agen injur
K. Rencana keperawatan
Diagnosa
NOC NIC
Keperawatan
a. Hambatan  Mobility Level Exercise therapy : ambulation
mobiltas  Self care : ADLs a. Monitoring vital sign
fisik b.d sebelum/sesudah
imobilisasi  Transfer performance latihan dan lihat respon
Kriteria Hasil : pasien saat latihan
a. Klien meningkat dalam b. Ajarkan pasien atau tenaga
aktivitas fisik kesehatan lain tentang teknik
b. Mengerti tujuan dari ambulasi
peningkatan mobilitas c. Kaji kemampuan pasien dalam
c. Memverbalisa sikan mobilisasi
perasaan dalam d. Latih pasien dalam
meningkatkan kekuatan pemenuhan kebutuhan
dan kemampuan ADLs secara mandiri
berpindah sesuai kemampuan
d. Memperagakan e. Dampingi dan Bantu pasien
penggunaan alat Bantu saat mobilisasi dan bantu
untuk mobilisasi (walker) penuhi kebutuhan ADLs ps.
f. Berikan alat Bantu jika klien
memerlukan.
g. Ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan

b. Risiko Risk Control Pressure Management


kerusakan Kriteria hasil : a. Memberitahukan pasien untuk
integritas kulit - Pasien mengerti tentang menggunakan pakaian yang longgar.
b.d immobilisasi faktor risiko yang dapat b. Memonitor statusnutrisi pasien.
fisik menyebabkan kerusakan c. Memonitor area kulit yang dapat terjadi
integritas kulit kemerahan dan luka.
- Tanda-tanda vital dalam d. Melakukan perubahan posisi pada
batas normal. pasien, minimal setiap 2 jam.
- Memodifikasi lingkungan e. Mengajarkan ROM aktif dan pasif.
untuk mengurangi faktor f. Mengajari pasien tentang faktor yang
risiko. dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan integritas kulit.

c. Deficit Kriteria Hasil : a. Monitor kemampuan klien untuk


perawatan - Pasien terbebas dari perawatan diri yang mandiri.
diri b.d bau badan b. Monitor kebutuhan klien untuk
kelemahan - Menyatakan alat-alat bantu untuk kebersihan
kenyamanan diri, berpakaian, toileting dan
terhadap makan.
kemampuan untuk c. Dorong klien untuk melakukan
melakukan ADL aktivitas sehari-hari yang normal
- Dapat melakukan sesuai kemampuan yang dimiliki.
ADL dengan d. Dorong untuk melakukan secara
bantuan mandiri, tapi beri bantuan ketika
klien tidak mampu
melakukannya.
e. Ajarkan klien/ keluarga untuk
mendorong kemandirian, untuk
memberikan bantuan hanya jika
pasien tidak mampu untuk
melakukannya. Pertimbangkan
usia klien jika mendorong
pelaksanaan aktivitas sehari-hari.

d. Nyeri akut  Pain Level Pain Management


b.d agen  Pain control a. Lakukan pengkajian nyeri secara
injuri  Comfort level komprehensif termasuk lokasi,

Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas

- Mampu mengontrol nyeri dan faktor presipitasi

(tahu penyebab nyeri, b. Observasi reaksi nonverbal dari


mampu menggunakan ketidaknyamanan

tehnik nonfarmakologi c. Gunakan teknik komunikasi terapeutik


untuk mengurangi nyeri, untuk mengetahui pengalaman nyeri

mencari bantuan) pasien

- Melaporkan bahwa nyeri d. Kurangi faktor presipitasi nyeri


berkurang dengan e. Ajarkan tentang teknik non

menggunakan manajemen farmakologi

nyeri f. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

- Mampu mengenali nyeri g. Tingkatkan istirahat


(skala, intensitas, h. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
frekuensi dan tanda nyeri) keluhan dan tindakan nyeri tidak

- Menyatakan rasa nyaman berhasil

setelah nyeri berkurang i. Monitor penerimaan pasien tentang

- Tanda vital dalam rentang manajemen nyeri

normal
Daftar Pustaka

T.H. Herdman, S, Kamitsuru , 2018. NANDA-I Diagnosa Keperawatan, Edisi 11.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sue Moorhead, Marion Johnson, Meridean L. Maas, Elizabeth Swanson, 2013, NOC. Edisi 5.
Jakarta : Penerbit Buku Elsevier.
Gloria, M. Bulechek. Howard K. Butcher, Joanne M. Dochterman.Cheryl M. Wagner.
2013. NIC. Edisi 5. Jakarta : Penerbit Buku Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai